PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
18
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syif±’ dalam studi Al-Quran bagi ahli agama Islam maupun lainnya, pada dasarnya tidak hanya mengkaji dari dimensi psikologis, melainkan juga fisiologis,
sosiologis dan spiritual. Sudut pandang ini selain menjadikan Al-Quran sebagai sumber utama, juga melahirkan sejumlah temuan yang berbeda dari para cendikiawan muslim
maupun pemerhati syif±’ lainnya dengan segala bentuk dan corak yang beraneka ragam. Bahkan studi Al-Quran tersebut dalam kitab-kitab tafsir maupun keilmuannya dewasa
ini hampir-hampir tidak pernah mengabaikan Tafsir Fakhrudd³n al-R±z³, yang terkenal dengan Tafs³r al-Kab³r wa Maf±t³¥ al-Ghaib. Di mana karya ini selain menjadi
rujukan, juga mejadi objek kajian yang dapat melahirkan sejumlah penilaian dari berbagai kalangan, baik yang berhubungan dengan cakupan makna ayat-ayat Al-
Quran maupun kerangka metodologisnya. Kajian holistik terhadap tafsir Al-Quran, termasuk di dalamnya dimensi
normativitas dan historisitas, merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuan, baik Barat maupun Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk
adanya kombinasi ideal antara perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual sangat penting untuk mengkaji kandungan ayat-ayat Al-Quran secara
normatif, maka pendekatan kontekstual sangat penting untuk menafsirkan norma- norma tersebut ke dalam wacana historis dan metodologis.
Dunia Barat yang selama ini dikenal dengan keunggulan metodologis dan kekeritisannya, sejauh ini masih mengandalkan perspektif kontekstual dalam melihat
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
19
fenomena Islam dengan segala atributnya. Perspektif ini tidak jarang mengakibatkan terjadinya proses distorsi dan reduksi di kalangan mereka terhadap makna substantif
Islam itu sendiri sehingga salah dalam mengambil kesimpulan tentang Islam. Demikian pula halnya di Timur, lebih spesifik lagi bagi kalangan muslim yang sebagian besar
masih melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif-doktrinal, sehingga tidak jarang melahirkan sikap apologetik secara berlebihan. Sikap ini pada kesempatan
tertentu, secara gampang mengklaim suatu kebenaran dengan tanpa suatu alasan. Bahkan, umat Islam yang masih terjebak dalam pemikiran sepihak ini, pada umumnya
telah menjastifikasi penafsirannya tentang Islam sebagai yang paling benar, sambil menuding kelompok lain, lebih-lebih kelompok modernis maupun orientalis sebagai
orang-orang yang tersesat. Polarisasi dikotomis ini, jelas akan menimbulkan pemahaman parsial terhadap makna substansi Islam, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan
proses reduksi dalam distorsi makna. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem epistemologis ini adalah dengan menggabungkan kedua pendekatan tersebut secara
konprehensip dan holistik.
3
Tindakan sepihak dari aspek metodologis yang dapat menimbulkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan adalah sebagaimana dilakukan oleh John Wansbrough
yang secara metodologis telah mengkritisi otentisitas Al-Quran melalui pendekatan Redaktion Criticism kajian kritis redaksi dan Form Criticism kritik bentuk sastra. Di
antara redaksi yang mendapat perhatian khusus dalam kajiannya ialah term al-Kit±b dalam QS al-A`r±f [739]: 71 dan QS al-¢aff±t [3756]: 156 yang diartikan sebagai
3
Lihat Masdar Hilmy Problem Metodologis dalam Kajian Islam: Membangun Paradigma Penelitian Keagamaan yang Konprehensip dalam Paramedia: Jurnal Komunikasi dan Informasi
Keagamaan Surabaya: Pusat Penelitian IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol.1, No.1, April, 2000, h. 2-3.
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
20
ketetapan dorcee, otoritas authority bukan dalam pengertian Kitab Suci The Holy Book.
4
Keengganan dalam menyebut Al-Quran sebagai Kitab Suci tersebut, tampaknya justru membuka peluang bagi Wansbrough untuk mencapai tujuan dalam
melepaskan Al-Quran dari nilai-nilai transendental wahyu Allah, sehingga mengarahkan dugaannya yang kuat terhadap kata-kata dalam Al-Quran yang
disinyalir sebagai tambahan dari Nabi Muhammad. Dalam hal ini ia menyebutkan bahwa kata qul dalam QS al-An`±m [6]: 15; QS al-Ra`d [13]: 36 dan QS al-`Ankabt
[29]: 52 adalah sebagai kata yang sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa Al- Quran adalah benar-benar sebagai Wahyu Allah. Keberadaan kata qul tersebut
menurut Wansbrough adalah justru menjadikan Al-Quran tidak logis, berlebihan dan tidak otentik, karena hal tersebut tidak sejalan dengan hegemonitas dalam kebahasaan.
5
Sedangkan, cakupan makna yang diberikan secara sepihak dan melahirkan penilaian secara berlebihan terhadap kandungan makna ayat-ayat Al-Quran,
sebagaimana tampak pada pernyataan al-Ghazali yang mengungkapkan bahwa: segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu masih ada atau telah punah, maupun
yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber pada Al- Quran.
6
Hal ini menurut al-Ghazali, karena segala macam ilmu termsuk dalam af`±l perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan
tentang ©±t, af`±l dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas, bahkan dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir
4
Lihat John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation Oxford: Oxford University Press, 1977, h. 75-76
5
John Wansbrough, h. 67-68
6
Lihat Ab ¦am³d Mu¥ammad ibn Mu¥ammad al-Ghaz±li 505 H., I¥y± `Ulm al-D³n Kairo: Al-¤aq±fah al-Isl±miyyah. 1356 H., Jilid 1, h. 301
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
21
ini antara lain dibuktikan dengan mengemukakan ayat:
ِﻦ ﯿِ ﻔْﺸ
َﯾ َﻮُﮭَﻓ ُﺖ ْ ﺿ
ِﺮَﻣ اَذِ إَو “
Apabila aku sakit maka Dia-lah yang mengobatiku QS al-Syu`ar± [2647]:80. Obat dan penyakit, menurut al-Ghazali tidak dapat diketahui kecuali orang yang
berkecimpung di bidang kedokteran.
7
Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.
M. Quraish Shihab memberikan penilaian bahwa: ulasan yang dikemukakan al- Ghazali tersebut agaknya sukar untuk dipahami, karena walaupun diyakini ilmu Tuhan
tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti
kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan kalam, oleh karenanya tidak semua yang diketahui itu diucapkan.
8
Fakhrudd³n al- R±z³ 1148-1210 M, walaupun tidak sepenuhnya sependapat dengan al-Ghazali. Namun
kitab tafsirnya Maf±ti¥ al-Ghaib dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai kitab
tafsitnya tersebut dinilai secara berlebihan bahwa di dalamnya mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.
9
Penilaian yang mirip dengan hal tersebut juga diberikan terhadap Tafs³r al-Jaw±hir karya °an¯±wiy Jauhariy 1870-1940, bahkan sebelumnya
Mu¥ammad Rasy³d Ri«± 1865-1935 dengan Tafs³r Al-Man±r-nya, dinilai juga berusaha membuktikan hal tersebut. Ia menurut penilaian Goldziher, berusaha
7
Lihat Ab ¦am³d Mu¥ammad ibn Mu¥ammad al-Ghaz±li 505 H., Jaw±hir Al-Qur±n Mesir: Kurdistan, tth., h.31-32.
8
Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Bandung, Mizan, 2001, h. 101-102
9
Lihat Mu¥ammad Ibr±h³m `Abdurra¥m±n, Manhaj Fakhr al-R±z³ fi al-Tafs³r baina Man±hij Mu`a¡iriyyah Madinah: Hafi§ al-Badriy, 1989, h. 33
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
22
membuktikan bahwa Al-Quran mencakup segala hakikat yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khususnya di bidang filsafat dan
sosiologi.
10
Universalitas kandungan ayat-ayat Al-Quran juga telah diakui dan dibeberkan secara panjang lebar oleh al-Sy±¯ibiy yang antara lain menyatakan bahwa
Al-Quran adalah mengandung penjelasan atas segala sesuatu segala sesuatu telah dijelaskan dalam Al-Quran dengan menunjukkan beberapa ayat Al-Quran yang
menjadi pijakannya, yaitu: QS al-M±idah: 3, al-Na¥l: 89 al-An`±m: 38 dan al-Isr±: 9. Menurutnya, kalau sekiranya cakupan makna ayat-ayat tersebut belum ditemukan
secara keseluruhan, maka hakekat kemutlakan maknanya harus tetap diberlakukan. Misalnya ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa Al-Quran adalah
ﻲ ِ ﻓ ﺎَﻤِﻟ ٌءﺎَﻔِﺷ
روُﺪﱡﺼ ﻟ ا
-penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada. Meskipun Al- Quran sebagai syif± belum diketahui dapat menyembuhkan keseluruhan yang ada di
dalam dada manusia, namun ayat tersebut harus tetap diberlakukan secara mutlak, bahwa di dalam Al-Quran betul-betul menjelaskan segala sesuatu,
11
sehingga Al- Quran yang berkedudukan sebagai syif± itu benar-benar tetap memberikan manfaat
secara mutlak dan lebih sempurna cakupan maknanya bagi siapa saja yang berpegang teguh pada Al-Quran, ia dapat memberikan keselamatan bagi orang-orang yang
10
Ignas Goldziher, Ma©±hib Al-Tafs³r al-Isl±miy, terjemahan ke dalam Bahasa Arab oleh Abd al-Mun`im al-Najj±r, al-Sunnah al-Mu¥ammadiyyah Kairo: 1955, h. 375
11
Lihat Ab Is¥±q Al-Sy±¯ib³ w.790 H., Al-Muw±faq±t fi U¡l al-Syar³`ah Beirt: D±r al- Kutub al-`Ilmiyyah, tth, Jilid 2, jus 3. h. 276
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
23
mengikuti petunjuknya, tidak menutup dan menyesatkannya, tetapi membuka, menunjukkan dan meluruskannya pada jalan yang benar.
12
Syif± itu sendiri, oleh al-Zarkasy³ digolongkan sebagai nama lain dari Al- Quran yang diuraikan melalui penjelasan bahwa Al-Quran dapat berfungsi sebagai
syif±’ bagi orang-orang yang beriman dari penyakit kekafiran, dan bagi orang-orang yang mengetahui dan mengamalkannya dapat berfungsi sebagai syif±’ dari penyakit
kebodohan.
13
Lebih lanjut, al-Qur¯ub³ dalam karyanya Al-J±mi` li A¥k±m al-
Qur’±n
14
dan al-Zamakhsyar³ dalam karyanya al-Kasysy±f
15
justru memasukkan syif±’ sebagai nama lain dari surah Al-F±ti¥ah dengan merujuk pada Hadis Nabi saw yang
antara lain mengandung makna bahwa surah al-F±ti¥ah dapat menyembuhkan segala penyakit. Dalam pada itu, al-Qur¯ub³ bahkan menyatakan bahwa inti Al-Quran
adalah surah al-F±ti¥ah, dan inti surah al-F±ti¥ah adalah Basmalah
ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲ ﻢﺴﺑ ﻢﯿﺣﺮﻟا
. Karena itu, ia mengatakan: jika engkau sakit, obatilah dengan surah al-F±ti¥ah, maka penyakit itu dapat disembuhkan dengannya.
16
Di samping itu, Al-Quran juga menginformasikan bahwa syif±’ erat kaitannya dengan minuman sejenis madu, yang
12
Kata
ﺎﻣ
pada QS Ynus [1051]: 57 tersebut menunjuk pada pengertian secara umum. Lihat al-Sy±¯ib³, Al-Muw±faq±t, Jilid 2, jus 3, h. 276-277.
13
Lihat Im±m Badr al-D³n Mu¥ammad bin `Abdull±h al-Zarkasy³ 745-794 H., Al-Burh±n f³ Ulm al-Qur’±n Beirt: D±r al-Fikr, 1980, Jilid. I, h. 275 dan 280. Dalam hal ini ia merujuk pada QS al-
Isr±: 82.
14
Lihat Ab `Abdillah Mu¥mmad ibn A¥mad al-An¡±riy al-Qur¯ub³, Al-J±mi` al-A¥k±m al-Qur’±n Kairo: D±r al-Kit±b al-`Arabiy: 1967, Juz I, h.112
15
Lihat Ab al-Q±sim J±rull±h Ma¥md ibn `Umar al-Zamakhsyar³ al-Khaw±razm³ 467- 538, Al-Kasysy±f `an ¦aq±iq al-Tanz³l wa `Uyn al-Aq±wil fi Wujh al-Taw³l Beirt: D±r al-
Ma`rifah, tth, jus I, h. 23-24.
16
Lihat al-Qur¯ub³, Al-J±mi` al-A¥k±m al-Qur’±n, h. 113
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
24
berfungsi sebagai obat bagi sekelompok orang yang mau berpikir dari beberapa penyakitnya.
17
Keragaman pendapat di atas dapat dipahami bahwa eksistensi syif±’ boleh jadi terkait langsung dengan Al-Quran maupun terkait dengan minuman sejenis madu. Hal
ini sejalan dengan penggunaan term syif±’ dalam bentuk nak³rah umum yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai keluasan kandungan makna syif± itu sendiri, namun
dalam hal-hal tertentu ia juga menunjuk pada makna sebagian.
18
Oleh karena itu, sangat wajar apabila dijumpai berbagai perbedaan pendapat mengenai cakupan makna,
karakteristik, sasaran dan fungsi syif±’, baik yang berbentuk Al-Qur’an, ayat-ayatnya maupun madu dan sejenisnya bagi kehidupan umat manusia.
Secara etimologis, kata syif± berakar dari susunan huruf yang terdiri dari syin- fa’ dan huruf mu`tal
ش -
ف -
ﻞﺘﻌﻤﻟ ا فﺮ ﺤﻟ او
yang pada dasarnya berarti mengungguli sesuatu. Kata ini disebut syif±’, karena ia telah mengalahkan penyakit dan
mengunggulinya.
19
Huruf mu`tal pada akar kata tersebut dalam penggunaannya adalah sangat berpengaruh pada cakupan maknanya. Oleh karena itu, Ibnu Man§r
membedakannya menjadi dua pola. Pertama, kata itu tersusun dari huruf-huruf
ش -
ف -
ى
dengan pola perubahannya
ﻰ ﻔ ﺷ -
ﻰﻔﺸﯾ -
ْﺎﻔِﺷ
dalam pengertian obat yang terkenal, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit
ﻦﻣ ئﺮ ﺒ ﯾ ﺎﻣ ﻮھو ف وﺮﻌﻣ ءاو د
17
Ungkapan ini merujuk pada QS al-Na¥l 16: 69. Lihat Misalnya Mu¥ammad bin Ysuf yang terkenal dengan Ab ¦ayy±n al-Andalsiy w.745 H, Tafs³r Al-Ba¥rul Mu¥i¯ Beirt: D±r al-Kutb al-
`Ilmiyyah, 1999, Jus 5, h. 497.
18
Lihat misalnya Ab ¦ayy±n al-Andalsiy, Tafs³r Al-Ba¥rul Mu¥i¯, h. 497 dan `Abd al-¦am³d ibn B±d³s, Tafs³r ibn B±dis f³ Maj±lis al-Ta©k³r min Kal±m al-¦ak³m al-Khab³r Mesir: D±r al-Fikr,
1979, h 224
19
Lihat Ab al-¦usain A¥mad Ibn F±ris ibn Zakariy±, Mu`jam Maq±yis al-Lughah, dengan ta¥q³q `Abd al-Sal±m Mu¥ammad H±rn Beirt: D±r al-Fikr, tth., Jilid 3, h. 199.
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
25
ﻢﻘﺴﻟ ا
,
20
Kedua, kata itu tersusun dari huruf-huruf
ش -
ف -
و
yang terpola menjadi bentukan kata
َ ﺷ ﺎ ﻔ
syaf± yang berarti pinggir, tepi, melebihi batas atau sesuatu yang berada di ambang kehancuran.
21
Apabila pola kata tersebut dikompromikan dengan penggunaan syif±’
ٌ◌ ْ◌ ٌﺎَﻔِ ﺷ
dengan berbagai isytiq±q-nya
22
yang berarti sembuh atau obat diulang dalam Al- Qur’an sebanyak 6 kali. Lima di antaranya termsuk kategori makiah, Yaitu: QS. al-
Syu`ar± [2647]: 80, al-Isr± [1750]:82; Ynus [1051]: 57; Fu¡¡ilat [4161]: 44 dan al- Na¥l [1670]: 69 dan satu ayat lainnya termsuk madaniah, yaitu: QS al-Taubah
[9113]:14.
23
Sejalan dengan penggunaan term syif± ini, al-R±ghib al-A¡fah±niy justru
20
Lihat Jam±l al-D³n Mu¥ammad ibn Mukarram ibn Man§r al-An¡±riy w.711 Lis±n al-`Arab al-D±r al-Mi¡riah, tth, Jus 19, h. 167. Menurut al-Suyuthi, obat itu sendiri sesungguhnya adalah
pengobatan. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Pengobatan Cara Nabi saw, yang diterjemahkan dari aslinya As-Suyuthis Medicine of the Prophet. Alih bahasa Luqman Hakin dan Ahsin Muhammad
Bandung; Pustaka Hidayah, 1997, h. 169.
21
Lihat Ibn Man§r al-An¡±riy w.711 Lis±n al-`Arab, Jus 19, h. 167. Bandingkan dengan Jam±l al-D³n Mu¥ammad ibn Mukarram ibn Man§r al-An¡±riy w.711, Lis±n al-Lis±n: Tah©³b Lis±n al-`Arab
Beirt: D±r al-Kutub al-`Ilmiyah, tth. Jus 1, h. 683.
22
Isytiq±q adalah mengeluarkan satu bentuk kata dari kata yang lain karena adanya persesuaian arti melalui perubahan lafal. Kalangan ahli Nahwu, Isytiq±q hanya terbatas pada empat
bentuk, yaitu ism al-f±`il, ism al-maf`l, al-sifat al-musyabbahah dan ism al-taf«³l. Akan tetapi bagi Ahli sharf, Isytiq±q dikembangkan menjadi fi`l m±«³, fi`l mu«±ri`, fi`l amar, ism masdar, isim zam±n, ism
mak±n dan ism alat. Bahkan secara filologis, isytiq±q dikembangkan dengan cara mengubah susunan hurufnya, misalnya:
ش -
ف –
ى ،
; ف
- ش
- ى
; ي
- ش
- ف
dan
ف -
ي -
ش
. Adapun yang dimaksud isytiq±q dalam tulisan ini adalah terfokus pada Ahli ¢arf. Lihat Amin `Al³ al-Sayyid, F³ `Ilm
al-¢arf Mes³r: D±r al-Ma`±rif, 1971, h.23.
23
Lihat Mu¥ammad Fu±d `Abd al-B±q³, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alf±§ al-Qur’±n Beirt: D±r al-Fikr, 1992, h. 488. Penomoran dalam tanda kurung adalah: Pertama, menunjuk pada urutan nomor
surah berdasar mu¡¥af `Usm±niy dan Kedua berdasar tertib Nuzl. Dalam hal ini lihat urutan berdasarkan tertib nuzul surah-surah dalam Al-Qur’an sebagaimana terdapat pada daftar konversi kronologi surah Al-
Quran dalam Mu¥ammad `Izzah Darwazah, Al-Tafs³r al-¦ad³£: al-Suwar Murattab±t ¦asb al-Nuzl Kairo: `Is± al-B±b³ al-¦alab³y wa Syurak±uhu, tth., h. 14-15. Lihat pula Abd Mu`in Salim, Fiqh Siyasah:
Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h.329-330.
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
26
mengidentikkan term syif± min al-mara« -sembuh dari penyakit dengan syif± al- sal±mah -obat untuk kesehatan yang pada perkembangan selanjutnya digunakan untuk
nama dari sebuah kegiatan pengobatan atau penyembuhan-
24
ﺔﻘﻓاﻮﻣ ض ﺮﻤﻟا ﻦﻣ ْﺎ ﻔﺸﻟا
ءﺮﺒﻠﻟ ﺎﻤﺳإ رﺎﺻو ﺔﻣﻼﺴﻟا ءﺎﻔﺷ
Sedangkan kata syaf±
َﻔَﺷ ﺎ
yang berarti segala sesuatu yang berada di pinggir atau di ambang kehancuran, disebut 2 kali dalam Al-Quran, yaitu: QS ²li `Imr±n
[389]: 103 dan QS al-Taubah [9113]: 109 yang keduanya termsuk ayat-ayat madaniah.
25
Kandungan makna kata itu, oleh Al-R±ghib diartikan sebagai pinggir sumur atau lainnya yang dapat diidentikkan dengan segala sesuatu yang berada di
ambang kerusakan. Menurutnya seseorang yang keberadaannya di ambang kerusakan, itu berarti mereka telah berhasil mencapai batas kerusakan maupun keterpurukan,
sehingga sangat kecil tingkat kesembuhannya atau sangat kecil kemungkinan untuk dapat disembuhkannya.
26
Pemaknaan term syif± sebagaimana tersebut di atas tampak disejajarkan dengan term sembuh -al-burah
ةءﺮﺒﻟا
dan sehat -al-sal±mah
ﺔﻣﻼﺴﻟ ا
; term sakit -al- mara«
ضﺮﻤﻟا
yang diidenktikkan dengan sakit -al-saqam
ﻢﻘﺴﻟا
, bahkan syif±
ًءﺎَﻔِﺷ
itu sendiri berakar kata yang sama dengan kata syaf±
ﺎَﻔَﺷ
, yakni berakar dari huru- huruf syin-fa dan huruf mu`tal. Masing-masing ungkapan ini dengan berbagai
permasalahannya sudah seharusnya menjadi bagian yang tak terabaikan begitu saja, melainkan aneka ragam tinjauan yang dilematis itu justru menuntut adanya usaha
24
Lihat Abu al-Q±sim al-¦usayn ibn Mu¥ammad ibn al-Mufa««al yang terkenal dengan sebutan al-R±ghib al-A¡fah±niy w.503, Mu’jam Mufrad±t Alf±§ al-Qur±n Beirut: D±r al-Kutb al-
Ilmiyah, 1997, h. 296.
25
Lihat Mu¥ammad Fu±d Abd al-B±q³, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alf±§ Al-Qur’±n, h.488
26
Lihat al-R±ghib al-A¡fah±niy, Mu’jam Mufrad±t li Alf±§ al-Qur±n, h. 296.
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
27
maksimal untuk menjelaskannya secara menyeluruh dan mendalam sehingga secara tegas akan diketahui duduk permasalahan, dapat ditemukan titik persambungan,
perbedaan maupun kegunaannya masing-masing. Upaya-upaya untuk mengkompromikan berbagai fenomena yang sedang
bergejolak di tengah kehidupan umat manusia, terutama dalam dunia pemikiran telah ditempuh oleh Fakhr al-D³n al-R±z³ dalam berbagai karyanya. Meskipun ia telah
mendeklarasikan sebagai pengikut teologi Asy`ar³, namun ia juga sangat berminat terhadap pemikiran filsafat. Dengan kata lain ia berhati Asy`ari dan berpikiran Ibnu
S³n±. Dalam prakteknya, ia mencoba menempatkan tradisi Asy`ari ke dalam sistem filsafat yang dapat dirangkap oleh intelektual muslim melalui interpretasi yang sangat
logis. Ia beradaptasi dengan teori parepatetik muslim dalam hal wujud dengan sistem teologi Asy`ari. Ia menerima doktrin Ibnu S³n± mengenai teori emanasi yang secara
metafisis telah menggambarkan tentang kekadiman alam. Dan ia berusaha mengadopsi keseluruhan teori Ibnu Sin± tentang wujud sebagai sebuah kerangka berpikir yang
general untuk spekulasi teologi. Oleh karena itu, paham teologi al-R±z³ dapat dikatakan sebagai kombinasi dari paham tradisional dan rasional. Meskipun usaha-
usaha al-R±z³ dalam mengkompromikan berbagai fenomena yang sedang berkembang berjalan secara positif, namun dalam perjalanannya tetap mengahadapi berbagai
kendala dalam memberikan sebuah sintesis. Sebagai konsekuensinya adalah ia tidak berpihak pada pemikiran-pemikiran muslim tradisional seperti ibnu Taimiyah dan tidak
berpihak pula pada pemikiran filsafat seperti °s³. Kedua hal ini bahkan sering dikritik sebagaimana teologi Asy`ari yang kemudian ia membuka jalan keluar sebagai sistem
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
28
baru dalam teologi, dimana teologi ini dapat dijadikan sebagai sistem pemikiran rasional seperti filsafat tentang wujud dan sebuah ilmu pengetahuan yang luar biasa.
27
Penggabungan pemikiran al-R±z³ tersebut juga terbukti dalam tafsir Maf±t³¥ al-Ghaib sebagai karya besarnya yang terpenting di antara berbagai karya-karya
lainnya. Kandungan tafsir al-R±z³ ini benar-benar telah mencerminkan perpaduan antara pemikiran mu`tazilah yang rasional bi al-`aql dan sumber-sumber lain yang
menitikberatkan pada pemahaman tradisional bi al-naql wa al- lughah. Di antara kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan secara rasional al-tafsir bi-al-rayi dalam tafsir
al-R±z³ adalah tafsir al-Kasysy±f karya al-Zamakhsyar³ w.538 H., sedangkan sumber-sumber tafsir secara tradisional al-tafs³r bi al-ma£r didasarkan pada tafsir
Ibnu Jar³r al-°abar³ w.309 H. yang dikenal dengan J±mi` al-Bay±n fi Tafs³r al- Qur±n, maupun tafsir Ab³ Man¡r al-M±tur³d³ w.333 H. sebagai tafsir yang
berorientasi pada pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jam±`ah.
28
Oleh karena itu, sangat wajar apabila Tafs³r al-Kab³r wa Maf±t³¥ al-Ghaib itu sendiri pada satu kesempatan
digolongkan sebagai tafsir yang bercorak ilmiah maupun rasional bi al-rayi,
29
namun pada kesempatan lain karyanya itu memang di reduksi dari tafsir bi al-Rayi wa bi al-
Ma£r kombinasi pemikiran dan wahyu.
30
Dalam hal ini, Mu¥ammad `Abd al-Ra¥³m antara lain telah mencatat indek hadis-hadis yang digunakan dalam tafsir al-R±z³
27
Lihat Mircea Eliade ed., The Encyclopedia of Religion New York: Simon Schuster Macmillan, 1995, Vol.11, h. 221-222.
28
Lihat Mu¥ammad Ibr±h³m `Abdurra¥m±n, Manhaj Fakhr al-R±z³ fi al-Tafs³r baina Man±hij Mu`a¡iriyyah h. 55-58
29
Lihat Mu¥ammad al-Sayyid Jibr³l, Madkhal il± Man±hij al-Mufassir³n Kairo: al-Risalah, tth., h.112.
30
Lihat Mu¥ammad Ibr±h³m `Abdurra¥m±n, Manhaj. h. 9 dan 58
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
29
setebal 270 halaman.
31
Indek hadis-hadis ini selain sangat memudahkan untuk melihat secara langsung tentang hadis-hadis yang digunakan dalam tafsir al-R±z³, juga
sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa tafsir tersebut mencakup sumber-sumber kewahyuan al-tafs³r bi al-ma£r.
Meskipun sintesis al-R±z³ terhadap berbagai pemikiran yang mewarnai tafsirnya al-Kab³r wa Maf±t³¥ al-Ghaib, bahkan di dalamnya telah mencakup
berbagai kajian teologi, filsafat, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, namun secara metodologis penyajiannya masih dipaparkan dalam bentuk ta¥l³liy analisis
berdasarkan urutan mu¡¥af, yang dinilai oleh banyak kalangan masih mengandung kajian secara parsial dan belum menggambarkan kombinasi dalam kesatuan sistem yang
utuh tentang persoalan-persoalan yang menjadi fokus kajian, termsuk di dalamnya adalah kajian tentang syif± . Bahkan bentuk penafsiran ini menurut Quraish Shihab
telah menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara konprehensip.
32
Oleh karena itu, sangat diperlukan bentuk penafsiran yang menerapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau
sebagian ayat-ayat dari berbagai surah yang berbicara mengenai topik tersebut untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya dapat diambil
kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Quran, yang pada perkembangan selanjutnya disebut dengan tafsir maw«`iy tematik,
33
dengan
31
Lihat Mu¥ammad `Abd al-Ra¥³m, Fah±ris Tafs³r al-Fakhr al-R±z³ al-Musytahar bi al-Tafs³r al-Kab³r wa Maf±t³¥ al-Ghaib Beirt: D±r al-Fikr, 1415 H.1995 M., Jilid 17, jus 34, h. 1-270.
32
Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran. h. 112
33
Tafsir tematik ini dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk: Pertama penafsiran menyangkut satu surah dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta
hubungan-hubungan persoalan yang beraneka ragam dalam surah tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga seluruh persoalan itu salain terkait bagaikan satu persoalan saja. Kedua, menghimpun ayat-ayat
PERPUSTAKAAN UTAMA
UIN JAKARTA
30
mendasarkan pada perurutan masa turun surah-surah dalam Al-Quran, sehingga dalam penyajiannya dapat diketahui bagaimana runtutan petunjuk Allah swt yang diberikan
kepada Nabi Muhammad saw dan kepada umatnya. Namun, penerapan metode tematik ini tidak berarti menjadikan seorang penafsir telah mengabaikan metode ta¥l³l³y,
bahkan rincian dari uraian-uraian yang tersaji dalam metode ta¥l³l³y amat sangat diperlukan dalam uraian secara tematik.
34
Beberapa ungkapan tentang syif±’ dalam Al-Quran dengan segala bentuk permasalahannya di atas, tampaknya belum pernah mendapat perhatian secara spesifik
dari berbagai kalangan, terutama yang terfokus pada studi tafsir yang bercorak ilmiah sebagaimana karya Fakhr al-D³n al-R±z³ dengan pendekatan tafsir tematik. Hal ini
menuntut adanya sebuah kajian lebih luas dan mendalam dengan mengingat betapa banyaknya sejumlah gagasan, pemikiran maupun temuan yang berserakan di berbagai
kesempatan, tempat dan dalam sejumlah kitab tafsir maupun literatur keislaman lainnya yang secara mutlak memerlukan integritas secara holistik dan komprehensip dengan
tersedianya suatu media khusus secara metodologis sehingga melahirkan landasan yang kuat untuk kajian syif± yang berdasarkan pada Al-Quran maupun Hadis Nabi saw.
B. Rumusan Masalah