Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Dalam Menghadapi Masa Paceklik

(1)

STRATEGI ADAPTASI SOSIAL EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL DALAM MENGHADAPI MASA PACEKLIK

(Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Pematang Kuala Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

090901004 SARWENDAH PUTRI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

1 ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Dalam Menghadapi Masa Paceklik” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat tindakan yang dilakukan para nelayan untuk mengatasi terjadinya masa paceklik akibat keadaan cuaca yang ekstrim. Strategi yang mereka lakukan berupa memanfaatkan anggota keluarga untuk ikut mencari nafkah, mengalihkan pola tangkap dari nelayan melaut menjadi nelayan darat yang kerjanya membubu kepiting rawa, memanfaatkan jasa koperasi (rentenir) sebagai tempat meminjam modal atau untuk kebutuhan ekonomi saat terjadi masa paceklik. Nelayan yang ada di Desa ini sangat rentan akan terjadinya musim paceklik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Dalam Menghadapi Masa Paceklik. Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian ini maka penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data antara lain yaitu: Observasi, Wawancara Mendalam dan Dokumentasi sebagai penguat kevalidan data penelitian. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur dengan menggunakan interview guide, hal ini dilakukan untuk mengetahu realita yang ada dengan pendapat yang dipaparkan informan.

Setekah dilakukan penelitian dan analisis data penelitian, maka terdapat beberapa usaha para nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama yang diprioritaskan adalah untuk kebutuhan pangan, barulah kebutuhan lainnya menyusul setelah kebutuhan pangan tercukupi. Salah satu strategi mereka adalah mengisi waktu luang dengan kerja memancing kepiting rawa, memperbaiki jaring dan alat tangkap lainnya, mengoptimalkan anggota keluarga untuk terjun mencari tambahan penghasilan, kerja mocok-mocok, dan menggunakan jasa koperasi sebagai tempat mengadu dalam hal uang saat terjadi masa paceklik.

i


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul : “Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Dalam Menghadapi Masa Paceklik”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Sosiologi Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan dalam melihat bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional dalam menghadapi masa-masa paceklik di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai.

Penulis menyadari penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan kerjasama dari semua pihak baik dari dukungan moral maupun material. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini terutama ucapan terima kasih yang terbesar kepada kedua orang tua tersayang yang telah melahirkan dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik penulis, tiada hentinya kasih sayang yang beliau curahkan hingga memberi dukungan dan semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Inilah persembahan yang dapat penulis berikan sebagai tanda ucapan terima kasih dan sebagai tanda bakti penulis kepada kedua orang tua.

Dalam penelitian ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yaitu kepada:


(4)

3

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi dan Drs. T. Ilham Saladin, M.Sp, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Terima kasih kepada para dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, terutama untuk dosen di departemen Sosiologi yang pernah menjadi pengasuh pada saat proses perkuliahan di Departemen Sosiologi FISIP USU, yang telah membimbing, memberikan sumbangsih pemikiran dalam aspek Sosiologis, serta pengalaman penelitian dari proses pembuatan proposal penelitian lalu terjun langsung di lapangan dalam melihat realitas sosial, serta pengolahan data penelitian sejak awal perkuliahan hingga selesai kepada penulisan.

5. Terima kasih kepada seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenny Khairifa, Kak Sugi Astuti, Sarifa, dan Kak Betty yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

6. Terima kasih kepada teman-teman Sosiologi angkatan 2009, terima kasih buat Henny, Fitria, Lilis, Siti, May Hermawani, Winda Karo, May Yuliarti, Sauma, Nella, Rani, Nasrul, Risman, Noni, Elisabet, Willer, dan teman-teman

iii


(5)

Sosiologi lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang sejak awal kuliah hingga saat ini sudah banyak memberikan kenangan-kenangan yang sangat indah.

7. Terima kasih juga kepada adik-adik penulis tersayang Wira Sentosa, Milza Wati, dan adik kembar penulis Alvin Apandi dan Alvina Fitriana yang keduanya banyak menghibur penulis saat sedang stress dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Buat teman dekat penulis yang telah memberikan semangat dan sumbangan ide dalam memilih judul penelitian skripsi penulis.

9. Terima kasih buat keluarga yang ada di lokasi penelitian ini dilakukan, khusunya buat keluarga kakak penulis yang ada di Desa Pematang Kuala Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai dan seluruh keluarga lain yang berada di lokasi penelitian. Terima kasih juga buat adik penulis Rahma Yuni yang telah bersedia mendampingi penulis dalam melakukan wawancara dengan informan penelitian.

10.Terakhir untuk keluarga kedua penulis yaitu di kost pertama dan di kost kedua, buat ibu kost dan teman-teman di kost Aini, Bunga, Kak Arie Amanda Putri S.Sos, dan Dina yang telah banyak memberi nasehat dan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan , untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang


(6)

5

dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya. Dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Juni 2014 (Penulis)

NIN: 090901004 SARWENDAH PUTRI

v


(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 15

2.1. Tantangan Yang Dihadapi Nelayan ... 15

2.1.1. Aspek Internal Nelayan ... 15

2.1.2. Aspek Eksternal Nelayan ... 17

2.2. Perubahan Sosial Yang Dikarenakan Faktor Alam ... 19

2.3. Kondisi Alam (Geografis) Yang Mempengaruhi Kehidupan Ekonomi Manusia ... 21

2.3.1. Kondisi Geografis Suatu Wilayah ... 21

2.3.2. Kaitan Antara Kondisi Geografis Dengan Keadaan Penduduknya ... 24

2.4. Kemiskinan Nelayan ... 25

2.5. Strategi Adaptasi ... 31

2.6. Stratifikasi Sosial Pada Masyarakat Nelayan ... 35

2.7. Depenisi Konsep ... 38

BAB III Metode Penelitian ... 45

3.1. Jenis Penelitian ... 45

3.2. Lokasi Penelitian ... 45

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 46

3.3.1. Unit Analisis ... 46

3.3.2. Informan ... 46

3.3.2.1. Informan Kunci ... 46

3.3.2.2. Informan Tambahan ... 46

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.5. Interpretasi Data ... 49

3.6. Jadwal Kegiatan ... 50

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 50

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 52

4.1. Sejarah dan Dinamika Perkembangan Desa ... 52

4.2. Batas Administrasi dan Aksebilitas Desa ... 53

4.3. Topografi ... 54

4.4. Kependudukan dan Sumber Daya Manusia ... 54

4.5. Pola Penggunaan Lahan ... 60

4.6. Pola Produksi Pertanian ... 61

4.6.1. Tanaman Pangan ... 61


(8)

7

4.6.3. Perikanan ... 62

4.7. Sarana dan Fasilitas Umum ... 62

4.7.1. Fasilitas Jalan dan Transportasi ... 62

4.7.2. Fasilitas Listrik ... 63

4.7.3. Fasilitas Air Minum ... 63

4.7.4. Fasilitas Telekomunikasi ... 64

4.7.5. Fasilitas Pemukiman ... 64

4.7.6. Fasilitas Pemerintahan ... 65

BAB V TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA ... 66

5.1. Karakteristik Informan ... 66

5.1.1. Profil Informan Kunci ... 66

5.1.2. Profil Informan Tambahan ... 84

5.2. Proses Kerja Nelayan dan Pola Penangkapan Ikan ... 86

5.2.1. Menjaring atau Memukat ... 87

5.2.2. Memancing ... 88

5.3. Kondisi Ekonomi Keluarga Nelayan ... 89

5.3.1. Pendapatan atau Penghasilan ... 91

5.3.2. Pengeluaran ... 98

5.4. Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan ... 102

5.4.1. Kondisi Alam ... 102

5.4.2. Tingkat Pendidikan Informan ... 103

5.4.3. Pola Kehidupan Nelayan ... 104

5.4.4. Pemasaran Hasil Tangkapan ... 104

5.4.5. Program Pemerintah Yang Tidak Memihak Nelayan ... 105

5.5. Kehidupan Sosial Nelayan ... 106

5.5.1. Serikat Tolong Menolong (STM) ... 106

5.5.2. Perwiritan ... 107

5.5.3. Arisan ... 107

5.6. Stratifikasi Masyarakat Nelayan ... 108

5.7. Tanggapan Informan Terhadap Tindakan Pemerintah Mengenai Kondisi Kehidupan Nelayan ... 110

5.8. Strategi Adaptasi Nelayan Saat Terjadi Masa Paceklik ... 113

5.8.1. Membubu Kepiting Rawa ... 114

5.8.2. Mencari Kerja Mocok-Mocok ... 116

5.8.3. Melibatkan Anggota Keluarga Nelayan ... 118

5.8.4. Berhutang ... 119

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 124

6.1. Kesimpulan ... 124

6.2. Saran ... 126

Daftar Pustaka ... 128 Lampiran

vii


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Kegiatan ... 50

Tabel 2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 55

Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikannya ... 56

Tabel 4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama ... 57

Tabel 5 Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku ... 58

Tabel 6 Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia ... 59

Tabel 7 Status Kepemilikan Lahan ... 60

Tabel 8 Penghasilan/bulan Nelayan Berdasarkan Musim dan Penjualan ... 94

Tabel 9 Penghasilan Rata-rata Informan/bulan Nelayan Berdasarkan Musim ... 96

Tabel 10 Pengeluaran Rata-rata Informan/bulan ... 101


(10)

1 ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Dalam Menghadapi Masa Paceklik” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat tindakan yang dilakukan para nelayan untuk mengatasi terjadinya masa paceklik akibat keadaan cuaca yang ekstrim. Strategi yang mereka lakukan berupa memanfaatkan anggota keluarga untuk ikut mencari nafkah, mengalihkan pola tangkap dari nelayan melaut menjadi nelayan darat yang kerjanya membubu kepiting rawa, memanfaatkan jasa koperasi (rentenir) sebagai tempat meminjam modal atau untuk kebutuhan ekonomi saat terjadi masa paceklik. Nelayan yang ada di Desa ini sangat rentan akan terjadinya musim paceklik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Dalam Menghadapi Masa Paceklik. Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian ini maka penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data antara lain yaitu: Observasi, Wawancara Mendalam dan Dokumentasi sebagai penguat kevalidan data penelitian. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur dengan menggunakan interview guide, hal ini dilakukan untuk mengetahu realita yang ada dengan pendapat yang dipaparkan informan.

Setekah dilakukan penelitian dan analisis data penelitian, maka terdapat beberapa usaha para nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama yang diprioritaskan adalah untuk kebutuhan pangan, barulah kebutuhan lainnya menyusul setelah kebutuhan pangan tercukupi. Salah satu strategi mereka adalah mengisi waktu luang dengan kerja memancing kepiting rawa, memperbaiki jaring dan alat tangkap lainnya, mengoptimalkan anggota keluarga untuk terjun mencari tambahan penghasilan, kerja mocok-mocok, dan menggunakan jasa koperasi sebagai tempat mengadu dalam hal uang saat terjadi masa paceklik.

i


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kajian-kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya (Kusnadi 2000 dalam Pretty et. al.2003 dan Widodo 2011). Keadaan tersebut disebabkan oleh hubungan antara nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) yang diliputi situasi ketidakpastian (Adriati 1992, dalam Kusnadi, 2000 dan Satria 2009). Nelayan menurut Undang-Undang Perikanan nomor 45 tahun 2009, merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan nelayan kecil merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (5GT). Batasan ini mengindikasikan bahwa kehidupan nelayan tergantung langsung pada hasil laut (Mulyadi, 2007) dan menjadikan nelayan sebagai komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia (Kusnadi, 2009).

Sebagaimana masyarakat pada umumnya, nelayan menghadapi sejumlah masalah sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks (Kusnadi, 2009; Satria 2009). Salah satunya mengenai isu degradasi sumber daya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil (Kusnadi 2009). Meskipun World Resources Institute (2002), menempatkan Indonesia berada pada posisi pertama yang memiliki keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, namun pada kenyataannya luas hutan


(12)

10

mangrove yang merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem pesisir telah berkurang 120.000 hektar (Ha) dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (KLH, 2009). Selain mangrove, berdasarkan pemantauan Coremap II dan P2O LIPI di 985 lokasi selama tahun 2008, juga menunjukkan kondisi terumbu karang di Indonesia 5,51 % diantaranya dalam kondisi sangat baik, 25,48 % dalam kondisi baik, 37,06 % dalam kondisi cukup, dan 31,98 % dalam kondisi kurang.

Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini tentunya memberikan dampak yang cukup serius bagi kelangsungan hidup nelayan, terutama nelayan-nelayan skala kecil (Satria 2009). Kejadian ini merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya pesisir dan laut (Satria 2009). Selain masalah degradasi lingkungan, nelayan juga dihadapkan pada dampak perubahan iklim. Laporan ke-empat IPCC yang memenangkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 2007 lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan nelayan sulit menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang tidak menentu dan hal ini berisiko mengubah stabilitas ekosistem, sosial ekonomi masyarakat, dan merusak fungsi planet bumi sebagai penunjang kehidupan (Kusnadi 2009 dalam Satria 2009).

Kajian Davies (1993), pada sumberdaya yang berbasis lahan, perubahan iklim memicu munculnya shock dan stres akibat gagal panen atau harga yang turun atau sumberdaya lahan yang tidak memadai yang kemudian mempengaruhi dasar dari

2


(13)

sumber nafkah rumah tangga. Shock dan stres ini diduga juga terjadi pada nelayan yang diakibatkan oleh rusaknya sumber-sumber mata pencaharian mereka akibat perubahan ekologis. Kondisi ini kemudian menyebabkan munculnya respon dan upaya untuk beradaptasi dalam menghadapi krisis. Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah.

Bennet (1976) dan Pandey (1993) (dalam Indra Fitri 2012), memandang adaptasi sebagai suatu prilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Perilaku responsif tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975 dalam Barlett 1980). Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat bertahan dan


(14)

12

melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya Bennett 1976 (dalam Indra Fitri 2012). Walaupun proses adaptasi pada dasarnya merupakan perubahan tingkahlaku di tingkat individu, akan tetapi dalam bahasan ini proses adaptasi disajikan dalam unit analisis rumah tangga. Adaptasi yang dimaksud adalah bagaimana rumah tangga nelayan di Desa Pematang Kuala melakukan tindakan sosial-ekonomi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang ada di wilayahnya.

Secara alamiah laut memang sulit diprediksi. Gelombang tinggi, angin kencang atau badai, serta rusaknya alam membuat hasil tangkapan semakin sedikit. Di satu sisi masyarakat nelayan mempunyai kelemahan secara struktural. Kemampuan modal yang lemah, manajemen rendah, kelembagaan yang lemah, di bawah cengkeraman tengkulak, dan keterbatasan teknologi. Kita mengetahui nelayan termasuk warga negara kita yang berekonomi lemah, kontras dengan perannya sebagai pahlawan protein bangsa. Kondisi kultural juga bisa mendorong nelayan semakin terjun ke jurang kemiskinan. Kekayaan alam yang besar sering meninabobokan kita semua. Ketergantungan pada sumber daya laut mengakibatkan terjadi kepasrahan, dan ini berakibat tidak adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidak mampuan secara finansial dan belum sejahtera. Selain dari faktor yang

4


(15)

telah dijelaskan sebelumnya, Hal ini juga dikarenakan bagitu banyaknya kendala yang dihadapi oleh nelayan (dalam konteks ini adalah para nelayan tradisional), kendala-kendala tersebut meliputi kurangnya modal untuk melakukan usaha nelayan, penggunaan alat tangkap yang masih tradisional, dan perubahan cuaca (cuaca ekstrim) yang tidak menentu yang menyebabkan para nelayan sulit beroperasi. Sehubungan dengan itu semua, komunitas nelayan bisa miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.

Cuaca menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam penyebab melemahnya ekonomi nelayan tradisional. Dimana untuk melakukan aktifitas melaut, sangat ditentukan oleh baik atau tidaknya keadaan cuaca. Karena keadaan cuaca yang tidak menentu ini akan menyebabkan hasil tangkap para nelayan makin turun dan bahkan tidak mendapat sama sekali, selain itu dengan keadaan ini juga dapat mengancam keselamatan nelayan yang sedang melaut. Jika para nelayan sedang melaut dan disaat itu pula terjadi perubahan cuaca yang sangat buruk, maka selain berpengaruh pada pendapatan ikan, juga berpengaruh pada keselamatan para nelayan, misalnya mereka akan terdampar disuatu pulau, tidak bisa pulang karena tidak bisa melawan ombak atau angin untuk pulang, dan bahkan bisa membuat kapal atau perahu mereka tenggelam dan sebagainya. Berdasarkan dari berbagai penjelasan sebelumnya sudah sangat terlihat jelas bahwa dampak perubahan cuaca (cuaca ekstrim) akan memperburuk keadaan dan mempersulit para nelayan untuk melaut dan


(16)

14

hal ini akan menyebabkan kebutuhan rumah tangga nelayan tidak terpenuhi dan membuat mereka tetap berada dalam kubang kemiskinan dan masa paceklik sangat rentan terjadi seiring dengan terjadinya cuaca ekstrim.

Menurut data resmi sensus penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik).Jumlah penduduk Indonesia hasil sensus 10 tahun terakhir tepatnya pada mei 2010 mencapai 237.641.326 jiwa Sedangkan menurut menteri dalam negeri Gunawan Fauzi, tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 desember 2010 mencapai 259.940.857 jiwa, jumlah ini terdiri dari 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Diantara ratusan juta jiwa penduduk Indonesia masih banyak terdapat masyarakat miskin dan salah satunya adalah pada kalangan masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir, dimana masyarakat nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara penangkapan ikan maupun dengan cara budidaya ikan. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatan. Kehidupan nelayan sampai saat ini belum dapat dikatakan layak bahkan jauh dari kata sejahtera. Jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapat 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Jumlah 7,87 juta orang tersebut berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di kawasan pesisir di berbagai daerah di tanah air (hasil sensus penduduk terakhir adalah pada mei 2010, pada tahun 2013 BPS tidak memiliki kegiatan updating data penduduk, karena sensus diadakan tiap 10 tahun sekali).

6


(17)

Sementara itu di Wilayah Sumatera Utara berdasarkan BBPSEKP (Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan) memutuskan data jumlah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tradisional dalam beberapa tahun terakhir yaitu: pada tahun 2003 tercatat (120.717) jiwa, tahun 2004 (123.932) jiwa, pada tahun 2005 (36.088) jiwa dan pada tahun 2006 terdapat (131.745) jiwa yang bekerja sebagai nelayan dan data tersebut merupakan hasil sensus BBPSEKP tujuh tahun terakhir. Sedangkan data jumlah penduduk nelayan serdang bedagai berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik) berdasarkan sensus pada tahun terakhir yaitu pada tahun 2005 (12.590) jiwa yang terdiri dari (9.778) jiwa sebagai nelayan penuh, dan (2.812) jiwa sebagai nelayan sambilan. Sementara produksi ikan di Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2005 adalah mencapai (23.873,5) ton yang terdiri dari (21.821,8) ton merupakan hasil tangkapan perikanan laut, (111,4) ton perikanan perairan umum, dan (1.940,3) ton merupakan perikanan darat.

Sementara itu, data jumlah penduduk yang ada di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun terakhir yang diadakan pada desember 2011 yang terdiri dari 5 dusun mencapai 2.510 jiwa yang terdiri dari 1.258 jiwa penduduk laki-laki dan 1.252 jiwa penduduk perempuan. Dari 2.510 jumlah penduduk yang ada di Desa Pematang Kuala terdapat 304 jiwa masyarakat yang bekerja sebagai nelayan yang terdiri dari nelayan lepas dan nelayan pinggiran pantai.

Konsep nelayan tradisional yang dimaksud untuk para nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai ini


(18)

16

merupakan nelayan tradisional yang memiliki sampan milik sendiri (sampan milik keluarga, milik kelompok atau milik koperasi), atau nelayan yang menyewa sampan pada juragan, dengan kata lain dalam penyewaan sampan tersebut, para juragan tidak menggaji nelayan berdasarkan sistem gaji bulanan namun, nelayan ini digaji berdasarkan besaran pendapatan tangkap ikan mereka dalam sekali melaut, mereka bukan merupakan anak buah kapal yang bekerja untuk para nelayan dengan kapal yang besar dan dengan alat tangkap yang modern, dan nelayan tradisional yang hanya menggunakan mesin robin atau mesin tempel sebagai alat penggerak sampan serta dengan menggunakan alat tangkap tradisional seperti jala, pancing dan jaring.

Nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini merupakan nelayan tradisional yang sudah turun-temurun dari generasi ke genarasi sudah menjadi nelayan. Di Desa Pematang Kuala ini terdapat 4 jenis kategori nelayan yaitu: Pertama. Nelayan juragan (nelayan ini adalah nelayan yang hanya menyediakan sampan dan modal untuk para pekerjanya atau untuk para nelayan, Kedua. Nelayan toke (nelayan yang bertugas hanya menjadi awak sampan pada saat melaut, artinya nelayan toke ini tidak ikut menangkap ikan melainkan hanya menjadi pengemudi sampan yang mereka gunakan pada saat melaut. ketiga. Nelayan pekerja yang merupakan nelayan tradisional yang bekerja untuk para pemilik sampan atau pemilik modal dan mereka beroperasi di tengah lautan atau nelayan lepas yang menghabiskan waktu hingga 4 sampai 5 hari dan mereka digaji oleh juragan berdasarkan pendapatan hasil tangkap mereka dalam sekali melaut, dan Keempat. Nelayan pinggiran (biasanya nelayan pinggiran menggunakan sampan milik pribadi dan hanya beroperasi disekitar pinggir pantai).

8


(19)

Sebagai nelayan, mereka harus meninggalkan rumah pada saat penduduk yang bukan nelayan sedang menikmati istirahatnya. Mereka harus berada di tengah laut pada malam hari, sementara mereka yang bukan nelayan sedang tidur nyenyak di malam hari. Belum lagi adanya badai yang datang secara tiba-tiba, perahu dan jaringnya tersangkut karang, serta tidak jarang terguyur air hujan yang sangat lebat, sehingga mereka selalu diliputi dengan kedinginan, kekhawatiran dan kewaspadaan ketika bekerja di tengah laut. Pagi hari, ketika mereka sudah berada ditengah-tengah keluarganya kembali dengan keadaan lelah karena kurang tidur, sementara itu warga masyarakat yang bukan nelayan kondisinya lebih sehat karena istirahat yang cukup pada waktu malam harinya. Dengan demikian, dapat dipahami begitu besar kerja keras para nelayan untuk mencari nafkah keluarganya. Namun kerja keras tersebut belum tentu dapat membuahkan hasil yang memuaskan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan baik, karena begitu banyak faktor penyebabnya dan salah satu faktor penyebab yang tidak bisa dihindari yaitu saat terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim saat mereka sedang berada di tengah laut yang menjadi faktor penyebab melemahnya pendapatan nelayan tradisional dan membuat kondisi ekonomi mereka masih berada dalam kondisi belum sejahtera.

Kehidupan ekonomi dari sebagian besar nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini dapat dikatakan berada di posisi menengah kebawah. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan primer dan sekunder mereka, misalnya keadaan rumah, keberadaan dan kelayakan dari sarana dan prasarana air bersih dan toilet, perabot rumah tangga, pendidikan anak dan sebagainya. Tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi nelayan tradisional ini secara tidak memadai dikarenakan begitu banyak


(20)

18

masalah dan persoalan yang mereka hadapi dalam menjalankan rutinitas pekerjaan mereka, cuaca ekstrim merupakan kendala yang paling tidak bisa dihindari dan ditolerir oleh para nelayan. Dalam kondisi cuaca stabil saja belum tentu mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak apalagi saat terjadi cuaca ekstrim yang jelas-jelas membuat nelayan ini harus berhenti melaut karena selain membuat hasil tangkap mereka menurun bahkan juga dapat membahayakan bagi keselamatan nelayan.

Penghasilan dari rata-rata nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala ini masih berada dibawah gaji yang sewajarnya, dari rata-rata penghasilan nelayan ini masih rendah dibanding dengan kebutuhan rumah tangga yang semakin mendesak. Rata-rata penghasilan berkisar diantara Rp.200.000,- kebawah dalam sekali melaut selama 4-5 hari melaut, sangat jarang sekali mereka bisa mendapatkan penghasilan diatas pendapatan rata-rata tersebut, dengan pendapatan rata-rata sebesar RP.200.000,- ini masih merupakan penghasilan kotor belum dikurangi untuk membayar hutang kepada juragan yang biasanya sebesar Rp.50.000,- setiap pergi melaut dan uang ini merupakan pinjaman untuk kebutuhan makan anak dan istri mereka selama ditinggal melaut, pendapatan rata-rata sebesar Rp.200.000 tersebut untuk kategori nelayan tengah. Sementara untuk para nelayan pinggiran yang melaut hanya setengah hari atau pergi pagi pulang sore memiliki penghasilan yang berkisar antara Rp.50.000 kebawah bahkan lebih sering kurang dari Rp.50.000 dan bahkan terkadang tidak mendapat sama sekali. Kehidupan ekonomi rumah tangga nelayan yang termasuk kategori tercukupi dan terpenuhi kebanyakan hanya dirasakan para nelayan juragan. Dengan penghasilan yang tidak menentu pola kehidupan yang boros

10


(21)

juga dapat membuat para nelayan kesulitan dalam menghadapi terjadinya masa paceklik yang dikarenakan terjadinya perubahan cuaca yang harus menuntut mereka untuk tidak melaut. Pada saat pendapatan agak memadai mereka tidak bisa hidup hemat dan menabung untuk keperluan mendesak di kemudian hari. Pada saat mendapat penghasilan yang memadai justru malah boros dan tanpa memikirkan hari esok misalnya penghasilan tersebut digunakan untuk beli baju, parabot rumah tangga, makan enak dan mewah dan sebagainya tanpa memikirkan besok ada rejeki melaut lagi atau tidak.

Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di daerah Indonesia, data prakiraan terjadinya musim hujan yang berpotensi menyebabkan angin dan badai adalah: Awal Musim Hujan 2011/2012 diprakirakan umumnya terjadi pada bulan Oktober dan November 2011 data ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu. Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Hujan terjadi pada Agustus, September, dan Desember 2011, Maret, April, dan Mei 2012. Sementara itu untuk Awal Musim Kemarau 2013 diprakirakan umumnya mulai bulan Mei dan April 2013, dan data ini juga hanya berlaku di beberapa daerah tertentu saja, Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Kemarau terjadi pada Pebruari, Maret, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember 2013.

diakses

pada tanggal 18 juli 2013, pukul 22:35 WIB).

Di Desa Pematang Kuala Perubahan iklim yang sering terjadi dan dialami oleh para nelayan tradisional biasanya seperti gelombang tinggi di laut, angin kencang atau bahkan terjadi badai, hujan dan sebagainya. Cuaca ekstrim ini terjadi


(22)

20

hampir di setiap bulan dan datang tidak menentu terkadang datang pada saat para nelayan lagi tidak melaut dan mereka dapat menunda keberangkatan melautnya dan kadang kalanya cuaca ekstrim tersebut datang ketika para nelayan masih berada di tengah lautan yang membuat mereka sulit untuk kembali ke daratan. Nelayan di sini mayoritas menggunakan sampan yang berukuran sedang dan kecil dengan menggunakan mesin sebagai penggerak sampan sehingga dengan terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan mengganggu aktivitas melaut para nelayan tradisional, dan akan berdampak pada merendahnya hasil tangkap para nelayan. Dengan terjadinya cuaca ekstrim dan dibarengi dengan menurunnya penghasilan nelayan, akan sangat mudah terjadi musim pacekli, yang terjadi hampir setiap terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim.

Seiring dengan seringnya terjadi masa paceklik yang dialami oleh para nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai ini, peneliti lebih tertarik dan fokus untuk melihat bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi para nelayan tradisional ini dalam menghadapi perubahan cuaca yang berdampak pada terjadinya masa paceklik. Dengan kondisi pekerjaan yang penuh dengan tantangan dan dengan penghasilan yang sangat minim yang belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak tercukupi karena kebutuhan hidup yang mendesak, misalnya mulai dari kebutuhan sandang dan pangan hingga pendidikan anak-anak yang semakin mahal bagaimana bisa mereka tetap bertahan dengan pekerjaan sebagai nelayan dan jarang ada para nelayan di desa ini yang memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai nelayan. Strategi seperti apa yang mereka lakukan dalam situasi paceklik tersebut.

12


(23)

1.2.Rumusan Masalah

Sebuah penelitian harus memiliki batas-batas permasalahan yang harus diamatai atau diteliti agar penelitian tersebut dapat terfokus dalam satu permasalahan dapat diselesaikan dan penelitian tidak lari dari jalur yang telah ditetapkan. Oleh karena itu berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan para masyarakat nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala, Kec. Teluk Mengkudu, Kab. Serdang Bedagai dalam menghadapi masa paceklik.

1.3.Tujuan Penelitian

Setelah merumuskan masalah yang akan diteliti pada sebuah penelitian, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan penelitian yang sejalan dengan rumusan masalah penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah diatas adalah untuk mengetahuai bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala dalam menghadapi masa paceklik.

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah penelitian telah selesai dilaksanakan. Adapun manfaat penelitian dalam penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk perbandingan atas


(24)

22

masalah yang sama terutama dalam bidang ilmu Sosial, masyarakat, khususnya mengenai masyarakat pesisir.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah melalui penelitian ini dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam melihat keadaan masyarakat pesisir khususnya dari aspek ekonominya.

14


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tantangan Yang Dihadapi Nelayan

2.1.1. Aspek Internal Nelayan

1. Teknologi Penangkapan Ikan yang Masih Tradisional

Dalam melakukan pekerjaannya sebagai nelayan tradisional secara umum dan keseluruhannya menggunakan alat tangkap ikan yang masih tradisional seperti jaring dan pancing. Seperti sebutannya sebagai nelayan tradisional maka alat tangkap yang mereka gunakan juga masih tradisional. Tujuannya adalah agar menjaga komunitas laut agar tidak punah seperti untuk melindungi karang di dasar laut, ikan dan semua sumber daya laut lainnya.

Selain itu, penggunaan alat tangkap modern juga mendapat larangan dari Pemerintah dan bagi masyarakat yang melanggarnya akan dikenakan sanksi yang sangat tegas oleh menteri kelautan. Dengan penggunaan alat tangkap yang masih tradisional ini akan membuat hasil tangkapan para nelayan juga kurang memadai. Selain karena adanya larangan atas penggunaan alat tangkap modern dalam melakukan pekerjaan mereka sebagai nelayan, para nelayan tradisional di desa ini juga tidak mampu membeli atau mendapatkan alat tangkap modern karena modal yang mereka miliki sangat terbatas. Dengan menggunakan teknologi penangkapan ikan yang masih tradisional ini menyebabkan penghasilan para nelayan juga sangat rendah.


(26)

24

Tidak berkembangnya usaha perikanan tangkap secara optimal salah satunya karena keterbatasan modal baik modal investasi maupun modal usaha. Padahal apabila dilihat dari kebutuhan modal yang diperlukan, usaha penangkapan ikan membutuhkan modal yang relatif besar, misalnya bila dibandingkan dengan usaha pertanian tanaman pangan. Dengan tidak adanya modal, jelas-jelas nelayan tidak bisa beroperasi karena untuk melaut mereka sangat membutuhkan modal yang relatif besar mulai dari kebutuhan makan selama melaut, kebutuhan akan peralatan untuk melaut seperti bensin untuk menghidupkan mesin sampan, batu es untuk mengawetkan ikan-ikan yang sudah didapat, peralatan pancing, jaring dan sebagainya. Salah satu cara para nelayan tradisional untuk mendapatkan modal melaut yang cukup adalah dengan meminjam dana kepada para pemilik modal atau memilik sampan yang kemudian hasil dari melaut mereka akan dibagi untuk para pemilik modal tersebut.

3. Keterikatan Dengan Juragan atau Pemilik Sampan

Dengan tidak memadainya modal yang dimiliki nelayan tradisional akan membuat mereka menjadi terikat dengan para juragan atau pemilik sampan, di mana modal yang mereka gunakan berasal dari pemilik sampan ini. Dalam penyediaan alat produksi, nelayan seringkali harus membina hubungan dengan pihak penyandang dana. Nelayan juragan pun membina hubungan dengan nelayan biasa yang akan membantunya dalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam aktivitas distribusi pemasaran, para nelayan juga berhubungan dengan pihak lain seperti para pedagang. Berbagai hubungan yang dibina oleh para nelayan tersebut menunjukkan bahwa hubungan tersebut dapat seimbang atau tidak seimbang. Hubungan tidak seimbang

16


(27)

biasanya menjadi hubungan patron-klien, di mana patron mempunyai dan memperoleh sumber daya yang berlebih dibanding kliennya. Sedangkan hubungan yang seimbang memperlihatkan pola hubungan yang bersifat pertemanan, seperti hubungan antar nelayan. Kedua pola hubungan sosial tersebut terjadi pada kelompok nelayan kecil (tradisional) atau pun pada kelompok nelayan besar. Namun, pola hubungan dalam kelompok nelayan besar lebih kompleks daripada dalam kelompok nelayan kecil, baik segi kuantitas atau pun kualitasnya.

2.1.2. Aspek Eksternal Nelayan.

1. Perubahan Cuaca yang Tidak Menentu (Cuaca Ekstrim).

Perubahan cuaca (cuaca ekstrim) yang datang tidak menentu, akan menjadi sangat berdampak besar bagi para nelayan, dampak ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat nelayan tradisional saja, namun para nelayan modern dengan alat tangkap ikan yang besar-besaran juga ikut merasakan dampak perubahan cuaca. Dengan cuaca yang tidak menentu ini akan mempengaruhi pendapatan nelayan dan sangat berdampak pada melemahnya kehidupan ekonomi rumah tangga mereka dan rentan terjadi masa paceklik. Hal ini dikarenakan nelayan merupakan sumber mata pencaharian yang utama bagi sebagian besar para nelayan tradisional yang berada di sekitar penggiran pantai dan di desa-desa nelayan. Ketika terjadi perubahan cuaca dari standard menjadi ekstrim, misalnya terjadi gelombang laut yang sangat tinggi, atau hujan badai di laut dan sebagainya, para nelayan tradisional di sini sama sekali mengalami pendapatan hasil tangkap yang sangat menurun bahkan sama sekali tidak mendapat ikan tangkapan, jangankan untuk dijual, untuk konsumsi keluarga mereka saja tidak terpenuhi. Dengan demikian, jangankan untuk membeli kebutuhan


(28)

26

sekunder lainnya, untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan keluarga mereka saja sangat sulit untuk dipenuhi.

2. Kurangnya Pengetahuan Nelayan Tentang Adanya Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), atau Daerah Maritim Kelautan.

Sebelum diadakannnya Konferensi Hukum Laut III (1974-1982), pemerintah RI telah berhasil mengadakan Perjanjian Garis Batas Landas Kontinental dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, India, Singapura, Papua Nugini, dan Australia. Batas maritim ini artinya batas laut masing-masing negara dimana dengan adanya batas maritim ini akan memberi peraturan-peraturan bagi negara-negara luar yang ingin masuk ke negara-negara Indonesia. Meskipun setiap negara-negara memiliki daerah maritim masing-masing, warga negara lain masih dapat masuk ke wilayah Indonesia dengan tujuan tertentu, misalnya untuk berlayar atau berhubungan dengan negara-negara lain dan sebagainya selama itu tidak merugikan dan merusak laut Indonesia dan sebaliknya. Di sisi lain, ada larangan yang tidak diperbolehkan untuk melewati daerah batas maritim negara lain, misalnya menangkap ikan dan melakukan penangkapan ikan besar-besaran dengan menggunakan teknologi modern di daerah maritim negara lain, jangankan di daerah maritim di negara lain, di wilayah kelautan Indonesia sendiri saja tidak dibenarkan untuk menggunakan alat modern dalam menankap ikan bagi para nelayan karena hal itu akan dapat merusak dan memusnahkan spesies laut.

Dengan adanya pembatasan daerah maritim tiap negara, nelayan indonesia sudah jelas tidak boleh melaut sampai melewati batas maritim negara lain begitu juga sebaliknya. Dengan kurangnya pengetahuan tentang daerah maritim kepulauan

18


(29)

Indonesia banyak nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini yang sering kelewatan batas dalam melakukan pelayarannya dalam mencari ikan. Namun ada juga sebagian nelayan yang mengetahui hal tersebut, akan tetapi mereka masih tetap melewati batas maritim dikarenakan menurut mereka di laut negara tetangga tersebut masih banyak ikan-ikan yang bisa mereka dapatkan.

Nelayan di desa ini sering tertangkap oleh tentara Malaysia karena telah melewati batas laut Indonesia dan sampai ke wilayah laut Malaysia. Biasanya para nelayan tradisional di sini juga sering dibawa arus hingga melewati laut Indonesia, hal ini dikarenakan terjadinya perubahan cuaca disaat mereka sedang melaut. Dalam hal ini, sangat jelas bahwa dampak cuaca juga menyebabkan para nelayan tradisional ini melewati batas laut kita, sehingga akan ditangkap tentara Malaysia dan dikenakan sanksi dipenjara berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara mereka, akibatnya nelayan tradisional di sini tidak dapat lagi melaut dalam beberapa bulan masa tahanannya. Dengan demikian akan tidak terpenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga nelayan tersebut.

2.2. Perubahan Sosial yang Dikarenakan Faktor Alam.

Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup perubahan dalam aspek-aspek struktur dari suatu masyarakat, atau karena terjadinya perubahan dari faktor lingkungan, dikarenakan berubahnya sistem komposisi penduduk, keadaan geografis, serta berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan pada lembaga masyarakat.

Perubahan cuaca (cuaca ekstrim) tidak hanya berdampak pada kehidupan nelayan atau para petani saja. Begitu banyak dampak yang ditimbulkan dengan


(30)

28

adanya perubahan cuaca yang tidak menentu. Bagi manusia, alam mempunyai makna yang sangat penting bagi kehidupannya.Misalnya alam mempunyai nilai estetika yang mendorong manusia untuk cinta pada alam, alam sebagai sumber penyediaan bahan-bahan makanan dan pakaian, serta alam menjadi sumber kesehatan, keindahan, dan hiburan atau rekreasi. Mengingat pentingnya alam bagi kehidupan manusia, maka sudah seharusnyalah kita menjalin keserasian hubungan dengan alam yang ada di sekitar kita agar tetap terjaga kelestariannya. Namun apa yang terjadi? Tidak jarang tindakan manusia justru mengakibatkan munculnya kerusakan alam. Misalnya tindakan manusia menebang hutan secara liar.Tindakan tersebut dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor pada musim penghujan karena terjadinya pengikisan tanah oleh air hujan (erosi).Akibatnya banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan sarana umum lainnya.

Faktor alam yang tidak baik akan berdampak pada terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir besar, angin taufan, dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat terjadinya perubahan sosial budaya pada suatu masyarakat. Peristiwa-peristiwa semacam itu mungkin dapat menyebabkan bahwa masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru pula. Dengan kejadian yang semacam itu, kemungkinan akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatannya dan perubahan-perubahan pola mata pencaharian yang berbeda pula.

20


(31)

penyebab-perubahan.oh112690.html diakses pada tanggal 27 september 2013 pukul 07:22 WIB.

2.3.Kondisi Alam (Geografis) Mempengaruhi Kehidupan Ekonomi Manusia.

Dalam usaha memahami perkembangan lingkungannya, manusia diharapkan dapat mengenali unsur-unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kehidupannya, baik unsur fisik (alam) maupun unsur sosial. Unsur lingkungan fisik disebut sebagai kondisi geografis, sedangkan unsur lingkungan sosial dalam ilmu geografi lebih mengarah kepada kondisi penduduk yang dipengaruhi oleh kondisi geografisnya. Oleh karena itu, keterkaitan antara kondisi geografis dengan kondisi penduduknya sangat erat. Kondisi geografis dan penduduk di setiap wilayah di permukaan bumi berbeda-beda, hal ini tergantung pada kuantitas dan kualitas unsur pendukung lingkungan yang ada pada suatu wilayah. Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi geografis dan penduduk di sekitar lingkungan, masyarakat harus dapat memahami unsur-unsur yang berpengaruh terhadap kehidupan ekonominya.

2.3.1. Kondisi Geografis suatu Wilayah.

Yang termasuk unsur-unsur lingkungan fisik geografis meliputi unsur letak, relief, cuaca dan iklim, jenis tanah, flora dan fauna, sumber daya air dan kelautan, serta sumber daya mineral. Unsur-unsur ini mempengaruhi corak kehidupan manusia. Oleh karena itu, masyarakat harus memahami ciri-ciri lingkungan fisik geografis suatu wilayah yang mereka tempati, dengan demikian masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, bahkan dapat memanfaatkan sumber


(32)

30

daya alam secara optimal untuk kepentingan hidup manusia. Berikut adalah kondisi fisik geografis yang dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi manusia, yaitu:

a. Letak : kondisi letak suatu wilayah biasanya berhubungan dengan unsur lokasi, posisi, batas, bentuk, dan luas suatu wilayah.

b. Relief : relief atau topografi adalah keadaan tinggi rendahnya bentuk permukaan bumi. Penampakan relief yang berhubungan dengan relief wilayah daratan terdiri atas pegunungan, gunung, dataran tinggi, dataran rendah, lembah, dan dataran pantai. Sedangkan relief daerah perairan daratan berupa danau, sungai, rawa, teluk, selat, dan terusan. Penampakan alam relief dasar laut terdiri atas bentuk paparan benua, lereng benua, lubuk laut, palung laut, punggung laut, ambang laut dan gunung laut. Relief juga sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya, kehidupan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar relief daratan yang umumnya bermatapencaharian sebagai petani akan berbeda dengan kehidupan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah relief perairan yang umumnya bekerja sebagai nelayan.

c. Cuaca dan iklim : dalam ilmu geografi yang termasuk dalam unsur-unsur cuaca dan iklim yaitu curah hujan, arah angin, tekanan udara, suhu udara, dan kelembaban udara. Unsur-unsur cuaca dan iklim merupakan bagian dari kondisi geografis. Unsur cuaca dan iklim ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi manusia khususnya untuk masyarakat petani dan nelayan. Pada masyarakat petani unsur cuaca akan mempengaruhi pertumbuhan cocok tanam mereka sedangkan pada masyarakat nelayan, cuaca dan iklim akan

22


(33)

akan mempengaruhi aktivitas melaut mereka dan menentukan pendapatan hasil tangkap nelayan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi para nelayan.

d. Flora dan fauna : fauna adalah jenis hewan yang hidup dalam suatu wilayah, sedangkan flora adalah spesies tumbuh-tumbuhan yang hidup di suatu kawasan dan tumbuh secara alami. Flora dan fauna yang terdapat dalam suatu kawasan berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Flora dan fauna bisa menjadi sumber kehidupan yang dapat diambil manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yaitu sebagai bahan makanan, pakaian, perumahan, alat transfortasi dan lain-lain.

e. Jenis tanah : tanah memiliki nilai yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup di muka bumi. Tanah merupakan bagian lapisan yang berbentuk kulit bumi paling atas dan sangat tipis yang terbentuk dari berbagai campuran batuan induk yang telah lapuk, air, udara, jasat tumbuhan dan binatang yang telah mati. Persebaran berbagai jenis tanah di berbagai pulau di Indonesia tidak merata dan berbeda-beda pula tingkat kesuburannya. Bahkan dalam suatu wilayah pulaupun akan nampak perbedaan tersebut. Hal ini bergantung pada ketersediaan faktor-faktor gejala alam yang berpengaruh terhadap pembentukan jenis-jenis tanah dan tingkat kesuburannya.

f. Sumber daya air dan kelautan : sumber daya air yang ada di daratan dan sumber daya kelautan merupakan kondisi gejala alam yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup khususnya manusia. Air yang ada di daratan baik langsung maupun tidak sangat banyak manfaatnya untuk kehidupan manusia.


(34)

32

Demikian pula segala potensi yang dikandung lautan jika digali dan diberdayakan sungguh suatu karunia kekayaan dari sang Maha pencipta alam yang tidak terhingga banyaknya dan tidak akan pernah habis untuk kita manfaatkan. Sumber daya kelautan adalah segala potensi yang dikandung oleh permukaan, didalam, dan di dasar laut yang dapat memberi manfaat. Sumber daya kelautan dapat kita manfaatkan sebagai sumber perikanan, energi, jalur transfortasi, keseimbangan iklim bumi, persediaan air, obat-obatan, sarana olah raga dan lain-lain.

g. Sumber daya mineral : adalah segala potensi alam yang berupa bahan galian yang terdapat pada perut bumi dan diperoleh melalui proses pertambangan (eksplorasi). Sumber daya mineral meliputi barang-barang galian tambang berupa energi migas dan nonmigas, mineral logam, serta batu nonlogam. Contohnya minyak bumi, batu bara, bauksit, timah, nikel, tembaga, besi, perak, emas, aspal alam, belerang, gas alam dan sebagainya. Sumber daya mineral sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kepentingan dalam bidang perindustrian, sarana transportasi, peralatan rumah tangga dan sebagainya.

2.3.2. Kaitan Antara Kondisi Geografis dengan Keadaan Penduduknya.

Kondisi geografis suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya, kondisi geografis mempengaruhi kondisi sosial ekonomi penduduk wilayah tertentu. Oleh sebab itu manusia dengan segala kecerdasan dan kemauannya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan geografisnya atau berupaya mengubah kondisi

24


(35)

lingkungan tersebut sesuai dengan kepentingannya. Adanya keragaman kondisi geografis tiap wilayah memunculkan corak mata pencaharian, pola-pola pemukiman, tradisi, adat-istiadat, dan aspek kehidupan sosial lainnya. 2013, pukul 10:37 WIB).

2.4.Kemiskinan Nelayan.

Menurut Imron (dalam Indra Fitri 2012:20), kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan dapat bermakna subjektif, tetapi juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada diatas batas garis kemiskinan, yang menurut ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain yang pendapatannya lebih tinggi dari dirinya (Mulyadi 2005: 47).

Terdapat begitu beragam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tentang kemiskinan. Pada dasarnya kemiskinan merujuk pada suatu kondisi kekurangan harta benda materi atau pemenuhan kebutuhan dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan hidup, suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Suparlan (dalam Indra Fitri 2012:21),


(36)

34

tingkat kesejahteraan hidup yang rendah dapat secara langsung tampak pengaruhnya terhadap:

1. Tingkat pemenuhan kebutuhan primer seperti kesehatan, makanan yang dikonsumsi, pakaian yang disandang, kondisi rumah yang dihuni, dan kondisi pemukiman tempat tinggal.

2. Tingkat atau bentuk pemenuhan kebutuhan sekunder untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sosial yang lebih luas, yang mampu memperjuangkan kepentingan sesama orang miskin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 3. Secara tidak langsung tampak dalam kehidupan moral, etika, dan estetika,

yang digunakan oleh mereka yang hidup dalam kondisi miskin sebagai pedoman hidup, harapan dan harga diri yang mereka punya sebagaimana tercermin dalam sikap-sikap dan tindakan mereka (Tjeptjep 2000: 25).

Pada masyarakat yang heterogen, faktor-faktor penyebab kemiskinan juga beragam. Terdapat lima masalah pokok yang terkait penyebab kemiskinan masyarakat nelayan yaitu:

1. Kondisi alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi karena masyarakat nelayan hidup dalam kondisi suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.

2. Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum benyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah, dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.


(37)

3. Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.

4. Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga dibawah harga pasar.

5. Program pemerintah yang belum memihak pada nelayan. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersipat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan para nelayan.

Menurut Raymond Firth (dalam Indra Fitri 2012:22), kemiskinan nelayan paling tidak dicirikan oleh lima karakteristik. Pertama pendapatan nelayan bersifat harian dan jumlahnya sulit ditentukan, selain itu pendapatannya juga sangat bergantung dengan musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti dia sebagai juragan (nelayan pemilik alat produksi) atau nelayan pekerja. Dengan pendapatan yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat tergantung pada musim, mereka (khususnya nelayan pekerja) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan


(38)

36

pendapatannya, keadaan demikian mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutupi kebutuhan keluarga sehari-hari bahkan sering tidak menutupi kebutuhan tersebut.

Kedua, dilihat dari pendidikannya, tingkat pendidikan nelayan atau anak-anak nelayan pada umumnya rendah. Kondisi demikian akan mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Ketiga, dibandingkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk tersebut merupakan bukan makanan pokok. Selain itu, sifat produk yang mudah rusak atau baru harus segera dipasarkan, menimbulkan ketergantungan yang besar bagi nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai oleh pedagang. Keempat, bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar jika dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu, nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana ataupun hanya menjadi anak buah kapal (ABK). Kelima, kehidupan nelayan yang miskin diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada suatu mata pencaharian, yaitu menangkap ikan. Keluarga nelayan memiliki kebiasaan tidak mengikutsertakan perempuan dan anak-anak dalam penangkapan ikan.

28


(39)

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2006). Sedangkan menurut Depsos, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poperty line). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan serta 2.100 kilo per kalori per orang setiap harinya dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005).

Pada dasarnya kemiskinan terbagi kedalam berbagai ciri atau SMERU memberikan identifikasi kemiskinan (Suharto, 2005), sebagai berikut:

1. Ketidakmampuan memenuhi konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan). 2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,

pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

4. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

5. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

6. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 7. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal. 8. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya

alam.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Kriteria untuk Rumah Tangga Miskin untuk daerah Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatoligi dan Geofisika (BMKG) terdapat 14 kriteria untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah keluarga, yaitu:


(40)

38

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu, rumbia, kayu berkualitas

rendah atau tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumber atau mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar, arang, atau minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik. 12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5

Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.600.000 per bulan.

13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan harga senilai Rp.500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

30


(41)

Melalui kriteria kemiskinan tersebut masih banyak keluarga di Indonesia yang masuk kategori dibawah garis kemiskinan, keluarga pra sejahtera, keluarga miskin dan sebutan lainnya, dan kemiskinan dominan dirasakan oleh masyarakat yang berdomisili di daerah pesisir atau masyarakat yang bermatapencaharian utamanya sebagai nelayan tradisional.

2.5.Strategi Adaptasi

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungannya. Individu memiliki hubungan dengan lingkungannya yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang ia perlukan. Dalam arti luas, penyesuaian diri berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkunan atau autoplatis (dibentuk sendiri), tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Jadi penyesuaian diri ada yang ‘’pasif’’ dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang ‘’aktif’’ dimana kita mempengaruhi lingkungan. Menurut Woodworth, pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya. Individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya (Gerungan 2009:59).

Edi Suharto (Damsar, 2003 dalam Indra Fitri 2012:13), menyatakan strategi bertahan hidup (coping strategis) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:


(42)

40 1. Strategi aktif

Yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktifitasnya sendiri), memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya.

2. Strategi pasif

Yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya).

3. Strategi jaringan

Misalnya menjalin relasi, baik secara formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya maupun lingkungan kelembagaan (misalnya meminjam uang tetangga, mengutang diwarung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya).

25 september 2013 pukul 19:38 WIB.

Menurut Bennet (dalam Indra Fitri 2012:13), adaptasi merupakan tingkah laku penyesuai (behavioral adaptation) yang menunjuk pada tindakan. Adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup. Oleh karena itu, pada suatu kelompok adaptasi dapat memberi kesempatan untuk bertahan hidup. Adaptasi terhadap lingkungan tersebut merupakan tingkah laku yang diulang-ulang, dalam hal ini akan menimbulkan terjadinya dua kemungkinan. Pertama, adalah tingkah laku meniru (coping) yang berhasil sebagaimana yang diterapkan. Kedua, adalah mereka tidak melakukan peniruan karena yang terjadi dianggap tidak sesuai dengan harapan. Keberhasilan dalam tingkah laku meniru ini menimbulkan

32


(43)

terjadinya penyesuaian individu terhadap lingkungannya (adaptation) atau terjadi penyesuaian dengan keadaan lingkungan pada diri individu (Mulyadi 2005:11-12).

Menurut Suparlan (1993:2) adaptasi itu sendiri pada hakikatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut yaitu:

1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kestabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainnya).

2. Syarat kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasan takut, keterpencilan, gelisah, dan lain-lain).

3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keteraturan, untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaannya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh, dan lain-lain).

Soerjono Soekanto (2000 :10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.


(44)

42

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.

Adaptasi manusia dapat dilihat secara fungsional dan prosesual. Adaptasi fungsional merupakan respon suatu organisme atau sistem yang bertujuan untuk mempetahankan kondisi stabil (homeostatis). Adapun adaptasi prosesual merupakan sistem tingkah laku yang dibentuk sebagai akibat dari proses penyesuaian manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan disekitarnya. Proses adaptasi merupakan salah satu dari bagian proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Mulyadi 2005 : 12).

Pada umumnya masyarakat nelayan mempunyai pemahaman sendiri tentang kondisi laut sekitarnya, menghadapi kondisi tersebut mereka memiliki pola-pola adaptasi yang berbeda dan sering sekali tidak dipahami oleh masyarakat diluar komunitasnya untuk menghadapi akibat resiko dan penghasilan yang serba tidak menentu. Adanya resiko dan ketidakpastian dalam hal pendapatan, nelayan Desa Pematang Kuala menyiasati dengan menggunakan pola-pola adaptasi yang mereka ketahui berupa menyesuaiakan peralatan tangkap mereka dengan kondisi laut guna memaksimalkan penghasilan mereka.

Dalam penerapan suatu strategi, nelayan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Scoones 1998 (dalam Karunia 2011) menyebutkan bahwa terdapat berbagai strategi yang dimanfaatkan masyarakat dalam upaya untuk bertahan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimilikinya, yaitu:

34


(45)

a. Rekayasa sumberdaya nafkah yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor produksi secara lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (ekstensifikasi) maupun dengan memperluas lahan produksi (intensifikasi).

b. Pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan).

c. Rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara melakukan mobilisasi baik secara permanen maupun secara sirkuler. Sirkuler adalah surat edaran atau daftar yang dikirimkan kepada beberapa orang di beberapa tempat untuk menyampaikan pesan agar dapat diketahui ataupun dilaksanakan. 2.6.Stratifikasi Sosial Pada Masyarakat Nelayan

Pemahaman antara stratifikasi sosial dan kelas sosial sering kali disamakan, padahal disisi lain pengertian antara stratifikasi sosial dan kelas sosial terdapat perbedaan. Stratifikasi sosial lebih merujuk pada pengelompokan orang kedalam tingkatan atau strata dalam hirarki secara vertikal. Membicarakan stratifikasi sosial berarti mengkaji posisi atau kedudukan antar – orang atau kelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat. Sedangkan adapun pengertian kelas sosial sebenarnya berada dalam ruang lingkup kajian yang lebih sempit, artinya kelas sosial lebih merujuk pada satu lapisan atau strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. Dengan demikian kelas sosial cenderung diartikan sebagai kelompok yang anggota-anggota memiliki orientasi politik, nilai budaya, sikap dan perilaku sosial yang secara umum


(46)

44

sama. Misalnya masyarakat kelas menengah keatas dalam banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam hal penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan sarana transportasi yang digunakan atau bahkan mereknya, tetapi diantara mereka biasanya juga berbeda ideologi, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya.

Menurut Soerjono Soekanto (1982), didalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apa pun yang bernilai ekonomis. Di berbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu sama. Misalnya di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak sering kali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis. Sementara itu dikalangan masyarakat kota yang modern, yang terjadi sering kali sebaliknya.

Pitirim A. Sorokin (dalam Soerjono Soekanto : 1982) mengemukakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudanya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.

Karl Marx beranggapan (dalam Elly dan Usman 2011:412) bahwa masyarakat dan kegiatan-kegiatannya pada dasarnya merupakan alat-alat yang terorganisasi agar manusia dapat tetap hidup. Di dalam struktur masyarakat kelas sosial kenyataan

36


(47)

dalam masyarakat yang timbul dari sistem produksi akibat ada anggota yang memiliki tanah dan alat-alat produksi. Kriteria lainnya dalah tingkat kebebasan pribadi sebagai pemisah antara kelas-kelas yang seharusnya, tetapi hanya dengan memiliki kriteria pemilikan alat produksi menjadi termasuk dalam kelas yang sama. Misalnya dibedakan antara budak dan proletar, yaitu budak menjadi harta atau kekayaan dari kelas lain, sedangkan proletar adalah orang bebas yang dapat menjual tenaga kerjanya. Jadi, kelas didalam hal ini digunakan dalam rangka ekonomi, dan berada dalam pertentangan untuk berebut kekuasaan. Kemudian Marx meramalkan akan terbentuk suatu masyarakat dimana semua kelas (pengertian Marx) akan lenyap dengan sendirinya. Segala sesuatu yang masih berada diluar landasan produksi hanya mewujudkan lapisan atas yang ideologis, misalnya nisbah-nisbah dari sistem politik dan kehakiman, pandangan-pandangan, teori-teori, kesenian, filsafat dan juga agama. Lambat laun, atau mungkin cepat, semua itu akan berubah bersama-sama dengan perubahan dalam tata masyarakat dan tata ekonomi.

Kaum proletar diperas tenaganya oleh kaum kapitalis dengan apa yang disebut “nilai lebih”, sebab pekerja memberi nilai lebih kepada majikan, dan pembayaran yang diterima pekerja lebih rendah daripada nilai produksi yang dihasilkannya. Kekuatan yang mendorong kaum kapitalis adalah keinginan untuk menambah milik mereka dari adanya persaingan diantara perusahaan. Akibatnya monopoli ada ditangan kaum kapitalis dan perusahaan kecil serta lemah gulung tikar. Jurang diantara yang kaya dengan yang miskin akan menimbulkan krisis, dimana produksi melimpah dan daya beli tidak ada. Maka pada saat inilah menurut Marx, kaum


(48)

46

proletar akan merebut kekuasaan dengan revolusi, dan disusul oleh masyarakat tanpa kelas.

Dalam penelitian ini, konsep stratifikasi sosial sangat terlihat jelas dimana dalam masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan terdapat tingkatan-tingkatan atau kedudukan-kedudukan yang membedakan antar nelayan. Hal ini dapat dilihat dari aspek kelas sosial, kedudukan dan aspek ekonominya. Oleh karena pada masyarakat nelayan juga memiliki pelapisan atau tingkatan kedudukan yang berbeda yaitu antara kelas borjuis dan proletar atau bisa juga disebut antara kelas pemilik modal dan kelas pekerja atau buruh , maka konsep stratifikasi sosial dapat dikaitkan dengan penelitian ini. Dalam konteks ini, dampak dari perubaan cuaca bukan hanya dirasakan oleh nelayan buruh namun juga sangat berdampak bagi nelayan pemilik modal atau pemilik kapal. Artinya akibat dari perubahan cuaca tersebut, kehidupan ekonomi para pemilik modal juga mengalami pasang surut yang tidak menentu. Jika terjadi perubahan cuaca yang tidak menentu, pemilik modal juga merasakan rugi yang amat besar karena modal awal atau untuk belanja para nelayan buruh selama berada dilaut berasal dari pemilik modal atau pemilik sampan, dan sebaliknya pada saat cuaca stabil dan pendapatan nelayan buruh meningkat maka para pemilik modal ini juga dapat meraup keuntungan yang lebih besar.

2.7.Defenisi Konsep.

Konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang merujuk pada kenyataan nyata ke dalam empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna. Dalam sosiologis, konsep menegaskan dan menetapkan apa yang akan di

38


(49)

observasi (Suyanto, 2005:49). Definisi konsep adalah rangkuman peneliti dalam menjelaskan peristiwa yang akan diteliti nantinya. Konsep yang digunakan sebagai konteks penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Strategi adaptasi merupakan rencana yang cermat yang dilakukan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi tertentu untuk mencapai sasaran khusus yang ingin dicapai. Dalam melakukan suatu strategi terdapat tiga istilah kata yang membedakan tindakan adatasi yang dilakukan seseorang. Pertama : Proaktif berarti lebih daripada sekedar mengambil inisiatif. Kata ini mengandung arti, bahwa sebagai manusia, kita bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Perilaku kita adalah fungsi dari keputusan kita, bukan kondisi kita. Orang yang sangat proaktif mengenali tanggung jawab. Mereka tidak menyalahkan keadaan, masa lalu, dan kondisi. Perilaku mereka adalah produk dari pilihan sadar mereka, yang berdasar nilai, dan bukan produk dari kondisi mereka yang berdasar perasaan dan masa lalu mereka. Kedua : Kreatif yang merupakan seseorang tersebut mampu menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru. Misalnya pada masyarakat nelayan mereka mampu menciptakan pekerjaan baru atau pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu mereka pada saat terjadinya cuaca ekstrim yang tidak memungkinkan mereka untuk melaut dan mampu menghasilkan uang dari pekerjaan yang mereka ciptakan tersebut. Ketiga : Pasif yang merupakan suatu tindakan seseorang


(50)

48

yang bersifat menerima saja, tidak giat dan tidak aktif yang hanya pasrah akan keadaan yang dia terima.

2. Cuaca ekstrim adalah fenomena meteorologi yang ekstrim dalam sejarah (distribusi), khususnya fenomena cuaca yang mempunyai potensi menimbulkan bencana, menghancurkan tatanan kehidupan sosial, atau yang menimbulkan korban jiwa manusia. Cuaca ekstrim merupakan suatu keadaan cuaca yang tidak bersahabat dibanding dengan hari-hari biasanya. Biasanya pada masyarakat yang setiap harinya para nelayan bisa melaut dan tiba-tiba terjadi cuaca ekstrim yang membuat mereka tidak memungkinkan untuk berangkat melaut.

3. Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di Indonesia para nelayan biasanya bermukim di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir (Sastrawidjaya. 2002). Sedangkan Nelayan Tradisional adalah masyarakat nelayan yang beraktivitas melaut dengan menggunakan alat tangkap yang masih bersifat tradisional, seperti jaring, pancingan, jala dan sebagainya dan masih menggunakan sampan yang kecil dengan menggunakan mesin (mesin tempel) sebagai tenaga penggerak sampan.

4. Juragan adalah kelompok nelayan yang memiliki seluruh peralatan melaut seperti perahu, motor tempel, jaring dan peralatan laut lainnya, termasuk

40


(51)

memberi modal kepada para nelayan pekerja tetapi mereka tidak secara langsung ikut melaut.

5. Toke merupakan seorang nelayan yang langsung ikut terjun melaut, namun dalam kerjanya mereka hanya dipekerjakan sebagai pengemudi sampan atau yang biasa di sebut sebagai awak kapal.

6. Nelayan pekerja adalah , kelompok nelayan yang bekerja untuk para nelayan juragan dengan kata lain, para nelayan pekerja ini menggunakan sampan dan modal dari para juragan untuk melaut.

7. Nelayan pinggiran adalah kelompok nelayan yang melaut hanya disekitar pinggir pantai saja, dan biasanya mereka hanya melaut satu harian.

8. Nelayan tengah atau disebut nelayan pancing merupakan para nelayan yang menangkap ikan hingga ke tengah-tengah laut. Mereka disebut sebagai nelayan pancing karena alat tangkap yang mereka gunakan saat melaut hanyalah pancingan. Selain itu nelayan pancing yang ada di Desa Pematang Kuala umumnya adalah nelayan pekerja yang menggunakan sampan dan modal dari juragan.

9. Alat tangkap hasil laut adalah peralatan yang digunakan para nelayan dalam menjalankan aktivitas melautnya, dalam hal ini tergantung dari sifat nelayan tersebut apakah dia nelayan tradisional ataupun nelayan modern. 10.Waktu luang merupakan waktu yang dimanfaatkan sebagai sarana

mengembangkan potensi, meningkatkan mutu pribadi, kegiatan terapeutik bagi yang mengalami gangguan emosi, sebagai selingan dan hiburan, sarana rekreasi, sebagai kompensasi pekerjaan yang kurang


(52)

50

menyenangkan, atau sebagai kegiatan menghindari sesuatu (Sukadji, 2000).

11.Pekerjaan utama adalah aktivitas utama atau merupakan jenis pekerjaan yang secara langsung menunjang terwujudnya dan berfungsinya suatu konstruksi sesuai peruntukannya.

12.Pekerjaan sampingan adalah suatu jenis usaha atau pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang di luar pekerjaan aslinya yang selama ini telah digeluti dan di kerjakan, misalnya seorang karyawan sebuah pabrik yang juga punya usaha dagang pulsa atau rokok maka pekerjaan tetapnya adalah karyawan pabrik dan jenis pekerjaan sampinganya adalah menjual pulsa dan rokok.

13.Penghasilan atau pendapatan. Dalam kamus lengkap Inggris Indonesia, pendapatan (revenue) dan penghasilan (income) mempunyai pengertian yang sama. Revenue adalah sama dengan pendapatan dan penghasilan. penghasilan (income), adalah merupakan jumlah yang dikembalikan oleh suatu entitas kepada investornya dan masih meninggalkan entitas dalam keadaan kaya pada akhir periode sebagaimana pada awalnya. Pendapatan secara umum diartikan sebagai penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang atau jasa.

14.Pengeluaran merupakan suatu proses pengeluaran barang-barang atau jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi keperluan dan kehendaknya. 15.Kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur

secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi tertentu dalam

42


(53)

struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pembawa status. Tingkat sosial merupakan faktor non ekonomis seperti budaya, pendidikan, umur dan jenis kelamin, sedangkan tingklat ekonomi sepertik pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan dan investasi. Dengan demikian, status sosial ekonomi adalah kemampuan seseorang untuk mampu menempatkan diri dalam lingkungannya sehingga dapat menentukan sikap berdasarkan atas apa yang dimilikinya dan kemampuan mengenai keberhasilan menjalankan usaha dan berhasil mencukupinya.

16.Masa paceklik adalah suatu keadaan yang lebih dikenal dengan musim kekurangan bahan makanan. Musim paceklik pada masyarakat nelayan biasanya terjadi pada masa terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim dimana pada saat itu mereka tidak dapat melaut dan tidak mempunyai penghasilan sama sekali.

17.Stratifikasi sosial merupakan suatu pendekatan yang lazim digunakan oleh para ahli untuk menjelaskan struktur sosial dalam suatu masyarakat yang merupakan pendekatan kelas yang memandang bahwa kelas tersusun secara hirarkhi berdasarkan tingkatan kekayaan material, pekerjaan, kekuasaan politik, dan penguasaan nilai idelogis. Dalam hal ini Marx melihat bahwa kelas-kelas dalam masyarakat tersusun berdasarkan perbedaan pemilikan sarana produksi.

18.Jaringan Sosial adalah sebuah pola koneksi dalam hubungan social individu kelompok dan berbagai bentuk kolektif lain. Hubungan ini bias


(54)

52

berupa hubungan interpersonal atau bias juga bersifat ekonomi, politik, atau hubungan sosial lainnya. Pemahaman tentang definisi jaringan sosial itu sendiri adalah suatu jaringan relasi dan hubungan sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat. Jaringan ini merupakan keseluruhan relasi dan hubungan sosial yang dapat diamati di suatu masyarakat, misalnya dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana hubungan sosial antara masyarakat nelayan dengan masyarakat lainnya yang ada di Desa Pematang Kuala tersebut, seperti hubungan masyarakat nelayan dengan tetangga pemilik warung, toke, dan masyarakat lainnya. Relasi dan hubungan sosial itu terdapat diberbagai bidang kehidupan yang meliputi ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain.

44


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya secara holistik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Meleong, 2006:6). Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dapat dengan mudah untuk mendapat informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan masyarakat nelayan tradisional dalam menghadapi terjadinya masa paceklik pada nelayan tradisional Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pematang Kuala, Kec.Teluk Mengkudu, Kab.Serdang Bedagai. Alasan peneliti memilih lokasi penelitian ini adalah, karena di Desa tersebut masih banyak terdapat nelayan tradisional dan nelayan tersebut masih dapat dikategorikan sebagai masyarakat nelayan yang masih memiliki ekonomi yang rendah.


(1)

rawa, memanfaatkan anggota keluarga untuk terjun mencari nafkah, dan berhutang.

5. Strategi adaptasi lain yang nelayan di sini lakukan yaitu, mereka juga telah menjalankan strategi adaptasi yang dikemukan oleh Edi Suharto yang menyatakan bahwa terdapat 3 strategi yang dilakukan untuk mengatasi goncangan hidup dan tekanan ekonomi saat terjadi musim paceklik, yang telah diterapkan nelayan pada saat terjadi musim paceklik yaitu:

a. Pertama, strategi aktif yang dapat dilihat dari tindakan nelayan dalam mengoptimalkan potensi anggota keluarga dalam membantu mereka untuk mencari nafkah keluarga.

b. Kedua strategi pasif yang dapat dilihat dari tindakan istri-istri para nelayan dalam mengurangi pengeluaran keluarga,

c. Ketiga strategi jaringan yang dapat dilihat dari tindakan mereka menjalin hubungan dengan tetangga dan kerabat dimana dengan adanya jaringan sosial ini mereka dapat memanfaatkannya untuk meminjam uang pada tetangga dan keluarga jika sedang menghadapi masa sulit atau paceklik. 6. Salah satu kebiasaan buruk para nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala ini

yaitu meminjam uang kepada koperasi berjalan atau bisa dikatakan rentenir pada saat kepepet yang justru pada akhirnya malah mempersulit mereka dikemudian hari unruk membayar cicilan uatang tersebut.

7. Nelayan di Desa Pematang Kuala ini pada kenyataannya telah melakukan berbagai strategi untuk mendapatkan penghasilan di saat terjadi musim


(2)

paceklik sesuai dengan kemampuan mereka, namun hal itu juga belum mampu membuat mereka bangkit dari keterbelakangan ekonomi.

8. Peran pemerintah pada kenyataannya telah berjalan, seperti pemberian jaring atau berupa modal lainnya, namun bantuan tersebut kurang tepat sasaran atau tidak tepat pada orang-orang yang membutuhkan seperti mereka para nelayan, sebagian nelayan ada yang mendapatkannya dan sebagian lagi tidak pernah merasakan bantuan tersebut. Dalam hal ini, menurut nelayan sendiri ada oknun-oknum tertentu yang mempersulit para nelayan untuk memperoleh bantuan tersebut.

6.2. Saran

1. Sebagai nelayan, diperlukan suatu proses perencanaan yang strategis. Seperti mengembangkan sikap yang kreatif dan tidak pasrah dengan keadaan, perlunya peningkatan kualitas sumber daya menusia khususnya untuk nelayan sendiri seperti peningkatan pola perilaku nelayan, serta menumbuhkan budaya kewirausahaan supaya para nelayan mampu mengelola hasil tangkapan mereka langsung, misalnya dibuat abon, dikemas langsung oleh nelayan itu sendiri dan sebagainya.

2. Dengan adanya peningkatan kreatifitas para nelayan dan menjadikan para nelayan tersebut aktif dan kreatif, mereka bisa saja memanfaatkan sumber daya laut lainnya sebagai usaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Seperti mengolah beragam kulit atau cangkang kerang-kerang kecil yang ada


(3)

orang kreatif, seperti gantungan pintu, asbak rokok, tas-tas kecil dan berbagai kerajinan tangan lainnya.

3. kebijakan pemerintah mengenai penanggulangan kemiskinan harus bersifat bottom up sesuai dengan kondisi keadaan, karakteristik dan kebutuhan nelayan. Sehingga para nelayan tidak hanya dijadikan sebagai subjek program oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Para nelayan harus langsung dijadikan pebagai objek dari program pemerintahan dalam menanggulangi kemiskinan.

4. Diharapkan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya dalam menanggulangi kemiskinan melakukan pengawasan langsung dalam pemberian bantuan dalam bentuk apa pun sehingga dengan demikian bantuan tersebut tepat sasaran kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

5. Selain perhatian pemerintah terhadap kehidupan ekonomi masyarakat nelayan dalam penanggulagan kemiskinan, untuk kondisi kebutuhan pendidikan anak-anak nelayan juga sangat diharapkan untuk mendapat perhatian langsung dari pemerintah. Sehingga kelak, mereka mampu mengubah nasib mereka dengan memperoleh pendidikan yang tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Diharapkan adanya bentuan dan beasiswa terhadap nelayan yang tidak mampu agar mengurangi beban para nelayan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2011. Refleksi Hari Nelayan 6 April 2011 “Potret Kemiskinan Nelayan Kita”

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Dam, Syamsumar. 2010. Politik Kelautan. Jakarta : Bumi Aksara.

Drs. Rakhmat, Jalaluddin. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Fandeli, Chafid. 2011. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pembangunan

Pelabuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Gerungan. 2009. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Iqbal, Moch. 2004. Startegi Nafkah Rumah Tangga Nelayan (studi kasus di Desa

Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur). [Tesis].

Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.

Kusnadi,(2000). Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi, (2009). Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta: Media Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz

Meiviana dkk. (2004). Bumi Makin Panas – Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Meleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Karya. Mulyadi. 2005. Akuntansi Biaya. Edisi 5. Yogyakarta : UUP. AMP YKPN.


(5)

Narwako, J. Dwi & Suyanto. Bagong. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Rohidi, Rohendi Tjetjep. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Jakarta: Nuansa. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo. Satria, Arif. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press.

Setiadi, M, Elly, dkk. 2007. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Setiadi M. Elly & Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Soekanto, Soerjono, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Suparlan, Persuadi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suyanto, Bagong dkk, 2005. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Edisi 1. Jakarta : Perdana Media.

Supriharyono, Prof, Dr, Ir, MS. 2006. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati ; Di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Semarang : Pustaka Pelajar.

Widodo, Slamet. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir. [Tesis] Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.

Wisdaningtyas, Kurnia. 2011. Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Nelayan di Daerah Pencemaran Pesisir (Studi Kasus Nelayan Kampung Bambu


(6)

Kelurahan Kali Bali, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara). [Skripsi]. Bogor [ID]: Departemen SKPM, FEMA, IPB. 19-20 hal.

Sumber lain :

11:02 WIB.

diakses pada

tanggal 15 maret 2013, pukul 11:43 WIB.