Pembiusan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan ...Suhu Rendah secara Bertahap dan Cara Pengemasannya pada ...Transportasi Hidup Sistem Kering

(1)

1..PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permintaan komoditas ikan hidup terutama untuk ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar internasional semakin meningkat pesat. Ikan dalam bentuk hidup diyakini lebih sehat dan terhindar dari bahan pengawet, seperti penggunaan formalin yang marak terjadi pada produk hasil perikanan. Hal ini menyebabkan persaingan perdagangan hasil perikanan di pasar domestik dan internasional menjadi semakin keras dan ketat, serta diramalkan persaingan ini akan meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Salah satu upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan daya saing ekspor hasil perikanan di pasar internasional adalah perubahan ekspor komoditas hasil perikanan dari bentuk beku ke bentuk segar kemudian ke bentuk hidup. Harga jual ikan dalam kondisi hidup dapat mencapai 3 hingga 4 kali lipat harga komoditas perikanan segar ataupun beku (Nitibaskara et al. 2006). Negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa merupakan pasar yang potensial untuk jenis produk perikanan hidup (Suryaningrum et al. 2008).

Salah satu komoditas perikanan dari perairan tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan telah dibudidayakan secara intensif adalah lobster air tawar. Lobster air tawar yang banyak dibudidayakan dewasa ini dan sangat digemari oleh konsumen adalah jenis Cherax quadricarinatus atau biasa dikenal dengan sebutan red claw.

Lobster air tawar biasanya dipasarkan dalam keadaan hidup, baik untuk kebutuhan pasar domestik maupun internasional.

Lobster air tawar di Indonesia awalnya diminati sebagai komoditas ikan hias karena warna tubuhnya yang menarik. Namun dalam perkembangannya, lobster air tawar lebih disukai sebagai komoditas konsumsi karena memiliki cita rasa yang tidak kalah dibandingkan lobster air laut. Konsumen bahkan ada yang menganggap lobster air tawar lebih baik dibandingkan lobster laut karena memiliki kandungan kolesterol yang lebih rendah. Lobster air tawar diketahui memiliki beberapa keunggulan seperti kaya akan asam lemak omega-3, selenium, iodium, seng, magnesium, kalsium dan fosfor serta mengandung kadar lemak yang rendah (Lukito dan Prayugo 2007).


(2)

Usaha budidaya lobster untuk keperluan konsumsi memiliki potensi pasar yang sangat terbuka, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Kendala yang umum dihadapi dalam transportasi hidup hasil perikanan terutama untuk ekspor adalah jarak tempuh yang cukup jauh, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mempertahankan agar lobster masih dapat bertahan hidup sampai di negara tujuan (Suryaningrum et al. 2008).

Permintaan lobster air tawar hidup dalam perdagangan internasional sangat tinggi, terutama untuk negara-negara Eropa dan Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, China dan Singapura (Lawrence 2001). Harga jual lobster air tawar dalam keadaan hidup di pasar internasional menurut Thompson et al. (2004) cukup tinggi, terutama untuk ukuran 30-50 g (kecil), ukuran 50-70 g (medium), ukuran 70-90 g (besar) dan ukuran lebih dari 100 g (ekstra besar). Permintaan lobster air tawar hidup di dalam negeri juga semakin meningkat khususnya dari hotel dan restoran-restoran kelas menengah ke atas, terutama restoran seafood. (Wibowo et al. 2005; Setiawan 2008).

Peluang pasar yang cukup menjanjikan dan sangat terbuka tersebut perlu mendapat dukungan berupa teknologi penanganan transportasi biota perairan hidup yang aman, ekonomis, efektif dan efisien. Transportasi hidup sistem kering untuk pengangkutan lobster air tawar hidup jarak jauh dalam waktu yang lama terutama untuk keperluan ekspor, meskipun berisiko tinggi, dipandang sebagai cara yang efisien dan aman. Transportasi biota perairan hidup sistem kering dapat menjadi pilihan yang tepat apabila kondisi optimalnya diketahui sehingga kelulusan hidup biota tetap tinggi hingga di tempat tujuan.

Lobster harus diimotilisasi terlebih dahulu sebelum ditransportasikan. Imotilisasi lobster air tawar menggunakan suhu rendah merupakan cara yang cukup efektif, efisien, ekonomis dan aman karena tidak meninggalkan residu bahan kimia. Imotilisasi menggunakan suhu rendah pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu dengan metode penurunan suhu secara bertahap dan penurunan suhu secara langsung (Wibowo et al. 1994). Hal ini bertujuan agar derajat kelulusan hidup lobster tetap tinggi setelah sampai ke tempat tujuan sehingga harga jualnya tetap tinggi dan kualitasnya tetap terjaga. Semakin lama lobster dapat bertahan hidup maka semakin luas jangkauan distribusinya (Suryaningrum et al. 2008).


(3)

Penggunaan metode pembiusan yang berbeda dapat berpengaruh terhadap aktivitas dan metabolisme serta kelulusan hidup biota perairan yang diimotilisasi.

Hasil penelitian Suparno et al. (1994a,b) pada biota lobster air laut hijau pasir dan udang windu tambak menunjukkan bahwa penurunan suhu secara bertahap

merupakan metode pembiusan yang lebih baik dibandingkan dengan penurunan suhu secara langsung. Penelitian transportasi lobster air laut dan udang windu tambak yang dibius dengan penurunan suhu secara bertahap menunjukkan bahwa udang dapat ditransportasikan hidup dengan sistem kering menggunakan media serbuk gergaji selama 24 jam, sedangkan lobster air laut dapat ditransportasikan selama 35 jam dengan kelulusan hidup sebesar 100%.

Transportasi hidup lobster air tawar yang biasa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan sistem curah menggunakan keranjang yang dibasahi tanpa adanya pembiusan (imotilisasi) dengan lama transportasi kurang dari 24 jam. Metode lain yang digunakan yaitu dengan menggunakan mika plastik yang dialasi kertas koran. Lobster yang ditransportasi tersebut memiliki nilai kelulusan hidup kurang dari 90% selama transportasi 24 jam serta adanya risiko kerusakan anggota tubuh (Suryaningrum et al. 2008). Dengan demikian diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan teknologi transportasi lobster air tawar sistem kering yang aman, efisien, ekonomis serta menghasilkan kelulusan hidup yang tinggi dengan waktu transportasi yang lama.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembiusan secara bertahap dan cara pengemasan terhadap kelulusan hidup lobster air tawar (Cheraxquadricarinatus) pada transportasi hidup sistem kering secara statis.


(4)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) merupakan hewan avertebrata air yang memiliki pelindung tubuh berupa rangka eksoskeleton yang keras. Lobster air tawar tergolong sebagai hewan krustasea dari famili Parastacidae. Hewan ini umumnya dikenal dengan sebutan red claw, karena memiliki sepasang capit yang berwarna merah. Lobster air tawar selain dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi juga dimanfaatkan sebagai lobster hias, karena lobster jenis ini memiliki keunggulan pada bentuk tubuhnya dan warna biru yang mengkilap (Hartono dan Wiyanto 2006).

Lobster air tawar berbeda dengan lobster air laut. Lobster air laut berasal dari Famili Palinuridae, Penasidae dan Scyllaridae; sedangkan lobster air tawar berasal dari Famili Astacidae, Cambridae dan Parastacidae (Kurniawan dan Hartono 2007). Lobster air tawar termasuk kelompok udang air tawar (crustaceae) yang secara alami memiliki ukuran tubuh relatif besar dan daur siklus hidupnya hanya di lingkungan air tawar. Beberapa nama internasional lobster air tawar yaitu

crayfish, crawfish dan crawdad (Sukmajaya dan Suharjo 2003).

Lobster air tawar terbagi menjadi tiga famili berdasarkan daerah penyebarannya di dunia, yaitu famili Astacidae dan Cambridae yang tersebar di belahan bumi utara serta famili Parastacidae yang tersebar di belahan bumi selatan (Sukmajaya dan Suharjo 2003). Lobster air tawar di Indonesia umumnya berasal dari Famili Parastacidae yang terdiri dari beberapa jenis seperti Cherax albertisi,

Cherax lorentzi, Cherax lorentzi auranus (Iskandar 2003), Cherax papuanus,

Cherax quadricarinatus, Cherax monticola, Cherax black-tiger (Lukito dan Prayugo 2007) dan Cheraxzebra (Panggabean etal. 2006).

Jenis lobster air tawar yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah

Cherax quadricarinatus atau yang lebih dikenal dengan sebutan red claw.

Cherax quadricarinatus adalah salah satu jenis lobster air tawar yang berasal dari Australia. Lobster jenis ini banyak ditemukan di sungai air deras serta danau di pantai utara dan daerah timur laut Queensland (Lukito dan Prayugo 2007).


(5)

Klasifikasi lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) menurut Holthuis (1950) adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Parastacidae Genus : Cherax

Spesies : Cheraxquadricarinatus (von Martens)

Gambar 1 Lobster air tawar (Cheraxquadricarinatus)

(Sumber: Bintaro Fish Center 2004)

Lobster air tawar (red claw) memiliki ciri morfologi berupa tubuh yang berwarna biru kehijauan (Lukito dan Prayugo 2007), hijau kemerahan (Sukmajaya dan Suharjo 2003), hingga berwarna biru laut dengan sedikit bercak kemerahan (Kurniawan dan Hartono 2007). Perbedaan warna tubuh pada lobster air tawar tersebut disebabkan oleh perbedaan strain induk dan lingkungan pemeliharaan (Iskandar 2003). Strain yang bagus untuk lobster budidaya yaitu walkamin,

flinders dan gilbert (Lukito dan Prayugo 2007).

Ciri utama lobster air tawar yang sangat menonjol yaitu memiliki sepasang capit yang ujungnya berwarna merah (Kurniawan dan Hartono 2007), terutama pada induk jantan yang telah berumur lebih dari 7 bulan (Sukmajaya dan Suharjo 2003). Warna antar ruas kelopak berwarna putih (Kurniawan dan Hartono 2007) serta memiliki duri-duri kecil yang terletak di atas setiap segmen capit (Sukmajaya dan Suharjo 2003).


(6)

Tubuh lobster terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan terdiri dari kepala dan dada yang disebut cephalothorax.

Kepala ditutupi oleh cangkang kepala (carapace) dan bagian depan kepala memiliki kelopak yang disebut rostrum. Rostrum berbentuk seperti segitiga memipih, lebar, dikelilingi duri (Sukmajaya dan Suharjo 2003) serta meruncing di bagian ujung dan bergerigi (Hartono dan Wiyanto 2006).

Bagian belakang tubuh lobster terdiri dari badan dan ekor yang disebut abdomen

(Hartono dan Wiyanto 2006). Bagian badan terdiri dari enam ruas badan dengan bentuk agak memipih. Lebar badan rata-rata hampir sama dengan lebar kepala (Sukmajaya dan Suharjo 2003). Morfologi lobster air tawar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Morfologi lobster air tawar

(Sumber: Dery 2007)

Panjang tubuh lobster air tawar dapat mencapai 50 cm dengan bobot sekitar 800-1000 g per ekor. Lobster termasuk hewan nokturnal yang memiliki sifat kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Lobster yang berada dalam kondisi lemah atau sedang mengalami ganti kulit (moulting) akan dimangsa oleh lobster lainnya. Kanibalisme lobster air tawar tersebut dapat dihindari dengan menyediakan tempat persembunyian bagi lobster (Hartono dan Wiyanto 2006).


(7)

2.2 Komposisi Kimia Lobster Air Tawar

Komposisi kimia daging lobster air tawar jantan dan betina yang dibudidayakan di kolam tanah tidak memiliki perbedaan yang nyata (p>0.05) setelah dianalisis menggunakan basis basah dan basis kering (Thompson et al. 2004). Komposisi kimia lobster air tawar (redclaw) berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia daging lobster air tawar jantan dan betina

Komposisi Jantan (%) Betina (%)

Basis Basah Air Protein Lipid Serat Abu Basis Kering Protein Lipid Serat Abu 80,37±0,45 16,71±0,33 0,14±0,02 0,10±0,01 1,41±0,08 85,36±2,59 0,70±0,10 0,50±0,10 7,18±0,35 86,61±0,68 16,20±0,66 0,17±0,02 0,10±0,01 1,42±0,056 88,04±1,21 0,94±0,11 0,52±0,02 7,75±0,35

(Sumber: Thompson et al. 2004)

2.3 Budidaya Lobster Air Tawar

Budidaya lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) saat ini telah berkembang menjadi suatu industri yang sukses secara komersial terutama di negara-negara tropis dan subtropis di seluruh dunia (Rodgers et al. 2006). Budidaya lobster air tawar sebagai komoditas konsumsi cukup diminati karena menyimpan banyak potensi. Udang jenis ini memiliki pertumbuhan yang cepat, relatif tahan terhadap serangan penyakit, perubahan lingkungan dan kepadatan yang tinggi, tidak memiliki stadia larva serta pemeliharaannya relatif mudah (Thompson et al. 2004). Jenis yang saat ini banyak dipilih pembudidaya adalah

red claw dan yabby yang habitat aslinya berasal dari Australia (Ruscoe 2006). Kondisi alam di Indonesia yang beriklim tropis dan tidak mengenal musim dingin merupakan tempat yang cocok bagi budidaya lobster air tawar. Beberapa faktor yang mendukung dalam budidaya lobster air tawar di Indonesia antara lain iklim dan geografi yang kondusif, teknik budidaya yang sudah ada dan terus berkembang, pasar konsumsi yang nyata, serta ragam bentuk olahan yang


(8)

menarik. Tingkat kesulitan budidaya lobster air tawar dapat disejajarkan dengan komoditas perikanan lainnya. Kendala budidaya lobster air tawar umumnya terganjal pada lama waktu pembesaran. Lobster air tawar dapat dibudidayakan di akuarium, kolam semen skala kecil hingga kolam yang luas dengan manajemen pemeliharaan yang intensif (Lukito dan Prayugo 2007).

Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya lobster air tawar karena air merupakan media hidup yang utama. Beberapa faktor fisika dan kimia air yang dapat mempengaruhi hidup lobster air tawar adalah suhu, oksigen terlarut (dissolved oxygen), karbondioksida (CO2) bebas, pH, alkalinitas, amoniak, nitrat dan nitrit. Air yang digunakan untuk pemeliharaan lobster air tawar secara umum memiliki beberapa persyaratan seperti suhu, pH, degree of hardness (dH), alkalinitas, oksigen terlarut, CO2, amoniak dan H2S (Lukito dan Prayugo 2007). Kualitas air pemeliharaan lobster air tawat ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kualitas air pemeliharaan lobster air tawar

Parameter Standar

Suhu pH dH

Alkalinitas Oksigen Terlarut Karbondioksida Amoniak

H2S Sumber air

25-29 oC 7-9 50-500 ppm 50-200 ppm

± 5 ppm Maks. 10 ppm Maks. 0,05 ppm Maks. 0,02 ppm Air sungai, air tanah, irigasi

(Sumber: Lukito dan Prayugo 2007)

2.4 Penanganan dan Transportasi Lobster Air Tawar

Salah satu kelebihan lobster air tawar dibandingkan lobster air laut adalah kemampuan hidupnya di luar media air dalam lingkungan yang lembab dengan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, lobster air tawar dapat diperdagangkan hidup dan transportasi dilakukan dengan sistem kering. Media kemasan yang digunakan untuk transportasi harus bersifat lembab dan suhu di dalam kemasan dipertahankan berkisar antara 12,9-25,4 oC. Transportasi lobster dalam kondisi ini lebih lama dan kelulusan hidupnya tinggi (Suryaningrum et al. 2007).


(9)

Lobster air tawar yang ditransportasikan umumnya merupakan lobster ukuran konsumsi. Lobster hidup untuk konsumsi adalah lobster hidup yang sehat dan memiliki kelengkapan organ tubuh dengan berat tubuh lebih besar atau sama dengan 60 g/ekor sesuai dengan SNI 4488.2:2011. Lobster harus dalam keadaan bugar, sehat, tidak sedang ganti kulit (moulting) dan tidak sedang bertelur. Organ tubuh lobster seperti antena dan kaki juga harus lengkap dan tidak boleh patah (BSN 2011a). Lobster yang mengalami ganti kulit (moulting) atau bertelur mempunyai daya tahan tubuh yang lemah dan berpeluang mati selama proses transportasi (Suryaningrum et al. 2005). Lobster yang berasal dari tambak atau hasil budidaya perlu diadaptasikan terlebih dahulu sebelum proses pemindahan atau transportasi hidup (Wibowo dan Soekarto 1993).

Tahap penanganan lobster air tawar untuk transportasi yang ditetapkan oleh SNI 4488.3:2011 yaitu penanganan awal, sortasi, penampungan dan pengkondisian, penenangan dan pengemasan (BSN 2011b). Penanganan awal dilakukan segera setelah lobster dipanen. Lobster terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir dalam bak penampungan selama 24 jam untuk menghilangkan kotoran terutama kotoran yang masuk dalam karapas, yang dapat menyebabkan infeksi insang selama proses transportasi (Suryaningrum et al. 2007). Selama penanganan awal, kualitas air dipertahankan sesuai habitatnya. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan lobster sesuai mutu dan ukuran dengan mempertahankan lobster tetap dalam keadaan hidup.

Penampungan diperlukan apabila lobster yang dipasarkan tidak langsung dikirim ke konsumen atau jumlah lobster yang hendak dijual belum mencukupi sehingga dikumpulkan terlebih dahulu dalam bak penampungan. Hal penting yang harus diperthatikan selama penampungan adalah kualitas air, kelarutan oksigen, pH dan suhu air selama penampungan. Pengkondisian dilakukan apabila lobster yang akan dipasarkan tidak dalam keadaan bugar, sehingga dibutuhkan pemeliharaan terlebih dahulu selama beberapa hari (Suryaningrum et al. 2007).

Penenangan dilakukan untuk mendapatkan lobster dalam keadaan pingsan sempurna (mencapai metabolisme basal). Penenangan dapat dilakukan dengan pembiusan menggunakan suhu rendah, baik secara bertahap maupun langsung hingga lobster imotil. Pengemasan dilakukan dengan membungkus lobster


(10)

menggunakan kertas koran di bagian badan dan ekor dengan bagian kepala terbuka dan/atau disusun berlapis dalam media kemasan kemudian dimasukkan ke dalam kotak stirofoam dan ditutup rapat (BSN 2011b).

Lobster air tawar yang akan ditransportasikan terlebih dahulu dipuasakan selama 1-2 hari. Pemuasaan bertujuan untuk mengurangi kotoran yang ada pada organ pencernaan lobster sebanyak mungkin serta mengurangi aktivitas metabolisme lobster selama transportasi (Suryaningrum et al. 2005). Waktu transportasi maksimal lobster air tawar yang dipasarkan untuk tujuan ekspor adalah 72 jam atau 3 hari (Suryaningrum et al. 2008).

2.5 Transportasi Hidup Sistem Kering

Transportasi hidup biota perairan yaitu memindahkan biota perairan dalam keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup (survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan. Metode transportasi hidup biota perairan secara umum ada dua jenis, yaitu menggunakan media air (sistem basah) dan tanpa media air (sistem kering). Transportasi hidup sistem basah umumnya digunakan untuk transportasi jarak dekat (lokal), sedangkan transportasi hidup sistem kering digunakan untuk transportasi jarak jauh dengan tujuan ekspor (Suryaningrum et al. 2005).

Transportasi hidup dengan media non air (sistem kering) menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi merupakan upaya untuk menekan metabolisme biota perairan sehingga dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang minimum (Junianto 2003). Hibernasi dapat dilakukan melalui teknik pembiusan (imotilisasi). Metabolisme biota perairan pada kondisi ini berada pada kondisi basal dan oksigen yang dikonsumsi sangat sedikit, hanya sekedar untuk mempertahankan kelangsungan hidup biota tersebut (Shigeno 1979 dalam

Andasuryani 2003). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi biota perairan hidup sistem kering antara lain suhu lingkungan, kadar oksigen dan

proses metabolisme (Andasuryani 2003), serta tingkat kepadatan dalam kemasan (Suryaningrum et al. 2008). Biota yang dikemas dengan kepadatan yang lebih

tinggi akan memiliki risiko kelulusan hidup yang lebih rendah (Ning 2009). Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan


(11)

metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006). Hubungan suhu dengan lama penyimpanan pada transportasi lobster hidup sistem kering ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hubungan lama penyimpanan dengan suhu penyimpanan Lama pengangkutan (jam) Suhu penyimpanan (oC)

12-15 15-20 20-80 30-50 50-90

16-14 14-12 12-10 10-6

6-4

(Sumber: Rahman dan Srikirishnadhas 1994)

2.6 Pembiusan (Imotilisasi)

Pembiusan (imotilisasi) merupakan proses yang dilakukan untuk menurunkan aktivitas, metabolisme dan respirasi biota perairan sebelum ditransportasikan. Kondisi imotil diperlukan agar proses metabolisme lobster berkurang sehingga aktivitas fisiologis, kebutuhan oksigen dan produksi CO2 lobster menjadi rendah (Nitibaskara et al. 2006).

Terdapat beberapa teknik imotilisasi biota perairan, yaitu dengan menggunakan suhu rendah atau zat anti metabolit (anestesi). Teknik imotilisasi menggunakan suhu rendah dapat dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap maupun secara langsung, sedangkan zat anti metabolit yang digunakan dapat bersifat alami atau sintetis (Suryaningrum et al. 2005).

Bahan anti-metabolit alami yang dapat digunakan untuk membius udang atau lobster antara lain ekstrak biji karet dan minyak cengkeh, sedangkan bahan anti-metabolit sintetis yang biasa digunakan dalam transportasi ikan hidup adalah MS-222 dan CO2.Pemakaian CO2 yang disarankan adalah dengan mencelupkan campuran gelembung CO2 dan O2 (1:1) dalam media air (Nitibaskara et al. 2006). Coyle et al. (2005) menambahkan bahwa bahan anti-metabolit yang paling cocok digunakan untuk membius udang galah adalah minyak cengkeh dengan dosis


(12)

100 mg/l, sedangkan MS-222 dengan dosis 25 mg/l dan 100 mg/l tidak efektif bila digunakan dalam proses imotilisasi udang galah. Namun dari berbagai cara imotilisasi tersebut, pembiusan menggunakan suhu rendah lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan zat anti-metabolit, karena lebih murah, mudah dan aman serta tidak meninggalkan residu kimia yang membahayakan konsumen (Junianto 2003; Suryaningrum et al. 2005; Nitibaskara et al. 2006).

Imotilisasi menggunakan suhu rendah secara bertahap dapat dilakukan dengan menurunkan suhu media air dari suhu normal (±27 oC) ke suhu pembiusan secara perlahan-lahan. Penurunan suhu dilakukan dengan kecepatan 5-10 oC/jam atau 0,4-0,8 oC/menit (Suryaningrum et al. 2005). Penurunan suhu secara bertahap ini dimaksudkan agar ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya sampai titik imotil yang diperlukan. Aktivitas ikan pada kondisi imotil diharapkan sudah cukup rendah bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk proses transportasi (Nitibaskara et al. 2006).

Hasil penelitian Suparno et al. (1994a) pada biota lobster hijau pasir (Panulirus homarus) menunjukkan bahwa imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap mampu mempertahankan kelangsungan hidup lobster di dalam media serbuk gergaji dingin (14-15 oC) selama 25 jam dengan tingkat kelulusan hidup 100% atau 35 jam dengan tingkat kelulusan hidup 66,5%. Hasil penelitian Handini (2008) menunjukkan bahwa teknik pembiusan melalui penurunan suhu secara bertahap hingga suhu pembiusan 15 oC pada udang galah menghasilkan kelulusan hidup lebih baik dibandingkan pembiusan secara langsung. Perbedaan kecepatan penurunan suhu pada proses pembiusan dapat menghasilkan kelulusan hidup yang berbeda selama proses transportasi (Salin et al. 2001).

2.7 Pengemasan

Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana dalam penyimpanan dan transportasi serta alat persaingan dalam pemasaran suatu produk (Hambali et al. 1990). Pengemasan juga berperan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan bahan yang dikemas serta mempermudah penyimpanan, pengangkutan dan distribusi hasil pertanian (Herodian etal. 2004).

Pengemasan lobster air laut yang biasa dilakukan adalah mengemas lobster dalam kotak stirofoam yang berisi media serbuk gergaji dingin kemudian kotak


(13)

pengemas disegel dengan lakban. Suhu media kemasan dipertahankan sama dengan suhu pembiusan menggunakan satu atau dua bongkahan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus plastik. Bongkahan es ini diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Jumlah es yang digunakan disesuaikan dengan ukuran kotak kemasan. Kemasan berukuran 50x50x50 cm3 menggunakan es seberat 0,5-1 kg; kemasan berukuran 40x60x40 cm3 dan 40x30x30 cm3 menggunakan es seberat 0,5 kg; sedangkan kemasan berukuran 30x30x40 cm3 menggunakan es seberat 0,3-0,5 kg (Setiabudi etal. 1995; Jailani 2000; Suryaningrum etal. 2005).

Jumlah es yang digunakan dalam media kemasan harus tepat. Apabila jumlah es yang ditambahkan terlalu banyak maka suhu dalam kemasan akan turun menjadi lebih rendah dari suhu pembiusan (Suryaningrum et al. 2007). Udang windu tambak (Penaeus monodon) tidak mampu hidup lama pada suhu di bawah suhu pembiusan (12 oC) karena pada suhu ini terjadi kerusakan sistem syaraf dan otak yang berakibat pada kelumpuhan dan kematian (Andasuryani 2003).

Pengemasan dalam transportasi lobster hidup untuk tujuan ekspor biasanya menggunakan kotak stirofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai kemasan sekunder. Kotak stirofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk mencegah penetrasi panas yang masuk ke dalam kemasan. Kotak karton yang digunakan sebaiknya memiliki dinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin. Tujuan penggunaan karton adalah untuk menekan goncangan yang terjadi selama pengangkutan dan memperbaiki penampilan dan estetika kemasan. Lapisan lilin dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak kardus karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan (Junianto 2003; Herodian etal. 2004).

Media pengemas udang dalam kemasan stirofoam yang dibantu dengan penggunaan es tidak mampu dipertahankan suhunya tetap stabil selama penyimpanan pada suhu kamar. Suhu kemasan yang digunakan akan terus mengalami peningkatan sehingga mempengaruhi kelulusan hidup udang (Herodian et al. 2004). Peningkatan suhu terjadi karena penetrasi udara luar yang lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk gergaji (Kumum 2006). Suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar yang terlalu tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu kemasan lebih cepat terjadi (Nitibaskara et al. 2006).


(14)

2.8 Media Pengisi Kemasan

Media pengisi kemasan adalah bahan yang ditempatkan di antara biota hidup dalam kemasan untuk menahan atau mencekal posisi biota tersebut (Herodian et al. 2004). Media pengisi yang digunakan dalam transportasi hidup sistem kering berfungsi untuk mencegah biota tidak mengalami pergeseran dalam kemasan, menjaga suhu lingkungan di dalam kemasan tetap rendah sehingga biota tetap dalam keadaan pingsan serta memberikan kelembaban dan lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidupnya selama transportasi (Prasetyo 1993; Wibowo dan Soekarto 1993; Junianto 2003).

Penggunaan media pengisi harus memperhatikan kestabilan suhu media kemasan. Suhu media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati suhu pembiusan (imotilisasi). Hal ini karena suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya biota perairan selama pengangkutan, sehingga ketahanan hidup biota dalam media bukan air dapat dijaga (Junianto 2003). Suryaningrum et al. (1994) menyatakan bahwa suhu akhir media pengisi kemasan yang ideal untuk transportasi sistem kering adalah tidak lebih dari 20 oC. Beberapa jenis media pengisi dapat digunakan dalam transportasi lobster hidup sistem kering, seperti serbuk gergaji, sekam padi, serutan kayu, kertas koran, karung goni, rumput laut jenis Gracilaria sp. dan spons busa (Prasetyo 1993; Ning 2009), akan tetapi dalam aplikasinya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.

Syarat media pengisi kemasan yang baik adalah memiliki sifat berongga, dapat mempertahankan posisi biota dalam kemasan, tidak mudah rusak atau menimbulkan bau serta memiliki nilai ekonomis yang rendah ditinjau dari harga bahan baku (Prasetyo 1993). Media pengisi yang baik juga harus memiliki daya serap air yang tinggi, mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu relatif lama dan kondisi media harus stabil (Suryaningrum et al. 2007).

Sampai saat ini, serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk gergaji mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam padi atau serutan kayu, memiliki tekstur yang baik dan seragam serta nilai ekonomisnya relatif rendah. Serbuk gergaji yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang


(15)

sedikit mengandung getah atau resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun, tidak berbau tajam dan bersih (Junianto 2003). Jenis kayu yang umum digunakan antara lain kayu mindi (Melia azedarach), jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) (Karnila dan Edison 2001).

Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994) menyatakan bahwa penggunaan serbuk gergaji sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan karung goni. Bahan tersebut didinginkan menggunakan freezer

terlebih dahulu sebelum digunakan. Suhu kemasan dijaga tetap rendah dengan menambahkan es batu pada bagian dasar kemasan. Pada lapisan dasar kemudian ditebarkan serbuk gergaji ±0,5 cm dan diatasnya ditempatkan lapisan jerami atau potongan karung goni.

Spons busa mempunyai prospek yang baik untuk digunakan sebagai media pengisi kemasan dalam transportasi lobster air tawar hidup sistem kering (Suryaningrum et al. 2007). Spons busa diketahui dapat menyerap air sebanyak empat belas kali berat spons itu sendiri (Hastarini et al. 2006). Penggunaan media pengisi spons pada penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 74% pada kemasan sebanyak satu lapis yang berisi 20 ekor udang selama 24 jam penyimpanan (Ning 2009). Media pengisi yang memiliki daya serap air tinggi mampu mempertahankan suhu dingin kemasan lebih lama (Prasetyo 1993).

Kestabilan suhu media kemasan dalam transportasi biota hidup sistem kering merupakan faktor yang harus dapat dipertahankan mendekati titik imotil. Suhu media di bawah suhu pembiusan akan menyebabkan lobster mengalami kejang (eklamsia) dan kematian, sedangkan suhu media kemasan di atas 21 oC akan mengakibatkan aktivitas lobster kembali normal sehingga memerlukan banyak oksigen untuk respirasi dan metabolismenya (Suryaningrum et al. 1999). Suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya lobster selama pengangkutan (Junianto 2003).


(16)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober hingga bulan Desember 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah lobster air tawar hidup (Cherax quadricarinatus) dengan size 15 ekor/kg yang berasal dari tempat budidaya lobster air tawar Johannes Fish Farm di desa Ciseeng, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Lobster yang dipilih memiliki anggota tubuh lengkap, tidak dalam keadaan moulting, bugar dan tidak sedang bertelur. Data ukuran morfometrik lobster air tawar yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian yaitu air, es batu, pakan lobster, plastik, karet, lakban, kertas koran, serbuk gergaji, mika plastik berukuran 20x12x4 cm3, spons busa serta bahan-bahan kimia untuk pengukuran kualitas air.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian berupa akuarium berukuran 50x30x30 cm3 untuk proses adaptasi/pemeliharaan, pemingsanan dan pembugaran lobster, aerator, filter, pipa paralon (shelter), serok, ember plastik serta alat untuk pengukuran kualitas air seperti DO-meter, pH meter, spektrofotometer, pipet, alat titrasi, erlenmeyer, gelas ukur dan gelas piala. Alat lain yang digunakan yaitu

stopwatch, termometer, freezer, penggaris, gunting, staples, timbangan digital dan kotak stirofoam berukuran 40x26x17 cm3.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian terdiri dari tiga tahapan yaitu persiapan penelitian, penelitian pendahuluan dan penelitian utama.


(17)

3.3.1 Persiapan penelitian

Persiapan penelitian yang dilakukan meliputi persiapan media air, media pengisi dan lobster yang akan digunakan pada penelitian pendahuluan dan utama. a) Media air

Media air yang terdiri dari air kolam budidaya lobster dan air dari laboratorium yang telah didiamkan selama dua hari diuji kualitas dan kelayakannya untuk media adaptasi dan pemeliharaan lobster. Tujuan pendiaman air selama dua hari adalah untuk mengendapkan kotoran. Air dari laboratorium diberi perlakuan penyaringan menggunakan karbon aktif terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengujian dilakukan secara fisika dan kimia meliputi parameter kualitas air yaitu suhu, oksigen terlarut (DO), karbondioksida (CO2), derajat keasaman (pH), alkalinitas, total amoniak nitrogen (TAN) dan nitrit (NO2-). Metode pengukuran kualitas media air tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4 Metode pengukuran kualitas media air

No Parameter Alat Cara Peneraan

1 2 3 4 5 6 7 Suhu DO CO2 pH Alkalinitas TAN NO2

-Termometer DO-meter Alat gelas pH-meter Alat gelas Spektrofotometer Spektrofotometer Pembacaan skala Pembacaan skala Titrasi Pembacaan skala Titrasi Pembacaan skala Pembacaan skala

Sumber: Boyd (1982)

b) Media serbuk gergaji

Salah satu media pengemas yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji. Serbuk gergaji yang digunakan dipilih dari jenis kayu jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) yang tidak menghasilkan racun, tidak berbau tajam dan bersih. Sebelum digunakan, serbuk gergaji disaring dan dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan bau/tar, kotoran serta bahan berbahaya yang mungkin ada pada kayu. Serbuk gergaji kemudian ditiriskan dan dijemur sampai kering. Proses penjemuran dan pencucian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Selanjutnya serbuk gergaji dilembabkan kembali dengan air sebanyak 50-75% dari berat serbuk gergaji hingga kadar air mencapai 50-60%. Sebelum digunakan


(18)

sebagai media pengisi, serbuk gergaji didinginkan sehingga suhunya berkisar sebesar 9-7 oC (suhu pembiusan) dalam lemari es.

c) Media spons busa

Spons busa yang akan digunakan sebagai media pengisi kemasan untuk transportasi lobster air tawar dipotong sesuai dengan ukuran kotak plastik mika, kemudian dicuci dan direndam dalam air dingin (9-7 oC) selama 30 menit (Hastarini et al. 2006). Spons busa digunakan sebagai alas kotak plastik mika dan lobster yang telah imotil dimasukkan ke dalam kotak plastik mika.

d) Lobster air tawar uji

Lobster air tawar uji yang berasal dari kolam budidaya dipindahkan ke dalam akuarium adaptasi. Lobster uji yang digunakan adalah lobster yang sehat, bugar, tidak cacat fisik, antena lengkap, tidak sedang dalam fase ganti kulit (moulting) dan lobster betina tidak sedang bertelur. Lobster terlebih dahulu diadaptasi selama 1-2 hari, selanjutnya diberi pakan selama pemeliharaan dalam akuarium dan diberi suplai oksigen melalui aerator. Lobster dipuasakan 24 jam sebelum dipingsankan.

3.3.2 Penelitian pendahuluan

a) Respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas lobster air tawar

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui pengaruh penurunan suhu rendah secara bertahap terhadap perubahan aktivitas lobster air tawar. Hasil penelitian ini akan digunakan untuk menentukan suhu pembiusan lobster air tawar. Imotilisasi dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap dari suhu air normal (suhu kamar) ke suhu imotil. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu ke dalam media lobster dengan perbandingan air dan es batu (2:3) secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai (Wijaya 2008). Setelah suhu imotilnya tercapai, lobster dibiarkan selama ±30 menit hingga aktivitas lobster diam (Ikasari et al. 2008). Pengamatan dilakukan terhadap respon lobster air tawar pada berbagai suhu selama proses pembiusan.

b) Penentuan suhu pembiusan lobster air tawar secara bertahap

Kisaran suhu pembiusan terbaik ditentukan berdasarkan aktivitas dan kondisi lobster saat pembiusan, pengemasan, pembongkaran dan penyadaran serta tingkat kelulusan hidup pada uji penyimpanan transportasi sistem kering


(19)

selama 12 jam. Suhu pembiusan terdiri atas 3 rentang suhu hasil pengamatan aktivitas lobster pada berbagai rentang suhu, yaitu 15-13 oC, 2-10 oC dan 9-7 oC. Suhu pembiusan terbaik hasil percobaan tahap ini akan digunakan pada penelitian utama. Diagram alir prosedur kerja penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir prosedur kerja penentuan suhu pembiusan terbaik

Lobster imotil

Pengemasan (Media serbuk gergaji)

Penyimpanan 12 jam

Pembongkaran

Pembugaran

Perhitungan survival rate (%)

Pengadaptasian Pemuasaan Penimbangan

Pemingsanan secara bertahap

Suhu pembiusan 15-13 oC Suhu pembiusan

12-10 oC Suhu pembiusan

9-7 oC

Waktu pembiusan 30 menit

Pengamatan aktivitas lobster Lobster Hidup


(20)

Lobster Hidup

Waktu pembiusan 30 menit

Pengemasan

Pembongkaran

Penimbangan

Pembugaran

Pemingsanan secara bertahap Penimbangan

Pemuasaan Pengadaptasian

Penghitungan survival rate

Suhu pembiusan terbaik

3.3.3 Penelitian utama

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengemasan pada uji transportasi sistem kering secara statis terhadap tingkat kelulusan hidup lobster air tawar. Pembiusan lobster air tawar menggunakan metode pembiusan secara bertahap dengan suhu imotil terbaik hasil dari penelitian pendahuluan. Diagram alir prosedur kerja penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir prosedur kerja uji penyimpanan

Serbuk gergaji Spons busa


(21)

Proses pembiusan pada rangkaian percobaan di atas dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Lobster ditempatkan pada bak pembiusan, kemudian suhu air diturunkan secara bertahap sampai tercapai suhu yang diinginkan. Imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap dilakukan dengan cara menurunkan suhu media air dari suhu air normal (suhu kamar) ke suhu imotilisasi terpilih hasil penelitian pendahuluan. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu yang dibungkus plastik ke dalam media lobster secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu imotil tercapai lobster dibiarkan selama ±30 menit hingga aktivitas lobster diam. Lobster dikatakan imotil bila diangkat diam, kaki jalan dan kaki renang diam dan mudah dikemas (Suryaningrum et al. 2007). Sebelumnya telah disiapkan serbuk gergaji dingin dan spons busa dengan suhu yang telah ditetapkan (suhu pembiusan) dan kotak stirofoamuntuk pengemasan lobster.

Lobster yang telah terbius (pingsan) masing-masing dimasukkan ke dalam kemasan yang telah diberi serbuk gergaji dingin dan spons busa serta ditutup dengan menggunakan lakban. Pengemasan lobster air tawar menggunakan serbuk gergaji dingin dilakukan dengan meletakkan es batu dalam plastik (±0,5 kg) yang ditutupi kertas koran dan disusun secara diagonal pada bagian dasar kotak stirofoam untuk mencegah rembesan air. Bagian atas kotak stirofoam ditaburi serbuk gergaji dengan ketebalan 5-10 cm agar kontak langsung antara es dan lobster dapat dihindari. Lobster yang telah imotil disusun dengan sistem curah (sejajar) di atas media dan di atasnya ditaburi serbuk gergaji hingga kemasan penuh. Setiap kotak stirofoam berisi 5 ekor lobster. Kemasan kemudian ditutup rapat dan direkatkan dengan lakban.

Pengemasan menggunakan media spons busa dilakukan dengan sistem baterai, yaitu memasukkan lobster ke dalam mika plastik dengan kepadatan 1 ekor/mika kemudian dimasukkan ke dalam kotak stirofoam. Bagian dasar kotak mika platik diberi alas berupa media spons busa untuk mempertahankan kelembaban selama transportasi. Lobster yang telah imotil dimasukkan ke dalam kotak mika plastik kemudian distaples. Mika plastik yang sudah diisi lobster kemudian dimasukkan ke dalam kotak stirofoam yang bagian dasarnya telah diberi es batu dalam plastik (±0,5 kg) yang ditutupi kertas koran dan disusun


(22)

secara diagonal pada bagian dasar kotak stirofoam untuk mencegah rembesan air. Setiap kotak stirofoam berisi 5 ekor lobster. Kotak stirofoam kemudian ditutup dan direkatkan dengan lakban. Setelah lobster dikemas, selanjutnya dilakukan uji penyimpanan.

Pengamatan pada setiap rangkaian percobaan di atas dilakukan terhadap aktivitas lobster selama proses pembiusan, pengemasan, pembongkaran dan pembugaran serta tingkat kelulusan hidup lobster air tawar setelah ditransportasikan. Selain itu diamati pula perubahan suhu media kemasan (serbuk gergaji dan spons busa) dan penyusutan bobot lobster selama transportasi. Pengukuran penyusutan bobot lobster dan perubahan suhu media kemasan dilakukan sebelum lobster diimotilisasi dan sesudah dilakukan uji penyimpanan.

Pembugaran lobster dilakukan dengan cara mengangin-anginkan lobster yang telah dikeluarkan dari kotak stirofoam selama 2-3 menit di dalam ember. Hal ini bertujuan agar gas amonia dan H2S menguap. Selanjutnya lobster baru dimasukkan ke dalam air tanpa aerasi, dengan ketinggian air tidak sampai merendam badan lobster selama 1 jam (Frose 1997). Kelulusan hidup lobster dihitung setelah lobster dibugarkan dalam air selama 1 jam, untuk melihat kemampuan lobster beradaptasi kembali dalam lingkungan yang sebenarnya (Suryaningrum et al. 2008). Setelah dibugarkan selama 1 jam, lobster dimasukkan ke dalam akuarium dengan ketinggian air 10-20 cm.

Tingkat kelulusan hidup lobster dihitung berdasarkan persentase lobster yang hidup setelah dilakukan pembugaran selama 1 jam. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup lobster air tawar adalah sebagai berikut:

SR = _Ut_ x 100% Uo

Keterangan:

SR = Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar (%) Uo = Jumlah lobster hidup yang dikemas


(23)

3.3.4 Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor media kemasan dengan taraf serbuk gergaji dan spons busa serta faktor lama penyimpanan dengan taraf 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Model matematika rancangan perobaan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Yijk = μ+αi+βj+(αβ)ij+εijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh ....kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari ....faktor β)

μ = nilai tengah populasi

αi = pengaruh perlakuan α (media pengisi) taraf ke-i

βj = pengaruh perlakuan β (lama penyimpanan) taraf ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi faktor α taraf ke-i dan faktor β taraf ke-j

εijk = galat dari satuan perbedaan ke-k dengan kombinasi perlakuan ij Apabila hasil analisis data menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Tukey (Multiple comparisons). Pengolahan data statistik dilakukan dengan menggunakan software


(24)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian meliputi persiapan media air, media pengisi dan biota uji. Persiapan penelitian dilakukan untuk menunjang penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

4.1.1 Kualitas air media pemeliharaan lobster air tawar

Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kondisi lobster air tawar. Air yang digunakan dalam proses adaptasi dan proses pemeliharaan berasal dari air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. Media air tersebut dianalisis kualitasnya dan dibandingkan dengan kualitas air kolam budidaya. Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan lobster air tawar Parameter Kolam budidaya Laboratorium Standar Satuan

Suhu 25 27 25-29* oC

pH 7,71 7,40 7-9* -

DO 6,91 6,31 ≥5* ppm

CO2 5,93 3,96 ≤10* ppm

Alkalinitas - 94 50-200* ppm

Amoniak - 0,05 ≤0,05* ppm

Nitrit <0,1 0,03 ≤0,1** ppm

Sumber: * = Lukito dan Prayugo (2007) ** = Coyle et al. (2005)

Hasil analisis kualitas media air pemeliharaan lobster air tawar secara umum menunjukkan kisaran yang tidak berbeda jauh dengan air kolam budidaya sebagai habitat awal lobster air tawar. Air laboratorium yang digunakan sebagai media pemeliharaan memiliki suhu 27 oC; pH 7,40; DO 6,31 ppm; CO2 3,96 ppm; alkalinitas 94 ppm; amoniak 0,05 ppm dan nitrit 0,03 ppm. Hasil analisis tersebut masih memenuhi persyaratan kualitas air untuk pemeliharaan lobster air tawar (Lukito dan Prayugo 2007) dan kegiatan budidaya air tawar secara umum (Boyd 1982). Hal ini menunjukkan bahwa media air yang digunakan selama penelitian tidak mempengaruhi kondisi lobster air tawar sebelum diberikan perlakuan pembiusan serta pada saat pembiusan dan pembugaran dilakukan.


(25)

4.2 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas lobster air tawar dan menentukan suhu pembiusan lobster air tawar secara bertahap. Hasil penelitian tahap ini akan digunakan pada penelitian utama.

4.2.1 Respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas lobster air tawar

Lobster air tawar dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum diimotilisasi. Pemuasaan dilakukan agar organ pencernaan lobster bebas dari kotoran. Proses pembiusan dilakukan dengan metode penurunan suhu secara bertahap hingga lobster mengalami kondisi pingsan (imotil). Respon aktivitas lobster air tawar selama proses pembiusan secara bertahap dengan suhu rendah ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Respon aktivitas lobster air tawar pada berbagai penurunan suhu Suhu

(oC)

Waktu

(menit) Aktivitas lobster air tawar Kriteria 26-22 0-4

Kondisi normal, kaki jalan dan kaki renang bergerak aktif, tubuh tegak dan lincah, sangat responsif.

Normal

21-19 4-6

Aktivitas lobster mulai berkurang, kaki jalan dan kaki renang bergerak perlahan, ekor mulai menekuk ke dalam, respon terhadap rangsangan kuat.

Adaptasi

18-16 6-10

Lobster cenderung diam, kaki jalan dan kaki renang diam, tubuh tegak, gerakan semakin lambat dan tenang, ketika disentuh respon masih ada.

Tenang

15-13 10-18

Lobster mulai limbung, gerakan dan respon terhadap rangsangan masih ada, kaki jalan diam, tubuh masih tegak.

Disorientasi

12-10 18-30

Lobster kehilangan keseimbangan, diam, ketika dibalik seluruh lobster tidak dapat tegak kembali, gerakan kaki renang dan kaki jalan lemah, respon lemah.

Imotil I

9-7 30-45

Lobster tergeletak, posisi tubuh roboh total dan terbalik, hampir tidak ada gerakan, kaki jalan dan kaki renang sangat lemah (kaku), ekor melipat ke arah abdomen, ketika diangkat tubuh lobster melayang, respon tidak ada.


(26)

Hasil pengamatan respon lobster air tawar terhadap penurunan suhu rendah menunjukkan perubahan pada aktivitas tingkah lakunya. Pada suhu awal pembiusan (±26 °C) atau suhu ruang, lobster berada dalam kondisi normal, tubuh tegak, sangat lincah dan responsif terhadap rangsangan serta kaki jalan dan kaki renang masih bergerak aktif. Pembiusan secara bertahap selama ±4 menit menyebabkan suhu media pembiusan semakin rendah hingga mencapai suhu 22 °C. Semua lobster yang diimotilisasi pada suhu ini terlihat masih berdiri kokoh namun aktivitasnya sudah mulai berkurang.

Aktivitas lobster ketika memasuki suhu 21 oC terlihat semakin lambat dan tenang, dimana kaki jalan dan kaki renang bergerak perlahan. Perubahan yang mencolok terlihat pada bagian ekor lobster (abdomen) yang mulai menekuk ke dalam. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian lobster mulai beradaptasi dan telah merespon kondisi perubahan suhu lingkungan yang semakin rendah. Kondisi ini terus berlangsung selama ±2 menit hingga suhu pembiusan mencapai 19 oC.

Lobster memasuki fase tenang pada suhu 18 oC, aktivitasnya cenderung diam dan gerakan tubuh semakin lambat pada lama pembiusan 6-10 menit dengan kisaran suhu 18-16 oC. Ketika diberikan rangsangan sentuhan lobster masih memberikan respon. Kaki jalan dan kaki renang terlihat diam akan tetapi seluruh lobster masih dalam kondisi tegak.

Lobster mulai kehilangan orientasi ditunjukkan oleh kondisi lobster yang mulai limbung ketika memasuki suhu 15 oC, sebagian besar lobster masih dapat tegak kembali ketika posisi tubuhnya dibalik. Respon terhadap rangsangan masih ada. Hal tersebut terus berlangsung pada kisaran suhu 15-13 oC. Gerakan dan respon terhadap rangsangan lobster mulai melemah ketika suhu pembiusan mulai mencapai 13 oC, meskipun seluruh lobster yang dibius belum menunjukkan tanda-tanda pingsan.

Lobster mulai memasuki fase imotil I pada kissaran suhu 12-10 oC. Hal ini ditunjukkan oleh hilangnya keseimbangan lobster serta lemahnya respon terhadap rangsangan sentuhan yang diberikan. Kaki jalan dan kaki renang lobster dalam keadaan lemah tetapi masih menunjukkan adanya gerakan. Ketika posisi tubuh dibalik seluruh lobster tidak dapat tegak kembali.


(27)

Lobster menunjukkan tanda-tanda pingsan ketika suhu media memasuki kisaran suhu 9-7 oC. Sebagian lobster telah roboh kemudian pingsan, gerakan kaki jalan dan kaki renang sangat lemah (kaku). Kisaran suhu 9-7 oC yang dipertahankan selama 30 menit mengakibatkan seluruh lobster telah pingsan. Lobster telah tergeletak di dasar media dalam keadaan roboh, kaki jalan dan kaki renang kaku dan ketika diangkat tubuh lobster melayang. Lobster yang telah pingsan tidak memberikan perlawanan ketika dikemas.

Nitibaskara et al. (2006) menyatakan bahwa fase imotil I pada krustasea ditunjukkan dengan kondisi kehilangan keseimbangan, kaki jalan dan kaki renang bergerak aktif dan respon lemah ketika diganggu. Fase imotil II ditunjukkan dengan kondisi yang tenang ketika diangkat dari dalam air atau memberikan perlawanan lemah, kaki jalan dan kaki renang bergerak lemah, kehilangan keseimbangan dan akhirnya roboh.

Penurunan suhu secara bertahap mengakibatkan gerakan lobster yang semula aktif pada suhu normal secara perlahan-lahan direduksi menjadi tenang seiring dengan penurunan suhu yang diberikan. Tidak tampak adanya fase panik pada lobster air tawar yang biasanya ditunjukkan dengan gerakan meloncat-loncat ke belakang secara tidak beraturan. Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh lobster hijau pasir (Panulirus homarus) yang diimotilisasi secara bertahap pada suhu 12 oC, yaitu adanya penurunan fase gerakan dari gerakan yang aktif (normal) menjadi lebih tenang tanpa adanya gerakan panik (Wibowo et al. 1994). Proses aklimatisasi dari metode penurunan suhu secara bertahap pada dasarnya juga dipengaruhi oleh bobot dan ukuran lobster air tawar yang digunakan. Semakin besar bobot dan ukuran lobster yang digunakan maka semakin besar nilai toleransi terhadap perubahan suhu.

Hasil pengamatan aktivitas lobster pada berbagai suhu di atas menunjukkan bahwa lobster yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap akan mengalami gangguan keseimbangan. Terganggunya keseimbangan pada lobter disebabkan oleh kurangnya oksigen dalam darah. Laju konsumsi oksigen pada hewan air akan menurun seiring dengan menurunnya suhu media (Berka 1986). Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan suplai


(28)

oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologi dan lobster menjadi tenang (Suryaningrum et al. 2008; Ikasari et al. 2008). Kekurangan oksigen yang lebih lanjut menyebabkan lobster menjadi pingsan dan akhirnya roboh. Hasil penelitian aktivitas lobster air tawar pada berbagai suhu juga menunjukkan kisaran suhu kritis bagi lobster air tawar, yaitu suhu 15-13 oC (disorientasi), 12-10 oC (imotil I) dan 9-7 oC (imotil II). Wibowo et al. (2005) menyatakan bahwa suhu kritis pembiusan lobster air tawar berkisar antara 17, 15 dan 12 oC.

Suhu kritis yang didapatkan pada penelitian ini terlihat memiliki kisaran yang lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Wibowo et al. (2005) dan Ikasari et al. (2008). Hal ini disebabkan adanya perbedaan ukuran lobster yang digunakan pada percobaan. Lobster yang digunakan pada penelitian ini memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan pada penelitian Wibowo et al. (2005) dan Ikasari et al. (2008), sehingga memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap perubahan suhu yang terjadi.

4.2.2 Penentuan suhu pembiusan terbaik

Penentuan suhu pembiusan terbaik untuk lobster air tawar dilakukan dengan cara mengetahui pengaruh suhu pembiusan yang menyebabkan fase kritis terhadap tingkat kelulusan hidup dan kondisi saat pembugaran. Suhu pembiusan tersebut adalah 15-13 oC (disorientasi), 12-10 oC (imotil I) dan 9-7 oC (imotil II).

Hasil pengamatan pada penentuan suhu pembiusan terbaik menunjukkan bahwa perlakuan suhu pembiusan menghasilkan kondisi yang berbeda terhadap lobster yang diimotilisasi. Pembiusan secara bertahap dengan suhu 15-13 oC selama 30 menit tidak menyebabkan lobster tenang dengan gerakan lamban dan posisi tubuh masih tegak. Keseimbangan lobster masih baik yang ditunjukkan dengan kemampuan lobster untuk kembali ke posisi semula ketika tubuh dibalik dapat tegak kembali. Ketika lobster diangkat lobster masih menyentak-nyentak dan bahkan capitnya masih bisa menggigit. Kondisi ini akan menghambat proses pengemasan lobster, karena agak sulit untuk ditangani ketika lobster dikemas.

Lobster yang dibius pada kisaran suhu 12-10 oC terlihat dalam keadaan limbung dan mulai kehilangan keseimbangan. Lobster masih bergerak lemah dan


(29)

hanya sedikit menunjukkan respon ketika diberikan rangsangan. Pada waktu dilakukan pengemasan, lobster masih meronta lemah.

Pembiusan pada suhu 9-7 oC menghasilkan kondisi lobster yang berbeda dibandingkan dengan lobster yang diimotilisasi pada suhu 15-13 oC. Ketika lobster dibius secara bertahap pada media air hingga suhu 9-7 oC menyebabkan sebagian lobster roboh. Lobster dalam keadaan diam ketika diangkat, kaki jalan dan kaki renangnya diam serta tidak ada respon terhadap rangsangan yang diberikan sehingga memudahkan penanganan lobster untuk dikemas. Hasil pengamatan kelulusan hidup dan kondisi lobster setelah uji penyimpanan 12 jam dalam kemasan kering ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil penelitian pendahuluan penentuan suhu pembiusan terbaik Suhu

Pembiusan

Kondisi lobster setelah penyimpanan

Posisi Kondisi Respon Waktu dian Survivalrate (%)

15-13 Berubah Sadar Ada Meronta 100

12-10 Berubah Sadar Lemah Meronta

Lemah 100

9-7 Tidak Pingsan Tidak ada Tidak

meronta 100

Kondisi lobster yang dibius dengan kisaran suhu 15-13 oC setelah uji penyimpanan selama 12 jam menunjukkan posisi lobster dalam kemasan telah berubah. Pembiusan dengan kisaran suhu ini menghasilkan nilai kelulusan hidup 100% setelah 12 jam penyimpanan, kondisi lobster yang dikemas telah sadar ketika kemasan dibongkar. Hal ini menandakan bahwa suhu pembiusan 15-13 oC masih belum cukup untuk menghasilkan kondisi imotil yang lama bagi lobster.

Kondisi lobster yang dibius dengan kisaran suhu 12-10 oC setelah uji penyimpanan selama 12 jam terlihat telah berubah posisinya ketika dilakukan pembongkaran. Lobster telah sadar dengan kondisi lemah, dan ketika diangkat hanya meronta lemah. Lobster kemudian dibugarkan dengan memasukkan ke dalam media air setinggi karapak selama satu jam. Sebagian lobster langsung bergerak secara perlahan, sedangkan sebagian lagi diam dalam kondisi lemah.


(30)

Setelah proses pembugaran selama 1 jam, terlihat bahwa seluruh lobster telah bugar sepenuhnya dengan kelulusan hidup sebesar 100%.

Kondisi lobster yang dibius dengan kisaran suhu 9-7 oC pada saat dilakukan pembongkaran terlihat berbeda dibandingkan dengan lobster yang dibius pada suhu 15-13 oC dan 12-10 oC. Pada waktu kemasan dibongkar, lobster masih dalam kondisi imotil dan posisinya tidak berubah. Ketika dimasukkan dalam air, lobster mulai bergerak dan berjalan. Aktivitas lobster normal kembali setelah berada di dalam air selama 1 jam.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa kisaran suhu pembiusan 9-7 oC lebih baik jika digunakan sebagai suhu pembiusan dibandingkan kisaran suhu 15-13 oC dan 12-10 oC karena menghasilkan kondisi imotil yang lebih lama selama uji penyimpanan. Pada suhu 9-7 ºC lobster telah pingsan dan dalam keadaan tenang ketika diangkat dari air sehingga mudah ditangani untuk dikemas, sedangkan pada suhu 15-13 ºC dan suhu 12-10 ºC lobster masih belum pingsan sepenuhnya. Suhu pembiusan lobster pada kisaran 15-13 oC dan 12-10 oC bila digunakan untuk transportasi sistem kering secara statis atau penyimpanan hidup dapat berisiko pada tingginya mortalitas, sehingga kisaran suhu 9-7 oC digunakan sebagai suhu pembiusan lobster air tawar dalam penelitian utama.

4.3 Penelitian Utama

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengemasan dengan serbuk gergaji dan spons busa pada uji transportasi sistem kering secara statis (uji penyimpanan) selama selang waktu tertentu terhadap tingkat kelulusan hidup lobster. Pembiusan lobster air tawar pada penelitian utama menggunakan metode pembiusan secara bertahap dengan suhu pembiusan 9-7 oC.

4.3.1 Kelulusan hidup lobster air tawar selama penyimpanan

Kelulusan hidup lobster ditentukan setelah lobster dibugarkan dalam air selama 1 jam untuk melihat kemampuan lobster beradaptasi kembali dalam media air setelah dilakukan penyimpanan (Suryaningrum et al. 2008). Uji penyimpanan lobster dengan menggunakan cara pengemasan yang berbeda (serbuk gergaji dan spons busa) pada penelitian ini menghasilkan mortalitas dan tingkat kebugaran


(31)

lobster yang berbeda pula. Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar pada uji penyimpanan sistem kering ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar

Media kemasan Kelulusan hidup lobster air tawar (%)

12 jam 24 jam 36 jam 48 jam 60 jam 72 jam

Serbuk gergaji 100 100 93,33 80 80 73,33

Spon busa 100 100 100 100 100 93,33

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lobster air tawar yang dikemas menggunakan media serbuk gergaji menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 100% hingga penyimpanan jam ke-24. Selanjutnya tingkat kelulusan hidup lobster turun menjadi 93,33% pada jam ke-36, 80% pada jam ke-48 dan jam ke-60. Pada akhir penyimpanan jam ke-72, tingkat kelulusan hidup lobster sebesar 73,33%.

Pengemasan lobster air tawar dengan menggunakan spons busa secara umum menghasilkan tingkat kelulusan hidup yang lebih tinggi dibandingkan pengemasan menggunakan media pengisi serbuk gergaji. Lobster yang dikemas pada media spons busa memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 100% hingga penyimpanan jam ke-60, dan pada akhir penyimpanan jam ke-72 sebesar 93,33%, lebih tinggi dibandingkan tingkat kelulusan hidup pada media serbuk gergaji yaitu sebesar 73,33%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelulusan hidup lobster air tawar menurun seiring bertambahnya lama penyimpanan. Penurunan nilai kelulusan hidup tersebut disebabkan karena sebagian lobster yang dibius telah tersadar pada saat disimpan sehingga aktivitas maupun metabolismenya meningkat. Aktivitas dan metabolisme lobster yang semakin tinggi menuntut ketersediaan oksigen yang tinggi pula, sedangkan ketersediaan oksigen dalam media kemasan sangat terbatas sehingga lobster dapat mengalami kekurangan oksigen yang berakibat pada kematian (Suryaningrum et al. 2005).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan cara pengemasan dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap kelulusan hidup lobster air tawar, akan tetapi interaksi kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji lanjut Tukey


(32)

Multiple Comparison untuk perlakuan cara pengemasan ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kelulusan hidup lobster air tawar dengan perlakuan cara pengemasan

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

....yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut Tukey untuk perlakuan cara pengemasan menunjukkan bahwa kelulusan hidup lobster hingga 72 jam penyimpanan pada media spons busa adalah sebesar 98,89±4,71%, lebih tinggi dibandingkan kelulusan hidup lobster pada media serbuk gergaji sebesar 87,78±13,96%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan spons busa sebagai media kemasan menghasilkan tingkat kelulusan hidup yang lebih baik dibandingkan serbuk gergaji.

Tingkat kelulusan hidup lobster yang dikemas menggunakan media pengisi spons busa lebih tinggi dibandingkan serbuk gergaji. Hal ini antara lain disebabkan oleh masih tingginya kelembaban media spons busa selama penyimpanan. Kelembaban yang masih tinggi pada spons busa selama penyimpanan mampu mempertahankan suasana basah pada karapas maupun insang lobster, sehingga ketika lobster tersadar dan konsumsi oksigen meningkat maka lobster masih dapat memperoleh oksigen melalui pertukaran gas secara difusi antara titik air yang menempel pada insang dan lingkungan sekitar (media pengisi). Media pengisi yang digunakan untuk transportasi krustasea hidup seperti lobster atau udang sebaiknya memiliki kelembaban 70-100% untuk mencegah

87,78±13,96a

98,89±4,71b

80 85 90 95 100

Serbuk Gergaji Spons Busa

K

e

lu

lu

san

H

id

u

p

(%

)


(33)

terjadinya dehidrasi dan mengurangi risiko mortalitas selama trasnportasi (Mohamed dan Devaraj 1997).

Hasil uji lanjut Tukey juga menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup lobster pada media serbuk gergaji, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada media spons. Hasil uji lanjut Tukey Multiple Comparison untuk perlakuan lama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kelulusan hidup lobster air tawar dengan perlakuan lama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

....yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar yang dikemas menggunakan serbuk gergaji pada penyimpanan jam ke-12 dan ke-24 tidak berbeda nyata dengan kelulusan hidup pada penyimpanan jam ke-36, 48 dan 60, akan tetapi berbeda nyata dengan kelulusan hidup pada penyimpanan jam ke-72. Perlakuan lama penyimpanan pada media spons busa terlihat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup losbter.

Kematian lobster yang disimpan dalam media serbuk gergaji diduga karena lobster tersebut dalam kondisi lemah atau telah sadar selama penyimpanan akibat meningkatnya suhu media. Lobster yang telah sadar membutuhkan oksigen lebih banyak karena aktivitasnya mulai meningkat sementara cadangan oksigen dalam tubuh terbatas sehingga lobster membutuhkan pasokan oksigen dari lingkungan

100a 100a

93,33ab

80ab 80ab

73,33b

100a 100a 100a 100a 100a

93,33a 0 20 40 60 80 100

12 24 36 48 60 72

K e lu lu san H id u p (% )

Lama Penyimpanan (Jam)

Chart Title

Serbuk Gergaji Spon Busa


(34)

sekitar (media pengisi). Namun pasokan oksigen dalam media pengisi serbuk gergaji terbatas sehingga menyebabkan lobster tersebut akan kekurangan oksigen dan akhirnya mati saat penyimpanan. Bentuk serbuk gergaji yang memiliki rongga udara kecil menyebabkan kemampuan memasok oksigennya tidak sebaik spons busa yang memiliki rongga udara lebih besar dibandingkan serbuk gergaji.

Bertahannya lobster hidup lebih lama dalam media kemasan spons juga karena spons memiliki kelembaban yang tinggi. Hasil pengukuran air yang terdapat dalam media spons cukup tinggi, karena spons dapat menyerap air hingga 14 kali dari berat spons sendiri. Spon busa memiliki nilai densitas kamba sebesar 0,35 kg/l serta memiliki tekstur yang berongga-rongga sehingga dapat menampung oksigen (Hastarini et al. 2006). Jenis media pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih besar akan memasok udara (O2) bebas lebih besar (Sufianto 2008).

Kondisi lobster air tawar sebelum diberi perlakuan juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan transportasi. Lobster air tawar yang ditransportasikan dalam keadaan tidak bugar, cacat fisik, bertelur maupun

moulting lebih rentan terhadap kematian ketika ditransportasikan. Fotedar dan Evans (2011) menyatakan bahwa tingginya mortalitas pada krustasea selama penyimpanan pasca penangkapan dan transportasi krustasea hidup kebanyakan merupakan hasil dari respon stres yang disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai, penanganan fisik ataupun hipoksia. Waktu transportasi yang semakin lama dapat menyebabkan rusaknya insang, yang menurut Morrissy et al. (2001) bersifat tidak reversible setelah ditransportasi dalam keadaan kering.

Jeffs (2003) menambahkan bahwa kelulusan hidup lobster juga dipengaruhi oleh ukuran lobster yang akan ditransportasikan. Lobster yang berukuran kecil memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lobster

yang berukuran besar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Romero dan Murillo (1997) serta (Morrissy et al. 2001) yang menyatakan bahwa transportasi

bibit lobster air tawar (±10 g) dengan menggunakan sistem basah selama 24 jam dan 48 jam menghasilkan kelulusan hidup sebesar 88,7% dan 72,7%.


(35)

4.3.2 Penyusutan bobot lobster air tawar selama penyimpanan

Penyusutan bobot lobster selama uji penyimpanan dihitung berdasarkan selisih bobot yang dibandingkan dengan bobot awal sebelum lobster disimpan. Penurunan bobot lobster yang ditransportasikan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Penyusutan bobot lobster selama penyimpanan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan semakin menurun pula bobot lobster yang ditransportasikan. Penurunan bobot lobster yang dikemas menggunakan media serbuk gergaji lebih rendah dibandingkan spons busa. Penurunan bobot lobster yang dikemas menggunakan media serbuk gergaji selama penyimpanan berkisar antara 3,59-11,50% dari berat awal lobster sebelum ditransportasikan, sedangkan penurunan bobot lobster yang dikemas menggunakan media spons busa selama penyimpanan berkisar antara 7,22-12,68%.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan cara pengemasan dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap penyusutan bobot lobster air tawar, akan tetapi interaksi kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji lanjut Tukey

Multiple Comparison untuk perlakuan cara pengemasan ditampilkan pada Gambar 8. 3,59 7,33 9,58 10,7 11,43 11,5 7,22 10,34 11,58

12,32 12,65 12,68

0 2 4 6 8 10 12 14

12 24 36 48 60 72

P e n y u su ta n Bo b o t (% )

Lama Penyimpanan (Jam)

Serbuk Gergaji Spon Busa


(36)

Gambar 8 Penyusutan bobot lobster dengan perlakuan cara pengemasan

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

... yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut Tukey untuk perlakuan cara pengemasan menunjukkan bahwa penyusutan bobot lobster pada media serbuk gergaji hingga 72 jam penyimpanan adalah sebesar 9,02±2,95%, lebih rendah dibandingkan penyusutan bobot lobster pada media spons busa sebesar 11,13±3,31%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan serbuk gergaji sebagai media kemasan menghasilkan penyusutan bobot yang lebih baik dibandingkan spons busa.

Lobster yang dikemas dengan menggunakan spons busa mengalami penyusutan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan lobster yang dikemas dengan media serbuk gergaji. Hal ini diduga karena lobster yang dikemas dengan serbuk gergaji terisi lebih padat (vulominous) saat dikemas, sehingga mengurangi aktivitas lobster selama transportasi. Kondisi ini menyebabkan lobster yang dikemas dengan serbuk gergaji mengalami penyusutan bobot yang lebih kecil dibandingkan dengan lobster yang dikemas dengan spons busa. Lobster yang dikemas dengan media serbuk gergaji juga lebih banyak yang mati, sehingga setelah lobster mati tidak terjadi penurunan berat lobster. Hasil penelitian Suryaningrum et al. (2008) menunjukkan bahwa lobster air tawar yang dikemas dengan kepadatan yang lebih tinggi mengalami penyusutan bobot yang lebih rendah dibanding lobster air tawar yang ditransportasikan dengan kepadatan

9,02±2,95a

11,13±3,31b

0 2 4 6 8 10 12

Serbuk Gergaji Spons Busa

P

e

n

yu

su

tan

B

o

b

o

t

(%

)


(37)

rendah. Hasil uji lanjut Tukey Multiple Comparison untuk perlakuan lama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Penyusutan bobot lobster dengan perlakuan lama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

....yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penyusutan bobot lobster air tawar pada media serbuk gergaji, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada media spons busa. Penyusutan bobot lobster dalam media serbuk gergaji pada penyimpanan jam ke-12 berbeda nyata dengan penyimpanan jam ke-24, 36, 48, 60 dan 72. Penyusutan bobot pada penyimpanan jam ke-48 berbeda nyata dengan penyimpanan jam ke-12 dan jam ke-24, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan penyimpanan jam ke-36, 60 dan 72.

Selama transportasi, lobster mengalami penyusutan berat. Semakin lama waktu transportasi maka semakin besar penyusutan bobot yang terjadi. Idealnya dalam pemasaran lobster, penurunan bobot tidak boleh melebihi dari 5%. Hal tersebut akan berdampak langsung terhadap menurunnya harga jual lobster air tawar. Hasil penelitian Morrissy et al. (2001) terhadap Cherax tenuimanus

menunjukkan bahwa bobot lobster setelah ditransportasikan selama 24 jam turun sebesar 3,9% dan setelah lebih dari 24 jam menjadi 4,3%.

3,59a

7,33b

9,58c

10,7cd 11,43

d 11,5d

7,22a

10,34a

11,58a 12,32

a 12,65a 12,68a

0 2 4 6 8 10 12 14

12 24 36 48 60 72

P e n yu su tan B o b o t (% )

Lama Penyimpanan (Jam)

Chart Title

Serbuk Gergaji Spon Busa


(38)

Lobster air tawar pada dasarnya sangat tahan pada lingkungan yang ekstrim. Lobster air tawar dapat bertahan tanpa diberi pakan selama beberapa hari, sehingga dapat ditransportasikan dalam waktu yang lama. Namun semakin lama waktu transportasi, risiko kematian lobster semakin tinggi dan penyusutan bobot yang terjadi semakin tinggi (Morrissy et al. 2001; Suryaningrum et al. 2007).

4.3.3 Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan

Suhu media kemasan mengalami perubahan sejak awal hingga akhir uji penyimpanan lobster air tawar. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi selama uji penyimpanan ditampilkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan

Suhu awal media pengisi yang digunakan adalah 9 oC. Media pengisi serbuk gergaji dan spons busa tersebut diusahakan memiliki suhu yang seragam untuk mendapatkan kelulusan hidup yang optimal selama penyimpanan lobster air tawar. Perubahan suhu media terus terjadi seiring bertambahnya waktu penyimpanan.

Hasil pengamatan perubahan suhu media kemasan menunjukkan bahwa suhu akhir untuk masing-masing lama penyimpanan, baik untuk media pengisi serbuk gergaji dan spons busa, memiliki nilai yang berbeda. Peningkatan suhu media kemasan spons busa secara umum terlihat lebih lambat dibandingkan media

9 11,33 16 19 23 24,33 26 9 12,67 15 17 20,33 22 23,67 0 5 10 15 20 25 30

0 12 24 36 48 60 72

S u h u ( OC)

Lama Penyimpanan (Jam)

Serbuk Gergaji Spons Busa


(39)

serbuk gergaji. Hal ini menunjukkan bahwa spons busa lebih mampu mempertahankan suhu kemasan agar tetap rendah. Spons busa diketahui memiliki daya serap air yang tinggi sehingga mampu mempertahankan suhu kemasan tetap rendah dan lembab (Hastarini et al. 2006).

Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi dapat mempertahankan suhu kemasan tetap stabil pada kisaran suhu 12 oC hingga 12 jam penyimpanan awal. Penyimpanan selama 12 jam terlihat bahwa media kemasan dengan bahan pengisi serbuk gergaji tidak mengalami perubahan suhu yang cukup berarti. Peningkatan suhu menjadi 16 oC terjadi ketika penyimpanan mencapai lama penyimpanan 24 jam dan mencapai 19 oC pada penyimpanan selama 36 jam. Suhu media serbuk gergaji mengalami peningkatan menjadi 23 oC dan 24,33 oC pada penyimpanan jam ke-48 dan 60. Suhu media serbuk gergaji pada penyimpanan jam ke-72 mencapai 26 oC.

Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi pada penyimpanan lobster

terbukti dapat mempertahankan suhu kemasan tetap rendah (≤21 oC) hingga 36 jam penyimpanan. Serbuk gergaji terus mengalami peningkatan suhu seiring semakin lamanya durasi penyimpanan. Hal ini terjadi akibat menurunnya kemampuan es sebagai media pendingin dan adanya penetrasi panas dari suhu lingkungan (Junianto 2003). Suhu media serbuk gergaji dapat dipertahankan rendah oleh beberapa faktor, yaitu penambahan es dan penggunaan stirofoam sebagai wadah pengemas.

Spons busa yang digunakan sebagai media pengisi kemasan terlihat mengalami peningkatan suhu yang lebih lambat dibandingkan serbuk gergaji. Spons busa mengalami peningkatan suhu seiring lamanya waktu penyimpanan. Suhu spons busa berturut-turut meningkat menjadi 12,67 oC; 15 oC; 19 oC; 20 oC; 22 oC dan 23,67 oC pada penyimpanan jam ke-12, 24, 36, 48, 60 dan 72. Suhu media spons busa pada akhir penyimpanan jam ke-72 hampir mencapai 24 oC, lebih rendah dibandingkan suhu media serbuk gergaji. Spon busa terlihat dapat mempertahankan suhu media tetap rendah (≤21oC) hingga 48 jam penyimpanan. Pengamatan secara visual terhadap bahan pengisi menunjukkan bahwa media spons busa tidak menunjukkan perubahan yang berarti saat kemasan dibongkar,


(40)

kelembaban masih terjaga dengan baik sehingga masih memungkinkan untuk memperpanjang waktu transportasi.

Media spons busa dapat dimanfaatkan sebagai media pengisi kemasan pada transportasi lobster air tawar hidup sistem kering karena memiliki daya serap air yang tinggi, mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang relatif lama serta kondisinya stabil. Daya serap air yang tinggi pada media spons busa menyebabkannya lebih mampu mempertahankan kelembaban dan suhu lingkungan agar tetap rendah dibandingkan serbuk gergaji. Semakin tinggi daya serap air, semakin tinggi pula nilai kapasitas dingin dari bahan pengisi sehingga suhu lingkungan dapat dipertahankan lebih lama (Hastarini et al. 2006). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa spons busa terbukti merupakan media yang praktis, ekonomis, stabil dan memiliki daya serap air yang tinggi sehingga dapat mempertahankan kelembaban media kemasan dengan sangat baik.

Suhu kemasan yang optimum untuk transportasi lobster air tawar sebaiknya berkisar antara 15-21 oC (Suryaningrum et al. 1999). Lobster dalam kondisi tenang pada suhu ini, sehingga aktivitas lobster tidak banyak bergerak. Suhu kritis yang tidak dapat ditoleransi dalam transportasi hidup yaitu di atas 30 oC, karena pada suhu ini metabolisme lobster yang ditransportasikan dipastikan akan meningkat pesat (Meade et al. 2002). Suhu media kemasan yang digunakan juga tidak boleh terlalu dingin atau kurang dari suhu pembiusan. Lobster yang dikemas pada suhu yang terlalu dingin dan dalam jangka waktu yang lama selama proses transportasi akan mengalami eklamsia (kejang syaraf) yang dapat menyebabkan kematian (Suryaningrum et al. 2007).

Perubahan suhu yang kecil menyebabkan lobster tetap tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasi berkurang sehingga diharapkan daya tahannya cukup tinggi di luar habitatnya. Rendahnya metabolisme lobster akan menghasilkan kebutuhan energi untuk aktivitas yang juga rendah. Hal ini berarti bahwa perombakan Adenosin Triphosphat (ATP) menjadi Adenosin Diphosphat (ADP), Adenosin Monophosphat (AMP) dan Inosin Monophosphat untuk menghasilkan energi sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan unuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah. Kadar oksigen


(1)

Lampiran 5 Hasil analisis ragam statistik percobaan

a) Hasil analisis ragam tingkat kelulusan hidup lobster air tawar

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:KelulusanHidup

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 3200.000a 11 290.909 4.364 .001 Intercept 313600.000 1 313600.000 4704.000 .000 MediaKemasan *

LamaPenyimpanan

755.556 5 151.111 2.267 .080

MediaKemasan 1111.111 1 1111.111 16.667 .000

LamaPenyimpanan 1333.333 5 266.667 4.000 .009

Error 1600.000 24 66.667

Total 318400.000 36

Corrected Total 4800.000 35 a. R Squared = .667 (Adjusted R Squared = .514)

b) Homogenous Subsets

KelulusanHidup

Tukey HSDa,b

LamaPenyimpanan N

Subset

1 2

72 jam 6 83.33

48 jam 6 90.00 90.00

60 jam 6 90.00 90.00

36 jam 6 96.67 96.67

12 jam 6 100.00

24 jam 6 100.00


(2)

c) Hasil analisis ragam kelulusan hidup lobster pada media serbuk gergaji

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:KelulusanHidup

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig. Corrected Model 1977.778a 5 395.556 3.560 .033 Intercept 138688.889 1 138688.889 1248.200 .000 LamaPenyimpanan 1977.778 5 395.556 3.560 .033

Error 1333.333 12 111.111

Total 142000.000 18

Corrected Total 3311.111 17

d) Homogenoues Subsets

KelulusanHidup

Tukey HSD a,b

LamaPenyimpanan N

Subset

1 2

72 jam 3 73.33

48 jam 3 80.00 80.00

60 jam 3 80.00 80.00

36 jam 3 93.33 93.33

12 jam 3 100.00

24 jam 3 100.00

Sig. .052 .055

e) Hasil analisis ragam kelulusan hidup lobster pada media spons busa

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:KelulusanHidup

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 111.111a 5 22.222 1.000 .458 Intercept 176022.222 1 176022.222 7921.000 .000 LamaPenyimpanan 111.111 5 22.222 1.000 .458

Error 266.667 12 22.222

Total 176400.000 18

Corrected Total 377.778 17 a. R Squared = .294 (Adjusted R Squared = .000)


(3)

f) Hasil analisis ragam penyusutan bobot lobster air tawar

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:PenyusutanBobot

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 249.315a 11 22.665 4.367 .001

Intercept 3655.210 1 3655.210 704.237 .000

MediaKemasan * LamaPenyimpanan

7.531 5 1.506 .290 .914

MediaKemasan 40.048 1 40.048 7.716 .010

LamaPenyimpanan 201.736 5 40.347 7.774 .000

Error 124.567 24 5.190

Total 4029.092 36

Corrected Total 373.882 35 a. R Squared = .667 (Adjusted R Squared = .514)

g) Homogenoues Subsets

PenyusutanBobot

Tukey HSDa,b

LamaPenyimpanan N

Subset

1 2

12 jam 6 5.4017

24 jam 6 8.8333 8.8333

36 jam 6 10.5833

48 jam 6 11.5083

60 jam 6 12.0417

72 jam 6 12.0900


(4)

h) Hasil analisis ragam penyusutan bobot lobster pada media serbuk gergaji

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:PenyusutanBobot

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 142.426a 5 28.485 66.852 .000 Intercept 1465.028 1 1465.028 3438.272 .000 LamaPenyimpanan 142.426 5 28.485 66.852 .000

Error 5.113 12 .426

Total 1612.568 18

Corrected Total 147.539 17 a. R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .951)

i). Homogenoues Subsets

PenyusutanBobot

Tukey HSDa,b

LamaPenyimpanan N

Subset

1 2 3 4

12 jam 3 3.5867

24 jam 3 7.3300

36 jam 3 9.5833

48 jam 3 10.7000 10.7000

60 jam 3 11.4300

72 jam 3 11.5000

Sig. 1.000 1.000 .350 .670

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .426. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.

j) Hasil analisis ragam penyusutan bobot lobster pada media spon busa

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:PenyusutanBobot

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 66.841a 5 13.368 1.343 .312

Intercept 2230.229 1 2230.229 224.042 .000

LamaPenyimpanan 66.841 5 13.368 1.343 .312

Error 119.454 12 9.955

Total 2416.525 18

Corrected Total 186.295 17 a. R Squared = .359 (Adjusted R Squared = .092)


(5)

Lampiran 6 Dokumentasi penelitian

Pemeliharaan/adaptasi lobster Pembiusan secara bertahap ... dengan cara penambahan es

Pengemasan (serbuk gergaji) Pengemasan (spons busa)

Kotak stirofoam uji Pembongkaran lobster


(6)

RINGKASAN

GUSTI ADI NIRWANSYAH. C34070028. Pembiusan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Suhu Rendah secara Bertahap dan Cara Pengemasannya pada Transportasi Hidup Sistem Kering. Dibimbing oleh DADI R. SUKARSA dan DJOKO POERNOMO.

Permintaan komoditas ikan hidup terutama untuk ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar internasional semakin meningkat pesat. Salah satu jenis komoditas hasil perikanan hidup dari perairan tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dipasarkan dalam keadaan hidup adalah lobster air tawar. Lobster air tawar dikondisikan dalam keadaan metabolisme rendah dengan proses imotilisasi sebelum ditransportasikan. Kelulusan hidup (survival rate) lobster diharapkan tetap tinggi setelah sampai ke tempat tujuan sehingga kualitasnya tetap terjaga dan harga jualnya tetap tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembiusan secara bertahap dan cara pengemasan terhadap kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dalam transportasi hidup sistem kering secara statis.

Penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan penelitian, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Persiapan penelitian meliputi persiapan media air, media pengisi serbuk gergaji dan spons busa serta lobster air tawar uji. Penelitian pendahuluan meliputi respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas lobster air tawar dan penentuan suhu pembiusan terbaik. Penelitian utama meliputi pembiusan lobster dengan penurunan suhu rendah secara bertahap dan uji penyimpanan selama selang waktu tertentu. Analisis statistik data menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor cara pengemasan dengan taraf serbuk gergaji dan spons busa serta faktor lama penyimpanan dengan taraf 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam sebanyak 3 kali ulangan. Media air yang digunakan dalam penelitian memiliki kualitas yang hampir sama dengan habitat asal lobster sehingga layak digunakan untuk proses adaptasi/pemeliharaan, pemingsanan dan pembugaran lobster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pembiusan terbaik secara bertahap untuk lobster air tawar berkisar antara 9-7 oC. Penggunaan media spons busa pada uji penyimpanan lobster air tawar hidup sistem kering terbukti lebih baik jika dibandingkan dengan media serbuk gergaji. Media spons busa terbukti lebih dapat mempertahankan suhu dan kelembaban kemasan dibandingkan media serbuk gergaji.

Lobster air tawar yang disimpan dalam media spons busa menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 93,33% hingga 72 jam penyimpanan, sedangkan pada media pengisi serbuk gergaji hanya sebesar 73,33%. Penyusutan bobot lobster air tawar yang dikemas menggunakan media serbuk gergaji lebih kecil dibandingkan penyusutan bobot lobster pada media spons busa. Penurunan bobot lobster yang dikemas dengan media serbuk gergaji berkisar antara 3,59-11,50% dari berat awal, sedangkan pada media spons busa berkisar antara 7,22-12,68%.