Perspektif Islam Dalam Kepedulian Terhadap Konflik Sosial: Telaah Semiotika Pada Film “A Thousand Times Good Night”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Sarah Meida Pratiwi NIM: 1112051000160
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437H/2016M
(2)
PERSPEKTIF ISLAM
DALAM KEPEDULIAN TERIIADAP
KONFLIK SOSIAL: TELAAH SEMIOTIKA PADA
F'ILM
"A
THOUSAIVDTIMES GOODNIGHT"
Skripsi
Diaj ukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Sarah Meida Pratiwi
NIM: 1112051000160
JURUSAII KOMUNIKASI PENYIARAN
ISLAM
FAKULTAS
ILMU
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437HJ2A16M NIP: 19600720 199t03
I
001(3)
SOSIAL: TELAAH SEh{IOTIKA
THOUSAND TIMES GOOD NIGHT" sudah diujikan dalam sidang munaqasyah
di Fakultas Ilmu Dakwah dan llmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 September 2A16. Slaipsi ini sudah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada hogram Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta 20 September 2A16
Sidang Munaqasyah
Sekretaris Sidang
Dedi Fakhrudin. M.Ikom Nip. 19791208 201411 1 00i
Penguji II
fl-.2
Helmi Rustandi. MA Nip. 19601208 198803 I 005
Nip. 19750606 200710 I 001
4
Prof. Dr. Asep Usman Ismail. MA19s80910 r98703 2 00r
(4)
LEMBAR PERJ\TYATAAIY
Dengan ini saya menyatakan:
l.
Skripsiini
merupakan hasil karyaasli
saya yang diajukanuntuk memenuhi salah safu persyaratan memperoleh gelar
strata
I
(S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaSemua sumber yarug saya gunakan dalam penulisan skripsi
ini
telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaJika
di
kemudian hari terbukti bahwa karyaini
bukan hasilkarya
asli
saya atau merupakanjiplakan
dari
hasil
karyaorang lain, maka saya bercedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 September 2016 a
J.
a
(5)
i
Dalam bahasa semiotik, sebuah film dapat didefiniskan sebagai sebuah teks yang pada tingkat penanda, terdiri atas serangkaian imaji yang mempresentasikan aktifitas dalam kehidupan nyata. Salah satunya film A Thousand Times Good Night yang menjadi penelitian dalam skripsi. Dalam film menceritakan tentang konflik-konflik yang terjadi di belahan dunia, namun tidak ada yang peduli dengan keadaan di sana. Hal inilah yang menggerakan hati seorang fotografer perempuan bernama Rebecca untuk menolong mereka melalui keahlian yang dimilikinya.
Pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos kepedulian terhadap konflik sosial dalam film A Thousand Times Good Night menurut teori semiotika model Roland Barthes?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan masuk ke dalam jenis penelitian deskriptif. Dimana penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai suatu fenomena secara detail. Paradigma penelitian yang digunakan ialah paradigma konstruktivisme. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah analisis semiotika model Roland Barthes.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika Roland Barthes. Dalam semiotika model Roland Barthes, sistem signifikansi terbagi menjadi dua tingkatan, dimana denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan sistem signifikansi tingkat kedua. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Dalam pemahaman Barthes, mitos merupakan pengkodean makna dan nilai-nilai sosial yang dianggap alamiah.
Hasil penelitian ini menampilkan beberapa tanda yang muncul dari scene-scene di film ini. Peneliti mendapatkan data yang ditinjau dari denotasi, konotasi dan mitos. Makna denotasi berupa penjelasan mengenai gambar-gambar pada kelima secne yang berkaitan dengan konflik yang terjadi di Afganistan dan Kenya. Makna konotasinya yaitu menjelaskan bagaimana gambaran sikap kepedulian yang dilakukan Rebecca dan tokoh-tokoh yang lain terhadap konflik sosial yang terjadi. Sedangkan mitosnya adalah penjelasan mengenai perspektif Islam mengenai kepedulian terhadap konflik sosial yang di antaranya adalah sikap toleransi antar umat beragama, tolong-menolong terhadap sesama, arti persaudaran dalam Islam, balasan bagi orang-orang yang meringankan beban penderitaan orang lain, dan larangan berbuat aniaya terhadap orang lain. Jadi, dalam Islam selalu diajarkan untuk saling peduli antar sesama tanpa memandang status apapun dan Allah SWT menjanjikan balasan bagi orang-orang yang melakukan kebaikan dalam menolong orang lain yang kesulitan.
(6)
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Perspektif Islam Dalam Kepedulian Terhadap Konflik Sosial: Telaah Semiotika Pada Film “A Thousand Times Good Night”.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah bagi junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia kepada jalan kebenaran.
Adapun skripsi ini merupakan tugas akhir yang disusun guna memenuhi salah satu persyaratan yang telah ditentukan dalam menempuh program studi Strata Satu (S1) Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunannya segala hambatan yang ada dapat teratasi berkat bantuan, bimbingan, dorongan, do'a dan pengarahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yaitu Dr. H. Arief Subhan, M,A.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yaitu Drs. Masran, M.A dan Fita Fathurokhmah SS, M.Si.
3. Prof. Dr. H. Asep Usman Ismail, M.A selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dan memberikan motivasi untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(7)
iii
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa perkuliahan. 6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, serta Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, karena telah membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis dalam meminjam buku.
7. Kedua orang tua tercinta, Papa dan Mama (Suprapto dan Roida) yang tiada hentinya selalu mendo'akan, menyemangati dan memberikan dukungan baik moral maupun finansial kepada penulis. Terima kasih atas semua yang telah kedua orang tua berikan kepada penulis.
8. Untuk kakakku Sufi Alfida Pratiwi, terima kasih telah memberikan semangat serta dukungannya selama penulis mengerjakan skripsi.
9. Untuk teman seperjuangan Siti Aisyah dan Mudillah yang selalu bersama-sama mulai dari semprop hingga selesainya skirpsi ini dan teman-teman terbaik lainnya Fitri, Thabitha, Syifa, Dityan, Bilqis serta anak KPI E yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kebersamaannya dari semester satu hingga saat ini dan seterusnya.
10. Teman-teman dari KKN BRIGHT serta warga desa Tipar Raya, terima kasih untuk satu bulan kebersamaannya selama KKN.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
(8)
iv
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan para pembaca dan memberi manfaat dalam hal ilmu Komunikasi Penyiaran Islam. Amin Ya Robbal alamin.
Tanggerang, Agustus 2016
(9)
v
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
E. Metodologi Penelitian ... 6
F. Tinjauan Pustaka ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 13
A. Semiotika ... 13
1. Pengertian Semiotika ... 13
2. Macam-Macam Semiotika ... 14
3. Semiotika Roland Barthes ... 16
B. Perspektif Islam ... 19
C. Konflik Sosial ... 21
1. Pengertian Konflik Sosial ... 21
2. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Sosial ... 22
3. Jenis-Jenis Konflik Sosial ... 24
D. Kepedulian Sosial ... 27
1. Pengertian Kepedulian Sosial ... 27
2. Jenis-Jenis Kepedulian Sosial ... 28
(10)
vi
BAB III GAMBARAN UMUM FILM A THOUSAND TIMES GOOD NIGHT
... 30
A. Sinopsis ... 30
B. Profil Film ... 31
1. Tema ... 31
2. Tokoh ... 32
3. Penokohan ... 33
4. Setting atau Latar ... 34
5. Plot atau Alur ... 34
C. Tim Produksi ... 35
D. Profil Sutradara ... 36
BAB IV TELAAH SEMIOTIKA DALAM KEPEDULIAN TERHADAP KONFLIK SOSIAL DALAM FILM A THOUSAND TIMES GOOD NIGHT ... 38
A. Memberitahu Adanya Ancaman Bom ... 41
B. Menolong Para Korban Bom Bunuh Diri ... 46
C. Mengenang Para Korban Konflik ... 50
D. Perjuangan Menerbitkan Berita Konflik di Media ... 54
E. Memberikan Bantuan Keamanan di Kenya ... 60
BAB V PENUTUP ... 67
A. Kesimpulan ... 67
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(11)
vii
Tabel 3.1 Tokoh Film A Thousand Times Good Night ... 32
Tabel 3.2 Tim Produksi Film A Thousand Times Good Night ... 35
Tabel 4.1 Scene 1 (00.10.49-00.11.27) ... 41
Tabel 4.2 Scene 2 (00.13.11-00.13.44) ... 46
Tabel 4.3 Scene 3 (00.47.53-00.47.59) ... 51
Tabel 4.4 Scene 4 (00.56.26-00-00.57.13) ... 55
(12)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Film memiliki kekuatan besar dari segi estetika karena menjajarkan dialog, musik, pemandangan dan tindakan bersama-sama secara visual dan naratif. Dalam bahasa semiotik, sebuah film dapat didefiniskan sebagai sebuah teks yang pada tingkat penanda, terdiri atas serangkaian imaji yang mempresentasikan aktifitas dalam kehidupan nyata. Jelaslah bahwa topik tentang sinema adalah salah satu topik sentral dalam semiotika karena genre-genre dalam film merupakan sistem signifikasi yang mendapat respons sebagian besar orang saat ini dan yang dituju orang untuk memperoleh hiburan, ilham, dan wawasan pada level interpretan.1
Salah satunya film A Thousand Times Good Night yang menjadi penelitian dalam skripsi. Film A Thousand Times Good Night diliris pada tanggal 16 Oktober 2013 dan telah mendapatkan penghargaan Special Grand Prix of The Jury dalam Montreal World Film Festival di Kanada tahun 2013. Film buatan Norwegia karya Erik Poppe ini adalah autobiografi dari Erik
1
Marcel Danesi, “Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory”, Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantrari, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, cet. ke-1, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 100.
(13)
Poppe sendiri selaku penulis naskah dan sutradara. Film ini menceritakan pengalamannya saat menjadi fotografer konflik.2
Konflik sosial yang diangkat dalam film ini mengambil latar di Afghanistan dan Kenya. Dua negara yang mengalami konflik sosial dan menewaskan banyak korban jiwa, namun masyarakat dunia kurang peduli terhadap keadaan di sana. Hal inilah yang menggerakan hati seorang fotografer perempuan bernama Rebecca untuk menolong mereka melalui keahlian yang dimilikinya. Dalam film ini diperlihatkan bagaimana sulitnya Rebecca untuk menerbitkan foto-fotonya di media dan usaha Rebecca untuk meminta bantuan pada PBB. Permasalahan yang dihadapi Rebecca tidak hanya sampai di situ. Suami dan anak Rebecca menentang dirinya melakukan pekerjaan berbahaya tersebut dan pada akhirnya Rebecca dihadapkan pada pilihan antara karir atau keluarganya.3
Penyebab konflik sendiri sangatlah kompleks dan tidak berdiri sendiri, tetapi dilatarbelakangi oleh berbagai dimensi dan latar peristiwa. Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa berlatar belakang ekonomi, politik, kekuasaan, budaya, agama, dan kepentingan lainnya.1 Konflik merupakan proses sosial yang akan terus terjadi dalam masyarakat, baik individu maupun kelompok, dalam rangka perubahan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dengan cara menentang lawannya.
2
“1,000 Times Good Night,” artikel diakses pada 28 Mei 2016 dari http://www.imdb.com/title/tt2353767/
3
“A Thousand Times Good Night,” artikel diakses pada 28 Mei 2016 dari http://www.thisisirishfilm.ie/trailers/a-thousand-times-goodnight
1
Bagia Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, cet. ke-1, (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007), h.37.
(14)
3
Adapun kekerasan, merupakan gejala yang muncul sebagai salah satu efek dari adanya proses sosial yang biasanya ditandai oleh adanya perusakan dan perkelahian.2 Hal ini lah yang menyebabkan banyak orang yang menjadi korban konflik. Dan mereka yang menjadi korban konflik berkepanjangan mengharapkan bantuan untuk penyelesaian konflik tersebut seperti yang tergambar dalam film A Thousand Times Good Night.
Seperti yang terlihat pada saat ini, kepedulian sosial yang dimiliki manusia semakin berkurang terhadap sesamanya. Padahal manusia sebagai makhluk hidup tidak dapat hidup sendiri, sehingga mengharuskannya hidup bersosialisasi dan peka terhadap kesusahan orang lain di sekitarnya.4 Ada cukup banyak orang yang sedang menanti uluran tangan kita, bahkan barangkali dalam keluarga kita sendiri. Bentuk kepedulian tidak selalu dalam bentuk materi, tetapi juga berupa perhatian, penerimaan, penyediaan waktu, pikiran dan hati untuk sesama yang sedang membutuhkan hal-hal semacam itu.5
Dalam Islam pun diajarkan untuk saling peduli terhadap sesamanya. Salah satu ajaran Islam yang menunjukkan sikap kepedulian adalah zakat. Allah SWT mengajarkan penunaian zakat selain untuk membersihkan harta sekaligus untuk melatih umatnya memupuk kepekaan dan kepedulian sosial. Hal ini karena Allah ingin benar-benar memastikan bahwa seorang Muslim harus memiliki sebuah karakter yang tinggi berupa kepekaan dan kepedulian
2
Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, h. 35.
4
Antonius Atosokhi, Relasi Dengan Sesama, cet. ke-3, (Jakarta: Gramedia, 2005), h.269.
5
(15)
kepada sesama sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab yang tinggi tidak hanya kepada dirinya tetapi juga kepada sekitarnya, orang lain dan masyarakat.6 Selain itu bentuk kepedulian juga dijelaskan dalam Surah al-Balad [90] ayat 12-18 berikut:
ﺎَﻣ َﻚٰىَرۡدَأ ٓﺎَﻣَو
ُﺔَﺒَﻘَﻌۡﻟٱ
١٢
ﱡﻚَﻓ
ٍﺔَﺒَﻗَر
١٣
ﻢَٰﻌۡﻃِإ ۡوَأ
مۡﻮَﯾ ﻲِﻓ
يِذ
ﺔَﺒَﻐۡﺴَﻣ
١٤
ِﺘَﯾ
ﻢﯿ
ا
ٍﺔَﺑَﺮۡﻘَﻣ اَذ
١٥
ﻦﯿِﻜۡﺴِﻣ ۡوَأ
ﺔَﺑَﺮۡﺘَﻣ اَذ ا
١٦
ﱠﻢُﺛ
َنﺎَﻛ
َﻦِﻣ
َﻦﯾِﺬﱠﻟٱ
ِﺑ ْاۡﻮَﺻاَﻮَﺗَو ْاﻮُﻨَﻣاَء
ِﺮۡﺒﱠﺼﻟﭑ
ِﺑ ْاۡﻮَﺻاَﻮَﺗَو
ِﺔَﻤَﺣۡﺮَﻤۡﻟﭑ
١٧
ُﺐَٰﺤۡﺻَأ َﻚِﺌَٰٓﻟْوُأ
ِﺔَﻨَﻤۡﯿَﻤۡﻟٱ
١٨
Artinya:"Tahukah kamu apa jalan yang mendaki dan sukar itu?, (yaitu) melepaskan perbudakan, atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. atau orang miskin yang sangat fakir, dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang, mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan."
Pada Surah al-Balad [90]: 12-18 di atas dijelaskan bahwa jalan yang mendaki dan sukar adalah memberikan bantuan pada mereka-mereka yang membutuhkan. Mereka pula termasuk penyebab masalah sosial berupa kemiskinan yang bersumber dari kualitas sumber daya manusia yang rendah, seperti adh-dha’îf, yakni keadaan diri seseorang yang diliputi kelemahan; al-khauf, yakni keadaan diri seseorang yang diselimuti oleh suasana takut yang mencekam; al-kaslân, yakni keadaan jiwa seseorang yang diliputi oleh kemalasan; dan al-bakhîl, yakni keadaan diri seseorang yang di dominasi oleh sifat kikir.7
6
AKH. M uw afik Saleh, M embangun Karakt er dengan Hat i Nurani: Pendidikan Karakt er untuk Generasi Bangsa, cet. ke-1, (Jakart a: Erlangga, 2012), h. 219-220.
7
Asep Usman Ismail, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial, cet. ke-1, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 11.
(16)
5
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti perlu untuk mengkaji film A Thousand Times Good Night sebagai subjek penelitian. Maka dari itu, untuk mengetahui lebih lanjut tanda-tanda komunikasi yang tersirat di dalamnya dan makna simbolik mengenai kepedulian terhadap konflik sosial pada film A Thousand Times Good Night penulis inigin meneliti sekaligus dijadikan judul skripsi, yaitu: Perspektif Islam Dalam Kepedulian Terhadap Konflik Sosial: Telaah Semiotika Pada Film “A Thousand Times Good Night”.
B. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang dibahas maka peneliti perlu membuat batasan masalah agar hasil penelitian lebih terfokus dan mendalam. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dibatasi pada pengambilan adegan-adegan dalam film A Thousand Times Good Night yang dianggap memiliki makna simbol yang mewakili kepedulian terhadap konflik sosial.
C. Rumusan Masalah
Adapun pertanyaan mengenai penelitian, yaitu: Bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos kepedulian terhadap konflik sosial dalam film A Thousand Times Good Night menurut teori semiotika model Roland Barthes?
(17)
D. Tujuan dan Manfaat
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian diatas, secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos kepedulian terhadap konflik sosial dalam film A Thousand Times Good Night menurut teori semiotika model Roland Barthes.
Sedangkan, manfaat penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat akademis: Dalam penelitian ini semoga memberikan sumbangsih bagi ilmu komunikasi dan dapat digunakan sebagai panduan dan referensi dan menambah hasil penelitian khususnya yang berhubungan dengan penelitian tentang analisis semiotika pada film. 2. Manfaat Praktis: Semoga dengan hasil penelitian ini diharapkan
memberikan informasi tambahan dan evaluasi bagi penelitian serupa dalam melakukan analisis mengenai simbol-simbol pada film.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian kualitatif berfungsi untuk menjelaskan suatu fenomena atau objek penelitian melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.8 Sedangkan menurut Denzim dan Lincoln (1987) mengatakan bahwa,
8
(18)
7
“Penelitain kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.”9
Penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang mengandalkan data, tidak menjadikan populasi atau sampling sebagai prioritas. Yang ditekankan kualitas bukan kuantitas.
Dalam proses pembentukannya, penelitian kualitatif ini dikemas secara deskriptif. Sifat penelitian deskriptif ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.10 Penelitian kualitatif-deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dan semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.11
Dalam penelitian ini juga menggunakan paradigma konstruktivisme, paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap
socially meaning action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.12
9
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 5.
10
Kriyanto, Teknis Praktis Riset Komunikasi, h. 69.
11
Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 11.
12
Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003), h.3.
(19)
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini ialah film A Thousand Times Good Night. Adapun yang menjadi objek dari penelitian ini adalah potongan-potongan gambar dari film tersebut yang dianggap mengandung tanda-tanda sesuai batasan masalah yang akan di analisis dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
3. Sumber Data
Dalam memperoleh data, penulis meneliti langsung dari softfile tayangan film A Thousand Times Good Night sebagai data primer atau sasaran utama dalam analisis, tanpa melakukan waawancara. Selain itu, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data-data dengan mengkaji berbagai sumber yang ada, seperti majalah, internet, buku, dan sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan antaranya: Dokumentasi, yaitu dilakukan dengan menggunakan data-data dan dokumen yang mendukung penelitian ini. Data-data yang dikumpulkan dalam teknik ini terbagi dua, yaitu:
(20)
9
a. Data Primer
Studi komunikasi yang dilakukan penulis dengan melakukan pencarian scene-scene dalam film A Thousand Times Good Night
yang mengandung tanda-tanda yang sesuai dengan batasan masalah. b. Data Sekunder
Selain pengumpulan data primer, penulis juga melakukan pencarian melalui sumber-sumber tertulis untuk memperoleh informasi mengenai objek penelitian ini sebagai data sekunder. Mengkaji berbagai sumber yang sesuai dengan materi penelitian melalui buku, internet, artikel.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, kemudian diklasifikasikan sesuai pertanyaan yang terdapat di rumusan masalah. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes. Analisis ini bertujuan untuk melihat bagaimana serangkaian tanda-tanda yang terkandung dalam film A Thousand Times Good Night. Dimana Roland Barthes mementingkan tiga aspek, yaitu makna denotasi, konotasi dan mitos.
6. Teknik Penulisan
Penelitian ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang ditulis oleh: Hamid Nasuhi,
(21)
dkk. Yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.13
F. Tinjauan pustaka
Tinjauan pustaka yang menginspirasi peneliti dari skripsi-skripsi terdahulu, diantaranya:
Skripsi pertama yang diajukan peneliti sebagai referensi tambahan dalam pembuatan penelitian ini adalah Representasi Islam Dalam Film “PK” oleh Nurleli, tahun 2015, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Persamaan skripsi yang menjadi referensi dengan skripsi yang peneliti buat yaitu persamaan dalam hal teori yang sama-sama menggunakan semiotika model Roland Barthes. Namun terdapat perbedaan dalam hal objek yang digunakan yaitu skripsi yang menjadi rujukan menggunakan film PK, sedangkan skripsi yang peneliti buat menggunakan film A Thousand Times Goodnight.
Skripsi yang kedua yaitu, Analisis Semiotik Kepedulian Terhadap Anak Jalanan Dalam Film Rumah Tanpa Jendela, oleh Adinda Vanda Marsista, tahun 2015, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama menggunakan analisis semiotika film dan makna yang dicari sama-sama tentang kepedulian. Perbedaanya ada pada teori yang digunakan. Skripsi yang dijadikan bahan rujukan menggunakan teori semiotika Charles Sander Pierce, sedangkan
13
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), cet. ke-1, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Center for Quality Development an Assurance, 2007).
(22)
11
skripsi yang peneliti buat menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Selain itu, skripsi yang dijadikan bahan rujukan menggunakan film Rumah Tanpa Jendela sebagai objeknya, sedangkan skripsi yang peneliti buat menggunakan film A Thousand Times Good Night sebagai objek penelitain.
Skripsi yang ketiga yang menjadi rujukan yaitu, Representasi Simbol Keislaman Film Mata Tertutup Karya Garin Nugroho, oleh Siti Mawarni Murdiati tahun 2014, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Persamaan skripsi yang dijadikan rujukan dengan skripsi yang peneliti buat adalah dalam hal sama-sama menggunakan analisis semiotika film. Perbedaanya ada pada objek penelitian dimana skripsi yang digunakan sebagai rujukan menggunakan film Mata Tertutup dan menggunakan teori semiotika Charles Sander Pierce, sedangkan skripsi yang peneliti buat menggunakan film A Thousand Times Good Night dan menggunakan teori semiotika Roland Barthes.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah proses penelitian ini, peneliti membagi skripsi ini menjadi lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN menyajikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metedologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II: KERANGKA TEORI menjelaskan tentang semiotika, perspektif Islam, konflik sosial, dan kepedulian sosial.
(23)
BAB III: GAMBARAN UMUM FILM A THOUSAND TIMES GOODNIGHT menguraikan gambaran umun tentang sinopsis, profil film, tim produksi, dan profil sutradara.
BAB IV: TELAAH SEMIOTIKA TENTANG KEPEDULIAN TERHADAP KONFLIK SOSIAL DAlam FILM A THOUSAND TIMES GOODNIGHT merupakan hasil penelitian analisis semiotika terhadap film A Thousand Times Goodnight. Berupa identifikasi umum makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film A Thousand Times Goodnight.
BAB V: PENUTUP merupakan akhir atau penutup penelitian dari penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran.
(24)
13
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.1
Pengertian semiotika dapat dijelaskan secara etimologis dan terminologis. Pengertian semiotika secara etimologis, yaitu istilah semiotika yang berasal dari kata yunani Semeion yang berati tanda. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.2 Sedangkan, secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederatan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.3
Jadi, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini, di tengah-tengah manusia dan
1
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 87.
2
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), h. 7.
3
(25)
bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).4
2. Macam-Macam Semiotika
Semiotika yang kita kenal sekarang sekurang-kurangnya terbagi menjadi sembilan macam, yaitu:
a. Semiotik analitik, yaitu semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah sebagai beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
b. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Semiotik faunal (zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya,
4
(26)
15
tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia.
d. Semiotik kultural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sebuah sistem, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.
e. Semiotik naratif, yaitu semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Mitos dan cerita lisan, ada di antaranya yang memiliki nilai kultural yang tinggi. f. Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia seperti banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
g. Semiotik normatif, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu lalu lintas.
h. Semiotik sosial, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan
(27)
yang disebut kalimat. Dengan kata lain semiotik sosial menelah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
i. Semiotik struktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 5
Dalam penelitian ini jenis semiotik yang dianalisis dapat dikatakan termasuk ke dalam jenis semiotik deskriptif dan semiotik stuktural. Hal ini dikarenakan tanda-tanda yang terdapat dalam film nantinya akan dianalis berdasarkan makna tanda yang sudah ada sejak dulu namun seiring perkembangan jaman tanda yang dihasilkan akan berubah maknanya. Tanda-tanda yang ada di film akan dianalisis tidak hanya dalam pekembangan masyarakat namun juga dalam pandangan Islam. Selain itu bahasa yang ada dalam film juga akan dianalisis berupa dialog yang mengandung makna tertentu.
3. Semiotika Roland Barthes
Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis.6 Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang rajin mempraktikkan model lingustik dan semiologi Saussure. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 100-102.
6
(28)
17
sastra. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.7
Konsep pemikiran Roland Barthes merupakan terusan dari pemikiran Ferdinand De Saussure. Jika pemikiran Saussure mengenai adanya asosiasi antara penanda dan petanda. Maka, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan bahwa interaksi antar teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.8
Tabel 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4) dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal kata “singa”,
7
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63
8
(29)
barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.9
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi kebenarannya.10
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya,”. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua.11
Denotasi adalah makna pada apa yang kita lihat dan pada kenyataannya sama. Denotasi juga bisa dibilang sebagai fenomena yang tampak dengan panca indera. Sedangkan, konotasi adalah makna-makna yang bukan sebenarnya, tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan), konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan yang bersifat implisit, tersembunyi yang disebut makna konotatif.12 Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang
9
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69
10
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69
11
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70
12
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode , Gaya dan Matinya Makna, (Bandung: Matahari, 2010), h. 304.
(30)
19
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkanya.13
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Dalam pemahaman Barthes, mitos merupakan pengkodean makna dan nilai-nilai sosial yang dianggap alamiah.14 Menurut Barthes mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.15 Sebuah mitos dapat menjadi sebuah ideologi atau sebuah paradigma ketika sudah berakar lama, digunakan sebagai acuan hidup dan menyentuh ranah norma sosial yang berlaku di masyarakat. 16
B. Perspektif Islam
Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar, sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya). Di samping itu pula perspektif bermakna sudut pandang atau pandangan. Dengan demikian perspektif adalah suatu pandangan seseorang terhadap suatu persoalan.17
13
Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 22.
14
Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode , Gaya dan Matinya Makna, h. 305.
15
Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 22.
16
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 59.
17
(31)
Sedangkan pengertian Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.18 Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari aspek kehidupan manusia yang bersumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek yaitu Al-Qur’an dan hadist.
Nama Islam berasal dari kata Salam yang terutama berarti “damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”. Tertuang dalam ayat berikut :
ُﻢﯿِﻠَﻌْﻟا ُﻊﯿِﻤﱠﺴﻟا َﻮُھ ۥُﮫﱠﻧِإ ۚ ِﮫﱠﻠﻟا ﻰَﻠَﻋ ْﻞﱠﻛَﻮَﺗَو ﺎَﮭَﻟ ْﺢَﻨْﺟﺎَﻓ ِﻢْﻠﱠﺴﻠِﻟ ۟اﻮُﺤَﻨَﺟ نِإَو
Artinya: “dan jika mereka condong kepada perdamian, maka condonglah kepadanya dan bertawakalah kepada Allah. Sesungguuhnya Dialah yang
maha mendengar lagi maha mengetahui”.(QS. Al-anfal: 61)
Maka keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup sudah diserahkan kepada Allah”.19 Tuhan dalam agama Islam adalah Allah SWT, kitab yang dianut umat islam adalah Al-Qur’an. Al-Quran merupakan mukzijat yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, yang dipercayai umat Islam sebagai nabi akhir zaman yang membawa cahaya bagi umat manusia.
Pengertian Islam menurut KH. M. Syafi’I Hadzami adalah tunduk dan patuh terhadap apa yang diberitakan oleh Rasulullah.20 Dalam pengertian
18
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Universitas, 1985), h. 24.
19
Huston Smith, Agama-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 254.
20
(32)
21
agama, kata Islam berarti kepatuhan kepada kehendak dan kemauan Allah, serta taat kepada hukum-Nya.21
Dari segi bahasa, kata Islam berasal dari bahasa arab yang terambil dari akar kata salima. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut diartikan dengan “selamat”. Dari akar kata salima tadi dibentuk kata aslama,yaitu salam yang artinya keselamatan, taslim yang artinya perdamaian.22
Pengertian Islam secara umum berarti ketundukan dan ketaatan semua makhluk terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan Tuhan sang pencipta. Arah ketundukan terhadap hukum-hukum alam dan ketundukan terhadap ketentuan-ketentuan agama.23 Jadi yang dimaksud dengan perspektif Islam adalah suatu pandangan seseorang terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah SWT.
C. Konflik Sosial
1. Pengertian Konflik Sosial
Konflik merupakan proses sosial yang pasti terjadi di tengah-tengah masyarakat yang dinamis. Konflik terjadi karena adanya perbedaan atau kesalahpahaman antara individu atau kelompok masyarakat yang satu dan individu atau kelompok masyarakat lainnya.24
21
Abdalati hammudah, Islam Suatu Kepastian, (Jakarta: Media Dakwah, 2008), h. 13.
22
Jam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), h. 107-108.
23
Jam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama, h. 111.
24
Bagia Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007), h. 33.
(33)
Untuk mendapatkan gambaran lebih luas tentang pengertian konflik, beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai definisi konflik.
“Robert M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal langka, seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya, yang tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial, dan budaya) yang relatif terbatas.”
Sedangkan definisi lain mengenai konflik dijelaskan oleh Peter Harris dan Ben Relly (1998).
Peter Harris dan Ben Relly (1998), berpendapat bahwa sifat konflik yang tajam di dunia telah berubah dalam suatu dekade terakhir, baik dalam inti permasalahan maupun dalam bentuk pengekpresiannya. Salah satu perubahan yang paling dramatis adalah pergeseran dari konflik antarnegara yang tradisional (perang antarnegara berdaulat) menuju konflik dalam negara. Konflik-konflik yang paling kejam sepanjang abad ke-20 adalah konflik antarnegara. Akan tetapi, pada tahun 1990-an hampir semua konflik besar di dunia terjadi dalam negara atau konflik internal, misalnya perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya. 25
Dalam konflik pasti ada perselisihan dan pertentangan di antara pihak-pihak berkonflik. Konflik bisa dialami oleh siapa saja pada berbagai lapisan masyarakat. Konflik bisa dimulai dari keluarga, masyarakat sekitar, nasional, dan global.26
25
Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, h. 33.
26
(34)
23
2. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Sosial
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial karena konflik sosial tidak terjadi begitu saja dalam masyarakat.
“Menurut DuBois dan Miley sumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan social, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut biasanya sangat berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaki masyarakat yang dtandai dengan rasisme, elitism, gender, usia, prasangka.”27
Namun secara umun sumber atau sebab konflik djelaskan sebagai berikut:
a. Konflik nilai. Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan nilai. Nilai merupakan sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia menggantungkan pikiran, perasaan dan tindakan seseorang. b. Kurangnya komunikasi. Konflik bisa terjadi hanya karena dua pihak
kurang berkomunikasi. Kegagalan berkomunikasi karena dua pihak tidak dapat menyampaikan pikiran, perasaan, dan tindakan diantara mereka (fungsi komunikasi, antara lain adalah mengurangi tingkat ketidakpastian) dapat mengakibatkan konflik.
c. Kepemimpinan yang kurang efektif/pengambilan keputusan yang tidak tidak adil.
d. Ketidakcocokan peran. Konflik ini bisa terjadi di mana dan kapan saja, asal dalam sebuah organisasi (sosial maupun formal). Ketidakcocokan peran itu terjadi karena dua pihak mempersepsikan secara sangat berbeda peran mereka masing-masing.
27
(35)
e. Produktivitas rendah. Konflik acap terjadi, karena out put dan out come dari dua pihak atau lebih yang bekerja sama tidak atau kurang mendapat keuntungan dari kerja sama tersebut. Muncul prasangka di antara mereka.
f. Perubahan keseimbangan. Konflik terjadi karena perubahan keseimbangan yang dialami oleh dua pihak atau lebih. Sumber perubahan itu boleh jadi alam (yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya), atau organisasi saat mengalami mutasi/rotasi dan promosi, dan seterusnya.
g. Konflik yang belum terpecahkan. Banyak pula konflik yang terjadi karena ada konflik di antara dua pihak yang sebelumnya tidak dapat diselesaikan. Tidak ada proses “saling memaafkan” dan “saling mengampuni”. 27
3. Jenis-Jenis Konflik Sosial
Konflik sebagai suatu gejala sosial akan di dapatkan dalam kehidupan bersama. Artinya konflik merupakan gejala yang bersifat universal. Tidak ada kehidupan bersama tanpa adanya konflik, baik pada skala besar maupun skala kecil. Konflik bisa terjadi antarindividu, antarkelompok, maupun antara indivu dengan kelompok.28
27
Alo Liliweri, PRASANGKA&KONFLIK: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009), h, 261-263.
28
(36)
25
Konflik sosial dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Berikut adalah macam-macam konflik sosial menurut Soerjomo Soekamto, yaitu: a. Konflik Individu
Konflik sosial ini melibatkan individu di dalamnya. Konflik ini bisa terjadi karena adanya perbedaan, pertentangan, ataupun ketidakcocokan antara individu satu dengan individu lain. Masing-masing individu bersikukuh mempertahankan tujuannya atau kepentingan masing-masing.
b. Konflik Antaretnis
Etnis atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sacral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnit tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antaretnis.
c. Konflik Antaragama
Keyakinan dalam agama adalah keyakinan yang bersifat mutlak, artinya tanpa pembanding. Berbeda dengan ilmpu pengetahuan, kebenarannta bersifat relative. Jika ditemukan teori baru dan menyangkal teori lama, maka teori lama akan diganti denga teori baru. Agama tidak demikian, kebenarannya bersifat mutlak, menerima ajaran agama tersebut dengan keyakinan bahwa apa yang diajarkan dalam agama adalah benar.
(37)
Konflik yang terjadi antarkelas sosial biasanya berupa konflik yang bersifat vertical, yaitu konflik antara kelas atas dan kelas sosial bawah. Konflik ini terjadi karena kepentingan yang berbeda antara dua golongan atau kelas sosial yang ada.
e. Konflik Antarras
Ras atau warna kulit merupakan ciri yang dibawa suatu masyarakat sejak lahir. Mereka hidup dalam suatu kkomunitas dan mengembangkan berbagai kesadaran kelompok dan solidaritas di antara mereka. Oleh karena itu, konflik yang terjadi karena perbedaan warna kulit dapat meluas karena adanya solidaritas di antara mereka yang memiliki warna kulit sama.
f. Konflik Antarnegara
Konflik antarnegara adalah konflik yang terjadi antara dua Negara atau lebih. Mereka memiliki perbedaan tujuan dan berupaya memaksakan kehendak negaranya kepada Negara lain. Perang dingin antara Blok Timur (Negara Uni Soviet) bersama sekutunya dengan negara Barat Amerika dan sekutunya merupukan konflik antarnegara sebelum pecahnya negara Uni Soviet.29
Berdasarkan macam-macam konflik sosial yang ada, konflik sosial yang sesuai dengan penelitian ini adalah konflik antaragama, antarnegara, antarras dan antaetnis. Dalam film diperlihatkan bagaimana Rebecca mendatangi penampungan di Kakuma Kenya, penampungan tersebut berisi
29
(38)
27
warga-warga mayoritas Sudan dan Kenya yang menjadi korban konflik. Pada negara Kenya, konflik yang terjadi berawal dari pemilu Presiden 2007 yang dimenangkan kandidat dari suku Kikiyu yang merupakan suku terbesar di Kenya, dan akhirnya menjadi konflik antaretnis antara suku luo dan suku kikiyu. Lalu di Sudan konflik antaretnis juga terjadi antara Sudan Selatan yang beragama nasrani dan ras kulit hitam sedangkan Sudan Utara yang beragama Islam merupakan ras Arab. Konflik terjadi akibat ketidakadilan dalam pemerintahan pusat, terhadap hak-hak warga di Sudan Selatan.
Sedangkan di Afganistan yang terjadi adalah konflik antaragama dan antarnegara dimana negara Uni Soviet mencoba untuk menguasai wilayah Afghanistan melalui pengaruh komunis yang akhirnya menyebabkan pemberontakan oleh kelompok Mujahidin dan berkembang menjadi perang sipil antara kelompok Mujahidin dan kelompok Taliban.
D. Kepedulian Sosial
1. Pengertian Kepedulian Sosial
Peduli adalah sebuah terminologi seberapa empati kita memikirkan kebutuhan orang lain dengan sumber daya yang kita miliki.30 Sedangkan pengertian kepedulian adalah deskripsi kasih sayang seseorang yang muncul akibat adanya rasa ketidaktegaan melihat keadaan atau ketimpangan yang ada. Ada dorongan dalam diri untuk membantu orang
30
Hendrik Lim, Bridging The Gap of Perfomance: Meniti Perjalana Penuh Makna untuk Terobosan Bisnis, Karier, dan Hidup, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009), h. 55.
(39)
lain yang sedang mengalami kesulitan. Kepedulian seseungguhnya merupakan ungkapan ketulusan atau pengorbanan tanpa pamrih.31
Jadi dapat diartikan bahwa kepeduliann sosial adalah sikap yang memperhatikan kehidupan bersama. Adapun sikap kepedulian yang dimaksud yaitu yang meliputi:
a. kepekaan terhadap keadaan orang lain
b. partisipasi dalam melakukan perubahan yang positif c. menolong tanpa pamrih
d. toleransi
e. empati terhadap penderitaan orang lain.32
2. Jenis-jenis Kepedulian Sosial
Kepedulian sosial dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Kepedulian yang berlangsung saat suka maupun duka.
Kepedulian sosial merupakan keterlibatan pihak yang satu kepada pihak yang lain dalam turut merasakan apa yang sedang dirasakan atau dialami oleh orang lain.
b. Kepedulian pribadi dan bersama.
Kepedulian bersifat pribadi dapat dilakukan sendiri atau bersama keluarga. Kesempatan untuk aksi semacam ini ada banyak disekitar kita. Ada kalanya kepedulian social dilakukan dalam bentuk
31
Sumartono, Komunikasi Kasih Sayang, cet. ke-1, ( Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004), h. 11.
32
Bambang Ruksmano, dkk. Pendidikan Budi Pekerti: Membangun Karakter dan Kepribadian Anak, cet. ke-1, (Jaarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), h. 42.
(40)
29
kepedulian bersama. Cara ini terutama penting apabila bantuan yang dibutuhkan cukup besar atau berlangsung secara berkelanjutan.
c. Kepedulian yang sering lebih mendesak.
Kepedulian akan kepentingan bersama merupakan hal yang sering mendesak untuk kita lakukan. Caranya dengan melakukan sesuatu atau justru menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu demi kepentingan bersama.33
3. Sumber Kepedulian Sosial
Sumber kepedulian sosial berasal dari dua sumber, yakni: a. Bersumber dari cinta
Kepedulian sosial muncul dari kepekaan hati untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah empati, yang dapat diartikan sebagai kesanggupan untuk memahami dan merasakan perasaan-perasaan orang lain seolah-olah itu perasaan diri sendiri.
b. Tidak karena macam-macam alasan
Ada beberapa alasan seseorang mengulurkan tangannya kepada orang lain. Ada alasan politik, demi meraih simpati orang, motif mendapatkan pengaruh, supaya dilihat dan dikagumi orang, dan sebagainya. Hal-hal itu bisa saja terjadi, dan tidak selalu buruk. Namun, Kepedulian sosial yang kita kembangkan adalah kepedulian
33
Antonius Atosokhi, Relasi Dengan Sesama, cet. ke-3, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 267-273.
(41)
yang timbul dari hati yang terbuka mau berbagi untuk sesamanya tanpa didorong atau disertai oleh alasan-alasan tadi.34
34
(42)
31
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM A THOUSAND TIMES GOOD NIGHT
A. Sinopsis
Cerita dalam film bermula saat Rebecca seorang fotografer konflik perempuan yang meliput bom bunuh diri di Kabul, Afghanistan dan akhirnya dia terhempas di saat bom tersebut meledak di tengah kota. Di sisi lainnya Rebecca adalah seorang ibu yang memiliki suami dan dua orang putri. Untuk mengerti kondisi ibunya dan istrinya akan pekerjaannya memang sangat sulit di keluarga tersebut. Ketika Rebecca pulang ke rumah, dia memutuskan berhenti dari pekerjaannya karena anak dan suaminya khawatir akan keselamatannya dan terus bersikap marah akibat dirinya yang membahayakan nyawanya setiap kali ia melakukan pekerjaannya.1
Sampai di suatu saat putri pertama Rebecca yang bernama Steph sangat tertarik dengan kehidupan di Afrika, lalu Rebecca mengajak anaknya ke kantor berita agar anaknya bisa mendapatkan informasi lebih mengenai Afrika. Dan di kantor tersebut Rebbeca mendapatkan penawaran untuk menjadi fotografer pengungsi di Kenya, tetapi penawaran itu ditolak oleh Rebecca. Steph sangat ingin untuk pergi ke Afrika untuk mendapatkan infromasi yang lebih lagi tentang Afrika. Melalui pergulatan batin yang panjang, akhirnya Rebecca diijinkan oleh suaminya Marcus untuk meliput di
1
Ridho Bustomi, “A Thousand Times Goodnight”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari https://ridhobustami.wordpress.com/2014/04/15/a-thousand-times-good-night/
(43)
Afrika. Sesampainya di tempat pengungsian terjadi insiden penyerangan yang menyebabkan konfilk pada alur cerita selanjutnya.2
Di saat mereka kembali dan suami mengetahui kejadian yang terjadi di Afrika, sang suami pun marah dan sampai akhirnya mengusir istrinya dan peralatan fotografi milik sang istri tersebut. Sampai suatu saat kantor berita tempat sebelumnya Rebbeca bekerja, meminta beberapa foto lagi agar foto series mengenai bom bunuh diri dapat diterbitkam. Berbagai pertimbangan yang dipikirkan oleh Rebecca, akhirnya ia mengambil pekerjaan tersebut.3
B. Profil Film
1. Tema
Tema adalah ide pokok yang menjadi dasar atau pokok utama dari drama. Tema dari film A thousand Times Goodnight yaitu kehidupan seorang wanita dan keluarganya. Mengisahkan bagaimana wanita tersebut menghadapi pilihan anatar keluarganya atau pekerjaannya sebagai fotografer konflik yang mempertaruhkan hidupnya sendiri.4
2
Ridho Bustomi, “A Thousand Times Goodnight”.
3
Ridho Bustomi, “A Thousand Times Goodnight”.
4
(44)
33
2. Tokoh
Tabel 3.1 Tokoh Film A Thousand Times Good Night
Juliette Binoche,sebagai Rebecca Nikolaj Coster-Walda sebagai Marcus
Lauryn Canny sebagai Steph Adrianna Cramer Curtis sebagai Lisa
Maria Doyle Kennedy sebagai Theresa
(45)
Larry Muller Jr sebagai Tom Mads Ousdal sebagai Stig5
3. Penokohan
a. Rebecca sebagai tokoh utama seorang fotografer konflik dan ibu dari dua orang putri memiliki karakter yang keras, berjiwa sosial tinggi, dan pemberani.
b. Marcus sebagai suami dari Rebecca memiliki karakter yang bertanggung jawab dan tegas.
c. Steph berperan sebagai puteri pertama dari Rebecca dan Marcus. Ia memiliki karakter yang baik hati, peduli dan pintar.
d. Lisa berperan sebagai puteri kedua Rebecca dan Marcus. Seorang anak yang lugu, periang, dan penyayang hewan.
e. Theresa sebagai seorang sahabat dari Rebecca memiliki karakter yang baik, selalu ada disaat temannya kesulitan dan perhatian.
f. Tom berperan sebagai sahabat Rebecca, ia sosok sahabat yang baik, peduli terhadap Rebecca dan keluarganya.
5
“1,000 Times Goodnight Full Cast&Crew”, artikel diakses pada 20 Juni 2016 dari http://www.imdb.com/title/tt2353767/fullcredits?ref_=tt_cl_sm#cast
(46)
35
g. Jesicca sebagai teman satu kantor Rebecca, ia seorang yang mementingkan pekerjaan dan pekerja keras.
h. Stig sebagai teman satu kantor Rebecca, ia memiliki karakter penolong, peduli terhadap orang lain, dan bertanggung jawab.6
4. Setting atau Latar a. Tempat
Film diambil di negara Irlandia, Afghanistan, dan Kenya. Hal ini dapat dilihat saat di Afghanistan menunjukkan latar sebuah padang pasir luas dan di dalam sebuah rumah saat melakukan prosesi bom bunuh diri. Selain kedua tempat tersebut, saat bom diri dilakukan di sebuah pasar yang dikelilingi bangunan-bangunan.
Saat di Kenya, latar tempat yang diambil diantanya yang pertama di tempat pengungsian yang terdiri dari beberapa tenda yang diberi pembatas disekililingnya, di jalan, di sebuah desa dan selain itu juga tenda-tenda yang diperuntukan para relawan disana.
Sedangkan di negara Irlandia latar tempat yang diambil yaitu, rumah sakit, rumah Rebecca, kantor media, pantai, rumah Theresa, gedung sekolah, dan bandara.7
b. Waktu
Waktu yang diambil pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari. Hal ini dapat terlihat saat Rebecca menyiapkan sarapan untuk
6
Berdasarkan pengamatan dalam film A Thousand Times Goodnight pada 21 Juni 2016.
7
(47)
anak-anaknya yang akan berangkat sekolah. Waktu siang hari dapat dilihat saat Rebecca meliput prosesi bom bunuh diri, dimana saat itu terlihat matahari begitu teriknya. Latar waktu sore dapat dilihat saat sedang berada di pantai. Sedangkan, malam hari dapat dilihat saat Rebecca meninggalkan rumah dan mendatangi rumah Theresa.8
5. Plot atau Alur
Plot atau Alur disebut juga sebagai jalan cerita yang disusun sedemikian rupa dari tahapan-tahaapan peristiwa sehingga membentuk rangkaian cerita. Alur dalam film ini adalah maju (prograsif), set cerita berjalan maju, mulai dari masa kini ke masa yang akan datang.9
C. Tim Produksi
Berikut adalah orang-orang dibalik pembuatan film A Thousand Times Goodnight, diantaranya:
Tabel 3.2 Tim Produksi Film A Thousand Times Good Night
Sutradara
Penulis Skenario
Produser
Eric Poppe Eric Poppe
Harald Rosenløw-Eeg Finn Gjerdrum
Stein B. Kvae
8
Berdasarkan pengamatan dalam film A Thousand Times Goodnight pada 21 Juni 2016.
9
(48)
37
Penata music Sinematografer Editor
Produksi Distribusi
Armand Amar
John Christian Rosenlund Sofia Lindgren
Paradoks Produksi
Nordisk Film Distribution10
D. Profil Sutradara
Erik Poppe lahir pada 24 Juni 1960 di Orlo, Norwegia. Ia adalah seorang sutradara film Norwegia, penulis skenario, mantan sinematografer dan jurnalis foto. Poppe memulai karirnya sebagai fotografer untuk koran Verdens Gang dan Reuters, meliput berita domestik maupun konflik internasional di seluruh dunia. Ia pernah mendapatkan penghargaan dari Norwegian Perss Association dan World Press Photo. Ia lulus sebagai sinematografer di Dramatiska Institute di Stockholm, Swedia pada tahun 1991 dan telah melakukan beberapa program penelitian artistik dan sutradara antara 2001 dan 2010.
10
(49)
Film pertamanya sebagai sutradara adalah Schpaaa pada tahun 1998, diikuti oleh Hawaii, Oslo pada tahun 2004. Film deUSYNLIGE (Troubled Water) adalah film ketiga dan film terakhirnya A Thousand Times Goodnight
pada tahun 2013. Film-filmnya telah berpartisipasi dalam festival utama, dan penghargaan yang diterima diantaranya, Berlinale Panorama, The Vesuvio Prize di Napoli International Film Festival, Norwegian Entry untuk Best Foreign Languange Film, Festroia di Portugal untuk Best Directing, Silver Dolphin di Festroia, Nordic Ministerie Councils Award untuk The Best Nordic Feature, Ecumenical Award dan beberapa hadiah lainnya.11
Poppe mungkin satu-satunya sutradara di Norwegia yang telah menunjukkan kemampuannya menarik perhatian kritikus serta penonton, mendapatkan pengakuan yang tinggi dalam perilisan film-filmnya di dalam negeri. Oslo Trilogy serta A Thousand Times Good Malam telah terjual lebih dari lima puluh wilayah di seluruh dunia. Poppe juga direktur utama untuk "Brigaden" (The Brigade) pada tahun 2002. Poppe salah satu sutradara Skandinavia paling berpengalaman dan menarik. Dia membuat keahliannya menjadi baik dalam cerita yang dibangunnya dengan kuat, penulisan yang tajam, kerja kamera yang mengesankan dan bakat luar biasa untuk irama dan musik dalam pengeditan.12
11
“Eric Poppe Biography”, artikel diakses pada 1 Juni 2016 dari http://www.imdb.com/name/nm0691547/bio?ref_=nm_ov_bio_sm
12
“Eric Poppe Biography”, artikel diakses pada 20 Juli 2016 dari http://www.imdb.com/name/nm0691547/bio
(50)
39
BAB IV
TELAAH SEMIOTIKA TENTANG KEPEDULIAN TERHADAP KONFLIK SOSIAL DALAM FILM A THOUSAND TIMES GOOD NIGHT
Film A Thousand Times Good Night merupakan film yang bergenre drama. Film tersebut menceritakan tentang seorang wanita yang berprofesi sebagai fotografer konflik dan harus dihadapkan pada pilhan antara keluarga atau karirnya yang membahayakan dirinya sendiri. Film ini diangkat dari pengalaman pribadi sutradara dan penulis naskah yaitu Eric Poppe, Ia mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa:
“I took my own story, straight from my life, and made it as the film’s story, It was very personal, the whole film is telling a story that’s almost autobiographical. It’s almost from my diary…”.1
Artinya: “Saya mengambil cerita pribadi saya, langsung dari hidup saya, dan membuatnya menjadi cerita film, hal itu sangat pribadi, keseluruhan film memberitahukan cerita yang hampir autobiografi. Cerita tersebut dari buku harian saya…”
Karena film tersebut merupakan kisahnya sendiri, bahkan Poppe menunjukkan filmnya kepada anak dan istrinya sebelum dirilis. Ia merasa perlu menanyakan pendapat anak dan istrinya bagian-bagian mana saja yag perlu ditampilkan ataupun tidak.
Selain film ini merupakan autobiografi, hal lain yang menarik dalam film ini adalah bahwa pemeran utamanya seorang wanita yang bernama Rebecca. Eric Poppe juga menjelaskan mengapa ia memilih peran wanita dalam film yang
1
Stefan Pape, “The HeyUGuys Interview: “It’s almost from my diary” – Erik Poppe on A Thousand Times Good Night”, artikel diakses pada 1 Agustus 2016 dari http://www.heyuguys.com/interview-erik-poppe-a-thousand-times-good-night/
(51)
mengangkat kisahnya tersebut. Menurut Poppe, ia merubah dirinya menjadi seorang wanita untuk menegaskan dan membuat topik cerita lebih penting dan mudah bagi penonton memahaminya. Penonton akan sulit melihat dan menerimanya hanya karena ia adalah seorang ibu yang memiliki pekerjaan berat dan memiliki dua orang anak yang masih kecil.2
Poppe mengatakan:
“The female perspective in our story is all about how a woman photographer in particular is better able to portray the totality of war. She is in the same place men are, and is covering the same situations, but in the Muslim world she also had access to areas from which male journalists are excluded."3
Artinya: “Perspektif perempuan dalam cerita kita semua tentang bagaimana fotografer perempuan secara khusus lebih mampu menggambarkan keseluruhan perang. Dia berada di tempat yang sama dengan laki-laki, dan meliput keadaan yang sama, tetapi dalam dunia Muslim perempuan memiliki akses ke daerah-daerah dimana laki-laki tidak diperbolehkan.”
Jadi menurutnya jurnalis wanita memiliki akses lebih dalam peliputan di daerah perang terutama dalam dunia Muslim dimana jurnalis laki-laki tidak diperkenankan untuk meliput.
Adapun penelitian dari penelitian ini ditemukan lima scene yang menunjukkan kepedulian terhadap konflik sosial yang diantaranya:
a. Memberitahu adanya ancaman bom b. Menolong para korban bom bunuh diri c. Mengenang para korban konflik
d. Perjuangan menerbitkan berita konflik di media e. Memberikan bantuan keamanan di Kenya
2
Pape, “The HeyUGuys Interview: “It’s almost from my diary” – Erik Poppe on A Thousand Times Good Night”.
3
Risky, “Menjadi Fotografer Konflik”, artkel diakses pada 1 Agustus 2016 dari http://www.terlalurisky.com/2015/01/ketika-fotografer-konflik-menghadapi.html
(52)
41
Dari kelima scene yang ditemukan tersebut akan di analisis berdasarkan model analisis semiotikan Roland Barthes yang ditinjau dari denotasi, konotasi dan mitos.
A. Memberitahu Adanya Ancaman Bom
Pada scene pertama menceritakan Rebecca yang pergi ke Afganistan untuk mendokumentasikan prosesi bom bunuh diri yang dilakukan seorang wanita warga setempat. Rebecca mengikuti prosesi tersebut sampai bom diledakkan. Bom diledakan di daerah Kabul, Afganistan, hingga pada akhirnya Rebecca pun menjadi korban ledakan bom bunuh diri tersebut dan harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit.4
Tabel 4.1 Scene 1 (00.10.49-00.11.27)
Visual Dialog Type of Shot
Medium Shot (MS), memperlihatkan tampilan seseorang dari batas pinggang keatas.
4
(53)
Rebecca: Bom! Bom! Bom!
Rebecca: Menyingkir!
Big Close Up
(ECU),pengambilan gambar dari atas hingga dagu objek. Menonjolkan objek untuk menimbulkan ekspresi tertentu.
Long shot (LS),
pengambilan
gambar yang
menunjukkan objek
dengan latar
belakangnya.
Sumber gambar dan dialog berdasarkan film A Thousand Times Goodnight
1. Denotasi
Gambar pertama menampilkan Rebecca yang mengenakan hijab dan pakaian berwarna hitam berjalan cepat sambil menoleh ke arah belakang. Gambar kedua terlihat wajah Rebecca yang mengenakan hijab berwarna hitam yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya sambil merentangkan tangannya mencoba memperingatkan warga dan berteriak “bom..bom..bom..”. Gambar keempat menampilkan kepala Rebecca yang mengenakan hijab dari belakang dan tangannya digerak-gerakkan sambil mengatakan “menyingkir”.5
5
Berdasarkan hasil pengamatan dalam film “A Thousand Times Goodnight” pada 1 Agustus 2016.
(54)
43
2. Konotasi
Dalam scene ini diambil saat sedang di Afganistan, dimana Rebecca sedang mengikuti prosesi bom bunuh diri yang dilakukan warga setempat. Dalam scene melihatkan Rebecca yang mengenakan pakaian tertutup, jilbab berwarna hitam dan cadar. Padahal Rebecca merupakan seorang non-Muslim, namun ia mengenakan hijab yang merupakan pakaian wajib perempuan Muslim. Konotasi yang ditemukan dalam scene ini adalah bahwa tidak semua yang menggunakan pakaian tertutup, hijab dan cadar merupakan seorang perempuan Muslim.
3. Mitos
Mitos bermula dari konotasi yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang didapat dari mitos tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat.6
Semenjak kemunculan Taliban pada tahun 1994 dan pada akhir 1990-an Talib1990-an mampu menguasai ibu kota bahk1990-an nyaris menguasai seluruh Afghanistan. Para pemimpim Taliban mulai mendirikan sebuah rezim yang tak kenal kompromi. Menurut Riduan Sayyed, mereka yang berjuang di Afghanistan adalah anak-anak muda yang mempunyai gairah keagamaan. Mereka membawa paham keagamaan yang keras, kaku, dan
6
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 59.
(55)
rigid.7 Mereka berupaya memaksakan sebuah cara hidup yang murni berdasarkan penafsiran fundamentalis mereka terhadap Islam. Pemerintah Taliban menerapkan syariat Islam secara khas dan amat ketat. Taliban melarang siaran televisi, menonton di bioskop, dan mendengarkan musik karena dianggap melalaikan orang dalam beribadah. Orang-orang yang ditemukan tidak shalat pada waktunya akan dipenjara.8
Hukum yang ditegakkan oleh Taliban terutama berakibat terhadap kaum perempuan yang diperintahkan untuk menutupi diri dari kepala hingga kaki dengan burka. Mereka akan dipukuli di depan umum jika mereka tidak berpakaian selayaknya.9 Karena hal itu pula Rebecca yang merupakan non-Muslim harus mengenakan hijab saat berada di Afghanistan.10
Dalam Islam perintah menutup aurat djelaskan dalam ayat berikut yang berbunyi:
ﻞُﻗَو
َﺮَﮭَﻇ ﺎَﻣ ﺎﱠﻟِإ ﱠﻦُﮭَﺘَﻨﯾِز َﻦﯾِﺪۡﺒُﯾ ﺎَﻟَو ﱠﻦُﮭَﺟوُﺮُﻓ َﻦۡﻈَﻔۡﺤَﯾَو ﱠﻦِھِﺮَٰﺼۡﺑَأ ۡﻦِﻣ َﻦۡﻀُﻀۡﻐَﯾ ِﺖَٰﻨِﻣۡﺆُﻤۡﻠﱢﻟ
ِﺋٓﺎَﺑاَء ۡوَأ ﱠﻦِﮭِﺘَﻟﻮُﻌُﺒِﻟ ﺎﱠﻟِإ ﱠﻦُﮭَﺘَﻨﯾِز َﻦﯾِﺪۡﺒُﯾ ﺎَﻟَو ۖﱠﻦِﮭِﺑﻮُﯿُﺟ ٰﻰَﻠَﻋ ﱠﻦِھِﺮُﻤُﺨِﺑ َﻦۡﺑِﺮۡﻀَﯿۡﻟَو ۖﺎَﮭۡﻨِﻣ
ِﮭ
ﱠﻦ
ۡوَأ
َأ ﱠﻦِﮭِﻧَٰﻮۡﺧِإ ٓﻲِﻨَﺑ ۡوَأ ﱠﻦِﮭِﻧَٰﻮۡﺧِإ ۡوَأ ﱠﻦِﮭِﺘَﻟﻮُﻌُﺑ ِءٓﺎَﻨۡﺑَأ ۡوَأ ﱠﻦِﮭِﺋٓﺎَﻨۡﺑَأ ۡوَأ ﱠﻦِﮭِﺘَﻟﻮُﻌُﺑ ِءٓﺎَﺑاَء
ﱠﻦِﮭِﺗَٰﻮَﺧَأ ٓﻲِﻨَﺑ ۡو
ِوَأ ﱠﻦُﮭُﻨَٰﻤۡﯾَأ ۡﺖَﻜَﻠَﻣ ﺎَﻣ ۡوَأ ﱠﻦِﮭِﺋٓﺎَﺴِﻧ ۡوَأ
َﻦﯿِﻌِﺒٰﱠﺘﻟٱ
ﻲِﻟْوُأ ِﺮۡﯿَﻏ
َﺑۡرِﺈۡﻟٱ
ِﺔ
َﻦِﻣ
ِلﺎَﺟﱢﺮﻟٱ
ِوَأ
ِﻞۡﻔﱢﻄﻟٱ
َﻦﯾِﺬﱠﻟٱ
ِتَٰرۡﻮَﻋ ٰﻰَﻠَﻋ ْاوُﺮَﮭۡﻈَﯾ ۡﻢَﻟ
ِۖءٓﺎَﺴﱢﻨﻟٱ
ْآﻮُﺑﻮُﺗَو ۚﱠﻦِﮭِﺘَﻨﯾِز ﻦِﻣ َﻦﯿِﻔۡﺨُﯾ ﺎَﻣ َﻢَﻠۡﻌُﯿِﻟ ﱠﻦِﮭِﻠُﺟۡرَﺄِﺑ َﻦۡﺑِﺮۡﻀَﯾ ﺎَﻟَو
ﻰَﻟِإ
ِﮫﱠﻠﻟٱ
َﮫﱡﯾَأ ﺎًﻌﯿِﻤَﺟ
َنﻮُﻨِﻣۡﺆُﻤۡﻟٱ
َنﻮُﺤِﻠۡﻔُﺗ ۡﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ
٣١
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
7
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, Oase Perdamaian, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 96.
8
Anton Kurnia, Dari Penjara Taliban Menuju Iman, cet. ke-3, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 35.
9
Kurnia, Dari Penjara Taliban Menuju Iman, h. 36. 10
Berdasarkan hasil pengamatan dalam film “A Thousand Times Goodnight” pada 1 Agustus 2016.
(56)
45
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Hal yang cukup krusial ialah batas-batas aurat dan bagian tubuh perempuan yang boleh tampak. Menurut Al-Qurthubiy, dengan berdasarkan pada kebiasaan adat dan ibadah dalam Islam, bahwa wajah dan telapak tangan wanita yang pada umumnya selalu tampak, mendapat pengecualian dalam Q.S. an-Nur [24]: 31 itu.11
Bagi umat agama lain, tidak ada keharusan untuk mengikuti ketentuan busana Muslimah, kecuali atas kemauan sendiri. Khalifah Umar bin Khatab pernah menyampaikan kepada pemerintah daerah, agar tidak memaksa umat agama lain memakai pakaian Muslim.12
Bahkan pada era Daulah Umayah dan Daulah Abasiyah, meskipun terkesan diskriminatif, wanita umat agama lain dilarang keras memakai pakaian yang sama dengan wanita Muslimah. Perempuan umat agama lain dibebaskan memakai pakaiannya sendiri meskipun memperlihatkan aurat, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum.13
11
Hamka Haq, Islam Rahmah Untuk Bangsa, cet. Ke-2, (Jakarta: Baitul Muslimin Indonesia Press, 2015), h. 198.
12
Hamka Haq, Islam Rahmah Untuk Bangsa, h. 199. 13
(57)
B. Menolong Para Korban Bom Bunuh Diri
Pada scene kedua menceritakan setelah terjadinya ledakan bom bunuh diri. Rebecca yang mencoba menjauh dari tempat kejadian namun pada akhirnya terkena ledakan juga dan harus dirawat di rumah sakit. Pada scene ini melihatkan gambaran pasca terjadinya ledakan bom bunuh diri, dimana orang-orang yang selamat dari ledakan bom bergegas membantu para korban.14
Tabel 4.2 Scene 2 (00.13.11-00.13.44)
Visual Dialog Type of Shot
Medium Shot (MS), memperlihatkan tampilan seseorang dari batas pinggang keatas.
Close Up (CU), pengambilan
gambar dari tepat atas kepala sampai bawah leher.
14
(58)
47
Full Shot (FS), pengambilan
gambar penuh dari atas kepala hingga kaki.
Memperlihatkan
objek secara
keseluruhan.
Sumber gambar berdasarkan film A Thousand Times Goodnight
1. Denotasi
Gambar pertama melihatkan seorang wanita memakai pakaian serba biru dengan hijab dan cadar sedang menggendong anak kecil yang terlihat menangis, lalu ada seorang pria yang terlihat dari belakang sedang membawa anak yang lainnya yang terluka. Gambar kedua menampilkan dua wanita berpakaian Muslim biru yang sedang menolong anak perempuan dengan hijab berwarna kuning dengan muka yang terlihat terluka . Gambar ketiga melihatkan seorang pria yang terlentang sambil memegang perutnya dan dua pria lainnya mencoba menolong dengan memeganginya dari belakang, pria tersebut menggunakan sorban di lehernya, peci dikepalanya dan baju koko.15
15
Berdasarkan hasil pengamatan dalam film “A Thousand Times Goodnight” pada 1 Agustus 2016.
(59)
2. Konotasi
Pada scene ini diambil setelah terjadinya ledakan bom bunuh diri di Kabul, Afghanistan. Hijab, cadar, baju panjang diidentikan sebagai pakaian Muslimah, sedangkan peci, sorban dan baju koko diidentikkan sebagai pakaian Muslim. Walaupun pelaku bom bunuh diri merupakan seorang Muslim, namun terdapat juga Muslim-Muslim lainnya yang bersikap peduli terhadap sesamanya. Hal ini terlihat jelas saat warga Muslim yang selamat dari ledakan bom bunuh diri mencoba menolong warga yang menjadi korban bom bunuh diri.16
3. Mitos
Sebelum terjadinya perang pada era 60-an, warga Afganistan hidup dengan harmonis, namun semua berubah saat terjadinya konflik. Pada 8 Juli 2008, sebuah ledakan bom bunuh diri yang dahsyat di Kabul menelan korban jiwa hampir 200 orang. Dalam ledakan bom tersebut seorang anak berusia dua tahun harus kehilangan ibunya dan sebuah keluarga yang kehilangan lima anggotanya.17 Akibatnya banyak orang-orang kehilangan anggota keluarganya dan harapan mereka adalah mendapatkan pertolongan atas konflik yang terus terjadi dan menewaskan banyak orang tersebut.
16
Berdasarkan hasil pengamatan dalam film “A Thousand Times Goodnight” pada 1 Agustus 2016.
17
Malalai Joya, A Woman Among Warlord, Rika Iffati Farihah, A Woman Among Warlord, cet. ke-1, (Jakarta: Penerbit Qanita, 2011) h.369.
(1)
68
bunuh diri juga tidak dijelaskan siapa yang melakukan bom bunuh diri tersebut dan dengan alasan apa, sehingga menimbulkan kesan bahwa Islam mengajarkan kekerasan dengan melakukan bom bunuh diri di tengah kota, dimana banyak masyarakat muslim juga yang berada disana. Selebihnya film ini sangat bagus karena memberikan insprasi dan mengajarkan kebaikan untuk tidak melupakan saudara kita yang menjadi korban konflik di negaranya.
(2)
69
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
Departemen Agama RI. Hubungan Antar Umat Beragama (Tafsir Al-Qu’an Tematik). Cet. ke-1, Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.
Effendi, Djohan. Merayakan Kebebasan Beragama. Cet. ke-1. Jakarata: Indonesian Conference on Religion and Peace, 2009.
Faisol. Pendidikan Islam Perspektif. Jakarta: Ar-ruzz M edia, 2013.
Hadzami, M. Syafi’I. Tauhid Adilah. Jakarta: PT. Alwx Media Komputindo, 2010.
Hammudah, Abdalati. Islam Suatu Kepastian. Jakarta: Media Dakwah, 2008. Haq, Hamka. Islam Rahmah Untuk Bangsa. cet. Ke-2. Jakarta: Baitul Muslimin
Indonesia Press, 2015.
Hidayat, Dedy N., Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003. Hoed, Benny. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu,
2011.
Ismail, Asep Usman. Al-qur’an dan Kesejahteraan Sosial. Cet. ke-1. Tanggerang: Lentera Hati, 2012.
Jam’annuri. Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000.
Jazuli, Ahzami Samiun, Al Hayaatu fil-Qu’an al-Karim. Sari Narulita,dkk.
Kehidupan Dalam Pandangan Al-Qur’an. Cet. ke-1. Depok: Gema Insani, 2006.
Joya, Malalai. A Woman Among Warlord. Rika Iffati Farihah. A Woman Among Warlord. Cet. ke-1. Jakarta: Penerbit Qanita, 2011.
Khadhar, Lathifah Ibrahim. Al-Islam fil Fikrul Gharbi. Abdul Hayyie Al Kattani.
(3)
70
Kurnia, Anton Dari Penjara Taliban Menuju Iman. Cet. ke-3. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007.
Kriyanto, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana,2007. Liliweri, Alo. PRASANGKA&KONFLIK: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultural. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009.
Lim, Hendrik. Bridging The Gap of Perfomance: Meniti Perjalana Penuh Makna untuk Terobosan Bisnis, Karier, dan Hidup. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009.
Lopa , Baharudding. Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Cet. ke-1. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.
Misrawi, Zuhairi. Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, Oase Perdamaian. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Musyarofah, Umi. Hadits Dakwah dan Komunikasi. Cet. ke-2. Pondok Gede: TASNIM, 2010.
Nasuhi, Hamid. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Cet. ke-1. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Center for Quality Development an Assurance, 2007.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: Universitas, 1985. Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode , Gaya dan Matinya
Makna. Bandung: Matahari, 2010.
Romli, Asep Syamsul M. Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam. Cet.ke-1. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Ruksmano, Bambang. dkk. Pendidikan Budi Pekerti: Membangun Karakter dan Kepribadian Anak. Cet. ke-1. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.
Saleh, AKH. Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati Nurani: Pendidikan Karakter untuk Generasi Bangsa. Cet. ke-1. Jakarta: Erlangga, 2012.
Saleh, Muhammad Syukuri. dkk. Islamisasi Pembangunan. Medan: UMSU PRESS, 2014.
(4)
Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis
Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Cet. ke-2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009.
Soeroso, Andrean. Sosiologi 2. Cet. ke-1. Perpustakaan Nasional: Qusadra, 2008. Sumartono. Komunikasi Kasih Sayang. Cet. ke-1. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2004.
Waluya, Bagia. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. PT Setia Purna Bandung: Inves, 2007.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013.
Qardhawi, Yusuf. Fiqih Jihad: SebuahKarya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010.
Situs Internet
“1,000 Times Good Night.” Artikel diakses pada 28 Mei 2016 dari http://www.imdb.com/title/tt2353767/
“1,000 Times Goodnight Full Cast&Crew.” Artikel diakses pada 20 Juni 2016 dari http://www.imdb.com/title/tt2353767/fullcredits?ref_=tt_cl_sm#cast “A Thousand Times Goodnight.” Artikel diakses pada 28 Mei 2016 dari
http://www.thisisirishfilm.ie/trailers/a-thousand-times-goodnight
“Eric Poppe Biography.” Artikel diakses pada 1 Juni 2016 dari http://www.imdb.com/name/nm0691547/bio?ref_=nm_ov_bio_sm
“Eric Poppe Biography.” Artikel diakses pada 20 Juli 2016 dari http://www.imdb.com/name/nm0691547/bio
Makna Warna dari Beberapa Negara di Dunia.” Artikel diakses pada 1 Agustus 2016 dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/01/makna-warna-dari-beberapa-negara-di-dunia
(5)
72
Ridho Bustomi, “A Thousand Times Goodnight.” Artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari https://ridhobustami.wordpress.com/2014/04/15/a-thousand-times-good-night/
Risky, “Menjadi Fotografer Konflik.” Adiakses pada 1 Agustus 2016 dari
http://www.terlalurisky.com/2015/01/ketika-fotografer-konflik-menghadapi.html
“PBB Perluas Tenda Pengungsi di Kenya.” Artikel diakses pada 11 Agustus 2016 dari
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/06/22/nqb263-pbb-perluas-tenda-pengungsi-di-kenya
“Shoaib Assadullah Diancam Dibunuh Karena Murtad.” Artikel diakses pada 9 Agustus 2016 dari http://reformata.com/news/view/5590/shoaib-assadullah-diancam-dibunuh-karena-murtad
“Sisi Pandang: Universal Declaration of Human Rights.” Artikel diakses pada 20 Juli 2016 dari https://thepeacenow.wordpress.com/2012/03/28/sisi-pandang-universal-declaration-of-human-rights-3/
Stefan Pape, “The HeyUGuys Interview: “It’s almost from my diary” – Erik Poppe on A Thousand Times Good Night.” Artikel diakses pada 1 Agustus 2016 dari http://www.heyuguys.com/interview-erik-poppe-a-thousand-times-good-night/
(6)