Pengawasan dan Evaluasi Peran Lembaga Adat 1. Perencanaan

44 Sejumlah situs internet menurunkan laporan mengenai suasana Pantai Kedonganan sebagai alternatif objek wisata pantai maupun wisata kuliner di Bali. Berbagai biro perjalanan pun mulai memasarkan Pantai Kedonganan.

5.3.3. Pengawasan dan Evaluasi

Pengawasan yang dilakukan Desa Adat Kedonganan berlandaskan awig- awig yang berlaku di wilayah itu. Awig-awig merupakan suatu bentuk kelembagaan lokal yang mengatur perilaku atau tata kelakuan masyarakat sesuai nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Awig-awig dalam pengaturam kehidupan masyarakat nelayan bertujuan mengatur perilaku nelayan baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Awig-awig merupakan sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat berlandaskan ajaran agama Hindu Tri Hita Karana yang mengajarkan keharmonisan atau keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan. Ada tujuh aturan lokal atau larangan pada Awig- awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Kedonganan, yaitu: 1. Larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya. 2. Larangan merusak terumbu karang secara sengaja. 3. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi. 4. Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. 5. Larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat. 6. Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. 7. Larangan melaut pada angin musim barat. 45 Tujuan dibentuknya awig-awig tersebut adalah untuk memberi pedoman berperilaku pada nelayan dalam hidup bermasyarakat, khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan dan menjaga keutuhan masyarakat nelayan. Mereka menjadikan awig-awig sebagai pedoman yang diterima bersama dan memberi pegangan kepada nelayan sebagai suatu sistem pengawasan untuk menghindari dampak negatif lingkungan dan memudarnya nilai-nilai budaya akibat kegiatan yang mereka lakukan. Selain itu awig-awig mempunyai tujuan agar keseimbangan hubungan dan keharmonisan yang terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana tetap dipertahankan seiring dengan perkembangan jaman. Sebagai wujud dari pengawasan sosial, maka diberlakukan pula sanksi untuk setiap bentuk pelanggaran. Sanksi yang diterapkan merupakan satu wujud upaya represif. Semua aturan atau larangan dalam awig-awig disosialisasikan sebagai bentuk proses penanaman nilai-nilai dan aturan adat dalam lingkungan masyarakat. Bentuk sosialisasi dilakukan melalui beberapa cara, antara lain dilakukan secara lisan oleh tokoh masyarakat desa, tokoh pemerintah, ketua nelayan, penduduk pribumi, dan juga sosialisasi melalui media tulis. Sosialisasi biasa dilakukan ketika ada pertemuan kelompok nelayan atau sedang berkumpul bersama. Sosialisasi ini biasanya dilakukan pada saat mendekati Hari Raya Nyepi atau akan diadakan upacara kegamaan setempat. Agar pelaksanaan pengawasan lebih optimal, pada tahun 2007 dibentuk sebuah organisasi yang akan melaksanakan fungsi pengelolaan kepariwisataan di pantai Kedonganan. Organisasi tersebut bernama Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan BP-KP2K yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan. BP-KP2K bertugas sebagai pelaksana kebijakan tiga lembaga pembentuk terkait penataan pantai Kedonganan, dan sebagai pengawas Kawasan Pantai Kedonganan. Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan BP- KP2K kini berubah nama menjadi Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pesisir Kedonganan BPKP2K. Pembentukan BPKP2K sebagai lembaga pengelola kepariwisataan di Kedonganan diharapkan mampu memastikan agar pariwisata berbasis masyarakat mampu berjalan dalam kaidah-kaidah keberlanjutan, dan 46 dapat memberikan berbagai dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan . Setelah dibentuk badan pengelola BPKP2K, kemudian dibentuk pula Panitia Pelaksana Pembuatan perarem Peraturan Desa Adat tentang café di pantai Kedonganan. Pembuatan perarem dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengelola café dalam melaksanakan operasionalnya sehingga dapat beroperasi dalam iklim usaha yang baik dan mampu mencegah persaingan yang tidak sehat. Peraturan perarem mengatur beberapa hal penting, yaitu penggolongan warga krama sebagai pemilik café, pembagian lokasi café masing-masing banjar, spesifikasi bangunan dan kepemilikan bangunan café serta lahannya. Perarem juga mengatur mengenai kompensasi yang harus dibayarkan oleh café kepada Desa Adat Kedonganan dan jangka waktu pembayarannya, hak dan kewajiban lembaga pengelola BPKP2K, serta beberapa keharusan dan larangan lainnya. Selain itu, perarem juga mengatur mengenai prosedur penanganan pelanggaran, ketentuan mengenai sanksi-sanksi, dan ketentuan mengenai masa berlakunya perarem. Agar ada keteraturan, penegakan aturan-aturan dalam perarem termasuk pemberian sanksi harus lebih dimaksimalkan. Hal itu memerlukan komitmen dan dukungan dari BPKP2K, tiga lembaga utama dan seluruh stakeholder kepariwisataan di pantai Kedonganan. Pembentukan perarem dilakukan dengan tujuan untuk memastikan keberlanjutan kepariwisataan di pantai Kedonganan, melalui seperangkat peraturan untuk mengatur pengelolaan café dan kawasan pantai Kedonganan. Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya merupakan pariwisata yang memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana dengan tetap mengupayakan pelestariannya. Setelah BPKP2K terbentuk, warga masyarakat tetap mengawasi pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan melalui mekanisme perwakilan. Setiap Kepala Lingkungan dan Kepala Adat Kelihan Banjar duduk sebagai anggota dewan pengawas BPKP2K. Dewan pengawas tersebut setiap bulan memperoleh laporan dari BPKP2K melalui mekanisme rapat bulanan. Laporan tersebut akan diteruskan kembali ke seluruh krama warga banjar pada saat sangkep atau paruman rapat sehingga seluruh warga mengetahui perkembangan kepariwisataan pantai Kedonganan termasuk perkembangan café yang mereka 47 miliki.

5.3.4. Hubungan Pihak Pengelola Dengan Masyarakat