Potensi Antimikroba Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasi pada Bakso Daging

(1)

POTENSI ANTIMIKROBA KAYU SIWAK (Salvadora persica

Wall.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas

aeruginosa SERTA APLIKASI PADA BAKSO DAGING

SKRIPSI

ANDHI FAIZAL RAMADHANI

F24080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF SIWAK STEM EXTRACT

TO Staphylococcus aureus AND Pseudomonas aeruginosa AND

THE APPLICATION IN MEATBALLS

Andhi F. Ramadhani, Joko Hermanianto, Harsi D. Kusumaningrum

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University PO Box 220, Dramaga, Bogor, West Java, Indonesia

Phone : +62 8122688673, email : andhifaizal.itp45@gmail.com

ABSTRACT

Preservation of processed meat products have been carried out with the aim of extending the shelf life. Preserving is one important factor considering the risks that may be posed and one of them is the use of hazardous chemicals as preservatives. One of food product which is vulnerable given the addition of formalin was the meatball. Siwak has been known to have antimicrobial activity but its application for foods has not been widely explored. The study consist of four phases, extraction of siwak well diffusion test, dillution broth to determine MIC, and applications in meatballs. Well diffusion test showed that siwak’s extract has antimicrobial activities against Staphylococcus aureus bacteria and Pseudomonas aeruginosa bacteria which have inhibition zones of 21.10 mm and 20.11 mm respectively. Dillution broth test showed that the minimum concentration which is can inhibit bacterial growth was 50% (v/v) of siwak’s aqueous extract. Application in meatballs showed that siwak extract can hold down bacterial growth up to 98,17% in Staphylococcus aureus bactery.


(3)

ANDHI F. RAMADHANI. F24080126. AKTIVITAS ANTIMIKROBA KAYU SIWAK (Salvadora persica Wall.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa

SERTA APLIKASI PADA PRODUK BAKSO DAGING. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Harsi D Kusumaningrum. 2013.

RINGKASAN

Pengawetan produk olahan daging telah banyak dilakukan dengan tujuan memperpanjang masa simpan. Bahan pengawet yang ditambahkan atau produk pangan yang dihasilkan belum tentu aman dikonsumsi manusia karena biasanya bahan pengawet yang ditambahkan merupakan bahan kimia. Salah satu bahan kimia yang sering digunakan dalam pengawetan bakso adalah formalin. Formalin merupakan bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh karena bersifat karsinogenik. Oleh karena itu, perlu adanya bahan pengawet alami yang dapat menggantikan formalin karena masyarakat sudah mulai peduli tentang keamanan pangan. Kayu siwak (Salvadora persica Wall.) merupakan kayu yang telah dikenal sejak zaman dahulu terutama oleh bangsa Arab kuno yang hingga sekarang masih menggunakannya. Banyak studi yang menyatakan bahwa kayu siwak memiliki sifat aktivitas antimikroba, namun belum ada penelitian yang membuktikan aktivitas antimikroba kayu siwak pada bahan pangan.Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba ekstrak air kayu siwak terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus dan bakteri pembusuk pangan Pseudomonas aeruginosa serta aplikasinya pada bakso. Penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu (1) ekstraksi kayu siwak menggunakan metode maserasi pada suhu 4oC, (2) uji aktivitas antimikroba menggunakan metode difusi sumur agar, (3) penentuan nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC), dan (4) aplikasi pada produk bakso daging. Hasil ekstrak yang diperoleh berupa suspensi dalam air setelah dilakukan pemekatan pada

rotary evaporator dengan suhu 45oC. Diameter penghambatan yang dihasilkan oleh ekstrak air kayu siwak pada bakteri patogen Staphylococcus aureus sebesar 21,10±1,80 mm, sedangkan diameter penghambatan yang dihasilkan pada bakteri pembusuk pangan Pseudomonas aeruginosa

sebesar 20.11±1.76 mm. Nilai MIC yang diperoleh pada uji dilution broth sebesar 50% (v/v) terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Konsentrasi siwak pada uji aplikasi pada bakso daging sebesar 10% (b/v) dengan dua perlakuan yaitu perlakuan cemaran dan tanpa cemaran bakteri

Staphylococcus aureus selama 1 menit. Berdasarkan hasil total Staphylococcus aureus pada bakso daging, diketahui bahwa kayu siwak memiliki sifat bakteriostatik yaitu mampu menghambat dan menekan pertumbuhan bakteri selama 6 jam penyimpanan pada suhu ruang.


(4)

POTENSI ANTIMIKROBA KAYU SIWAK (Salvadora persica

Wall.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas

aeruginosa SERTA APLIKASI PADA BAKSO DAGING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ANDHI FAIZAL RAMADHANI

F24080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(5)

Judul Skripsi : Potensi Antimikroba Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasi pada Bakso Daging

Nama : Andhi Faizal Ramadhani NRP : F24080126

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Joko Hermanianto) (Dr.Ir. Harsi D Kusumaningrum, M.Si) NIP 19590528 198503.1.001 NIP 19640502 199303.2.004

Mengetahui:

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc.)


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul: Potensi Antimikroba Kayu Siwak (Salvadora persica wall) terhadap Staphylococcus aureus dan

Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasi pada Produk Bakso Daging adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor,

Yang membuat pernyataan

Andhi Faizal Ramadhani F24080126


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tuis dalam bentuk apa


(8)

BIODATA PENULIS

Andhi Faizal Ramadhani dilahirkan di Pati pada tanggal 29 Maret 1990 sebagai anak kedua dari Bapak Ahmad Mubaidi dan Ibu Endang Legiarti. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Surakarta. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa di IPB melalui jalur SNMPTN. Penulis memilih Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan sebagai staf BEM FATETA, staf DPM FATETA, dan staf MPM KM IPB dan berbagai kegiatan kepanitiaan. Penulis juga pernah menjadi finalis di beberapa lomba tingkat nasional dan internasional seperti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXIV di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada tahun 2011, IPB Business Competition tahun 2011, presentator pada Seminar Kesehatan Nasional IPB tahun 2012, peserta seminar pangan halal di Halal International Expo Malaysia tahun 2011, dan pemakalah dan poster presentator di International Conference on Biomedical Science ITB.


(9)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis panjatkan pada Allah swt atas terselesaikannya skripsi yang berjudul

“Potensi Antimikroba Kayu Siwak (Salvadora persica Wall) terhadap Staphylococcus aureus dan

Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasi pada Produk Bakso Daging” dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB sejak bulan Februari 2012 hingga Desember 2012. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Abah dan Ibu yang senantiasa memberikan doa dan dukungan

2. Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr.Ir. Harsi D Kusumaningrum, M.Si yang telah memberikan arahan pada penulis selama penyelesaian tugas akhir

3. Dr. Ir. Sukarno selaku dosen penguji yang telah memberi saran untuk perbaikan penulisan 4. Teknisi laboratorium ITP yaitu pak Taufik, pak Rojak, pak Edi, pak Sob, mbak Ari, mbak

Vera, teh Nurul yang telah memberikan bantuan selama penelitian 5. Karyawan Perpustakaan IPB dan IPTP atas keramahan dan bantuannya

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penelitian selanjutnya.

Bogor,


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

RINGKASAN ...iii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

C. Key Performance Indicator (KPI) ... 2

D. MANFAAT ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. SIWAK (Salvadora persica Wall.) ... 3

A.1 Botani dan Klasifikasi ... 3

A.2 Manfaat dan Kandungan Kimia Siwak ... 4

B. BAKSO ... 5

C. Staphylococcus aureus ... 7

D. Pseudomonas aeruginosa ... 8

E. REMPAH ... 8

F. SENYAWA ANTIMIKROBA ... 9

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 11

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 11

B. BAHAN DAN ALAT ... 11

C. METODE PENELITIAN ... 11

C.1 Persiapan serbuk kayu siwak ... 12

C.2 Ekstraksi kayu siwak ... 12

C. 3 Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur ... 12

C.4 Penentuan Minimum inhibitory concentration (MIC) ... 13

C.5 Pembuatan bakso daging ... 14

C.6 Pengamatan visual pada bakso daging ... 15

C.7 Pengamatan Total Staphylococcus aureus pada Bakso Daging ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17


(11)

B. DIAMETER ZONA HAMBAT ... 18

C. NILAI MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC) ... 20

D. HASIL PENGAMATAN VISUAL SELAMA PENYIMPANAN ... 22

E. TOTAL Staphylococcus aureus ... 24

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 29

A. SIMPULAN ... 29

B. SARAN ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Syarat mutu objektif dari bakso daging sapi ...6

Tabel 2. Parameter mutu organoleptik bakso daging ...6

Tabel 3. Diameter zona hambat ekstrak kayu siwak terhadap bakteri uji ...18


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pohon siwak dan batang kayu siwak ...3

Gambar 2. Pohon kayu siwak ...3

Gambar 3. Bentuk batang, daun, bunga, dan buah Staphylococcus persica ...4

Gambar 4. Diagram alir pembuatan bakso daging ...7

Gambar 5. Bakteri Staphylococcus aureus ...7

Gambar 6. Bakteri Pseudomonas aeruginosa ...8

Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian ...11

Gambar 8. Proses pengecilan ukuran kayu siwak ...12

Gambar 9. Metode difusi sumur ekstrak kayu siwak ...13

Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan bakso daging ...15

Gambar 11. Diameter zona penghambatan ekstrak kayu siwak ...17

Gambar 12.Nilai reduksi Staphylococcus aureus oleh ektrak kayu siwak...19

Gambar 13. Penampakan produk bakso dengan penambahan siwak ...21

Gambar 14. Bakso kontrol dan bakso dengan penambahan siwak 10 % (b/b) ...24

Gambar 15. Grafik log total Staphylococcus aureus ...26


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Diameter zona penghambatan difusi sumur ...32

Lampiran 2. Cara mengukur diameter zona bening difusi sumur ...33

Lampiran 3. Hasil uji statistik difusi sumur ...34

Lampiran 4. Hasil Minimun Inhibitory Concentration (MIC) ...37


(15)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Daging sapi merupakan produk hewani yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat setelah daging ayam. Konsumsi daging sapi di Indonesia sendiri mencapai 1.83 kg/kapita/tahun. Daging sapi mudah rusak dan merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba karena tingginya kandungan air dan gizi seperti lemak dan protein. Kerusakan daging dapat disebabkan oleh perubahan dalam daging itu sendiri (faktor internal) maupun karena faktor lingkungan (eksternal). Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan menjadi berlendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak serta menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah E. coli,

Salmonella, dan Staphylococcus sp. Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis.

Salah satu produk pangan hasil olahan daging yang digemari masyarakat Indonesia adalah bakso. Konsumsi bakso yang kian meningkat dan menjadi populer dibuktikan dengan kemudahan ditemuinya bakso di pasar tradisional, di supermarket maupun pedagang keliling. Bakso menjadi makanan favorit di berbagai kalangan masyarakat namun pengetahuan tentang bakso yang baik dan aman masih kurang. Bakso yang mengalami penyimpanan akan mengalami penurunan mutu dan kualitas. Hal tersebut disebabkan karena bakso memiliki kadar protein dan kadar air yang tinggi serta pH netral sehingga bakso sangat rentan terkontaminasi oleh mikroba.

Kontaminasi mikroba juga menyebabkan bakso cepat rusak, kerusakan ini disebabkan antara lain oleh Salmonella sp. dan Staphylococcus aureus sehingga dapat menyebabkan intoksikasi (Siriken et al, 2009). Colak (2008) menambahkan E.coli, Pseudomonas sp., bakteri psikrofilik, bakteri asam laktat, bakteri koliform, beserta kapang dan khamir juga dapat menjadi kontaminan. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan syarat mutu bakso daging melalui SNI 01-3820-1995, cemaran Salmonella pada bakso daging harus negatif, Clostridium perfringens

negatif, dan Staphylococcus aureus maksimal 102 koloni/gram.

Beberapa abad yang lalu, di Timur Tengah, Afrika dan beberapa negara Asia, pada umumnya kaum muslim telahmenggunakan bagian tanaman yang disebut siwak. Umumnya diambil dari pohon arak (Salvadora persica) untuk membersihkan mulut. Siwak sangat mudah digunakan, dapat menyikat dengan baik, memberi busa pada mulut, meningkatkan air liur dan ramah lingkungan. Siwak mengandung kurang lebih dari 19 zat yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan mulut. Kandungan siwak antara lain bahan antiseptik, asam tanat yang bersifat astringensia dan minyak atsiri. Menurut World Health Organization Report Series (826), siwak dapat menghilangkan plak tanpa menyebabkan luka pada gigi.

Saat ini belum terdapat studi yang mengaplikasikan kayu siwak sebagai bahan untuk mengawetkan bahan pangan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menguji potensi


(16)

aktivitas antimikroba kayu siwak ketika diaplikasikan pada bakso. Pada penelitian yang dilakukan digunakan bakteri uji yang umumnya menyebabkan kerusakan pada bakso daging sehingga daya hambat ekstrak juga dapat dipelajari.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1.Mempelajari aktivitas antimikroba kayu siwak dalam menghambat bakteri patogen

Staphylococcus aureus pada bakso sesuai dengan SNI 01-3818-1995.

2.Mendapatkan Minimum Inhibition Concentration (MIC) ekstrak kayu siwak sebagai antimikroba alami.

3.Mendapatkan data perbedaan ketahanan berbagai jenis mikroba pangan terhadap ekstrak komponen aktif kayu siwak.

C.

Key Performance Indicator

(KPI)

1. Dihasilkan data zona penghambatan ekstrak kayu siwak ≥ 10 mm pada bakteri uji

Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.

2. Dihasilkan antimikroba alami dari kayu siwak yang mampu memperpanjang umur simpan bakso daging selama dua hari.

D. MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1.Mengetahui potensi ekstrak kayu siwak sebagai pengawet alami bahan pangan.

2.Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi alternatif bahan pengawet pangan yang memiliki aktivitas antimikroba serta aman untuk dikonsumsi.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SIWAK (

Salvadora persica Wall.

)

A.1 Botani dan Klasifikasi

Siwak atau Miswak, merupakan bagian dari batang, akar atau ranting tumbuhan Salvadora persica yang kebanyakan tumbuh di daerah Timur Tengah, Asia dan Afrika. Siwak berbentuk batang yang diambil dari tanaman arak (Salvadora persica) yang berdiameter mulai dari 0.1 cm sampai 5 cm. Pohon arak adalah pohon yang kecil seperti belukar dengan batang yang bercabang-cabang, berdiameter lebih dari 30 cm. Jika kulitnya dikelupas, kulitnya berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih. Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas (Al-Khateeb et al., 1991).

Tanaman siwak (Salvadora persica) menurut Tjitrosoepomo (1998) temasuk ke dalam divisi Embryophyta, sub divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledon, sub kelas Eudicotiledon, ordo Brassicales, famili Salvadoraceae, genus Salvadora, spesies Salvadora persica Wall.

Gambar 1. Pohon siwak dan batang kayu siwak (Salvadora persica)

Menurut Sher et al. (2010), Salvadorapersica adalah tumbuhan halofit yang selalu berdaun hijau dan dapat hidup di lingkungan yang ekstrim, mulai dari lingkungan yang sangat kering sampai dengan lingkungan yang berkadar garam tanah sangat tinggi. Tumbuhan ini berupa semak belukardengan tinggi maksimal tujuh meter dan daunnya menjadi sumber makanan bagi unta padang pasir seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kawanan unta yang sedang memakan daun Salvadorapersica


(18)

Dalam Sher et. al (2010) dijelaskan bahwa batang utama Salvadora persica diselimuti oleh cabang yang sangat lebat. Pertumbuhan tanaman ini menuju ke segala arah sampai cabang-cabangnya menyentuh tanah. Daunnya berbentuk oblongelliptik (seperti telur) sampai bulat dengan ukuran 3x7 cm, berwarna hijau gelap, agak tebal, bagian apeksnya meruncing sampai membulat, mengecil tajam, bagian basisnya umumnya menyempit, terdapat batas daun yang jelas, tulang daun memiliki panjang sampai 10 mm, dan tersusun berlawanan berpasangan. Bunga berwarna kehijauan sampai kekuningan, sangat kecil, mudah lepas dari batang dan terdapat mulai dari bagian aksial sampai ujung panikel (batang dengan cabang bunga yang banyak) sepanjang 10 cm. Buah berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna merah muda sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang. Gambar 3 menunjukkan bentuk batang, daun, bunga, dan buah S.persica.

Gambar 3. Bentuk batang, daun, bunga, dan buah Salvadora persica

Sumber : Sher et.al (2010)

Siwak merupakan tanaman asli Timur Tengah yang banyak tumbuh di negara asalnya. Ketersediaan siwak di Indonesia melalui proses impor dari negara Timur Tengah, biasanya siwak dibawa oleh masyarakat Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji atau umroh sebagai oleh-oleh untuk keluarganya. Siwak juga mudah ditemukan di sekitar kampung Arab karena banyak keturunan Arab yang tinggal di Indonesia masih menggunakan siwak sebagai alat untuk membersihkan gigi.

A.2 Manfaat dan Kandungan Kimia Siwak

Dahulu siwak banyak digunakan sebagai alat untuk membersihkan mulut. Saat ini pun masih ada masyarakat yang menggunakan siwak sebagai alat untuk membersihkan mulut. Siwak dapat digunakan untuk tujuan terapi. Penerapan terapi dari siwak dapat berupa pasta gigi, obat kumur, dan larutan irigasi endodontik yaitu larutan yang digunakan untuk mensterilkan akar gigi dari mikroorganisme.

Zat antimikrobial adalah zat yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Al-Lafi dan Ababneh (1995) telah melakukan pengujian terhadap aktivitas antibakterial dari kayu siwak untuk menghambat beberapa bakteri mulut yang bersifat aerob dan anaerob. Hasil penelitian dari Gazi et al. (1987) menunjukkan bahwa ekstrak kasar kayu siwak


(19)

yang dijadikan cairan kumur dan dikaji sifat-sifat antiplaknya beserta efeknya terhadap bakteri penyusun plak dapat menyebabkan penurunan drastis bakteri yang berbentuk batang dan bersifat Gram negatif. Selanjutnya Almas (2002) melakukan penelitian terhadap efektivitas ekstrak siwak 50% dengan pelarut air dibandingkan dengan CHX (Chlorhexidine Gluconate) 0.2% pada gigi manusia secara SEM (Scanning Electrony Microscopy) menunjukkan bahwa ekstrak air siwak 50% memiliki hasil yang sama dengan CHX 0.2% dalam perlindungan gigi. Akan tetapi, ekstrak air siwak 50% lebih dapat menghilangkan smear layer pada gigi dibandingkan CHX 0.2%.Smear layer merupakan lapisan yang terbentuk dari sisa-sisa pengeboran gigi atau instrumentasi lain yang tersusun atas komponen organik maupun anorganik (Sumawinata, 2004).

Penelitian tentang analisis kandungan batang kayu siwak kering (Salvadora persica) dengan ekstraksi menggunakan etanol 80% kemudian dilanjutkan dengan eter lalu diuji kandungannya melalui prosedur kimia ECP (Exhaustive Chemical Procedure) menunjukkan bahwa siwak mengandung senyawa kimia seperti trimetilamin, alkaloida yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin C, serta sejumlah kecil tanin,saponin, flavanoida dan sterol (El-Mostehy et al., 1998). Ekstrak siwak juga menunjukkan adanya sifat-sifat antimikrobial, terutama antibakterial yang sangat efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri dan antifungal (Al-Lafi dan Ababneh, 1995; Darout, 2000). Ekstrak etanol kayu siwak pada kadar 200 mg/mL menunjukkan efek antifungal terhadap

C.albicans dan pada kadar 100 mg/mL menunjukkan efek yang lebih rendah, sedangkan pada kadar 50 mg/mL sama sekali tidak memiliki efek antifungal pada C.albicans (Abo Al-Samh, 1995 dan Al-Bagieh, 1996).

Darout (2000) melaporkan bahwa kandungan kimiawi ekstrak kayu siwak sangat ampuh menghilangkan plak dan mengurangi virulensi bakteri periodontopatogenik. Kandungan anionik alami dalam siwak dipercaya sebagai antimikrobial yang efektif untuk menghambat dan membunuh mikroorganisme. Sebagai contoh, nitrat yang dapat memengaruhi pengangkutan aktif porline pada Eschericia coli serta terbukti ampuh dalam menghambat fosforilasi oksidatif dan pengambilan oksigen Pseudomonas aureginosa dan Staphylococcus aureus.

B. BAKSO

Menurut SNI No. 01-3818-1995, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50%. Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006) bakso merupakan produk gel dari protein daging baik daging sapi, ayam, ikan maupun udang.Wibowo (2005) menyebutkan bahwa bakso daging sapi memiliki komposisi kimia (proksimat) sebagai berikut : kadar air 77.85%, kadar protein 6.95%, kadar lemak 0.31%, dan kadar abu 1.75%.Menurut SNI No. 01-3818-1995, bakso daging yang aman dikonsumsi harus memenuhi syarat mutu seperti pada Tabel 1.


(20)

Tabel 1. Syarat mutu objektif dari bakso daging sapi

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Air % b/b Maks 70.0

2 Abu % b/b Maks 3.0

3 Protein % b/b Min 9.0

4 Lemak % b/b Maks 2.0

5 Boraks - Tidak boleh ada 6 Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 1.0 x 105

6.2 Escherichia coli APM/g < 3

6.3 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 1.0 x 102

Sumber : Wibowo (2005)

Menurut Wibowo (2005), cara paling mudah untuk menilai mutu bakso adalah dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Sedikitnya ada lima parameter sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Parameter mutu organoleptik bakso daging dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Parameter mutu organoleptik bakso daging

Pembuatan bakso daging melalui beberapa tahapan proses. Mulai dari pemilihan daging sebagai bahan baku utama dalam produk bakso daging hingga perebusan dan akhirnya menjadi bakso yang siap untuk dikonsumsi. Tahapan proses dalam pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 4.

Parameter Bakso Daging

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam. Sedikitpun tidak tampak berjamur, dan tidak berlendir

Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu

Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu. Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada

serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh Sumber : Wibowo (2005)


(21)

Gambar 4. Diagram alir pembuatan bakso daging (Wibowo, 2005)

C.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan spesies dari genus Staphylococcus yang bersifat pathogen. Nama Staphylococcus berasal dari kata staphylo yang dalam bahasa Yunani berarti anggur, ini dikarenakan sifatnya yang membelah diri tidak hanya pada satu lapis permukaan dan tersusun secara bergerombol sehingga terlihat menyerupai rangkaian buah anggur. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, dibawah mikroskop mereka tampak seperti lingkaran (cocci) dan terlihat seperti seikat anggur (Gambar 5). Umumnya bakteri ini tidak berbahaya dan merupakan mikroflora normal di selaput lendir dan kulit manusia serta organisme yang lain (Jay, 2000).

Gambar 5. Bakteri Staphylococcus aureus

Menurut Pratama (2005) Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada suhu 35-40oC tetapi dapat tumbuh pada kisaran suhu 6.5-46oC, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7.0-7.5 dengan kisaran pH yang memungkinkan pertumbuhan antara 4.2-9.3. Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob dan anaerob fakultatif yang mampu memfermentasikan manitol dan menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease, dan lipase.


(22)

Secara morfologi Staphylococcus berbentuk bundar (kokus) atau agak lonjong dengan diameter 0.5-1.5 µm. Mikroba ini digolongkan bakteri gram positif, bersifat aerobik dan anaerobik fakultatif, tidak motil, dan membentuk spora (Jay,2000)

D.

Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas adalah bakteri gram negatif dari famili Pseudomonadaceae, merupakan bakteri aerob obligat dan oksidase positif. Pseudomonas secara alami terdapat pada tanah dan air. Beberapa spesies bersifat motil dengan flagela polar, sedangkan spesies lainnya bersifat non-motil (Bennik, 2000). Menurut Madigan et al. (2000), secara ekologi Pseudomonas penting untuk mendegradasi sisa-sisa komponen dari hewan ataupun tumbuhan. Pseudomonas banyak ditemukan pada bahan pangan segar seperti sayuran, daging, unggas, dan makanan laut (Jay, 2005) dan sering menimbulkan kebusukan makanan (Fardiaz, 1992).

Gambar 6 Bakteri Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37oC. Bakteri ini memproduksi senyawa-senyawa yang menimbulkan bau busuk dan pigmen tiosianin yang berwarna biru. Untuk pertumbuhan yang baik, diperlukan aw minimum 0.96-0.98, pH optimum 6.6-7.0, dan suhu

pertumbuhan optimum 37oC (Bennik, 2000).

E. REMPAH

Rempah-rempah adalah bahan asal tumbuh-tumbuhan yang biasa dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberi aroma (flavor) dan membangkitkan selera makan. Peran rempah sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan rempah yang memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan.

Menurut Ardiansyah (2007), efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dapat juga menghambat pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan Sacharomyces cerevisiae. Beberapa tumbuhan yang diketahui memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme seperti pada minyak thyme, minyak sage, minyak rosemary, minyak cumin, minyak caraway, dan minyak cengkeh dapat menghambat khamir dengan konsentrasi 0.5-2.0 mg/mL.


(23)

Fakta yang menunjukan adanya hubungan antara rempah-rempah dengan mikrobiologi antara lain : (1) beberapa rempah diketahui memiliki aktivitas antimikroba, (2) rempah-rempah dapat menstimulasi metabolisme mikroorganisme, (3) rempah-rempah menjadi berjamur jika disimpan pada tempat dengan kelembaban tinggi, dan (4) terkadang rempah mengandung mikroba secara alami (Farkas, 2000). Rempah-rempah dan ekstrak-ekstrak tanaman telah banyak diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Kayu manis, bawang putih, bawang bombay, jahe, dan banyak rempah lainnya telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba.

F. SENYAWA ANTIMIKROBA

Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau senyawa kimia yang digunakan dalam dosis kecil dengan tujuan untuk mencegah ataupun menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Ray, 2001). Senyawa antimikroba ini terdapat di dalam bahan pangan dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya terdapat secara alamiah, ditambah dengan sengaja, ataupun terbentuk selama proses pengolahan pangan atau oleh mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi (Fardiaz, 1992). Dalam bidang pangan, senyawa antimikroba umumnya digunakan sebagai senyawa aditif untuk mencegah pembusukan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba (Branen, 1993).

Senyawa antimikroba yang ditambahkan pada makanan untuk mengawetkan harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain memiliki aktivitas antimikroba, aman untuk dikonsumsi oleh manusia, ekonomis, tidak menyebabkan kualitas makanan menurun, memiliki aktivitas antimikroba yang baik pada kondisi lingkungan makanan, efektif pada dosis kecil, serta bersifat membunuh daripada menghambat pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Pemilihan senyawa antimikroba pangan yang baikdidasarkan pada kemampuan menghambat jenis-jenis mikroba. Biasanya senyawa antimikroba yang lebih banyak dapat menghambat bakteri, baik bakteri pembusuk ataupun patogen (spektrum penghambatan yang luas) lebih diharapkan (Branen, 1993).

Secara umum mekanisme kerja antimiroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah : (1) bereaksi dengan membran sel, (2) inaktivasi enzim esensial, dan (3) mendestruksi atau menginaktivasi fungsi dari materi genetik (Davidson 1993). Masing-masing senyawa antimikroba memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mekanisme senyawa fenolik sebagai antimikroba adalah dengan memengaruhi membran sel (Branen dan Davidson, 1993). Hal ini didukung juga oleh pernyataan Sikkema dalam Lambert (2001) yang menyebutkan bahwa komponen fenol dapat memengaruhi membran sel bakteri. Menurut Vas dalam Branen dan Davidson (1993), komponen fenol dapat merusak membran sitoplasma mikroba dan menyebabkan kehilangan komponen sitoplasma. Judi dalam Branen dan Davidson (1993) juga menyebutkan bahwa komponen fenolik dapat menyebabkan kerusakan fisik pada membran sel ataupun pada penahan permeabilitas. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi (Nychas dalam Ardiansyah, 2001).


(24)

Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginkativasi enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi sangat rendah.

Penelitian yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bakso telah banyak dilakukan. Hadi (2008) melakukan penelitian untuk memperpanjang masa simpan bakso dengan penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih ke dalam adonan bakso. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kitosan 1% dengan ekstrak bawang putih 2% pada adonan bakso mampu mempertahankan umur simpan bakso selama 12 jam.


(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari 2012 hingga bulan Desember 2012.

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu siwak (Salvadora percisca L.) yang diperoleh dari penjual di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Bakteri untuk pengujian aktivitas antimikroba terdiri atas Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Medium untuk pengujian mikrobiologi pertumbuhan bakteri yaitu Baird Parker Agar(BPA), Nutrient Agar

(NA), Nutrient Broth (NB). Bahan kimia yang digunakan adalah larutan fisiologis NaCl, larutan buffer fosfat, DMSO, spiritus, dan alkohol.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jarum ose, cawan petri, tabung reaksi inkubator, autoklaf, stomacher, timbangan analitik, tabung reaksi, pipet volumetrik 1 mL, pipet volumetrik 5 mL, pipet volumetrik 10 mL, lampu spiritus, kertas saring, erlenmeyer 500 mL, erlenmeyer 100 mL, labu takar 100 mL, gelas piala 100 mL, gelas piala 300 mL, alumunium foil, vorteks, panci, kompor, penggiling daging, chopper, dan whilley mill.

C. METODE PENELITIAN

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu persiapan kultur bakteri uji dan persiapan bubuk siwak kering. Tahap kedua yaitu tahap penelitian utama yang terdiri dari ekstraksi serbuk siwak dengan metode maserasi menggunakan pelarut air, pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur, penentuan konsentrasi hambat minimal atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan aplikasi ekstrak dan serbuk kayu siwak pada produk bakso daging. Tahapan penelitian digambarkan sebagai berikut.


(26)

C.1 Persiapan serbuk kayu siwak (Almas 2001)

Persiapan bahan serbuk siwak mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Almas (2001), yaitu kayu siwak yang masih segar dikeringkan terlebih dahulu selama 2 hari dibawah sinar matahari, kemudian dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil, selanjutnya dihaluskan menggunakan whilley mill hingga berbentuk serbuk setelah itu diayak dengan ukuran 100 mesh hingga didapatkan bubuk kayu siwak halus.

Gambar 8. Proses pengecilan ukuran kayu siwak

C.2 Ekstraksi kayu siwak (Almas dan Al-Bagieh 1999)

Tahap ekstraksi mengacu pada metode yang digunakan oleh Almas dan Al-Bagieh (1999) dengan modifikasi pada proses perendaman maserasi yaitu 10 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer steril kemudian ditambah dengan 100 mL air destilata steril. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu ruang dengan kecepatan rotasi 35 rpm selama 24 jam. Setelah itu ekstrak dipindah ke dalam refrigeratorpada suhu 4oC selama 48 jam. Filtrat dipisahkan dengan menggunakan vacuum pump dengan menggunakan kertas saring berukuran 0.45 µm kemudian didapatkan larutan supernatan. Larutan supernatan yang didapat selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50oC hingga didapatkan ekstrak siwak dengan pH 5.5.

C. 3 Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur

(Shan

et al.,

2007)

Pengujian aktivitas antimikroba mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Shan et al.

(2007). Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari ekstrak air kayu siwak terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Media pertumbuhan menggunakan NA sebanyak 10 mL yang kemudian diinokulasikan dengan kultur bakteri yang


(27)

mengandung bakteri uji sebanyak 105 CFU/mL. Selanjutnya dibuat 3 sumur pada media agar tersebut (diameter5 mm dan ketebalan 4 mm) secara aseptis menggunakan alat pelubang agar steril. Setelah itu, setiap sumur dimasukkan 60 µL larutan ekstrak kayu siwak dengan konsentrasi 100% (v/v), kontrol positif (amoxycillin 20µg/mL air steril) dan kontrol negatif (air steril). Setelah ditetesi dengan ekstrak kayu siwak, cawan diinkubasi dengan posisi tidak dibalik pada suhu 37 oC selama 24 jam. Aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri dihitung berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur agar dan dihitung dengan menggunakan jangka sorong.

Gambar 9. Metode difusi sumur ekstrak kayu siwak

C.4 Penentuan

Minimum inhibitory concentration

(MIC)(NCCLS, 2002)

Metode kontak menggunakan media NB bertujuan untuk menentukan pertambahan atau kematian dari suatu bakteri tertentu. Metode ini biasa digunakan untuk mencari Minimum Inhibitory Concentration (MIC). MIC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah di mana tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme (tidak terjadi kekeruhan) pada media NB selama inkubasi.

Konsentrasi antimikroba terendah dapat menghambat atau membunuh sebanyak ≥99.9% bakteri

disebut sebagai Minimum Bactericidal Concentration (MBC) atau Minimum Lethal Concentration

(MLC) (NCCLS 2002 Dalam Antimicrobials in Foods 3rd Edition 2005). Terdapat dua tahap dalam melakukan pengujian aktivitas antimikroba dengan menggunakan metode MIC, antara lain :

1. Persiapan kultur uji

Satu mata ose kultur bakteri dari agar miring NA dipindahkan ke dalam media cair NB sebanyak 10 mL yang telah disterilisasi. Setelah dikocok, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.

2. Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode kontak

Metode ini adalah metode untuk mengevaluasi aktivitas antimikroba berdasarkan perkembangan atau kematian bakteri dengan mengukur jumlah bakteri setelah diberi sejumlah zat antimikroba dan dikontakkan pada waktu tertentu.

Metode ini dilakukan dengan menyiapkan media NB masing-masing 9 mL dalam tabung reaksi yang telah disterilisasi, setelah itu dimasukkan ekstrak bahan dengan konsentrasi tertentu setelah dilakukan screening pada metode difusi agar dan 1 mL kultur


(28)

bakteri uji yang berumur 24 jam dengan konsentrasi 105 sel per mL diinokulasikan ke dalam masing-masing tabung reaksi. Tabung-tabung reaksi tersebut kemudian diinkubasikan pada inkubator bergoyang (suhu 37oC dengan putaran 150 rpm) dan dilakukan penghitungan jumlah bakteri setelah 24 jam inkubasi menggunakan metode hitungan cawan. Cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam, setelah itu dilakukan penghitungan jumlah koloni sesuai dengan peraturan Standart Plate Count (SPC) dan penghitungan pertumbuhan relatif dinyatakan sebagai log Nt/log No (Rahayu, 1994).

C.5 Pembuatan bakso daging

Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap yaitu penggilingan daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Pada proses penggilingan daging perlu diperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan pada saat proses penggilingan karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan emulsi adalah dibawah 12oC. Suhu diatas 12oC menyebabkan denaturasi protein sehingga emulsi akan pecah. Pembentukan dalam adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan maupun mesin pencetak bakso. Pemasakan pada suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan lemak terpisah dari sistem emulsi. Hal ini disebabkan lemak mengembang dan protein mengerut secara mendadak sehingga matriks protein akan pecah dan lemak keluar dari campuran (Anshori, 2002).

Menurut Wibowo (2006) secara umum bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bakso daging antara lain : daging segar, bahan pengisi, bumbu, es atau air. Berikut penjelasannya :

Daging segar

Daging merupakan bahan utama dalam pembuatan bakso. Menurut Varnam dan Sutherland (1996), daging adalah pangan tinggi protein. Kualitas protein daging sangat tinggi, tipe dan perbandingan asam aminonya menyetarai kebutuhan pertahanan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Daging mengandung asam amino triptofan dalam jumlah yang cukup.

Bahan pengisi

Bahan pengisi yang digunakan pada produk bertujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan rendemen, memperbaiki daya iris, memperbaiki flavor, dan juga mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi umumnya mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi dan protein rendah. Oleh karena itu, bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air yang baik namun tidak dapat mengemulsikan lemak (Sunarlim, 1992).

Garam

Garam digunakan sebagai bahan pembuatan bakso. Garam dapur berfungsi untuk memberi cita rasa, mengekstraksi miofibril, dan untuk meningkatkan daya simpan karena dapat menghambat mikroorganisme pembusuk (Cross dan Overby, 1998). Penambahan garam sebaiknya tidak kurang dari 2% dan tidak lebih dari 4% karena konsentrasi garam kurang dari 1.8% menyebabkan protein yang terlarut sangat sedikit.


(29)

Es atau air es

Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso

.

Proses pembuatan bakso daging terdapat pada Gambar 10 berikut ini :

Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan bakso daging (kontrol)

C.6 Pengamatan visual aplikasi ekstrak siwak dan serbuk siwak pada

bakso daging

Tahap aplikasi pada produk bakso daging dilakukan dengan dua perlakuan yaitu perebusan bakso daging ke dalam ekstrak siwak 50% (b/v) serta pencampuran serbuk kayu siwak 10% (b/b) yang digunakan sebagai bumbu dengan adonan bakso daging yang telah dibuat. Pencampuran serbuk siwak dengan konsentrasi 10% (b/b) tersebut dilakukan dengan tujuan agar serbuk siwak tersebut dapat tercampur ke dalam adonan bakso dan menjadi bahan rempah (spicy) pada bakso tersebut serta menjadi bahan pengawet alami. Bakso kemudian diamati secara visual selama 3 hari pada penyimpanan suhu ruang. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan mana yang dapat memperpanjang umur simpan bakso daging secara kualitatif. Beberapa parameter yang menunjukkan mutu bakso tergolong buruk adalah berlendir, tekstur lunak, adanya kapang, dan berbau menyimpang dari keadaan normal.


(30)

C.7 Pengamatan Total

Staphylococcus aureus

pada Bakso Daging(BAM

2001)

Uji total Staphylococcus aureus ini dilakukan setelah didapatkan perlakuan terbaik yang dapat memperpanjang umur simpan bakso daging secara visual. Uji total Staphylococcus aureus

bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak kayu siwak dalam menghambat pertumbuhan

Staphylococcus aureus pada bakso. Bakso dicelup dalam larutan pengencer yang mengandung

Staphylococcus aureus sekitar 100 koloni/mL selama 1 menit, kemudian bakso tersebut dianalisis uji total Staphylococcus aureus. Analisis ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada saat 0 jam, 3 jamdan 6 jam setelah pencelupan bakso dalam larutan Staphylococcus aureus secara duplo dan diulang sebanyak tiga kali ulangan. Menurut BAM (2011), uji ini sesuai digunakan untuk menganalisis pangan yang diperkirakan mengandung lebih dari 100 koloni Staphylococcus aureus. Metode yang digunakan dalam uji ini adalah cawan sebar yaitu menggunakan media spesifik Baird Parker Agar (BPA). Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis, media BPA yang sudah disterilkan dituang dalam cawan, dibiarkan memadat dan mengering. Sejumlah sampel dihancurkan kemudian diencerkan. Sebanyak 1 mL sampel dituangkan dan dibagi ke dalam 3 cawan yang berisi BPA sehingga masing-masing cawan berisi 0.3 mL, 0.3 mL, dan 0.4 mL sampel. Sampel tersebut secara aseptik disebar dalam cawan menggunakan hockey stick steril. Setelah dilakukan penyebaran sampel, kemudian cawan dibiarkan selama 10 menit agar sampel terserap dalam agar. Cawan tersebut diinkubasi selama 45-48 jam pada suhu 35oC. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung koloni pada setiap cawan. Koloni yang dipilih untuk penghitungan berkisar 20-200 koloni.


(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL MASERASI SERBUK KAYU SIWAK

Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan suatu senyawa yang terdapat di dalam bahan tertentu dengan bantuan pelarut. Metode ekstraksi dilakukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Almas dan Al-Bagieh (1999) yang dimodifikasi. Ekstraksi dilakukan dengan cara mencampurkan 10 gram serbuk siwak dan 100 mL air destilata steril di dalam erlenmeyer steril. Serbuk siwak tersebut kemudian diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi pada suhu ruang selama 24 jam dengan kecepatan rotasi shaker 35 rpm. Setalah itu, proses ekstraksi dilanjutkan kembali pada suhu 4oC selama 48 jam.

Metode maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan suatu pelarut pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut (Nurdiansyah dan Redha, 2011). Pelarut air dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Darout et al. (2000) yang menyebutkan bahwa beberapa senyawa anionik seperti Cl-, SCN-, SO4

2-, dan NO3

-yang terdapat di dalam kayu siwak dapat terekstrak. Senyawa SO4

dan SCN- pada ekstrak kayu siwak dengan pelarut air terekstrak selama proses hidrolisis glukosianat oleh enzim mironase pada jaringan tumbuhan. Ahmed (2000) menyebutkan bahwa glukosianat terhidrolisis menjadi isotiosianat, glukosa, dan ion sulfat pada kondisi pH netral (pH = 7). Ekstrak dengan pelarut air juga digunakan sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata penggunaan kayu siwak tersebut sehari-hari secara umum.

Gambar 11. Ekstrak kayu siwak dengan pelarut air

Setelah dilakukan maserasi, ekstrak siwak kemudian dihilangkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak siwak akhir berbentuk suspensi dalam air. Proses penguapan air dihentikan ketika volume ekstrak 5 mL sehingga rendemen


(32)

ekstrak siwak yang dihasilkan yaitu sebesar 5% (v/v). Rendemen ekstrak siwak tersebut dihitung berdasarkan volume akhir ekstrak setelah diuapkan dibandingkan dengan volume awal ekstrak sebelum diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator. Ekstrak siwak yang didapat kemudian disimpan di dalam lemari pendingin untuk meminimalisasi kerusakan senyawa aktif sebelum digunakan.

B. DIAMETER ZONA HAMBAT

Uji aktivitas antimikroba dilakukan menggunakan metode difusi sumur agar. Metode difusi sumur agar dilakukan dengan memasukan komponen antimikroba ke dalam lubang sumur pada media agar. Komponen tersebut akan berdifusi ke dalam media agar dan akan menghambat pertumbuhan mikroba yang terdapat pada media agar.

Aktivitas antimikroba ekstrak kayu siwak (Salvadora persica Wall.) pada metode difusi sumur ditunjukkan dengan adanya area bening di sekitar sumur yang berisi ekstrak kayu siwak pekat pada media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji. Pada uji difusi sumur digunakan tiga variabel yang Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Diameter zona penghambatan dapat dilihat pada Tabel3. berikut ini :

Tabel 3. Diameter zona hambat ekstrak kayu siwak terhadap bakteri uji (mm)

Keterangan : Uji difusi sumur dilakukan sebanyak 2 kali ulangan; diameter sumur 0.4 mm; uji statistik ANOVA dengan p = 0.05

Pada perlakuan ekstrak siwak dengan konsentrasi 100% didapatkan hasil diameter zona penghambatan sebesar 21.20±1.80 mm untuk bakteri uji Staphylococcus aureus. Pada perlakuan yang sama dengan bakteri uji Pseudomonas aeruginosa didapatkan diameter zona penghambatan yang lebih kecil yaitu sebesar 20.11±1.76 mm. Bakteri gram positif dan gram negatif memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Hasil diameter zona penghambatan pada bakteri Staphylococcus aureus lebih besar jika dibandingkan dengan hasil zona penghambatan pada bakteri Pseudomonas aeruginosa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa bakteri gram positif lebih mampu dihambat oleh senyawa antibakteri yang terdapat di dalam ekstrak kayu siwak. Pola penghambatan terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dari ekstrak kayu siwak ini mirip dengan pola penghambatan antibiotik penisilin G. Menurut Prescott et al.(2003), penisilin G lebih aktif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif daripada gram negatif.

Perlakuan Diameter zona penghambatan (mm)

Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa

Ekstrak siwak 100% 21.20±1.80a 20.11±1.76a Amoxycillin 2% (kontrol positif) 22.24±1.03a 21.34±0.75a Akuades steril (kontrol negatif) 0.00±0.00 0.00±0.00


(33)

Gambar 12. Diameter zona penghambatan ekstrak kayu siwak

Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba dibandingkan dengan bakteri gram negatif karena struktur dinding sel bakteri gram negatif yang lebih kompleks, yaitu lipopolisakarida, peptidoglikan, dan lipoprotein. Pada lapisan lipopolisakarida tersebut bakteri gram negatif memiliki sistem seleksi (screening) terhadap zat-zat asing (Branen dan Davidson, 1993). Bakteri gram negatif umumnya lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antimikroba yang bersifat polar.

Sebaliknya, bakteri gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat non-polar. Sensitivitas bakteri gram positif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat non-polar disebabkan karena komponen terbesar penyusun dinding sel bakteri gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino alanin yang bersifat non-polar. Hal inilah yang menyebabkan dinding sel bakteri gram positif menjadi lebih mudah dilewati dan diserang oleh senyawa antimikroba yang bersifat non-polar.

Menurut El-Mosterhy et al. (1998) siwak mengandung zat-zat kimia, seperti golongan alkaloid yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin C, serta sejumlah kecil tannin,saponin, flavanoida dan sterol. Darout (2000) melaporkan bahwa kandungan kimiawi ekstrak kayu siwak sangat ampuh menghilangkan plak dan mengurangi virulensi bakteri periodontopatogenik. Kandungan anionik alami dalam siwak dipercaya sebagai antimikrobial yang efektif untuk menghambat dan membunuh mikroorganisme. Sementara itu, Pratama (2005) menyebutkan bahwa mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus diduga disebabkan adanya zat antibakteri pada kayu siwak seperti trimetilamin dan fluorida. Trimetilamin dapat merusak tegangan permukaan lapisan membran sel sehingga sel dapat kehilangan permeabilitasnya. Apabila sifat permeabilitas pada membran sel hilang maka aliran keluar masuknya bahan-bahan dan zat tertentu akan terganggu sehingga dapat mengganggu metabolisme dan menyebabkan kematian pada bakteri tersebut. Sementara itu, fluorida dapat mendenaturasi protein dan membuat enzim tidak bekerja pada membran sel sehingga metabolisme bakteri terganggu.

Kontrol positif menggunakan obat antibiotik komersial yaitu amoxycillin dengan konsentrasi 2% (b/v) dengan hasil zona penghambatan bakteri sebesar 22.24±1.03 mm pada bakteri Staphylococcus aureus dan 21.34±0.75 mm pada bakteri Pseudomonas aeruginosa.


(34)

Antibiotik merupakan produk metabolit yang dihasilkan oleh organisme tertentu yang dalam jumlah sangat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lainnya. Amoxycillin merupakan bubuk berwarna putih atau agak keputihan, sedikit memiliki aroma sulfur, sinergis dengan sitrat, fosfat, dan larutan buffer. Amoxycillin mudah larut di dalam air, sedikit larut pada etanol anhidrat, sangat sedikit larut pada etanol 96% (British Pharmacopoeia, 2009).Amoxycillin sebagai kontrol positif dalam penelitian ini merupakan turunan semisintetik dari penisilin.Penisilin mampu menghambat bakteri pada masa pertumbuhannya melalui mekanisme penghambatan sintesis peptidoglikan. Penisilin juga menghambat kerja enzim yang menjadi katalis dari reaksi transpeptidasi karena strukturnya yang sangat serupa. Peptidoglikan yang tidak tersintesis secara sempurna selanjutnya akan menyebabkan tekanan osmotik pada sel yang tidak normal kemudian lisis (Prescott et al.,2003). Kontrol positif amoxycillin 2% (b/v) menghambat pertumbuhan bakteri uji dengan penghambatan terhadap bakteri Staphylococcus aureus lebih besar daripada

Pseudomonas aeruginosa. Hal tersebut sesuai dengan Prescott et al.(2003) yang menyatakan bahwa penisilin G lebih mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dibandingkan pertumbuhan bakteri gram negatif.

Kontrol negatif yang menggunakan air destilasi steril tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan bakteri uji. Hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya area zona bening di sekitar sumur agar, baik untuk bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif karena air destilasi steril tidak memiliki aktivitas antimikroba.

Berdasarkan uji statistik dengan ANOVA, perlakuan ekstrak siwak memiliki hasil yang tidak berbeda nyata (p > 0.05) dengan perlakuan kontrol positif amoxycillin 2%(b/v) (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak siwak yang diuji memiliki kemampuan daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa yang sama dengan antibiotik komersial yaitu amoxycillin. Menurut Kaur (2011), amoxycillin merupakan antibiotik dengan spektrum luas yaitu antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Bayati (2007) juga menyebutkan bahwa ekstrak siwak dengan pelarut air memiliki kemampuan antimikroba dengan spektrum yang luas karena mampu menghambat beberapa bakteri gram positif dan bakteri gram negatif seperti

S.aureus, S. mutans, S. faecalis, P. aeruginosa, dan L. acidophilus. Dari hasil uji difusi sumur tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan uji berikutnya yaitu penentuan nilai konsentrasi hambat minimal ekstrak kayu siwak karena aktivitas penghambatan yang dihasilkan pada uji difusi sumur bersifat kualitatif.

C. NILAI

MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION

(MIC)

Nilai MIC adalah nilai konsentrasi terendah dari senyawa antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji secara signifikan. Penentuan nilai MIC dilakukan terhadap ekstrak air kayu siwak. Penentuan MIC ekstrak air kayu siwak dilakukan terhadap bakteri


(35)

jenis bakteri yang terdapat di dalam SNI dan menjadi salah satu syarat mutu di dalam suatu produk bakso daging. Nilai MIC yang didapat nantinya akan digunakan pada uji selanjutnya yaitu aplikasi ekstrak kayu siwak pada produk bakso daging.

Uji MIC dilakukan dengan cara menghitung penurunan jumlah bakteri uji Staphylococcus aureus selama masa kontak dengan ekstrak air kayu siwak, yaitu selama 24 jam. Penurunan jumlah bakteri tersebut dihitung berdasarkan presentase nilai log bakteri setelah inkubasi (log Nt)

dibagi dengan nilai log bakteri awal (log No). Penurunan jumlah bakteri tersebut minimal sebesar 90% dari nilai log jumlah bakteri awal. Hasil log MIC dapat dilihat pada Gambar 13.

Keterangan : Gambar batang menunjukkan reduksi jumlah koloni pada penentuan MIC selama 0 dan 24 jam. Gambar 13.Nilai reduksi Staphylococcus aureus oleh ektrak kayu siwak dengan beberapa

konsentrasi

Hasil yang ditunjukkan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak air kayu siwak, semakin tinggi pula nilai penurunan atau penghambatan jumlah bakteri uji

Staphylococcus aureus.Peningkatan konsentrasi dilakukan secara bertahap mulai dari 5%, 15%, 25%, dan 50% (v/v). Pada konsentrasi ekstrak 5% (v/v) jumlah bakteri selama inkubasi 24 jam mengalami peningkatan dibandingkan jumlah bakteri sebelum inkubasi. Hal ini menunjukkan belum ditemukannya aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri selama inkubasi. Sama dengan konsentrasi ekstrak 5%, pada konsentrasi ekstrak 15% juga belum mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sehingga penggunaan konsentrasi 5% dan 15% belum efektif menurunkan jumlah bakteri. Al-Shamma et al. (2006) di dalam Rayes (2012) menyebutkan bahwa konsentrasi minimal ekstrak air kayu siwak dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus mutans, Pseudomonas aeruginosa,

dan Escherichia coli sebesar 20% (v/v).

Ulangan selanjutnya konsentrasi kembali ditingkatkan menjadi 25% (v/v) karena menurut Al-Shamma (2006) konsentrasi minimal ekstrak kayu siwak yang dapat menghambat bakteri

Staphylococcus aureus adalah 20% (v/v). Konsentrasi 25% (v/v) yang digunakan sudah 5% 15% 25% 50%


(36)

menunjukkan adanya aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri pada jam ke-0 jika dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu konsentrasi 5% dan 15%. Namun, setelah inkubasi selama 24 jam jumlah bakteri pun kembali mengalami peningkatan.

Konsentrasi kembali ditingkatkan menjadi 50% (v/v). Hasil pengamatan pada jam ke-0 menunjukkan log jumlah bakteri Staphylococcus aureus sebesar 6.30 log cfu/ml. Kemudian jumlah tersebut turun pada pengamatan setelah diinkubasi selama 24 jam menjadi 4.47 log cfu/ml. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah bakteri selama inkubasi 24 jam menurun secara signifikan, yaitu sebesar 98.17%. Ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi semakin besar kadar bahan aktif yang berfungsi sebagai antibakteri, sehingga kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri juga semakin besar. Kemampuan suatu bahan antimikroba dalam meniadakan kemampuan hidup mikroorganisme tergantung pada konsentrasi bahan antimikroba tersebut. Artinya jumlah bahan antimikroba dalam suatu lingkungan sangat menentukan jumlah mikroba yang terpapar.

Namun, konsentrasi ini lebih besar daripada konsentrasi pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Shamma et al. (2006) disebabkan oleh beberapa faktor yang memengaruhi kondisi kayu siwak tersebut, yakni berupa lingkungan tempat hidup, umur, dan pengambilan bahan uji dari bagian pohon tersebut. Lingkungan yang subur dapat mengakibatkan tanaman siwak memiliki zat ekstraktif yang lebih sedikit daripada pohon siwak yang terdapat di lingkungan sedikit air. Umur dan pengambilan bahan uji pada pohon tersebut sangat berpengaruh terhadap banyak dan sedikitnya zat ekstraktif. Tanaman siwak yang berumur muda memiliki zat ekstraktif lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman siwak yang berumur tua. Pengambilan bahan uji juga memiliki pengaruh yakni letak bagian kayu yang diambil seperti pada akar, batang, dan ranting (Hajlaoui et al.,2008). Darout (2000) menyebutkan bahwa kandungan nitrat pada ekstrak akar dan batang kayu siwak dengan pelarut air mempunyai aktivitas antimikroba melawan Streptococcus faecalis,

Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus.

D. HASIL PENGAMATAN VISUAL SELAMA PENYIMPANAN

Kerusakan bahan pangan dapat diidentifikasi dengan beberapa cara, yang pertama adalah dengan ujiorganoleptik yaitu dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, warna, bau, pembentukan lendir, dll. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan subyektif (warna, aroma, tekstur, pembentukan lendir, dan miselium kapang) selama penyimpanan dua hari. Hasil pengamatan uji organoleptik sampelbakso secara visual pada dua perlakuan perebusan bakso ke dalam ekstrak siwak dan penambahan serbuk siwak ke dalam adonan dapat dilihat pada Lampiran 6. Adapun data hasil pengamatan subyektif secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.


(37)

Tabel 4. Hasil pengamatan visual bakso selama penyimpanan

Parameter Ekstrak siwak 50% Serbuk siwak 10% Kontrol

Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 0 Hari 1 Hari 2

Warna Abu-abu Kecokla

tan

Kecoklat an

Abu-abu Abu-abu Abu-abu keputiha n

Abu-abu Kecokla tan

Coklat

Aroma Daging Asam Busuk Siwak Siwak Siwak Daging Asam Busuk

Tekstur Empuk Lembek Lembek Empuk Keras

(+)

Keras (++)

Empuk Empuk Lembek

Penampakan Basah Lengket Muncul

kapang Kering (+) Kering (++) Kering (+++)

Kering Lengket Basah

Hasil pengamatan subyektif pada penyimpanan hari ke-0 yang meliputi warna dan tekstur bakso menunjukkan bahwa sampel dengan semua perlakuan masih dalam kondisi normal. Begitu pun dengan penampakannya yang masih dalam kondisi normal yang ditandai dengan tidak ditemukannya miselium kapang dan lendir

.

Untuk parameter aroma, sampel yang diberi perlakuan ekstrak siwak dan serbuk siwak sudah menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan bakso kontrol. Bakso kontrol memiliki aroma yang normal yaitu dominan rasa daging, namun bakso yang diberi perlakuan dan serbuk siwak memiliki aroma khas kayu siwak.

Penyimpanan hari pertama, bakso kontrol dan sampel dengan perlakuan ekstrak siwak 50% (v/b) mulai mengalami kerusakan sedangkan sampel yang diberi perlakuan serbuk siwak belum menunjukkan kerusakan. Sampel mulai menunjukkan beberapa perubahan parameter sensori antara lain warna berubah menjadi kecoklatan, aroma menjadi asam, tekstur menjadi lembek, dan penampakan yang mulai berlendir. Hal ini disebabkan penambahan ekstrak siwak dengan konsentrasi 50% (v/b) meningkatkan kadar air di dalam sampel bakso daging sehingga memudahkan bakteri untuk tumbuh.Menurut Buckle et al. (2007), pertumbuhan bakteri pada permukaan yang basah seperti daging dapat menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan lendir. Dari pengamatan yang dilakukan, penyimpangan tersebut menunjukkan bahwa produk sudah memasuki kategori rusak dan tidak dapat dikonsumsi. Perlakuan penambahan ekstrak siwak 50% (v/b) ini memengaruhi peningkatan kadar air di dalam bakso. Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang

dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan (Winarno 2008). Syamadi (2002) juga menyatakan bahwa kandungan nutrient dan kadar air/aw(80% /0.98) yang tinggi menyebabkan

produk bakso memiliki masa simpan yang singkat yaitu hanya mampu bertahan 12 jam hingga maksimum 1 hari pada penyimpanan suhu kamar. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengetahui terjadinya kerusakan bakso antara lain timbulnya bau masam hingga busuk, permukaan bakso berlendir dan ditumbuhi miselium kapang, warna, dan penampakan menjadi tidak cerah (Sugiharti 2009). Selanjutnya pada pengamatan hari ke-2, sampel bakso sudah memasuki kategori busuk dan tidak aman untuk dikonsumsi. Terdapat beberapa parameter yang sudah rusak seperti munculnya bau busuk pada sampel bakso serta ditemukannya miselium kapang dan lendir pada permukaan sampel bakso.


(38)

Hasil pengamatan subyektif perlakuan serbuk siwak 10% (b/b) pada penyimpanan hari ke-0 yang meliputi warna dan tekstur bakso menunjukkan bahwa sampel dengan semua perlakuan masih dalam kondisi normal. Begitu pun dengan penampakannya yang masih dalam kondisi normal yang ditandai dengan tidak ditemukannya miselium kapang dan lendir. Penyimpanan hari ke-1 menunjukkan bahwa sampel mulai mengalami perubahan sensori pada parameter tekstur yang menjadi keras dan penampakan luar menjadi kering. Begitu pula pada penyimpanan hari ke-2, tekstur sampel bakso menjadi lebih keras dan penampakan luarnya menjadi lebih kering jika dibandingkan dengan pengamatan hari ke-1. Hipotesisnya adalah serbuk kayu siwak memiliki sifat higroskopis yaitu dapat menyerap air sehingga kadar air sampelbakso akan menurun mengakibatkan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan menjadi lebih lambat sehingga diharapkan umur simpan bakso menjadi lebih panjang.Menurut Purnomo (1995), jika suatu bahan pangan dikeringkan sampai nilai aw sehingga pertumbuhan mikroorganisme dapat terhenti,

biasanya tekstur produk menjadi terlalu kering dan keras. Penelitian Situmorang (2013) menyebutkan bahwa pati sagu yang digunakan sebagai pelapis bakso juga mampu menyerap air dari permukaan bakso sehingga kadar air bakso menurun dan bakso menjadi lebih kering sehingga umur simpan bakso menjadi lebih lama dan tidak mengalami pembusukan oleh mikroorganisme.

Berdasarkan pengamatan antara perlakuan ekstrak siwak 50% (v/b) dan penambahan serbuk siwak 10% (b/b) didapatkan data bahwa perlakuan serbuk siwak mampu memperlambat laju kerusakan sampel bakso daging terhadap pertumbuhan mikroorganisme sehingga perlakuan serbuk siwak 10% (b/b) dipakai pada uji selanjutnya yaitu uji total Staphylococcus aureus.

Gambar 14 (a) Bakso kontrol (b) Bakso dengan penambahan siwak 10 % (b/b)

E. TOTAL

Staphylococcus aureus

Penentuan batas keamanan pangan dilakukan dengan cara melakukan uji total

Staphylococcus aureus pada bakso daging yang telah ditambah dengan serbuk kayu siwak sebanyak 10% (b/b).Penyimpanan bakso daging dilakukan pada kondisi suhu ruang dan pada udara terbuka selama uji tersebut berlangsung. Mengacu pada SNI No. 08-7388 Tahun 2009, jumlah maksimal total mikroba pada bakso yang layak untuk dikonsumsi sebesar 1.0 x 102 cfu/g.


(39)

Pada uji total Staphylococcus digunakan dua variabel penelitian, yaitu variabel A dan variabel K. Variabel A merupakan bakso daging yang diberi penambahan ekstrak serbuk siwak sebanyak 10% (b/b). Penentuan konsentrasi serbuk siwak 10% (b/b) berdasarkan mutu organoleptik yang dihasilkan pada produk akhir bakso daging. Pada konsentrasi 10% (b/b) tekstur bakso menjadi keras dan penampakan luar bakso kering sehingga tidak memungkinkan dilakukan penambahan konsentrasi pada bakso daging.

Variabel K merupakan variabel kontrol yang tidak diberi penambahan ekstrak serbuk siwak sama sekali. Pada tiap-tiap variabel dibedakan menjadi dua perlakuan juga, yaitu perlakuan A1, A2, K1, dan K2 sehingga terdapat empat perlakuan yang berbeda pada uji total Staphylococcus aureus.

Perlakuan A1 adalah bakso daging yang ditambah dengan serbuk kayu siwak 10% (b/b) dan diberi cemaran Staphylococcus aureus 105 cfu/mL selama 1 menit. Kemudian perlakuan A2 adalah bakso daging yang ditambah dengan serbuk kayu siwak 10% (b/b) tanpa diberi cemaran bakteri Staphylococcus aureus.

Perlakuan K1 merupakan perlakuan kontrol yang tidak diberi penambahan serbuk kayu siwak namun diberi cemaran bakteri Staphylococcus aureus 105 cfu/mL selama 1 menit. Terakhir adalah perlakuan K2, perlakuan bakso kontrol yang tidak diberi penambahan serbuk kayu siwak dan tidak diberi cemaran bakteri Staphylococcus aureus. Penambahan bakteri tersebut bertujuan untuk mempertinggi jumlah koloni Staphylococcus aureus pada bakso karena sesuai SNI jumlah maksimum bakteri tersebut hanya 1.0 x 102koloni/gram. Jumlah tersebut tergolong rendah jika digunakan sebagai jumlah bakteri awal pada bakso dalam perhitungan persentase penurunan jumlah bakteri. Jika suatu ekstrak mempunyai aktivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri maka jumlah koloni bakteri akan menjadi lebih rendah daripada jumlah bakteri awal sehingga jika jumlah koloni Staphylococcus aureus terlalu rendah hingga tidak masuk dalam kisaran nilai perhitungan koloni yang dipersyaratkan oleh BAM (2011), yaitu 20-200 maka jumlah koloni tidak dapat dihitung secara pasti. Hal tersebut akan mempersulit dalam melakukan penghitungan penurunan jumlah bakteri secara pasti. Penurunan jumlah bakteri pada uji ini ditentukan dengan cara menghitung persentase selisih jumlah bakteri awal Staphylococcus aureus pada saat 0 jam dengan jumlah bakteri tersebut setelah 6 jam dibiarkan di suhu ruang dibagi dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam.

Bakso tersebut dianalisis dengan metode total Staphylococcus selama 6 jam dengan interval antar pencawanan adalah 3 jam, yaitu pada jam ke-0, 3, dan 6. Hasil log total Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 15.


(40)

Keterangan : A1 = + siwak dengan cemaran S.aureus, A2 = +siwak tanpa cemaranS.aureus, K1 =kontrol dengan cemaran S.aureus, K2 = kontrol tanpa cemaran S.aureus

Gambar 15. Grafik total Staphylococcus aureus bakso daging pada penyimpanan suhu ruang selama 6 jam

Dari Gambar 15. dapat dilihat bahwa pada perlakuan A1, log jumlah bakteri awal pada jam ke-0 adalah 3.79 log cfu/g atau setara dengan 6.1 x103 koloni/g. Jumlah log mikroba tersebut menurun ketika dilakukan analisis pada jam ke-3 yaitu sebanyak 3.66 log cfu/g atau setara dengan 4.5 x 103 koloni/g. Penurunan ini tidak signifikan karena pada perlakuan A1 bakso yang dianalisis dicelup ke dalam bakteri Staphylococcus aureus sebelumnya, sehingga aktivitas antimikroba serbuk siwak tidak mampu menurunkan jumlah bakteri secara signifikan sebanyak satu log. Namun, pada perlakuan A1 mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 26.22 % pada penyimpanan selama 3 jam.Hal tersebut membuktikan bahwa serbuk siwak yang ditambahkan ke dalam adonan bakso mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada penyimpanan selama 3 jam. Kemudian pada pengamatan jam ke-6 log jumlah bakteri tersebut bertambah menjadi 4.10 log cfu/g atau setara dengan 1.2 x 104 koloni/g. Presentase pertumbuhan pada jam ke-6 sebesar 96.72 % dari jumlah mikroba awal atau pada penyimpanan jam ke-0.

Pada perlakuan A2, yaitu perlakuan dengan penambahan serbuk kayu siwak dengan konsentrasi 10% (b/b) tanpa pencelupan ke dalam bakteri Staphylococcus aureus, hasil log jumlah mikroba pada jam ke-0 sebanyak 3.50 log cfu/g atau setara dengan 3.16 x 103 koloni/g. Hasil log jumlah mikroba pada jam ke-3 mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar satu log menjadi 2.77 log cfu/g atau setara dengan 5.7 x 102 koloni/g. Data tersebut menunjukkan bahwa serbuk kayu siwak yang ditambahkan pada bakso daging mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus serta mampu menurunkan jumlah bakteri pada bakso tersebut hingga satu log. Persentase penurunan jumlah bakteri dari jam ke-0 hingga jam ke-3 adalah sebesar 81.96%. Namun pada pengamatan jam ke-6, log jumlah mikroba tersebut kembali naik hingga mencapai 3.95 log cfu/g atau setara dengan 8.9 x 103 koloni/g. presentase pertumbuhan bakteri selama 6 jam terhitung dari pengamatan jam ke-0 adalah sebesar 181.64%.


(41)

Gambar 16. Hasil pencawanan total Staphylococcus aureus jam ke-6

Dari data tersebut dapat dilihat fluktuasi log jumlah mikroba bakso daging yang menunjukkan penurunan log jumlah mikroba pada jam ke-0 hingga jam ke-3 kemudian log jumlah mikroba tersebut kembali meningkat pada jam ke-3 hingga jam ke-6. Jika dilihat dari Gambar 15. maka dapat terlihat dengan jelas fluktuasi pertumbuhan mikroba tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa serbuk kayu siwak yang ditambahkan ke dalam bakso daging tersebut hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri selama 3 jam penyimpanan saja pada suhu ruang dan dalam keadaan terbuka. Setelah itu aktivitas antimikroba serbuk siwak akan berkurang dan bakteri yang terdapat pada bakso daging pun akan berkembang sehingga jumlahnya akan meningkat.

Menurut Prescott et al (2003), penghambatan terhadap bakteri dapat bersifat bakterisidal ataupun bakteristatik. Bakteristatik artinya dapat menghambat pertumbuhan secara cukup signifikan dan bila bahan penghambat dihilangkan maka bakteri akan pulih dan dapat tumbuh kembali. Kondisi tersebut secara umum sama seperti bakso perlakuan A1 dan A2 karena pada tiga jam pertama jumlah bakteri yang terdapat pada bakso daging tersebut menurun secara cukup signifikan hingga 81.96% dari jumlah mikroba awal pada jam ke-0. Namun, jumlah tersebut kembali meningkat selama penyimpanan hingga 6 jam. Penggunaan ekstrak kayu siwak dalam bahan pangan memang belum diketahui secara pasti efektivitasnya dan belum ada penelitian yang mencoba untuk mengaplikasikan ekstrak kayu siwak pada bahan pangan, sehingga tidak dapat dipastikan apakah ekstrak tersebut benar-benar efektif sebagai bahan antimikroba pada bahan pangan dalam menghambat pertumbuhan mikroba tersebut.

Baik bakso perlakuan A1 maupun bakso perlakuan A2 menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri pada 3 jam pertama. Hal tersebut menunjukkan bahwa serbuk siwak yang ditambahkan ke dalam adonan bakso sebanyak 10% (b/b) mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Namun, selama penyimpanan 6 jam jumlah bakteri meningkat pada kedua perlakuan. Hal ini disebabkan karena bakteri Staphylococcus aureus


(42)

cepat dan konstan, dimana pertambahan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik (Fardiaz dalam Savitri, 2009).

Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada aw optimum 0.990-0.995 dan memiliki suhu

optimum untuk pertumbuhan yaitu 35-38oC (Jay, 2000). Keberadaan bakteri Staphylococcus aureus dalam bahan pangan perlu diwaspadai karena dapat memproduksi enterotoksin yang tahan panas (Fardiaz, 1992). Jumlah Staphylococcus aureus yang tinggi (106 cfu/g) dapat menghasilkan enterotoksin yang dapat menyebabkan intoksikasi pangan dan diperkirakan sekitar 106 sel bakteri

Staphylococcus aureus yang terdapat di dalam setiap gram makanan dapat menyebabkan gejala keracunan. Populasi total Staphylococcus aureus pada bakso perlakuan maupun kontrol ini tidak sesuai dengan yang ditetapkan SNI 01-3818 Tahun 1995 yaitu 1 x 102 cfu/g sehingga populasi

Staphylococcus aureus pada bakso telah melebihi ambang batas maksimum yang ditetapkan dalam SNI.Lama penyimpanan memiliki peran yang penting terhadap total Staphylococcus aureus, hal ini dapat terlihat dari jumlah mikroba yang meningkat seiring dengan semakin lama waktu penyimpanan pada suhu ruang (±28oC) yang menguntungkan bakteri untuk dapat tumbuh dan berkembang pesat. Menurut Fardiaz (1992) suhu dimana suatu makanan disimpan sangat besar pengaruhnya terhadap jasad renik yang dapat tumbuh serta kecepatan pertumbuhannya. Jenis bakteri yang dapat tumbuh pada suhu ruang adalah bakteri mesofilik, menurut Suparno (1998) bakteri ini dapat tumbuh baik pada temperatur 25-40oC.


(43)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarakan penelitian aktivitas antimikroba ekstrak kayu siwak dengan pelarut air, diketahui bahwa ekstrak kayu siwak memiliki kemampuan menghambat bakteri patogen serta bakteri pembusuk pangan yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Diameter yang dihasilkan pada bakteri Staphylococcus aureus sebesar 21.10 mm, sedangkan diameter penghambatan yang dihasilkan pada bakteri Pseudomonas aeruginosa sebesar 20.11 mm. Ekstrak kayu siwak dengan pelarut air kemudian digunakan pada penentuan nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) dengan metode dilution broth karena diameter penghambatan pada metode difusi sumur yang tinggi. Nilai MIC dari ekstrak kayu siwak dengan pelarut air yang mampu menurunkan 98.17% jumlah bakteri Staphylococcus aureus adalah sebesar 50% (v/v). Pada tahap aplikasi serbuk kayu siwak ke dalam bakso digunakan konsentrasi 10% (b/b) dengan dua perlakuan yaitu dengan dan tanpa pencelupan ke dalam bakteri Staphylococcus aureus terlebih dahulu dengan pengamatan selama 6 jam. Berdasarkan data aplikasi pada bakso, diketahui bahwa serbuk siwak kayu siwak mampu menghambat pertumbuhan bakteri selama 3 jam kemudian pada jam ke-6 jumlah bakteri kembali meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kayu siwak memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) namun belum efektif digunakan sebagai bahan pengawet alami pada bakso daging.

B. SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas aplikasi ekstrak kayu siwak pada bakso daging untuk mendapatkan pengawet alami yang tepat guna serta perlu adanya uji keamanan pangan pada ekstrak kayu siwak jika dikonsumsi oleh tubuh manusia.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Abo Al-Samh D. 1995. In vitro study of the antimicrobial activity and toxicity of the miswak extract as an endodontic irrigation solution. King Saud University. Riyadh.

Ahmed Z, Rizik A, Hammouda, Seif El-Nasr M. 2000. Naturally occuring glucosinolates with special reference to those of family Capparidaceae. Indian Journal of Pharmacology

32:11-14.

Al-Bayati F A. 2007. In vitro antimicrobial activity of Salvadora persica extracts againsts some isolated oral pathogens in Iraq. Turky Journal Biology 32:57-62.

Al-Khateeb T., et al. 1991.Periodontal treatment needs among Saudi Arabian adults and their relationship to the use of the Miswak. Community of Dental Health 8:323-28

Al-Lafi T, Ababneh H. 1995. The effect of the extract of the miswak (chewing sticks) used in Jordan and the Middle East on oral bacteria. International Dentist Journal 45(3):218-22. Almas K, Al-Bagieh N. 1999. The antimicrobial effects of bark and pulp extracts of miswak.The

Faculty Press. Great Britain.

Almas K. 2001. The effect of Salvadora persica extract (miswak) and chlorhexidine gluconate on human dentin: a SEM study. The Journal of the Contemporary Dental Practise 3 (3) Agustus 2002.

Al-ShammaA M. 2006. Assessment of Salvadora Persia (Siwak) aqueous extract as an new endodontic irrigant in comparsion to sodium hypochlorite (Bacteriological, Histo-pathological, and Immunological studies) Doctor of Philosophy in Conservative Dentistry.

Anshori M. 2002. Evaluasi penggunaan jenis daging dan konsentrasi garam yang berbeda terhadap mutu bakso. Skripsi. Program Teknologi HasilTernak, Jurusan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Ardiansyah. 2001. Teknik ekstraksi komponen antimikroba andaliman (Zanthoxylum acanthopodicum) dan antarasa (Litsea cubeba). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

BAM. 2001. Bacteriological Analytical Manual Chapter 3 Aerobic Plate Count. FDA

Bennik M H J. 2000. Pseudomonas aeruginosa. Di dalamRobinson, R K, Carl A B, dan Pradip D P. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA.

Branen dan Davidson. 1993. Introduction to use of antimicrobials. Di dalamDavidson P. M. dan Alfred L.B. (eds). Antimicrobials in Foods Second Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Buckle K A, Edwards R A, Fleet G H, dan Wootton M. 2007. Ilmu Pangan. Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta.

Darout I. 2000. Antimicrobial Anionic Components In Miswak Extract. Journal of Pharmacology. Department of Odontology. Faculty of Dentistry. University of Bergen. Bergen. Norway Davidson PM, Sofos JN, Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food Third Edition. CRC Press

Taylor, Francis Group, United States Of America.

El-Mostehy D R. et al. 1998, Siwak as an oral health device (Preliminary chemical and clinical evaluation). Journal of Pharmacology. Department of Odontology. Faculty of Dentistry. University of Kuwait. Kuwait.

Fardiaz S. 1992. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. IPB Press. Bogor.

Gazi M I, Lambourne A, Chagla A H. 1987. The antiplaque effect of toothpaste containing

Salvadora persica compared chlorhexidine gluconate : A pilot study. Medline Journal. Clinical Prentive Dentsitry. Lippincott co. Philadelphia.

Hadi H. 2008. Aplikasi kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai pengawet dan edible coating bakso sapi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hajlaoui H, Snoussi M, Ben Jannet H, Mighri Z dan Amina Bakhrouf. 2008. Comparison of

chemical composition and anti microbial activites of Mentha longifolia L. ssp. Longifolia essential oil from two Tunisian localities (Gabes and Sidi Bouzid). Annals of Microbiology 58 (3) : 513-520

Jay J M. 2000. Modern Food Microbiology Sixth Edition. Aspen Publication. Maryland. .2005. Modern Food Microbiology. Aspen Publication. Maryland.


(1)

Konsentrasi ekstrak 15 % (v/v)

Perlakuan A1 A2 A3 A4 A5

Jam ke-0 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 243 196 28 26

∑ CFU/ml 2,2 x 107

Jam ke-24 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 66 151

∑ CFU/ml 1,1 x 107

Perlakuan A1 A2 A3 A4 A5

Jam ke-0 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 161 149 15 14

∑ CFU/ml 1,5 x 106

Jam ke-24 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 334 312


(2)

Konsentrasi ekstrak 50 % (v/v)

Perlakuan A1 A2 A3 A4 A5

Jam ke-0 0 0 TBUD TBUD TBUD TBUD 253 304 47 29

∑ CFU/ml 3,8 x 106

Jam ke-24 0 0 0 0 30 17 2 5 2 1

∑ CFU/ml 3,0 x 104

Perlakuan A1 A2 A3 A4 A5

Jam ke-0 0 0 76 171 115 99 10 7 0 1

∑ CFU/ml 2,1 x 105

Jam ke-24 0 1 0 1 0 2 0 2 0 0


(3)

Lampiran 5. Hasil Total Staphylococcus aureus

Perlakuan Jam ke Pengenceran 10-1 Pengenceran 10-2 Pengenceran 10-3 Jumlah koloni

0,3 ml 0,3 ml 0,4 ml

A1 0 TBUD TBUD TBUD 6 143 0 0 1,4 x 104

TBUD TBUD TBUD

3 TBUD TBUD TBUD 53 47 12 16 5,0 x 103

TBUD TBUD TBUD

6 TBUD TBUD TBUD 13 10 18 23 2,3 x 104

TBUD TBUD TBUD

A2 0 TBUD TBUD TBUD 50 3 1 0 5,0 x 10

3

TBUD TBUD TBUD

3 TBUD TBUD TBUD 9 17 0 0 (1.7 x 103)

TBUD TBUD TBUD

6 TBUD TBUD TBUD 92 121 19 26 2,6 x 104

TBUD TBUD TBUD

Keterangan :

A1 : bakso dengan penambahan ekstrak 10% dan dicelup ke dalam S.aureus selama 1 menit A2 : bakso dengan penambahan ekstrak 10% tanpa pencelupan ke dalam S.aureus


(4)

Perlakuan Jam ke Pengenceran 10-1 Pengenceran 10-2 Pengenceran 10-3 Jumlah koloni

0,3 ml 0,3 ml 0,4 ml

K1 0 32 31 25 17 16 0 1 1,0 x 10

3

40 34 46

3 37 19 37 4 2 1 0 1,0 x 103

37 34 37

6 208 216 268 172 39 4 11 1,1 x104

117 103 121

K2 0 2 3 4 2 5 0 0 < 2,0 x 10

2

1 5 3

3 22 31 40 6 18 0 0 1,2 x 103

21 43 81

6 157 89 183 48 34 3 1 4,1 x 103

74 143 167

Keterangan :

K1 : bakso kontrol tanpa penambahan ekstrak dan dicelup ke dalam S.aureus selama 1 menit


(5)

Perlakuan Jam ke Pengenceran 10-1 Pengenceran 10-2 Jumlah koloni

0,3 ml 0,3 ml 0,4 ml

A1 0 59 77 100 20 37 2,8 x 10

3

50 37 99

3 49 25 66 33 56 4,4 x 103

34 38 50

6 95 49 47 71 69 7,0 x103

55 65 58

A2 0 32 47 68 17 23 2,3 x 10

3

42 29 54

3 4 0 4 5 0 <2,0 x 102

0 3 8

6 5 26 43 38 26 3,2 x 103


(6)

Perlakuan Jam ke Pengenceran 10-1 Pengenceran 10-2 Jumlah koloni

0,3 ml 0,3 ml 0,4 ml

K1 0 55 78 90 8 14 1,6 x 10

3

51 45 72

3 35 25 51 12 13 2,3 x 103

25 49 47

6 20 23 49 34 23 3,4 x 103

59 32 118

K2 0 35 58 63 1 2 1,6 x 10

3

66 31 57

3 49 34 83 4 1 1,7 x 103

37 48 87

6 59 55 71 4 4 1,8 x 103


Dokumen yang terkait

Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasinya pada Produk Bakso

4 26 67

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

4 23 83

MANFAAT PERASAN KAYU SIWAK (Salvadora persica) SEBAGAI AGEN ANTIBAKTERI TERHADAP Streptococcus mutans dan Escherichia coli Manfaat Perasan Kayu Siwak (Salvadora persica) Sebagai Agen Antibakteria Terhadap Streptococcus mutans dan Escherichia coli Dengan

0 0 14

Pengaruh Infusa Siwak (Salvadora persica) Dalam Mengendalikan Pertumbuhan Staphylococcus aureus Pada Konsentrasi dan Waktu Kontak Yang Berbeda.

0 2 21

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

0 0 16

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

0 0 2

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

0 0 5

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

0 0 15

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

0 0 4

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Metode DPPH

0 0 17