Latar Belakang Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Upaya Mengatasi Pencemaran Lingkungan Pada Masyarakat Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang Kota Semarang

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk sumber daya manusia yang ahli dan terampil serta produktif sehingga pada gilirannya dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat. Manusia sangat berperan dalam melestarikan potensi lingkungan hidup. Oleh karena itu manusia perlu diberi bekal untuk melestarikan lingkungan melalui pendidikan lingkungan, khususnya etika lingkungan. Dikatakan demikian karena sebagai penduduk bumi, manusia bertanggung jawab terhadap Tuhan, dalam arti menjaga kelangsungan hidup manusia dan kelestarian lingkungannya. Manusia pada dasarnya berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan juga dipengaruhi oleh lingkungannya Neolaka, 2008:104. Perbedaan tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang terkadang mempengaruhi pola pikir dan sikap mereka, walaupun faktor lingkungan dan kebiasaan juga sangat berperan namun pendidikan tetaplah penting dalam pembentukan karakter seseorang dalam melakukan maupun mengatasi suatu permasalahan yang timbul. Salah satunya yaitu permasalahan lingkungan yang kaitannya dengan pencemaran lingkungan yang telah terjadi dewasa ini. Pada saat ini jumlah populasi manusia masih meningkat di berbagai bagian dunia, terutama negara berkembang. Jika perkembangan ini tidak 2 dikendalikan dan teknologi untuk mempertahankan kondisi yang baik bagi manusia tidak dapat dikembangkan cepat untuk menaggulangi kepesatan laju penduduk kini resiko yang akan dipikul amatlah berat. Dengan semakin pesatnya jumlah penduduk yang ada serta diikuti dengan perkembangan jaman, membuat kebutuhan manusia menjadi semakin meningkat sehingga berimbas pada bertambahnya volume sampah yang ditimbulkan baik dari sisa kebutuhan maupun aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Makhluk hidup seperti manusia selalu mencemari lingkungan karena tingkah lakunya, karena membuang kotoran akibat proses pencemaran dan metabolismenya. Sebagai makhluk sosial, ia memindahkan benda dari lingkungan dan menambah sisa-sisa makanan, pakaian, perumahan, atau keperluan keluarganya. Alasan yang sering diajukan mengenai kejadian di atas ialah kealpaan manusia untuk mengenal bahwa ia sendiri adalah bagian dari alam. Sepanjang ini manusia terus-menerus mengeksploitasi alam. Karena itu manusia hendaknya sadar akan hubungan antara manusia dengan alam. Manusia hendaknya membalikkan kecenderungan atau arah jalan yang ditempuh agar memahami masalah populasi ini. Manusia hendaknya memahami ekologi, berbagai asas ilmu lingkungan, terutama konsep ekosistem Sastrawijaya, 2000: 58. Kota yang merupakan tempat pemukiman manusia yang padat dan pusat aktivitas kehidupan yang luar biasa ramainya, menjadi lokalisasi produksi berbagai macam barang yang dikerjakan langsung oleh makhluk- 3 makhluk hidup atau oleh industri. Meskipun pada pembuatan barang diusahakan seefisien mungkin, tentu masih akan ada sisa atau bekas-bekas yang dianggap tidak dapat dipakai lagi pada saat itu, dan harus disingkirkan dari tempat pengolahan. Bahan buangan atau sampah produksi tersebut ada dua macam, yang dapat dihancurkan oleh organisma biodegradable dan yang tidak dapat dihancurkan oleh organisma non-biodegradable. Makin banyak kegiatan kota, makin banyak bahan buangan yang harus disingkiran, dan makin sulit mendapatkan lokasi penempatannya. Pada umumnya bahan tersebut akhirnya sampai di perairan, entah selokan, sungai, danau, laut, karena secara tradisional perairan senantiasa merupakan tempat pembuangan sampah, disamping sebagai sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air. Sesungguhnya bahan buangan tersebut dapat dimusnahkan dengan dibakar, tetapi untuk itu diperlukan juga biaya dan juga menimbulkan pencemaran lain, pencemaran udara karena barang-barang yang dibakar mengandung aneka ragam zat yang dapat menimbulkan peracunan udara disamping asapnya yang sangat mengganggu pemandangan dan penciuman Prawiro, 1979: 69. Kota Semarang yang merupakan ibukota Propinsi Jawa Tengah yang dapat digolongkan sebagai kota metropolitan. Kota ini memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan kebutuhan yang tinggi pula. Sebagai ibukota propinsi, Kota Semarang menjadi parameter kemajuan kota-kota lain di Propinsi Jawa Tengah. Produksi sampah di Kota Semarang tidak sebanding dengan sarana dan prasarana pengelola kebersihannya. Timbunan sampah meningkat rata-rata 324 m 3 per hari. Pemusnahan sampah Kota Semarang saat 4 ini berada di TPA Jatibarang, yang berlokasi di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Yang beroperasi mulai bulan Maret 1992. Timbunan sampah di TPA Jatibarang semakin bertambah melebihi daya tampung TPA tersebut. Dengan kondisi tersebut menyebabkan air lindi sulit dikendalikan apalagi pada saat musim penghujan. Sarana penanganan sampah alat berat, dump truck semakin kurang mencukupi, Sanitary Landfill pengisian tanah kesehatan sulit dilaksanakan, akibatnya terjadi pencemaran udara dan bau sampah semakin meluas. Lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat pun terlihat kumuh dengan bau sampah yang menyengat. Sampah- sampah yang tercecer juga telah mencemari tanah di daerah tersebut. Menurut hasil wawancara dengan bapak Tantri selaku kepala TPA Jatibarang, masyarakat pernah mengadakan protes mengenai lingkungan sekitar TPA Jatibarang. Munculnya bau yang kurang sedap serta adanya sampah-sampah yang tercecer dari muatan truk yang keluar masuk TPA membuat lingkungan menjadi kotor. Dalam menanggapi protes warga ini, pemerintah memberikan kompensasi dengan memberikan beberapa ekor sapi kepada warga untuk diternakkan, sedangkan untuk mengatasi pencemaran tanah, air, dan udara yang terjadi, merupakan usaha dari masing-masing warga itu sendiri karena pemerintah telah memberikan ganti rugi dengan dibagikaanya sapi. Hal ini sangat menarik untuk diteliti terkait dengan upaya yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi pencemaran yang terjadi di 5 lingkungannya terutama dengan latar belakang dari tiap-tiap masyarakat yang berbeda-beda, khususnya mengenai tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Upaya Mengatasi Pencemaran Lingkungan Pada Masyarakat Sekitar Tempat Pembuangan Akhir TPA Jatibaran g Kota Semarang”.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Hubungan Jarak Sumur Gali dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Terhadap Kandungan Fosfat (PO4-3) dan Nitrat (NO3-) pada Air Sumur Gali Masyarakat di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

8 87 99

Isolasi Bakteri Dari Tanah Tempat Pembuangan Sampah Untuk Pembuatan Pupuk Organik Cair

7 86 81

Pengaruh Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Personal Hygiene dan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap Keluhan Kesehatan pada Pemulung di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2012

19 80 151

Pengukuran Tingkat Kepadatan Lalat Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kota Binjai Tahun 2000

2 65 79

Kajian Air Lindi Di Tempat Pembuangan Akhir Terjun Menggunakan Metode Thornthwaite

8 88 75

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

5 82 169

DAMPAK PENGELOLAAN SAMPAH TERHADAP LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH KOTA PEMATANG SIANTAR.

2 5 47

HUBUNGAN ANTARA IMUNITAS PSIKOLOGIS DENGAN STRES PADA WARGA YANG TINGGAL DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN HUBUNGAN ANTARA IMUNITAS PSIKOLOGIS DENGAN STRES PADA WARGA YANG TINGGAL DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH AKHIR (TPA) PUTRI CEMPO.

0 0 16

DAMPAK KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH CIKUNDUL TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN SEKITAR DI KOTA SUKABUMI.

1 10 34

KUALITAS LINGKUNGAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH (TPA) SUKAJAYA KOTA PALEMBANG

1 1 6