menampung zeolit partikel kasar yang lebih cepat berhubungan dengan bahan- bahan makanan atau jumlah Al yang lebih sedikit terdapat dalam kerangka.
Sedangkan aktivasi pemanasan zeolit baik aktivitas pabrik maupun aktivasi ulang tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi menghasilkan koefisien cerna
yang serupa masing-masing sebesar 85,9 terhadap kecernaan bahan organik. Keadaan ini menunjukkan bahwa aktivasi ulang zeolit tidak mempengaruhi sifat-
sifat zeolit terutama dalam pertukan ion maupun penyerapan. Hal ini mungkin aktivasi ulang yang dilakukan dalam percobaan ini tidak mendukung
terbentuknya ronggo-rongga yang mikro-porous yang diharapkan sangat aktif dalam proses penyerapan maupun pertukaran ion.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kecernaan bahan organik lebih tinggi pada pemberian zeolit taraf 4,5 partikel kasar baik aktivasi pabrik
maupun diaktivasi ulang, sedangkan kecernaan bahan organik lebih rendah pada pemberian zeolit taraf 9,0 berpartikel halus baik yang diaktivasi ulang
maupun diaktivasi pabrik dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.
4.3. Kecernaan protein
Pada tabel 4 disarikan rataan kecernaan protein ransum selama 10 minggu. Jika dilihat data koefisien cerna protein dalam penelitian ini ternyata kecernaan
protein secara menyeluruh meningkat dari 82,4 menjadi 85,7 untuk taraf
pemberian 4,5 zeolit dan meningkat dari 82,4 menjadi 84,8 untuk taraf pemberian 9,0 zeolit dibandingkan pemberian ransum kontrol.
Tabel 4. Koefisien cerna protein kasar
Z e o l i t 4,5
9,0 Halus
Kasar Halus
Kasar Ula-
ngan kontrol
AP AU
AP AU
AP AU
AP AU
1 85,13
88,44 86,26 82,82 88,06 83,60 85,44 85,47 81,71
2 84,73
84,15 85,73 84,73 87,42 85,93 83,97 90,49 85,49
3 84,25
85,68 84,05 84,25 87,31 82,00 83,63 85,73 84,06
Rata rata
82,43 86,09 85,35 83,93 87,60
83,84 84,35 87,23 83,75
koefisien keragaman = 3,66
Keadaan ini menunjukkan bahwa pemberian zeolit dalam ransum meningkatkan efisiensi konversi nitrogen bahan makanan menjadi protein hewani Nestorov,
1984. Hal ini disebabkan kehadiran zeolit dalam ransum dapat melakukan manipulasi kecernaan protein sehingga kadar NH
3
di saluran pencernaan berada pada batas yang normal sehingga memacu laju pertumbuhan dan meningkatkan
efisiensi pengggunaan makanan Tsitsishvili et al, 1984.
Analisis statistik menunjukkan bahwa pemperian zeolit dalam ransum baik taraf 4,5 dan 9,0 tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan protein, tetapi
kecernaan protein cenderung lebih tinggi dengan taraf pemberian 4,5 85,7 Vs 84,8. Hasil percobaan ini sejalan dengan penelitian Tsitsishvili et al 1984
yang menunjukkan bahwa kecernaan protein tidak nyata dipengaruhi oleh taraf pemberian 5,0 dan 8,0 klinoptilolit dalam ransum babi , tetapi kecernaan
protein cenderung lebih tinggi pada taraf pemberian 8,0; akan tetapi, penelitian
Aritonang dan Silalahi 1990 kecernaan protein berbeda nyata lebih rendah bila pemberian zeolit dilakukan pada taraf 6,0 dibandingkan taraf pemberian 1,5,
3,0 dan 4,5. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi percobaan.
Analisa statistik menunjukkan bahwa ukuran partikel zeolit baik partikel l kasar maupun partikel halus tidak nyta berpengaruh terhadap kecernaan protein, tetapi
kecernaan protein lebih tinggi pada pemberian zeolit partikel kasar 86,6 vs 84,9. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan nyata konsumsi protein
yang lebih rendah pada pemberian zeolit partikel kasar. Disamping itu, secara teoritis bahwa NH
4 +
harus berkompetisi dengan kation lain Na
+
dan Ca
++
yang ada di dalam larutan untuk dapat terikat pada sturktur zeolit Breck, 1974.
Secara statistik kecernaan protein tidak nyata berbeda baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ualang karena masing-masing sebesar 85,3. Hal ini
mungkin karena kadar NH
3
disaluran pencernaan masih berada pada batas yang normal. Keadaan ini didukung juga tidak nyata perbedaan konsumsi protein
diantara perlakuan sehingga di perkirakan tidak berlangsung deaminasi protein di saluran pencernaan.
Dari hasil penelitian ini diungkapkan bahwa pemberian zeolit taraf 4,5 partikel kasar baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang kecernaan protein
lebih tinggi, sedangkan pemberian zeolit taraf 9,0, partikel halus baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang mengakibatkan kecernaan protein
lebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.
4.4. Kecernaan lemak