Mendiskusikan Isi Puisi Menyimak dan Merefleksi Isi Puisi

144 Bahasa Indonesia, Bahasa Kebanggaanku Kelas VII SMP dan MTs Simpulkan isi puisi “Berita Kepada Kawan” disertai dengan alasan atau bukti-bukti pendukung yang kuat dalam kolom berikut. Aspek Deskripsi Buktialasan Garis besar isi Nada Suasana Irama Pilihan kata 145 Cintah Tanah Air

B. Menjelaskan Latar Cerpen dan Realitas Sosial

Setelah mengikuti pembelajaran berikut ini, kamu diharapkan mampu: z menjelaskan latar suatu cerpen z dapat menjelaskan hubungan latar suatu cerpen dengan realitas sosial. Latar setting adalah lukisan atau penggambaran tempat, waktu, dan suasana lingkungan sosial, kebudayaan, adat istiadat, spiritual terjadinya peristiwa-peristiwa. Latar memberikan gambaran cerita secara konkret dan jelas. Latar dapat memberikan kesan realistis kepada pembacanya dan menciptakan suasana tertentu, seolah-olah peristiwa itu sungguh-sungguh ada atau terjadi. Latar cerita memiliki fungsi: 1. agar cerita tampak lebih hidup 2. menggambarkan situasi psikologis atau situasi batin tokoh. Bacalah kutipan cerpen berikut ini Harga Diri Sebetulnya, saya ini orangnya memang melarat. Buktinya, sudah hampir sepuluh tahun saya merancama Merantau Cari Makan di Jakarta. Sebuah rumah yang wajar saja saya belum punya. Apalagi rumah ukuran real estate itu. Kalau dulu presiden kita pernah mengumumkan bahwa tiga dari sepuluh penduduk RI berada di bawah garis kemiskinan, terus terang saja, saya termasuk golongan tiga-nya itu. Sungguh pun demikian, saya masih merasa bahagia dan lebih kaya dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sebab, sampai hari ini saya belum pernah merasakan apa itu lapar. Maklum, jelek-jelek orang tua saya, lelaki, masih ada jaminan hari tuanya dari departemen tempat beliau mengabdi selama tiga puluh tahun. Coba bandingkan dengan saudara-saudara saya yang diseret nasib tidur bergelandangan dari emper ke emper. Jangankan kelaparan, puasa tiga hari nonstop pun telah menjadi acara rutin bagi mereka. 146 Bahasa Indonesia, Bahasa Kebanggaanku Kelas VII SMP dan MTs Suatu sore, pernah saya kedatangan tamu yang tak diundang. Waktu itu saya sedang duduk rileks di beranda rumah, sambil makan roti tawar. Tiba- tiba seorang pengemis lelaki menyodorkan telapak tangannya pada saya. Orangnya kurus kering. Pakaian dekil dan bertambal sana-sini. Sedekah Tuan. Kasihanilah orang tak punya. Demikian sang pengemis melontarkan premis pada saya. Mungkin karena saya masih diam dan bermuka tak damai, kembali si pengemis dengan mimik yang meyakinkan menadahkan tangan. Tolonglah beri makan sedikit saja Tuan. Dari kemarin saya belum makan, Lapar Tuan…. Terdorong oleh perasaan kemanusiaan yang sama-sama punya hak atas hasil bumi nusantara ini, saya berdiri. Lalu sepotong roti tawar saya comot dari piring. Lantas roti itu saya lemparkan kepadanya. Pas jatuh di lantai dekat kakinya. Saya kira ia akan cepat-cepat menerkam roti itu dan dengan rakusnya melumatnya habis. Sebab, ia lapar bukan? Eh, tau-taunya si pengemis ini tertegun. Matanya yang tadi sayu melebihi mata seorang morphinis, kini menatap saya tajam. Sambil menyeka keringat kelaparan yang meleleh di keningnya, pengemis itu berkata dengan sopan kepada saya. Maaf, Tuan, saya memang lapar.… Tetapi, cara Tuan memberi saya tadi mengakibatkan saya kenyang. Terima kasih, Tuan Kemudian ia berlalu. Sempat saya lihat Bapak pengemis yang berusia empat puluh tahunan ini berlinang air mata. Entah berapa lama saya tertegun - kehilangan sukma - setelah kepergian pengemis itu, saya tidak begitu tahu. Yang jelas, apa yang barusan terjadi akibat kekasaran saya cukup berkesan. Saya terpukul. Saya jadi malu pada diri sendiri. Baru GNP 240 syoknya bukan main. Entah mengapa, tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Saya sungguh menyesal. Beribu sesalan mengalir pada waktu itu. Sadarlah saya. Segembel-gembelnya seorang gelandangan, toh masih kenal hidup, bukanlah kebun binatang. Pengemis tadi, meskipun lapar, meskipun ia miskin dari saya, ternyata ia masih punya harga diri. Suatu hal yang tadinya saya abaikan. Mengingat itu, saat itu juga saya meratap menyesali diri. Memang saya ini manusia tak beradab. Sia-sialah tiap hari saya mengenakan pakaian rapi dan sesekali pakai dasi ke pesta kawan. Ternyata, saya ini melebihi kasarnya manusia-manusia zaman purba. Lebih biadab rasanya dibandingkan dengan nenek moyang saya yang berasal dari Hindia Belanda.