Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

yang penting dan berharga karena ketiga subjek ingin tetap melestarikan budaya Jawa dalam sebuah kesenian jathilan yang memang melibatkan unsur kesurupan yang sesungguhnya. Pemaknaan tersebut sesuai dengan teori makna yang dikemukakan Frankl bahwa sebuah makna adalah sesuatu yang dianggap penting dan berharga. “Yo kita yo bangga juga mbak yang jelas wong orang kita bisa apa ya istilahnya itu bisa melestarikan kebudayaan Jawa gitu yang jelas kita juga bangga” Pt IV.PR, 324-329. Selain memaknai fenomena kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, ketiga subjek juga memaknai fenomena kesurupan sebagai sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup. Hal tersebut tampak dalam pikiran mereka yang meyakini bahwa banyak hal positif yang didapat dari kesurupan dalam kesenian jathilan sekalipun dalam kenyataannya rasa lelah dan cidera fisik setelah kesurupan kerap menghampiri mereka. Ketiga subjek merasa senang dan puas bisa njathil hingga kesurupan. Terasa sebagai sebuah prestasi yang membanggakan bisa melestarikan kebudayaan Jawa sekaligus dapat menghibur masyarakat yang menonton pertunjukkan jathilan dengan kesurupan yang sesungguhnya. Ketiga subjek merasa bahwa masyarakat menghargai profesi subjek sebagai penari jathilan. Seringnya ketiga subjek mengalami kesurupan memunculkan perasaan bangga, puas, dan senang , selain itu seringnya terlibat dalam kegiatan jathilan juga membuat ketiga subjek semakin dekat dengan masyarakat. Dengan adanya penghargaan dan “dipandang lebih” oleh 75 masyarakat karena sering mengalami kesurupan saat pentas kesenian jathilan, serta adanya kedekatan antara ketiga subjek dan masyarakat membuat rasa percaya diri ketiga subjek bertambah besar. “Mereka menghargai dan dengan kegiatan saya ini saya merasa lebih dekat dan akrab dengan mereka lha wong misalnya ada acara jathilan gitu semuanya biasa kerjasama “tulung tinulung” untuk kelancaran acara jathilan…yang saya maksud jadi tambah dekat dan akrab ya karna saya dihargai karena kesurupan saya tadi mbak” Fn V.PL, 456-467. Ketiga subjek mengaku menjadi semakin nyaman untuk “srawung” bersosialisai dengan masyarakat. Mereka merasa bahwa masyarakat sangat mendukung dan menghargai profesi subjek sebagai penari jathilan. Dari hal tersebut terlihat bahwa betapa fenomena kesurupan dimaknai sebagai sesuatu yang dapat menambah kualitas hidup ketiga subjek dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Pemaknaan tersebut sesuai dengan teori makna yang dikemukakan Frankl bahwa sebuah makna dapat memberikan nilai khusus bagi seseorang, hal serupa juga dikemukakan dalam artikel yang ditulis oleh Malik 2012. Dari adanya pemaknaan fenomena kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga serta fenomena kesurupan sebagai sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup, hal tersebut menjadikan ketiga subjek dengan tulus dan atas dasar keinginan sendiri dalam mengalami kesurupan setiap pentas njathil. Ketiga subjek meyakini dalam pikiran mereka bahwa kesurupan yang mereka alami merupakan suatu panggilan, suatu bentuk tanggung jawab, dan adanya suatu keinginan untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa. 76 “Kalau dari awal-awal dulu dari awal-awal berdirinya kelompok jathilan itu cuma penasaran aja jadi rasa ingin tau rasanya orang kesurupan itu gimana cuma itu aja. Gak ada maksud lain itu gak ada, misal untuk menyombongkan diri gitu gak ada ya kalau sekarang ya seperti yang saya bilang tadi mbak, gak bisa saya pungkiri nggih saya mau kesurupan itu ya karna dah jadi opo...tanggungjawab dan kewajiban saya sebagai penari jathilan Kepuh yang sesungguhnya. Penari sejati ngono kae lo mbak...hahaaaa” As IV.PK, 332-350. “Awalnya mungkin karna udah terbiasa, kayak udah ada panggilan” Fn IV.PK 195-197. Tak luput dari dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari fenomena kesurupan yang mereka alami, seperti badan terasa lelah, cidera fisik, dan berpengaruh dalam menurunnya kinerja subjek namun tidak mengurangi semangat subjek untuk tetap njathil hingga kesurupan. Ketiga subjek mengaku tetap merasa senang dan bangga bisa njathil hingga kesurupan dan semuanya itu didasari dengan ketulusan. “Ya saya rasa ya kesurupan ga kesurupan tu capek mbak…itu wis tetep e…ya satu…sampe…bahkan bisa sampe satu minggu itu ya rasa capek kita itu belum hilang itu…itu tapi kalo gak...opo tambah penyemangat kerja atau gimana itu gak ada. Malah bikin males itu yang sering saya lakukan itu itu…asline gitu, itu tapi anehnya yang kalau dilogika emang bikin capek dan gak semangat itu faktanya yang harusnya capek malah badan jadi tahan banting, yang harusnya gak semangat eh semangatnya malah nambah. Intinya ya tetep jadi dampak yang positif mbak, mungkin karna saya melakukan kesurupan itu dari niat dan ketulusan jadinya dampaknya itu dampak positif” As V.PR 634-657. “Maksudnya sewaktu kesurupan itu ya sudah jelas yo istilahe bangga, puas ya menyenangkan mbak bisa sampai kesurupan tapi ya walaupun saat njathil saya gak kesurupan ya saya tetap berusaha menghibur penonton mbak tetep saya itu ya saya pastinya tetep semangat walau sebenarnya merasa minder terus ee..,opo yo ya mati gaya kae lo mbak kalau sampai tidak kesurupan” FnIII.PR, 386-398. 77 Dari hal tersebut terlihat bahwa betapa sebuah makna memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga dapat menggerakkan ketiga subjek untuk tetap njathil hingga kesurupan. Pemaknaan tersebut sesuai dengan teori makna yang dikemukakan Frankl bahwa sebuah makna dapat memberikan nilai khusus bagi seseorang, dalam hal ini adalah nilai ketulusan untuk tetap njathil hingga kesurupan. 78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ketiga subjek memiliki pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan. Pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: 1 Kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, 2 Kesurupan merupakan sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup; 3 Kesurupan dilakukan dengan tulus dan dari keinginan sendiri. Ketiga makna yang dihayati para penari jathilan tersebut membuat mereka tulus dan senang hati tetap njathil hingga kesurupan. Walau esensi kesurupan bagi sebagian penari jathilan mulai bergeser, penari jathilan Turonggo Jati Manunggal tetap tulus dan senang hati menjalani aktifitas njathil hingga kesurupan sekalipun pada kenyataannya memberi efek fisik seperti kelelahan maupun cidera fisik, dan menurunkan kinerja. Hal lain yang mendasari ketiga subjek tetap mau njathil hingga kesurupan adalah sebagai bentuk perwujudan pelestarian tradisi budaya Jawa.

B. Saran

1. Bagi penari

jathilan, sebaiknya berusaha untuk menularkan makna yang dihayatinya kepada para penari jathilan lainnya untuk lebih menghidupkan kesenian jathilan dengan melibatkan kesurupan sesungguhnya yang merupakan warisan kebudayaan asli Indonesia khususnya Jawa. 79

2. Bagi masyarakat,

sebaiknya berusaha terlibat dalam pelestarian budaya yang sudah ada dan mendukung penari jathilan untuk tetap njathil hingga kesurupan agar pelestarian budaya Jawa tetap ada dan tidak punah seiring berkembangnya jaman karena dukungan dari masyarakat menjadi motivasi bagi penari jathilan untuk tetap njathil hingga kesurupan dan menjadi motivasi penari jathilan pula untuk tetap melestarikan kesenian tradisional asli Jawa.

3. Bagi peneliti selanjutnya,

yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama dapat dilakukan penelitian mengenai makna kesurupan bagi penari jathilan dengan menambah variasi subjek penari perempuan atau kelompok-kelompok jathilan di wilayah lain selain Kepuh dan menambah review literatur tentang makna untuk lebih memperkaya hasil penelitian. 80 DAFTAR PUSTAKA Anzwar, S. 1995. Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ardhi. 2009, 13 April. Jathilan mataraman “SATRIA MUDA BUDAYA”. Diunduh dari http:jathilanmataraman.blogspot.com200904lakon- lakon-dalamtarian-jathilan.html . Bogdan, R. C. Biklen, S. K. 1982. Qualitative research for education : an intoduction to theory and methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Creswell, J. W. 1998. Qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. Danim, S. 2002. Menjadi peneliti kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Dewi, Heristina. 2007. Perubahan Makna Pertunjukan Jaran Kepang pada Masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari Medan. Diunduh dari http:repository.usu.ac.idhandle12345678918730 Hadiwijoyo, H. 1980. Sari sejarah filsafat barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hall, Calvin S. Lindzey, Gardner. 1993. Teori-teori psikodinamik klinis. Ed: Dr. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius. Itha. 2007, 16 Agustus. Fenomena kesurupan sebagai suatu bentuk histeria. Diunduh dari http:itha.wordpress.comcategorykarya-ilmiah. Jathilan sebuah tarian magis. 2007, 7 Desember. Diunduh dari http:www.beritaindonesia.co.idbudayajathilan-sebuah-tarian-magis . Koesworo, E. 1987. Psikologi eksistensial. Bandung : Rosda Offset. Kuda lumping. 2012, 28 Maret. Diunduh dari http:id.wikipedia.orgwikiKuda_lumping . Kurniawan, Bobby. 2010, 11 Mei. Fenomena kesurupan menurut perspektif psikologi. Diunduh dari http:09034bobby.wordpress.com20100511fenomena-kesurupan menurut-perspektif-psikologi. Malik, Idham. 2012, 15 Januari. Mengartikan makna, menghayati arti. Diunduh dari http:bontocina-kaizen.blogspot.com201201mengartikan- makna-menghayati-arti.html . 81 Masyarakat seni pertunjukan Indonesia, 1999. Direktori Seni Pertunjukan Tradisional. Indonesia : Arti Line. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3. Riza, Muhammad. Rahayu, Istina. 2010. Perception of javanese ritual trance at kuda lumping and sablang bakungan: an indigeneous study in javanese culture. Diunduh dari http:lib.atmajaya.ac.iddefault.aspx?tabID=324op=saveids=1225 822ref=2fDDefault.aspx3ftabID3d522626prang3dRiza 252c2bMuhammad. Sejarah kuda lumping. 2012, 28 Maret. Diunduh dari http:id.wikipedia.orgwikiKuda_lumping . Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali: dua pusat perkembangan drama tari tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sulistyo. 2006. Metodolgi penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Supraktiknya, A. 2007. Kiat merujuk sumber acuan dalam penulisan karya ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Usman, Pelly. 1994. Teori-teori sosial budaya. Jakarta: Depdikbud. Walker, Sheila S. 1973. Ceremonial spirit possession in Africa and Afro- America: forms, meaning, and functional significance for individuals and social groups. Diunduh dari http:books.google.co.idbooks?id=aNIUAAAAIAAJprintsec=front coverhl=idsource=gbs_ge_summary_rcad=0v=onepageqf= false. Wallance, Alfred Russel. 2001. On miracles and modern spiritualism: rise of victorian spiritualism. Diunduh dari http:books.google.co.idbooks?id=oKWo2nlLN- gCprintsec=frontcoverdq=inauthor:22Alfred+Russel+Wallace 22hl=idsa=Xei=7JgtUfzGG4bRrQeEoYHgCQved=0CGMQ6 AEwCQv=onepageqf=false. 82