Pengaruh Penambahan Larutan Asam dan Garam Sebagai Upaya Reduksi Oksalat pada Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN ASAM DAN GARAM SEBAGAI UPAYA REDUKSI OKSALAT

PADA TEPUNG TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott)

Oleh

NOVIA MAYASARI F34051198

2010

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN ASAM DAN GARAM SEBAGAI UPAYA REDUKSI OKSALAT

PADA TEPUNG TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

NOVIA MAYASARI F34051198

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul : Pengaruh Penambahan Larutan Asam dan Garam Sebagai Upaya Reduksi Oksalat pada Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)

Nama : Novia Mayasari NRP : F34051198

Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. Faqih Udin, MSc) (Dr. Sri Yuliani, MT) NIP : 19580710 198503 1 003 NIP : 19690701 199403 2 003

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Prof.Dr.Ir.Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Novia Mayasari, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sunaryo dan Sunarti, dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 02 November 1987. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Cibuluh VI Bogor dan melanjutkan ke SLTPN 5 Bogor sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan SMU di SMUN 2 Bogor.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif menjadi anggota muda Unit Kegiatan Mahasiswa KorpSukarela (KSR) (2005-2006), serta menjadi pengurus organisasi di BEM-F biro Fund Rising (2007-2008). Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti seminar dan workshop.

Pada tahun 2008 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT Indofarma (Persero), Tbk Cibitung dengan topik Mempelajari Aspek Tata Letak dan Penanganan Bahan di PT Indofarma (Persero), Tbk. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kegiatan penelitian dengan judul skripsi Pengaruh Penambahan Larutan Asam dan Garam Sebagai Upaya Reduksi Oksalat Pada Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott).


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Novia Mayasari

NRP : F34051198

Departemen : Teknologi Industri Pertanian Fakultas : Teknologi Pertanian

Universitas : Institut Pertanian Bogor

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Penambahan Larutan Asam dan Garam Sebagai Upaya Reduksi Oksalat Pada Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)“ merupakan karya tulis saya pribadi dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas disebut rujukannya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan dari siapapun.

Bogor, 22 Februari 2010 Penulis,

(Novia Mayasari) F 34051198


(6)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan Penelitian ini. Adapun penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tersusunnya skripsi ini tak luput dari doa, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Faqih Udin, MSc selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, kesabaran dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

2. Dr. Sri Yuliani, MT selaku dosen pembimbing II atas bimbingan dan masukannya dalam menyelesaikan tugas akhir.

3. Ir. Sugiarto, MSi selaku dosen penguji atas masukan dan saran yang membangun.

4. Ibu Pia, Mba Ika, Mba Melly, Pak Manan, Pak Heru, Pak Yudi, Pak Tri dan seluruh staff Balai Penelitian Pascapanen lainnya yang telah memberikan bantuan kepada penulis

5. Pak Mul, Bu Tety, Bu Nur, Bu Nina, Mba Yuli, serta seluruh staff UPT dan Departemen Teknologi Industri Pertanian

6. Bapak Kasja dan keluarga serta petani yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian

7. Sahabat-sahabat terbaikku yang menerimaku apa adanya, Mega, Ferty, dan juga Linda, Putri Tunjung, Pita, Rara, Diah, Mahesa, Ronny, Dony, Nuge, Torik dan Kriston, terimakasih atas persahabatan yang indah selama ini. 8. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. AMIN.

Bogor, Februari 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Talas ... 3

B. Oksalat. ... 6

C. Reduksi Oksalat ... 7

D. Tepung Talas ... 9

E. Gelatinisasi Pati ... 11

III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat ... 13

B. Metode Penelitian ... 13

C. Rancangan Percobaan ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan ... 17

B. Penelitian Utama Tahap I ... 20

C. Penelitian Utama Tahap II ... 21

1. Kadar Oksalat ... 22

2. Kadar Air ... 27

3. Derajat Warna ... 28

4. Kadar Pati ... 30

5. Sifat Amilografi ... 31

6. Viskositas Pasta ... 32


(8)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 36

B. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan Gizi Talas (dalam 100 gram) ... 5

Tabel 2. Komposisi Karbohidrat pada Umbi Talas (dalam 100 gram) ... 6

Tabel 3. Komposisi Tepung Sagu, Tepung Talas, Tepung Tapioka, Tepung Beras (dalam 100 gram) ... 11

Tabel 4. Data analisis karakteristik umbi talas ... 17

Tabel 5. Perbandingan sifat amilograf tepung talas dengan tepung terigu ... 32


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Umbi Talas ... 3

Gambar 2. Bentuk kristal kalsium oksalat... 7

Gambar 3. Bagan Alir Pembuatan Tepung ... 10

Gambar 4. Diagram Alir Proses Penelitian Utama ... 15

Gambar 5. Histogram persentase reduksi total oksalat hasil perendaman air hangat ... 21

Gambar 6. Histogram persentase reduksi oksalat setelah proses perendaman dalam larutan asam ... 25

Gambar 7. Histogram persentase reduksi oksalat setelah proses perendaman dalam garam (NaCl) ... 27

Gambar 8. Histogram kadar pati tepung talas ... 31

Gambar 9. Histogram perbandingan viskositas pasta tepung talas dengan tepung terigu (cP) ... 34


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Metode Pengujian ... 43 Lampiran 2. Data analisis proksimat ... 48 Lampiran 3. Data analisis kadar oksalat setelah perendaman dalam air hangat 50 Lampiran 4. Hasil Chromatogram HPLC tepung talas ... 51 Lampiran 5. Data analisis kadar oksalat setelah perendaman dalam larutan

HCl ... 58 Lampiran 6. Data analisis kadar oksalat setelah perendaman dalam larutan

asam sitrat ... 58 Lampiran 7. Analisis keragaman kadar oksalat dalam larutan asam ... 59 Lampiran 8. Data analisis kadar oksalat setelah perendaman dalam larutan

NaCl ... 60 Lampiran 9. Data analisis kadar air tepung setelah perlakuan perendaman

dalam larutan asam dan garam ... 62 Lampiran 10. Data analisis warna dan total derajat warna (ΔEab*) ... 64 Lampiran 11.Gambar penampakan tepung hasil perlakuan perendaman dalam

larutan asam dan garam ... 68 Lampiran 12. Analisis keragaman kadar pati tepung talas ... 69


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi dalam kehidupan manusia sehingga pangan menjadi hak asasi manusia. Salah satu pondasi ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan.

Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan telah dikenal secara luas terutama di wilayah Asia dan Oceania. Di Indonesia, talas sebagai bahan makanan cukup populer dan produksinya cukup tinggi terutama di daerah Papua dan Jawa (Bogor, Sumedang, dan Malang) yang merupakan sentra-sentra produksi talas. Produktivitas talas di Kabupaten Bogor pada tahun 2008 mencapai 2.55 ton/Ha dan hasil pada tahun 2008 sebesar 13.385 ton (Bappeda, 2008). Pengolahan talas saat ini kebanyakan memanfaatkan umbi segar yang dijadikan berbagai hasil olahan, diantaranya yang paling populer adalah keripik talas. Produk olahan umbi talas dengan bahan baku tepung talas masih terbatas meskipun tepung talas memungkinkan munculnya produk olahan talas yang lebih beragam seperti kerupuk, cake, dan kue-kue lain.

Konversi umbi segar talas menjadi bentuk tepung yang siap pakai terutama untuk produksi pangan olahan disamping mendorong munculnya produk-produk yang lebih beragam juga dapat mendorong berkembangnya industri berbahan dasar tepung talas sehingga dapat meningkatkan nilai jual komoditi talas. Penepungan talas juga diharapkan dapat menghindari kerugian akibat tidak terserapnya umbi segar talas di pasar ketika produksi panen berlebih.

Dibandingkan tanaman umbi-umbian lain yang biasa dikonsumsi seperti ubi kayu atau ubi jalar, talas mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, kandungan protein talas lebih tinggi. Untuk setiap 100 gram umbi talas mengandung 2 g protein, sedangkan ubi jalar dan ubi kayu masing-masing hanya 1 g (Parkinson, 1984). Kedua, talas dapat tumbuh pada lahan basah


(13)

maupun kering. Ketiga, talas mempunyai daya simpan umbi yang lebih baik dibandingkan daya simpan ubi kayu atau ubi jalar. (Basyir, 1999).

Kabupaten Bogor merupakan daerah penghasil talas yang cukup produktif di Indonesia dibandingkan daerah lainnya. Dari 33 kecamatan di Kabupaten Bogor terdapat lima lokasi sentra produksi talas terbesar yang menghasilkan talas secara kontinyu. Lima lokasi terbesar itu adalah Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cijeruk, Darmaga dan Caringin.

Hasil produksi talas yang melimpah ditambah dengan sifat unggul talas dibandingkan tanaman umbi-umbian lain pada kenyataannya belum dapat menjadikan tanaman ini sebagai makanan utama untuk dikonsumsi masyarakat. Menurut Smith (1997), keengganan untuk mengkonsumsi talas disebabkan oleh munculnya efek gatal yang sangat mengganggu akibat kandungan zat tertentu pada talas. Zat tersebut adalah kalsium oksalat yang berbentuk jarum (Hussein et al.,1984). Konsumsi makanan yang mengandung oksalat tinggi juga dapat mengganggu kesehatan karena dapat memicu pembentukan batu oksalat atau batu ginjal (Noonan dan Savage, 1999).

Perlakuan-perlakuan tertentu, misalnya pemanasan, dipercaya dapat mengurangi zat penyebab gatal pada talas. Akan tetapi sejauh ini belum tersedia informasi ilmiah terperinci tentang metoda yang betul-betul efektif untuk menghilangkan zat tersebut (Smith, 1997).

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi kadar oksalat terhadap tepung oksalat ini mampu meningkatkan nilai tambah umbi talas dan juga mampu mendorong berkembangnya industri berbasis tepung talas di Indonesia.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi proses terbaik (perendaman dalam air hangat, penambahan larutan asam dan garam, konsentrasi larutan, dan lama waktu perendaman) dalam pembuatan tepung talas dengan kadar oksalat terendah dan meningkatkan kualitas warna tepung, serta menganalisis pengaruh penambahan larutan asam dan garam terhadap tepung talas yang dihasilkan.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS

Talas diklasifikasikan dalam tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Secara sistematika kedudukan talas dapat digambarkan sebagai berikut:

Kelas/Classis : Monocotyledonae (tumbuhan berkeping tunggal)

Ordo : Arales

Suku/Familia : Araceae Marga/Genus : Colocasia

Jenis/Species : Colocasia esculenta (L.) Schott.

Gambar 1. Umbi Talas

Talas merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air (Rukmana, 1998). Sentrum asal tanaman talas mungkin berasal dari daerah tropis antara Indonesia dan India (Matthew,2004) dan telah tumbuh selama beratus-ratus tahun di Pasific selatan (FAO,1992).

Talas adalah tanaman yang tumbuh baik di daerah tropis maupun subtropis. Suhu optimum untuk tumbuh adalah sekitar 21-27ºC dengan curah hujan 1750 mm per tahun. Derajat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman ini berkisar antara 5,5-5,6 (Kay, 1973). Talas dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi (Onwueme, 1978). Tanaman talas di Jawa Barat umumnya tumbuh pada ketinggian 400-500 m dari permukaan laut. Menurut Rukmana (1998), umbi talas dapat


(15)

dipanen setelah berumur 6-9 bulan. Saat panen yang tepat ditandai dengan daun yang mulai menguning sampai kering.

Jenis talas yang biasa dibudidayakan adalah talas Bogor yang memiliki banyak varietas, yaitu talas paris, talas loma, talas pandan, talas bentul, talas lampung, talas sutera, talas mentega dan talas ketan. Talas yang paling banyak dibudidayakan secara komersial adalah talas bentul karena hasilnya yang tinggi dan cocok bila digoreng ini pun dibuat keripik. Talas bentul mempunyai ciri batangnya berwarna hijau, umbi berbentuk bulat dengan ujung meruncing, rasa umbi enak dan pulen. Selain talas bentul, banyak pula ditanam talas loma (Colocasia esculenta L.Schoot). Bogor sebagai sentra utama produksi talas nasional belum terlihat berupaya untuk meningkatkan nilai tambah terhadap komoditi talas yang dimilikinya (Waluya, 2002).

Umbi talas memiliki beragam bentuk, ukuran, tekstur dan warna daging serta rasanya. Ada umbi yang berbentuk hampir bulat, lonjong atau bulat lonjong, namun ada pula yang bercabang-cabang. Beratnya berkisar antara 0,25 dan 6 kg, tergantung kultivar, kesuburan tanah, umur panen dan cara pembudidayaannya. Warna daging umbinya ada yang putih, kuning, dengan atau tanpa serat-serat yang berwarna ungu. Rasanya bervariasi dari tidak enak dan gatal sampai kepada yang gurih, pulen, enak serta beraroma kuat dan khas (wangi) talas (Burdani,2001).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kandungan gizi talas sebenarnya tidak terlalu banyak berbeda dengan ubi-ubian umumnya, misalnya dengan ubi kayu dan ubi jalar. Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi (20 g/kg) dibandingkan ubi kayu dan ubi jalar yang hanya separuhnya (Parkinson,1984). Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah sedikit. Didalam umbi talas terkandung vitamin A, B1 (Thiamin) dan sedikit vitamin C. Umbi talas

memiliki kandungan mineral Ca dan P yang cukup tinggi. Mineral-mineral ini penting bagi pembentukan tulang dan gigi yang kuat. Kandungan gizi talas dalam 100 gr umbi segar dapat dilihat pada Tabel 1.


(16)

Tabel 1. Kandungan Gizi Talas (dalam 100 gram)

No. Kandungan Gizi Kadar

A B

1. Kalori (Cal.) 85,00 98,00

2. Protein (g) 2,50 1,90

3. Lemak (g) 0,20 0,20

4. Karbohidrat (g) 19,10 23,79

5. Serat (g) 0,40 -

6. Abu (g) 0,80 -

7. Kalsium (mg) 32,00 28,00

8. Fosfor (mg) 64,00 61,00

9. Zat besi (mg) 0,80 1,00

10. Natrium (mg) 700 -

11. Kalium (mg) 514,00 -

12. Vitamin A (SI) - 20,00

13. Vitamin B1 (mg) 0,18 0,13

14. Vitamin B2 (mg) 0,04 -

15. Vitamin C (mg) 10,00 4,00

16. Niacin (mg) 0,90 -

17. Air (g) 77,50 73,00

18. Bag. Yang dapat dimakan

(%) 81,00 85,00

Sumber : a. Food and Nutrition Res. Center. Handbook I,Manila (1964) dalam Rukmana (1998)

b. Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (1998) c. a dan b dikutip dari Burdani (2001)

Talas mengandung banyak senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolisme sekunder seperti alkaloid, glikosida, saponin, essensial oil, resin, gula dan asam-asam organik. Umbi talas mengandung pati yang mudah dicerna kira-kira sebanyak 18,2% dan sukrosa serta gula pereduksinya 1,42%.

Pati talas mengandung 17-28% amilosa, dan sisanya adalah amilopektin. Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22 unit glukosa per molekul. Granula pati talas berukuran antara 1-4 µm (Onwueme, 1978). Pati talas tersimpan dalam granula yang berdiameter 3-4 µm dan mengandung amilosa sekitar 7-10%. Komposisi karbohidarat pati umbi talas dapat dilihat pada Tabel 2.


(17)

Tabel 2. Komposisi Karbohidrat pada Umbi Talas (dalam 100 gram)

Komponen Komposisi (%)

Pati 77.9

Pentosan 2.6

Serat Kasar 1.4

Dekstrin 0.5

Gula pereduksi 0.5

Sukrosa 0.1

Sumber: Onwueme,1978.

B. OKSALAT

Kebanyakan jenis talas memiliki rasa gatal yang dapat menyebabkan iritasi pada bibir, mulut dan kerongkongan jika kita memakan umbi mentah dari talas tersebut (Bradbury & Nixon,1998). Rasa gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun atas kalsium oksalat yang disebut raphide (Bradbury & Nixon, 1998). Raphid tersebut terkurung dalam kapsul yang dikelilingi lendir. Kapsul-kapsul itu terletak dalam daerah diantara dua vakuola. Ujung dari dua kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola-vakuola pada dinding sel. Vakuola-vakuola itu berisi air, sehingga jika diberi perlakuan mekanis maka air akan masuk ke dalam kapsul melalui dinding sel. Tekanan air terhadap dinding sel meningkat sehingga kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum terdesak keluar (Payne et al.,1941).

Oksalat (C2O42+) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air

(asam oksalat) dan tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dengan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk kristal padat non volatil, bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam asam kuat (Schumm,1978). Secara umum terdapat 5 jenis bentuk dasar kalsium oksalat yang terdapat dalam berbagai tanaman, diantaranya berbentuk jarum (raphide), rectangular dan bentuk pinsil, bulat (druse), prisma (prism), dan


(18)

parallelogram (rhomboid) (Horner and Wagner,1995). Bentuk umum kristal kalsium oksalat yang banyak ditemukan pada tumbuhan berkeping satu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:

Gambar 2. Bentuk kristal kalsium oksalat:

a. bentuk jarum (raphide), (skala garis 10 µm);

b. rectangular dan bentuk pinsil, (skala garis 20 µm); dan c. bulat (druse), (skala garis 20 µm).

Raphide dan kristal kalsium oksalat lainnya merupakan mineral yang relatif stabil dan sedikit larut dalam air (Graustein et al.1977:199; Webb 1999:752), tidak larut dalam keadaan netral atau pH alkali, dan dapat dengan bebas dipecahkan dalam asam (Noonan & Savage, 1999). Fungsi kalsium oksalat pada tumbuhan ini diduga kuat sebagai perlindungan dan pengaturan tumbuhan melawan hewan pemakan tumbuhan (Franceschi, et al., 2005).

C. REDUKSI OKSALAT

Metode fisis yang paling sering digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat adalah dengan pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dilakukan melalui penjemuran, pemasakan (Lee, 1999); perebusan, perendaman dalam air hangat, pemanggangan (Iwuoha dan Klau, 1994); dan pengeringan (Nur, 1986). Pemanasan menyebabkan ikatan ion antar karbon kalsium oksalat terputus dan bagian organik terdekomposisi sebelum titik leleh tercapai (Schumm, 1978), Perendaman umbi dalam air hangat (38-48°C) selama kurang dari 4 jam diklaim dapat menurunkan kadar komponen penyebab gatal tanpa menyebabkan gelatinisasi pati (Huang dan Hollyer, 1995).


(19)

Perebusan dapat mengurangi kadar oksalat larut air jika air perebus dibuang. Menurunnya kadar oksalat dengan perebusan disebabkan oleh pelarutan dan degradasi panas (Iwuoha dan Kalu, 1995). Kadar oksalat yang tidak larut tidak berubah dengan pemasakan (Noonan dan Savage, 1999). Perebusan dapat menurunkan kadar oksalat total talas dari Jepang hingga 77%, sedangkan pemanggangan meningkatkan kadar oksalat hingga dua kali lipat (Catherwood et al., 2007).

Perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat kimiawi kalsium oksalat juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan kalsium oksalat. Perlakuan tersebut yaitu melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat (Schumm, 1978).

Salah satu asam kuat yang dapat melarutkan kalsium oksalat adalah asam klorida (Kurdi,2002). Reaksi antara asam klorida dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan kalsium klorida dan asam oksalat, yang dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi:

2HCl(l) + CaC2O4 (s) CaCl2 (s) + H2C2O4 (l)

Reaksi tersebut tergolong reaksi metatesis, yaitu reaksi yang berlangsung antara asam dan garam. Reaksi metatesis ditandai dengan terbentuknya endapan, gas atau zat yang langsung terurai menjadi gas (Suharso, 1997).

Sampai saat ini teknologi pengurangan senyawa kalsium oksalat umbi talas yang sudah diketahui pasti yaitu dengan teknik perendaman irisan umbi talas di dalam pelarut yaitu konsentrasi larutan asam khlorida 0,25% dan konsentrasi asam sitrat 0,15%. Perendaman dilakukan selama empat menit (Waluya, 2002).

Perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk mengurangi rasa gatal pada talas. Di dalam air, NaCl akan terionisasi menjadi ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium diklorida dengan reaksi sebagai berikut:


(20)

Perendaman dalam larutan garam 1% selama 20 menit dilaporkan dapat menurunkan kadar oksalat secara maksimal (Anonymous, 2008). Perendaman dalam larutan garam dikombinasikan dengan blanching dapat menurunkan kadar oksalat (dalam bentuk asam oksalat) hingga 37.2% (Dahal dan Swamylingappa, 2006).

D. TEPUNG TALAS

Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Menurut Winarno (1997) tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah. Kadar air yang rendah berperan penting dalam menjaga keawetan suatu bahan pangan. Jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis/asal bahan, perlakuan yang telah dialami bahan pangan kelembaban udara tempat penyimpanan dan jenis pengemasan. Cara yang paling umum dilakukan untuk menurunkan kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering biasa.

Menurut Lingga (1986) bahwa proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan umbi segar, yang kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Kemudian dilakukan pengeringan pada suhu sekitar 50-60oC yaitu pada saat kadar air mencapai 12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya umbi yang dikeringkan tersebut dibolak-balik agar keringnya merata. Hasil dari pengeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian digiling untuk menghasilkan talas yang seragam dilakukan pengayakan. Bagan alir pembuatan tepung talas dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.


(21)

Gambar 3. Bagan Alir Pembuatan Tepung (Lingga, 1986)

Tepung talas memiliki kandungan gizi yang baik dibandingkan dengan tepung umbi yang lainnya. Tepung talas mengandung serat yang sangat berguna membantu pencernaan makanan dalam tubuh. Sehingga dapat mencegah seseorang terserang penyakit wasir (Anonim,1996).

Pemanfaatan lebih lanjut dari tepung talas dapat digunakan sebagai bahan industri makanan seperti biskuit dan makanan serpihan (weaning food). Selain itu tepung talas dapat juga dimanfaatkan dalam pembuatan makanan bagi orang sakit dan orang tua yang merupakan campuran tepung talas dan

Umbi talas

Pengupasan kulit

Pencucian dengan air

Pengirisan dengan ketebalan 5 mm

Perendaman 1 jam, 1:2

Pengeringan 50-60oC, 6-12 jam

Penggilingan 100 mesh Keripik


(22)

susu skim. Tepung talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet karena daya mengikat airnya tinggi (Greenwell,1947; Payne et al.,1941; Winarno,1997). Komposisi tepung talas dibandingkan dengan tepung lainnya adalah seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Tepung Sagu, Tepung Talas, Tepung Tapioka, Tepung Beras (dalam 100 gram)

Kandungan A B C D

Air (g) 14 7.86 13.01 10.1

Karbohidrat (g) 84 84 84 81.3

Protein (g) 0.7 4.69 1.5 7.3

Serat kasar (g) 0.1-0.5 2.69 1.5 0.2

Abu (g) 0.1-0.8 1.16 2.5 0.4

Lemak (g) 0.2 0.5 1.25 0.34

Pospor (g) 0.013 0.061 - -

Fe (g) 1.5x10-3 - 2x10-3 9x10-3

Ca (g) 0.011 0.028 5.5x10-3 6x10-3

Thiamin (mg) - - 0.04 0.07

Riboflavin (mg) - 0.04 0.04 0.03

Nikotinamid (mg) - - 0.08 -

HCN (mg) - - 29.04 -

Keterangan:

A. Tepung Sagu (Radley,1976) C. Tepung Tapioka (Onwueme,1978) B. Tepung Talas (Payne,et al,1941) D. Tepung Beras (Hawtorn, 1981)

E. GELATINISASI PATI

Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Pengukuran dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan alat Brabender amylograph. Pengukuran sifat amilografi meliputi pengukuran suhu gelatinisasi, laju peningkatan viskositas pemanasan, suhu granula pecah, viskositas maksimum, viskositas jatuh, laju peningkatan viskositas pendinginan dan viskositas balik.

Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik, yang merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang kompleks, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain oleh ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan (Collison, 1968).


(23)

Suhu gelatinisasi ini diukur berdasarkan peningkatan viskositas pasta pati pada proses pemanasan. Peningkatan viskositas ini disebabkan oleh terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik molekul pati di dalam granula. Hal ini mengakibatkan air dapat masuk ke dalam granula pati (Winarno,1997).

Waktu gelatinisasi adalah jumlah menit yang dibutuhkan untuk mencapai puncak viskositas mulai dari saat pertama kali viskositas mulai naik (Hallick dan Kelly,1959).


(24)

BAB III

BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi talas yang berasal dari Bogor (diperoleh dari perkebunan talas di daerah Tajur Halang-Cijeruk), Banten, Malang dan Kalimantan Barat yang berumur 8 bulan. Bahan kimia yang digunakan pada proses perendaman umbi meliputi NaCl (5; 7.5; 10%), asam sitrat (0.1,0.3,0.5M), dan HCl (0.1,0.3,0.5M), sedangkan untuk analisa produk berupa hexana, H2SO4, NaOH, alkohol, HCl 2M, asam borat

(2%), 0.1 ml campuran indikator hijau bromkersol 0.1% dengan metil merah 0.1% (5:1), larutan KH(IO3)2 0.01N.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, pisau, wadah besar, blender, waterbath, mesin pengering (tray dryer), mesin penggiling (discmill), cawan porselin, oven, desikator, kertas saring, tanur, labu lemak, labu kjedahl, erlenmeyer, pH meter, sentrifuse, rheometer, colorimeter, viskometer Brookfield, Brabender viscoamylograph, dan HPLC (High Performance Liquid Chromatograph).

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu penelitian pendahuluan, penelitian utama tahap I dan penelitian utama tahap II.

a. Penelitian Pendahuluan

Tahap ini dilakukan untuk menentukan jenis umbi talas yang digunakan dari empat jenis talas yang ada, yaitu talas Bogor, talas Malang, talas Banten dan talas Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan dengan menguji karakteristik masing-masing sifat umbi berdasarkan analisis proksimat, diantaranya kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar lemak, dan kadar protein, disamping juga kadar oksalat dan rendemen tepung yang dihasilkan. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1. Umbi yang memiliki karakteristik terbaik dan sesuai dengan kriteria selanjutnya digunakan untuk penelitian utama tahap I.


(25)

b. Penelitian Utama Tahap I

Pada tahap ini dilakukan untuk menentukan waktu dan suhu perendaman dalam air hangat yang paling optimum untuk mereduksi oksalat larut air pada umbi talas (hasil penelitian pendahuluan). Penelitian diawali dengan pengukuran kadar oksalat pada umbi talas segar agar dapat diketahui pengurangan kadar oksalat setelah dilakukan perendaman.

Umbi talas segar diiris setebal 2 mm kemudian direndam dalam air pada suhu 40ºC dan 50ºC masing-masing selama 1, 2, 3 dan 4 jam dengan perbandingan air dan umbi sebesar 2:1. Setelah itu umbi dari masing-masing perlakuan diuji kadar oksalatnya. Waktu dan suhu perendaman dengan persentase reduksi oksalat yang terbesar selanjutnya digunakan untuk penelitian utama.

c. Penelitian Utama Tahap II

Penelitian utama tahap II dilakukan dengan perendaman dalam larutan asam dan garam pada umbi talas yang telah mendapat perlakuan terbaik dari tahap perendaman dalam air hangat untuk menurunkan lebih lanjut kadar oksalat yang tidak larut (dalam bentuk kalsium oksalat).

Irisan umbi hasil perendaman dengan air hangat (hasil penelitian utama tahap I) kemudian diberi perlakuan perendaman dalam asam klorida (0.1, 0.3, dan 0.5 M), asam sitrat (0.1, 0.3, dan 0.5 M) dan dalam garam natrium klorida (5, 7.5, dan 10 %). Perendaman dalam asam dilakukan selama 5 dan 10 menit, sedangkan perendaman dalam natrium klorida dilakukan selama 30 dan 60 menit. Irisan umbi yang diperoleh dari perendaman asam dan garam (perlakuan terbaik) kemudian diproses lebih lanjut menjadi tepung. Secara ringkas, metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.


(26)

Gambar 4. Diagram Alir Proses Penelitian Utama

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian utama tahap II digunakan rancangan acak kelompok dua faktor, dengan kelompok percobaan terdiri atas kelompok data jenis larutan perendaman. Faktor-faktor yang dipelajari yaitu lama waktu perendaman (A) dan tingkat konsentrasi larutan yang digunakan (B). Faktor waktu perendaman (A) memiliki dua taraf yaitu 5 dan 10 menit, sedangkan faktor konsentrasi larutan (B) memiliki tiga taraf

Perendaman

HCl (0,1; 0,3; 0,5) 5’ dan

10’

asam sitrat (0,1; 0,3; 0,5 M) )

5’ dan 10’

NaCl

(5; 7,5; 10% )) 5’ dan 10’

Analisis kadar oksalat

Pengeringan, 60°C; 2 x 8 jam

Penggilingan 100 mesh

Analisis

Kadar oksalat, derajat warna, sifat-sifat rheology adonan proksimat tepung. Umbi Talas

Pengupasan

Pengirisan tipis 2 mm

Perendaman dalam air hangat

Kulit dan batang


(27)

yaitu 0.1; 0.3; dan 0.5 M untuk larutan asam dan 5; 7.5; dan 10% untuk larutan garam. Seluruh perlakuan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua kali ulangan. Parameter yang diamati pada penelitian utama ini yaitu kandungan oksalat, kadar air dan derajat warna tepung. Model rancangan percobaan untuk larutan asam adalah sebagai berikut:

Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ρk + εijk

i= 5,10 j= 0.1; 0.3; 0.5 k=1,2 Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B

µ = Nilai rata-rata

Ai = pengaruh sebenarnya dari taraf ke-i faktor A

Bj = pengaruh sebenarnya dari taraf ke-j faktor B

(AB)ij = pengaruh sebenarnya dari interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf

ke-j faktor B ρk = Jumlah kelompok

εij = Galat percobaan (pengaruh lainnya)

Sedangkan model rancangan percobaan untuk larutan garam adalah: Yij= µ + Ai + Bj + (AB)ij+ ρk+ εijk

i= 5,10 j= 5; 7.5; 10 k=1,2 Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B

µ = Nilai rata-rata

Ai = pengaruh sebenarnya dari taraf ke-i faktor A

Bj = pengaruh sebenarnya dari taraf ke-j faktor B

(AB)ij = pengaruh sebenarnya dari interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf

ke-j faktor B ρk = Jumlah kelompok

εij = Galat percobaan (pengaruh lainnya)

Data yang dihasilkan dianalisis dengan program SPSS 16, apabila ada perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut menggunakan metode uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%.


(28)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan berasal dari Bogor, namun sebagai data pembanding maka dianalisis pula kadar proksimat dari umbi talas yang berasal dari Banten, Malang dan Kalimantan Barat. Dasar pemikiran yang digunakan dalam penentuan jenis talas ini dikarenakan tingginya tingkat konsumsi oleh masyarakat luas dan juga ketersediaan umbi dalam setiap tahunnya. Umbi talas yang digunakan adalah yang berumur rata-rata 6-7 bulan.

Pemilihan umbi talas Bogor ini didasarkan pada ketersediaan bahan baku yang memadai, kemudahan memperoleh bahan baku serta waktu panen yang dapat dikontrol dengan mudah. Karakteristik masing-masing umbi disajikan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Data analisis karakteristik umbi talas

Talas Bogor Talas Banten Talas Kalbar Talas Malang

Kadar air (% bb) 77.00 84.65 67.09 53.5

Kadar abu (% bk) 9.36 13.70 6.22 2.48

Kadar pati (% bk) 18.05 6.87 22.33 30.85

Kadar lemak (% bk) 1.15 2.17 2.26 0.67

Kadar protein (% bk) 2.59 7.17 1.99 2.73

Kadar oksalat (ppm) 8578.28 61783.75 7328.18 10887.61

Rendemen tepung(%) 28.17 12.99 25.31 31.33

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa dari berbagai jenis talas yang digunakan menunjukkan bahwa kandungan- kandungan dalam setiap talas memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya (Lampiran 2).

· Kadar air

Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa talas Malang memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dengan kandungan talas Bogor, talas Banten, dan talas Kalbar (Tabel 4). Pemilihan bahan baku


(29)

dengan menggunakan kadar air sebagai parameter pengukuran dilakukan untuk mengetahui berapa banyak rendemen yang dapat dihasilkan oleh setiap bahan. Semakin tinggi kadar air bahan maka rendeman tepung yang akan dihasilkan akan menjadi semakin sedikit.

· Kadar abu

Hasil analisis kadar abu umbi talas tertinggi dimiliki oleh talas Banten (13.70%) (Tabel 4). Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral suatu bahan. Sebagian besar bahan makanan yaitu sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal juga sebagai bahan anorganik atau kadar abu.

· Kadar pati

Pati khususnya dan karbohidrat umumnya merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia. Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik sebagai bahan pangan maupun non-pangan.

Pati tersusun dari dua macam polimer polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Untuk menghasilkan tepung yang baik, bahan yang digunakan sebaiknya memiliki kandungan pati yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa kandungan pati pada tiap bahan berbeda – beda. Kandungan pati yang tertinggi diperoleh pada talas Malang (30.85%), sedangkan pada talas Banten kandungan patinya merupakan yang paling rendah (6.87%) (Tabel 4).

· Kadar lemak

Lemak dan minyak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air, berasal dari tumbuhan dan hewan. Sebagian besar lemak dan minyak merupakan trigliserida, ester dari gliserol, dan berbagai asam lemak (Buckle,1987).

Kadar lemak tertinggi hasil analisis pada tahap ini dimiliki oleh talas Kalbar (2.26%) sedangkan umbi talas yang lain hanya berkisar antara


(30)

0.67-2.17% (Tabel 4). Rendahnya kadar lemak merupakan ciri bagi tepung yang berasal dari umbi-umbian.

· Kadar protein

Hasil analisis menunjukkan bahwa umbi talas memiliki kadar protein yang cukup tinggi berkisar antara 1.99-7.17%. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kadar protein talas umumnya memiliki kadar yang lebih tinggi (20 g/kg) dibanding umbi lain, misalnya ubi kayu dan ubi jalar yang rata-rata memiliki kadar protein sebesar 12g/kg (Margono et al., 1993). Kadar protein tertinggi dimiliki oleh umbi talas Banten dan terendah adalah umbi talas Kalbar (Tabel 4).

· Rendemen

Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat tepung talas yang dihasilkan dengan berat bersih talas. Jumlah rendemen menentukan efisiensi suatu proses pengeringan, dimana semakin besar jumlah rendemen yang dihasilkan semakin efisien pula proses tersebut karena jumlah bahan yang hilang atau rusak semakin sedikit. Nilai rendemen tepung talas terbesar dimiliki oleh talas Malang sebesar 31.33% dan terendah adalah talas Banten 12.99% (Tabel 4).

Perbedaan nilai rendemen disebabkan oleh jenis varietas talas serta metode yang digunakan dalam pembuatan tepung talas. Perbedaan ukuran mesh pada tepung pun dapat mempengaruhi nilai rendemen. Pada penelitian ini, tepung talas yang dihasilkan memiliki ukuran 100 mesh.

Kadar air bahan pun dapat mempengaruhi nilai rendemen tepung. Kadar air bahan berkurang selama pengeringan akibat terjadinya proses penguapan. Semakin tinggi kadar air bahan maka semakin rendah nilai rendemen karena semakin banyak bahan yang menguap. Hal ini ditunjukan oleh talas Banten yang memiliki kadar air tertinggi dan juga memiliki rendemen tepung terendah. Selain itu, kehilangan lain dapat pula terjadi akibat tercecernya bahan yang menempel pada alat pengering serta bahan yang tertinggal pada saat penggilingan tepung.


(31)

· Kadar oksalat

Oksalat (C2O42+) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air

(asam oksalat) dan tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Kadar oksalat pada umbi talas yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 7328.18-61783.75 ppm. Kadar oksalat tertinggi dimiliki oleh talas Banten, sedangkan kadar terendah dimiliki oleh talas Kalbar (Tabel 4).

Kandungan oksalat pada talas diduga sebagai salah satu penyebab timbulnya rasa gatal saat dikonsumsi, disamping senyawa protease yang juga terdapat pada talas. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa terdapat korelasi antara kadar protein dengan kadar oksalat yang terkandung pada talas. Semakin tinggi kadar protein pada suatu bahan maka kandungan oksalat pada bahan tersebut pun akan semakin tinggi. Umbi yang memiliki kadar protein rendah akan memiliki kadar oksalat yang rendah pula, begitu sebaliknya, umbi yang memiliki kadar protein tinggi akan memiliki kadar oksalat yang tinggi pula.

B. PENELITIAN UTAMA TAHAP I

Penelitian utama dibagi dalam dua tahap, yaitu penelitian utama tahap I dan penelitian utama tahap II. Penelitian utama tahap I bertujuan untuk mereduksi kadar oksalat larut air yang terdapat pada sampel. Pada tahap ini, dilakukan penentuan waktu dan suhu perendaman dalam air hangat yang paling maksimum dalam mereduksi oksalat, yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama tahap II. Waktu dan suhu perendaman ini diperlukan untuk mengetahui titik maksimum saat kandungan oksalat yang terdapat pada bahan dapat tereduksi secara maksimal.

Berdasarkan literatur diketahui bahwa komponen oksalat terlarut dapat direduksi kadarnya dengan cara perendaman dalam air hangat (38-48ºC) selama kurang dari 4 jam tanpa menyebabkan terjadinya reaksi gelatinisasi pada pati bahan tersebut (Huang dan Hollyer, 1995). Oleh karena itu, pada penelitian tahap ini dipilih suhu perendaman sebesar 40º dan 50º C selama 1, 2, 3 dan 4 jam.


(32)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman potongan umbi dalam air hangat menunjukkan nilai persentase reduksi oksalat yang cukup baik, hal ini diduga karena adanya peristiwa difusi oksalat larut air yang terdapat dalam bahan ke air perendaman, sehingga oksalat larut air akan larut dan terbuang bersama air perendaman. Akibatnya kandungan oksalat yang terdapat dalam bahan akan tereduksi oleh air perendaman.

Persentase pengurangan kadar oksalat akibat proses perendaman dengan air hangat dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil persentase pengurangan kadar tertinggi ditunjukan pada hasil perendaman dengan suhu 40°C selama 3 jam (81.96%). Hal ini diduga karena pada titik ini merupakan titik yang paling maksimal saat granula pati mulai mengalami proses pengembangan, dan pada saat yang bersamaan oksalat larut air yang terdapat di dalam granula terekstrak dan larut bersama air perendaman kemudian keluar dari granula tersebut. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman yang kemudian dilakukan pada penelitian utama tahap I adalah perendaman dalam suhu 40°C selama 3 jam.

Gambar 5. Histogram persentase reduksi total oksalat hasil perendaman air hangat

C. PENELITIAN UTAMA TAHAP II

Penelitian utama tahap II dilakukan dengan tujuan mereduksi senyawa oksalat yang berikatan dengan senyawa lain yang tidak dapat larut dalam air,


(33)

misalnya kalsium oksalat. Pada tahap ini dilakukan pengamatan mengenai pengaruh perlakuan perendaman dalam larutan asam dan garam terhadap kadar oksalat menggunakan jenis umbi sesuai hasil penelitian pendahuluan, yaitu umbi talas Bogor dan direndam dalam air hangat pada suhu 40ºC selama 3 jam (hasil penelitian utama tahap I). Analisis yang dilakukan meliputi kadar oksalat, kadar air, dan derajat warna, kemudian untuk proses perendaman terbaik akan dilakukan analisis lebih lanjut yang meliputi kadar pati, Water Soluble Index (WSI) dan Water Absorption Index (WAI), viskositas pasta, dan sifat amilografi.

1. Kadar Oksalat

Pengukuran kadar oksalat dilakukan terhadap umbi talas setelah melalui proses perendaman dalam suhu 40ºC selama 3 jam, dan dilakukan perendaman dalam larutan asam (klorida (HCl) atau asam sitrat) atau garam NaCl (pada tiga taraf konsentrasi dan dua taraf waktu perendaman). Analisis kadar oksalat ini dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatograph), dan hasilnya berupa peak dengan luas area tertentu yang kemudian dikonversi dalam satuan ppm kadar oksalat. Hasil chromatogram dapat dilihat pada Lampiran 4. Dengan adanya perlakuan proses perendaman dalam larutan asam dan garam diharapkan kadar oksalat yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan sampel tanpa perlakuan maupun pada perlakuan perendaman dalam air hangat.

· Asam Klorida (HCl)

Proses perendaman dalam larutan HCl mampu mereduksi kadar oksalat pada bahan hingga 98.59% (97.87 ppm). Nilai ini diperoleh pada perlakuan dengan konsentrasi 0.5 M selama 5 menit, sedangkan nilai reduksi oksalat terendah diperoleh pada perlakuan perendaman dengan konsentrasi 0.1 M selama 5 menit yaitu sebesar 2.91% (Lampiran 5 danGambar 6). Persentase reduksi oksalat akibat proses perendaman dalam larutan asam HCl pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 M selama 5 dan 10 menit menghasilkan nilai reduksi oksalat yang


(34)

cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan, begitu pula dengan lama perendaman menghasilkan rata-rata nilai reduksi yang cenderung meningkat.

Reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium klorida. Hal ini disebabkan oleh sifat asam klorida yang termasuk jenis asam kuat (pKa=-8,0) yang dapat terdisosiasi penuh

dalam air, sehingga mampu melarutkan kalsium oksalat menjadi asam oksalat (Lide, 1980-1981 dan Perry et al.,1984).

Menurut Suharso (1997), semakin tinggi konsentrasi suatu zat maka jumlah partikel yang terdapat pada zat tersebut akan semakin banyak. Oleh karena itu semakin banyak jumlah ion asam klorida maka semakin banyak pula reaksi yang terjadi dengan partikel oksalat yang terdapat dalam bahan. Hal tersebut dapat menyebabkan kandungan oksalat yang tersisa dalam bahan semakin sedikit.

· Asam Sitrat

Pada proses perendaman dalam larutan asam sitrat, persentase reduksi oksalat mencapai titik maksimal pada konsentrasi 0.3 M dengan nilai persentase reduksi rata-rata sebesar 78.79%, namun pada konsentrasi 0.5 M nilai ini kembali menurun dengan rata-rata sebesar 26.61% (Lampiran 6). Penurunan nilai persentase reduksi ini dapat disebabkan karena partikel oksalat yang terdapat pada sampel tidak berikatan dengan sempurna dengan partikel yang terdapat dalam asam sitrat, sehingga masih banyak oksalat yang tertinggal dalam sampel. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kejenuhan pada senyawa oksalat untuk dapat berikatan lagi dengan asam sitrat.

Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) (Lampiran 7) untuk larutan asam klorida dan asam sitrat menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman dan tingkat konsentrasi larutan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai persentase reduksi oksalat, dengan nilai rata-rata reduksi oksalat pada larutan HCl sebesar 62.33% dan


(35)

pada larutan asam sitrat sebesar 45.42%. Namun interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi larutan terhadap persentase reduksi oksalat menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata.

Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan perendaman dalam asam klorida yang mampu mereduksi oksalat tertinggi ditunjukkan pada konsentrasi 0.5 M (85.08%), sedangkan pada asam sitrat terdapat pada perlakuan 0.3 M (78.79%) (Gambar 6). Uji lanjut Duncan yang dilakukan (Lampiran 7) untuk interaksi antara faktor konsentrasi dan waktu perendaman menunjukkan bahwa nilai rata-rata reduksi oksalat tertinggi dimiliki oleh perlakuan perendaman pada larutan asam klorida 0.5 M selama 5 menit (98.59%), nilai ini berbeda nyata dengan nilai persentase reduksi oksalat pada setiap perlakuan lainnya.

Bila dibandingkan dengan rata-rata persentase reduksi oksalat dengan perlakuan larutan asam klorida, perlakuan dengan asam sitrat memiliki nilai rata-rata persentase reduksi oksalat yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan kekuatan sifat asam sitrat yang juga lebih rendah yaitu pKa1=3.15; pKa2= 4.77; dan pKa3= 5.19 (Wikipedia, 2009) dibanding asam klorida yang memiliki nilai pKa=-8,0. Hal ini berhubungan dengan hasil pengukuran pH larutan asam klorida dan asam sitrat pada saat proses perendaman. Asam klorida pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 M berturut-turut memiliki nilai pH sebesar 4.1, 3.9, dan 3.8. Sedangkan pH asam sitrat pada proses perendaman dengan konsentrasi yang sama memiliki nilai berturut-turut sebesar 5.7, 5.5, dan 5.2. Semakin kecil nilai pH larutan menunjukkan bahwa semakin tinggi pula tingkat keasaman larutan tersebut.


(36)

Gambar 6. Histogram persentase reduksi oksalat setelah proses perendaman dalam larutan asam

· Garam Natrium (NaCl)

Perendaman pada larutan garam (NaCl) menunjukkan nilai persentase reduksi oksalat yang cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan, begitu pula pada proses lama perendaman memiliki nilai persentase reduksi yang cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu perendaman. Hal ini dapat dilihat pada perendaman yang menghasilkan nilai reduksi tertinggi terdapat pada larutan garam 10% selama 60 menit sebesar 96.83% sedangkan nilai terendah terdapat pada larutan garam 7.5% selama 30 menit yaitu sebesar 62.73% (Lampiran 8 dan Gambar 7).

Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa proses perendaman dengan tiga konsentrasi larutan dan lama waktu perendaman menunjukkan nilai yang berpengaruh nyata terhadap persentase reduksi oksalat. Begitu pula dengan interaksi antara konsentrasi larutan dengan waktu perendaman menunjukkan nilai yang berpengaruh nyata terhadap hasil persentase reduksi oksalat. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8) nilai rata-rata reduksi oksalat tertinggi dimiliki oleh perlakuan perendaman

a

b b

b

c c c

d

d e

a f


(37)

dengan konsentrasi 10% (93.62%), nilai ini saling berbeda nyata dengan konsentrasi 5% dan 7.5%. Nilai rata-rata persentase reduksi oksalat tertinggi yang dihasilkan pada taraf konsentrasi 10% ini menunjukkan, bahwa semakin banyak partikel Na+ dan Cl- yang terdapat dalam larutan maka semakin banyak pula ikatan yang dapat terjadi dengan partikel Ca2+ dan C2O42- yang menghasilkan natrium

oksalat yang larut dalam air sehingga kadar oksalat pada sampel dapat tereduksi secara maksimal melalui air perendaman yang terbuang.

Perendaman dalam garam (NaCl) dapat mengurangi kandungan oksalat yang terdapat dalam umbi talas. Penurunan kadar oksalat terjadi karena reaksi antara natrium klorida (NaCl) dan kalsium oksalat (CaC2O4). Garam (NaCl) dilarutkan dalam air terurai menjadi ion-ion

Na+ dan Cl-. Ion-ion tersebut bersifat seperti magnet. Ion Na+ menarik ion yang bermuatan negatif dan Ion Cl- menarik ion yang bermuatan positif. Pada reaksi ini ion Na+ mengikat ion C2O42- membentuk natrium

oksalat (Na2C2O4) yang dapat larut dalam air dengan nilai kelarutan

dalam air 3,7 g/100 ml pada suhu 20ºC dan 6,25 g/100 ml pada suhu 100ºC, dan ion Cl- mengikat Ca2+ membentuk endapan putih kalsium diklorida (CaCl2) yang mudah larut dalam air.

Reaksi yang terjadi antara NaCl dan CaC2O4 yang menghasilkan

CaCl2 dan Na2C2O4 disebut dengan reaksi penggaraman. Garam-garam

tersebut terdiri dari logam dan sisa asam. Pertukaran ikatan yang terjadi pada reaksi ini dapat disebabkan oleh nilai energi ionisasi yang dimiliki oleh Na (495.8 kj/mol) yang lebih rendah dibanding Cl (1251.2 kj/mol) (Wikipedia, 2010). Hal ini menyebabkan unsur Na+ memiliki sifat untuk mudah melepaskan satu elektron dan membentuk ion bermuatan +1 bersama C2O42-, dan bila dilihat dari nilai keelektronegatifan dari

unsur Cl- yang lebih tinggi (3.16) dibanding Na+ (0.93) berdasarkan skala Pauling, maka Cl- memiliki sifat yang cenderung mudah untuk menerima elektron membentuk ion negatif bersama Ca2+. Pertukaran elektron inilah yang kemudian menyebabkan pertukaran ikatan pada


(38)

reaksi yang terjadi. Reaksi antara NaCl dengan kalsium oksalat dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut ini:

NaCl + CaC2O4 Na2C2O4 + CaCl2

Gambar 7. Histogram persentase reduksi oksalat setelah proses perendaman dalam garam (NaCl)

· Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian proses perlakuan perendaman dari tiga jenis larutan yang digunakan pada tiga taraf konsentrasi dan dua taraf lama perendaman diketahui bahwa rata-rata persentase reduksi oksalat tertinggi didapat pada hasil perendaman dengan larutan NaCl. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 8) yang dilakukan, nilai ini memiliki hasil yang berbeda nyata dengan larutan HCl dan asam sitrat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman terbaik sebagai upaya reduksi oksalat pada tepung talas dapat dilakukan dengan perendaman umbi talas pada larutan NaCl.

2. Kadar Air

Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya tahan bahan tersebut. Untuk memperpanjang daya tahan bahan maka sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan cara yang sesuai

a b

c

bd d


(39)

dengan jenis bahan, seperti cara pengeringan. Pengeringan pada tepung mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi biasanya lebih cepat busuk dibandingkan dengan bahan yang berkadar air rendah, karena adanya aktivitas mikroorganisme. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tetap tumbuh adalah 14-15% (Fardiaz,1986).

Berdasarkan hasil penelitian kadar air yang dihasilkan tepung talas setelah mengalami perlakuan perendaman dalam larutan asam dan garam berkisar antara 5.8-7.59 % (bb) (Lampiran 9). Kadar air yang rendah berperan penting dalam menjaga keawetan suatu bahan pangan. Kadar air umumnya berbanding lurus dengan aw, yaitu semakin kecil kadar air, maka

semakin kecil aw sehingga semakin awet bahan pangan tersebut. Kadar aw

yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba pada bahan pangan sehingga bahan pangan menjadi lebih awet (Winarno, 1997).

Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dalam larutan asam klorida, asam sitrat, dan garam (NaCl) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air yang dihasilkan.

3. Derajat Warna

Derajat warna tepung talas diukur menggunakan sistem Hunter. Tingkat kecerahan (L) yang dimiliki oleh tepung talas tanpa perlakuan memiliki nilai rata-rata 84.54 nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai L pada tepung setelah mengalami proses perlakuan perendaman dengan larutan asam maupun garam. Nilai L tertinggi dihasilkan oleh tepung yang mengalami perlakuan perendaman dengan larutan NaCl 5% selama 60 menit (96.49). Hasil pengukuran warna tepung talas dapat dilihat pada Lampiran 10. Untuk analisis nilai a, seluruh produk menunjukkan nilai positif dengan nilai a tertinggi pada tepung tanpa perlakuan (2.66) dibanding tepung hasil perlakuan, nilai terendah dimiliki oleh tepung hasil perendaman dengan NaCl 5% selama 30 menit (0.33). Untuk analisis nilai


(40)

b, seluruh produk juga menunjukkan nilai positif dengan nilai terbesar tetap pada tepung tanpa perlakuan (11.92) dan nilai terendah pada tepung hasil perendaman dengan NaCl 5% 60 menit (5.03). Dengan demikian dapat dilihat bahwa tepung talas hasil perendaman dengan larutan NaCl 5% 60 menit memiliki warna kuning yang paling cerah diantara tepung talas lainnya. Penampakan dari tepung talas hasil perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 11.

Berdasarkan hasil pengukuran nilai total derajat warna (ΔE) dengan menggunakan standar putih, didapat hasil ΔE terkecil terdapat pada perlakuan dengan perendaman dalam larutan NaCl 5% selama 60 menit (6.08) sedangkan nilai tertinggi terdapat pada tepung tanpa perlakuan (19.80). Berdasarkan nilai ini dapat diketahui bahwa semakin kecil nilai ΔE menandakan bahwa tepung yang dihasilkan pun semakin putih mendekati warna standar yang digunakan.

Hasil sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) terhadap nilai ΔE (Lampiran 10) menunjukkan bahwa warna tepung hasil perlakuan perendaman dengan jenis larutan pada konsentrasi dan lama waktu tertentu menghasilkan nilai yang tidak berpengaruh nyata, begitu pula interaksi antara konsentrasi larutan dengan lama waktu perendaman menunjukkan nilai yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ΔE yang dihasilkan pada tepung hasil perlakuan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan larutan NaCl memiliki nilai yang berbeda nyata (α<0.05) dengan perlakuan perendaman dalam larutan asam (HCl dan asam sitrat). Namun perlakuan dengan dua jenis larutan asam menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (α>0.05). Perendaman dalam larutan NaCl yang menghasilkan warna tepung lebih putih dapat disebabkan oleh salah satu sifat senyawa natrium yang berfungsi sebagai garam natrium dari asam lemak yang mampu mengikat kotoran, sehingga air rendaman akan bebas dari kotoran dan menyebabkan sampel hasil perendaman pun memiliki tingkat kebersihan yang lebih tinggi. Natrium klorida pun merupakan bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan


(41)

klorin. Klorin merupakan salah satu unsur yang berfungsi sebagai bahan pemutih (wikipedia, 2010).

Berdasarkan hasil analisis mengenai proses perendaman terbaik dalam upaya reduksi oksalat dan meningkatkan kualitas warna tepung maka dapat disimpulkan bahwa proses perendaman terbaik adalah dengan larutan NaCl pada konsentrasi 10% selama 60 menit. Hal ini dilihat dari berbagai pertimbangan dan salah satunya menitikberatkan pada nilai persentase reduksi oksalat. Berdasarkan faktor persentase reduksi oksalat dan derajat warna pada tepung diketahui bahwa perlakuan perendaman terbaik terdapat pada larutan garam NaCl. Bila dilihat berdasarkan persentase reduksi oksalat dari larutan NaCl, konsentrasi larutan yang mampu mereduksi oksalat paling maksimal terdapat pada konsentrasi 10% dengan waktu perendaman selama 60 menit. Begitu pula dengan derajat warna tepung yang dihasilkan memiliki tingkat yang lebih cerah rata-rata pada perendaman selama 60 menit.

4. Kadar Pati

Pada tahap penelitian ini, analisis kadar pati dilakukan sebagai upaya untuk melihat seberapa besar pengaruh penambahan larutan perendaman terbaik dalam hal ini NaCl 10% selama 60 menit, terhadap tepung talas yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa dengan perlakuan perendaman larutan NaCl kadar pati yang dihasilkan cenderung menurun dibanding kadar pati pada tepung tanpa perlakuan. Perlakuan perendaman yang dilakukan memiliki hasil yang berpengaruh nyata setelah diuji keragamannya pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 12). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kadar pati pada tepung tanpa perlakuan memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kadar pati tepung hasil perendaman dengan rata-rata nilai sebesar 31.31%. Penurunan kadar pati pada tepung ini dapat disebabkan karena adanya proses perendaman dalam air, sehingga pati yang terdapat pada sampel terekstrak keluar dan akhirnya ikut terbuang bersama air rendaman. Penurunan kadar pati tepung talas dapat dilihat pada Gambar 8.


(42)

Gambar 8. Histogram kadar pati tepung talas

5. Sifat Amilografi

Menurut Greenwood et.al. (1973), jika suspensi pati dipanaskan, maka granulanya akan mengembang. Semakin meningkat suhu pemanasan, pengembangan granula semakin besar. Pengembangan tersebut akan kembali ke bentuk semula apabila belum tercapai suhu gelatinisasi. Dalam penelitian ini suhu gelatinisasi tepung talas lebih rendah dibanding tepung terigu yaitu sebesar 78ºC (Tabel 5), nilai ini sesuai dengan hasil penelitian Ridal (2003).

Pada proses pengembangan granula akan terjadi penekanan antar granula sehingga viskositas pasta akan naik. Pengembangan granula dibatasi oleh fraksi amilosa karena amilosa dapat memperkuat integritas granula. Pengembangan granula tersebut akan memperlemah gaya kohesif sehingga integritas granula berkurang (Greenwood et al., 1973).

Menurut Leach (1965), setiap granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama. Komponen protein, lemak dan gula pada tepung juga mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Berdasarkan hasil analisis, suhu awal gelatinisasi tepung talas lebih rendah dibanding tepung terigu, hal ini dapat disebabkan oleh kadar lemak yang dikandung oleh masing-masing tepung. Tepung terigu memiliki kadar lemak sebesar 1.3% sedangkan tepung talas sebesar 0.71%. Semakin tinggi kadar lemak yang dikandung suatu tepung, maka akan semakin tinggi pula suhu awal gelatinisasi yang dicapai.

a


(43)

Menurut Glicksman (1969), lemak mampu berperan sebagai penkompleks amilosa dengan membentuk endapan yang tidak larut sehingga akan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi.

Nilai viskositas puncak tepung talas yang dihasilkan berada pada titik 160 BU. Pada titik ini granula pati akan mengembang pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas dan pada saat yang bersamaan granula pati pun telah kehilangan sifat birefringence. Suhu dimana viskositas puncak tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi.

Tabel 5. Perbandingan sifat amilograf tepung talas dengan tepung terigu

Tepung Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak viskositas Viskositas puncak (BU) Viskositas 93ºC (BU) Viskositas 93ºC/20’ (BU) Viskositas 50ºC (BU)

Terigu 81.0 - - 130 170 270

Talas 78.0 93.0 160 160 150 310

Pendinginan pasta tepung umbi dari suhu 93ºC ke suhu 50ºC meningkatkan viskositas pasta. Menurut Wurzburg (1968), kenaikan viskositas pada pendinginan disebabkan terjadinya ikatan hidrogen antara molekul amilosa. Jika pada saat pemanasan terjadi pemecahan granula, maka jumlah amilosa yang keluar dari granula semakin banyak sehingga kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi pada pasta meningkat. Viskositas akhir pada tepung talas memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding tepung terigu. Hal ini menandakan bahwa tepung talas akan mengalami retrogradasi yang lebih cepat dibanding tepung terigu.

6. Viskositas pasta

Viskositas tepung ditentukan oleh tipe, prosedur pemasakan, dan konsentrasi produk tepung tersebut. Seiring dengan meningkatnya suhu larutan tepung, granula pati membesar dan meningkatkan viskositas pasta pati. Proses ini berlanjut hingga tercapai puncak viskositas. Puncak viskositas merupakan pengukuran dari kekuatan kekentalan suatu pati. Pada


(44)

elevasi suhu pemasakan dan pengadukan yang lebih jauh, gaya kohesi pada granula yang membengkak menjadi lemah secara luas dan struktur pasta hancur. Granula yang membengkak akan mudah pecah, hancur, dan mengecil, sebagai hasil dari fragmentasi granula dibawah gaya gunting.

Berdasarkan hasil analisis, viskositas pasta dilakukan pada konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 %. Analisis dilakukan pada tepung talas tanpa perlakuan, dengan perlakuan dalam air hangat (40ºC, t=3 jam), perlakuan dengan perendaman dalam larutan terbaik (NaCl 10%, t=60 menit) dan juga pada tepung terigu sebagai pembanding. Faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran viskositas yaitu perlakuan penyiapan pasta, kecepatan pengadukan, konsentrasi tepung yang digunakan, dan ukuran partikel tepung.

Hasil pengukuran viskositas pasta pada tepung terigu maupun tepung talas baik dengan perlakuan atau tanpa perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda-beda (Gambar 9). Nilai viskositas pada tepung talas hasil perlakuan menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai viskositas pada tepung terigu. Hal ini menandakan bahwa perlakuan perendaman yang dilakukan pada proses pembuatan tepung mampu memperbaiki sifat tepung yang dihasilkan. Nilai yang ditunjukkan pada uji ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi pasta, dengan semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan pasta tersebut sehingga nilai yang ditunjukkan pada alat viskosimeter Brookfield semakin besar.

Viskositas yang dimiliki oleh tepung tanpa perlakuan (umbi) memiliki tingkat viskositas yang tinggi dibanding tepung yang mengalami perlakuan perendaman dalam air hangat. Hasil ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan literatur yang menyatakan bahwa granula pati akan mengalami proses pembengkakan dalam air dan meningkatkan viskositas pasta pati seiring dengan meningkatnya larutan tepung, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik-menarik pati di dalam granula pati (Winarno,1997).


(45)

Gambar 9.Histogram perbandingan viskositas pasta tepung talas dengan tepung terigu (cP)

7. Water Soluble Index (WSI) dan Water Absorption Index (WAI)

Water Soluble Index (WSI) merupakan index kelarutan air yang digunakan untuk mengukur nilai penurunan degradasi pati pada suatu sampel. Semakin kecil nilai WSI menunjukkan bahwa molekul pati yang dapat larut pun semakin rendah (Hernandez, et. al., 2007). Nilai WSI ini erat hubungannya dengan nilai viskositas tepung. Semakin tinggi nilai WSI akan menyebabkan proses dekstrinisasi pada granula pati terus berlanjut (proses pemecahan molekul pati) sehingga nilai viskositas yang dihasilkan pun semakin rendah.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa kadar WSI pada tepung tanpa perlakuan cenderung memiliki nilai lebih rendah (0.055) dibanding tepung yang mengalami proses perlakuan perendaman baik perendaman dalam air hangat (0.047) maupun perendaman dalam larutan NaCl (0.075) (Tabel 6). Bila dilihat dari kadar WSI dan nilai viskositas pada tepung talas baik dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan, kedua faktor ini menunjukkan nilai yang berbanding terbalik.

Water Absorption Index (WAI) merupakan index penyerapan air yang digunakan sebagai indikator kemampuan suatu tepung dalam menyerap air,


(46)

nilai ini bergantung pada ketersediaan kelompok hidrofil yang mampu mengikat molekul air dan kapasitas makromolekul yang dapat membentuk gel. Nilai WAI yang dihasilkan pada tepung talas berkisar antara 3.76-3.91. Semakin rendah kemampuan tepung untuk menyerap air (WAI) maka semakin tinggi kemampuan tepung tersebut untuk mengalami proses degradasi pati (WSI). Hal ini disebabkan karena pati menjadi bersifat lebih hidrofobik, sehingga kemungkinan terjadinya pembentukan ikatan hidrogen antar kelompok-kelompok hidroksil pada pati dan air semakin kecil (Thiebaud et al., 1997).

Tabel 6. Data kadar WAI dan WSI tepung talas

Sampel tepung WAI WSI

Tanpa perlakuan 3.81 0.055

Perendaman air hangat 3.76 0.047


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uji karakteristik umbi talas yang berasal dari empat daerah yaitu Bogor, Banten, Malang, dan Kalimantan Barat didapat bahwa umbi yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini adalah umbi talas yang berasal dari Bogor. Kriteria ini meliputi kadar oksalat, kadar pati dan juga rendemen tepung yang dihasilkan yang memiliki kadar yang tinggi.

Perendaman dalam air hangat dilakukan sebagai upaya untuk mereduksi oksalat larut air yang dapat larut dalam air. Pada tahap ini dilakukan perendaman pada berbagai suhu dan waktu. Berdasarkan nilai reduksi oksalat yang mampu dicapai pada tiap perlakuan maka didapat suhu dan waktu perendaman terbaik adalah sebesar 40ºC selama 60 menit. Pada taraf ini persentase reduksi oksalat yang mampu dicapai adalah sebesar 81.96%.

Perendaman dalam larutan garam (NaCl) dan asam (asam klorida dan asam sitrat) mampu meningkatkan persentase reduksi oksalat dengan cara mengurai senyawa kalsium oksalat yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang larut dalam air, misalnya asam oksalat dan natrium oksalat. Pada tahap penelitian ini perendaman dengan larutan NaCl pada taraf konsentrasi 10% selama 60 menit mampu mereduksi oksalat dengan rata-rata tertinggi yaitu sebesar 96.83%. Perendaman dalam larutan garam ini pun mampu meningkatkan kualitas warna tepung yang dihasilkan, menjadi lebih putih (L=94.55, a=1.1, b=6.61, ΔE=8.58) .

Analisis pengaruh penambahan larutan garam pada proses perendaman umbi talas menghasilkan perubahan sifat fisikokimia tepung dibandingkan tepung yang tidak mengalami perlakuan perendaman. Berdasarkan hasil penelitian, kadar pati setelah perendaman mengalami penurunan kadar akibat pati yang ikut terekstrak dalam air perendaman. Suhu gelatinisasi tepung talas lebih rendah dibanding tepung terigu yaitu sebesar 78ºC, pada proses pendinginan pasta tepung umbi dari suhu 93ºC ke suhu 50ºC meningkatkan viskositas pasta. Perendaman umbi baik dalam air hangat maupun dalam


(48)

larutan mampu menurunkan tingkat viskositas pasta tepung dan kadar WAI, namun berbanding terbalik dengan kadar WSI yang semakin tinggi akibat adanya proses perendaman.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan substitusi tepung talas dan tepung terigu agar menghasilkan produk olahan yang sesuai dengan keinginan konsumen dan mampu membawa tepung talas ke dalam skala industri dalam upaya mengurangi konsumsi tepung terigu di Indonesia secara luas.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.A. (1982) Water absorption and solubility and amylograph

characteristics of roll-cooked small

grain products. Cereal Chem 59, pp. 265–269. Anonim. 1996. Panduan Kesehatan. Eisai.Jakarta

Anonim. 2008. Penghilangan Rasa Gatal pada Talas,(online),( http://www.yellashakti.wordpress.com/2008/01/30/penghilangan-rasa-gatal-pada-talas/, 25 Februari 2009).

Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis, 16th. AOAC International, Gaithersburg, Maryland.

Basyir,A. 1999. Perbaikan Komponen Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Di dalam Laporan Teknis Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 1999. Balitkabi, Malang.

Bodkins, Dr. Bailey. 1995. Bleach. Philadelphia: Virginia Printing Press.

Bradbury,J., & Nixon,R. 1998. The acridity of raphides from the edible aroids. Journal of the science Food and Agriculture, 76,608-616.

Buckle, K.A.1987. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. (Terjemahan) Universitas Indonesia Press : Jakarta.

Catherwood,D.J., Savage,G.P., Mason,S.M.,& Scheffer,J.J.C.,in press. 2007. Oxalate content of Japanese taro corms (Colocasia esculenta var. Schott) and the effect of cooking. Journal of Food Composition and Analysis,20.

Collison,R. 1968. Swelling and Gelation of Starch. Di dalam J.A. Radley. Starch and Its Derrivatives. Chapman and Hall, Ltd.London.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bogor. 2008. Produksi Hasil-hasil Pertanian di Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bogor, Bogor.


(50)

Fardiaz, D., A. Apriyantono, S. Budiyanto dan N.L. Puspitasari. 1986. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

FAO .1992. Taro: a south Pacific specialty. Leaflet – revised 1992. Community Health Service, South Pacific Commission, B.P. D5, Noumea, Cedex, New Caledonia.

Franceschi,V.R. and P.A. Nakata.2005. Calcium oxalate in plants: Formation and function. Annual Review of Plant Biology 56:41-71.

Gaurav Sharma (2003). Digital Color Imaging Handbook. CRC Press. ISBN 084930900X,

(online),(http://books.google.com/books?id=OxlBqY67rl0C&pg=PA31&v q=1.42&dq=jnd+gaurav+sharma&source=gbs_search_s&sig=vresXi1emg hh1Jq57hr2R6cVXIs,1.03pm, 25 Februari 2009).

Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press, Inc.,New York.

Graustein,W.C.,K.Cromack,Jr.and P. Sollins. 1977. Calcium oxalate: Occurrence in soils and effect on nutrient and geochemical cycles. Science 198: 1252-1254.

Greenwell,A.B.H.1947.Taro with Special Reference to its Culture and uses in Hawaii.J.Econ.Bot.1(3):276-289.

Greenwood,C.T. 1973. Observation on The Starch Granules. Di dalam W. Pigmen dan D. Horton (eds.). The Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Academic Press. London.

Hallick,J.V. dan V.J.Kelly. 1959. Gelatinization and Pasting Characteristics of Rice Varieties as Related to Cooking Behaviour. Cereal Chem.(36): 91-98.


(51)

Hernandez-Diaz, J.R., Quintero-Ramos, A., Barnard, J. and Balandran-Quintana, R.R.2007.Functional properties of extrudates prepared with blends of wheat flour/pinto bean meal with added wheat bran. Food Sci Tech Int 13(4), pp. 301–30.

Horner,H.T., Jr. and B.L. Wagner.1995. Calcium oxalate formation in higher plants. In S.R. Khan (ed.), Calcium Oxalate in Biological Systems,pp 53-72. Boca Raton: CRC Press.

Huang, Alvin and James R. Hollyer. 1995. Manufacturing of acridity-free raw flour from Araceae tubers. University of Hawaii. Honolulu HI.

Hussain, M., G. Norton dan R.J. Neale. 1984. Composition and Nutritive Value of Cormels of Colocasia esculenta (L.) Schott. J.Sci. Food Agric. 35:112-119 Iwuoha,I.C, dan F.A.Klau.1994.Calcium Oxalate dan Physico-chemical Propertise of Cocoyam (Colocasia esculenta and Xanthosoma sagittifolium)Tuber Flours as Affected by Processing.J.Food Chem.54:61-66.

Kay,D.E.1973.Root Crops.Tropical Product Institute,London.

Kurdi, W. 2002. Reduksi Kalsium Oksalat pada Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Keripik Talas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Leach,H.W. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam R.L. Whistler dan E.F. Paschall (eds.).1984. Starch Chemistry and Technology. Vol I. Academic Press, New York.

Lee,W.1999.Taro. Di dalam Heidegger,A.(ed).1999.Tropical Root Crops.Southern Illionis University, Illionis.

Lide, David. 1980-1981. CRC Handbook of Chemistry and Physics, 61st, CRC Press.


(52)

Margono, T, D. Suryati, dan S. Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation.

Matthews,P. 2004. Genetic diversity in taro, and the preservation of culinary knowledge. Ethnobotany Journal, 2(1547), 55-77.

MediaWiki. 2009. Asam Sitrat. http://id.wikipedia.org/wiki/asamsitrat. MediaWiki. 2010. Natrium. http://id.wikipedia.org/wiki/natrium.

Noonan, S., & Savage,G.P. 1999. Oxalate content of Food and its effect on humans. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 8(1), 64-74.

Nur,M.1986.Tanaman Talas (Colocasia dan beberapa Genus yang lain).Kementrian Pertanian,Jakarta.

Occupational Safety & Health Administration. 2007. and peroxide/recognition.html "OSHA -- Chlorine". OSHA,(online),(http://www.osha.gov/SLTC/healthguidelines/chlorine and peroxide/recognition.html. Retrieved 2007-08-26.06.05pm,09 Februari 2010).

Onwueme,I.C.1978.The Tropical Tuber Crops.John Willey and Sons,New York.

Parkinson,S. 1984. The Contribution of Aroid in The Nutrition of Peoples in South. The International Thomson Publishing Inc., New York.

Payne,J.H.,J.L.Gaston dan G.Akau.1941.Processing and Chemical investigation of Taro.University of Hawaii Agriculture Experiment Station Bulletin 86.

Perry, R; Green D, Maloney J .1984. Perry's Chemical Engineers' Handbook, 6th, McGraw-Hill Book Company. ISBN 0-07-049479-7.

Radley,J.A. 1976. Examination and Analysis of Starch and Starch Product. Applied Sci. Publisher Ltd., London.


(53)

Ridal, stif. 2003. Karakteristik sifat fisiko-kimia tepung dan pati talas (Colocasia esculenta) dan kimpul (Xanthosoma sp.) dan uji penerimaan α-amilase terhadap patimya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB,Bogor.

Ross, A.B., Savage, G.P., Martin, R.J. and Vanhanen, L. 1999. Oxalates in Oca (New Zealand Yam) (Oxalis tuberosa Mol.), Journal of Agriculture and Food Chemistry 47 (1999), pp. 5019–5022. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (19)

Rukmana,R.1998.Budidaya Talas.Swadaya,Jakarta.

Schumm,W.1978.Chemistry. Interscience Publisher Inc.,New York.

Smith,D.S.1997.Processing Vegetables Science and Technology.Technonic Publishing Company Inc.,London.

Suharso.1997.Dasar-dasar Ilmu Kimia.Kolase,Jakarta.

Thiebaud,S., Aburto, J., Alric, I., Borredon,E., Bikiaris,D., Prinos,J., dan Panayiotou,C. 1997. Properties of Fatty-acid Esters of Starch and Their Blends with LDPE. J.Appl. Polym. Sci.65, pp.705-721.

Webb,M.A. 1999. Cell-mediated crystallization of calcium oxalate in plants. Plant Cell 11:751-761.

Waluya. 2002. Usaha Produksi Kripik Talas,(online) , ( http : // www. iptekda . bpk.lipi.go.id/root/buletin_detail.asp?Berita_id=76 1.03pm, 25 Februari 2009).

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wurzburg,O.B. 1968. Starch in Food Industry. Di dalam Furia (ed.) Hand Book of Food Additives. The Chemical Rubber Co.,Cleveland,Ohio.


(54)

(55)

Lampiran 1. Metode Pengujian

1. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 g) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dimasukan ke dalam oven bersuhu 100°C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakuakan sampai diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:

% 100 ) ( ) (% = - - ´ c b a c bb Kadarair Keterangan :

a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

2. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik bersuhu 400-600°C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel selanjutnya didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang.

% 100 ) (% = - ´ c b a bb Abu Kadar Keterangan:

a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

3. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk


(1)

Rata-rata

94.1 1.82 6.44 8.75

HCl 0.5 M

5’

1

93.17 2.63 7.59

9.32

94.18 2.28 6.76

95.09 2.24 6.4

2

92.9 1.92 8.22

10.54

93.68 1.77 7.94

93.41 1.88 7.91

Rata-rata

93.74 2.12 7.47 9.93

HCl 0.1 M

10’

1

94 1.58 6.32

8.71

93.41 1.6 6.29

94.76 1.47 5.91

2

95.18 1.25 5.3

7.73

95.28 1.22 5.34

93.64 1.31 5.77

Rata-rata

94.38 1.41 5.82 8.22

HCl 0.3 M

10’

1

93.4 1.96 6.79

9.61

93.03 2.02 6.58

93.46 1.98 6.33

2

94.33 1.87 6.76

8.84

94.17 1.92 6.72

94.67 1.85 6.44

Rata-rata

93.84 1.93 6.60 9.23

HCl 0.5 M

10’

1

86.89 2.14 11.1

17.24

85.9 2.27 11.05

87.72 2.02 10.32

2

94.41 2 6.62

8.62

94.71 1.95 6.54

94.55 1.88 6.23

Rata-rata

90.70 2.04 8.64 12.93

Sitrat 0.1 M

5’

1

94.53 1.49 6.19

8.28

94.65 1.42 6.39

94.76 1.39 6.05

2

92.75 2.05 6.79

9.95

93.42 1.93 6.88

93.21 2.02 7.03

Rata-rata

93.89 1.72 6.56 9.12

Sitrat 0.3 M

5’

1

95.49 1.42 5.8

7.26

95.78 1.48 5.64

95.54 1.4 5.65

2

93.09 2.1 7.41

10.11

93.36 2.02 7.11

93.21 1.97 7.21

Rata-rata

94.41 1.73 6.47 8.69

Sitrat 0.5 M

5’

1

94.97 1.74 6.48

7.85

95.7 1.48 6.05

95.37 1.65 6.16


(2)

92.3 2.34 7.58

92.84 2.34 7.52

Rata-rata

94.02 1.97 6.91 9.32

Sitrat 0.1 M

10’

1

94.54 1.52 6.13

8.56

94.25 1.69 6.76

94.52 1.53 6.17

2

93.31 2.08 6.75

9.49

94.2 1.84 6.49

93.25 2.06 6.9

Rata-rata

94.01 1.79 6.53 9.02

Sitrat 0.3 M

10’

1

94.69 1.72 6.16

7.83

95.32 1.51 5.85

95.29 1.62 5.9

2

93.78 2.19 7.04

10.01

93.38 2.09 7.19

92.91 2.07 7.42

Rata-rata

94.23 1.87 6.59 8.92

Sitrat 0.5 M

10’

1

95.48 1.62 6

7.48

95.34 1.64 6.03

95.75 1.46 5.62

2

92.06 2.29 7.82

11.00

92.53 2.2 7.7

92.9 2.07 7.75

Rata-rata

94.01 1.88 6.82 9.24

NaCl 5%

30’

1

96.41 0.29 5.87

6.72

96.47 0.37 6.01

96.55 0.32 5.82

2

94.32 0.91 5.36

7.65

94.63 0.97 5.4

94.87 0.96 5.18

Rata-rata

95.54 0.64 5.61 7.19

NaCl 7.5%

30’

1

95.17 0.75 6.49

8.04

95.09 0.76 6.46

95.17 0.74 6.49

2

95.02 0.88 6.38

7.75

95.28 0.72 6.28

95.72 0.66 6.1

Rata-rata

95.24 0.75 6.37 7.89

NaCl 10%

30’

1

95.72 0.66 5.95

7.32

95.79 0.64 6.17

95.83 0.63 6.11

2

93.69 1.12 6.93

8.78

94.38 0.95 6.32

94.42 1.03 6.3

Rata-rata

94.97 0.84 6.30 8.05

NaCl 5%

1

97.32 0.36 4.8 5.49


(3)

60’

97.1 0.42 4.84

2

96.57 0.81 4.92

6.68

95.51 0.81 5.26

95.3 0.86 5.37

Rata-rata

96.49 0.60 5.03 6.08

NaCl 7.5%

60’

1

96.14 0.66 5.77

6.80

96.67 0.63 5.37

95.72 0.7 6.07

2

95.2 0.6 6.28

7.06

95.95 0.64 5.5

96.28 0.53 5.51

Rata-rata

95.99 0.67 5.75 6.93

NaCl 10%

60’

1

94.51 1.16 6.28

8.68

94.04 1.17 6.72

94.62 1.17 6.74

2

94.95 0.93 6.32

8.48

93.98 1.18 7.18

95.19 0.99 6.4

Rata-rata

94.55 1.1 6.61 8.58

Analisis keragaman

derajat warna (ΔEab

*)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:dE

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 2788.177a 13 214.475 67.482 .000

larutan 2.024 1 2.024 .637 .433

waktu 2.311 2 1.155 .363 .699

konsentrasi 18.049 4 4.512 1.420 .259


(4)

Error 73.100 23 3.178

Total 2861.277 36

a. R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .960)

Uji lanjut Duncan perlakuan larutan perendaman terhadap derajat warna tepung

dE

Duncan

larutan N

Subset

1 2

NaCl 12 7.4542

Sitrat 12 9.0508

HCl 12 9.6317

Sig. 1.000 .433

The error term is Mean Square(Error) = 3.178.

Lampiran 11. Gambar penampakan tepung hasil perlakuan perendaman dalam

larutan asam dan garam


(5)

Lampiran 12. Analisis keragaman kadar pati tepung talas

ANOVA

kadarPati

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 220.459 2 110.229 16.422 .024

Within Groups 20.137 3 6.712

Total 240.596 5

Uji lanjut Duncan kadar pati tepung talas

kadarPati


(6)

Duncan

ulangan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

3 2 17.8550

2 2 19.1450

1 2 31.3100

Sig. .653 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.