Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Obesitas
Obesitas yang terjadi pada masa remaja, 30 akan melanjut sampai dewasa menjadi obesitas persisten dan akan sulit diatasi secara konvensional diet dan olah
raga. Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu mendapatkan perhatian sebab obesitas pada remaja tidak hanya menjadi masalah kesehatan di kemudian hari, tetapi
juga membawa masalah bagi kehidupan sosial dan emosi yang cukup berarti pada remaja Dietz, 2006 dalam Virgianto dan Purwaningsih, 2006.
Dampak lain yang sering diabaikan adalah bahwa obesitas dapat mempengaruhi kejiwaan pada remaja, yakni kurangnya rasa percaya diri, pasif dan
depresi karena sering tidak dilibatkan dalam kegiatan yang dilakukan oleh teman sebayanya Wulandari, 2007.
Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas, dalam penelitian ini faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian obesitas adalah:
karakteristik remaja, genetik, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, pola makan dan aktivitas fisik.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
1. Karakteristik Remaja
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa persentase kejadian obesitas pada laki-laki 11,6 lebih besar dari pada perempuan 9,4, akan
tetapi dari hasil uji statistik dengan menggunakan regresi logistik sederhana menunjukkan nilai p 0,05 artinya tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kejadian obesitas. Hal ini mungkin disebabkan karena perempuan lebih memperhatikan
penampilan citra tubuh dari pada laki-laki. Citra tubuh adalah suatu konsep pribadi seseorang tentang penampilan fisiknya.
Hasil penelitian Amaliah 2004 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara citra tubuh dengan persen lemak tubuh pada remaja.
Remaja dengan citra tubuh rendah yang merasa kurang puas dengan penampilan fisiknya berpeluang mempunyai persen lemak tubuh tinggi sebesar 0,388 kali
dibandingkan dengan yang citra tubuhnya tinggi yang merasa cukup puas dengan penampilan fisiknya. Nizar 2002 menemukan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara citra tubuh dengan status gizi. Hanley et al 2000 menyatakan bahwa ada hubungan terbalik antara overweight dengan persepsi tubuh wanita
sehat, resiko overweight turun 1,3 kali dengan peningkatan satu level indikator persepsi tubuh wanita sehat.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Suhendro 2003 terhadap remaja SMU di kota Tangerang dan penelitian Ismail, dkk 1999 pada murid SD di
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Yogyakarta yang menunjukkan bahwa sebahagian besar obesitas terjadi pada anak laki-laki.
Berbeda dengan pendapat Salam 1989, yang menyatakan bahwa obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama pada saat remaja, yang kemungkinan
disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal. Menurut Krummel 1996 tubuh anak perempuan menyimpan lebih banyak
lemak dibandingkan tubuh laki-laki. Pada saat kematangan fisik terjadi, biasanya jumlah lemak tubuh anak perempuan dua kali lebih banyak daripada laki-laki.
Penimbunan lemak ini terjadi di daerah sekitar panggul, payudara dan lengan atas. Akumulasi lemak seringkali dihubungkan dengan mulainya menarche yang
terjadi ketika anak anak perempuan memiliki lemak tubuh minimal 17 dari berat badannya, sehingga anak perempuan yang gemuk akan mendapat menarche
lebih awal daripada yang kurus Amaliah, 2005. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa persentase kejadian
obesitas pada anak yang memiliki uang saku lebih dari Rp. 6.000 yaitu 11,5, sedikit lebih besar dari pada anak yang uang sakunya kurang atau sama dengan
Rp. 6.000 10. Namun perbedaan ini tidak menunjukkan adanya pengaruh uang saku terhadap kejadian obesitas karena hasil uji statistiknya p 0,05. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena lebih kecilnya kesempatan bagi anak yang uang sakunya dibawah atau sama dengan Rp. 6.000 untuk memilih jajanan yang zat
gizinya baik, dari pada anak yang memiliki uang saku diatas Rp. 6.000.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Sebaliknya, anak yang memiliki uang saku diatas Rp. 6.000 memiliki kemampuan yang lebih besar dari pada anak yang uang sakunya di bawah Rp. 6.000 untuk
membeli berbagai jenis jajanan yang tidak sehat seperti junk food. Disamping itu, anak usia remaja sudah memiliki kemampuan dan kesempatan yang lebih luas
dalam memilih makanannya sendiri, remaja juga sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan misalnya: keluarga, teman sebaya atau iklan dalam memilih jenis
makanan. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian Welis 2003 dan Rinjanti
2002 yang menunjukkka n bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengkonsumsi makanan siap saji dengan status gizi.
Menurut Arisman 2004, remaja belum sepenuhnya matang dan cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih
makan di luar, atau menyantap kudapan jajanan. Sebahagian besar jajanan mengandung zat gizi yang sangat sedikit. Makanan sampah junk food kini
semakin digemari remaja baik hanya sebagai kudapan maupun makanan utama. Makanan ini sangat sedikit mengandung kalsium, besi, riboflavin, asam folat,
vitamin A dan C, sebaliknya mengandung lemak jenuh, kolesterol dan natrium yang tinggi. Proporsi lemak sebagai penyedia kalori lebih dari 50 total kalori
yang terkandung didalamnya. Besarnya uang saku diduga erat kaitannya dengan pemilihan jenis jajanan yang dikonsumsi.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Berdasarkan hasil penelitian Lieswanti 2007, di SMU Harapan I Medan ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara konsumsi fast food dengan
status gizi, khususnya pada penderita obesitas. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan pemasukan energi yang berasal dari fast food sebanyak 55 pada
97 penderita obesitas. Untuk mengurangi keterpaparan anak sekolah terhadap jajanan yang tidak
sehat dan tidak aman, perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orang tua, murid serta pedagang. Sekolah dan
pemerintah perlu kembali menggiatkan Usaha Kesehatan Sekolah UKS. 2.
Genetik Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa persentase kejadian obesitas
pada anak yang memiliki orangtua yang obesitas adalah lebih besar 17,9 dari pada anak yang orang tuanya tidak obesitas 5,3. Meskipun demikian, hasil uji
multivariat yang menggunakan uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa nilai p 0,05 artinya tidak ada pengaruh faktor genetik terhadap kejadian
obesitas. Hal ini mungkin disebabkan karena anak yang memiliki orangtua yang
obesitas mempunyai kekhawatiran mengalami obesitas yang lebih besar dari pada anak yang orangtuanya tidak obesitas, sehingga mereka lebih memperhatikan pola
makan atau aktifitas fisiknya sehari-hari .
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah penyakit gangguan keseimbangan energi yang bersifat multi faktorial yang sebagian besar
diduga disebabkan oleh adanya interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh
faktor eksogen antara lain: aktivitas fisik, gaya hidup, sosial-ekonomi dan perilaku makan yaitu sekitar 90, sedangkan faktor endogen yaitu: kelainan
hormonal, sindrom atau peyakit dan genetik hanya sekitar 10 Hidayati dkk, 2006.
3. Pendapatan keluarga
Pada penelitian ini terlihat bahwa semua responden yang mengalami obesitas 10 orang 12,0 memiliki pendapatan keluarga di atas UMK. Meskipun
demikian, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kejadian obesitas p 0,05.
Hal kemungkinan disebabkan karena keluarga yang pendapatannya lebih besar lebih memiliki kemampuan untuk membeli makanan jadi yang umumnya
tinggi lemak. Keluarga yang pendapatannya lebih rendah kurang mampu menyediakan makanan yang sesuai dengan pola menu seimbang, mereka
cenderung memilih makanan yang mengenyangkan yang banyak mengandung lemak dengan harga yang terjangkau murah dan kurang memperhatikan
kualitas atau kandungan zat gizinya.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Amaliah 2004 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendapatan keluarga dengan persen lemak tubuh. Penelitian Afifah 2003, Medawati 2005 dan Asih 2001 juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi.
Menurut Hidayati, dkk 2006 peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
Peningkatan kemakmuran di masyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola makan dari pola makan
tradisional ke pola makan makanan praktis dan siap saji yang dapat menyebabkan gizi tidak seimbang.
Pola umum perilaku konsumen terhadap makanan jadi adalah bahwa semakin tinggi pendapatan semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan
jadi dari jumlah total pengeluaran pangan. Tahun 1996 sekitar seperlima pengeluaran pangan rumah tangga di perkotaan dialokasikan pada makanan jadi,
sedangkan di pedesaan sekitar seperdelapan dari total pengeluaran pangan. Pengeluaran untuk makanan jadi termasuk fast food di kota-kota besar seperti
Jakarta dan Yogyakarta lebih besar lagi, yaitu sekitar seperempat dari total pengeluaran pangan Budianto dkk., 1998.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Menurut penelitian yang dilakukan Jerome di Amerika Utara disimpulkan bahwa pendapatan bukan faktor penentu terhadap perilaku makan, tetapi faktor
gabungan antara pendapatan dan gaya hidup dapat memberikan andil bagi perubahan perilaku makan suatu kelompok yang kebudayaannya cenderung
berubah Suhardjo, 1989. 4.
Pendidikan ibu Pada penelitian ini terlihat bahwa kejadian obesitas berdasarkan tingkat
pendidikan ibu lebih besar proporsinya pada kelompok responden yang memiliki ibu berpendidikan tingkat lanjut yaitu sebanyak 12,3 9 orang. Kejadian
obesitas pada responden yang memiliki ibu berpendidikan tingkat dasar hanya 4,3 1 orang. Hasil uji statistik menunjukkan p 0,05 artinya tidak ada
pengaruh pendidikan ibu terhadap kejadian obesitas. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekhawatiran yang lebih besar
terhadap status gizi anaknya sehingga tanpa disadari telah memberikan peluang yang lebih besar pada anak untuk makan berlebih over consumption.
Sebaliknya, ibu yang berpendidikan rendah kemungkinan memiliki pengetahuan gizi yang lebih rendah juga, sehingga kurang memperhatikan kandungan zat gizi
dalam makanan yang dikonsumsi anaknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Welis 2003, Rijanti 2002
dan Asih 2001 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan gizi lebih.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Menurut Harper 1986 dan Sallayanti 1977 pendidikan dapat berhubungan dengan pengetahuan gizi yang akhirnya berpengaruh terhadap
konsumsi makanan. Sanjur 1982 menyatakan bahwa pengetahuan gizi sangat penting artinya bagi keluarga, khususnya bagi ibu rumah tangga Sanjur 1982.
5. Pola makan
Berdasarkan hukum termodinamika, obesitas terjadi oleh karena adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara
asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak Whitney, 1990 dan Nassar, 1995:
Pengukuran pola konsumsi makanan pada penelitian ini dilakukan dengan metode food recall 24 jam selama dua hari. Data yang terkumpul diolah dengan
menggunakan bantuan program nutrisurvey. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa responden yang jumlah
asupan energinya sama atau lebih dari 100 AKG mengalami obesitas sebanyak 5 orang 29,4 dan yang jumlah asupan energinya kurang dari 100 AKG,
mengalami obesitas sebanyak 5 orang 6,3. Hasil uji statistik p 0,05 artinya jumlah asupan energi berpengaruh terhadap kejadian obesitas.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada remaja SLTP di Yogyakarta dan Bantul yang menunjukkan bahwa semakin tinggi asupan energi
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
dan lemak semakin tinggi kemungkinan terjadinya obesitas Medawati dkk, 2005.
Penelitian Hapsari 2007 pada karyawan PT ACS Jakarta, juga menunjukkan bahwa ada hubungan yanng bermakna antara asupan energi dengan
status gizi. Karyawan yang asupan energinya melebihi angka kecukupan gizi AKG memiliki risiko gizi lebih sebesar 2,9 kali dibanding dengan karyawan
yang asupan energinya tidak melebihi AKG. Berdasarkan hasil penelitian ini juga diperoleh bahwa responden dengan
jumlah asupan protein yang sama atau lebih dari 100 AKG, mengalami obesitas sebanyak 6 orang 10,7 sedangkan responden dengan jumlah asupan protein
yang kurang dari 100 AKG, mengalami obesitas sebanyak 4 orang 10,0. Hasil uji statistik p 0,05 artinya tidak ada pengaruh jumlah asupan protein
terhadap kejadian obesitas. Hasil ini sejalan dengan penelitian Amaliah 2005 dan Haya 2003
menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan persen lemak tubuh.
Menurut Almatsier 2002, fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan, namun jika tubuh mengalami kekurangan energi maka fungsi protein terlebih
dahulu untuk menghasilkan energi atau membentuk glukosa. Jika protein dalam keadaan berlebih maka akan mengalami deaminase, yaitu nitrogen dikeluarkan
dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak tubuh.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Pada penelitian ini juga terlihat bahwa responden yang mengkonsumsi empat jenis makanan atau lebih, mengalami obesitas sebanyak 2 orang 50.
Responden yang mengkonsumsi kurang dari empat jenis makanan, mengalami obesitas sebanyak 8 orang 8,7 dan yang tidak mengalami obesitas sebanyak
84 orang 91,3. Dari 10 orang responden yang mengalami obesitas sebagian besar yaitu 8 orang 80 mengkonsumsi kurang dari empat jenis makanan
kategori tidak baik dan hanya 2 orang 20 yang mengkonsumsi empat jenis makanan atau lebih kategori baik. Hasil uji statistik p 0,05 artinya jenis
makanan berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Hal ini kemungkinan disebabkan karena makanan yang dikonsumsi
mengandung kalori dan lemak yang tinggi tetapi rendah serat. Hasil Food Frequency Questionnaire Method menunjukkan bahwa sebahagian besar
responden jarang mengkonsumsi sayur dan buah tetapi memiliki kebiasaan mengkonsumsi jajanan. Makanan pokok yang paling sering dikonsumsi adalah
nasi. Jenis lauk pauk yang paling sering dikonsumsi adalah ikan basah dan daging. Jenis buah yang paling sering dikonsumsi adalah jeruk dan pisang,
sedangkan sayuran yang paling sering dikonsumsi adalah bayam dan kangkung. Jajanan yang paling sering dikonsumsi adalah roti dan bakso.
Susunan makanan yang baik harus dapat memenuhi selera, memberi rasa kenyang dan mengandung zat gizi yang dibutuhkan bagi tubuh kita dalam jumlah
yang seimbang sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang. Zat-zat gizi dapat
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
diperoleh dari jenis bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah- buahan dan susu. Bahan makanan pokok dapat berupa nasi, jagung, umbi-umbian
dan sagu merupakan sumber energi yang jika berlebih disimpan dalam bentuk lemak. Lauk-pauk dapat berupa lauk hewani dan nabati yang banyak mengandung
protein dan lemak yang merupakan sumber zat pembangun. Sayur-sayuran dan buah-buahan banyak mengandung vitamin yang merupakan sumber zat pengatur
metabolisme dalam tubuh. Susu penting bagi tubuh sebagai sumber kalsium untuk pertumbuhan tulang dan gigi Almtsier, 2003. Susunan makanan yang tidak baik,
yang hanya terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk tanpa sayur atau buah sebagai pengatur metabolisme tubuh cenderung akan meningkatkan kejadian
obesitas. Menurut Adi 1998, frekuensi makan merupakan salah satu aspek penting
dari kebiasaan makan yang secara langsung mempengaruhi asupan zat gizi dan dari data frekuensi makan dapat diketahui peluang bagi seseorang untuk
mengkonsumsi pangan dan memenuhi kecukupan serta kelengkapan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat.
Frekuensi makan menu utama diduga mempunyai hubungan dengan status gizi. Kemungkinan yang pertama adalah frekuensi makan tidak sejalan dengan
banyaknya kandungan zat gizi dalam makanan terutama energi dan protein. Kemungkinan yang kedua adalah kecukupan gizi remaja lebih dipenuhi oleh
makanan kudapan dan bukan dari makanan utama.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Penelitian yang dipublikasikan dalam American Journal of Epidemiology 2003 juga mengungkapkan bahwa orang yang mengkonsumsi makanan sampai
tiga kali per hari berisiko menderita obesitas 45 lebih tinggi daripada orang yang mengkonsumsi makanan empat kali atau lebih Siagian, 2004.
Frekuensi makan yang rendah berkaitan dengan sekresi insulin yang tinggi. Insulin dapat berperan sebagai penghambat enzim lipase untuk memecah lemak.
Semakin banyak insulin yang disekresikan, makin besar hambatan pada aktivitas enzim lipase. Akibatnya semakin banyak lemak yang ditimbun dalam tubuh.
6. Aktivitas Fisik
Obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan energi yang masuk dengan yang keluar. Banyaknya asupan energi dari konsumsi makanan yang
dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas fisik sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak pada
jaringan lemak Rosenbaum, 1998. Pada penelitian ini terlihat bahwa tingkat aktivitas fisik responden sebagian
besar dikategorikan ringan yaitu sebanyak 75 orang 78,1. Jumlah responden yang obesitas dengan aktivitas fisik berat sebanyak 3 orang 6,7 dan ringan
sebanyak 7 orang 13,7. Aktivitas fisik ringan yang paling sering dilakukan responden adalah duduk, belajar dan menonton TV, sedangkan aktivitas fisik
berat yang paling sering dilakukan adalah sepak bola dan basket. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian obesitas pada remaja yang tingkat aktivitasnya
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
ringan lebih besar dari pada remaja yang aktivitasnya berat. Meski demikian hasil uji statistik menunjukkan nilai p 0,05 artinya tidak ada pengaruh aktivitas fisik
terhadap kejadian obesitas. Hal ini sejalan dengan penelitian Amaliah 2005 menunjukkan bahwa
proporsi persen lemak tubuh tinggi lebih banyak pada responden dengan tingkat aktivitas sedang. Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik
dengan persen lemak tubuh. Demikian juga dengan penelitian Putri 2004, Asih 2001 dan Haya 2003
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi.
Sebagian besar energi yang masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas
fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan sebagai lemak, sehingga orang- orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk.
Pada penelitian ini, berdasarkan analisis multivariat terlihat bahwa jumlah asupan energi dan jenis makanan yang dikonsumsi berpengaruh secara signifikan
terhadap kejadian obesitas p 0,05. Ini berarti, jika seseorang dapat mengatur pola makan dan keseimbangan energi yang masuk dengan yang dikeluarkan maka
kejadian obesitas dapat dihindarkan. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan pengaturan diri untuk mengendalikan diri sendiri yang sering disebut dengan self
regulated behavior.
Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri Sakti Medan 2008, 2009.
USU Repository © 2009
Menurut Dimatteo 1991, ada tiga syarat utama dari self regulated behavior yaitu: self monitoringself observation, self evaluation dan self reinforcement.
Self monitoring pada penderita obesitas dapat dilakukan dengan menimbang berat badan dan memperhatikan jumlah kalori yang dikonsumsi. Self
evaluation dilakukan dengan membandingkan berat badan dan jumlah kalori yang diperoleh melalui self monitoring dengan kriteria ideal. Self reinforcement
dilakukan dengan memberikan penghargaan diri atau penguatan pada diri sendiri untuk mencapai berat badan yang ideal Wulandari, 2007
5.2 Keterbatasan Penelitian