Application of Edible Coating Bases Extract of Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) and Chitosan on Peeled Off Shrimp

(1)

APLIKASI EDIBLE COATING BERBASIS KITOSAN

DAN EKSTRAK LINDUR (

BRUGUIERA GYMNORRHIZA)

PADA UDANG KUPAS

INDAH ROSULVA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Edible Coating berbasis Kitosan dan Ekstrak Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) pada Udang Kupas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Indah rosulva


(4)

RINGKASAN

INDAH ROSULVA. Aplikasi Edible Coating Berbasis Kitosan dan Ekstrak Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) pada Udang Kupas. Dibimbing oleh YADI HARYADI dan EMA HASTARINI.

Udang kupas umumnya dijual di supermarket dan disajikan pada display

makanan berpendingin yang dilengkapi dengan lampu. Kondisi tersebut menyebabkan suhu ruang display menjadi naik sebesar 10 °C dari suhu awal ruang display (-1.6 °C), dengan demikian produk yang disajikan akan mengalami kemunduran mutu. Edible coating dapat diaplikasikan sebagai bahan pengemas untuk melindungi udang dari kerusakan selama penyimpanan, untuk memperpanjang masa simpan dan menjaga kualitas produk. Selain kitosan, ekstrak dari buah lindur (yang berasal dari kelompok tanaman mangrove) diduga dapat bersifat sebagai pengawet alami dan memiliki sifat sebagai antimikroba.

Pada penelitian ini, edible coating diformulasikan menggunakan kombinasi kitosan (0 %, 1 %, 2 %) dan ekstrak buah lindur (0 %, 1 %, 2 %). Penelitian dilakukan dalam dua tahapan, yaitu Penelitian Pendahuluan (meliputi analisis kimia buah dan tepung lindur, karakterisasi kitosan (derajat deasetilasi), pembuatan tepung dari buah lindur, pembuatan ekstrak dari tepung lindur, dan pengujian aktivitas antimikroba. Penelitian Utama meliputi Penelitian Utama Seri Pertama dengan udang Black Tiger (meliputi analisis TVB, pH, TPC dan Organoleptik hedonik untuk warna, aroma, tekstur dan penerimaan umum) pada 1 hari dan 7 hari penyimpanan serta Penelitian Utama Seri Kedua menggunakan udang vannamei (meliputi analisis TVB, pH, TPC, Organoleptik Mutu (Tekstur, Kenampakan dan Aroma untuk udang kupas matang dan mentah serta Rasa untuk udang kupas matang), Tekstur dengan Texture Profile Analyzer, dan analisis warna pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan.

Pada percobaan dengan udang Black Tiger, edible coating berbahan ekstrak lindur 1 % tanpa kitosan (K0L1) dan ekstrak lindur 2 % tanpa kitosan (K0L2) secara nyata mampu menurunkan nilai PH, TPC, dan TVB udang kupas dibandingkan dengan kontrol. Sementara itu pada percobaan dengan udang Vanamei, edible coating berbahan ekstrak lindur 2 % tanpa kitosan (K0L2) secara nyata mampu menurunkan nilai pH, TPC, dan TVB udang kupas dibandingkan dengan kontrol pada penyimpanan 10 °C selama 7 hari. Parameter fisik warna dan tekstur serta karakteristik organoleptik pada penerimaan umum, warna, aroma, tekstur, rasa dan hedonik juga berbeda secara nyata dengan parameter pada kontrol. Kombinasi kitosan dan ekstrak lindur terbukti kurang optimal dalam mempertahankan parameter mikrobiologis, parameter fisik, dan parameter organoleptik udang kupas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak lindur dapat menjadi bahan baku edible coating dan menunjukkan potensi sebagai bahan yang mampu mempertahankan mutu mikrobiologis, mutu fisik, dan mutu organoleptik udang kupas sehingga ekstrak buah lindur dapat menjadi alternatif bahan antibakteri dan pengawet alami yang efektif digunakan pada udang kupas.

Kata kunci: edible coatings, kitosan, lindur (Bruguiera gymnorrhiza), udang kupas


(5)

SUMMARY

INDAH ROSULVA. Application of Edible Coating Bases Extract of Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) and Chitosan on Peeled Off Shrimp. Supervised by YADI HARYADI and EMA HASTARINI.

Peeled off shrimp is usually sold at supermarkets and displayed at an air conditioned equipped with lights. This condition causes the temperature of display room increase more than 10 °C from its initial temperature (-1.6 °C), therefore the products presented will suffer a quality degradation. Edible coating can be applied as a packaging to protect shrimps from any damage during storage, to extend the storage period and maintain products’ quality. Besides chitosan, the extract of fruit of lindur plant (that belongs to mangrove group) is suggested as have preservative and antimicrobial activities.

In the present study, edible coating was formulated using a combination of chitosan (0 %, 1 %, 2 %) and lindur fruit extract (0 %, 1 %, 2 %). The study was conducted in two phases, there are introduction phase ( includes chemical analysis of fruit and flour lindur , characterization of chitosan (degree of deacetylation), making lindur flour, making of lindur extract, and analysis of antimicrobial activity. Primary Research Series using Black Tiger shrimp (includes TVB analysis, pH, TPC and hedonic sensory (color, aroma, texture and over-all) at 1 day and 7 days storage. Secondary Research Series using vannamei shrimp (includes TVB analysis, pH, TPC, Organoleptic Quality (texture, appearance and aroma of cooked and raw shrimp and flavor of cooked shrimp), Texture by Texture Profile Analyzer, and color analysis at 1 day , 4 days and 7 days storage .

In experiments with the Black Tiger shrimp, edible coating from extracts lindur 1 % without chitosan (K0L1) and extract lindur 2 % without chitosan (K0L2 ) capable significantly lowering the pH value, TPC, and TVB compared with controls. Meanwhile, in experiments with shrimp Vannamei, edible coating from extracts lindur 2 % without chitosan (K0L2) capable of significantly lowering the pH value , TPC, and TVB peeled shrimp compared to controls on the storage 10 °C for 7 days. Physical parameters of color, texture and organoleptic characteristics of appearance, odor, texture, flavor and hedonic parameters also significantly different to the control parameters. The combination of chitosan and extracts lindur proved less than optimal in maintaining the microbiological parameters, physical parameters, and organoleptic parameters on peeled shrimp. I,oThis study demonstrated that lindur’s extract can be an alternative as antibacterial materials and it is effective as a natural preservative for peeled shrimp.

Keywords : edible coatings, lindur (Bruguiera gymnorrhiza), chitosan, peeled off shrimp.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

APLIKASI EDIBLE COATING BERBASIS KITOSAN

DAN EKSTRAK LINDUR (

BRUGUIERA GYMNORRHIZA)

PADA UDANG KUPAS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

(9)

Judul Tesis : Aplikasi Edible Coating Berbasis Kitosan dan Ekstrak Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) pada Udang Kupas

Nama : Indah Rosulva

NIM. : F251117011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Yadi Haryadi, MSc Dr Ema Hastarini MP Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pangan

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

NIM. F251117011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Tanggal Ujian: 28 Januari 2014 Tanggal Lulus:

U

MAR

2014

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

,

w

Dr Ema Hastarini MP Anggota


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan.

Terlaksananya penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak terkait yang juga memberikan motivasi serta dukungan secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr Ir Yadi Haryadi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang tiada henti memberikan saran, arahan, motivasi dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyusunan tesis.

2. Dr Ibu Ema Hastarini, MP selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara moril maupun materiil selama penulis melakukan penelitian di BBP4BKP.

3. Bapak Dr Ir Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA dan Ibu Dr Endang Prangdimurti selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) selaku pemberi dana hibah serta seluruh staf dan teknisi yang ikut mendukung penyelesaian tesis ini. 5. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta yaitu

Bapak A. Munir Djalil dan ibu Soraya Munir yang telah memberikan do’a yang tulus, motivasi dan bantuan baik secara moriil dan materiil serta perhatian yang begitu besar kepada penulis.

6. Terima kasih juga disampaikan untuk Suami tercinta Jamaludin kabalmay, SE, M.Si dan anakku tersayang Abyan Arkenzie kabalmay, atas segala doa, cinta dan kasih sayang serta dukungan moril dan materiil yang tidak ternilai harganya hingga penulis dapat menyelesaikan studi master ini.

7. Adik-adikku tersayang (Fauziah Fajrin dan Hartantio Nugraha, Ainun Fuadi, M. Ilham Salim, Rahmawati dan Madiana Syifa), terima kasih atas semangat dan motivasinya. Semoga kalian bisa mengejar cita-cita setinggi mungkin. 8. Teman-teman IPN 2011, 2012 dan 2010 yang telah memberikan semangat

dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini. 9. Direktur dan seluruh staf Politeknik Perikanan Negeri Tual serta teman-teman

dosen Polikant yang sedang melanjutkan studi, terima kasih atas dukungannya. Sukses dan jayalah Polikant.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2014


(12)

DAFTAR ISI

PRAKATA ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Kitosan 3

2.2 Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) 4

2.3 Pelapis Edible Coating 6

2.4 Udang Kupas 7

3 METODE 8 3.1 Bahan Penelitian 8 3.2 Peralatan Penelitian 8 3.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 8 3.4 Prosedur Percobaan 8 3.4.1 Penelitian Pendahuluan 9 3.4.1.1 Evaluasi Kualitas Biokimia Buah Lindur 9

3.4.1.2 Karakterisasi Kitosan (Derajat Deasetilasi) 9 3.4.1.3 Pembuatan Tepung dari Buah Lindur 9 3.4.1.4 Pembuatan Ekstrak Lindur dari Tepung Lindur 10 3.4.1.5 Pengujian Aktivitas Antimikroba 11 3.4.2 Penelitian Utama (Aplikasi Edible Coating pada Udang Kupas) 12 3.5 Prosedur Analisis 13 3.6 Rancangan Percobaan 15 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4.1 Penelitian Pendahuluan 16

4.1.1 Karakteristik Kimia Tepung dan Buah Lindur 16

4.1.2 Karakteristik Kitosan 17

4.1.3 Pengujian Aktivitas Antibakteri 18

4.2 Penelitian Utama Seri Pertama untuk Udang Black Tiger 21

4.2.1 Kadar TVB 21

4.2.2 Derajat Keasaman (pH) 22

4.2.3 Jumlah Bakteri Total Plate Count (TPC) 23

4.2.4 Karakteristik Organoleptik 25

4.2.4.1 Tekstur 25


(13)

4.2.4.3 Aroma/Bau 27

4.2.4.4 Penerimaan Umum 28

4.3 Penelitian Utama Seri Kedua untuk Udang Vannamei (L. vannamei) 29

4.3.1 Kadar TVB 29

4.3.2 Derajat Keasaman (pH) 30

4.3.3 Jumlah TPC 31

4.3.4 Karakteristik Organoleptik 32

4.3.4.1 Tekstur 32

4.3.4.2 Kenampakan 34

4.3.4.3 Aroma/Bau 36

4.3.4.4 Rasa 37

4.3.5 Perubahan Tekstur dengan Texture Profile Analyzer 39

4.3.6 Warna 41

5 KESIMPULAN DAN SARAN 44 DAFTAR PUSTAKA 45 LAMPIRAN 50


(14)

DAFTAR TABEL

1 Hasil Uji Kimia Buah dan Tepung Lindur 16

2 Hasil Uji Fitokimia Buah Lindur 16

3 Karakteristik Kitosan Hasil Produksi 17

4 Diameter Daya Hambat Kitosan dalam Pelarut Asam Asetat terhadap

Bakteri Uji Salmonella dan S. aureus 19

5 Diameter Daya Hambat Ekstrak Lindur dalam pelarut Etanol terhadap

Bakteri Uji Salmonella dan S. aureus 20

6 Perubahan nilai TVB udang kupas selama penyimpanan 21 7 Perubahan nilai pH udang kupas selama penyimpanan 23 8 Perubahan nilai TPC udang kupas selama penyimpanan 24 9 Perubahan nilai TVB udang kupas selama penyimpanan 29 10 Perubahan nilai pH udang kupas selama penyimpanan 30 11 Perubahan nilai TPC udang kupas selama penyimpanan 31 12 Perubahan nilai hardness (kgf) udang kupas selama penyimpanan 39 13 Perubahan nilai cohesiveness udang kupas selama penyimpanan 40 14 Perubahan nilai springiness (mm) udang kupas selama penyimpanan 40 15 Perubahan nilai chewiness (kgf.mm) udang kupas selama penyimpanan 40 16 Perubahan warna L* udang kupas selama penyimpanan 42 17 Perubahan warna a* udang kupas selama penyimpanan 42 18 Perubahan warna b* udang kupas selama penyimpanan 43


(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur Kimia Kitosan 3

2 Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) 5

3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Lindur dari Buah Lindur 10 4 Diagram Alir Pembuatan Ekstrak Lindur dari Tepung Lindur 11 5 Diagram Alir Prosedur Aplikasi Edible Coating Kitosan-Ekstrak Lindur 12 6 Perubahan Nilai Organoleptik Tekstur Udang Kupas pada Berbagai

Konsentrasi Selama Penyimpanan 25

7 Perubahan Nilai Organoleptik Warna Udang Kupas pada Berbagai

Konsentrasi Selama Penyimpanan 26

8 Perubahan Nilai Organoleptik Aroma Udang Kupas pada Berbagai

Konsentrasi Selama Penyimpanan 27

9 Perubahan Nilai Organoleptik Penerimaan Umum Udang Kupas pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 28

10 Perubahan Nilai Organoleptik Tekstur Udang Kupas Mentah pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 32

11 Perubahan Nilai Organoleptik Tekstur Udang Kupas Matang pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 33

12 Perubahan Nilai Organoleptik Kenampakan Udang Kupas Mentah pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 34

13 Perubahan Nilai Organoleptik Kenampakan Udang Kupas Matang pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 35

14 Perubahan Nilai Organoleptik Aroma Udang Kupas Mentah pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 36

15 Perubahan Nilai Organoleptik Aroma Udang Kupas Matang pada

Berbagai Konsentrasi Selama Penyimpanan 37

16 Perubahan Nilai Organoleptik Rasa Udang Kupas Matang pada


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan Derajat Deasetilasi 51

2 Kuesioner Uji Hedonik Udang Kupas Mentah dan Matang 52

3 Kuesoner Uji Mutu Udang Kupas Mentah 53

4 Kuesioner Uji Hedonik Udang Kupas Matang 54 5 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Parameter

TPC pada 1 Hari dan 7 Hari Penyimpanan 55

6 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Parameter

pH pada 1 Hari dan 7 Hari penyimpanan 56

7 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Parameter TVB pada 1 Hari dan 7 Hari Penyimpanan 57 8 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Analisis

Organoleptik Tekstur pada Penyimpanan 1 Hari dan 7 Hari 58 9 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Analisis

Organoleptik Warna pada Penyimpanan 1 Hari dan 7 Hari 59 10 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Analisis

Organoleptik Aroma pada Penyimpanan 1 Hari dan 7 Hari 60 11 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Pertama untuk Analisis

Organoleptik Penerimaan Umum pada Penyimpanan 1 Hari dan 7 Hari 61 12 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua Parameter

TVB Udang Kupas pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 62 13 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua Parameter pH

Udang Kupas pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 64 14 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua Parameter TPC

Udang Kupas pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 66 15 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Tekstur

Udang Kupas mentah pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 68 16 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Tekstur

Udang Kupas matang pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 69 17 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk

Kenampakan Udang Kupas mentah pada 1 hari, 4 hari dan

7 hari penyimpanan 71

18 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Kenampakan Udang Kupas matang pada 1 hari, 4 hari dan

7 hari penyimpanan 72

19 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Aroma

Udang Kupas mentah pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 74 20 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Aroma

Udang Kupas matang pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 75 21 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Rasa

Udang Kupas matang pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 77 22 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk

Parameter CIE Warna a* pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 79 23 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk

Parameter CIE Warna b* pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 81 24 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk


(17)

Parameter CIE Warna L* pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan 83 25 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk

Parameter TPA kekerasan (hardness) pada 1 hari, 4 hari dan

7 hari penyimpanan 85

26 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Parameter TPA kohesifitas (cohesiveness) pada 1 hari, 4 hari dan

7 hari penyimpanan 87

27 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Parameter TPA Springiness pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari

penyimpanan 88

28 Analisis ragam dan uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Parameter TPA Chewiness pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari

penyimpanan 90

29 Grafik TPA Penelitian Seri Kedua pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari


(18)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditi perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga memiliki sumber protein hewani yang tinggi. Udang telah diolah dalam berbagai variasi, diantaranya dikeringkan dan dibekukan dalam bentuk whole fresh (utuh), head-off tail on (tanpa kepala tetapi terdapat ekor), dan peeled (udang kupas). Udang kupas umumnya dijual di supermarket dan disajikan pada display makanan berpendingin yang dilengkapi dengan lampu. Kondisi tersebut menyebabkan suhu ruang display menjadi naik sebesar 10 °C dari suhu awal ruang display (-1.6 °C), dengan demikian produk yang disajikan akan mengalami kemunduran mutu. Hal yang menjadi permasalahan pada udang juga terjadinya perubahan warna, peningkatan volatile base nitrogen, perubahan tekstur dan keluarnya cairan yang mengandung padatan daging udang yang dikenal dengan istilah drip (Erdogdu et al. 2004). Mikroorganisme akan mengubah struktur protein daging selama penyimpanan dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan (Serdaroglu dan Felekoglu 2005).

Menurut Kilincceker dan Kurt (2009), untuk memperpanjang masa simpan dan menjaga kualitas produk dapat digunakan edible coating. Edible coating ini penting untuk produk makanan yang mudah mengalami kerusakan seperti

seafood. Edible coating juga dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada permukaan produk olahan segar (Cagri, et al.2004). Edible coating

saat ini juga banyak diaplikasikan sebagai bahan pengemas yang biodegradable

karena bersifat ramah lingkungan dan tidak berbahaya (McHugh, et al. 1994).

Edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk langsung pada bahan dan produk pangan biasanya dengan cara pencelupan (Gennadios 2002).

Bahan-bahan yang paling sering digunakan dalam memproduksi edible coating adalah biopolimer seperti karbohidrat (Bourbon et al. 2011), protein (Abugoch et al. 2011) dan lipid (Loai et al. 2012). Biopolimer itu sendiri adalah suatu istilah umum yang mencakup polimer alam dan polimer sintetik yang dihasilkan dari monomer polimer alam. Diantara biopolimer yang lainnya, kitosan telah menarik perhatian semenjak diperoleh film dan pelapisan yang baik terhadap makanan dengan meningkatkan kualitas dan panjangnya waktu konsumsi suatu makanan karena memiliki sifat mekanik yang memadai dan memiliki sifat penghalang gas yang baik (oksigen dan aroma) pada tingkat menengah dan rendahnya kelembaban relatif (RH) (Abugoch et al. 2011). Selain itu seperti polimer alam yang lainnya, kitosan juga menawarkan peluang besar dalam melengkapi nilai gizi makanan, biodegradabilitas, dan kompatibilitas terhadap lingkungan. Kitosan dan senyawa turunannya diketahui memiliki aktivitas antibakteri (Bourbon et al. 2011; López-Caballero et al. 2005). Sifat-sifat kitosan untuk membentuk film dan antimikroba menjadi sumber yang potensial sebagai bahan pelapis dan pengawet produk pangan alami.

Kitosan merupakan turunan dari kitin yang berasal dari cangkang crustacea

(seperti udang dan kepiting) yang mengandung 20-30 % senyawa kitin, 21% protein dan 40-50 % mineral. Kitosan merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin


(19)

menggunakan basa atau asam kuat (Hargono et al. 2008). selain bahan lain yang dapat juga digunakan untuk mengawetkan produk perikanan dan dapat bersifat sebagai sumber antimikroba alami dapat dihasilkan dari tanaman mangrove, yaitu buah mangrove. Kandungan komponen bioaktif yang tinggi pada buah mangrove seperti steroid, triterpen, saponin, flavonoid, alkaloid dan tanin dapat menghambat pertumbuhan berbagai jenis bakteri (Sivaperumal et al. 2010). Salah satu jenis tanaman mangrove yang belum banyak dimanfaatkan yaitu lindur. Pemanfaatan tanaman lindur saat ini yaitu dari buahnya hanya dalam bentuk pati sebagai dodol, minuman, sumber karbohidrat tinggi dan antioksidan. Pemanfaatan sebagai antimikroba hingga saat ini belum diteliti lebih lanjut. Aplikasi ekstrak lindur dalam pembuatan edible coating diharapkan dapat berperan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik dengan harga ekonomis, dapat diperbarui dan memberikan sifat antimikroba yang baik (Bourtoom 2007). Pada penelitian ini diharapkan edible coating yang terbentuk berbahan kitosan dan lindur dapat memperpanjang masa simpan udang kupas.

1.2 Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah

Penggunaan teknologi edible coating diharapkan dapat menjaga kualitas produk dan memperpanjang masa simpan. Selain itu edible coating juga berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada permukaan produk. Oleh karena itu diperlukan komposisi bahan biopolimer yang dapat diaplikasikan dalam membentuk edible coating.

Kitosan merupakan salah satu biopolimer alam yang memiliki sifat antimikroba. Kitosan berasal dari limbah cangkang udang/kepiting. Saat ini dalam industri pengolahan udang, kulit udang merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Untuk itu sebaiknya dimanfaatkan sebagai bahan baku edible coating

yang akan diaplikasikan pada udang hasil olahan. Lindur merupakan salah satu tanaman mangrove yang melimpah di wilayah Maluku Tenggara, namun sampai saat ini pemanfaatannya belum optimal. Tanaman lindur sendiri merupakan agen antimikroba karena mengandung senyawa flavonoid, khususnya pada buah lindur. Kandungan komponen bioaktif yang tinggi pada buah mangrove seperti steroid, triterpen, saponin, flavonoid, alkaloid dan tanin dapat menghambat pertumbuhan berbagai jenis bakteri (Sivaperumal et al. 2010).

Udang kupas merupakan salah satu produk perikanan yang bersifat

perishable, sehingga mudah mengalami proses pembusukan selama penyimpanan. Hal ini menjadi dasar dalam penelitian ini untuk mengaplikasikan penggunaan

edible coating dalam memperpanjang masa simpan produk. Dalam penelitian ini akan dilakukan penggunaan biopolimer alami sebagai bahan edible coating seperti kitosan dan ekstrak dari buah lindur.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja kitosan dan ekstrak lindur (Bruguiera gymnorrhiza) sebagai bahan edible coating dan mengetahui pengaruh aplikasi edible coating berbahan kitosan dan ekstrak lindur dalam mempertahankan mutu udang kupas selama penyimpanan pada suhu dingin 10 °C.


(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan

Kitosan merupakan polisakarida yang bersifat tidak beracun, biodegradable, biofungsional dan mempunyai sifat antimikroba serta membentuk film bioaktif, sehingga kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengemas untuk mengawet produk pangan (Vargas et al. 2006). Kitosan tidak larut dalam air, tapi larut pada kebanyakan larutan asam organik dengan pH sekitar 4 tapi tidak larut pada pH lebih tinggi. Pelarut yang dapat digunakan adalah asam organik lemah seperti asam asetat 10 % dan asam sitrat 10 % (Sugita2009).

Kitosan sebagian besar tidak hanya dimanfaatkan untuk pembentukan film tapi dapat digunakan juga sebagai antimikroba (Bourbon et al. 2011; López-Caballero et al. 2005). Untuk alasan ini, kitosan dapat digunakan sebagai edible coating atau edible film untuk memperpanjang waktu konsumsi makanan dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Aktifitas antibakteri kitosan berkorelasi erat dengan karakteristik permukaan sel mikroba tersebut. Hal ini dikarenakan muatan positif yang berasal dari gugus asam amino dalam suasana pH asam (di bawah 6.5), yang menyebabkan depolarisasi membran seluler mikroba, sebagai akibat terganggunya integritas dinding sel dari hubungan molekul yang menyebabkan kematian bagi mikroba (Kong 2010). Gambar 1 menunjukkan struktur kimia kitosan.

Gambar 1. Struktur kimia kitosan

Aplikasi kitosan sebagai bahan pengawet produk perikanan telah banyak dilakukan. Suptijah et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan larutan kitosan 1.5 % sebagai film pelapis filet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang menunjukkan nilai analisis sensori, pH dan nilai TVB yang lebih baik daripada filet ikan patin tanpa pelapisan kitosan. Skonberg (2000) melaporkan penggunaan larutan kitosan 1.75% sebagai film pelapis untuk memperpanjang umur simpan filet ikan salmon atlantik dan ikan haddock pada suhu 5 °C ditunjukkan dengan nilai pH, TVB dan TPC yang rendah selama penyimpanan 7 hari. Azharuddin (2009) menyebutkan bahwa pelapisan ikan kaci-kaci beku dengan kitosan 1% memiliki nilai total mikroba yang jauh lebih rendah berkisar antara 8-28 % dibandingkan dengan yang lain.

Aktivitas antimikroba kitosan tergantung pada beberapa faktor diantaranya adalah jenis kitosan yang digunakan, pH medium, suhu dan adanya komponen pangan lainnya. Kitosan mengandung banyak gugus amina di sepanjang rantainya (bersifat kationik), sehingga mampu membentuk kompleks atau berinteraksi


(21)

dengan komponen lain dan memperoleh karakter spesifik dari interaksi tersebut. Pada pH asam, terjadi protonisasi gugus –NH2 menjadi –NH3+, yang dapat

berasosiasi dengan polianion untuk membentuk kompleks dan mengikat sisi anionic pada permukaan sel bakteri dan fungi (Nieto 2009). Sifat tersebut menyebabkan kitosan dapat digunakan sebagai antimikroba dan sebagai pelapis edible untuk memperpanjang umur simpan dan mencegah kerusakan produk pangan (No et al. 2007).

Kitosan memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan berbagai jenis bakteri patogen seperti Salmonella enterica var. Parathypi-A dan S. enterica

var. Paratyphi-B (Yadav dan Bhise 2004), Eschericia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus (Tsai et al. 2002), serta Pseudomonas aeruginosa, Vibrio chloreae, dan V. parahaemolyticus (Rao et al. 2005). Kitosan memiliki efek bakterisidal lebih kuat pada bakteri gram positif seperti Listeria monocytogenes, Bacillus megaterium, B. cereus, Staphylococcus aureus, Lactobacillus plantarum, L. brevis, dan L. bulgaris dibandingkan bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, Pseudomonas fluorescens, Salmonella typhymurium dan Vibrio chloreae dengan konsentrasi kitosan yang dibutuhkan sekitar 0.1% (No et al. 2007).

Kombinasi kitosan dengan bahan lain dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas antibakteri dan dapat diaplikasikan untuk mengawetkan makanan dari berbagai jenis kerusakan terutama yang berasal dari kontaminasi bakteri. Outtara

et al. (2000) melaporkan peningkatan efektivitas film kitosan sebagai bahan antimikroba yang telah ditambah asam asetat, asam propionat, dan asam laurat. Ojagh et al. (2009) melaporkan penggunaan kitosan 2% dan cinnamon oil 1% dapat memperpanjang umur simpan filet ikan rainbow selama 16 hari pada penyimpanan suhu dingin. Hadi (2008) mengkombinasikan larutan kitosan 1% dengan ekstrak bawang putih 2% dalam adonan bakso daging sapi, dan hasilnya menunjukkan daya awet bakso meningkat 12 jam pada penyimpanan suhu ruang dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan kitosan dan bawang putih. Zivanovich et al. (2005) juga menggunakan kitosan dengan penambahan lemak esensial untuk meningkatkan umur simpan sosis panggang, dan hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi asam lemak oregano 1% dan 2% dapat mengurangi jumlah Listeria monocytogenes sampai 3.6 log cfu/g dan 4 log cfu/g.

2.2 Lindur (Bruguiera Gymnorrhiza)

Spesies Bruguiera gymnorrhiza merupakan family Rhizoporaceae yang mempunyai nama lokal antara lain: lindur (Jawa dan Bali), kajang-kajang (Sulawesi), aibon (Biak) dan mangi-mangi (Papua), berbuah sepanjang tahun dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter. Klasifikasi lindur adalah sebagai berikut (Van Wyk 1997):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales

Family : Rhizophoraceae Genus : Bruguiera


(22)

Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) tumbuh pada lapis tengah antara Avicennia

spp yang di tepi pantai dan Nypa fructicans yang berada lebih mendekati daratan. Tumbuh subur pada daerah sungai dan muara sungai di sepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah dan kering. Kulit kayu mempunyai permukaan halus sampai kasar, berwarna abu-abu sampai coklat kehitaman. Akar tanaman lindur berbentuk seperti papan melebar ke samping di bagian pangkal. Tanaman lindur juga mempunyai sejumlah akar lutut. Daun lindur berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya, dengan bercak-bercak hitam, letak berlawanan, bentuk daun elips ujung meruncing. Buah lindur berbentuk memanjang dengan panjang antara 13 - 30 cm (Sadana 2007). Buah lindur adalah seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lindur (Bruguiera gymnorrhiza)

Saat ini Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu jenis mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi hutan mangrove di kawasan pantai selatan Jawa Tengah terutama pantai Cilacap dan Kebumen dan sepanjang pantai utara Jawa Tengah (Sukaryanto 2006).

Dalam bentuk alami, pemanfaatan B. gymnorrhiza yang selanjutnya disebut sebagai buah lindur untuk olahan pangan masih sangat terbatas. Dalam kondisi alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti buah-buahan hasil pertanian yang lainnya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan. Sebagai sumber pangan baru, buah lindur memiliki kandungan tanin dan HCN yang merupakan sisi negatif dari aspek keamanan pangannya. Hal ini adalah karena tanin dan HCN dalam dosis tertentu dapat meracuni manusia. HCN bersifat volatile, sehingga mudah diuapkan pada suhu rendah yaitu 26 ºC sehingga senyawa ini mudah dihilangkan pada saat pengolahan. Dengan demikian, kadar HCN dalam tepung buah lindur dalam batas yang sangat aman untuk dikonsumsi.

Buah lindur kadang-kadang dimanfaatkan sebagai astringen pada waktu mengunyah sirih. Selain itu buah lindur juga cocok untuk obat mata. Daun dan hipokotil yang telah dikupas, direndam dalam air kemudian direbus untuk dimakan pada masa kekurangan pangan di Maluku. Menurut Utami dan Simon (2014), bagian tengah bertepung dimasak dengan gula dan dapat dikonsumsi. Di


(23)

Pulau Solomon, buah lindur dijual sebagai sayuran, dapat dimakan dengan cara dimasak terlebih dahulu (praperlakuan dibersihkan dari kulitnya, dicuci dan dikeringkan untuk menghilangkan kandungan taninnya). Di Melanesia dan Nauru, buah lindur kadang-kadang dicampur dengan kelapa (Allen dan Duke 2006).

2.3 Pelapis Edible Coating

Edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk langsung pada bahan dan produk pangan biasanya dengan cara pencelupan (Gennadios 2002). Pelapis edible adalah berbagai bahan yang digunakan untuk melapisi (coating and wrapping) bahan pangan, tujuannya untuk memperpanjang masa simpan produk dan dapat dimakan bersama bahan yang dilapisisnya (Pavlath dan Orts 2009). Menurut Krotcha dan Johnston (1997) pelapis edible adalah suatu lapisan tipis yang rata, dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) dan dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan makanan seperti bahan pengawet untuk meningkatkan kualitas dan umur simpan makanan. Di bidang pangan pelapis edible digunakan untuk melapisi manisan, produk konfeksioneri, buah-buahan, sayur-sayuran dan beberapa produk daging, unggas maupun hasil laut.

Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying) pada permukaan produk makanan yang bertujuan melindungi serta meningkatkan nilai tambah dari produk. Selain itu tujuan penggunaan edible film atau edible coating adalah untuk mencegah migrasi uap air, gas, aroma dan lipid yang membawa ingredient makanan seperti antioksidan, antimikroba dan flavor (Krochta dan Johnston 1997). Hal yang sama juga disampaikan oleh McHugh dan Senesi (2000) yang menyebutkan bahwa edible coating berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam pemindahan panas, uap air, O2 dan CO2. Dengan penambahan bahan tambahan

seperti bahan pengawet dan zat antioksidan, edible coating tersebut memiliki kemampuan antimikroba dan antioksidan. Gennadios (2002) mendefinisikan

edible coating merupakan lapisan tipis yang dapat dimakan yang digunakan pada makanan dengan cara pencelupan atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap pemindahan gas, uap air dan perlindungan terhadap kerusakan mekanik. Menurut Wong et al. (1994), beberapa teknik aplikasi dalam

edible coating diantaranya adalah pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying) dan pemolesan (brushing).


(24)

2.4 Udang Kupas

Udang merupakan salah satu komoditi perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein udang vannamei (Litopenaeus vannamei) yang dimasak melalui proses perebusan adalah 23.25%. Udang putih atau white shrimp (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang banyak terdapat di Indonesia. Menurut habitatnya, udang ini termasuk kategori udang laut tetapi dapat dibudidayakan di tambak. Udang putih merupakan salah satu dari 80 jenis udang penaeid yang telah diusahakan secara komersial. L. vannamei juga dikenal sebagai west coast white shrimp, camaron patiblanco. Sedangkan udang windu atau yang biasa dikenal dengan black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn

merupakan udang laut atau udang penaeidae yang dapat dibudidayakan di tambak. Disebut tiger karena memiliki corak tubuh berupa garis-garis loreng mirip harimau tetapi warnanya hijau kebiruan. Panjang dan berat udang windu hasil tangkapan dari laut bisa mencapai 35 cm dan 260 gram/ekor. Jika dipelihara di tambak, panjang tubuh maksimum udang windu bisa mencapai 20-25 cm dan berat rata-rata 140 gram/ekor (Amri 2003).

Udang kupas adalah produk yang diolah dari udang segar yang mengalami perlakuan pemotongan kepala dan pengupasan kulit dengan atau tanpa ekor. Udang kupas biasanya diekspor dalam bentuk beku (udang beku mentah dan udang beku rebus) atau segar. Menurut Murtidjo (1992) kualitas komoditas udang ekspor terbagi dalam 3 klasifikasi:

1. Udang beku segar (fresh frozen shrimp), merupakan udang ukuran besar yang memiliki bobot rata-rata 50 g/ekor, dengan kualitas prima.

2. Udang kupas segar (Peeled Shrimp), merupakan udang-udang ukuran besar yang dikupas kulitnya dan mutunya masih cukup baik.

3. Udang kupas rebus (Precooked Shrimp), merupakan udang yang rata-rata memiliki ukuran kecil, sehingga kurang cocok untuk dibekukan dalam keadaan segar. Dengan demikian dapat dijadikan komoditas udang rebus beku. Pengupasan dilakukan setelah perebusan dalam larutan garam yang mendidih selama 5-40 menit.

Salah satu cara untuk menghambat kerusakan udang kupas adalah dengan menerapkan teknik suhu rendah berupa pemberian es, pendinginan dan pembekuan (Ilyas 1983). Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan yaitu 2 °C sampai dengan 10 °C (Winarno 2008). Menurut Ilyas (1983) bahwa selama penyimpanan dingin tersebut udang akan mengalami perubahan mutu seperti permukaan udang mengering (dehidrasi) akibat kehilangan uap air, sedangkan rupa dan warnanya akan mengalami perubahan dari aslinya dan teksturnya menjadi lunak (lembek). Untuk mengurangi perubahan yang terjadi pada udang selama masa simpan tersebut maka dilakukan pelapisan dengan ediblecoating berbahan kitosan dan ekstrak lindur.


(25)

3 METODE

3.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang jenis black tiger

(Penaeus monodon) yang diperoleh dari pasar tradisional di Bogor, udang jenis vanname (Litopenaeus vannamei) yang diperoleh dari perusahaan everfresh di Jakarta, buah lindur (Bruguiera gymnorrhiza) yang diperoleh dari daerah mangrove di sekitar kepulauan Kei, Maluku Tenggara, kitosan yang diperoleh dari perusahaan Biotech Surindo di Cirebon, isolat Staphylococcus aureus dan

Salmonella yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Seafast Center

LPPM-IPB. Bahan kimia yang digunakan adalah dietil eter, etanol 96 %, asam asetat 100 %, asam fosfat 85 % (H3PO4), natrium hidroksida (NaOH), asam klorida (HCl) 37 %, gliserol 87 %, sorbitol 70 %, trikloroasetat (TCA) 7 %. Selain itu digunakan pula kertas Whattman No. 41 dan No. 42, nutrien agar dan nutrien broth.

3.2 Peralatan Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah texture analyzer TA-XT plus, kromameter colorflex EZ hunterLab, pH meter dari Autech Instrument

dan pH meter Thermo Scientific, timbangan digital Sartorius dan Adventurer, spektrometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) PerkinElmer C69526, hot plate, oven pengering Memmert dan oven pengering Binder, colony counter Chiltern ZC301, laminar flow Britain, heating bath Butchi B-491, rotavapor

Butchi R-215, stomacher Seward 400 Circulator, sonikator Memmert, pompa vakum Butchi V-700, inkubator, autoclave, dan blender Tokeby dan blender

Philips.

3.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium pengolahan, laboratorium kimia, laboratorium fisik, laboratorium mikrobiologi dan laboratorium instrumen, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP), Slipi, Jakarta serta di laboratorium mikrobiologi dan laboratorium biokimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan mulai bulan Maret hingga November 2013.

3.4 Prosedur Percobaan

Metode penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan percobaan meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi karakterisasi bahan baku (analisis kimia meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar HCN, kadar tanin dan uji fitokimia), karakterisasi kitosan (meliputi uji kadar air, kadar abu dan derajat deasetilasi), pembuatan tepung lindur dari buah lindur, pembuatan ekstrak dari bahan lindur, dan pengujian aktivitas antimikroba kitosan dan ekstrak lindur (pada bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella) serta pengujian vibrio untuk


(26)

udang segar. Penelitian utama meliputi penambahan kitosan dan ekstrak lindur untuk pembuatan edible coating serta aplikasi edible coating pada udang kupas.

Penelitian utama terdiri atas dua seri penelitian, yaitu Penelitian Seri Pertama dan Penelitian Seri Kedua. Pada Penelitian Seri Pertama menggunakan udang Black tiger dengan parameter TPC, TVB, pH dan karakteristik organoleptik (tekstur, aroma, warna dan penerimaan umum pada udang kupas mentah) selama penyimpanan 1 hari dan 7 hari. Pada Penelitian Seri Kedua menggunakan udang jenis Vanname dengan parameter TPC, TVB, pH, uji warna (L*, a*, b*), karakteristik TPA (Texture Profile Analyzer) dan karakteristik organoleptik (meliputi uji hedonik untuk udang kupas mentah dan udang kupas matang), serta karakteristik mutu (rasa untuk udang matang, tekstur, kenampakan dan aroma untuk udang kupas mentah dan matang) pada penyimpanan 1 hari, 4 hari dan 7 hari. Berikut ini adalah penguraian dari masing-masing tahapan percobaan.

3.4.1 Penelitian Pendahuluan

3.4.1.1 Evaluasi Kualitas Biokimia Buah Lindur

Karakterisasi buah lindur meliputi analisis kimia (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat) untuk buah segar dan tepung serta dilanjutkan dengan uji kandungan fitokimia, tanin dan HCN pada bahan baku lindur.

Kadar air ditentukan dengan oven pada suhu 105 °C selama 16 jam (AOAC 2000). Persentase protein kasar ditentukan dengan metode AOAC (2000). Kadar abu ditentukan dengan metode AOAC (2000). Kadar lemak ditentukan dengan metode AOAC (2000). Kadar karbohidrat ditentukan dengan menggunakan metode luff schroll untuk menghitung kadar pati (AOAC 2000). Kadar serat dihitung dengan perhitungan by difference. Kadar tanin ditentukan dengan metode Chanwitheesuk et al. (2004) dan kandungan total tanin dinyatakan dalam mg/kg ektrak. Identifikasi kandungan analisis fitokimia dalam ekstrak dilakukan terhadap senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid, fenol, flavonoid, saponin, tanin menurut metode Depkes (2009).

3.4.1.2 Karakterisasi Kitosan (derajat deasetilasi)

Karakterisasi kitosan meliputi penentuan derajat deasetilasi dan analisis kadar air, kadar abu, pH dan viskositas. Penentuan Derajat Deasetilasi ditentukan berdasarkan metode Nessa et al. (2010) dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) SpectroscopyPerkinelmer C69526 pada frekuensi 4000-400 cm-1. Derajat deasetilasi dihitung berdasarkan grafik pada Lampiran 1. Puncak tertinggi diukur dari garis dasar yang dipilih untuk menentukan absorbansi yang dihitung dengan menggunakan rumus:

% DD = 100 – ([(A1655/A3450) x 100] ÷ 1.33)

Keterangan : A1655 = nilai absorbansi pada 1655 cm-1

A3450 = nilai absorbansi pada 3450 cm-1

3.4.1.3 Pembuatan Tepung dari Buah Lindur

Buah lindur dikupas kulitya dan direndam dalam air, selanjutnya direbus selama 60 menit. Setelah proses perebusan, buah lindur dihancurkan dan dijemur


(27)

hingga kering. Bubuk lindur kering digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk kasar. Serbuk kasar diayak dengan menggunakan ayakan 65 mesh. Prosedur pembuatan tepung lindur dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung lindur dari buah lindur 3.4.1.4 Pembuatan Ekstrak Lindur dari Tepung Lindur

Ekstraksi sampel dilakukan dengan metode maserasi menurut metode Malangngi et al. (2012). Sebanyak 20 g sampel direndam dalam 100 ml etanol 95% selama 24 jam kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat (filtrat pertama). Sisa padatan diperlakukan sama guna mendapatkan filtrat kedua. Kedua filtrat yang diperoleh disatukan, kemudian diuapkan menggunakan rotavapor sehingga diperoleh ekstrak lindur. Penimbangan dilakukan terhadap labu kosong sebagai bobot awal dan labu setelah didapat ekstrak. Bobot filtrat dihitung dari selisih bobot akhir setelah evaporasi dengan bobot awal labu kosong. Ekstrak hasil evaporasi dalam labu kemudian dilarutkan dalam 10 ml etanol. Sisa ekstrak yang menempel dalam labu dilarutkan dengan bantuan sonikator. Ekstrak yang didapat kemudian didinginkan dalam desikator sebelum analisis lebih lanjut. Prosedur kerja pembuatan ekstrak lindur dari tepung lindur dapat dilihat pada Gambar 4.

Buah lindur

Pembuangan kulit dan perendaman

Ekstraksi selama 60 menit, suhu 100°C Penghancuran kasar

Penjemuran hingga kering Penghancuran dengan blender

Pengayakan menggunakan saringan mesh 65 Analisis

kimia


(28)

Gambar 4. Diagram alir pembuatan ekstrak lindur dari tepung lindur

3.4.1.5 Pengujian aktivitas antimikroba

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari kitosan dan ekstrak lindur terhadap bakteri uji Salmonella dan S.aureus menggunakan metode uji difusi agar dengan kertas cakram. Satu ose isolat bakteri Salmonella

dan S.aureus masing-masing diinokulasi ke dalam 9 ml media NB, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Kultur sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam cawan petri dan dituangkan media agar sebanyak 20 ml, dibiarkan membeku. Siapkan kertas saring atau kertas cakram berbentuk bulat dengan diameter 6 mm yang sudah disterilkan. Selanjutnya ke dalam kertas cakram diteteskan ekstrak lindur atau kitosan (yang telah dilarutkan dalam asam asetat) dengan konsentrasi berbeda sebanyak 60 µL diatas atau pada kertas saring, biarkan sampai semua kertas saring tersebut menyerap senyawa antimikroba. Tiriskan kertas cakram (sampai tidak menetes) dan letakkan kertas cakram tersebut diatas permukaan agar yang telah memadat (3 cakram per cawan). Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37 °C dan setelah 24 jam dilakukan pengamatan terhadap zona bening yang terbentuk di sekeliling kertas cakram dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada setiap sisi (Lioe

et al. 2012).

Maserasi dengan etanol 95% selama 48 jam

Penyaringan hingga didapat filtrat

Evaporasi hingga didapat ekstrak lindur dan etanol

Sonikasi dengan etanol 10 ml

Ekstrak lindur Tepung lindur


(29)

3.4.2 Penelitian Utama (Aplikasi Edible Coating pada Udang Kupas)

Penelitian utama terdiri atas dua seri penelitian, yaitu Penelitian Seri Pertama dan Penelitian Seri Kedua. Dalam Penelitian Seri Pertama digunakan konsentrasi kitosan sebanyak 0 %, 1 %, 2 % dengan asam asetat 1 % sebagai pelarut (b/v). Konsentrasi ekstrak lindur sebanyak 0 %, 1 % dan 2 % dengan etanol sebagai pelarut (v/v). Udang yang digunakan adalah jenis Black tiger.

Sedangkan untuk Penelitian Seri Kedua digunakan konsentrasi kitosan sebanyak 0% dan 1 % dengan asam asetat 1 % sebagai pelarut (b/v), serta konsentrasi ekstrak lindur sebanyak 0 %, 1 % dan 2 % dengan etanol sebagai pelarut (v/v). Udang yang digunakan adalah jenis udang vannamei.

Kitosan dan ekstrak lindur masing-masing konsentrasi dilarutkan dalam air destilata, dilakukan penambahan agar 1 % (b/v), dan gliserol 0.5 % (v/v) kemudian dipanaskan hingga mendidih. Larutan kemudian didinginkan hingga suhu sekitar 40 °C. Setelah itu, larutan diaplikasikan sebagai edible coating

dengan cara mencelupkan udang kupas selama 5 detik. Udang kupas yang telah dilapisi edible coating kemudian ditiriskan pada suhu kamar sampai lapisan edible coating mengering. Udang kupas kemudian disimpan pada suhu dingin (10 °C). Diagram alir prosedur aplikasi edible coating pada udang kupas dapat dilihat pada Gambar 5.

Pada Penelitian Seri Pertama, analisis yang dilakukan meliputi uji TPC, TVB, pH dan organoleptik hedonik meliputi parameter warna, aroma, tekstur dan penerimaan umum pada penyimpanan 1 dan 7 hari pada suhu dingin (10 °C).

Pada Penelitian Seri Kedua, analisis yang dilakukan meliputi uji Vibrio, TPC, TVB, pH, uji warna dengan kromameter, uji tekstur dengan Texture Profile Analyzer, uji organoleptik meliputi uji hedonik dan mutu (rasa untuk udang matang yang direbus selama sekitar 5 menit pada suhu sekitar 100 °C serta kenampakan, aroma dan tekstur untuk udang matang dan mentah). Pengamatan dilakukan selama 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan pada suhu dingin (10 °C).

Gambar 5. Diagram alir prosedur aplikasi edible coating kitosan-ekstrak lindur Udang kupas

Pembuatan larutan coating dari ekstrak lindur+kitosan+gliserol+agar+air Pencelupan dalam larutan sekitar 40 °C selama 5 detik

Penirisan pada suhu kamar selama 1 menit Penyimpanan pada suhu dingin (10 °C)


(30)

3.5 Prosedur Analisis 1. TPC (Fardiaz 1993)

Perhitungan jumlah bakteri total menggunakan metode TPC (Total Plate Count) prinsipnya adalah menentukan populasi bakteri yang terdapat pada bahan pangan. Prosedur kerjanya yaitu sampel 5 g ditimbang secara aseptis dan representatif, kemudian dimasukkan dalam blender steril dan ditambahkan 45 ml NaCl 0.85 % steril lalu diblender sampai homogen. Larutan yang diperoleh adalah pengenceran 1:10. Selanjutnya tahap inokulasi yaitu sebanyak 1 ml dari larutan 1:10 dimasukkan dalam cawan petri steril, lalu ditambahkan larutan media PCA steril bersuhu 45 °C sebanyak 25 ml dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agar memadat. Proses ini dilakukan juga pada larutan dengan pengenceran 1:100 sampai 1:10.000.000, secara duplo. Setelah media yang telah diinokulasi memadat, kemudian dilakukan tahap inkubasi yaitu cawan petri diinkubasi pada suhu 37 °C dengan posisi terbalik selama 48 jam. Perhitungan jumlah bakteri berdasarkan ISO Standard for Microbiological Methods (Lioe et al. 2012), yaitu :

N = Σc ÷ ((n1 + 0.1 n2) x d)

Dimana :

Σc = jumlah koloni bakteri pada semua cawan yang mengandung 25-250 koloni

n1 = jumlah cawan petri yang masuk perhitungan pada pengenceran pertama

n2 = jumlah cawan petri yang masuk perhitungan pada pengenceran berikutnya

d = faktor pengenceran pertama

2. Derajat Keasaman (pH) (AOAC 2000)

Pengukuran nilai pH dilakukan menggunakan pH-meter Autech Instrument

dan Thermo Scientific yang telah dikalibrasi menggunakan buffer pH 7 dan pH 4. Sampel yang ditambahkan akuades (perbandingan 1:2 b/v), dan dihancurkan dengan homogenizer. Elektroda dicelup dalam larutan sampel sampai diperoleh pembacaan angka yang stabil, lalu nilai pH dicatat.

3. TVB (AOAC 2000)

Prinsip penetapan Total Volatile Base (TVB) adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, di-, tri- metil amin, dan lain-lain) di dalam ekstrak sampel yang bersifat basa pada suhu 35 °C selama 2 jam atau suhu kamar selama semalam. Senyawa-senyawa tersebut akan diikat oleh asam borat kemudian dititrasi dengan HCl. Prosedur kerjanya yaitu sebanyak 10 g sampel ditimbang. Kemudian dihomogenkan dengan ditambahkan 75 ml larutan TCA (trikloroasetat) 7 % (b/v) dengan homogenier selama 1 menit. Larutan disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat yang jernih. Cawan conway disiapkan, yaitu dengan menuang 1 ml asam borat dalam inner chamber, sedangkan filtrat dan K2CO3 jenuh dituang dalam outer chamber pada arah yang

berlawanan masing-masing sebanyak 1 ml. Setelah cawan ditutup rapat (ditambahkan vaselin), kemudian dimasukkan dalam inkubator (suhu 35 °C) selama 2 jam dan sebelumnya cawan digoyang dengan hati-hati sampai filtrat K2CO3 bercampur. Setelah inkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber


(31)

blanko, filtrat diganti dengan TCA 7 %. Nilai TVB diukur dengan persamaan sebagai berikut:

TVB (mgN/100 ) = (a - b) x N HCl x 14.007 x (100/g sampel) x (100/l) Dimana :

a = ml titrasi HCl pada sampel b = ml titrasi HCl pada blanko

4. Pengukuran Tekstur Udang secara Objektif

Tekstur udang dianalisis dengan menggunakan alat Texture Analyzer TA-XT plus yang telah dilengkapi dengan sistem komputerisasi. Pengukuran dengan metode Texture Profile Analysis dilakukan dengan terlebih dahulu memilih setting Texture Profile Analysis pada program Texture Analyzer. Sampel kemudian ditempatkan pada wadah uji dan dilakukan pengukuran tekstur melalui pemberian gaya tekan (compression) sebanyak dua kali yang merupakan simulasi dari proses pengunyahan di dalam mulut. Output hasil pengukuran berupa grafik kemudian dianalisis untuk menghitung parameter rheologi yang diinginkan.Hasil grafik yang didapat kemudian dianalisis parameternya melalui perhitungan yang masing-masing profil tekstur memiliki perhitungannya sendiri. Pembacaan grafik dibantu dengan menggunakan program Texture Exponent Lite 4.0.7.0 dari Visual Components Incorporation.Melalui program ini didapatlah nilai titik tertinggi dari puncak kurva pertama, luas area puncak kurva 1 dan luas area puncak kurva 2, serta waktu yang digunakan saat penekanan pertama dan penekanan kedua. Setelah didapatkan nilai-nilai tersebut, lalu dihitung parameter profil teksturnya. Parameter profil tekstur yang dihitung adalah kekerasan, elastisitas, daya kunyah, kohesivitas, dan kelengketan (gumminess).

5. Analisis warna (HunterLab ColorFlex EZ spectophotometer)

Sampel di letakan pada gelas beker sampai seluruh dasar gelas beker tertutupi oleh bahan. Analisis warna kemudian dilakukan dengan menggunakan

Hunterlab ColorFlex EZ spectrophotometer. Uji warna udang dilakukan dengan sistem warna Hunter L*, a*, b*. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan standar warna putih yang terdapat pada alat tersebut. Hasil analisis yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*.

6. Uji Organoleptik (BSN 2006)

Uji organoleptik Penelitian Seri Pertama meliputi penilaian hedonik terhadap warna, aroma dan tekstur serta penerimaan umum pada udang kupas mentah selama penyimpanan 1 dan 7 hari pada suhu dingin 10 °C dengan tujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk. Kuesioner uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2. Penilaian hedonik dilakukan untuk udang kupas mentah dan matang dengan skor 0 hingga 7. Pengamatan dilakukan pada satu hari dan satu minggu penyimpanan. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji skoring menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Sampel yang akan diamati diberi kode sesuai dengan tabel kode contoh.

Uji organoleptik Penelitian Seri Kedua meliputi penilaian mutu inderawi terhadap rasa untuk udang kupas matang, serta terhadap aroma, tekstur dan


(32)

kenampakan untuk udang kupas mentah dan matang. Pengamatan dilakukan pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji skoring menggunakan 7 orang panelis terlatih yang telah terakreditasi oleh badan KAN. Sampel yang akan diamati diberi kode sesuai dengan tabel kode contoh. Instrumen ini lebih detail dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

3.6 Rancangan Percobaan

Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian utama (Penelitian Seri Pertama dan Penelitian Seri Kedua) adalah rancangan faktorial dua faktor dengan dua ulangan. Semua analisis dilakukan secara duplo. Model matematika rancangan faktorial dapat dirumuskan sebagai berikut:

ijk= µ + Ai+ Bj + (AB)ij + Ɛijk

Keterangan :

ijk = Respon dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke- k

µ = Nilai tengah umum

Ai = Pengaruh faktor A (kitosan) pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh faktor B (ekstrak lindur) pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j

ɛ ijk = Pengaruh galat dalam percobaan

Pada Penelitian Seri Pertama, parameter yang diamati meliputi TPC, pH, TVB, dan karakteristik organoleptik yang dilakukan pada penyimpanan 1 hari dan 7 hari. Faktor pertama adalah konsentrasi kitosan (K) dengan 3 taraf (K0 = 0 %, K1 = 1 % dan K2 = 2 %). Faktor kedua adalah konsentrasi lindur (L) dengan 3 taraf (L0 = 0 %, L1 = 1 % dan L2 = 2 %). Dengan demikian total kombinasi perlakuan terdiri atas 9 kombinasi, yaitu kontrol (kitosan 0 %; lindur 0 %) (K0L0), kitosan 0 %; lindur 1 % (K0L1), kitosan 0 %; lindur 2 % (K0L2), kitosan 1 %; lindur 0 % (K1L0), kitosan 1 %; lindur 1 % (K1L1), kitosan 1 %; lindur 2 % (K1L2), kitosan 2 %; lindur 0 % (K2L0), kitosan 2 %; lindur 1 % (K2L1), kitosan 2 %; lindur 2 % (K2L2).

Pada Penelitian Seri Kedua, parameter yang diamati meliputi TPC, pH, TVB, dan karakteristik organoleptik yang dilakukan pada penyimpanan 1 hari, 4 hari dan 7 hari. Faktor pertama adalah konsentrasi kitosan (K) dengan 2 taraf (K0 = 0 % dan K1 = 1 %). Faktor kedua adalah konsentrasi lindur (L) dengan 3 taraf (L0 = 0 %, L1 = 1 % dan L2 = 2 %). Dengan demikian terdapat 6 kombinasi perlakuan terhadap udang kupas, yaitu kontrol (kitosan 0 %; lindur 0 %) (K0L0), kitosan 0 %; lindur 1 % (K0L1), kitosan 0 %; lindur 2 % (K0L2), kitosan 1 %; lindur 0 % (K1L0), kitosan 1 %; lindur 1 % (K1L1) dan kitosan 1 %; lindur 2 % (K1L2).

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui adanya pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya terhadap setiap parameter uji menggunakan IBM SPSS Statistik Software (Versi 20.0, IBM SPSS Inc, Armonk, NY, USA) (SPSS 2000). Jika dalam analisis ragam terdapat ada pengaruh nyata dari salah satu faktor atau kedua faktor dan interaksinya, analisis statistik dilanjutkan dengan uji jarak Duncan untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan, pada taraf nyata 95 % atau pada nilai p = 0.05 (Sastrosupadi 2004).


(33)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan

4.1.1 Karakteristik Kimia Tepung dan Buah Lindur

Berdasarkan hasil uji kimia yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat, HCN, tanin dan fitokimia didapatkan bahwa buah lindur dan tepung memiliki spesifikasi seperti yang dicantumkan dalam Tabel 1. Sedangkan untuk hasil uji fitokimia secara kualitatif dari buah lindur dicantumkan dalam Tabel 2.

Tabel 1 Hasil uji kimia buah dan tepung lindur Parameter Buah Lindur Tepung Lindur

Kadar Air (%) 59,49 13,21

Kadar Abu (% bb) 1,35 1,05

Kadar Protein (% bb) 2,17 4,46

Kadar Lemak (% bb) 0,27 0,03

Kadar Karbohidrat (% bb) 14,85 47,43

Kadar Serat (%) 21,87 33,82

Kadar HCN (ppm) 19,26 5,59

Kadar Tanin (mg) 34,11 25,25

Tabel 2 Hasil Uji Fitokimia Buah Lindur Senyawa yang terbentuk +/- Proses yang terjadi

Steroid + Terjadi perubahan warna dari merah ke biru/hijau

Alkaloid -

Flavonoid + Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau

Saponin -

Fenol hidroquinon -

Tanin + Terbentuk warna merah tua

Buah lindur merupakan tumbuhan mangrove yang habitatnya berada di dekat wilayah perairan dan umumnya tumbuh di pesisir pantai. Kadar air buah lindur adalah 59.49 % (bb), sedangkan kadar air tepung lindur adalah 13.21 %. Kadar abu buah lindur segar dan tepung lindur adalah berturut-turut 1.35 % dan 1.3 %. Kadar lemak buah lindur dan tepung lindur adalah berturut-turut 0.27 % dan 0.03 %. Kadar protein buah lindur segar dan tepung lindur adalah berturut-turut 2.17 % dan 4.46 %. Kadar karbohidrat buah lindur segar dan tepung lindur adalah berturut-turut 14.85 % dan 47.43 % dengan menggunaan metode luff schroll untuk menghitung kadar pati dalam buah dan tepung lindur. Kadar serat dihitung menggunakan perhitungan by difference dengan kadar serat dari buah lindur segar dan tepung lindur berturut-turut adalah 21.87 % dan 33.82 %. Kadar HCN adalah 19.26 ppm pada buah lindur segar dan 5.59 ppm pada buah lindur dengan 1x perebusan.


(34)

Menurut Sudiyono (2010), batas normal kadar HCN yang dapat dikonsumsi manusia adalah < 50 ppm sehingga kadar HCN buah lindur yang dijadikan bahan baku edible coating dalam penelitian ini masih di bawah batas aman untuk dikonsumsi. Asam sianida merupakan zat berbahaya. Menurut Purnomoadi (2008), kandungan sianida dapat diturunkan dengan menggunakan berbagai metode misalnya pengeringan dengan sinar matahari dan pemanasan buatan. Dua faktor dari proses pengeringan diketahui membantu proses penurunan sianida yaitu proses dehidrasi (penghilangan air) dan perusakan sel akibat panas. Berdasarkan proses pengujian untuk menjadi tepung, buah lindur mengalami proses pemanasan (perebusan), perendaman dan pengeringan. Ketiga proses tersebut sangat berpengaruh dalam menurunkan kadar sianida. Akibatnya penurunan HCN dari buah segar menjadi tepung sangat signifikan. Hasil analisis kadar tanin rata-rata adalah 34.11 mg/100 g untuk buah lindur segar dan 25.25 mg/100 g tanin untuk penepungan langsung. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan tanin dalam buah lindur masih sangat aman untuk dikonsumsi karena nilai ADI tanin adalah 560 mg/kg berat badan/hari. Kadar tanin yang tinggi menyebabkan rasa pahit pada bahan makanan. Senyawa ini bersifat karsinogenik

apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih dan kontinyu (Sofro et al. 1992). Berdasarkan uji fitokimia secara kualitatif didapatkan bahwa ekstrak lindur memiliki kandungan senyawa steroid, flavonoid dan tanin sehingga lindur memiliki kapasitas sebagai antibakteri.

4.1.2 Karakteristik Kitosan

Sebelum digunakan sebagai bahan pengawet dan antibakteri, dilakukan analisis kitosan untuk mendapatkan informasi sifat dan karakteristik kitosan untuk selanjutnya dibandingkan dengan karakteristik kitosan komersil dari Laboratorium Protan. Berikut adalah hasil analisis kitosan dan perbandingannya dengan standar mutu kitosan seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik kitosan hasil produksi

Parameter Karakteristik

Kitosan komersil * Kitosan uji

Warna Coklat terang hingga putih Coklat terang hingga putih Ukuran partikel Flake hingga bubuk (powder) Serpihan kecil (flake) Derajat deasetilasi ≥ 80 - 85 % 80.25 %

Kadar air ≤ 10 % 13.6 %

Kadar abu ≤ 2 % 1.67 %

pH (1%) 7 - 8 7

* Suptijah et al. (1992)

Ukuran partikel kitosan sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Bahan baku yang berasal dari kulit udang memiliki bentuk yang lebih halus dan mudah hancur selama proses pembuatan kitosan. Ukuran partikel akan mempengaruhi kelarutan kitosan, semakin kecil ukuran partikel maka semakin mudah kitosan larut dalam pelarut. Pada Tabel 3 terlihat bahwa ukuran partikel kitosan uji tidak terlalu berbeda dengan standar yang ada. Bentuk kitosan uji


(35)

berupa serpihan kecil diakibatkan oleh perbedaan bahan baku karena kitosan uji berasal dari cangkang kepiting yang diproduksi oleh perusahaan Biotech Surindo.

Kadar air merupakan parameter mutu yang ditetapkan untuk kitosan. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air kitosan diketahui sebesar 13.6 %. Nilai ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan standar mutu kitosan (≤ 10 %) yang telah ditetapkan oleh Protan laboratories dalam Suptijah et al. (1992). Kadar abu pada kitosan merupakan parameter penting yang dapat mempengaruhi kelarutan, mengakibatkan viskositas rendah atau dapat mempengaruhi karakteristik produk akhir (No dan Meyers 1995). Analisis proksimat kitosan menunjukkan nilai kadar abu adalah 1.67 % dan telah sesuai dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Faktor yang mempengaruhi nilai kadar abu kitosan adalah proses demineralisasi dan air yang digunakan ketika penetralan pH. Proses demineralisasi yang efektif akan banyak menghilangkan mineral (Angka dan Suhartono 2000), sehingga pengotor dapat tereduksi dan kinerja kitosan semakin optimal (Rahardyani 2011). Air yang digunakan untuk penetralan tidak mengandung mineral karena dapat meningkatkan kadar mineral dalam bahan, sehingga jumlah pengotor semakin meningkat (Suptijah 2006).

Derajat deasetilasi merupakan salah satu parameter mutu yang penting untuk kitosan. Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukkan kemurnian kitosan yang dihasilkan (Bastaman 1989). Derajat deasetilasi kitosan menentukan seberapa banyak gugus asetil yang hilang selama proses deasetilasi kitin. Hasil analisis kitosan uji menunjukkan derajat deasetilasi sebesar 80.25 %, sesuai

dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh Protan Laboratories yakni ≥ 70%.

Muzarelli dan Peter (1997) menyatakan bahwa semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif karena banyaknya gugus amina yang menggantikan gugus asetil. Gugus amina lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan.

4.1.3 Pengujian Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan pada kitosan dengan variasi konsentrasi 1 %, 2 % dan 3 % (b/v) dalam larutan asam asetat 1 % (v/v), sedangkan pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak lindur dengan konsentrasi 1%, 2 % dan 3 % (v/v) dalam pelarut etanol. Kontrol yang digunakan adalah etanol yang merupakan pelarut ekstrak lindur. Hasil difusi sumur agar menunjukkan bahwa pelarut etanol tidak bersifat menghambat pertumbuhan bakteri uji, dengan demikian tidak mempengaruhi aktivitas antibakteri senyawa ekstrak lindur. Etanol merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan hampir sebagian besar komponen senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Etanol yang digunakan sebagai pelarut dalam penelitian ini yaitu etanol 96 %. Etanol 96 % berarti mengandung 4 % air di dalamnya, sehingga etanol ini memiliki titik didih lebih rendah dibandingkan titik didih masing-masing penyusunnya. Etanol ini tidak memiliki aktivitas antibakteri karena berbeda dengan etanol yang digunakan sebagai antiseptik (etanol 70 %).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari kitosan dan ekstrak lindur terhadap pertumbuhan bakteri uji. Bakteri yang diujikan adalah


(36)

mendapatkan perlakuan terbaik yang dapat diaplikasikan ke dalam penelitian tahap selanjutnya. Hasil uji antibakteri dari kitosan dan ekstrak lindur terhadap bakteri uji Salmonella dan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4 Diameter daya hambat kitosan dalam pelarut asam asetat terhadap bakteri uji Salmonella

dan S. aureus

Konsentrasi kitosan dalam pelarut asam asetat 1 %

Salmonella (mm)

S. aureus (mm)

0 % 0 0

1 % 8.30 6.98

2 % 6.48 6.57

3 % 0 0

Diameter zona hambat ekstrak lindur dan kitosan pada pertumbuhan bakteri S. aureus dan Salmonella cukup kecil sehingga efektivitasnya tergolong rendah terutama pada konsentrasi rendah. Pada Tabel 4 terlihat bahwa diameter zona hambat kitosan 1 % adalah 8.30 mm pada Salmonella dan 6.98 mm pada S. aureus. Diameter zona hambat kitosan 2 % adalah 6.48 mm pada Salmonella dan 6.57 mm pada S. aureus. Tidak ada zona hambat pada kitosan 3 %. Penghambatan kitosan lebih besar terhadap Salmonella dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa S. aureus lebih tahan terhadap senyawa antibakteri dalam kitosan dibandingkan dengan Salmonella. Semakin tinggi konsentrasi kitosan akan semakin menurunkan efektivitas kitosan dalam menghambat bakteri. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsentrasi yang disebabkan dengan semakin tinggi konsentrasi, maka viskositas akan semakin meningkat hingga kitosan akan lebih sulit berdifusi dalam media agar (Komariah

et al. 2013). Hal senada juga diungkapka oleh Kurniasih dan Kartika (2009) bahwa semakin besar konsentrasi larutan kitosan yang digunakan semakin kecil aktivitas antibakteri yang diberikan. Hal ini disebabkan karena mekanisme muatan positif kitosan berinteraksi dengan DNA bakteri mengakibatkan terhambatnya sintesis RNA dan protein. Pada mekanisme ini, kitosan harus memiliki berat molekul kecil agar dapat masuk dalam sel mikroorganisme. Untuk itu, kitosan 1% dianggap sebagai konsentrasi optimum yang memiliki aktivitas antibakteri dibandingkan dengan persentase lainnnya.

Aktivitas antibakteri kitosan dapat dipengaruhi oleh derajat deasetilasinya. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Hongpattarakere dan Riyaphan (2008), kitosan yang memiliki DD tertinggi menunjukkan KHM (konsentrasi hambat minimal) terendah, baik terhadap Escherichia coli, S. aureus

dan C. albican. Pada penelitian Yuliana (2011) diungkapkan bahwa kitosan dengan DD 99.36 % memiliki diameter hambat terhadap Escherichia coli dan

S.aureus lebih besar dibandingkan dengan kitosan yang memiliki derajat deasetilasi 87.81 %. Kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi akan memiliki muatan positif yang tinggi mengakibatkan adanya aktivitas antibakteri yang tinggi pula, dengan adanya NH2 terprotonasi yang semakin meningkat

jumlahnya (Tsai et al. 2002). Kitosan yang digunakan dalam pengujian memiliki derajat deasetilasi 80.25 %, tidak cukup tinggi sebagai antibakteri sehingga aktivitas antibakteri yang ditunjukkannya belum maksimal.


(37)

Terbentuknya zona hambat pada kitosan membuktikan bahwa kandungan senyawa dalam larutan kitosan mampu berfungsi sebagai zat penghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini didukung karena kitosan mengandung gugus amino bebas yang bermuatan positif sehingga dapat berikatan dengan senyawa lain yang mempunyai muatan negatif. Sebagai kation, kitosan mempunyai potensi untuk mengikat banyak komponen, seperti protein, pektin, alginat, dan polielektrolit anorganik. Muatan positif dari gugus NH3+ pada kitosan dapat berinteraksi dengan

muatan negatif pada permukaan sel bakteri, yaitu asam tekoat pada bakteri gram positif dan lipopolisakarida pada bakteri gram negatif. Interaksi ini diperkirakan akan mengganggu pembentukan peptidoglikan sehingga sel tidak mempunyai selubung yang kokoh dan mudah mengalami lisis sehingga aktivitas metabolisme akan terhambat dan pada akhirnya mengalami kematian (Komariah et al. 2013).

Tabel 5 Diameter daya hambat ekstrak lindur dalam pelarut etanol terhadap bakteri uji Salmonella dan S. aureus

Konsentrasi lindur dalam pelarut etanol

Salmonella (mm)

S. aureus (mm)

0 % 0 0

1 % 7.55 7.47

2 % 6.75 6.77

3 % 6.42 6.23

Diameter zona hambat ekstrak lindur dan kitosan pada pertumbuhan bakteri S. aureus dan Salmonella cukup kecil sehingga efektivitasnya tergolong rendah terutama pada konsentrasi rendah. Diameter zona hambat ekstrak lindur 1% diketahui adalah 7.55 mm pada Salmonella dan 7.47 mm pada S. aureus.

Diameter zona hambat ekstrak lindur 2 % adalah 6.75 mm pada Salmonella dan 6.77 mm pada S. aureus. Diameter zona hambat ekstrak lindur 3% adalah 6.42 mm pada Salmonella dan 6.23 mm pada S. aureus. Penghambatan ekstrak lindur lebih besar terhadap Salmonella dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa S. aureus lebih tahan terhadap senyawa antibakteri dalam ekstrak lindur dibandingkan dengan Salmonella.

Peningkatan konsentrasi ekstrak lindur dapat meningkatkan senyawa metabolit sekunder yang lebih banyak (Marliana dan Saleh 2011). Pada tabel 5 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi akan semakin menurunkan efektivitas daya hambat ekstrak lindur terhadap bakteri uji. Hal ini disebabkan karena adanya kerja yang tidak sinergis antara senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak lindur dalam perannya sebagai antibakteri. Sehingga konsentrasi 1 % dan 2 % dianggap sebagai konsentrasi optimum yang memiliki keharmonisan kerja yang sinergisantar senyawa metabolit sekunder sebagai antibakteri. Ekstrak lindur dapat mengakumulasi senyawa aktif fenol seperti steroid, flavonoid, tanin dan HCN sehingga akan semakin baik untuk merusak dinding sel bakteri. Interaksi senyawa-senyawa tersebut dalam jumlah besar dapat menyebabkan lisis dinding sel bakteri dengan efektivitas lebih besar.

Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan perlakuan konsentrasi optimum dari kitosan dan ekstrak lindur yang dapat menghambat aktivitas antibakteri. Penelitian utama meliputi dua seri penelitian dengan jenis udang yang berbeda. Penelitian Utama Seri Pertama untuk Udang Black Tiger dan Penelitian Utama Seri kedua untuk Udang Vannamei.


(1)

Dependent Variable:cohesiveness7

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 4.852a 6 .809 2.241E3 .000

KITOSAN 8.624E-5 1 8.624E-5 .239 .634

LINDUR 9.655E-5 2 4.828E-5 .134 .876

KITOSAN * LINDUR .002 2 .001 3.199 .077

Error .004 12 .000

Total 4.857 18

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)

cohesiveness7

interaksi N

Subset 1 K0L0 3 .5010 K1L2 3 .5068 K0L1 3 .5180 K1L1 3 .5257 K1L0 3 .5313 K0L2 3 .5317

Sig. .099

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,000.

Cohesiveness7

Duncan LINDUR N

Subset 1

0% 6 .5162

2% 6 .5192

1% 6 .5218

Sig. .632

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,000.

Lampiran 27. Analisis Ragam dan Uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Parameter TPA Springiness pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan

Dependent Variable:springiness1

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 14.017a 6 2.336 56.963 .000

KITOSAN .249 1 .249 6.077 .030

LINDUR .387 2 .194 4.721 .031

KITOSAN * LINDUR .447 2 .223 5.450 .021

Error .492 12 .041

Total 14.509 18

a. R Squared = ,966 (Adjusted R Squared = ,949)

springiness1

interaksi N

Subset

1 2

K1L0 3 .7143 K1L2 3 .7260 K0L2 3 .7443 K1L1 3 .7497 K0L1 3 .7563

K0L0 3 1.3953

Sig. .820 1.000

The error term is Mean Square(Error) = ,041.

Springiness1

Duncan LINDUR N

Subset

1 2

2% 6 .7352

1% 6 .7530

0% 6 1.0548

Sig. .881 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,041.


(2)

Dependent Variable:springiness4 Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 13.465a 6 2.244 1.748E3 .000

KITOSAN .000 1 .000 .320 .582

LINDUR .031 2 .016 12.077 .001

KITOSAN * LINDUR .000 2 6.806E-5 .053 .949

Error .015 12 .001

Total 13.480 18

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)

springiness4

Duncan interaksi N

Subset

1 2 3

K0L2 3 .8080

K1L2 3 .8137 .8137

K0L1 3 .8600 .8600 .8600

K1L1 3 .8773 .8773

K0L0 3 .9093

K1L0 3 .9150

Sig. .116 .060 .106

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,001.

Springiness4

Duncan LINDUR N

Subset

1 2

2% 6 .8108

1% 6 .8687

0% 6 .9122

Sig. 1.000 .057

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.

Dependent Variable:springiness7 Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 9.687a 6 1.614 1.865E3 .000

KITOSAN .000 1 .000 .459 .511

LINDUR .010 2 .005 5.791 .017

KITOSAN * LINDUR .007 2 .004 4.096 .044

Error .010 12 .001

Total 9.697 18

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)

springiness7

interaksi N

Subset

1 2

K1L2 3 .6899 K0L1 3 .7117 K1L1 3 .7309 K0L2 3 .7333

K0L0 3 .7397 .7397

K1L0 3 .7920

Sig. .083 .050

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.

Springiness7

Duncan LINDUR N

Subset

1 2

2% 6 .7116

1% 6 .7213

0% 6 .7658

Sig. .580 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.


(3)

Lampiran 28. Analisis Ragam dan Uji Duncan Penelitian Seri Kedua untuk Parameter TPA Chewiness pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan

Dependent Variable:chewiness1

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1.316E7a 6 2193127.217 12.100 .000

KITOSAN 227644.456 1 227644.456 1.256 .284 LINDUR 379269.890 2 189634.945 1.046 .381 KITOSAN * LINDUR 596286.321 2 298143.160 1.645 .234 Error 2175081.872 12 181256.823

Total 1.533E7 18

a. R Squared = ,858 (Adjusted R Squared = ,787)

chewiness1

interaksi N

Subset 1 K1L2 3 6.1798E2 K0L1 3 6.5955E2 K1L0 3 6.6256E2 K0L2 3 7.5050E2 K1L1 3 8.2703E2 K0L0 3 1.3723E3

Sig. .074

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 181256,823.

Chewiness1

Duncan LINDUR N

Subset 1

2% 6 6.8424E2

1% 6 7.4329E2

0% 6 1.0174E3

Sig. .221

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 181256,823.

Dependent Variable:chewiness4

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1.802E7a 6 3003504.028 60.103 .000

KITOSAN 286819.049 1 286819.049 5.739 .034

LINDUR 134323.143 2 67161.571 1.344 .297

KITOSAN * LINDUR 41224.963 2 20612.482 .412 .671

Error 599675.995 12 49973.000

Total 1.862E7 18

a. R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,952)

chewiness4

interaksi N

Subset

1 2

K1L2 3 7.1612E2

K1L0 3 8.7907E2 8.7907E2 K1L1 3 9.8911E2 9.8911E2 K0L2 3 1.0149E3 1.0149E3 K0L1 3 1.1083E3 1.1083E3

K0L0 3 1.2185E3

Sig. .073 .115

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 49973,000.

Chewiness4

Duncan LINDUR N

Subset 1

2% 6 8.6550E2

1% 6 1.0487E3

0% 6 1.0488E3

Sig. .201

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 49973,000.


(4)

Dependent Variable:chewiness7 Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Model 1.145E7a 6 1908992.585 229.977 .000 KITOSAN 140841.996 1 140841.996 16.967 .001

LINDUR 154356.923 2 77178.462 9.298 .004

KITOSAN * LINDUR 96373.387 2 48186.694 5.805 .017

Error 99609.373 12 8300.781

Total 1.155E7 18

a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,987)

chewiness7

interaksi N

Subset

1 2 3

K0L1 3 6.2060E2

K1L2 3 6.8838E2 6.8838E2 K0L2 3 7.1262E2 7.1262E2 K0L0 3 7.5326E2 7.5326E2

K1L1 3 8.5593E2

K1L0 3 1.0729E3

Sig. .124 .058 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 8300,781.

Chewiness7

Duncan LINDUR N

Subset

1 2

2% 6 7.0050E2

1% 6 7.3827E2

0% 6 9.1308E2

Sig. .487 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 8300,781.


(5)

Lampiran 29. Grafik TPA Penelitian Seri Kedua pada 1 hari, 4 hari dan 7 hari penyimpanan

Penyimpanan 1 hari

0 2 4 6 8 10

2600 2400 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 -200 Force (g) Time (sec)

1 2 3 4 5 6

1F 2F Hardness Adhesiveness K1E0-B 2 K1E0-B 3 K1E0-B 4 K1E0-B 5 K1E0-C1 K1E0-C2 K1E0-C3 K1E0-C4 K1E0-C5 K1E2-A 1 K1E2-A 2 K1E2-A 3 K1E2-A 4 K1E2-A 5 K1E2-B 1 K1E2-B 2 K1E2-B 3 K1E2-B 4 K1E2-B 5 K1E2-C1 K1E2-C2 K1E2-C3 K1E2-C4 K1E2-C5 K0E0-A 1 K0E0-A 2 K0E0-A 3 K0E0-A 4

Penyimpanan 4 hari

0 2 4 6 8 10

3 0 0 0 2 8 0 0 2 6 0 0 2 4 0 0 2 2 0 0 2 0 0 0 18 0 0 16 0 0 14 0 0 12 0 0 10 0 0 8 0 0 6 0 0 4 0 0 2 0 0 0 -2 0 0 Force (g)

Time (sec)

1 2 3 4 5 6

1F 2F

Hardnes s

Adhes ivenes s

K 1E 0 -B 1 K 1E 0 -B 2

K 1E 0 -B 3

K 1E 0 -C1 K 1E 0 -C2 K 1E 0 -C3 K 0 E 0 -A 1 K 0 E 0 -A 2 K 0 E 0 -A 3 K 0 E 0 -A 4

K 0 E 0 -A 5

K 0 E 0 -B 1 K 0 E 0 -B 2 K 0 E 0 -B 3 K 0 E 0 -B 4

K 0 E 0 -B 5

K 0 E 0 -C1 K 0 E 0 -C2

K 0 E 0 -C3

K 0 E 0 -C4 K 0 E 0 -C5 K 0 E 1-A 1 K 0 E 1-A 2 K 0 E 1-A 3 K 0 E 1-A 4 K 0 E 1-A 5

K 0 E 1-B 1

K 0 E 1-B 2 K 0 E 1-B 3

Penyimpanan 7 hari

0 2 4 6 8 10

3 0 0 0 2 8 0 0 2 6 0 0 2 4 0 0 2 2 0 0 2 0 0 0 18 0 0 16 0 0 14 0 0 12 0 0 10 0 0 8 0 0 6 0 0 4 0 0 2 0 0 0 -2 0 0 Force (g)

Time (sec)

1 2 3 4 5 6

1F 2F

Hardnes s

Adhes ivenes s

K 1E 0 -B 1 K 1E 0 -B 2

K 1E 0 -B 3

K 1E 0 -C1 K 1E 0 -C2 K 1E 0 -C3 K 0 E 0 -A 1 K 0 E 0 -A 2 K 0 E 0 -A 3 K 0 E 0 -A 4

K 0 E 0 -A 5

K 0 E 0 -B 1 K 0 E 0 -B 2 K 0 E 0 -B 3 K 0 E 0 -B 4

K 0 E 0 -B 5

K 0 E 0 -C1 K 0 E 0 -C2

K 0 E 0 -C3

K 0 E 0 -C4 K 0 E 0 -C5 K 0 E 1-A 1 K 0 E 1-A 2 K 0 E 1-A 3 K 0 E 1-A 4 K 0 E 1-A 5

K 0 E 1-B 1

K 0 E 1-B 2 K 0 E 1-B 3


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5

Agustus 1986 sebagai anak pertama dari enam bersaudara

dari pasangan A. Munir Djalil dan Soraya. Penulis

menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Kayumanis I

pada tahun 1998, dan melanjutkan ke SMP Negeri 12

Bogor lulus pada tahun 2001. Tahun 2004, penulis lulus

dari SMA Negeri 2 Bogor. Penulis melanjutkan jenjang

pendidikan sarjana melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

IPB (USMI) dengan mengambil pilihan mayor Teknologi

Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

dan lulus tahun 2008. Penulis lulus tes CPNS di Politeknik Perikanan Negeri Tual

tahun 2010. Tahun 2011, penulis melanjutkan studi magister di Program Studi

Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut pertanian Bogor.