97 7.
Pak Misman sebagai salah seorang ketua kelompok tani mengatakan, “Pihak pabrik kurang inisiatif, harus diminta warga dulu baru dilakukan, padahal kan mereka
PGKM tahu kami disini sangat butuh air irigasi itu “.
Dari beberapa tanggapan diatas, baik dari pihak karyawan Pabrik Gula Kwala Madu maupun dari masyarakat Desa Sambirejo tampak ada beberapa kemiripan jawaban mengenai
pandangan mereka dalam melihat hambatan yang ada, hal ini menunjukkan adanya kesamaan permasalahan yang dihadapi bersama yakni misalnya saja baik dari pihak karyawan Pabrik
Gula Kwala Madu maupun dari pihak masyarakat Desa Sambirejo mengeluhkan tentang infrastruktur yang buruk dan minimnya sosialisasi sehingga masyarakat dan karyawan Pabrik
Gula Kwala Madu belum terlalu menyadari pentingnya pelaksanaan CSR yang optimal akibat kurangnya wawasan di bidang CSR ataupun PKBL tersebut.
Berdasarkan adanya hambatan tersebut sudah selayaknya pihak masyarakat Desa Sambirejo maupun pihak karyawan PTPN 2 mengevaluasi dan introspeksi terhadap kelalaian
maupun ketidakpedulian terhadap permasalahan yang dihadapi terutama yang menyangkut CSR atau PKBL di lingkungan Pabrik Gula Kwala Madu.
4.6. Analisis Antropologis Terhadap Pelaksanaan PKBL di Pabrik Gula Kwala Madu
Dalam menjalankan praktek PKBL, PTPN 2 Unit Pabrik Gula Kwala Madu tentunya banyak menghadapi kendala yang sifatnya dapat menghambat produktifitas perusahaan sendiri.
Berdasarkan pada data yang saya kumpulkan dari lokasi penelitian setidaknya jika dikaitkan dengan pandangan yang sifatnya antropologis maka saya sebagai peneliti melihat sesuatu
yang menjadikan komunikasi antara pihak karyawan PTPN 2 Unit Pabrik Gula Kwala Madu dengan pihak petani Desa Sambirejo terbilang sangat jarang, hal tersebut berdasarkan
beberapa pernyataan informan saya seperti Pak Kusnadi Kepala Desa Sambirejo dan Pak
98 Yandri Lubis Sekretaris ISO yang menyatakan bahwa warga Desa Sambirejo jarang
bertandang ke PGKM begitupun sebaliknya karyawan PGKM jarang yang berhubungan dengan para petani di Desa Sambirejo, kecuali beberapa warga desa yang pernah bekerja di
PGKM sebagai karyawan lepas saat musim giling ataupun bagi warga yang memiliki sanak keluarga yang bekerja di PGKM. Artinya warga dan karyawan PGKM akan bertemu di saat
ada suasana yang penting saja dan hadir jika ada yang menyangkut ’charity’ saja , dari pihak PGKM pernyataan tersebut diwakili oleh Pak Yandri Lubis sebagai sekretaris ISO PGKM
dan Bu Suryani Sebagai informan dalam wawancara saya diatas. Sementara warga menganggap pihak Pabrik Gula Kwala Madu kurang tanggap dan terkesan memberi bantuan
yang sifatnya langsung saja tetapi tidak berdampak jangka panjang seperti bantuan uang dan sembako pada saat ada perayaan hari besar atau pada saat acara syukuran giling saja, seperti
tanggapan dari Pak Kepala Desa Sambirejo berikut, “ Kami kadang-kadang merasa serba salah karena kayaknya bantuan yang diberikan Cuma sekedar formalitas dan sifatnya di hari
tertentu saja, sebenarnya menurut warga desa kami yang memang mayoritas bertani bantuan yang paling nampak hasilnya itu ya bantuan air irigasi yang dipompakan PGKM dari kolam
limbah pabrik, tapi kok malah makin dikurangi sekarang ini, jadi kami bingung harus bilang apa lagi sama pihak pabrik gula “ ujar Pak Kusnadi. Pak Misman sebagai salah seorang ketua
kelompok tani juga mendukung argumen Pak Kepala Desa, beliau mengatakan dalam wawancara peneliti dengan beberapa ketua kelompok tani di kantor kepala desa, “ Kami udah
bolak-balik berkeluh kesah sama pihak pabrik gula tentang debit air irigasi yang semakin dikurangi akhir-akhir ini, tapi seakan akan nggak ditanggapi sama mereka PGKM , jadi
kayaknya memang harus didesak terus baru pihak pabrik gula mau dengar permohonan kami. Tanggapan Pak Kusnadi dan Pak Misman tersebut masih senada dengan tanggapan Pak
Masludi, beliau mengatakan, “ Pihak pabrik kurang inisiatif, harus diminta warga dulu baru dilakukan, padahal kan mereka PGKM tahu kami disini sangat butuh air irigasi itu“.
99 Muara dari CSR adalah kemampuan perusahaan untuk melakukan program pengembangan
masyarakatnya. Jika PGKM tidak melakukan hal ini, cepat atau lambat niscaya ia akan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Masalahnya adalah apakah PKBL di PGKM merupakan
atau dianggap sama sebagai bentuk philanthropy ataupun charity yang dilakukan oleh perusahaan? Atau justru sebaliknya, bahwa CSR dipandang sebagai bentuk lain model bagi
pengembangan masyarakat community development yang dilakukan oleh perusahaan ? Konsep kedermawanan perusahaan corporate philanthropy yang selama ini dikenal dan
dipakai pada beberapa perusahaan tidak lagi memadai, karena konsep tersebut tidak melibatkan kemitraan dan tanggung jawab perusahaan secara sosial dengan stakeholders
yang lain. Saya sebagai peneliti melihat bahwa ‘ mindset ‘ PKBL di PGKM masih terbatas pada konsep philanthropy saja artinya belum ada komitmen yang nyata untuk
memberdayakan Masyarakat desa disana. Selain itu berdasarkan beberapa tanggapan karyawan dan warga Desa Sambirejo diatas maka saya sebagai peneliti melihat seperti ada
jarak antara warga desa Sambirejo dengan karyawan PGKM seperti dalam pernyataan diatas oleh Informan saya yang bernama Bu Suryani yang merupakan pegawai di kantor humas
PGKM, “ gimana kami mau tahu apa keinginan warga, rumah warga kan lumayan jauh dari sini jalan kesana pun aspalnya banyak berlubang wajar aja kami malas kesana “. Pak Misno
salah seorang informan saya dari pihak kelompok tani pun mengatakan bahwa pihak kelompok tani sangat jarang diajak duduk bersama oleh membicarakan tentang permasalahan
debit air irigasi yang semakin berkurang, padahal permasalahan tersebut merupakan masalah bersama, karena pihak PGKM beralasan bahwa pengurangan kapasitas debit air adalah
karena ketidaksanggupan biaya operasional yang merambat menjadi ketidaksanggupan energi Pabrik Gula Kwala Madu dalam memompa air irigasi untuk warga Desa Sambirejo kecuali
kalau ada komitmen pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan warga desa berarti juga termasuk mendistribusikan sumber energi yang baru dan pada akhirnya menjadi
100 suatu tatanan pemikiran yang menjadi suatu budaya baru dalam menghadapi tantangan
perusahaan ke depan. Jadi saya sebagai peneliti melihat pentingnya peranan peneliti sosial khususnya seorang antropolog dalam menjembatani pelaksanaan PKBL di PGKM agar
masing-masing pihak baik dari pihak PGKM maupun dari pihak masyarakat Desa Sambirejo tidak ada yang merasa dirugikan. Jika PTPN 2 dalam pelaksanaan PKBL paham dan
memiliki komitmen dalam melakukan pendekatan yang lebih bersifat partisipatoris, maka kemungkinan munculnya hambatan yang bersifat sosial-kultural dapat diminimalisir artinya
masyarakat dituntut untuk lebih proaktif dalam mencari potensi-potensi yang dengan diketahui potensi masyarakat tersebut, diharapkan keinginan dari pihak masyarakat secara
umum dapat terwakili dengan baik dan masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang mandiri dan berdaya saing tanpa harus terus bergatung pada bantuan pemerintah dan itu
semua tidak akan terwujud tanpa perubahan mindset BUMN khususnya PTPN 2, Pabrik Gula Kwala Madu dalam menjalankan CSR yang selama ini hanya terfokus pada bantuan yang
bersifat ‘charity’ saja. Selain hal-hal tersebut, kurangnya sosialisasi mengenai CSR atau PKBL menyebabkan baik dari kalangan karyawan PGKM maupun dari pihak warga Desa
Sambirejo kurang tanggap terhadap pentingnya pelaksanaan CSR, karena kekurangpahaman tersebut maka perusahaan menjadi kurang peduli dan kurang inisiatif dalam memberdayakan
masyarakat di sekitar lokasi usaha. Oleh karena itu pelaksanaan CSR yang baik juga membutuhkan sosialisasi yang baik pula terhadap para stakeholder termasuk karyawan
PTPN2 Pabrik Gula Kwala Madu sendiri, agar mereka lebih paham pentingnya pelaksanaan PKBL yang ideal.
Interaksi warga Desa Sambirejo dengan komunitas perusahaan merupakan masalah yang kompleks dan kaya variasi, sehingga perusahaan perlu mempunyai community
development guidelines yang jelas namun luwes. Untuk masukan lebih lanjut peneliti akan menuliskannya di kolom saran pada bab V dibawah.
101
4.7. Harapan Pihak Kelompok Tani Kepada PTPN 2