Kesehatan Perumahan

3.5.3. Kesehatan Perumahan

Data perumahan yang disajikan dalam Riskesdas 2010 ini adalah data jenis penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kriteria ‘rumah sehat’. Jenis bahan bakar untuk memasak berkaitan dengan kemungkinan terjadinya ‘indoors air pollution’, dimana dikategorikan ‘baik’ bila menggunakan jenis gas, minyak tanah dan listrik. Sedangkan untuk menilai kriteria ‘rumah sehat’ mengacu pada beberapa kriteria yang ada dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Dalam Riskesdas 2010 ini, kriteria ‘rumah sehat’ yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih sama dengan 8m 2 /orang).

Tabel 3.5.43 menunjukkan persentase rumah tangga menurut penggunaan bahan bakar untuk memasak di berbagai provinsi, di Indonesia. Sedangkan persentase rumah tangga menurut penggunaan bahan bakar untuk memasak dikaitkan dengan karakteristik rumah tangga disajikan pada Tabel 3.5.44.

Tabel 3.5.43 Persentase Rumah Tangga menurut Penggunaan Bahan Bakar Untuk Memasak di Berbagai Provinsi di Indonesia, Riskesdas 2010

Penggunaan Bahan Bakar

Provinsi

Listrik, Gas dan Minyak

Arang, Kayu Bakar dan

Lainnya Aceh

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Sumatera Selatan

Kepulauan Bangka Belitung

Kepulauan Riau

DKI Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

DI Yogyakarta

Jawa Timur

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Kalimantan Timur

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Selatan

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

Secara nasional 60 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik, gas, dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak, sementara sisanya masih menggunakan arang, kayu dan lainnya. Beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase rumah tangga yang bahan bakar untuk memasaknya menggunakan listrik, gas dan minyak tanah lebih tinggi dari nilai nasional yaitu 99,4 persen, 88,8 persen dan 76,4 persen. Sebaliknya, provinsi yang memiliki persentase lebih tinggi dari nilai nasional untuk penggunaan arang, kayu dan lainnya antara lain NTT (78,1%), Gorontalo (69,0%), dan Lampung (68,6%).

Tabel 3.5.44 Persentase Rumah Tangga menurut Penggunaan Bahan Bakar Untuk Memasak Dikaitkan dengan Karakteristik Rumah Tangga, Riskesdas 2010

Penggunaan Bahan Bakar Karakteristik

Rumah Tangga

Listrik, gas dan

Arang, Kayu Bakar dan

Minyak tanah

Lainnya

Tempat Tinggal Perkotaan

Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Kuintil 1

Berdasarkan tempat tinggal, penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis listrik, gas dan minyak tanah di perkotaan (82,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis arang, kayu bakar dan lainnya (64,2%). Begitu juga menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang menggunakan listrik, gas, dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak.

Tabel 3.5.45 menunjukkan persentase rumah tangga menurut kriteria rumah sehat di berbagai provinsi di Indonesia. Sedangkan persentase rumah tangga menurut kriteria rumah sehat dikaitkan dengan karakteristik rumah tangga disajikan pada Tabel 3.5.46

Tabel 3.5.45 Persentase Rumah Tangga menurut Kriteria Rumah Sehat di Berbagai Provinsi di Indonesia, Riskesdas 2010

Kriteria Rumah Sehat

Provinsi

Rumah Sehat*) Aceh

Rumah kurang sehat

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Sumatera Selatan

Kep. Bangka Belitung

Kep. Riau

DKI Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

DI Yogyakarta

Jawa Timur

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Kalimantan Timur

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Selatan

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

*) Atap berplafon, dinding permanen, lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi

cukup, penerangan alami cukup, tidak padat huni ( ≥8m 2 /org).

Berdasarkan Tabel 3.5.45 terlihat bahwa hanya 24,9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Terdapat 16 provinsi di Indonesia dengan persentase rumah sehat yang lebih rendah dari nilai nasional (24,9%). Provinsi dengan persentase rumah tangga dengan kriteria rumah sehat paling rendah adalah Nusa Tenggara Timur (7,5%), Lampung (14,1%) dan Sulawesi Tengah (16,1%).

Tabel 3.5.46 Persentase Rumah Tangga menurut Kriteria Rumah Sehat Dikaitkan dengan Karakteristik di Indonesia, Riskesdas 2010

Kriteria Rumah Sehat

Karakteristik Rumah Tangga

Rumah kurang sehat

Rumah Sehat*)

Tempat Tinggal Perkotaan

Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Kuintil 1

*) Atap berplafon, dinding permanen, lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, penerangan alami cukup, tidak padat huni ( ≥8m2/org). Persentase tempat tinggal yang memenuhi kriteria rumah sehat lebih tinggi di perkotaan (32,5%)

daripada di perdesaan (16,8%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita tampak bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, maka semakin besar pula persentase rumah tangga yang memiliki kriteria rumah sehat.

KESIMPULAN:

1. Rumah tangga yang pemakaian airnya kurang dari 20 liter/orang/hari sebesar 14,0 persen, menurun bila dibandingkan dengan tahun 2007.

2. Rumah tangga dengan kualitas fisik air minum ‘baik’ mengalami peningkatan dari 86,0 persen pada tahun 2007 menjadi 90,0 persen pada tahun 2010.

3. Tidak semua sumber utama air untuk keperluan rumah tangga digunakan sebagai sumber air minum. Sebagai contoh, air ledeng/PAM digunakan sebagai sumber utama air untuk keperluan rumah tangga sebesar 19,7 persen, tetapi digunakan sebagai air minum hanya 14,4 persen, atau ada sekitar 27,0 persen air ledeng/PAM yang tidak digunakan sebagai sumber air minum.

4. Terdapat pergeseran pola pemakaian sumber air minum, terutama di perkotaan, di mana pemakaian air kemasan sebagai air minum meningkat dari 6,0 persen pada tahun 2007 menjadi 7,2 persen pada tahun 2010. Sementara itu rumah tangga yang menggunakan depot air minum sebagai sumber air minum lebih tinggi (13,8%)

5. Akses rumah tangga terhadap sumber air minum terlindung sesuai kriteria MDGs adalah 45,1 persen. Ada penurunan akses rumah tangga terhadap sumber air minum terlindung, terutama di perkotaan sehingga capaian MDGs pada posisi ‘on the wrong track’. Apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung menjadi 66,7 persen.

6. Akses terhadap sumber air minum ‘berkualitas’ yang mempertimbangkan jenis sumber air terlindung (termasuk air kemasan dan depot air minum), jarak ke sumber air minum, 6. Akses terhadap sumber air minum ‘berkualitas’ yang mempertimbangkan jenis sumber air terlindung (termasuk air kemasan dan depot air minum), jarak ke sumber air minum,

7. Persentase perempuan dewasa dan anak-anak perempuan yang mengambil air minum jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki, hal ini terutama terjadi di perdesaan.

8. Akses rumah tangga terhadap pembuangan tinja layak, sesuai kriteria MDGs adalah sebesar 55,5 persen. Akses terhadap pembuangan tinja layak baik di perkotaan maupun di perdesaan sudah ‘on the right track’ sehingga capaian 2015 optimis tercapai.

9. Terdapat 17,2 persen rumah tangga yang cara pembuangan tinjanya sembarangan (open defecation), tertinggi di Provinsi Gorontalo (41,7%) dan terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,3%).

10. Sebagian besar rumah tangga cara pembuangan air limbahnya tidak saniter, dimana 41,3 persen dibuang langsung ke saluran terbuka, 18,9 persen di tanah, dan 14,9 persen di penampungan terbuka di pekarangan sehingga berpotensi mencemari air tanah dan badan air.

11. Pengelolaan sampah rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan terbesar adalah dengan cara dibakar (52,1%) dan masih rendahnya yang diangkut petugas (23,4%). Hal ini akan berkontribusi dalam terjadinya perubahan iklim.

12. Penggunaan arang dan kayu bakar sebagai sumber energi terutama di perdesaan sebesar 64,2 persen diprediksi akan meningkatkan gas CO yang berpotensi menimbulkan risiko penyakit saluran pernafasan dan mendukung terjadinya perubahan iklim.

13. Secara nasional hanya 24,9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Persentase rumah sehat tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (43,6%) dan terendah di Provinsi NTT (7,5%).