Penelitian ini sejalan dengan penelitian Depkes RI 1999, bahwa penggunaan Altosid dengan bahan aktifnya S-Metoprehene mempunyai perbedaan signifikan
terhadap angka kematian larva Anopheles spp, dengan perlakuan 6 hari, dan umumnya kematian larva Anopheles spp dimulai sejak hari kedua perlakuan, dan
fenomena ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang menemukan jumlah kematian larva dari 4 dosis dan lima perlakuan sudah menemukan larva Anopheles
spp yang mati. S-Metopherene merupakan jenis larvasida yang bekerja menyerupai hormon
pertumbuhan pada serangga dan mencegah maturasi normal dari larva. Digunakan di air untuk membunuh larva nyamuk, selain itu s-methoprene mempunyai cara kerja
larva yang memakan atau terkena methoprene tidak dapat mengeluarkan clytine, sehingga pupa tidak dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa dengan pelepasan
zat aktif secara bertahap. Menurut Blondie, dkk 2004, metoprene tidak memiliki efek yang signifikan
toksikologi merugikan dalam setiap manusia efek kesehatan dan sebagai biokimia pestisida karena mengendalikan serangga melalui toksisitas langsung,
mengganggu siklus hidup serangga dan mencegah dari mencapai kematangan dan mereproduksi.
5.2. Pengaruh Larvasida B.thugienesis terhadap Kematian Larva Anopheles spp
Penggunaan larvasida dalam penelitian ini adalah jenis larvasida bersifat padatberikat berwarna hitam yang diperuntukkan untuk mencegah pembentukan
Universitas Sumatera Utara
nyamuk dewasa dengan bahan aktifnya B.thurigiensis yang berbentuk cairan coklat dan toksin delta endotoksin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan hari pertama sampai hari ketiga jumlah kematian larva Anopheles spp tertinggi pada dosis 4,0 ppm yaitu
sebesar 8,0, kemudian pada hari empat meningkat menjadi 9,33, seterusnya pengamatan hari kelima menjadi 10,67, meningkat menjadi 12,00 hari keenam
dan ketujuh. Kemudian pada hari ke delapan dan sembilan meningkat kembali menjadi 16,00. Hal ini menunjukkan bahwa semakin hari semakin tinggi angka
kematian larva Anopheles spp, dengan dosis tertinggi kematian terdapat pada dosis 4,0 ppm.
Secara rata-rata tingkat kematian larva Anopheles spp dengan menggunakan larvasida B.Thurigiensis mayoritas terjadi pada dosis 4,0 ppm 100 diikuti dengan
dosis 3,0 ppm 78,7, dan 2,0 ppm 72,0 dan pada dosis 1,0 ppm 68,0. Fenomena ini relatif sama puncak kematian larva Anopheles spp dengan
menggunakan penggunaan S-methoperene yaitu pada pengamatan hari ketujuh, namun hanya 8,75 sedangkan pada penggunaan B.thurigiensis sebesar 16,0,
artinya terjadi hampir dua kali lipat angka kematian larva Anopheles spp, dan pada pengamatan hari ke sepuluh sudah tidak ditemukan larva Anopheles spp, dimana
sebagiannya juga menjadi nyamuk dan cacat. Tingginya angka kematian larva Anopheles spp pada perlakuan dengan
menggunakan B.thurigiensis disebabkan bentuk B.thurigiensis adalah cairan sehingga
Universitas Sumatera Utara
sangat mudah larut dalam air yang digunakan dalam kontainer yang terdapat larva Anopheles spp, dan sangat mudah dimakan oleh larva Anopheles spp.
Hasil uji anova menunjukkan pada nilai F Hitung 4,746 F-Tabel 2,82, dengan nilai p sebesar 0,006 p0,005, maka dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan secara signifikan jumlah kematian larva Anopheles spp dengan menggunakan larvasida jenis Vectobac B.thurigiensis Tabel 4.26, dan berdasarkan
rerata kematian larva Anopheles spp, diketahui jumlah kematian tertinggi terdapat pada dosis 4,0 ppm dan seterusnya pada dosis 3,0 ppm, 2,0 ppm dan 1,0 ppm, artinya
4,0 ppm lebih efektif membunuh larva nyamuk Anopheles spp, dengan persentase kematian sebesar 100.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Widyastuti 1997, bahwa penggunaan Bacillus dengan jenis Spherimos PP pada dosis 7,0 ppm lebih efektif
menurunkan populasi Anopheles spp di Areal persawahan desa Bawonifaoso Teluk Dalam Nias, artinya Formulasi liquid dan granul Bacillus thuringiensis dapat
mengendalikan larva Anopheles spp lebih dari 50 paling lama 7 hari. Melihat pendeknya jangka waktu penggunaan formulasi thuringiensis H-14,
dengan sendirinya akan dibutuhkan larvisida biologis yang banyak untuk operasional di lapangan, karena interval waktu yang dibutuhkan untuk penyemprotan hanya
berkisar 1 minggu. Lain halnya bila yang digunakan untuk pengendalian larva adalah Sphenimos PP, tentunya kebutuhan jumlah larvisida biologis tersebut akan dapat
ditekan karena interval waktu yang dibutuhkan untuk penyemprotan lebih lama. Keuntungan penggunaan larvisida mikrobia seperti B.thurigiensis adalah berpotensi
Universitas Sumatera Utara
daur ulang dan mempunyai efek residu yang cukup lama, potensi resistensi yang terbatas tidak toksik terhadap lingkungan dan organisme bukan sasanan khususnya
predator larva nyamuk, efektivitas dapat bertahan lama meskioun di habitat air terpolusi, aman bagi operator pengendali nyamuk aman bagi manusia dan stabil
dalam penyimpanan. Penelitian lain yang serupa juga pernah dilakukan pada kolam- kolam tidak terawat milik penduduk desa Sukutukan, Kecamatàn Wulanggitang,
Kabupaten Flores Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efikasi Bacillus jenis Spherimos FC dosis 30 ppm terhadap larva An. Barbirostris dapat dipertahankan
sampai dengan hari ke 35 dengan persen reduksi lebih dani 50. Efikasi B.thuringiensis terhadap larva nyamuk dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor. Faktor-faktor seperti instar larva, makanan, periode pemaparan expose period, kualitas air, strain bakteri, perbedaan kepekaan masing-masing larva
nyamuk yang diuji, suhu air dan formulasi khususnya tingkat sedimentasipengendapan dilaporkan sangat mempengaruhi efikasi Bacillus
thuringiensis terhadap larva nyamuk. Selain itu efektivitas larvisida mikrobia sangat tergantung pada tersedianya toksin di daerah makan larvalarvafeeding zone5 dan
perilakukebiasaan makan dan spesies larva nyamuk sasaran Widyastuti, 2004. Bacillus thuringiensis yang ditemukan pertama kali di Israel pada tahun 1976,
merupakan bakteri pembentuk spora yang memproduksi kristal protein toksin delta- endotoksin di dalam sel selama fase sporulasi. Bakteri ini dikenal mempunyai
patogenisitas tinggi terhadap larva nyamuk dan larva lalat hitam. Aktivitas larvisida
Universitas Sumatera Utara
B. thuringiensis selalu dihubungkan dengan kristal protein toksin yang berperan sebagai racun perut Blondie, dkk
Berdasarkan keadaan lingkungan menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti keadaan suhu, kelembaban dan pH air di lapangan dengan di Laboratorium,
sehingga faktor lingkungan ini dapat diabaikan dalam mempengaruhi tingkat kematian larva Anopheles spp.
Menurut Kestina 1995 dalam Widyastuti 2004, bahwa rata-rata suhu ruangan pada saat penelitian berlangsung adalah 28° C. Hal ini merupakan kondisi
yang sesuai untuk pertumbuhan larva. Karena suhu yang baik untuk pertumbuhan larva adalah 25° C-35° C. Suhu berpengaruh terhadap perkembangan larva nyamuk,
larva tidak bisa berkembang secara normal pada suhu dibawah 10° C. 5.3.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen, sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk proses pengumpulan data, sehingga terjadi kesalahan dalam
pencatatan larva Anopheles spp, namun peneliti mengkomperatifkan dengan ulangan- ulangan penelitian, sehingga bias data dapat dikurangi.
Selain itu adanya larva Anopheles spp yang menjadi nyamuk, kemudian mati, atau cacat, sehingga data yang dikumpulkan dapat bias, namun peneliti mencatat
seluruh larva yang menjadi nyamuk dan atau cacat, sehingga secara keseluruhan dapat diketahui jumlah larva yang mati.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN