dinding rumah terluas, fasilitas tempat buang air besarwc, sumber penerangan, sumber air minum, bahan bakar untuk memasak, dan alat transportasi yang
dimiliki. Data mengenai dampak ekonomi penyelenggaraan program diperoleh dengan mencari selisih atau delta dari pendapatan rumah tangga antara anggota
kelompok simpan pinjam dan non-anggota kelompok simpan pinjam pada setiap kategori sosial. Dampak sosial didefinisikan sebagai perubahan yang dirasakan
oleh anggota kelompok setelah terlibat dalam penyelenggaraan program pada variabel kepercayaan trust, variabel kerjasama cooperation, dan variabel
jejaring networking. Dampak sosial, dalam hal ini dapat dilihat dengan menghitung senjangdelta dari skor total variabel-variabel dalam modal sosial.
Tingkat kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan tanpa saling curiga, cenderung saling ingin memajukan diantara anggota masyarakat.Secara umum,
keterlibatan masyarakat pada penyelenggaraan program pemberdayaan ekonomi lokal melalui kegiatan simpan pinjam LKMS Kartini memberi dampak pada
tingkat ekonomi anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini.
BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN DAMPAK
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERDESAAN 6.1. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dengan Dampak Sosial
6.1.1. Analisis Uji Hipotesis Penelitian Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah semakin tinggi partisipasi
anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat modal sosial komunitas perdesaan. Berdasarkan hipotesis tersebut,
terdapat dua variabel yang akan diukur, yakni variabel tingkat partisipasi, yang dalam hal ini terbagi dalam tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun pelaporan, dan variabel kekuatan modal sosial, mencakup tingkat kepercayaan, kekuatan kerjasama, serta
kekuatan jaringan. Melalui perhitungan statistika dengan uji korelasi rank spearman dan menggunakan alat bantu SPSS v .15.0, didapatkan angka korelasi
antara variabel tingkat partisipasi tahap perencanaan dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.849. Karena p-value Sig.2-tailed alpha
0.1=10 persen maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi tahap perencanaan dan variabel kekuatan modal sosial. Hubungan
antara kedua variabel tersebut tidak berhubungan secara signifikan sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap
perencanaan tidak berhubungan pada peningkatan kekuatan modal sosial kelompok simpan pinjam.
Uji kedua dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi tahap pelaksanaan dan variabel kekuatan modal sosial. Berdasarkan
hasil perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi tahap pelaksanaan dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar
0.017. Karena p-value Sig.2-tailed alpha 0.1=10 persen maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variable tingkat partisipasi tahap pelaksanaan dan
variabel kekuatan modal sosial. Terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut, sehingga semakin tingggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam
maka semakin tinggi kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam.
Uji ketiga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi tahap evaluasi dan variabel kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil
perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi tahap evaluasi dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar
0.088. Karena p-value Sig.2-tailed alpha 0.1=10 persen maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi tahap evaluasi dan
variabel kekuatan modal sosial. Hubungan antara kedua variabel tersebut bernilai signifikan sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan
pinjam pada tahap perencanaan berpengaruh pada peningkatan kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam, begitu pun sebaliknya. Sedangkan untuk
penghitungan variabel tingkat partisipasi pada tahap pelaporan dan kekuatan modal sosial, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya
sama 1, jadi walaupun kekuatan modal sosial naik turun, dapat diperkiraan tidak ada hubungannya dengan tahap pelaporan.
Selanjutnya adalah uji untuk mengukur hubungan antara tingkat partisipasi pada keseluruhan tahapan penyelenggaraan program dan kekuatan modal sosial.
Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis di atas, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan,
tahap evaluasi, dan tahap pelaporan dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.079. Karena p-value Sig.2-tailed alpha 0.1=10 persen maka
tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan dan variabel kekuatan modal sosial. Sebagai pembanding, dilakukan uji
statistik terhadap variabel tingkat partisipasi menggunakan kerangka konsep Arnstein 1969 terhadap kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam
LKMS Kartini untuk melihat korelasi diantara kedua variabel tersebut. Hasil uji statistik menunjukkan angka korelasi sebesar 0.031.
Karena p-value Sig.2- tailed alpha 0.1=10 persen maka tolak
Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan dan variabel kekuatan modal
sosial. Kedua uji statistik dengan dua kerangka konsep yang berbeda menunjukkan hasil yang sama, dimana semakin tinggi partisipasi anggota
kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat modal sosial yang terbentuk.
6.1.2. Analisis Hubungan antara Tingkat Partisipasi Masyarakat dan Dampak Sosial
Modal sosial dipahami sebagai perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada
dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif Serageldin, 2000. Dalam hal ini, diduga
keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan LKMS Kartini berhubungan dengan sejauhmana anggota kelompok simpan pinjam
berinteraksi satu sama lain dengan nilai-nilai yang mendasarinya, yakni kebajikan bersama social virtue, simpati dan empati altruism, serta kerekatan hubungan
antar-individu dalam suatu kelompok social cohesivity. Jika dikaitkan dengan data mengenai tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada sub-bab
sebelumnya, dapat dianalisis bahwasanya dari 30 orang responden yang merupakan anggotan kelompok simpan pinjam LKMS kurang atau bahkan tidak
terlibat pada tahapan perencanaan dan evaluasi penyelenggaraan program. Dugaan tersebut diperkuat dengan apa yang dipaparkan oleh Staff PGPA, Bapak Dali
Sadli, sebagai perwakilan dari Perusahaan Geothermal, yakni: “Perusahaan Geothermal memiliki keterlibatan mempersiapkan
pembentukan koperasi tersebut, baik bersifat dukungan langsung berupa dana untuk pembangunan fisik maupun dana untuk
penyelenggaraan pelatihan,
sedangkan perencanaan
teknis dilakukan secara keseluruhan oleh mitra perusahaan, yaitu PNM.
Permodalan Nasional MadaniPNM merupakan mitra Perusahaan Geothermal dalam penyelenggaraaan koperasi ini, dimana PNM
melakukan pendampingan terhadap koperasi hingga awal pendirian hingga akan berakhir akhir tahun 2010 ini.”Bapak Dali Sadli.
Apa yang disampaikan oleh Bapak Dali Sadli, diperkuat oleh penjelasan yang disampaikan Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini:
“Evaluasi program, dilakukan setiap bulan karena dalam perjalannya koperasi selalu dikontrol oleh mitra perusahaan. Sejauh
pembiayaan kelompok dinilai sangat lancar, meskipun evaluasi kegiatan hanya dilakukan oleh pengurus dan evaluasi keseluruhan
pada Rapat Akhir Tahun baru akan direncanakan untuk diselenggarakan, jadi sejauh ini memang masyarakat anggota
koperasi belum dilibatkan dalam mengevaluasi secara langsung, melainkan saran dan pandangan masyarakat ditampung melalui
outreach staff yang terjun ke lapangan.”Ibu Lili Suciati
Oleh karena itu, tingkat keterlibatannya dinilai rendah dan tidak berkorelasi,
sehingga kurang dapat memunculkan aspek-aspek yang dapat memperkuat modal sosial masyarakat. Itu artinya, belum tentu dengan keterlibatan mereka dalam
program pemberdayaan ekonomi lokal tersebut mempengaruhi sejauhmana tingkat kepercayaan, kekuatan kerjasama, dan kekuatan jejaring dalam sistem
sosial masyarakat. Untuk tahapan pelaporan, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap
pelaporan nilainya sama. Hal tersebut sejalan dengan data yang dipaparkan pada seluruh responden tidak berpartisipasi sama sekali pada tahapan ini. Hal tersebut
diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini, yang menyampaikan pandangannya terkait keterlibatan
anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini:
“Pelaporan dalam hal ini dilakukan oleh pihak koperasi yang kemudian disampaikan ke mitra perusahaan, dan dari mitra
perusahaan disampaikan kepada perusahaan. Sejauh ini masyarakat peserta kelompok simpan pinjam memang belum dilibatkan pada
tahapan pelaporan.” Ibu Lili Suciati
Sejauh ini, kapasitas anggota koperasi belum mampu untuk terlibat dalam pembuatan pelaporan secara sistematis, apalagi sebagian besar anggota kelompok
simpan pinjam LKMS Kartini merupakan ibu-ibu yang berangkat dari latar belakang pendidikan yang cenderung rendah. Tapi, untuk keberlanjutannya
masyarakat anggota kelompok simpan pinjam akan dipersiapkan untuk dapat mengevaluasi kegiatan simpan pinjam secara mandiri, sekaligus dapat menyusun
pelaporan pembiayaan tingkat kelompok secara terpadu. Berdasarkan uji korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada setiap
tahapan penyelenggaraan program
dengan dampak sosial menunjukkan bahwasanya hanya tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan evaluasi saja
yang menunjukkan hubungan signifikan sehingga dalam hal ini keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam pada pelaksanaan program mempengaruhi