Teori Situasional Kontingensi Teori Kepemimpinan

kebebasan untuk memulai tugas, mengembangkan inisiatif, memelihara komunikasi dan interaksi yang luas, menerapkan hubungan suportif dan lain-lain. Sebaliknya gaya kepemimpinan otokratik mempunyai cirri antara lain : menentukan kebijakan untuk anggota, member tugas secara instruktif, menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan anggota, mengendalikan secara ketat pelaksanaan tugas, interaksi dengan anggota terbatas, tidak mengembangkan inisiatif anggota, dan lain-lain.

3. Teori Situasional Kontingensi

Teori situasional dan kontingensi mencoba mengembangkan kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Dalam pandangan ini, hanya pemimpin yang mengetahui situasi dan kebutuhan organisasilah yang dapat menjadi pemimpin yang efektif. Teori situasional kontingensi ini terdiri antara lain : Teori Path Goal, Teori Situasional dari Hersey dan Blanchard, dan teori kontijensi dari Fiedler. Teori Path Goal yang dikembangkan oleh Evans 1970, House 1971, Fulk Wendler 1982, berusaha menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja para bawahan. Teori ini berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam segala situasi. Menurut model ini, pemimpin yang efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk mealaksanakan, dan kepuasan pengikutnya Sulistiyani, Teguh, Ambar, 2001 : 84. Teori Path Goal telah mengarah pada pengembangan dari dua dalil penting : Pertama, tingkah laku pemimpin efektif sejauh mana bawahan mempersepsikan perilaku tersebut sebagai suatu sumber kepuasan langsung atau sebagai sarana bagi kepuasan dimasa mendatang. Kedua, tingkah laku pemimpin bersifat motivasioanal sejauh mana memberikan kepuasan dari kebutuhan bawaha yang kontigen pada prestasi efektif dan melengkapi lingkungan pegawai dengan memberikan bimbingan, kejelasan arahan, dan penghargaan yang dibutuhkan untuk prestasi efektif. Universitas Sumatera Utara Menurut teori ini ada empat perilaku pemimpin yang berlangsung dalam setiap organisasi, yaitu: 1. Supportive leadership kepemimpinan yang mendukung : member perhatian kepada kebutuhan para bawahan, memperlihatkan perhatian terhadap kesejahteraan mereka dan menciptakan suasana yang bersahabat dalam unit kerja mereka. 2. Directive leadership kepemimpinan yang instruktif : memberitahukan kepada para bawahan apa yang diharapkan dari mereka, member pedoman yang spesifik, meminta para bawahan untuk mengikuti peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur, mengatur waktu, dan mengkoordinasi pekerjaan mereka. 3. Partisipative leadership kepemimpinan partisipatif : berkonsultasi dengan para pegawai dan memperhitungkan opini dan sarana mereka. 4. Achievement oriented leadership kepemimpinan yang berorientasi kepada keberhasilan : menetapkan tujuan-tujuan yang menantang, mencari perbaikan dalam kinerja, menekankan kepada keunggulan dalam kinerja, dan memperlihatkan kepercayaan bahwa para pegawai akan mencapai standar yang tinggi. Sementara, teori situasional dari Hersey dan Blanchard dalam Sulistiyani, Teguh, Ambar, 2001 : 84. menjelaskan bahwa, gaya kepemimpinan yang saling efektif itu berbeda- beda sesuai dengan “kematangan” pegawai. Hersey dan Blanchard mendefenisikan kematangan atau kedewasaan bukan dalam arti usia atau stabilitas emosional, melainkan keinginan untuk berprestasi, kesediaan untuk menerima tanggungjawab, dan kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas. Tujuan dan pengetahuan pengikut merupakan variabel-variabel penting dalam menentukan gaya kepemimpinan yang efektif. Hersey dan Blanchard yakin bahwa hubungan antara seorang manajer dan bawahan bergerak melalui empat tahap semacam daur hidup sejalan dengan perkembangan dan kematangan pegawai, dan para pemimpin perlu mengubah gaya kepemimpinannya untuk Universitas Sumatera Utara disesuaikan dengan perkembangan disetiap tahap. Berikut ini diilustrasikan bagaimana daur hidup empat tahap tersebut diterapkan dalam kepemimpinan seseorang. Dalam fase awal, ketika bawahan pertama kali memasuki organisasi-gaya manajer yang sangat berorientasi pada tugas adalah yang paling tepat. pegawai harus diberi instruksi mengenai tugasnya dan dibuat terbiasa dengan peraturan dan prosedur organisasi. Pada tahap ini, seorang pemimpin yang tidak mengarahkan non directive menyebabkan kecemasan dan kebingungan di kalangan pegawai baru. Pendekatan hubungan pegawai yang partisipatif juga tidak tepat pada tahap ini, demikian menurut Hersey dan Blanchard, karena pegawai belum dapat dianggap sebagai rekan. Jika pegwai mulai mempelajari tugasnya, manajemen yang berorientasi pada tugas tetap penting, karena mereka belum mau atau mampu menerima tanggung jawab sepenuhnya. Akan tetapi kepercayaan dan dukungan pemimpin terhadap bawahan dapat meningkat sejalan dengan makin akrabnya ia dengan pegawai dan ingin mendorong usaha lebih lanjut di pihak mereka. Dengan demikian, pemimpin bisa memulai perilaku yang berorientasi pada pegawai dalam fase kedua. Pada fase ke tiga, kemampuan dan motivasi prestasi pegawai meningkat dan mereka secara aktif mulai mencari tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin tidak perlu lagi bersikap mengarahkan karena pengarahan yang terlalu ketat mungkin membuat tersinggung. Akan tetapi, pemimpin akan terus mendukung dan memperhatikan agar dapat memperkuat kebulatan tekat pegawai untuk memikul tanggungjawab yang lebih besar. Jika lama kelamaan pegawai lebih percaya diri, mampu mengarahkan diri, dan berpengalaman, pemimpin dapat mengurangi porsi dukungan dan dorongan. Dalam fase keempat ini pegawai sudah tidak memerlukan atau mengharapkan lagi suatu hubungan yang bersifat mengarahkan dengan pemimpinnya. Mereka sudah mampu berdikari. Universitas Sumatera Utara Kemudian, teori kontingensi dikemukakan oleh Fiedler dengan asumsi dasarnya adalah bahwa sangat sulit bagi pemimpin untuk mengubah gaya manajemen yang telah membuat dia berhasil. Fiedler juga memberi tekanan pada efektivitas dari suatu kelompok. Menurutnya efektivitas suatu organisasi tergantung pada dua variabel yang saling berinteraksi, yaitu 1 system motivasi dari pemimpin, dan 2 tingkat atau keadaan yang menyenangkan dari situasi. Berdasarkan teori ini, situasi kepemimpinan digolongkan pada tiga dimensi 1 hubungan pemimpin-pegawai, yaitu bahwa pemimpin akan lebih mempunyai lebih banyak kekuasaan dan peranan, apabila ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan pegawai-pegawainya, artinya kalau ia disenangi, dihormati dan dipercaya : 2 struktur tugas, yaitu bahwa penugasan yang terstruktur baik, jelas, eksplisit, terprogram, akan memungkinkan pemimpin lebih berperan daripada kalau penugasan itu kabur, tidak jelas, dan tidak terstruktur, dan 3 posisi kekuasaan, pemimpin akan mempunyai kekuasaan dan pengaruh lebih banyak apabila posisinya atau kedudukannya memperkenankan ia member ganjaran, hukuman, mengangkat dan memecat, daripada kalau ia tidak memiliki kedudukan seperti itu.

I.5.1.4. Gaya Kepemimpinan