PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ± 0.14 65 : 35 PEMBUATAN MARGARIN

22 Tabel 12. Matriks pengujian penelitian Konsentrasi flavor panili P 1 P 2 P 3 Perbandingan stearin dan olein S 1 S 1 P 1 S 1 P 2 S 1 P 3 S 2 S 2 P 1 S 2 P 2 S 2 P 3 S 3 S 3 P 1 S 3 P 2 S 3 P 3

3.5 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Hasil dari uji organoleptik rating hedonik terhadap warna, aroma, rasa, daya oles, dan penerimaan umum dari margarin dianalisis menggunakan sidik ragam ANOVA untuk melihat respon panelis terhadap perlakuan perbandingan stearin olein dan perlakuan konsentrasi flavor panili. Jika terdapat perbedaan yang nyata pada hasil analisis maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s HSD Multiple Comparison Test . Hasil dari uji organoleptik rating terhadap daya oles, aroma, dan kehalusan dari margarin dianalisis menggunakan sidik ragam ANOVA untuk melihat respon panelis terhadap perlakuan perbandingan stearin olein dan perlakuan konsentrasi flavor panili. Jika terdapat perbedaan yang nyata pada hasil analisis maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD Multiple Comparison Test Meilgard et al, 1999. Hasil analisis sifat fisik, sifat kimia, dan stabilitas dari produk margarin diuji dengan menggunakan sidik ragam ANOVA untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap kandungan produk margarin beraroma yang dihasilkan. Jika terdapat perbedaan yang nyata pada hasil analisis maka dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur BNJ. Taraf signifikasi yang digunakan sebesar 5, sehingga tingkat kepercayaannya sebesar 95. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

4.1.1 KARAKTERISASI BAHAN BAKU

Karakterisasi bahan baku dimaksudkan untuk mengetahui mutu awal bahan sebelum digunakan dalam pembuatan margarin. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Refined bleached deodorized RBD stearin dan RBD olein dari minyak sawit. Karakterisasi bahan baku dilakukan dengan cara menentukan parameter mutu kimia awal dari bahan baku stearin dan olein yang digunakan, yaitu bilangan iod, kandungan asam lemak bebas, bilangan asam, dan bilangan peroksida. Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak bahan baku yang digunakan. Bilangan asam dan kandungan asam lemak bebas dijadikan sebagai indikator kerusakan minyak karena hidrolisis, sedangkan bilangan peroksida merupakan indikator terjadinya oksidasi terhadap minyak Naibaho, 1998. Tabel 13 menunjukkan karakteristik kimia bahan baku yang digunakan dalam pembuatan margarin. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan margarin ini bermutu baik dan memenuhi standar mutu yang dipersyaratan. Berdasarkan tabel juga terlihat bahwa RBD olein memiliki bilangan iod yang lebih besar jika dibandingkan dengan RBD stearin. Hal ini terkait dengan ketidakjenuhan olein yang lebih tinggi dan juga berimplikasi pada sifatnya yang cair di suhu ruang karena titik lelehnya lebih rendah dari stearin Pantzaris, 1994. Olein diketahui mengandung asam oleat C 18:1 sebagai asam lemak dominan penyusunnya Pantzaris, 1997, sedangkan stearin mengandung asam palmitat C 16:0 sebagai asam lemak dominan penyusunnya Satiawihardja et.al, 2001. Bilangan asam dan bilangan peroksida bahan baku cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan bahan baku baik disebabkan oleh hidrolisis maupun oksidasi cukup rendah. Bahan baku yang baik diharapkan akan menghasilkan produk dengan kualitas yang baik pula. Tabel 13. Karakteristik kimia bahan baku Parameter Mutu Bilangan Iod g Iod100 gram Kandungan asam lemak bebas Bilangan asam mg NaOHg Bilangan Peroksida meqkg RBD Stearin 7.11 ± 1.19 0.15 ± 0.04 0.24 ± 0.06 3.66 ± 0.03 RBD Olein 41.70 ± 11.00 0.15 ± 0.01 0.23 ±0.02 3.17 ± 0.29 SNI a maksimal 40 maksimal 0.15 - - SNI b maksimal 56 maksimal 0.10 - - SNI c - - maksimal 4 - Sumber: a SNI 01-0021-1998, standard mutu untuk RBD stearin b SNI 01-0018-2006, standard mutu untuk RBD olein c SN1-01-3541-2002, standard mutu untuk margarin 24

4.1.2 PENENTUAN AMBANG BATAS FLAVOR PANILI

Ambang batas bau odor dari flavor panili ditentukan berdasarkan ambang deteksi dan ambang pengenalan yang dilakukan oleh 30 orang panelis. Ambang deteksi detection threshold atau dikenal juga dengan ambang mutlak merupakan stimulus terendah yang mampu menghasilkan kesan tertentu. Dalam hal bau adalah konsentrasi terendah di saat kesan tersebut mulai dapat dirasakan atau dideteksi meskipun belum terlalu jelas. Melalui metode frekuensi, ambang mutlak ditentukan ketika 50 dari populasi sudah dapat merasakan stimulus yang diberikan. Ambang pengenalan recognition threshold merupakan level dari suatu stimulus spesifik yang dapat dikenali dan diidentifikasi. Konsentrasi ambang pengenalan biasanya lebih tinggi daripada ambang deteksi. Melalui metode frekuensi, ambang pengenalan biasanya ditentukan ketika 75 dari populasi sudah dapat merasakan stimulus yang diberikan atau berdasarkan metode Best Estimate Threshold BET yang dihitung menggunakan rata-rata geometris dari dua data saat terjadi transisi kesan dari 0 ke + Waysima dan Adawiyah, 2009. Masing-masing panelis melakukan penilaian terhadap sepuluh seri konsentrasi flavor panili. Panelis diminta membau kesepuluh konsentrasi flavor panili dengan urutan yang telah ditentukan. Kesepuluh seri konsentrasi yang digunakan untuk pengujian ambang stimulus flavor panili yaitu 0, 0.003, 0.006, 0.009, 0.03, 0.06, 0.09, 0.3, 0.6, dan 0.9. Pemilihian konsentrasi ini berdasarkan ambang batas bau senyawa utama flavor panili yaitu ethyl vanillin sebesar 100 ppb atau 0.00001 dan vanillin sebesar 200 ppb atau 0.00002 Anonim b , 2011. Penggunaan konsentrasi flavor panili lebih besar daripada ambang batas bau komponen utama flavor panili tersebut dikarenakan flavor tersebut diaplikasikan ke dalam suatu produk emulsi minyak dalam hal ini margarin. Selain itu, flavor panili yang digunakan dalam penelitian ini merupakan flavor komersial yang tidak 100 mengandung komponen utama dari flavor panili. Minyak sawit juga diketahui memiliki bau khas, beta ionone, yang dapat menurunkan intensitas flavor panili yang digunakan Ketaren, 2008. Bau dari flavor panili terdeteksi ketika senyawa volatilnya masuk dan melewati saluran hidung dan diterima oleh sistem olfaktori. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, 50 panelis 15 orang sudah merasakan stimulus bau dari flavor panili pada konsentrasi flavor sebesar 0.006 atau 60 ppm, sehingga konsentrasi flavor ini ditetapkan sebagai ambang deteksi. Ambang pengenalan ditentukan dengan metode BET Best Estimate Threshold. Nilai ambang pengenalan dihitung berdasarkan nilai logaritma dari BET panelis. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, ambang pengenalan bau dari flavor panili ada pada konsentrasi 0.0095 atau 95 ppm. Nilai ambang pengenalan ini lebih besar daripada ambang deteksinya. Oleh karena itu, dipilih tiga konsentrasi flavor panili yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah 0.009, 0.012, dan 0.015. Konsentrasi 0.009 atau 90 ppm mewakili konsentrasi flavor panili yang berada pada ambang pengenalan. Ambang pengenalan dipilih sebagai dasar atau konsentrasi pertama dalam penentuan pemberian flavor panili karena pada konsentrasi ini, panelis sudah mampu mengenali dan mengidentifikasi stimulus spesifik berupa bau dari flavor panili Waysima dan Adawiyah, 2009. Tabel 14 menunjukkan hubungan antara konsentrasi flavor panili dengan frekuensi panelis yang telah mengenali respon dan Gambar 8 menunjukkan grafik hubungan antara konsentrasi dan frekuensi ambang batas. Garis vertikal bewarna merah pada grafik tersebut menunjukkan letak konsentrasi flavor panili yang merupakan ambang deteksi dan ambang pengenalan. Berdasarkan tabel dan gambar juga terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi flavor panili yang diberikan, semakin tinggi pula panelis yang mampu merasakan stimulus bau panili dan sampai pada konsentrasi 0.06, semua panelis 30 orang sudah mampu merasakan stimulus bau panili yang diberikan. 25 5 10 15 20 25 30 35 0.003 0.006 0.009 0.03

0.06 0.09

0.3 0.6

0.9 Fre k u en si s atu an Konsentrasi Tabel 14. Respon flavor panili pada berbagai konsentrasi Konsentrasi flavor panili 0 0.003 0.006 0.009 0.03 0.06 0.09 0.3 0.6 0.9 Jumlah respon panelis orang 0 7 18 18 29 30 30 30 30 30 Frekuensi 0 23.33 60 60 96.67 100 100 100 100 100 Gambar 8. Grafik hubungan konsentrasi dan ambang batas

4.1.3 PENENTUAN RENTANG PERLAKUAN STEARIN DAN OLEIN

Penentuan rentang perlakuan stearin dan olein dilakukan secara objektif dengan mengamati daya oles campuran stearin dan olein yang telah disimpan di dalam lemari es bersuhu 7-10 o C selama 90 menit dan 150 menit. Terdapat 11 perbandingan stearin dan olein yang diujikan. Perbandingan stearin dan olein tersebut adalah 100:0, 95:5, 90:10, 85:15, 80:20, 75:25, 70: 30, 65:35, 60:40, 55:45, dan 50:50. Setiap perbandingan stearin olein dibuat dua kali ulangan. Stearin yang digunakan terlebih dahulu dipanaskan dalam penangas bersuhu 60 o C selama 20 menit untuk melelehkannya, sehingga dapat ditakar dan dinyatakan sebagai volume. Daya oles ditentukan dengan alat penetrometer probe corong tanpa beban yang dilakukan selama 10 detik. Pengukuran dilakukan pada dua titik yang berbeda. Semakin dalam probe corong menusuk, maka semakin tinggi pula daya oles campuran stearin dan olein yang terbentuk Faridah et.al, 2010. Tabel 15 menunjukkan nilai penetrasi atau daya oles berbagai campuran stearin dan olein. Berdasarkan pengujian yang dilakukan terlihat adanya suatu kecenderungan yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah olein, semakin tinggi pula daya oles campuran yang terbentuk. Hal ini terkait dengan sifat olein yang memiliki titik leleh lebih rendah jika dibandingkan dengan titik leleh stearin, sehingga semakin banyak campuran olein akan semakin lunak campuran yang terbentuk Ketaren, 2008. Semakin lama waktu tempering atau pendiaman di dalam suhu refrigerator terlihat bahwa akan semakin banyak minyak yang mengkristal atau memadat, sehingga daya olesnya pun akan semakin rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai penetrasi campuran stearin dan olein yang semakin rendah. Beberapa data yang dihasilkan menunjukkan nilai yang tidak mengikuti kecenderungan yang ada seperti pada waktu pendiaman 150 menit, perbandingan stearin olein 85:15 memiliki daya oles Ambang pengenalan Ambang deteksi 26 lebih tinggi dibandingkan perbandingan stearin olein 75:25 dan pada waktu pendiaman 90 meint, perbandingan stearin olein 80:20 memiliki daya oles lebih tinggi dibandingkan perbandingan stearin olein 65:35. Hal ini dapat terjadi karena tidak homogennya sampel yang telah mengkristal, sehingga saat pengukuran terdapat bagian yang sudah mengkristal dengan sempurna dan bagian yang masih belum mengkristal. Selain itu, waktu menunggu untuk masing-masing sampel yang kurang seragam. Beberapa sampel masuk ke dalam refrigerator dalam waktu yang sama, namun diukur sesaat ketika keluar refrigerator dalam kurun waktu satuan detik yang berbeda, sehingga dimungkinkan minyak yang sudah mengkristal dapat meleleh kembali. Beberapa penyebab inilah yang memungkinkan terdapat beberapa data yang kurang sesuai dengan teori. Pemilihan rentang perlakuan perbandingan stearin dan olein didasarkan pada tingginya daya oles campuran yang terbentuk. Hal ini ditunjukkan oleh nilai penetrasi yang tinggi. Pemilihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan margarin dari campuran stearin dan olein dengan daya oles yang cukup baik. Berdasarkan pengujian yang dilakukan dipilih tiga rentang perlakuan perbandingan stearin dan olein yaitu 60:40, 50:50, dan 40:60. Pemilihan rentang ini juga didasarkan pada pengujian campuran stearin dan olein pada formulasi margarin yang dilakukan selama masa uji coba trial. Uji coba yang dilakukan dimaksudkan untuk menentukan rentang perbandingan stearin dan olein yang mampu menghasilkan margarin cepat oles setelah disimpan pada suhu rendah. Tabel 15. Nilai penetrasi berbagai campuran stearin dan olein Waktu tempering Stearin:Olein Nilai penetrasi mm Waktu tempering Stearin:Olein Nilai penetrasi mm 90 menit 100 : 0 8.92 ± 0.09 150 menit 100 : 0 5.52 ± 0.22 95 : 5 8.70 ± 0.18 95 : 5 6.18 ± 0.21 90 : 10 14.72 ± 0.17 90 : 10 8.62 ± 0.25 85 : 15 13.82 ± 0.12 85 : 15 10.85 ± 0.21 80 : 20 15.58 ± 0.22 80 : 20 10.80 ± 0.18 75 : 25 12.08 ± 0.22 75 : 25 8.60 ± 0.08 70 : 30 13.98 ± 0.17 70 : 30

10.30 ± 0.14 65 : 35

14.70 ± 0.18 65 : 35 14.50 ± 0.36 60 : 40 16.57 ± 0.15 60 : 40 16.22 ± 0.17 55 : 45 18.08 ± 0.09 55 : 45 17.08 ± 0.17 50 : 50 16.48 ± 0.17 50 : 50 18.72 ± 0.33

4.2 PEMBUATAN MARGARIN

Margarin merupakan salah satu produk emulsi air di dalam minyak wo. Pembuatan margarin diawali dengan penyiapan dan penimbangan bahan-bahan yang diperlukan selama proses produksi. Bahan-bahan yang digunakan antara lain fase minyak stearin dan olein dari minyak sawit yang dimurnikan, air, flavor panili, garam, emulsifier gliserol monostearat GMS, stabilizer carboxy methyl cellulose CMC, antioksidan butylated hydroxyanisole BHA, antioksidan tertiary butylhydroquinone TBHQ, dan pewarna kuning telur. Fase minyak dibuat dengan persentase sebesar 82 dari total jumlah bahan yang digunakan dan sisanya sebesar 18 merupakan fase air. Fase minyak terdiri atas campuran stearin dan olein dengan berbagai perbandingan, sedangkan fase air 27 yang digunakan sama untuk semua formulasi. Bahan yang terlarut dalam fase minyak terdiri atas emulsifier GMS sebesar 0.1 bv, stabilizer CMC sebesar 0.025 bv, dan antioksidan 50 ppm BHA dan 50 ppm TBHQ. Bahan yang terlarut dalam fase air terdiri atas garam sebesar 3 bv, pewarna makanan bewarna kuning telur sebesar 0.3 vv, dan flavor panili dengan berbagai konsentrasi. Pemilihan GMS atau gliserol monostearat C 21 H 42 O 4 sebagai emulsifier didasarkan pada nilai hydrophilic-lipophilic balance HLB yang sesuai untuk produk margarin produk emulsi wo. GMS memiliki nilai HLB sebesar 3.6-5 Anonim c , 2011 dan Anonim d , 2011. Hal ini sesuai menurut Aulia 2010 bahwa HLB emulsifier yang sesuai dan tepat untuk produk emulsi water in oil berkisar antara 4-6. Pemilihan antioksidan BHA dan TBHQ sesuai dengan Siregar 2009. Pada konsentrasi antioksidan 1:1, masing-masing 50 ppm, antioksidan tersebut memberikan daya hambat yang cukup baik terhadap oksidasi margarin serta pengujian organoleptik selama penyimpanan masih menghasilkan respon yang baik dari panelis. Margarin yang dibuat sesuai hasil dari penelitian pendahuluan yaitu terdapat tiga konsentrasi flavor panili 0.009, 0.012, 0.015 dan tiga rentang perbandingan stearin olein 60:40, 50:50, 40:60, sehingga dihasilkan sembilan formula margarin. Tabel 16 menunjukkan matriks kesembilan formulasi margarin di dalam penelitian ini. Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa hanya konsentrasi flavor panili dan perbandingan stearin olein yang berbeda. Masing-masing formula dibuat dua kali ulangan dan urutan pembuatan dilakukan secara acak melalui sistem lotre atau pengocokan. Urutan pembuatan untuk ulangan pertama adalah S 2 P 2 , S 2 P 1 , S 3 P 1 , S 3 P 2 , S 1 P 2 , S 1 P 1 , S 2 P 3 , S 3 P 3 , dan S 1 P 3 , sedangkan urutan pembuatan untuk ulangan kedua adalah S 3 P 1 , S 1 P 3 , S 2 P 1 , S 2 P 3 , S 2 P 2 , S 1 P 2 , S 3 P 3 , S 3 P 2 , dan S 1 P 1 . S 1 merupakan kode untuk perbandingan stearin olein sebesar 60:40, S 2 merupakan kode untuk perbandingan stearin olein sebesar 50:50, dan S 3 merupakan kode untuk perbandingan stearin olein sebesar 40:60. P 1 merupakan kode untuk konsentrasi flavor panili sebesar 0.009, P 2 merupakan kode untuk konsentrasi flavor panili sebesar 0.012, dan P 3 merupakan kode untuk konsentrasi flavor panili sebesar 0.015. Pengacakan urutan pembuatan margarin dimaksudkan untuk memberikan kondisi yang sama pada semua formulasi selama pengujian, sehingga hasil yang berbeda hanya disebabkan dari perlakuan yang diujikan, yaitu perbandingan stearin olein dan konsentrasi flavor panili. Tabel 16. Formulasi margarin beraroma panili basis 1 liter Bahan Jumlah S 1 P 1 S 1 P 2 S 1 P 3 S 2 P 1 S 2 P 2 S 2 P 3 S 3 P 1 S 3 P 2 S 3 P 3 Air ml 18 18 18 18 18 18 18 18 18 Stearin ml 492 492 492 410 410 410 328 328 328 Olein ml 328 328 328 410 410 410 492 492 492 Panili ppm 90 120 150 90 120 150 90 120 150 Garam gram 30 30 30 30 30 30 30 30 30 GMS gram 1 1 1 1 1 1 1 1 1 CMC gram 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 BHA ppm 50 50 50 50 50 50 50 50 50 TBHQ ppm 50 50 50 50 50 50 50 50 50 Pewarna ml 3 3 3 3 3 3 3 3 3 28 Pembuatan margarin dilakukan dengan pencampuran dua fase yang memiliki sifat tidak saling bercampur, yaitu fase minyak 82 dan fase air 18. Stearin yang digunakan terlebih dahulu dilelehkan dengan cara memanaskan pada suhu 60 o C selama 20 menit, sehingga stearin tersebut dapat dinyatakan dan ditakar dalam bentuk volume. Selain itu, pelelehan ini juga dimaksudkan untuk mempermudah pencampuran antarfase dalam pembuatan margarin. Masing-masing fase dihomogenkan dengan alat homogenizer berkecepatan 4000 rpm selama 30 detik. Fase cair terdiri atas air, garam, pewarna, dan flavor panili. Fase minyak terdiri atas campuran stearin olein, antioksidan, emulsifier GMS, dan stabilizer CMC. Setelah homogen, fase air dan fase minyak dicampurkan dan diaduk di dalam wadah gelas dengan menggunakan homogenizer berkecepatan 8000 rpm selama 15 menit. Homogenizer ini dapat mengubah dua fase cairan yang immisible menjadi suatu emulsi melalui proses pencampuran dan pengecilan ukuran droplet McClements, 2004. Homogenizer yang digunakan dalam penelitian ini tergolong dalam homogenizer rotor-stator, sehingga terdapat bagian yang bergerak dan bagian lain yang diam. Bagian yang bergerak merupakan bagian yang memiliki sejenis pisau pemotong dan mampu berputar dengan kecepatan ribuan rpm. Ketika adonan margarin mengenai bagian ini, adonan akan dipotong dengan cepat membentuk droplet-droplet dengan ukuran kecil dan seragam. Kemudian adonan yang telah mengalami proses pengecilan droplet akan keluar pada lubang-lubang bagian rotor dari homogenizer. Homogenizer yang digunakan dimodifikasi dengan diselimuti air dingin bersuhu 17-22 o C selama 15 menit Penyelimutan dengan air dingin dimaksudkan untuk melakukan proses kristalisasi lemak melalui proses pendinginan. Perubahan suhu secara nyata akan mengubah kekuatan dan plastisitas produk margarin dengan perubahan pada jumlah kristal yang ada, kekerasan, dan viskositas dari trigliserida cair. Penurunan suhu dapat menimbulkan kristalisasi dan peningkatan viskositas Kusnandar, 2010. Laju pendinginan, agitasi, dan tingkat pendinginan akan menentukan kecepatan pertumbuhan kristal dan aglomerasi kristal yang selanjutnya akan berpengaruh pada tekstur dan karakteristik pencairan dari produk Podmore, 1994. Emulsi akan memisah kembali ke wujud masing-masing wujud semula jika tidak segera didinginkan Ketaren, 2008. Pada proses ini suhu dan kecepatan pendinginan sangat mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk. Kristal lemak yang diharapkan berukuran kecil sehingga margarin yang dihasilkan bertekstur halus. Selain itu, penggunaan suhu rendah secara langsung dalam pembuatan emulsi akan memperlambat gerakan partikel terdispersi sehingga mengurangi benturan antar partikel terdispersi. Pemakaian suhu rendah akan meningkatkan viskositas yang akan memperbesar ketahanan terhadap benturan antar partikel terdispersi Podmore, 1994. Lemak dan trigliserida memiliki tiga bentuk kristal dasar yaitu α alfa, ’ beta-prime, dan beta. Kristal alfa berbentuk datar, transparan, dengan ukuran sekitar 5 µm. Kristal beta-prime berbentuk besar, kasar, dan berukuran 25-50 µm. Jika suatu lemak didinginkan dengan cepat, maka akan cenderung membentuk kristal alfa yang kecil. Namun, bentuk tersebut tidak berlangsung lama dan dengan cepat berbentuk beta-prime yang memiliki kecenderungan tinggi untuk mengeras. Kristal beta-prime dapat berubah menjadi kristal beta yang paling stabil bergantung pada trigliserida penyusunnya. Pengamatan pada margarin yang dihasilkan selama penelitian menunjukkan terbentuknya kristal yang halus. Pada proses pendinginan ini, kristal yang terbentuk hanya sebagian sehingga dilanjutkan dengan proses tempering untuk menyempurnakan pembentukan kristal Budijanto et.al, 2001. Setelah dilakukan proses homogenisasi, produk emulsi yang dihasilkan dikemas di dalam cup plastik berbahan polipropilen PP dan terakhir produk ditempering atau didiamkan pada suhu 7-10 o C selama 2x24 jam. Tempering atau pendiaman margarin dimaksudkan untuk menstabilkan tekstur dan plastisitas dari produk margarin yang dihasilkan. Tahap ini juga akan mempengaruhi karakteristik 29 sensori produk seperti warna, flavor, tekstur, dan penampakan produk Blackman et al, 1995. Gambar 9 menunjukkan produk margarin setelah dikemas di dalam cup plastik berbahan polipropilen PP yang telah siap disimpan di dalam refrigerator. Gambar 9. Produk margarin setelah dikemas 4.3 ANALISIS STABILITAS, FISIK, KIMIA, DAN ORGANOLEPTIK 4.3.1 ANALISIS STABILITAS