Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Pekerja Seks Komersial Pada Remaja Putri

(1)

TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI PEKERJA

SEKS KOMERSIAL PADA REMAJA PUTRI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NONI SIHALOHO

071301098

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI PEKERJA

SEKS KOMERSIAL PADA REMAJA PUTRI

Dipersiapkan dan disusun oleh :

NONI SIHALOHO 071301098

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 2 Agustus 2012

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Indri Kemala Nasution, M.Psi., psikolog Penguji I/Pembimbing NIP. 198303192006042001

2. Meidriani Ayu Siregar, S.Psi., M.Kes, psikolog Penguji II NIP. 196605111995022002

3. Ari Widiyanta, M.Si., psikolog Penguji III NIP. 197410282000121001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Pekerja Seks Komersial Pada Remaja Putri

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2012

NONI SIHALOHO NIM : 071301098


(4)

Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Pekerja Seks Komersial Pada Remaja Putri

Noni Sihaloho dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Dewasa ini banyak remaja putri yang menjadi pekerja seks komersial. Menurut Koentjoro (2004) penyebab seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi. Hutabarat dkk (2004) dalam penelitiannya menambahkan penyebab seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu adanya faktor pendorong internal seperti rasa sakit hati dan kecewa dari pasangannya dan faktor pendorong eksternal yaitu faktor ekonomi dan ajakan teman.

Keputusan menjadi pekerja seks komersial bukan merupakan hal yang sederhana dan lebih menyangkut masalah pribadi. Pengambilan keputusan merupakan tindakan yang secara sadar dengan memilih satu dari beberapa kemungkinan-kemungkinan yang ada. Janis dan Mann (1987) mengemukakan lima tahapan pengambilan keputusan, yaitu menilai informasi baru, melihat alternatif-alternatif yang ada, mempertimbangkan alternatif, membuat komitmen dan bertahan meskipun ada feedback negatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden dua orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden melewati kelima tahapan pengambilan keputusan. Responden I melewatinya semua tahapan secara linier dan tidak mengalami fluktasi maju atau mundur. Sementara responden II melewati seluruh tahapan namun tidak secara linier. Hal ini dapat disebabkan karena faktor penyebab responden menjadi pekerja seks komersial berbeda. Pada responden I, menjadi pekerja seks komersial karena modeling dari teman sekolah, materialisme dan ajakan dari teman di sekolah. Sementara faktor yang menyebabkan responden II menjadi pekerja seks komersial karena faktor ekonomi dan rasa sakit hati kepada pasangan yang telah mengambil keperawannnya.


(5)

Stage of the Decision Maker to be a Commercial Sex Worker on Female Teenager

Noni Sihaloho dan Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

Nowadays many female teenager want to be a commercial sex worker. Koentjoro (2004) said that a person wants to be a commercial sex worker caused by materialism, modelling, parents support, permitted environmental and economy factor. Hutabarat anf friends (2004) added that a person wants to be a commercial sex worker caused by internal factor such as heartbreak and dissapointed of her couple and external factor such as economy factor and inviatation of friends.

The decision maker to be a commercial sex worker is not a simple thing because this is involved personal problem. The decision maker has been realized to choose one of the alternatives. Janis and Mann (1987) introduce five stage in the decision maker, appraising the Challenge, surveying alternatives, weighing alternatives, deliberating about commitment, adhering despite negative feedback.

This study aim to assess the stage in decision maker to be a commercial sex worker on teenager. This study use qualitative methods with two respondents. Results of this study show that teenager make a decision to be a commercial sex worker through the five stage in decision maker. Respondent I follow all the stage in linier and there is no fluctuation in process. On the other side, respondent II also follow all the stage in decision maker but not in linier. Respondent I being a commercial sex worker caused by modelling from friends, materialism, and inviatation of friends. On the other side the factor and dissapointed with her boyfriends who taken her virginity.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas penulis ucapkan atas segala karunia anugerah Tuhan Yang Maha Esa pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skipsi yang berjudul “TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL PADA REMAJA PUTRI”, guna untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasihnya-Nya yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis, yaitu :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan dengan sabar memberikan bimbingan, saran, dan dukungan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Meidriani Ayu Siregar, S.Psi., M.Kes, psikolog , selaku dosen penguji II

yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji skripsi ini dan memberikan informasi dan saran serta kritikan demi penyempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Ari Widiyanta, M.Si., psikolog, selaku dosen penguji III yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji skripsi ini dan memberikan


(7)

informasi, saran dan kritikan yang penulis butuhkan demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Ibu Siti Zahreni, M.Psi., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh dosen-dosen yang telah membagikan segala ilmu dan pengetahuan kepada penulis sehingga lebih paham tentang Ilmu Psikologi.

7. Seluruh staff tata usaha, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yang telah melancarkan segala urusan administrasi penulis.

8. Terkhususnya kepada kedua orangtua penulis, yang telah susah payah memberikan pendidikan terbaik, memberikan doa dan semangat yang diberikan pada penulis. Terima kasih papa, mama,,buat semuanya.. I love you so much..

9. Bang Alex, kak Elly, bang Roy, dan kak Ita, Edak Nova, edak Rayhan yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis. Terima kasih banyak ya bang, kak, edak buat semuanya. Khususnya buat keponakan penulis bang Rayhan dan bang Kevin terima kasih ya bang buat doa-doanya buat bou kecil. Bou sayang abang.

10. Bang Arviju Sihotang yang juga telah memberikan doa, semangat dan dukungannya kepada penulis terutama dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak ya sayang, hasianku na burju.


(8)

11. Inang, amang, edak Lusi, yang telah memberikan doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. Terima kasih banyak amang, inang, edak.

12. Sahabat-sahabat tersayang, Ceci, Angel, Elvita, Eva, makasih ya say buat doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Makasih banyak ya say.semoga Tuhan memberkati kita semua.

13. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2007 terutama buat sahabat-sahabat penulis Ayu, Winta, Max, Maria, terima kasih buat doa dan dukungannya yang telah diberikan kepada penulis. Makasih ya say.

14. Iyos, Anton, bang Jack, tulang Deny, terutama buat uda Sihaloho dan dek Dewi terima kasih banyak untuk waktu yang diberikan pada penulis dalam mencari responden penelitian.

15. Kepada kedua responden penelitian yang telah mau memberikan waktu dan berbagi pengalaman dengan penulis. Terima kasih ya dek buat bantuannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar lebih baik lagi. Akhir kata semoga karya ini bisa memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Medan, Juli 2012


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………..………..…...i

ABSTRACK………..………..…...i

KATA PENGANTAR………..………..………...…...iii

DAFTAR ISI……….………...…....vi

DAFTAR TABEL……...……….………..…..………...x

DAFTAR GAMBAR………..………..………...xi

DAFTAR LAMPIRAN………....………..………..…...xii

BAB I PENDAHULUAN………..……….….……..………....1

A. Latar Belakang ………..…..……..………….………….1

B. Rumusan Masalah……...……….……...…..…….…………...11

C. Tujuan Penelitian…..………..…………...………11

D. Manfaat Penelitian……...………...……..………...………..11

E. Sistematika Penulisan………..……...…....………...12

BAB II LANDASAN TEORI………...………..……….………...………..15

A. Pengambilan Keputusan……...……..………..………….……...…..15

1. Pengertian tahapan pengambilan keputusan………..……..15


(10)

3. Pertimbangan dalam tahapan pengambilan keputusan……...19

B. Pekerja Seks Komersial………….………...…21

1. Pengertian pekerja seks komersial………...…………...……...21

2. Faktor-faktor yang melatarbelakangu seseorang menjadi pekerja seks komersial ………...………...……..….…...23

C. Remaja………..………...……….……...24

1. Pengertian remaja……….………...24

2. Aspek –aspek perkembangan remaja……….……...……...25

D. Tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja putri………..…….………..…...29

E. Paradigma penelitian………..……….…………..…...…34

BAB III METODE PENELITIAN………...………….…………...35

A. Pendekatan Kualitatif………..………..……...35

B. Responden Penelitian………..………..……...37

1. Karakteristik responden penelitian………..….………..……...…37

2. Jumlah responden………...………..………...38

3. Prosedur pengambilan responden………...………....…38

4. Lokasi penelitan..……….…………..…….…...39

C. Metode Pengumpulan Data………..………...39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data...………...………..…...…41


(11)

2. Pedoman wawancara…………...…………..…..………...42

3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat…………..………...42

E. Kredibilitas Penelitian………...………..…………...….42

F. Prosedur Penelitian………..……….………...44

1. Tahap persiapan penelitian…...……..…………..…………...…44

2. Tahap pelaksanaan penelitian………...…….….………...47

3. Tahap pencatatan data………..………..…………...49

G. Metode Analisa Data……….………...50

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN…….……....…..…...53

A. Gambaran Umum Responden ………...….…………...54

1. Responden I………...……..…………..…54

2. Respoden II………..……...………..…55

B. Hasil Analisa Data Responden………..…...56

1. Faktor yang melatarbelakangi responden menjadi PSK..…….…...56

a. Responden I (faktor lingkungan sosial/teman sebaya)....…...56

b. Responden II (faktor ekonomi dan perilaku seks bebas)...58

2. Tahapan pengambilan keputusan responden….…..………...…….62

a. Responden I………...………..……62

b. Responden II……….……….….73

3. Pertimbangan responden dalam tahapan pengambilan keputusan...………...……83


(12)

a. Responden I...………..…………83

b. Responden II……….….….83

C. Pembahasan Responden …………...………...87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….…....…100

A. Kesimpulan……….…………...…100

B. Saran………...………..104

1. Saran praktis………..…...…...…104

2. Saran metodologis ……….………...…105

DAFTAR PUSTAKA………..……….………...…106 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Table 1. Deskripsi Data Responden………..………. 53 Table 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden………....…53 Table 3. Rangkuman Antar Responden ………...97


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Paradigma Penelitian……….………..………….…34 Gambar 2. Tahapan Pengemabilan Keputusan Responden I……….…...….85 Gambar 3. Tahapan Pengambilan Keputusan Responden II………..……86


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Wawancara Lampiran 3 Lembar Observasi

Lampiran 4 Verbatim Wawancara Lampiran 5 Data Observasi Lampiran 6 Rekonstruksi Data


(16)

Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Pekerja Seks Komersial Pada Remaja Putri

Noni Sihaloho dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Dewasa ini banyak remaja putri yang menjadi pekerja seks komersial. Menurut Koentjoro (2004) penyebab seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi. Hutabarat dkk (2004) dalam penelitiannya menambahkan penyebab seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu adanya faktor pendorong internal seperti rasa sakit hati dan kecewa dari pasangannya dan faktor pendorong eksternal yaitu faktor ekonomi dan ajakan teman.

Keputusan menjadi pekerja seks komersial bukan merupakan hal yang sederhana dan lebih menyangkut masalah pribadi. Pengambilan keputusan merupakan tindakan yang secara sadar dengan memilih satu dari beberapa kemungkinan-kemungkinan yang ada. Janis dan Mann (1987) mengemukakan lima tahapan pengambilan keputusan, yaitu menilai informasi baru, melihat alternatif-alternatif yang ada, mempertimbangkan alternatif, membuat komitmen dan bertahan meskipun ada feedback negatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden dua orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden melewati kelima tahapan pengambilan keputusan. Responden I melewatinya semua tahapan secara linier dan tidak mengalami fluktasi maju atau mundur. Sementara responden II melewati seluruh tahapan namun tidak secara linier. Hal ini dapat disebabkan karena faktor penyebab responden menjadi pekerja seks komersial berbeda. Pada responden I, menjadi pekerja seks komersial karena modeling dari teman sekolah, materialisme dan ajakan dari teman di sekolah. Sementara faktor yang menyebabkan responden II menjadi pekerja seks komersial karena faktor ekonomi dan rasa sakit hati kepada pasangan yang telah mengambil keperawannnya.


(17)

Stage of the Decision Maker to be a Commercial Sex Worker on Female Teenager

Noni Sihaloho dan Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

Nowadays many female teenager want to be a commercial sex worker. Koentjoro (2004) said that a person wants to be a commercial sex worker caused by materialism, modelling, parents support, permitted environmental and economy factor. Hutabarat anf friends (2004) added that a person wants to be a commercial sex worker caused by internal factor such as heartbreak and dissapointed of her couple and external factor such as economy factor and inviatation of friends.

The decision maker to be a commercial sex worker is not a simple thing because this is involved personal problem. The decision maker has been realized to choose one of the alternatives. Janis and Mann (1987) introduce five stage in the decision maker, appraising the Challenge, surveying alternatives, weighing alternatives, deliberating about commitment, adhering despite negative feedback.

This study aim to assess the stage in decision maker to be a commercial sex worker on teenager. This study use qualitative methods with two respondents. Results of this study show that teenager make a decision to be a commercial sex worker through the five stage in decision maker. Respondent I follow all the stage in linier and there is no fluctuation in process. On the other side, respondent II also follow all the stage in decision maker but not in linier. Respondent I being a commercial sex worker caused by modelling from friends, materialism, and inviatation of friends. On the other side the factor and dissapointed with her boyfriends who taken her virginity.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau

pro-stauree, yang membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pekerja seks komersial (PSK) adalah bagian dari dunia pelacuran yang termasuk dengan istilah WTS atau wanita tunasusila (Kartono, 2009).

Pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran (Kartono, 2009). Definisi tersebut sejalan dengan Koentjoro (2004) yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan seks dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria, dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan menjadi seorang pekerja seks komersial diantaranya adalah materialisme, modeling, dukungan orangtua,


(19)

lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi. Mereka yang hidupnya berorientasi pada materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang dikumpulkan dan kepemilikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup. Banyaknya pekerja seks komersial yang berhasil mengumpulkan banyak materi atau kekayaan akan menjadi model pada orang lain sehingga dapat dengan mudah ditiru. Di sisi lain, seseorang menjadi pekerja seks komersial karena adanya dukungan orangtua atau suami yang menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi. Jika sebuah lingkungan yang permisif memiliki kontrol yang lemah dalam komunitasnya maka pelacuran akan berkembang di dalam komunitas tersebut. Selain karena alasan di atas, terdapat juga orang yang memilih menjadi pekerja seks komersial karena faktor ekonomi, yang memiliki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Seperti yang disampaikan oleh seorang remaja yang bernama Tika (nama samaran) yang berusia 18 tahun:

“awak jadi kek gini karna buat biaya keluarga mbak buat kebutuhan hidup. Mau nggak mau dengan cara gini yang bisa. Dulu sempat juga sih kerja di pabrik roti tapi nggak cukup buat hidup sekarang ini. Sekali kerja ginian lumayan yang didapat, kerjanya juga nggak capek dan cepet dapatin duitnya.”

(Komunikasi Personal, 10 Maret 2011)

Hutabarat,dkk (2004) dalam penelitiannya menambahkan dua faktor penyebab seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu, faktor pendorong internal dan faktor pendorong eksternal. Faktor pendorong internal berasal dari individu seperti, rasa sakit hati, marah dan kecewa karena dikhianati pasangan. Sedangkan faktor


(20)

pendorong ekternal berasal dari luar individu yaitu tekanan ekonomi dan ajakan teman yang sudah lebih dahulu menjadi pekerja seks komersial.

Pada umumnya pekerja seks komersial rata-rata berasal dari kalangan remaja putri atau sering disebut Anak Baru Gede (ABG) yang menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia prostitusi. Hal ini disebabkan karena adanya faktor permintaan sebagai faktor yang menarik dan faktor perantara sebagai faktor yang mendorong (Koentjoro, 2004). Banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual yang dilakukan pada remaja putri sehingga semakin banyak pula tingkat penawaran yang ditawarkan. Para perempuan biasanya lebih mudah menjadi pekerja seks komersial karena adanya motif berkuasa, budaya atau kepercayaan seperti hegomoni laki-laki diatas perempuan.

Beberapa kota di Indonesia memiliki banyak panggilan khusus untuk pekerja seks perempuan ABG, seperti di Taksimalaya dikenal dengan sebutan “anyanyah”, di Yogyakarta dikenal dengan ciblek atau cilikan betah melek sedangkan di Medan dikenal dengan istilah bronces atau onces. Di kalangan pekerja seks remaja sendiri, dikenal istilah ‘tubang’ (tua bangka) atau ‘om senang’ yaitu laki-laki yang umumnya memiliki uang dan mencari jasa palayanan atau service dari pekerja seks (Radar berita, 2011). Di Medan para pekerja seks komersial biasanya dapat dijumpain di sejumlah diskotik, karaoke, tepi-tepi jalan yang menjadi tempat lokalisasai serta di pusat perbelanjaan (Sumut Pos, 2011).

Kajian cepat yang dilakukan ILO-IPEC pada tahun 2007 memperkirakan jumlah pekerja seks komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta,


(21)

Bandung 2.511, Yogyakarta 520, Surabaya 4.990, dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata (Topix news, 2008). Berdasarkan hasil survey di Sumatera Utara ditemukan sebanyak 2.000 anak yang mengalami eksploitasi seksual sejak 2008 hingga 2010. Jumlah anak-anak yang terjun dalam bisnis pelacuran, semakin lama terus mengalami peningkatan. Bahkan, yang terjun dalam praktik pelacuran, 30 persen di antaranya pelajar SLTP dan 45 persen SLTA (Waspada Online, 2011).

Masa remaja berada pada rentang usia 13-18 tahun dengan pembagian 13 hingga 16 atau 17 tahun masa remaja awal dan16 atau 17 sampai 18 tahun masa remaja akhir (Hurlock, 2004). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.

Pada masa remaja terjadi perubahan yang besar baik secara fisik, kognitif, emosi maupun sosial (Hurlock, 2004). Rangkaian perubahan fisik yang dialami remaja nampak jelas pada perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa awal remaja. Seperti pertumbuhan yang pesat pada anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa, dimana perubahan yang terjadi pada masa remaja terjadi pada tinggi, berat badan serta organ seksual (Hurlock, 2004). Pada remaja putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan mimpi basah (Santrock, 2002).


(22)

Organ-organ seksual yang matang pada remaja akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2002). Dorongan seksual dimulai dari adanya rasa ketertarikan, berkencan, bercumbu dan bersenggama (Sarwono, 2010). Remaja mulai tertarik terhadap lawan jenis yang sifatnya kodrat dialami oleh remaja. Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis kelamin lain dan mengenal pacaran. Dalam kondisi demikian, remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja terjebak dunia seks bebas.

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa dari 100 remaja terdapat 51 remaja telah melakukan hubungan seksual dilakukan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Selain di Jabotabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia seperti, di Surabaya remaja yang melakukan hubungan seks mencapai 54 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen (Kompas, 2010). Dari hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKN) tahun 2010 menunjukkan bahwa 52 persen remaja di Medan sudah tidak perawan. Itu artinya, lebih separuh remaja di ibukota Propinsi Sumatera ini melakukan seks bebas sebelum menikah (Waspada Online, 16 Februari 2011).

Remaja yang terlibat dengan seks bebas tidak menutup kemungkinan remaja akan dikecewakan oleh pasangannya. Hal ini sering dialami oleh remaja putri dimana mereka akan merasa sakit hati karena ditinggal pasangannya dan hilangnya keperawannya menjadi salah satu penyebab seseorang menjadi pekerja seks


(23)

komersial (Hutabarat dkk, 2004). Seperti yang dikemukakan pekerja seks komersial remaja yang bernama Cici (nama samaran) 17 tahun:

“sebenernya sih aku kayak gini karna dari pacar aku yang dulu kak. Aku ngasih apa yang dia minta ampe kehormatan ku aku kasih, rupanya setelah dapat, dia ninggalin aku gitu aja tanpa ada kata putus. Tapi ya semua uda terlanjur, sekali basah langsung basah sekalian toh dengan gini kita bisa dapat banyak uang.” (Komunikasi Personal, 11 Maret 2011)

Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi yang tinggi dalam kesehariannya. Hal ini yang kemudian menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004) menyebut gejolak tersebut dengan istilah ‘badai dan tekanan’, yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Pergolakan remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja identik dengan lingkungan sosial tempat beraktifitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.

Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman sebaya dimana remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan keluarganya (Monks dkk, 2002). Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.


(24)

Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh remaja di rumah maupun di sekolah (Zulkifli, 2005). Namun kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok maupun melakukan seks bebas (Hurlock, 2004). Hal ini disebabkan karena kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam berperilaku (Papalia & Olds, 2008). Seperti yang dikemukan oleh Desy (nama samaran) yang berusia 13 tahun:

“aku datang ke medan buat sekolah kak, tapi ortu nggak tau aku kerja kayak gini. Aku liat teman ku punya banyak uang, barang-barang yang mereka punya mewah-mewah, makanya aku ikut-ikut sama mereka. Aku juga pengen punya sesuatu kayak mereka, minta dari orangtua nggak mungkin. Dengan gini bentar aja aku uda ada duit, kerjanya juga nggak capek.”

(Komunikasi personal, 11 Maret 2011).

Menginjak masa ini, remaja mengalami perkembangan kognitif atau kemampuan berpikir. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapat tidak langsung diterima begitu saja ke dalam kognitif mereka (Jahja, 2011). Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasional formal (Papalia & Olds, 2008). Pada tahap ini, remaja juga sudah mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang


(25)

terjadi pada masa remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja berpikir lebih logis. Remaja sudah mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai tujuan di masa depan (Santrock, 2002).

Perubahan yang dialami seorang remaja dapat mempengaruhi seorang remaja dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan pemilihan dari berbagai alternatif atau pilihan yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang memungkinkan (Terry dalam Syamsi, 1995). Hal ini didukung oleh pernyataan Janis dan Mann (1987) bahwa pengambilan keputusan merupakan pemecahan dari masalah agar terhindar dari faktor-faktor situasional.

Membuat keputusan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan karena beberapa pilihan biasanya melibatkan banyak aspek dan sangat jarang satu pilihan terbaik dapat mencakup semua aspek yang diinginkan (Eysenck & Keane, 2001). Hal ini dikarenakan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap individu pada dasarnya merupakan hasil dari fungsi berpikir yang dilakukan oleh individu tersebut. Sebagian besar orang membuat keputusan-keputusan yang lebih baik ketika mereka dalam suasana tenang, tidak dalam keadaaan emosional. Hal tersebut juga berlaku bagi para remaja. Hal ini yang menghambat remaja dalam pengambilan keputusan yang tepat karena pada masa remaja sebagian besar dari mereka masih bersifat emosional yang kuat. Remaja yang membuat keputusan bijaksana pada saat tenang bisa saja membuat keputusan yang cukup menekan, emosi-emosi para remaja dapat


(26)

melemahkan kemampuan pengambilan keputusan mereka (Santrock, 2002). Seperti yang dikemukan oleh Intan (nama samaran) yang berusia 18 tahun:

“aku cuma nemani tamu karaoke kak, nemani karaoke aja kita bisa dapat tiga ampe empat ratus. Aku juga pernah layani tamu hubungan seks, itupun cuma satu kali karena buat bayar ongkos pulang kampung. Aku takut kak kalo hamil, karenakan aku ngekost di Medan, kalo misalnya lah aku hamil pasti kena juga ama orangtuaku. Itupun aku tau nemani karaoke ini dari kawan. Lagian kan kak kita udah jelek diliat orang lain buat nemani karaoke apalagi sampe masuk hotel gitu.”

(Komunikasi personal, 29 Maret 2012).

Berdasarkan ungkapan diatas, menjelaskan bahwa Intan mengetahui bagaimana mendapatkan uang dengan mudah dari temannya tanpa harus menjadi pekerja seks komersial, yaitu dengan menemani tamu karaoke. Namun Icha pernah melakukan hubungan seksual hanya satu kali, hal ini dilakukannya untuk biaya Intan pulang ke kampung halamannya. Intan tidak mau melakukan hubungan seksual dengan tamu-tamunya karena ia masih mempertimbangkan akan risiko kehamilan serta anggapan negatif orang lain baik pada dirinya maupun pada orangtuanya.

Pengambilan keputusan dapat diaplikasikan dalam berbagai variasi keputusan, termasuk menyangkut masalah pribadi (Janis dan Mann, 1987). Latar belakang yang berbeda dapat menyebabkan seseorang mengambil sebuah keputusan. Janis dan Mann (1987) mengemukakan ada lima tahapan dalam pengambilan keputusan yaitu menilai masalah, melihat alternatif-alternatif yang ada, mempertimbangkan alternatif, membuat komitmen, dan bertahan meskipun ada feedback negatif. Karakteristik yang ditunjukkan dari tiap tahapan pengambilan keputusan yang dijalani berbeda-beda pada setiap orang dan hal ini tergantung pada pola seseorang dalam menghadapi


(27)

masalah (Janis dan Mann, 1987). Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Mia (nama samaran) remaja berusia 17 tahun:

“Aku kak, kerja kayak gini karena kemauan sendiri. Aku liat teman aku punya banyak uang dari kerjaan ini. Aku malu nanya mereka, makanya aku nyari dari

google, facebook, chatting buat nyari informasi tetang pekerja seks. Nyari tamu pun awalnya aku dari dunia maya ini. Aku udah jalanin kerjaan ini aku suka kak. Nih aja kak aku mau ke Malaysia buat nyari tubang. Tubang disini kere-kere semua, udah kere-kere pelit lagi.”

(Komunikasi personal, 19 Maret 20112).

Berdasarkan ungkapan diatas menjelaskan bahwa Mia menjadi pekerja seks komersial karena meniru teman-temannya yang memiliki barang-barang mewah dengan bekerja sebagai pekerja seks komersial. Hal inilah yang akhirnya membuat Mia berkeinginan sendiri menjadi pekerja seks komersial. Ia pun mencari informasi mengenai pekerja seks komersial dari media elektronik karena ia malu bertanya kepada teman-temannya. Mia pun mendapatkan tamu dari dunia maya. Mia merasa senang dengan pekerjaannya sekarang, ia dapat membeli apa saja yang ia sukai. Mia juga termasuk materialisme dimana ia berencana menjadi pekerja seks komersial di negara Malaysia untuk mendapatkan uang yang banyak.

Banyak hal yang melatabelakangi seorang remaja putri menjadi pekerja seks komersial. Hal inilah yang akhirnya mempengaruhi seorang mengambil keputusan menjadi pekerja seks komersial. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin melihat bagaimana tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial yang dilakukan oleh remaja putri.


(28)

B.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi seorang remaja putri menjadi pekerja seks komersial.

2. Bagaimana tahapan pengambilan keputusan seorang remaja putri menjadi pekerja seks komersial.

3. Apa saja yang menjadi pertimbangan-pertimbangan remaja putri dalam mengambil keputusan menjadi pekerja seks komersial.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah adalah untuk mengetahui bagaimana tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial yang dilakukan remaja putri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan untuk perkembangan ilmu Psikologi, khususnya ilmu Psikologi Perkembangan dalam mengembangkan teori mengenai tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja putri.


(29)

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan yang sama atau berhubungan denganpengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja putri.

2. Manfaat praktis a. Pada remaja

Memberikan wacana dan informasi kepada remaja dengan tujuan agar remaja lebih berwaspada dengan pergaulan bebas yang dapat mempengaruhi remaja dalam mengambil sebuah keputusan untuk menjadi pekerja seks komersial. b. Pada orangtua

Memberikan informasi pada orangtua agar menyadari perannya sebagai orangtua dan orangtua memberikan perhatian yang cukup pada anak agar anak-anak tidak mudah terpengaruh dari orang lain yang memberikan dampak negatif pada anak.

c. Pada sekolah

Memberikan informasi pada pihak sekolah dimana pihak sekolah dapat memberikan pendidikan tambahan mengenai seksual agar remaja memperoleh informasi yang benar.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut:


(30)

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah tentang pengambilan keputusan yang terdiri dari definisi, tahapan pengambilan keputusan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Teori tentang pekerja seks komersial yang terdiri dari definisi pekerja seks komersial dan faktor penyebab menjadi pekerja seks komersial. Teori remaja yang meliputi definisi remaja dan aspek perkembangan remaja.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan dipergunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian serta metode analisis data.


(31)

BAB IV : Hasil Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan menegenai hasil analisa data dan pembahasan berisi pendeskripsian data responden, analisa data responden dan pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran mengenai tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis sesuai dengan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian pengambilan keputusan

Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah proses memilih alternatif-alternatif bagaimana cara bertindak dengan metode efisien sesuai dengan situasi. Definisi tersebut sejalan dengan Terry (Syamsi, 1995) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih, tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang memungkinkan.

Shull, dkk (dalam Taylor, 1994) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai suatu kesadaran dalam proses manusia, menyangkut individu dan fenomena sosial berdasarkan hal-hal yang fakta dan aktual yang menghasilkan pilihan dari satu aktivitas perilaku yang berasal dari satu atau lebih pilihan. Definisi di atas senada dengan pernyataan Morgan (1986) bahwa pengambilan keputusan merupakan salah satu jalan dari penyelesaian masalah dimana kita dihadapkan dengan berbagai pilihan yang harus kita pilih.

Janis dan Mann (1987) menyebutkan bahwa pengambilan keputusan merupakan pemecahan masalah dan terhindar dari faktor situsional.

“decision making as a matter of conflict resolution and avoidance behaviors due to situasional factors”


(33)

Pengertian pengambilan keputusan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan keputusan yang dikemukan oleh Janis dan Mann (1987) bahwa pengambilan keputusan merupakan pemecahan dari masalah agar terhindar dari faktor-faktor situasional.

2. Tahapan pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan melibatkan beberapa tahapan. Janis dan Mann (1987) mengemukakan lima tahapan dalam mengambil keputusan, yaitu:

a. Menilai informasi baru

Individu yang dihadapkan pada suatu informasi atau kejadian yang menarik perhatiannya akan membuat dirinya tidak nyaman, akan cenderung menggunakan suatu sikap yang tidak memperdulikan serangkaian kegiatan yang diikuti untuk mendapatkan kepuasan dalam dirinya sendiri. Informasi tersebut menghasilkan krisis sementara jika individu memulai untuk menimbang kebijakan untuk melanjutkan masalah. Pada tahap individu mulai merasa tidak nyaman berada dalam kondisi tertentu dan menyadari adanya kesempatan dan tantangan untuk berubah. Individu mulai memahami tantangan serta apa manfaat tantangan tersebut bagi dirinya. Pemahaman yang baik akan tantangan yang dihadapi penting, agar pengambil keputusan terhindar dari asumsi-asumsi yang salah atau sikap terlalu memandang remeh masalah yang kompleks.


(34)

b. Melihat alternatif-alternatif yang ada

Pada tahap ini individu mulai menerima permasalahan yang dimulai dengan mencari pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan dalam memorinya, mencari saran dan informasi dari orang lain mengenai bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut. Individu biasanya mencari saran dari apa yang diketahui orang yang ia kenal baik dan menjadi lebih perhatian pada informasi yang berkaitan pada media massa. Individu lebih menaruh perhatian pada rekomendasi berupa saran-saran untuk menyelesaikan permasalahan, meskipun saran tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya sekarang ini.

c. Mempertimbangkan alternatif

Individu yang mengambil keputusan pada tahap ini mulai melakukan proses pencarian dan evaluasi dengan teliti, berfokus pada mendukung atau tidaknya pillihan-pilihan yang ada untuk menghasilkan tindakan terbaik. Individu lebih berhati-hati dengan mempertimbangakan keuntungan dan kerugian dari masing-masing pilihan hingga individu tersebut merasa yakin dalam memilih satu pilihan yang dinilai objektif. Individu berusaha memilih alternatif yang terbaik diantara pilihan alternatif yang tersedia baginya. Ia mempertimbangkan keuntungan, kerugian serta kepraktisan dari tiap-tiap alternatif hingga ia merasa cukup yakin untuk memilih satu alternatif yang menurutnya paling baik dalam upayanya mencapai tujuan tertentu. Adakalanya saat ia mempertimbangkan alternatif-alternatif secara


(35)

bergantian, ia merasa tidak puas dengan semua alternatif yang ada. Ia menjadi stress dan dapat kembali ke tahap dua.

d. Membuat komitmen

Setelah memutuskan, individu akan mengambil sebuah perencanaan tindakan tertentu untuk dilaksankannya keputusan tersebut, pengambil keputusan mulai memikirkan cara untuk mengimplementasikannya dan menyampaikan keinginannya tersebut kepada orang lain. Disamping itu, individu juga mempersiapkan argumen-argumen yang akan mendukung pilihannya tersebut khususnya bila individu berhadapan dengan orang-orang yang menentang keputusannya tersebut. Hal ini disebabkan pengambil keputusan menyadari bahwa cepat atau lambat orang-orang pada jaringan sosialnya akan terkena dampaknya seperti keluarga atau teman akan mengetahui tentang keputusan tersebut.

e. Bertahan meskipun ada feedback negatif

Banyak keputusan memasuki periode honeymoon, dimana pengambil keputusan menjadi sangat bahagia dengan pilihan yang ia ambil dan menggunakannya tanpa rasa cemas. Tahapan kelima ini menjadi setara dengan tahapan pertama, dalam rasa dimana masing-masing kejadian atau komunikasi yang tidak diinginkan membangun

negative feedback yang merupakan sebuah permasalahan potensial untuk mengambil kebijakan yang baru. Tahap kelima menjadi berbeda dengan tahap pertama dalam kejadian ketika sebuah masalah sangat berpengaruh atau sangat kuat dan memberikan


(36)

respon postitif pada pertanyaan pertama, fokus pada resiko serius ketika tidak dibuat perubahan, pengambil keputusan hanya tergoncang sesaat meskipun permasalahan lebih ia pilih diselesaikan dengan keputusan sebelumnya.

Menurut Janis dan Mann (1987) dalam mengambil keputusan individu tidak selalu melewati kelima tahapan pengambilan keputusan hal ini disebabkan adanya perbedaan proses pembelajaran dan pengalaman yang ikut mempengaruhi.

3. Pertimbangan dalam tahapan pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan melibatkan pertimbangan-pertimbangan. Janis dan Mann (1987) mengelompokkan pertimbangan-pertimbangan dalam tahapan pengambilan keputusan menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Pertimbangan utilitarian, yaitu segala pertimbangan yang berhubungan dengan efek instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan utilitarian meliputi:

1) Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri, meliputi antisipasi pengaruh keputusan terhadap kesejahteraan pribadi dalam pengambilan keputusan.

2) Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain, termasuk hal-hal yang diantisipasikan akan berpengaruh terhadap pihak lain.

b. Pertimbangan nonutilitarian, yaitu perimbangan-pertimbangan lain diluar efek instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan nonutilitarian meliputi:


(37)

1) Penerimaan dan penolakan dari diri sendiri, yang melibatkan emosi atau perasaan dan harga diri seseorang.

2) Penerimaan dan penolakan dari orang lain, yang melibatkan kritik atau penghargaan dari orang lain yang mempengaruhi alternatif yang dipilih.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan serta alternatif yang akan dipilih oleh pengambil keputusan. Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan (Terry dalam Hendrian, 2012) yaitu:: 1. Fisik

Didasarkan pada rasa yang dialami pada tubuh, seperti rasa tidak nyaman atau kenikmatan. Ada kecenderungan menghindari tingkah laku yang menimbulkan rasa tidak senang, sebaliknya memilih tingkah laku yang memberikan kesenangan.

2. Emosional

Didasarkan pada perasaan atau sikap. Orang akan bereaksi pada suatu situasi secara subjektif.

3. Rasional

Didasarkan pada pengetahuan orang-orang mendapatkan informasi, memahami situasi dan berbagai konsekuensinya.


(38)

4. Praktikal

Didasarkan pada keterampilan individual dan kemampuan melaksanakannya. Seseorang akan menilai potensi diri dan kepercayaan dirinya melalui kemampuannya dalam bertindak.

5. Interpersonal

Didasarkan pada pengaruh jaringan sosial yang ada. Hubungan antar satu orang ke orang lainnya dapat mempengaruhi tindakan individual.

6. Lingkungan

Didasarkan pada lingkup sosial dimana lingkungan dapat memberikan hasil yang mendukung atau mengkritik suatu tingkah laku tertentu.

B. Pekerja Seks Komersial

1. Pengertian pekerja seks komersial

Pekerja seks komersial adalah wanita yang kelakuannya tidak pantas dan bisa mendatangkan mala/celaka dan penyakit, baik kepada diri sendiri ataupun orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada dirinya sendiri. Pekerja seks komersial merupakan profesi yang berupa tingkah laku bebas lepas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan (Kartono, 2009).

Dalam bukunya, Patologi Sosial, Kartono (2009) menuliskan bahwa pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri baik perempuan maupun laki-laki dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak


(39)

orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Hal ini didukung oleh pernyataan Mudjijiono (2005), pekerja seks komersial adalah wanita yang pekerjaan utamanya sehari-hari memuaskan nafsu seksual laki-laki atau siapa saja yang sanggup memberikan imbalan tertentu yang biasa berupa uang atau benda berharga lainnya.

Menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro, 2004) pekerja seks komersial adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Mukherji dan Hantrakul (dalam Koentjoro 2004) mendefinisikan seorang pekerja seks komerisial sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks pada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memilih pria mana yang menjadi langganannya. Defini tersebut sejalan dengan Koentjoro (2004) yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Pengertian pekerja seks komersial yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja seks komersial yang dikemukakan oleh Koentjoro (2004) yaitu bahwa pekerja seks komersial adalah bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria, dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.


(40)

2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial

Koentjoro (2004) menjelaskan ada lima faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial, yaitu:

a. Materialisme

Materialisme yaitu aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

b. Modeling

Modeling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.

c. Dukungan orangtua

Dalam beberapa kasus, orangtua atau suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.

d. Lingkungan yang permisif

Jika sebuah lingkungan sosial bersikap permisif terhadap pelacuran berarti kontrol tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya dan jika suatu komunitas


(41)

sudah lemah kontrol lingkungannya maka pelacuran akan berkembang dalam komunitas tersebut.

e. Faktor ekonomi

Lebih menekankan pada uang dan uang memotivasi seseorang menjadi pekerja seks komersial. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, adanya pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahakan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.

Menurut penelitiannya, Hutabarat dkk (2004) menambahkan dua faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu:

a. Faktor pendorong internal

Faktor yang berasal dari individu, seperti rasa sakit hati, marah, dikhianati atau dikecewakan pasangan.

b. Faktor pendorong eksternal

Faktor yang berasal dari luar individu, seperti faktor ekonomi, dan ajakan teman.

C. Remaja

1. Pengertian remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Piaget mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana


(42)

individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak langsung merasa di bawah tingkat orang – orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama (Hurlock, 2004).

Hurlock (2004) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Hurlock (2004), menjelaskan masa remaja berlangsung atara usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun dengan pembagian: 13-16 atau 17 tahun sebagai masa remaja awal: 16 atau 17 tahun-18 tahun sebagai masa remaja akhir.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja berlangsung pada usia 13-18 tahun dan merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa yang tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.

2. Aspek-aspek perkembangan remaja

Hurlock (2004) mengemukakan bahwa pada masa remaja memiliki empat jenis perkembangan yaitu:

a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan keterampilan motorik (Papalia & Olds, 2008). Perubahan fisik yang


(43)

terjadi pada masa remaja terlihat nampak pada saat pubertas yaitu meningkatnya berat badan serta kematangan sosial (Santrock, 2002). Diantara perubahan fisik, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditadai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2010).

Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja dipengaruhi oleh berfungsinya hormon – hormon seksual (testosteron untuk laki – laki dan progesteron dan estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja. Dorongan seksual ini mengakibatkan perilaku seksual pada remaja baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk dari tingkah laku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2010).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Perkembangan kognitif remaja ini dikenal dengan tahap operasional formal (Santrock, 2002).


(44)

Tahap operasional formal adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual melainkan pada pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasional formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal.

Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2002).

Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak lagi terlalu tergantung kepada orang lain.

Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis (Santrock, 2002).

Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2002). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang


(45)

belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2008). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain”.

c. Perkembangan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil, sehingga sering kali menimbulkan kegundahan diri pada remaja. Hal ini yang kemudian menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004) menyebut gejolak tersebut dengan istilah ‘badai dan tekanan’, atau dikenal dengan periode storm and stress yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Tidak semua remaja menjalani masa badai dan tekanan, namun sebagian remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru (Hurlock, 2004).

d. Perkembangan sosial

Remaja mengalami masa pergolakan remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman


(46)

sebaya, dimana remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan keluarganya (Monks dkk, 2002). Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.

Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh remaja di rumah maupun di sekolah (Zulkifli, 2005). Namun, kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok, maupun melakukan seks bebas (Hurlock, 2004). Hal ini disebabkan karena kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam berperilaku (Papalia & Olds, 2008).

D. Tahapan Pengambilan Keputusan menjadi Pekerja Seks Komersial pada Remaja Putri

Dewasa ini, banyak remaja putri yang menjadi pekerja seks komersial. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang melatarbelakanginya, seperti materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi (Koentjoro, 2004). Dalam penelitiannya, Hutabarat dkk (2004) menambahkan dua


(47)

faktor seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu faktor pendorong internal seperti rasa sakit hati dan kecewa dari pasangan dan faktor pendorong eksternal termasuk faktor ekonomi dan ajakan teman.

Mengambil sebuah keputusan bukan lah hal yang mudah, apalagi yang menyangkut kehidupan pribadi. Sama hal nya mengambil sebuah keputusan menjadi pekerja seks komersial yang dilakukan oleh remaja putri yang memerlukan banyak waktu serta memilih satu alternatif dari alternatif-alternatif yang ada. Perkembangan remaja juga turut mengambil bagian dalam sebuah keputusan. Remaja yang memiliki emosional yang tinggi yang tidak lepas dari pengaruh lingkungan remaja itu sendiri. Pemikiran dari remaja yang sudah memasuki tahap operasional formal juga ikut berperan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan remaja. Remaja yang sudah mempu memiliki pemikiran yang abstrak, idealistis, dan logis membuat remaja sudah mempu mengambil sebuah keputusan sendiri dan tidak tergantung lagi pada orang lain (Santrock, 2002).

Janis dan Mann (1987) mengemukakan ada lima tahapan dalam pengambilan keputusan yaitu menilai masalah, menilai alternatif-alternatif yang ada, mempertimbangkan alternatif, membuat komitmen, bertahan meskipun ada feedback

negatif. Kelima tahapan tersebut tidak selamanya berlangsung secara optimal. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan proses pembelajaran dan pengalaman yang ikut mempengaruhi.

Tahap pertama pengambilan keputusan ini diawali oleh adanya informasi atau kejadian baru yang menarik perhatiannya (Janis dan Mann, 1987). Terkait dengan


(48)

pekerja seks komersial, remaja memperoleh informasi atau kejadian baru tersebut dapat mempengaruhi prinsip yang mereka anut sebelumnya. Informasi yang diperoleh berupa cara mudah dalam mendapatkan uang. Akibat adanya informasi yang menarik ini, akan membuat individu merasa kurang nyaman karena ia menyadari adanya kesempatan dan tantangan untuk berubah. Pada remaja, informasi mengenai pekerja seks komersial ini tidak lepas dari lingkungan remaja itu sendiri seperti teman sebaya. Papalia & Olds (2008), mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber refensi utama mengenai banyak hal terutama informasi mengenai pekerja seks komersial.

Ketika individu yakin pada informasi yang diperolehnya maka, ia akan menentukan pilihannya dan mulai memfokuskan perhatian pada satu atau lebih pilihan. Individu akan mulai mencari informasi dari orang lain yang berhubungan dengan masalahnya (Janis dan Mann, 1987). Remaja yang mendapat informasi mengenai pekerja seks komersial akan mencari informasi lainnya, dan biasanya remaja akan mencari informasi dari teman-teman di lingkungannya. Hal ini disebabkan karena adanya kedekatan yang tinggi pada kelompok teman sebaya remaja (Paplia & Olds, 2008). Selain dari teman sebaya, remaja juga melihat media masa sebagai sumber pencarian informasi (Janis dan Mann, 1987).

Setelah melihat alternatif selanjutnya individu akan memasuki tahapan ketiga yaitu mempertimbangkan alternatif. Individu akan memilih alternatif yang terbaik diantara yang tersedia baginya mulai mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari tiap-tiap alternatif. Setelah ia merasa cukup yakin untuk memilih satu alternatif


(49)

yang menurutnya paling baik dalam mencapai tujuan tertentu (Janis dan Mann, 1987). Remaja sebelum mengambil keputusan menjadi pekerja seks komersial, akan mempertimbangan keuntungan dan kerugian akan keputusannya.

Janis dan Mann (1987) mengelompokkan pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menjadi dua kelompok, yaitu: pertimbangan utilitarian, yaitu segala pertimbangan yang melibatkan efek instrumental atau efek yang dirasakan secara langsung dari suatu keputusan. Selanjutnya pertimbangan non-utilitarian yaitu pertimbangan-pertimbangan lain di luar efek instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan-pertimbangan ini meliputi keuntungan dan kerugian yang akan dirasakan oleh diri sendiri dan orang-orang yang ada di sekitar individu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan, individu ada yang mulai merasa yakin dan ada yang kembali ragu-ragu dengan informasi-informasi yang telah dikumpulkannya pada tahap kedua. Keragu-raguan ini membuat individu kembali ke tahap kedua. Individu akan mengumpulkan informasi lebih lanjut untuk menyakinkan individu dalam mengambil suatu keputusan.

Individu yang telah yakin dengan keputusannya, akan mengambil sebuah perencanaan tindakan tertentu untuk dilaksanakan. Pengambil keputusan mulai memikirkan cara untuk mengimplementasikannya dan menyampaikan keinginannya tersebut kepada orang lain. Remaja yang memutuskan menjadi pekerja seks komersial akan memberitahu keputusannya pada teman sebaya, biasanya pada teman yang juga sebagai pekerja seks komersial karena mereka tidak akan menentang keputusan yang


(50)

telah diambil oleh remaja tersebut (Janis dan Mann, 1987). Namun individu juga mempersiapkan argumen-argumen yang akan mendukung pilihannya tersebut khususnya bila ia berhadapan dengan orang-orang yang menentang keputusannya tersebut dikarenakan pengambil keputusan menyadari bahwa cepat atau lambat orang-orang pada jaringan sosialnya yang tidak secara langsung terkena dampaknya seperti keluarga atau teman akan mengetahui tentang keputusan tersebut. Perencanaan dan persiapan ini merupakan tahapan keempat dari pengambilan keputusan yaitu membuat komitmen (Janis dan Mann, 1987).

Setelah mengambil sebuah keputusan, individu memasuki tahap honeymoon, dimana ia akan merasa bahagia dengan keputusannya tanpa ada rasa cemas. Remaja pekerja seks komersial merasa senang dengan keputusannya dimana mereka umumnya bahagia karena uang yang mereka peroleh. Namun pandangan negatif orang lain mengenai pekerja seks komersial ataupun hal-hal yang menjadi hambatan pada keputusan remaja, tidak menjadi halangan baginya. Hal ini dikarenakan kebahagiaan yang diperoleh remaja dengan keputusannya yang mengakibatkan remaja tetap bertahan dengan keputusannya yang diambilnya.


(51)

PARADIGMA PENELITIAN

Pelacuran/Prostitusi

Aspek Perkembangan Pekerja Seks Komersial

Remaja Putri PENGAMBILAN KEPUTUSAN Menilai informasi baru Melihat alternatif-alternatif yang ada Mempertim-bangkan alternatif Membuat komitmen Bertahan meskipun ada feedback negatif Latar belakang menjadi PSK

 Materialisme

 Modeling

 Dukungan orangtua

 Lingkungan yang permisif

 Faktor ekonomi

 Ajakan teman

 Sakit hati/kecewa dari pasangan

Sosial Emosi

Kognitif Fisik


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bagian pendahuluan, telah dijelaskan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja putri. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan dipakai, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis data.

A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan & Taylor (dalam Poerwandari, 2007) pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan tidak dinilai benar-salah atau iya-tidak. Penelitian ini lebih mementingkan segi proses daripada hasil.

Denzim dan Lincoln (dalam Moleong, 2006), menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Metode yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara, pengamatan atau observasi dan pemanfaatan dokumen.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus merupakan adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks


(53)

yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 2007). Kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa.

Kasus dapat berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang dapat diteliti dalam bentuk studi kasus: individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu-individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu (Punch dalam Poerwandari, 2007).

Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut. Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe (Poerwandari, 2007): 1. Studi kasus intrinsik

Penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasi.

2. Studi kasus instrumental

Penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan, memperhalus teori.


(54)

3. Studi kasus kolektif

Suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena/ populasi/ kondisi umum dengan lebih mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus, studi kasus ini sering juga disebut studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif.

Dalam hal ini, peneliti menggunakan studi kasus kolektif. Peneliti berharap dapat mempelajari fenomena maupun kondisi umum yang lebih mendalam seputar responden penelitian beserta konteksnya mengenai faktor yang melatarbelakangi remaja menjadi pekerja seks komersial serta bagaimana tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial yang dilakukan oleh pada remaja putri.

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik responden penelitian

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah :

a. Remaja yang berusia antara 13 sampai 18 tahun (Hurlock, 2004)

Alasannya karena pada usia inilah pengambilan keputusan yang dilakukan remaja lebih meningkat (Santrock, 2002).


(55)

b. Individu berjenis kelamin perempuan

Alasannya karena umumnya pekerja seks komersial perempuan sehingga lebih mudah menemukan pekerja seks komersial perempuan (Radar berita, 2011). c. Masih bekerja sebagai pekerja seks komersial

Alasannya karena peneliti ingin melihat bagaimana tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial dan hal yang mempertahankan seseorang tetap menjadi pekerja seks komersial.

2. Jumlah responden penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah dua orang responden. Alasan utama pengambilan jumlah sampel tersebut adalah adanya keterbatasan dari peneliti sendiri baik itu waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

3. Prosedur pengambilan responden

Pada penelitian ini prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based/ operational construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan, penggunaan


(56)

prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar responden benar-benar bersifat representatif artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Hal ini dilakukan karena kota Medan merupakan domisili peneliti sehingga akan lebih mempermudah peneliti dalam hal pengumpulan data selama penelitian berlangsung. Pengambilan data dilakukan dapat dilakukan di rumah responden penelitian atau bisa berada dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginkan responden.

C. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti (Poerwandari, 2007). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara. Responden diwawancarai untuk memperoleh tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja putri berdasarkan pengalaman subjektif dari masing-masing responden. Menurut Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut.


(57)

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum dimana dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengani aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (check-list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).

Wawancara dengan pedoman umum ini dapat berbentuk wawancara mendalam dimana peneliti mengajukan pertanyaan tahapan pengambilan keputusan secara mendalam. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk open-ended question

dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih lanjut tentang topik yang dibahas tanpa membuat responden merasa diarahkan.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, penampilan fisik responden, sikap responden selama wawancara, hal-hal yang menganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara. Menurut


(58)

Poerwandari (2007), observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman umum wawancara, alat tulis dan kertas untuk mencatat.

1. Alat perekam (tape recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi responden kembali apabila masih ada hal yang belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara juga merupakan data yang utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan responden dalam wawancara. Moleong (2006) mengatakan, perekaman data melalui tape recorder hendaknya dilakukan dengan memperoleh persetujuan dari responden yang diwawancarai terlebih dahulu.


(59)

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecekan bahwa semua aspek yang relevan telah dibalas atau ditanyakan. Pedoman ini digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara juga berguna sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban responden sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan analisis data (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aspek-aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dimana penyusunannya dilakukan berdasarkan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tahapan pengambilan keputusan (Janis dan Mann, 1987).

3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007).


(60)

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja putri. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

a. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian dalam hal ini remaja putir yang berusia 13-18 tahun dan masih bekerja sebagai pekerja seks komersial.

b. Membangun rapport dengan responden agar ketika proses wawancara berlangsung responden dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada saat wawancara.

c. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan tahapan pengambilan keputusan (Janis dan Mann, 1987). Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawanncara dengan professional judgement. Pada penelitian ini, professional judgment adalah dosen pembimbing penelitian ini. d. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk

mendapatkan data yang akurat.

e. Selama wawancara, peneliti menanyakan kembali beberapa pertanyaan yang dirasa butuh penjelasan yang lebih dalam lagi pada wawancara berikutnya untuk memastikan keakuratan data responden.

f. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang responden penelitian.


(61)

g. Melibatkan dosen pembimbing, dosen yang ahli dalam bidang kualitatif dan teman sejawat untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

h. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

F. Prosedur Penelitian

Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap analisa data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi, studi literatur dan teori-teori yang berhubungan dengan tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial pada remaja.

b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah


(62)

sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing serta mencoba pertanyaan ke beberapaorang mahasiswa psikologi untuk menilai efektifitas pedoman wawancara sekaligus merecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin oleh responden)

Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari siapapun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti

tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

e. Persiapan untuk mengumpulan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari beberapa sumber. Peneliti memastikan bahwa calon responden memenuhi karakteristik dengan melakukan pra-wawancara. Pada responden I, peneliti memperoleh informasi dari tetangga peneliti, dan ternyata responden I masih


(63)

tetangga jauh peneliti. Peneliti sedikit banyaknya mendapatkan informasi mengenai responden I dari tetangga peneliti tersebut. Untuk responden II, peneliti mengetahuinya dari seorang guru disekolah swasta. Dari guru inilah, peneliti berkenalan dengan seorang wanita yang bekerja di sebuah cafe yang juga bekerja di tempat yang sama dengan responden II. Setelah semua informasi terkumpul kemudian barulah peneliti menyusun cara dan strategi untuk membangun rapport dengan kedua responden penelitian serta keluarganya. Setelah mendapatkan calon responden yang memenuhi karakteristik, lalu peneliti menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian dan menjelaskan lembar persetujuan (informed consent)

dalam penelitian. Awalnya mereka ragu akan kerahasiaan datanya, peneliti pun menjelaskan dan menyakinkan data yang diperoleh akan terjamin kerahasiaannya.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesedian responden, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Pendekatan yang dilakukan peneliti untuk kedua responden tidak memerlukan waktu yang lama, karena kedua responden sama-sama memiliki sikap yang ramah serta mudah beradaptasi dengan orang lain. Responden I dan peneliti pergi ke sebuah mall dan makan siang bersama. Hal ini dilakukan peneliti agar responden lebih merasa nyaman dengan peneliti tertutama saat akan menanyakan seputar dengan pekerja seks komersial. Keesokan harinya,


(1)

responden sebagai pekerja seks

komersial.

negatif

5x

Adanya razia

dan kasus

pembunuhan

pada pekerja

seks

komersial,

tetap menjadi

PSK

R.2/W.2/b.1882-1891/h.43

Responden merasa takut apabila

melakukan hubungan di hotel

karena telah banyaknya kasus

pembunuhan yang terjadi di

hotel.

Bertahan

meskipun ada

feedback

negatif

R.2/W.2/b.1931-1934/h.44

Responden takut akan rajia di

bulan puasa bulan depan.

Bertahan

meskipun ada

feedback

negatif

R.2/W.2/b.1942-1946/h.44

Pernah terjadi razia di tempat

kerja responden, dank arena

responden masih di bawah

umur, takut di tangkap

responden lari menghindari

petugas razia.

Bertahan

meskipun ada

feedback

negatif

R.2/W.2/b.1954-1961/h.44

Setiap bulan

puasa tiba

responden dan teman responden

di cafe mereka bekerja tidak

diperbolehkan memakai baju

seksi.

Bertahan

meskipun ada

feedback

negatif

R.2/W.3/b.3192-3195/h.72

Responden merasa takut saat

akan melayani tamu di sebuah

hotel karena banyaknya kasus

pembunuhan yang trerjadi di

hotel-hotel.

Bertahan

meskipun ada

feedback

negatif

3x

Pertimbangan

dalam

R.2/W.1/b.229-233/h.6

Responden kembali memikirkan

bahwa dengan cara seperti ini

responden dapat memnuhi

kebutuhannya.

Pertimbangan

dalam

mengambil

keputusan


(2)

R.2/W.1/b.451-454/h.11

Penyakit seksual dan kehamilan

menjadi pertimbangan

responden

Pertimbangan

dalam

mengambil

keputusan


(3)

Langkah 4

Dinamika responden I dan responden II

1.

Faktor yang melatarbelakangi menjadi pekerja seks komersial

Responden I (Vivie)

lingkungan sosial (teman sebaya di sekolah)

Keterangan:

Faktor yang melatarbelakangi

menjadi PSK

Materialisme (+)

Modeling (+)

Ajakan teman (+) Lingkungan

permisif (-)

Sakit hati dari pasangan (-) Ekonomi

(-) Dukungan

orangtua (-)

Meniru teman

sekolah Ajakan kakak kelas

Profesi PSK

Profesi PSK

Ingin memiliki

barang mewah Merasa kurang dari uang yang

diberikan orangtua


(4)

Responden II (Icha)

faktor ekonomi dan perilaku seks bebas

Keterangan:

(+) faktor yang melatarbelangi responden menjadi PSK

(-) faktor yang melatarbelakangi responden menjadi PSK tidak ditemukan

Faktor yang melatarbelakangi

menjadi PSK

Materialisme (-)

Ajakan teman (-) Lingkungan

permisif (-)

Ekonomi (+) Dukungan

orangtua (-) Modeling

(-)

Sakit hati dari pasangan (+)

Ayah sakit

Hubungan dengan ibu tiri tidak harmonis Perekonomin keluarga

menurun

Melakukan hubungan

seksual

Tidak perawan

Merasa tidak berharga lagi


(5)

2.

Tahapan pengambilan keputusan menjadi pekerja seks komersial

Responden I (Vivie)

Responden II (Icha)

Tahapan pengambilan keputusan

Bertahan meskipun ada feedback negatif Membuat

komitmen Mempertimbangkan

alternatif Melihat

alternatif-alternatif yang ada Menilai

informasi baru

Menjadi PSK (-) hub.seks, melayani tamu dengan hub. seks setelah menjual keperawanan

Senang dengan uang dan seks Kerugian:

Penyakit seksual dan kehamilan

Pandangan negatif orang baik ke diri sendiri maupun keluarga, kecurigaan orangtua

Keuntungan:

Bisa sama seperti teman – teman dan memiliki banyak uang

Mencari informasi tambahan dari adik kelas SMP

(Adek/PSK) Mendapat

informasi dari kakak kelas (bunda/PSK )

Tidak

memberitahukan pada ortu, hanya sepupu (PSK) yang mengetahuinya

Melihat alternatif-alternatif yang ada

Menilai informasi baru

Mempertimbangkan alternatif

Membuat

komitmen Bertahan meskipun ada feedback negatif

Tahapan pengambilan keputusan

Larangan pacar, pandangan negatif

orang lain, tetap menjadi PSK


(6)

3.

Pertimbangan responden dalam mengambil keputusan menjadi pekerja

seks komersial

Responden I (Vivie)

Responden II (Icha)

a.

b.

Pertimbangan-pertimbangan

Pertimbangan utilitarian

Pertimbangan nonutilitarian

Keuntungan dan kerugian bagi diri

sendiri

Keuntungan dan kerugian bagi orang

lain (keluarga)

Penerimaan dan penolakan dari orang

lain Penerimaan dan

penolakan dari diri sendiri

Pandangan negatif orang lain akan berdampak pada keluarga

Kerugian: penyakit seksual dan kehamilan

Keuntungan:

memperoleh uang dengan mudah dan cepat

Pertimbangan-pertimbangan

Pertimbangan nonutilitarian

Pertimbangan utilitarian

Keuntungan dan kerugian bagi diri

sendiri

Keuntungan dan kerugian bagi orang

lain (keluarga)

Penerimaan dan penolakan dari orang

lain Penerimaan dan

penolakan dari diri sendiri

Dapat memberikan uang kepada orangtua Kerugian: penyakit

seksual dan kehamilan

Keuntungan: memperoleh uang yang banyak