3
menghayati hidup berkomunitas dan melayani sesama. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang fenomena ini muncul sebagian karena kurangnya pengetahuan
anggota tentang spiritualitas yang menjiwai dan visi misi yang dihayatinya. Oleh karena itu, segenap anggota komunitas diharapkan untuk belajar bersama
menggali kekayaan, mendalami dan menghayati kedua spiritualitas yang dimaksud secara teratur dan konsekuen. Dengan demikian maka visi dan misi
komunitas dapat terwujud dalam hidup dan pelayanan setiap anggota baik secara komunitas maupun perorangan.
Dari apa yang diuraikan di atas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan Spiritualitas Karmel dan Spiritualitas Karismatik agar segenap
anggota komunitas dapat mengerti dengan baik dan benar serta dapat menghayati, mengembangkan visi dan misi sebagaimana dimaksud oleh pendirinya. Untuk itu,
penulis memberi judul skripsi ini: SPIRITUALITAS KARMEL DAN SPIRITUALITAS
KARISMATIK SEBAGAI
SUMBER UNTUK
MENGEMBANGKAN VISI DAN MISI BAGI ANGGOTA KOMUNITAS TRITUNGGAL MAHAKUDUS DI DISTRIK YOGYAKARTA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah pokok dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa isi visi dan misi KTM?
2. Apa arti dan peranan spiritualitas Karmel dan spiritualitas Karismatik dalam
mengembangkan visi dan misi KTM? 3.
Bagaimana program katekese untuk pendalaman Spiritualitas Karmel dan Spiritualitas Karismatik di Distrik Yogyakarta?
4
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah: 1.
Mengetahui visi dan misi KTM. 2.
Mengetahui arti dan peranan Spiritualitas karmel dan Spiritualitas Karismatik dalam mengembangkan visi dan misi KTM.
3. Membuat program katekese untuk pendalaman Spiritualitas Karmel dan
Spiritualitas Karismatik. 4.
Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dengan adanya skripsi ini nantinya adalah :
1. Membantu anggota KTM semakin mengetahui visi dan misi KTM
2. Membantu anggota KTM semakin mengerti arti dan peranan Spiritualitas
Karmel dan Spiritualitas Karismatik. 3.
Untuk membantu anggota KTM menemukan program katekese untuk pendalaman Spiritualitas Karmel dan Spiritualitas Karismatik.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis yakni berusaha memaparkan makna, arti Spiritualitas
Karmel, Spiritualitas Karismatik dan bagaimana kedua spiritualitas besar itu berperan dalam penghayatan serta pengembangan visi dan misi KTM sesuai
dengan maksud dan tujuan KTM didirikan.
5
F. Sistematika Penulisan
Pada bab I, penulis akan menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang inspirasi dasar KTM yang berawal dari pengalaman Karmel Awali dan peristiwa Pentakosta, sejarah awal berdirinya
KTM serta visi dan misi KTM. Hal ini bertujuan supaya pembaca dapat benar- benar mengetahui dan memahami bagaimana sumber ispirasi tersebut
memberikan berbagai teladan bagi KTM. Bab III memberikan gambaran tentang awal mula kehadiran KTM di
Yogyakarta, spiritualitas yang menjiwai KTM, pada bagian ini mula-mula penulis memaparkan arti spiritualitas secara umum, lalu di ikuti dengan memaparkan
Spiritualitas Karmel dan Spiritualitas Karismatik yang merupakan spiritualitas yang dihayati oleh KTM. Pada bagian akhir dalam bab ini, penulis juga
memaparkan semangat profetik yang berkobar dalam tubuh KTM. Pada bab IV penulis mengupayakan pendalaman Spiritualitas Karmel dan
Spiritualitas Karismatik sebagai sumber pengembangan visi dan misi bagi anggota KTM Ditrik Yogyakarta melalui katekese model Shared Christian Praxis SCP.
Pertama-tama penulis memaparkan bebagai hal mengenai katekese, kemudian dilanjutkan dengan beberapa usulan program katekese sebagai sarana pendalaman
Spiritualitas Karmel dan Spiritualitas Karismatik. Bab V merupakan rangkaian penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini,
penulis akan mengungkapkan lagi isi pokok dari seluruh pembahasan dalam skripsi ini, yang berisi kesimpulan dan saran yang semakin meneguhkan pembaca.
BAB II PENGALAMAN KARMEL AWALI DAN PENGALAMAN PENTAKOSTA
SEBAGAI INSPIRASI DASAR KOMUNITAS TRITUNGGAL MAHAKUDUS
A. Karmel Awali
1. Lokasi Gunung Karmel
Karmel adalah sebuah gunung kecil, menjulang tinggi sekitar 550 meter dan dari sisi lain menghadap ke Laut Tengah dengan pemandangan yang indah,
gabungan antara ketinggian gunung dan keluasan laut Phang, 2012: 30. Selain itu kata “Karmel” juga menunjukkan kepada sekelompok orang yang
menghanyutkan dirinya dalam doa dan keserhanaan. Karmel, singkatan dari Karem El, yang artinya Kebun Anggur Allah,
merupakan lambang kesuburan; dan rupanya dahulu memang tempat yang amat subur dan indah, yang mengingatkan kita akan keindahan ilahi yang dirindukan
oleh setiap orang yang mencari dan merindukan Allah Team P. Karm dan CSE, 2000:1.
Sejak dahulu hingga kini, Gunung Karmel telah menjadi tempat suci, tidak saja bagi para Karmelit, tetapi juga bagi semua orang Kristen, Yahudi dan Islam
Slattery, 1993: 1.
2. Gunung Karmel dan Nabi Elia
Bagi para Karmelit nama Gunung Karmel khususnya dikaitkan dengan tokoh besar Perjanjian Lama, yaitu Nabi Elia yang dalam kuasa Allah seorang diri
7
menghadapi para nabi palsu yang menyesatkan umat Allah Team P. Karm dan CSE, 2000: 2. Di gunung ini pulalah Elia merasakan kehadiran Allah dalam
keheningan dan kesunyian Gunung Karmel. Gunung Karmel menjadi tempat suci, karena Nabi Elia, orang Tisbe, telah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar bagi
Allah di sana. Maka tidak mengherankan kalau pertapa-pertapa Latin yang tinggal di Gunung Karmel, menetapkan Nabi Elia sebagai teladan untuk diikuti Slattery,
1993: 27.
Kisah kenabian Elia dapat kita jumpai dalam Kitab Suci, mulai dari 1 Raja-raja 17 dimana Elia muncul secara tiba-tiba dan berakhir dalam 2 Raja-raja
2:13 Elia diangkat ke surga dengan kereta berapi. Elia hidup dan bergelut dengan dalam jaman di mana ada pertentangan antara agama tentang Allah yang benar
dan pengaruh penyembahan berhala. Kebiasaan penyembahan berhala dari orang- orang Kanaan telah begitu kuat merasuk diantara orang-orang Israel, sehingga ada
kemungkinan ketaatan kepada Allah yang membebaskan mereka dari Mesir tergerus. Elia muncul ditengah krisis kepercayaan dan pertentangan ini Slattery
1993: 29.
Dalam kitab 1 Raja-raja 18:19-40 dikisahkan tentang Elia yang menantang 450 nabi Baal untuk bertanding di sebuah mezbah pada Gunung Karmel untuk
menentukan sembahan siapa yang pantas untuk disembah oleh Bangsa Israel. Cerita Kitab Suci tentang Nabi Elia menampilkan seorang Nabi sebagai juru
bicara Yahweh yang secara aktif terlibat dalam masalah-masalah jamannya Slattery, 1993: 30. Nabi-nabi Baal gagal melakukannya. Elia menyuruh
menyirami kurbannya dengan air untuk membasahi seluruh mezbah dan kemudian ia berdoa. Datanglah api dari langit dan membakar habis kurban, mezbah, kayu,
8
batu, tanah dan air yang ada di sana. Segera umat Israel yang melihatnya menyerukan TUHAN, Dialah Allah TUHAN, Dialah Allah 1 Raj. 18:39.
Pada akhirnya, Elia mengumumkan berakhirnya masa kekeringan air; awan-awan
berkumpul, langit menjadi gelap dan hujan turun dengan lebat 1 Raj. 18:45.
Elia tidak hanya kontemplatif tetapi juga aktif menjawab panggilan Allah. Ia adalah nabi yang sepenuhnya siap sedia melayani Allah, yang berdiri dihadapan
Allah laksana pelayan yang menanti perintah tuannya. Keterbukaan dan kesiapan total menerima sabda Allah mendorong Elia hidup dengan cara khusus dalam
keheningan dan kesunyian Slattery 1993: 31.
Yang menonjol dari Elia adalah imannya yang kokoh dan kreativitasnya yang original. Tidak ada nabi yang berani mempertaruhkan nyawanya sedemikian
rupa seperti Elia. Hal ini terjadi karena Elia begitu yakin bahwa Allah adalah Dia yang tidak mempermalukan setiap orang yang percaya dan berharap pada-Nya.
Elia sangat memegang teguh tradisi religius bangsa Israel dan menjadi tokoh kesetiaan akan perjanjian di kala perjanjian itu hampir sirna. Baginya Allah
sendiri adalah Tuhan bangsa Israel dan dia tidak mau kalau lingkungan Allah dicampuri oleh Baal.
3. Karmelit Awali
Lahirnya para Kermelit tidak dapat dilepaskan dari situasi pergerakan besar yang terjadi dalam Gereja pada abad pertengahan. Waktu itu semangat
religius dalam biara-biara banyak yang merosot. Maka dari kalangan awam timbullah suatu reaksi melawan gejala-gejala tersebut dan mereka ingin kembali
kepada kesederhanaan hidup dan kemiskinan Kristus sendiri, kepada pantang dan
9
puasa, kepada doa dan kontemplasi dan kehidupan yang sungguh-sungguh sederhana Team P.Karm dan CSE, 2000: 4-5. Oleh karenanya mereka ingin
menjalani hidup yang miskin dan sederhana dengan cara berpuasa dan berdoa, hidup di tempat-tempat yang sederhana, berpindah-pindah. Mereka memaknai
hidup sebagai peziarahan yang terus menerus Slattery, 1993: 3.
Mereka meninggalkan rumah mereka dan tinggal di suatu daerah yang sunyi dan terasing. Ada pula yang pergi ke suatu tempat suci untuk berdoa.
Tempat suci utama yang menjadi tujuan peziarahan mereka adalah tanah suci yng dipandang sebagai tanah warisan Kristus. Ada juga peziarah yang pergi ke tanah
suci dan berkaul untuk tinggal di sana selamanya. Intensi mereka ke tanah suci juga cukup beragam, ada yang melaksanakan penitensi yang dibebankan
kepadanya sebagai silih atas dosa, ada yang karena pilihannya sendiri. Ikut dalam perang salib termasuk dalam bentuk lain dari peziarahan ini, mereka
mempertaruhkan hidup demi kasih kepada Kristus dan pengampunan dosa. Selepas perang salib banyak diantara mereka yang menetap di tanah suci, dan
salah satu tempat yang dipilih adalah gunung Karmel di dekat wadi yang disebut
Wadi’aijn-es-Siah Slattery 1993:4-6.
Dalam perkembangannya para pertapa sering dicurigai dalam kebenaran imannya dan dianggap paling bawah dalam tingkat kebiaraan. Kelompok pertapa
lain beranggapan bahwa hidup mereka akan menjadi aneh bila tidak mempunyai regula. Karenanya banyak kelompok pertapa yang menerima Regula St.
Agustinus dan yang lain menerima Regula St. Benedictus. Kekawatiran inilah yang nampaknya mendorong pertapa-pertapa di gunung Karmel pergi ke Albertus,
Patriak Yerusalem untuk meminta regula Slattery, 1993: 3-4. Albertus tidak
10
memberi mereka Regula yang telah ada Regula St. Agustinus dan regula St. Benediktus, tetapi memberikan mereka pedoman hidup berupa aturan dasar
disebut Surat Kehidupan Letter of Life yang sesuai dengan semangat dan situasi mereka Slattery, 2993: 6. Regula Albertus inilah yang menjadi sumber
identitas bagi sekelompok pertapa di Gunung Karmel.
4. Semangat Hidup
Dengan berpegang teguh pada tradisi dan semangat kenabian Elia, para karmelit awali memaknai hidup mereka sebagai panggilan untuk persatuan
dengan Allah dan pelayanan bagi sesama baik secara individu maupun komunitas. Maka dari itu ada beberapa pokok yang perlu mendapat sorotan khusus dari para
karmelit ini.
a. Ketaatan Kepada Pemimpin
Regula menekankan akan pentingnya ketaatan terhadap pemimpin, dan memandang pemimpin sebagai perwakilan Kristus di dunia “dan kamu saudara-
saudara yang lainya, hormatilah Priormu dengan rendah hati dan lebih memikirkan Kristus yang mengangkat dia menjadi atasanmu daripada orang itu
sendiri”. Pedoman mereka dalam hal ini adalah sabda Kristus sendiri “barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku dan barangsiapa menolak kamu, ia
menolak Aku” Regula psl. 18. Ketaatan ini membantu mereka melepaskan diri dari kecendrungan manusiawi akan kehendak pribadi mereka yang cendrung
egois. Dengan taat kepada pemimpin mereka terbebaskan dari kesombongan dan dosa-dosa yang lainnya.
11
b. Persaudaraan
Sebagai suatu persekutuan hidup para kamelit menjalani hidup mereka dalam suasana persaudaraan. Rasa persaudaraan mereka tunjukan dalam pola
hidup bersama dengan seorang pemimpin yang mereka harus hormati dan taati sebagaimana mereka taat kepada Kristus yang memanggil mereka. Penghormatan
dan ketaatan terhadap pemimpin ini menjadi kewajiban bagi semua anggota Regula psl. 18. Selain itu dalam relasi kepada sesama mereka sungguh-sungguh
berpedoman pada kehendak Kristus yaitu hidup dalam kasih persaudaraan yang tulus dan saling membangun sebagaimana tertuang dalam Regula yang
mengatakan “...hendaknya diperbaiki dengan penuh kasih sayang pelanggaran dan kesalahan para saudara
...” psl 11. Lebih dari itu mereka juga memandang bahwa segala sesuatu yang dipunyainya adalah milik bersama Regula psl 1, 9.
Dengan adanya kesadaran bahwa tidak ada hak milik pribadi, mereka dihindarkan dari kebanggaan jasmaniah berkaitan dengan barang-barang dan iri hati yang
merusak hidup komunitas mereka. Selain itu mereka juga senasib sepenanggungan dalam kekurangan dan kelebihan. Mereka meneladani hidup
Kristus yang sederhana dan miskin, Kristus yang tidak mempunyai tempat untuk meletakan kepalaNya, Kristus yang solider dengan orang-orang miskin dan
sederhana. Inilah persaudaraan yang ditunjukkan oleh komunitas pertapa di Gunung Karmel.
c. Keheningan
Keheningan menjadi keharusan yang mutlak bagi para pertapa di gunung karmel. Baik keheningan fisik dengan mengurangi kecenderungan bicara, maupun
12
keheningan batin dengan melepaskan diri dari segala macam kekuatiran akan perkara duniawi. Keheningan bagi mereka merupakan jalan menuju persatuan
dengan Allah. Dalam keheningan mereka dapat merasakan kehadiran Allah, mendengarkan bisikan-Nya yang halus dan lembut sebagaimana yang dialami
oleh sang Nabi yang menjadi panutan mereka. Allah hadir dalam kelembutan dan keheningan bukan dalam pengalaman yang menggetarkan, yang dasyat. Nabi Elia
mengalami kehadiran Allah dalam angin sepoi-sepoi basah, bukan dalam pengalaman yang spektakuler seperti gempa bumi yang dasyat, guntur dan kilat
yang menyambar-nyambar, bukan pula dalam api yang menyalah-nyala 1 Raj 19:11-13. Untuk sampai pada pengalaman akan Allah yang hidup yang dialami
dalam keheningan maka aturan hidup sangat penting untuk dihayati. Dari selesai ibadat sore sampai sesudah ibadat pagi keesokan harinya, mereka harus tinggal
dalam keheningan. Bukan hanya itu, pada waktu lain juga dianjurkan untuk tidak banyak bicara
Regula psl. 16.
Para pertapa ini hidup “mengikuti teladan Elia”, sebagimana dikatakan dalam aturan hidup mereka “hendaknya ia menjaga baik-baik jalannya
kebersamaan dengan sang nabi” Regula psl. 16. Elia merupakan sosok orang suci dan pencinta kesunyian Phang, 2012: 31 yang harus mereka teladani.
Dalam suasana keheningan tersebut mereka berjuang dengan sekuat tenaga untuk menaklukkan diri mereka sendiri dari berbagai keinginan hawa nafsu duniawi
yang dapat mengacaukan cita-cita luhur mereka yaitu persatuan dengan Allah. Oleh karenanya mereka melewati keheningan tersebut dalam situasi batin
yang tetap terjaga dalam doa. Siang dan malam mereka tengelam dalam doa dan kontemplasi serta merenungkan setiap firman Tuhan. Dalam hening tersebutlah
13
mereka dapat merasakan kehadiran Allah yang sungguh indah. Dalam keheningan, para karmel awali terbebas dari segala gangguan yang dapat
mengganggu doa dan kontemplasi mereka. Dalam keheningan dan kesunyian itulah mereka boleh mengalami kehadiran yang mengatasi segala pengertian, yang
memenuhi hati mereka dengan damai dan sukacita serta kebahagiaan yang mendalam. Dalam kehenigan itu pulalah mereka boleh mendengarkan bisikan-
bisikan Roh yang tidak dapat diungkapkan dalam bahas a manusia” Team P.Karm
dan CSE, 2000: 7. Keheningan adalah guru yang mengajar untuk mendengarkan Firman Allah karena dalam keheningan suara-suara yang bukan dari Allah
terhalau Phang, 2012: 45. Keheningan menjadi kunci orang dapat mengalami pengalaman akan Allah. Dalam keheningan Allah mengajarkan kepada orang-
orang yang dikasihi-Nya segala kebijaksanaan yang belum pernah terpikirkan oleh manusia, membimbing umat-Nya mendalami misteri cinta-Nya yang
melampaui segala pengetahuan.
d. Kitab Suci dan Ekaristi
Kitab suci mejadi pedoman utama mereka. Setiap hari mereka lewati dengan bertekun merenungkan firman Tuhan. Dalam kitab suci mereka
menemukan apa yang dikehendaki Allah bagi mereka, mengerti rencana-rencana Allah bagi hidup manusia, dan menyelami misteri cinta Allah yang tidak
terhingga. Kita suci menjadi santapan rohani mereka setiap hari. Begitu pentingnya Kitab Suci, sehingga pada saat makan pun sambil mendengarkan
bacaan Kitab suci Regula psl. 4. Mereka melewati hari hari dengan tekun mengusahakan persatuan dengan Allah sumber dan keselamatan mereka dengan
14
cara merenungkan hukum-Nya dan berkanjang dalam doa siang dan malam. Sebagaimana ditegaskan dalam pedoman hidup mereka
“...hendaknya masing- masing anggota tinggal di biliknya atau di dekatnya sambil merenungkan hukum
tuhan siang dan malam serta berjaga-jaga dalam doa...” Regula psl. 7. Firman
Allah bagi mereka bukan hanya pedoman hidup yang utama, melainkan juga merupakan senjata yang ampuh untuk melawan serangan dan godaan setan.
Penghayatan hidup yang berlandaskan sepenuhnya pada sabda Tuhan menjadi tuntunan sekaligus tuntutan bagi mereka
“hendaknya pedang Roh yaitu firman Allah tinggal secara berlimpah dalam mulut dan hatimu serta segala sesuatu
yang harus dilakukan, lakukanlah itu dalam sabda Tuhan” Regula psl. 14.
B. Pentakosta