1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak di luar perusahaan. Menurut PSAK No.1 paragraf ke 7
revisi 2009, laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan dari suatu laporan
keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan
pengguna laporan keuangan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Penyusunan laporan keuangan dilakukan oleh manajemen perusahaan
agent yang lebih mengetahui kondisi keuangan di dalam perusahaan. Manajemen perusahaan ini lebih mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa depan daripada pemilik perusahaan principal. Oleh karena itu manajemen wajib memberikan sinyal kepada principal mengenai
kondisi keuangan perusahaan saat ini dan bagaimana prospek perusahaan di masa depan Wiryadi dan Sebrina, 2013. Muliati 2011 menyatakan bahwa
laporan keuangan disusun sebagai sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak di luar perusahaan, dimana laporan keuangan
diharapkan dapat memberikan informasi kepada para investor dan kreditor dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan investasi dana mereka.
Dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan IAI, 2009 menyatakan bahwa laporan keuangan merupakan bagian dari
2 proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya
meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan posisi keuangan yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti misalnya laporan arus kas atau laporan
arus dana, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Di samping itu juga termasuk skedul
dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan keuangan tersebut, misalnya informasi keungan segmen industri dan geografis serta
pengungkapan perubahan harga paragraph 7. Laporan keuangan dapat dikatakan sebagai suatu ringkasan transaksi keuangan selama satu tahun
buku perusahaan bersangkutan dimana digunakan manajemen untuk mempertanggungjawabkan tugas yang dibebankan kepadanya.
Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan secara rill.
Akuntansi berbasis akrual mempunyai keunggulan bahwa informasi laba perusahaan dan pengukuran komponennya berdasarkan akuntansi akrual
secara umum memberikan indikasi lebih baik tentang kinerja ekonomi perusahaan. Dalam Kerangaka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan, IAI 2009 menyatakan bahwa, untuk mencapai tujuannya laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh
transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar dan dicatat dalam catatan
akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan.
3 Salah satu informasi yang dapat diperoleh dari laporan keuangan
adalah laba, laba yang dihasilkan oleh perusahaan merupakan kunci kesuksesan perusahaan. Oleh karena itu manajer memiliki tugas untuk
menghasilkan laba yang terbaik bagi perusahaan. Namun dalam kenyataannya, manajer tidak selalu bisa memberikan hasil laba yang terbaik
perusahaan, di sinilah manajer bisa memanfaatkan fleksibilitas yang diperbolehkan standar akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan untuk
memodifikasi laba yang dilaporkan. Pengelolaan laba yang secara sengaja dipilih oleh manajemen dengan tujuan tertentu dikenal dengan sebutan
manajemen laba atau earning management Guna dan Herawaty, 2010. Wiryadi dan Sebrina 2013 menyatakan manajemen laba adalah
campur tangan dalam proses penyusunan laporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, pihak yang tidak
setuju, mengatakan bahwa hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses. Dwiyanti dan Sukartha
2013 menyatakan bahwa manajemen laba adalah fenomena pelaporan keuangan dimana manajer melakukan sesuatu untuk mempengaruhi jumlah
pendapatan yang dilaporkan. Dwiyanti dan Sukartha 2013 juga menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer memilih
kebijakan akuntasi tertentu yang bertujuan untuk mengatur jumlah laba yang dilaporkan kepada stakeholder sehingga dapat mempengaruhi perjanjian
yang didasarkan pada angka akuntansi yang dilaporkan.
4 Adanya asimetri informasi antara manajemen agent dan pemilik
principal memungkinkan
manajemen untuk
melakukan praktik
manajemen laba, ini dikarenakan manajemen lebih banyak mengetahui dan memiliki informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan dibandingkan
dengan pemilik perusahaan. Manajemen selaku pihak yang diberi wewenang dan kepercayaan penuh oleh principal untuk mengelola bisnis
perusahaan sering kali merasa terbeban berat dalam menghadapi tekanan- tekanan untuk memenuhi target kinerja jangka pendek. Manajemen dituntut
untuk mampu menghasilkan laba yang sesuai target yang ditetapkan perusahaan. Ketika manajer tidak mampu mencapai target laba yang
ditetapkan, di awaktu inilah manajer akan melakukan praktik manajemen laba agar kinerjanya tetap terlihat baik di mata principal, ditambah lagi
misalnya akan ada kompensasi bonus yang diberikan perusahaan ketika manajer mampu mencapai target laba yang ditetapkan. Keadaan seperti
inilah yang membuat beberapa peneliti sebelumnya seperti Mulianti 2011 dan Wiryadi dan Sebrina 2013 melihat bahwa adanya asimetri informasi
yang terjadi di perusahaan di tambah lagi dengan adanya kompensasi bonus yang ingin dicapai oleh manajer perusahaan mendorong manajer untuk
melakukan praktik manajemen laba agar kinerjanya tetap terlihat baik di mata principal.
Sejalan dengan Mulianti 2011 dan Wiryadi dan Sebrina 2013, Wardani dan Masodah 2011 menyatakan bahwa hubungan antara
pemegang saham principal dan manajer agent dapat mengarah pada
5 kondisi asimetri informasi karena manajer berada pada posisi yang memiliki
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham. Wardani dan Masodah 2013 menyimpulkan adanya
asimetri informasi yang terjadi antara pemegang saham dan manajer ini membuat manajer memilki kesempatan untuk mempengaruhi angka-angka
akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Di samping asimetri informasi yang terjadi antara pemegang saham dan manajemen perusahaan, Pujianti dan Arfan 2013 juga melihat bahwa
kompensasi bonus bisa mendorong manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba. Pujianti dan Arfan 2013 melihat bahwa pemberian bonus
seringkali dikaitkan dengan tingkat laba bersih yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan. Manajer akan berusaha mengatur laba bersih sedemikian
rupa sehingga dapat memaksimalkan bonusnya. Manajer yang memiiki informasi atas laba bersih perusahaan yang sebenarnya akan bertindak
oportunis untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini ataupun menyimpannya untuk tahun-tahun yang akan datang.
Selain faktor asimetri informasi dan kompensasi bonus, biaya politik juga mengindikasikan sebagai faktor yang mempengaruhi manajer
melakukan praktik manajemen laba. Perusahaan dengan biaya politik yang tinggi cenderung akan melakukan praktik manajemen laba dengan
menurunkan labanya guna untuk menurukan biaya politiknya. Perusahaan berkeinginan untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada
6 pemerintah karena perusahaan menganggap pajak adalah sebuah beban yang
harus diminimalkan dan perusahaan merasa tidak memperoleh manfaat setelah pembayaran pajak tersebut Suratno, 2008 dalam Dwiyanti dan
Sukartha, 2013. Watt and Zimmerman 1986 dalam Anggana dan Prastiwi 2013
menyatakan bahwa dalam Positive Accounting Theory terdapat tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba, salah satunya
adalah Political Cost Hypothesis. Hipotesis tersebut menjelaskan bahwa semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil
tindakan, misalnya mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pendapatan perusahaan dan lain-lain. Aryani 2011 juga menyatakan hal yang sama,
yaitu menurutnya perusahaan yang lebih besar akan melakukan lebih banyak kebijakan yang akan menyebabkan laba menurun dengan maksud
mengurangi efek politis. Perusahaan yang besar cenderung menggunakan prosedur akuntansi menurunkan laba untuk tujuan mengurangi pembebanan
pajak yang tinggi. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, leverage
juga menjadi faktor yang mempengaruhi manajemen laba. Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajiban
dengan modal sendiri yang dimiliki. Perusahaan dengan leverage yang tinggi yaitu perusahaan yang proporsi utangnya lebih tinggi dibandingkan
7 modal yang dimiliki, diduga akan melakukan manajemen laba karena
perusahan yang terancam tidak dapat memenuhi pembayaran utang pada waktunya akan meningkatkan laba yang dilaporkan.
Rahmawati dan Wijayanti 2010, menyatakan bahwa perusahaan khususnya manajer yang mempunyai leverage yang tinggi berusaha untuk
mementingkan kepentingannya sendiri dan menghindari resiko dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menaati perjanjian utang agar tidak
terjadi pinalti atau pelanggaran perjanjian utang. Penalti atau pelanggaran perjanjian utang merupakan berita buruk bagi manajer. Hal tersebut
mengakibatkan perusahaan akan mendapatkan penilaian kinerja yang buruk dari kreditor dan berkurangnya kepercayaan pasar sehingga berimplikasi
pada jatuhnya harga saham perusahaan. Rahmawati dan Wijayanti 2010 menyimpulkan bahwa semakin dekat perusahaan dengan pelanggaran
perjanjian utang yang berbasis akuntansi, lebih mungkin manajer perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba yang
dilaporkan dari periode masa datang ke periode saat ini. Fenomena adanya praktik manajemen laba pernah terjadi di pasar
modal Indonesia, khususnya pada emiten manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Contoh kasus terjadi pada PT Kimia Farma Tbk. Berdasarkan hasil
pemeriksaan Bapepam Badan Pengawas Pasar Modal, 2002, diperoleh bukti bahwa terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT
Kimia Farma Tbk., berupa kesalahan dalam penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan, dimana dampak kesalahan tersebut
8 mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir
31 Desember 2001 sebesar Rp32,7 miliar yang merupakan 2,3 dari penjualan dan 24,7 dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk. Kesalahan
penyajian tersebut dilakukan oleh Direksi periode 1998-Juni 2002 dengan cara:
1. Membuat 2 dua daftar harga persediaan master prices yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari
2002, dimana keduannya merupakan master prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT KAEF. Master
prices per 3 Februari 2002 merupakan master prices yang telah disesuaikan nilainya penggelembungan dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai
persediaan pada unit distribusi PT KAEF per 31 Desember 2001. 2. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit Pedagang Besar
Farmasi dan unit Bahan Baku. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan.
Kasus yang sama juga pernah terjadi pada PT Indofarma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terhadap PT Indofarma Tbk.
Badan Pengawas Pasar Modal, 2004, ditemukan bukti bahwa nilai barang dalam proses dinilai lebih tinggi dari nilai yang seharusnya dalam penyajian
nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar Rp28,87 miliar. Akibatnya penyajian terlalu tinggi overstated
persediaan sebesar Rp28,87 miliar, harga pokok penjualan disajikan terlalu
9 rendah understated sebesar Rp28,8 miliar dan laba bersih disajikan terlalu
tinggi overstated dengan nilai yang sama. Penelitian-penelitian terkait praktik manajemen laba telah banyak
dilakukan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu. Peneliti melihat ada beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi praktik manajemen laba
yang dilakukan oleh manajemen di suatu perusahaan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah asimetri informasi, leverage, biaya politik yang
diproksikan dengan ukuran perusahaan dan kompensasi bonus. Putra et all 2014, hasil penelitiannya menyatakan bahwa asimetri
informasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Putra et all 2014, mengartikan bahwa semakin meningkat asimetri yang terjadi maka
semakin tinggi peluang manajemen melakukan manajemen laba, sebaliknya semakin menurun asimetri informasi yang terjadi makan semakin turun juga
peluang manajemen melakukan praktik manajeme laba. Hasil penelitian Putra et all 2014 ini sejalan dengan hasil penelitian Muliati 2011 yang
juga menyatakan bahwa asimetri informasi berpengaruh positif dengan praktik manajemen laba. Muliati 2011 juga menyatakan bahwa semakin
tinggi asimetri yang terjadi maka semakin tinggi juga peluang praktik manajemen laba yang dilakukan manajemen, sebaliknya semakin kecil
asimetri informasi yang terjadi maka semakin kecil pula peluang manajemen melakukan praktik manajemen laba.
Hasil penelitian Jao dan Pagulung 2011 menyatakan hasil bahwa leverage tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen
10 laba.Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Guna dan
Herawaty 2010 yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian ini
membuat peneliti tertarik untuk menguji kembali variabel leverage ini, untuk memastikan bagaimana pengaruh leverage ini terhadap praktik
manajemen laba. Hasil penelitian Guna dan Herawaty 2010 menyatakan bahwa
faktor ukuran perusahaan tidak berpengaruh pada praktik manajemen laba. Jao dan Pagulung 2011 menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai
pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar perusahaan yang diukur dengan total aktiva maka tindakan
manajemen laba berkurang karena perusahaan yang besar akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan dan cendrung
melaporkan kondisi keuangan dengan akurat karena lebih diperhatikan oleh masyarakat. Sedangkan perusahaan kecil mempunyai kecendrungan untuk
melakukan manajemen laba dengan melaporkan laba yang lebih besar sehingga dapat menunjukkan kinerja perusahaan yang lebih bagus.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya dan dengan adanya ketidakkonsistenan hasil pada beberapa variabel penelitian, peneliti
berusaha untuk meneliti kembali variabel-variabel yang telah dijabarkan sebelumnya dengan menambahkan variabel CFO sebagai variabel kontrol
peneli
tian, dengan judul penelitian “Pengaruh Asimetri Informasi, Leverage, Kompensasi Bonus dan Biaya Politik terhadap Manajamen
11
Laba Pada Perusahaan Manufaktur Sub Sektor Consumer Goods Industry yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-201
4”.
B. Rumusan Masalah