Teori Persepsi PERSEPSI GURU SEJARAH SMA DI KABUPATEN BLORA TERHADAP PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS KURIKULUM 2006 DAN KURIKULUM 2013

b. Faktor internal Faktor internal merupakan faktor perhatian dari dalam diri individu yang dapat mempengaruhi seleksi persepsi. Faktor- faktor internal meliputi proses belajar, motivasi, dan kepribadiannya. 1 Proses belajar, semua faktor dari dalam yang membentuk adanya perhatian kepada sesuatu objek sehingga menimbulkan persepsi adalah didasarkan pada kekomplekan kejiwaan. Kekomplekan kejiwaan ini selaras dengan proses pemahaman atau belajar yang dipunyai oleh masing-masing individu. 2 Motivasi, dalam proses pemilihan persepsi, motivasi dari setiap individu untuk memperhatikan suatu objek turut memberi pengaruh. 3 Kepribadian, kepribadian memberikan dampak terhadap cara seseorang melakukan persepsi pada lingkungan sekitarnya.

2. Teori Persepsi

Dalam mempersepsikan sesuatu, setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam mengorganisasikan apa yang dipersepsinya. Sebagian orang mempersepsikan sesuatu dari bagian-bagiannya kemudian baru mempersepsikan secara keseluruhan. Berlawanan dengan hal tersebut, sebagian lain mempersepsikan sesuatu secara keseluruhan terlebih dahulu, baru kemudian mempersepsikan bagian-bagiannya. Sejalan dengan dua sudut pandang berbeda tersebut, terdapat dua teori mengenai organisasi persepsi, yaitu teori elemen dan teori gestalt. Menurut teori elemen, dalam individu mempersepsikan sesuatu maka yang dipersepsi mula-mula adalah bagian-bagiannya, baru kemudian keseluruhannya Walgito, 2010:105. Menurut teori Gestalt, dalam seseorang mempersepsi sesuatu, yang primer adalah keseluruhannya atau gestaltnya, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder Walgito, 2010: 105. Maksudnya adalah seseorang mempersepsikan suatu objek dari keseluruhan atau gestaltnya terlebih dahulu, kemudian ke bagian- bagiannya. Max Wertheimer 1880-1943 adalah seseorang yang dianggap sebagai pendiri teori psikologi gestalt, tetapi ia bekerja sama dengan dua orang temannya, yatu Kurt Koffka 1886-1941 dan Wolfgang Kohler 1887-1967. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh. Pemahaman manusia yang utuh terhadap suatu objek akan melahirkan persepsi dan penilaian yang tepat. Kata gestalt sudah ada sebelum Wertheimer dkk menggunakannya sebagai nama. Menurut Palland ahli psikologi berkebangsaan Belanda, Plato dalam uraiannya mengenai ilmu pasti telah menunjukkan bahwa dalam kesatuan bentuk terdapat bagian-bagian atau sifat-sifat yang tidak dapat terlihat pada bagian-bagiannya. Pandangan pokok teori Gestalt adalah berpusat bahwa apa yang dipersepsi merupakan suatu kebulatan atau suatu gestalt. Jadi untuk mendapatkan pemahaman yang tepat terhadap suatu objek, maka harus dipersepsikan secara keseluruhan objek tersebut menjadi suatu kesatuan. Berdasarkan penelitian-penelitian secara eksperimental yang dilakukan oleh Wertheimer, dkk, ditemukan hukum-hukum dalam persepsi. Bimo Walgito 2012: 106-108 menuliskan hukum-hukum dalam persepsi menurut teori gestalt adalah sebagai berikut. a. Hukum Pragnanz, menurut hukum ini, yang dipersepsi adalah suatu kebulatan yang penuh arti. b. Hukum Figure-Ground, figure merupakan bagian yang dominan dan merupakan fokus perhatian. Apa yang tidak menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi latar belakang atau ground-nya. Figur dan ground dapat bertukar peran bergantung pada perhatian seseorang dalam mengadakan persepsi itu. c. Hukum kedekatan, hukum ini menyatakan bahwa apabila stimulus saling berdekatan satu dengan yang lain, akan ada kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu keseluruhan atau suatu gestalt. d. Hukum kesamaan, hukum ini menyatakan bahwa stimulus atau objek yang sama mempunyai kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau suatu gestalt. e. Hukum kontinuitas, menyatakan bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas antara satu dengan yang lain, akan dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. f. Hukum kelengkapan atau ketertutupan closure, menyatakan bahwa ada kecenderungan seseorang mempersepsikan sesuatu yang kurang lengkap menjadi lengkap sehingga menjadi sesuatu yang penuh arti.

3. Guru Sejarah