porselen, timbangan digital, alumunium foil, gegep, desikator, oven, tanur pengabuan, kertas saring Whatman 42 bebas abu, kapas bebas lemak, labu lemak,
kondensator, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pipet mikro, alat-alat gelas, vortex, hot plate, AAS, dan
perangkat GC Gas Chromatography.
3.3 Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap 1
kultivasi; 2 pemanenan menggunakan sentrifuse dan dikeringkan menggunakan freeze dryer; dan 3 analisis kandungan gizi, analisis asam lemak, analisis
mineral, dan analisis komponen aktif dari biomassa Chaetoceros gracilis. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir metode penelitian Kultivasi Chaetoceros gracilis pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan media pertumbuhan pupuk. Media pertumbuhan menggunakan perbandingan N:P:Si:trace element:vitamin yaitu 3:1:4:1:1 untuk setiap 1 L air
laut. Kultivasi mikroalga Chaetoceros gracilis dilakukan bertahap, yaitu tahap penyegaran dan tahap perbesaran skala. Tahap penyegaran selama 6 hari yang
Chaetoceros gracilis Penentuan kurva
pertumbuhan Kultivasi C. gracilis
Pemanenan
Biomassa Pengeringan Biomassa
Analisis komponen aktif
Analisis proksimat
Analisis mineral
Analisis asam lemak
bertujuan agar mikroalga dapat beradaptasi dengan media pertumbuhan yang baru. Selanjutnya dilakukan perbesaran skala kultur dan pembuatan kurva
pertumbuhan. Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan dengan metode penghitungan langsung menggunakan haemasitometer.
Pemanenan C. gracilis dilakukan pada saat kultur berada pada fase stasioner. Pemanenan menggunakan sentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm pada
suhu 4
o
C selama 10 menit. Biomasa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer dengan suhu -18
o
C selama ± 6 jam. Biomasa kering yang diperoleh selanjutnya dianalisis komponen kimianya.
3.4 Prosedur Analisis
Analisis yang dilakukan antara lain penghitungan jumlah sel, analisis proksimat, analisis komponen aktif, , analisis mineral, dan analisis kandungan
asam lemak dari biomasa kering C. gracilis.
3.4.1 Penghitungan jumlah sel Hadioetomo 1993
Penghitungan jumlah sel dalam kultur dilakukan dengan cara pengambilan sampel setiap harinya dengan menggunakan mikro pipet, kemudian dimasukkan
ke dalam chamber hemasitometer. Proses penghitungan jumlah sel adalah sebagai berikut:
1 Permukaaan hitung hemasitometer dibersihkan dengan secarik kertas lensa
yang telah dibasahi dengan setetes akuades. 2
Kaca tutup hemasitometer dibersihkan sampai tidak lagi tertinggal sisa- sisa kotoran pada permukaan.
3 Biakan Chaetoceros gracilis hasil pengambilan contoh diambil dengan
menggunakan mikro pipet sebanya k 250 μl dan diteteskan pada tempat
menaruh sampel dan ditutup dengan kaca penutup sehingga suspensi Chaetoceros gracilis menyebar pada ruang hitung.
4 Hemasitometer diletakkan di bawah lensa mikroskop, kemudian jumlah
sel yang terdapat dalam 80 kotak kecil yang bervolume 0,02 mm
3
dihitung dengan mikroskop pada perbesaran 400 kali.
5 Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai
berikut:
Keterangan: N = kepadatan sel selml
∑ N1 = jumlah sel dalam 80 kotak ∑ N2 = jumlah sel dalam 80 kotak
1mm = panjang hemasitometer dalam 80 kotak 0,2mm = lebar hemasitometer dalam 80 kotak
0,1mm = tinggi hemasitometer dalam 80 kotak
Keterangan: Kotak yang dihitung jumlah selnya
3.4.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, lemak, protein, dan abu
1 Analisis kadar air AOAC 1995
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105
o
C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator kurang lebih 15 menit dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105
o
C selama 5 jam atau N =
hingga beratnya konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang
kembali. Perhitungan kadar air :
Kehilangan berat g = berat sampel awal g – berat setelah dikeringkan g
2 Analisis kadar lemak AOAC 1995
Contoh seberat 5 gram W
1
dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak, kemudian sampel yang
telah dibungkus dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet yang sudah ditimbang berat tetapnya W
2
dan disambungkan dengan labu lemak. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut
lemak n-heksana p.a.. Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.
Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak
dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan W
3
. Perhitungan kadar lemak:
Keterangan : W
1
= Berat sampel gram W
2
= Berat labu lemak kosong gram W
3
= Berat labu lemak dengan lemak gram
3 Analisis kadar protein AOAC 1980
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram kjeltab
campuran K
2
SO
4
dan CuSO
4
dan 3 ml H
2
SO
4
p.a. pekat. Sampel didestruksi pada suhu 400
o
C selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades
dan 5 ml NaOH 50, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100
o
C. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 25 ml asam borat H
3
BO
3
4 dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda 1:2. Setelah volume destilat
mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,10 N sampai terjadi perubahan warna merah
muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Faktor Konversi = 6,25
4 Analisis kadar abu AOAC 1995
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105
o
C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600
o
C selama 6 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
5 Analisis karbohidrat
Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar
lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar
karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus:
3.4.3 Uji fitokimia Harborne 1987
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen- komponen aktif yang terdapat pada biomasa kering C. gracilis. Uji fitokimia
meliputi uji alkaloid, uji steroidtriterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan
Harborne 1987. 1
Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi
Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl
2
dengan 0,50 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat
dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,50 gram iodin dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam
labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,80 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air.
Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan
2,30 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga.
2 Steroid triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Lalu, 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat
ditambahkan ke dalamnya. Larutan berwarna merah yang terbentuk untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau, menunjukkan reaksi
positif. 3
Flavonoid Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,10 mg dan 0,40 ml
amil alkohol campuran asam klorida 37 dan etanol 95 dengan volume yang
sama dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Warna merah, kuning atau jingga yang terbentuk pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
4 Saponin uji busa
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin. 5 Fenol hidrokuinon pereaksi FeCl
3
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl
3
5. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.
6 Uji Molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan
cairan. 7 Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna hijau,
kuning, atau endapan merah bata yang terbentuk menunjukkan adanya gula pereduksi.
8 Uji Biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Larutan berwarna ungu yang terbentuk menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.
9 Uji Ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin
0,10. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Larutan berwarna biru yang terbentuk menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam
amino.
3.4.4 Analisis total mineral
Analisis mineral dilakukan untuk mengetahui profil atau komposisi mineral makro natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan fosfor dan mineral
mikro seng, besi, mangan, dan tembaga yang terdapat pada biomasa kering Chaetoceros gracilis.
1 Pengujian total mineral Ca, Na, K, Mg, Fe, Zn, Se, Cu Reitz et al. 1987
Sampel yang akan diuji, terlebih dahulu mengalami proses pengabuan basah. Pada proses ini, sampel ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dimasukkan
ke dalam Erlenmeyer 150 ml. Ke dalam erlenmeyer tersebut ditambahkan 5 ml HNO
3
dan dibiarkan selama 1 jam. Erlenmeyer ditempatkan di atas hot plate selama ±4 jam dan ditambahkan 0,4 ml H
2
SO
4
pekat, campuran HClO
4
dan HNO
3
sebanyak 3 tetes, 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Larutan contoh kemudian diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan
stok standar dari masing-masing mineral diencerkan menggunakan akuades sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang diinginkan.
Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam Atomic Absorption Spectrophotometer AAS merek Shimadzu tipe AA 680 flame emission dengan
panjang gelombang dari masing-masing mineral. Kemudian diukur absorbansinya atau tinggi puncak standar, blanko dan contoh pada panjang gelombang dan
parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer. Setelah diperoleh absorbansi standar, hubungkan antara konsentrasi standar
sebagai sumbu Y dengan absorbansi standar sebagai sumbu X sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier y = ax + b dimana
y= variabel terikat konsentrasi standar; a= kemiringangradien; x= variabel bebas absorbansi; dan b= konstanta yang digunakan untuk perhitungan
konsentrasi larutan sampel. Konsentrasi larutan sampel dihitung dengan mengalikan a dengan absorbansi contoh.
2 Pengujian fosfor
Sampel diperlakukan dengan asam nitrat untuk mengubah semua metafosfat dan pirofosfat menjadi ortofosfat. Kemudian sampel diperlakukan
dengan asam molibdat dan asam vanadat sehingga ortofosfat yang ada dalam sampel akan bereaksi dengan pereaksi-pereaksi tersebut dan membentuk
kompleks asam vanadimolibdifosfat yang berwarna biru dan intensitas warnanya diukur dengan panjang gelombang 660 nm.
Sebanyak 20 gram ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat untuk pembuatan reaksi vanadat molibdat. Sebanyak 1 gram ammonium
vanadat untuk dilarutkan dalam 300 ml akuades dan didinginkan, secara perlahan- lahan ditambahkan 140 ml asam nitrat pekat, setelah tercampur ditambahkan
pereaksi larutan vanadat molibdat dan diencerkan sampai volume 1 liter. Pada pembuatan larutan standar, sebanyak 4,394 gram KH
2
PO
4
dilarutkan dengan menggunakan akuades sampai 1000 ml untuk mendapatkan konsentrasi
fosfor 1000 ppm. Konsentrasi ini kemudian diencerkan dengan akuades untuk mendapatkan konsentrasi standar fosfor yaitu 0, 2, 3, 4 dan 5 ppm. Larutan sampel
hasil pengabuan basah diambil sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 25 ml pereaksi vanadat molibdat ditambahkan ke
dalam sampel tersebut kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda tera. Selanjutnya sampel didiamkan 10 menit dan diukur absorbansi sampel pada
panjang gelombang 660 nm.
3.4.5 Analisis asam lemak dengan GC
Sebelum asam lemak dianalisis ke dalam GC, terlebih dahulu lemak dihidrolisis sampai diperoleh asam lemak, kemuadian ditransformasikan menjadi
bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Lemak ditimbang dalam tabung bertutup teflon sebanyak 20-30 mg,
selanjutnya ditambahkan 1 mL NaOH 0,5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Larutan tersebut selanjutnya ditambahkan 2 ml BF
3
16 dan 5 mgmL standar internal, kemudian dipanaskan kembali selama 20 menit. Larutan kemudian didinginkan dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh serta
1 mL heksana, kocok dengan baik. Lapisan heksana yang terbetuk, dipisahkan dengan bantuan pipet tetes dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 0,1 g
Na
2
SO
4
anhidrat, biarkan selama 15 menit. Fasa cair yang terpisah selanjutnya diinjeksikan ke GC.
Asam lemak yang sudah teresterifikasi selanjutnya dimasukkan ke dalam GC sebanyak 1µL dengan kondisi suhu injektor 200
o
C dan suhu detektor 230
o
C.
Alat tersebut menggunakan kolom jenis cyanopropil methyl sil capilary column dengan panjang kolom 60 meter, diameter dalam 0,25 mm. Fase gerak berupa gas
N
2
dengan laju alirnya 20 mLmenit dan laju alir udara 200-250 mLmenit. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu
retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak
pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangakan. Penentuan kandungan komponen dalam contoh dilakukan dengan teknik standar eksternal.
Kandungan komponen asam lemak ditentukan dengan rumus:
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kultur Chaetoceros gracilis
Pertumbuhan C. gracilis dapat terlihat dari perubahan warna kultur selama kultivasi. Seiring bertambahnya umur kultur, warna kultur C. gracilis semakin
pekat. Warna kultur pada hari pertama kultivasi awal kultivasi masih menunjukkan warna bening, sedangkan pada hari ke enam kultivasi warna kultur
berubah menjadi coklat tua. Perubahan warna kultur juga dapat mengindikasikan adanya peningkatan jumlah atau kepadatan sel C. gracilis. Warna coklat yang
terbentuk selama kultivasi disebabkan oleh pigmen yang terkandung dalam C. gracilis. Chaetoceros gracilis disebut dengan golden
–brown algae karena kandungan pigmen dalam tubuhnya lebih banyak pigmen kuning daripada pigmen
hijau Arinardi 1997. Karotenoid dan diatomin merupakan pigmen yang dominan pada Chaetoceros gracilis Isnansetyo Kurniastuty 1995.
Karotenoid merupakan salah satu pigmen asesoris dalam fotosintesis. Beberapa karotenoid mungkin dapat memperluas spektrum dari warna-warna
yang dapat menggerakkan fotosintesis. Namun, sebagian karotenoid berfungsi sebagai fotoproteksi. Karotenoid tidak meneruskan energi ke klorofil, tetapi justru
menyerap dan melepaskan energi cahaya yang berlebihan. Energi tersebut jika tidak dilepaskan justru akan merusak klorofil Campbell et al. 2002. Karotenoid
pada alga umumnya terdapat dalam kloroplas tapi apabila keadaan sedang tidak baik, karotenoid dapat ditemukan di dalam sitoplasma Goodwin 1976.
Pertumbuhan Chaetoceros gracilis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keadaan lingkungan suhu dan cahaya serta unsur hara makro.
Unsur hara makro yang sangat penting dalam pertumbuhan Chaetoceros gracilis yaitu nitrogen N, fosfor P, dan silikat Si. Unsur N, P, dan S sulfur berperan
penting dalam proses sitesis protein. Unsur Si dan Ca merupakan bahan untuk
pembentukan dinding
sel atau
cangkang pada
mikroalga Isnansetyo Kurniastuty 1995.
Faktor cahaya dan suhu memegang peranan penting dalam pertumbuhan mikroalga. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu Fogg 1975. Cahaya akan mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga karena merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis West 2005 diacu dalam Wijaksono 2008. Energi sinar matahari
untuk proses fotosintesis tergantung pada panjang gelombang, intensitas, dan waktu atau lamanya penyinaran Heddy 1990 diacu dalam Wijaksono 2008.
Lampu TL dapat digunakan sebagai sumber cahaya pada kultivasi mikroalga. Hal ini disebabkan lampu TL memiliki cahaya yang berwarna putih. Akan tetapi,
spektrum warna pada lampu TL kurang lengakap sehingga kurang efektif untuk dijadikan sebagai sumber cahaya. Cahaya putih pada lampu TL hanya terdiri dari
tiga macam spektrum warna, yaitu biru, merah, dan jingga Qadafi 2009 diacu dalam Aprimara 2010. Sumber cahaya untuk pertumbuhan mikroalga pada
penelitian ini berasal dari cahaya matahari. Kultur C. gracilis rata-rata setiap harinya memperoleh penyinaran dari
matahari selama setengan hari dengan intensitas yang berubah-ubah. Intensitas cahaya matahari yang sering berubah-ubah 3500-7000 lux sangat mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga. Campbell et al. 2002 menyatakan spektrum cahaya matahari berkisar antara 380 sampai 750 nm. Cahaya tersebut disebut sebagai
cahaya tampak yang juga berperan dalam fotosintesis. Namun, kultivasi dengan sumber penyinaran cahaya matahari memiliki kelemahan, yaitu faktor lingkungan
seperti intensitas cahaya dan suhu tidak dapat dikendalikan. Intensitas penyinaran cahaya matahari yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya fotoinhibisi.
Fotoinhibisi adalah fenomena penurunan kecepatan fotosintesis akibat intensitas cahaya yang terlalu tinggi Masojidek et al. 2004. Selain itu, suhu lingkungan
yang tidak stabil berkisar antara 22
o
C sampai 33,6
o
C BMKG 2010 juga ikut mempengaruhi pertumbuhan Chaetoceros gracilis.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi pertumbuhan mikroalga, yaitu keberadaan CO
2
bebas dan pH media. Karbondioksida di dalam kultivasi secara langsung akan digunakan sebagai bahan untuk membentuk molekul-molekul
organik melalui proses fotosintesis BBL 2002. Penelitian ini menggunakan aerator sebagai menyuplai CO
2
bebas di dalam kultivasi. Keberadaan CO
2
bebas dalam media kultivasi secara tidak langsung akan mempengaruhi pH media.
Proses fotosintesis akan mengambil CO
2
terlarut dari dalam air, sehingga terjadi penurunan kandungan CO
2
terlarut di air dan peningkatan pH media.
Mikroalga memerlukan pH antara 7-8,5 untuk pertumbuhan optimum Najmushabah 2004 diacu dalam Wijaksono 2008. Pada penelitian ini, pH media
pada awal kultivasi adalah 7, sehingga masih berada dalam kisaran pH optimum untuk pertumbuhan mikroalga.
Kultivasi C. gracilis pada penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama , yaitu kultur penyegaran yang bertujuan agar mikroalga beradaptasi
dengan kondisi kultivasi yang baru. Tahap selanjutnya adalah perbesaran skala kultivasi, pada tahap ini juga dilakukan penghitungan kurva pertumbuhan.
Pemanenan C. gracilis dilakukan pada umur kultur 9 hari, yaitu pada saat kultur mengalami memasuki fase stasioner. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan
sentrifuse suhu 4
o
C dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Biomasa kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer dengan suhu -18
o
C. Kultur Chaetoceros gracilis yang dikultivasi di luar ruangan menggunakan media
pupuk NPSi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kultur Chaetoceros gracilis yang dikultivasi di luar ruangan menggunakan media pupuk NPSi
4.2 Kurva Pertumbuhan Chaetoceros gracilis