26 tersebut berkaitan dengan pernikahan dini yang terjadi sebagai usaha
menutupi berbagai dampak pergaulan bebas yang telah terjadi Dahlan, 1996: 39.
Faktor sosial lain dalam hal ini juga dapat dikaitkan dengan adanya kelonggaran pada aturan hukum pernikahan yang berlaku di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan tersebut mensyaratkan batas usia menikah untuk laki-laki 19 tahun dan
perempuan 16 tahun. Kenyataannya pernikahan oleh individu di bawah batas usia tersebut tetap sah karena adanya ketentuan dispensasi.
Undang-Undang tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 2 mengatur adanya kebolehan dispensasi bagi yang belum mencapai batas usia
menikah. Dispensasi adalah salah satu caranya, namun pada akhirnya justru berujung pada maraknya pemalsuan usia. Contohnya, seorang anak
perempuan berusia 14 tahun diakui sudah 16 tahun, atau anak laki-laki berusia 17 tahun diakui sudah 19 tahun supaya bisa melakukan
perkawinan Dahlan, 1996: 42. Uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini sangat beragam
dan berasal dari berbagai aspek.
3. Dampak Pernikahan Dini
Pernikahan dini atau pernikahan yang dilakukan terlalu di awal waktu dapat menimbulkan beberapa kerugian bagi pelakunya yang masih
tergolong dalam usia remaja. Pernikahan dini dalam hal ini memberikan pengaruh besar pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan umur harapan
27 hidup, yaitu kesakitan dan kematian ibu di usia muda, maupun kesakitan
dan kematian anak-anak yang tinggi, bahkan pengaruh terhadap pendidikan anak dan kemampuan pembentukan keluarga sehat sejahtera. Pernikahan
dini tidak hanya membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kesehatan dan kesejahteraan ibu yang mengandung serta melahirkan pada
usia muda, tetapi juga terhadap anak hasil perkawinan usia muda tersebut Usman, 1995: 94.
Pernikahan dini selain berpengaruh pada peningkatan angka kematian ibu dan bayi, juga dapat berimplikasi pada peningkatan risiko terjadinya
kanker serviks kanker leher rahim pada wanita. Hasil penelitian bahwan menunjukkan bahwa remaja putri yang menikah sebelum masuk usia 20
tahun mempunyai risiko dua kali lipat lebih besar untuk mengalami kanker serviks dibandingkan dengan remaja putri yang menikah dengan usia lebih
tua Usman, 1995: 94. Seorang individu yang menikah dalam usia terlalu muda secara
psikologis juga berkemungkinan untuk belum siap menerima kehadiran anak. Membangun rumah tangga tidak hanya diperlukan kesiapan menikah,
tetapi juga diperlukan kesiapan untuk membentuk keluarga, termasuk siap menerima kehadiran anak sebagai bagian dari keluarga Adhim, 2000: 31.
Perkawinan yang masih muda juga banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan dikarenakan segi psikologisnya belum matang khususnya
bagi perempuan Walgito, 2000: 20. Hal tersebut sejalan dengan yang
28 diungkapkan oleh Dariyo 1999: 105 bahwa pernikahan bisa berdampak
cemas, stres, dan depresi. Pernikahan yang terlalu muda juga bisa menyebabkan neuritis depresi
karena mengalami proses kekecewaan yang berlarut-larut dan karena ada perasaan-perasaan tertekan yang berlebihan. Kematangan sosial-ekonomi
dalam perkawinan sangat diperlukan karena merupakan penyangga dalam memutarkan roda keluarga sebagai akibat perkawinan. Umur yang masih
muda pada umumnya belum mempunyai pegangan dalam hal sosial ekonomi. Padahal individu itu dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Walgito, 2000: 32 Kondisi emosi remaja yang belum stabil dan berbagai karakter remaja
dalam hal ini kemudian dapat mengakibatkan pernikahan dini mengakibatkan beberapa dampak sebagia berikut Hasyim, 1999: 143-144:
a. Pertengkaran dan percekcokan yang disebabkan oleh emosi masing-
masing yang belum stabil b.
Beresiko tinggi akan mengakibatkan perceraian, meski akhirnya menikah lagi
c. Sangat terkait dengan masalah kesehatan seksual dan kesehatan
reproduksi bagi perempuan d.
Telah menghilangkan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi
29 Alam 2005: 80 menyebutkan bahwa pernikahan dini dicegah karena
dapat memberikan dampak yang secara garis besar dibagi dalam tiga aspek berikut:
a. Kesehatan
Usia 10-16 tahun tidak dapat dipungkiri bahwa petumbuhan sudah memberikan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual, namun di
balik hal tersebut terdapat efek yang membahayakan bagi pasangan usia muda. Pernikahan pada usia terlalu dini dalam hal ini dapat memberikan
peluang kepada wanita belasan tahun untuk hamil dengan risiko tinggi. Kehamilan usia belasan tahun cukup rentan akan komplikasi pada ibu
dan anak seperti pendarahan yang banyak, kurang darah, dan keracunan akan lebih sering terjadi pada ibu yang melahirkan di bawah usia 20
tahun dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-30 tahun Alam, 2005: 80.
Usia ideal pembuahan pada organ reproduksi perempuan sekurang- kurangnya adalah sejalan dengan usia kematangan psikologis yakni 21
tahun. Usia tersebut bagi seorang perempuan dipandang telah siap secara fisik dan mental untuk menerima kehadiran buah hati dengan berbagai
masalahnya Mufidah, 2008: 110. b.
Demografi Pesatnya laju pertumbuhan penduduk yang terjadi sementara lahan
yang tersedia tetap, tidak bertambah, terutama di perkotaan dapat mendorong munculnya kekhawatiran akan munculnya beberapa masalah
30 kehidupan seperti kepadatan penduduk, banyaknya pengangguran,
timbulnya kenakalan remaja karena banyaknya anak putus sekolah, dan lain-lain. Ledakan penduduk juga mempengaruhi sistem perekonomian
dan kesejahteraan hidup, sementara secara makro akan menghambat proses pembangunan bangsa Alam, 2005: 81. Berbagai alasan tersebut
yang mendasari pernikahan dini sebaiknya dihindari karena dalam pernikahan dini kemungkinan lahirnya anak menjadi lebih besar
mengingat masa subur perempuan yang lebih panjang dalam pernikahan. c.
Sosio kultural Usia remaja pada umumnya merupakan masa yang paling indah
bagi setiap orang sebab pada usia remaja seseorang sedang melampaui masa penuh idealisme, penuh harapan, dan angan-angan tinggi. Seorang
remaja yang tiba-tiba terpaksa atau membatasi kebebasan pribadi, dimana seseorang tidak dapat seperti ketika masih sendirian karena perubahan
status yang disandang, menjadi suami atau isteri. Ditinjau dari sudut sosio kultural pada umumnya perubahan status ini, khususnya bagi
seorang isteri, harus diantisipasi dengan baik pada saat memasuki lingkungan sosial perkawinan seperti mengurus rumah tangga dan
membesarkan anak-anak Umran, 1997: 18. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dampak
pernikahan dini cukup kompleks. Terutama dampaknya bagi remaja putri yang secara fisik belum cukup siap untuk menikah, sehingga
berpengaruh pula pada berbagai dampak psikologisnya.
31
C. Tinjauan tentang Remaja Putri