Resin poliester tak jenuh untuk imobilisasi resin bekas pengolah simulasi limbah radiatoraktif cairo

(1)

RESIN POLIESTER TAK JENUH UNTUK IMOBILISASI

RESIN BEKAS PENGOLAH SIMULASI LIMBAH

RADIOAKTIF CAIR

Skripsi

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu

AJENG SARTIKA KUSNADI 103096029792

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ABSTRAK

AJENG SARTIKA KUSNADI, Resin Poliester Tak Jenuh Untuk Imobilisasi Resin Bekas Pengolahan Simulasi Limbah Radioaktif Cair. Di bawah bimbingan Ir. Herlan Martono M.Si dan Dr. Thamzil Las.

Telah dilakukan penelitian tentang imobilisasi resin bekas pengolah limbah trans-uranium dengan resin poliester tak jenuh untuk mengetahui kualitas blok polimer-limbah sebagai fungsi kandungan limbah. Polimerisasi dilakukan dengan mencampurkan resin poliester tak jenuh dengan katalis dengan perbandingan katalis 1% dari jumlah resin poliester tak jenuh yang digunakan, kemudian ditambahkan limbah cair transuranium simulasi. blok polimer-limbah yang terjadi diukur densitas, kuat tekan dengan alat paul weber, dan laju pelindihan dengan alat sokhlet pada 100 0C dan 1 atm selama 6 jam. Blok polimer dibuat dengan kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % berat. Blok polimer-limbah sebagai fungsi kandungan limbah ditentukan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan. Semakin besar kandungan limbah maka kuat tekan blok polimer-limbah semakin kecil, sedangkan laju pelindihannya semakin besar. Berdasarkan kuat tekan dan laju pelindihan, maka hasil terbaik diperoleh untuk blok-polimer dengan kandungan limbah 20 % dan 30 %.


(3)

ABSTRACT

AJENG SARTIKA KUSNADI, Resin unsaturated polyester for immobilization of tray Resin was Treated simulation radioactive waste. Survised by Ir. Herlan Martono, M.Sc and Dr. Thamzil Las.

The research immobilization of tray resin was treated with resin unsaturated polyester has been conducted to etermine the quality of waste. Polymer blocks as function of waste loading. Immobilization was done by mix resin unsaturated polyester and catalys of ratio 1 % from quantity resin unsaturated polyester which is in order to, then added liquid simulation waste. These immobilization products were measured it is density, compressive strength, and leaching rate by soxhlet apparatus at 100 0C and 1 atm for 6 hours. Waste loading was used is 10,20,30,40, and 50 weight %. The higher of waste loading in the polymer as immobilization product cause the higher of density, the lower of compressive strength and the higher of leaching rate. Based on density, compressive strength and leaching rate test, the best immobilization was obtained to waste-polymer blocks with 20 % and 30 % of waste loading.


(4)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR...viii

DAFTAR ISI...x

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR TABEL...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang Penelitian...1

1.2. Rumusan Masalah...2

1.3. Batasan Masalah... 3

1.4. Tujuan Penelitian... 3

1.5. Manfaat Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...4

2.1. Limbah Radioaktif...4

2.1.1. Sumber Limbah Radioaktif ...4

2.1.2 Klasifikasi Limbah Radioaktif ………...5

2.1.3 Pengelolaan Limbah Aktivitas rendah ...………...6

2.1.4 Penanganan Limbah aktivitas tinggi ...………...6

2.2. Limbah Cair Transuranium ………....………8

2.3. Teknologi Pengolahan Limbah...12

2.4. Resin Penukar Ion...12

2.5. Pemilihan Bahan Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif...13

2.6. Bahan Matriks Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif Cair...15


(5)

2.8. Cerium ...18

2.9. Polimer...18

2.10. Poliester Tak Jenuh...20

2.10.1. Reaksi Polimerisasi...22

2.11. Imobilisasi...24

2.12. Imobilisasi dengan Polimer...25

2.13. Parameter pengujian ...26

2.13.1. Pegujian Densitas...26

2.13. 2. Pengujian Kuat Tekan ...27

2.13. 3. Pengujian Laju Lindih...27

2.14. Analisis laju pelindihan dengan alat Atomic Absorption Spectrometry (AAS)………...……..28

2.14.1. Prinsip Dasar Analisis AAS...28

2.14.2. Proses Absorbsi...30

2.14.3. Komponen-komponen AAS...31

BAB III METODELOGI PENELITIAN ...34

3.1.Tempat dan waktu pelaksanaan ...34

3.2. Bahan dan Alat...34

3.2.1 Bahan...34

3.2.2. Alat...34

3.3. Metode Kerja...35

3.4. Metode Karakterisasi dan Analisis...36


(6)

3.4.2. Pengujian Kuat Tekan...36

3.4.3. Pengujian Laju Lindih...37

3.4.4. Pengujian Pengaruh pH terhadap laju pelindihan...38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...39

4.1. Hasil Imobilisasi limbah dengan polimer...39

4.2. Pengaruh kandungan limbah terhadap densitas polimer...40

4.3. Pengaruh kandungan limbah terhadap kuat tekan polimer limbah...42

4.4. Analisis Kandungan Limbah terhadap laju pelindihan limbah simulasi dalam polimer dengan menggunakan AAS...44

4.5. Pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah 20 %...46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...49

5.1. Kesimpulan...49

5.2. Saran...49

DAFTAR PUSTAKA...50


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema proses pengolahan LCAT dari IPR...9 Gambar 2. Skema proses pengolahan LCAT dari IRM...10 Gambar 3. Grafik aktivitas limbah cair sebagai fungsi waktu (Martono, 2007)..11 Gambar 4. Diagram blok dari AAS...30 Gambar 5. Sumber radiasi (lampu katode)...31 Gambar 6. Nebulizer,burner & spray chamber (Christian,Gary D & James,E

Oreilly,1986)...32 Gambar 7. Alat paul Weber untuk uji kuat tekan...37 Gambar 8. Alat soxhlet untuk uji pelindihan...37 Gambar 9. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi(Cs)terhadap densitas.40 Gambar 10. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap

densitas ...40 Gambar 11. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs) terhadap Kuat

Tekan...42 Gambar 12. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap Kuat

Tekan...43 Gambar 13. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs) dengan

menggunakan AAS...44 Gambar 14. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce)

dengan menggunakan AAS( atomic absorption spectrometry )...45 Gambar 15. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer

limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs 20% ...46 Gambar 16. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dan Ce dalam

polimer limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs dan Ce 20 %...47


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi LCAT dari PWR, fraksi bakar 45000 MWD/MTU, pengayaan

uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4

tahun...7

Tebel 2. Data limbah cair dari pengujian bahan bakar pasca iradiasi (P2TBDU,2001)...11

Tebel 3. Alkohol dihidrat dipakai untuk resin poliester...20

Tabel 4. Asam dibasa dipergunakan untuk resin poliester...21

Tabel 5. Monomer vinil dipergunkan untuk resin poliester...21

Tabel 6. Perbandingan penambahan resin untuk masing-masing waste loading dengan berat total 50 gram ...36


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1. Pengelolaan Limbah Aktivitas Tinggi dan Transuranium (TRU)...53

Lampiran 2. Bagan Kerja...54

Lampiran 3. Tabel komposisi berat limbah Cs atau Cs+Ce dan resin...55

Lampiran 4. Tabel densitas limbah simulasi...55

Lampiran 5. Tabel kuat tekan limbah simulasi...56

Lampiran 6. Tabel laju pelindihan limbah simulasi Cs...56

Lampiran 7. Tabel laju pelindihan limbah simulasi (Cs+Ce).………...57

Lampiran 8. Data laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi Cs dengan alat AAS ( Atomic Absorption Spectrometry )...57

Lampiran 9. Data laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi ( Cs+Ce ) dengan alat AAS ( Atomic Absorption Spectrometry )...58

Lampiran 10. Data pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) Terhadap pH....58

Lampiran 11. Data pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) Terhadap pH58 Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Cs...58

Lampiran 13. Kondisi operasional AAS...59

Lampiran 14. Gambar proses pelindihan...59


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus dikembangkan dan dimanfaatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia, memperpanjang harapan hidup dan menstimulasi peningkatan kualitas hidup. Dalam pemanfaatan iptek untuk berbagai tujuan selalu ditimbulkan hasil samping proses atau limbah. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai hasil samping proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, serta tidak memberikan dampak yang mengganggu kesehatan masyarakat.

Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset, pemanfaatan sumber radiasi, dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Di negara-negara maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir bekas (BBNB) dan dekomisioning instalasi/fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup.

Reaktor nuklir merupakan sumber yang utama karena jumlah dan aktivitas limbah yang ditimbulkan beragam. Limbah radioaktif dari reaktor nuklir berasal dari air pendingin primer reaktor nuklir, bahan bakar nuklir bekas, dan reaktornya sendiri setelah didismantling. Limbah air pendingin primer reaktor merupakan limbah


(11)

2 aktivitas rendah yang umumnya mengandung Cs137. Untuk negara yang tidak melakukan proses olah ulang ( daur bahan bakar nuklir terbuka ), bahan bakar nuklir yang dikeluarkan dari reaktor disimpan dalam kolam ( penyimpanan basah ) atau penyimpanan secara kering ( dengan udara pendingin ) selama 40-60 tahun.

Selanjutnya bahan bakar nuklir bekas disimpan lestari ( ultimate dispol ) pada formasi geologi dengan kedalaman 500 – 1000 m ( martono, 1997 ).

Untuk negara maju yang menganut daur bahan bakar nuklir tertutup, proses olah ulang bahan bakar nuklir bkas dilakukan untuk mengambil U sisa dan Pu yang terjadi. Setelah bahan bakar nuklir bekas dikeluarkan dari reaktor, maka disimpan dalam kolam reaktor selama 6 bulan. Selanjutnya kelongsong bahan bakar nuklir bekas dipotong untuk mengeluarkan bahan bakar nuklirnya. Bahan bakar dilarutkan dalam HNO3 6 – 8 M selanjutnya diekstraksi menggunakan pelarut TBP-dodekan ( Try Butyl Phospate-odekan ). Paa ekstraksi siklus I, proses olah ulang ditimbulkan limbah cair aktivitas tinggi, dan pada siklus II di timbulkan limbah cair transuranium.

Limbah padat yang timbul dari dismantling reaktor jenis aktivitasnya beragam, dari aktivitas rendah ke tinggi.

I.2. Perumusan Masalah

Limbah cair transuranium dari IRM diklasifikasikan sebagai LCTRU karena adanya unsur-unsur aktinida yang tidak terdeteksi. Limbah cair transuranium tidak dapat diolah di Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif (IPLR), Karena IPLR hanya dirancang untuk mengolah limbah aktifitas rendah.


(12)

3

I.3. Batasan Masalah

Limbah cair transuranium kandungan airnya tinggi sehingga sukar atau tidak dapat diimobilisasi dengan polimer. Oleh karena itu, radionuklida dalam LCTRU diikat resin, dan selanjutnya resin bekas diimobilisasi dengan polimer. Pada uji lindih digunakan alat soxhlet dan air bebas mineral pada 1000C, 1 atm untuk mempercepat proses. Oleh karena keterbatasan alat analisis maka radionuklida terlindih yang dianalisis hanya Cs. Untuk Ce terlindih tidak dianalisis. Pengujian ini digunakan untuk menentukan kualitas bahan polimer limbah hasil imobilisasi.

I.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:

1. Guna melengkapi jumlah SKS yang telah diterapkan oleh Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Mempelajari proses pengolahan limbah cair transuranium.

3. Menentukan kualitas blok polimer limbah atau pengaruh kandungan limbah terhadap densitas, kuat tekan, laju lindih polimer limbah.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat diterapkan dalam pengolahan rutin limbah cair transuranium dari bahan bakar pasca iradiasi di Instalasi Radio metalurgi.


(13)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Radioaktif

limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion yang tidak dapat digunakan lagi. Hal ini sesuai dengan peraturan pemerinth No. 27 tahun 2002 tentang pengolahan limbah radioaktif. Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa “pengolahan limbah radioaktif dilaksanakn oleh badan pelaksanaan. Dalam pasal 3 ayat (1), pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan pelaksanaan dalam hal ini adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Sesuai keputusan Kepala BATAN No.166/KA/IV/2001 tentang Organisasi dan Tata kerja BATAN, pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR). Dalam pasal 23 ayat (2), BATAN dalam melaksanakan pengolahan limbah radioaktif dapat bekerja sama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi dan atau badan usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah membuka pintu lebar-lebar pengelolaan limbah radioaktif yang amanuntuk generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.

2.1.1. Sumber Limbah Radioaktif

Limbah radioaktif yang berasal dari berbagai kegiatan pada pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir sangat beragam menurut volume, bentuk fisik, susunan kimia, susunan radiokimia dan aktivitasnya. Secara umum limbah radioaktif


(14)

5 berasal dari dua sumber utama, yaitu (Marshall, 1981; Day, 1985 dan Lewis, 1978 dalam Las, 1989):

1. Reaktor daya nuklir, dan berbagai kegiatan yang menunjang untuk beroperasinya reaktor tersebut, yaitu produksi bahan bakar nuklir, penggunaan dalam reaktor nuklir, dan pengeluaran serta pengelolaan bahan bakar nuklir bekas.

2. Pada pemanfaatan bahan radioaktif lainnya, seperti pemanfaatan radioisotop pada bidang kesehatan, industri, penelitian/riset, dan bidang pertanian.

Reaktor nuklir merupakan sumber yang utama karena jumlah dan aktivitas limbah yang ditimbulkan beragam. Limbah radioaktif dari reaktor nuklir berasal dari air pendingin primer reaktor nuklir, bahan bakar nuklir bekas, dan reaktornya sendiri setelah didismantling. Limbah air pendingin primer reaktor merupakan limbah aktivitas rendah yang umumnya mengandung Cs137. Limbah padat yang timbul dari

dismantling reaktor jenis aktivitasnya beragam, dari aktivitas rendah ke tinggi.Limbah radioaktif dari pemanfaatan radionuklida dalam industri dan kesehatan, aktivitasnya rendah dan umumnya adalah radionuklida yang berumur paro pendek.

2.1.2. Klasifikasi Limbah Radioaktif

Berdasarkan atas karakteristiknya dan untuk pengelolaan dalam jangka panjang, maka limbah radioaktif dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Miyasaki et al, 1996 dalam Martono, 2007):

- Limbah radioaktif dengan aktivitas tingkat rendah dan menengah yang mengandung radioisotop pemancar beta dan gamma berumur pendek (umur paro kurang dari 30 tahun) dan konsentrasi radionuklida pemancar alfanya sangat rendah atau tidak mengandung radionuklida pemancar alfa sama sekali. Setelah 300 tahun potensi bahaya radiasinya dapat diabaikan.


(15)

6

- Limbah radioaktif dengan aktivitas tingkat rendah dan menengah yang banyak mengandung radioisotop berumur paro panjang yaitu golongan aktinida sebagai pemancar alfa dan terkontaminasi sedikit radionuklida hasil belah, disebut limbah transuranium.

- Limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi yang banyak mengandung radiosotop hasil belah dan sedikit aktinida.

2.1.3. Pengelolaan Limbah Aktivitas Rendah

Pengelolaan limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LAR < 10-3 Ci/m3) di PTLR dilakukan dengan evaporator. Hasil evaporasi adalah beningan dan konsentrat.

Bening setelah dimonitor, maka jika aktivitasnya sudah dibawah yang diperkenankan (< 10-7 Ci/m3) maka didispersi atau dibuang ke lingkungan. Aktivitas air umumnya 10-7 Ci/m3. Aktivitas konsentrat yang diperoleh 10-2 Ci/m3. Konsentrat tersebut diimobilisasi dengan semen dalam shell beton 950 liter. Aktivitas maksimum dalam 1 shell beton adalah 1 Ci/m3. Tahap selanjutnya, hasil imobilisasi disimpat di tempat penyimpanan sementara (intrm storage). Hasil imobilisasi limbah aktivitas rendah disimpan lestari (penyimpanan akhir) pada penyimpanan tanah dangkal ( 10 m dibawah permukaan tanah ).

2.1.4.Penanganan Limbah Aktivitas Tinggi

Limbah aktivitas tinggi yang ditimbulkan dari siklus I proses olah ulah sebagian besar merupakan hasil belah dan sedikit aktinida. Komposisi limbah aktivitas tinggi dari PWR (Pressurized Water Reactor) dengan fraksi bakar 45000 MWD/MTU, pengayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan


(16)

7 pendinginan selama 4 tahun dapat dilihat pada tabel 1 (Martono, 1988).

Tabel 1. Komposisi LCAT dari PWR, fraksi bakar 45000 MWD/MTU, pengayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun (Martono, 1988).

Unsur Oksida Unsur (gram/MTU)

Oksida (gram/MTU)

Perbandingan dalam limbah Na Na2O 1,1622. E+4 1,5666. E+4 0,16480 Fe Fe2O3 6,0 . E+3 8,6 . E+3 0,09047 Ni NiO 1,1 . E+3 1,4 . E+3 0,01473 Cr Cr2O3 1,1 . E+3 1,6 . E+3 0,01683 P P2O5 0,4 . E+3 0,9 . E+3 0.00947 Se SeO2 7,731 . E+1 1,086 . E+2 0,00114 Rb Rb2O 4,838 . E+2 5,291 . E+2 0,00557 Sr SrO 1,163 . E+3 1,375 . E+3 0,01446 Y Y2O3 6,380 . E+2 8,102 . E+2 0,00852 Zr ZrO2 4,920 . E+3 6,646 . E+3 0,06991 Mo MoO3 4,557 . E+3 6,837 . E+3 0,07192 Tc Tc2O7 1,015 . E+3 1,589 . E+3 0,01672 Ru RuO2 2,975 . E+3 3,917 . E+3 0,04121 Rh Rh2O3 5,673 . E+2 6,996 . E+2 0,00736 Pd PdO 1,821 . E+3 2,095 . E+3 0,02204 Ag Ag2O 9,243 . E+1 9,929 . E+1 0,00104 Cd CdO 1,465 . E+2 1,673 . E+2 0,00176 Sn SnO2 1,149 . E+2 1,459 . E+2 0,00153 Sb Sb2O3 2,914 . E+1 3,488 . E+1 0,00037 Te TeO2 6,404 . E+2 8,010 . E+2 0,00843 Cs Cs2O 3,501 . E+3 3,712 . E+3 0,03905 Ba BaO 2,193 . E+3 2,448 . E+3 0,02575 La La2O3 1,663 . E+3 1,950 . E+3 0,02051 Co CoO2 3,244 . E+3 3,985 . E+3 0,04192 Pr Pr6O11 1,523 . E+3 1,840 . E+3 0,01936 Nd Nd2O3 5,514 . E+3 6,432 . E+3 0,06766 Pm Pm2O3 5,570 . E+1 6,480 . E+1 0,00068 Sm Sm2O3 9,983 . E+2 1,158 . E+3 0,01218 Eu Eu2O3 2,037 . E+2 2,359 . E+2 0,00248 Gd Gd2O3 1,582 . E+2 1,823 . E+2 0,00192 Zr ZrO2 tidak terdeteksi 2,431 . E+3 0,02557

Gd Gd2O3 1,153 . E+4 0,12129

U UO3 3,011 . E+3 3,618 . E+3 0,03806 Np NpO2 6,775 . E+2 7,690 . E+2 0,00809 Pu PuO2 1,225 . E+2 1,389 . E+2 0,00145 Am Am2O3 4,539 . E+2 4,990 . E+2 0,00525 Cm Cm2O3 4,039 . E+1 4,436 . E+1 0,00047


(17)

8 Llimbah aktivitas tinggi untuk 1 Canister volume 118 liter (93 % volume atau 110 liter berisi gelas limbah) adalah 4.105 Ci. Berat gelas-limbah 300 kg dengan komposisi gelas 225 kg dan limbah 75 kg. Panas yang ditimbulkan karena radiasi adalah 1,4 kW. Panas tersebut dapat melebihi 500 °C, sehingga polimer tidak mampu untuk imobilisasi limbah jenis ini. Demikian pula semen yang kapasitasnya 1 Ci/m3 tidak dapat digunakan untuk imobilisasi limbah aktivitas tinggi. Limbah aktivitas tinggi dari proses olah ulang bahan bakar nuklir bekas diimobilisasi dengan gelas borosilikat yang dikenal proses vitrifikasi.

2.2. Limbah Cair Transuranium

Limbah transuranium disebut juga alpha bearing waste yaitu limbah yang mengandung satu atau lebih radionuklida pemancar alfa, dalam jumlah di atas yang diperkenankan. Radionuklida ini termasuk golongan aktinida.

Limbah aktivitas tinggi dan transuranium di indonesia ditimbulkan dari hasil samping produksi radioisotop dan penguji bahan bakar pasca iradiasi di instalasi radiometalurgi. produksi radioisotop digunakan bahan uranium di perkaya 93% yang iradiasi dengan netron dalam reaktor. Secara teoritis, hasil iradiasi adalah hasil belah, sisa uranium yang tidak terbakar, dan sedikit sekali atau tanpa unsur TRU.

Setelah bahan bakar pasca iradiasi dipisahkan dari kelongsongnya, kemudian dilarutkan dalam HNO3 6 – 8 M. Limbah cair aktivitas tinggi dari produksi radio isotop disimpan dalam tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi (PSLAT) di PTLR. Setelah 5 tahun limbah tersebut menjadi limbah aktivitas rendah yang dapat diimobilisasi dengan semen di Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif (IPLR). Skema pengelolaan limbah cair aktivitas tinggi dari Instalasi Produksi Radioisotop ditunjukkan dalam gambar 1.


(18)

9 Gambar 1. Skema proses pengolahan LCAT dari IPR.

Dari gambar 1, setelah pendinginan maka limbah yang aktivitasnya tinggi menurut definisi termasuk limbah aktivitas rendah (Miyasaki et al 1996 dalam Martono 1977). Limbah aktivitas rendah diimobilisasi dengan semen.

Pengolahan LCAT yang ditimbulkan dari IRM dapat dilihat dari gambar 2. Limbah tersebut yaitu LCAT I, karena dari iradiasi bahan bakar yang diperkaya 20 % maka kandungan hasil belah dan aktinidanya banyak. Agar sesuai dengan definisi LCAT dari proses olah ulang bahan bakar bekas, maka dilakukan pengolahan awal yaitu ekstraksi dengan pelarut TBP-dodekan. Hasil ekstraksi adalah LCAT II dan

LCAT I

Sisa U235, U238 hasil belah

Ekstraksi

Diethyl hexyl phosphoric acid

Penyimpanan sementara LCAT II di PSLAT, peluruhan hasil belah.

Limbah cair aktivitas rendah

Sementasi

Penyimpanan sementara hasil sementasi


(19)

10 LCTRU sesuai definisi LCAT dan LCTRU dari proses olah ulang bahan bakar bekas.

Selanjutnya LCAT II diolah dengan proses vitrifikasi dan LCTRU dengan polimer.

Gambar 2. Skema proses pengolahan LCAT dari IRM

Limbah cair hasil pengujian bahan bakar pasca iradiasi di Instalasi Radiometalurgi (IRM), ditunjukkan pada Tabel 2 (P2TBDU,2001).

Dari Tabel 2, kandungan yang dominan dalam limbah cair adalah Cs137 dan aktinidanya sedikit. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang disajikan dalam Gambar 2. Untuk itu dilakukan pengujian pengukuran aktivitas limbah cair sebagai fungsi waktu, yang ditunjukkan dalam Gambar 3 (Martono, 2007).

LCAT II Hasil belah terkontaminasi TRU,

U

LCTRU TRU, U terkontaminasi hasil

belah

Vitrifikasi Penambahan bahan pembentuk gelas dan peleburan pada 11500C

Imobilisasi dengan polimer

Gelas - limbah Polimer mengandung limbah TRU

Karakterisasi

LCAT I Hasil belah + TRU


(20)

11 Tabel 2. Data limbah cair dari pengujian bahan bakar pasca iradiasi (P2TBDU,

2001).

No. Radionuklida Aktivitas jenis (Bq/ml)

1. Cd109 1,800

2. Ce144 1,200

3. Ru106 0,300

4. Cs134 2,600

5. Cs137 116,000

6. Co60 --

7. Co57 --

8. Np237 --

9. Ba131 0,066

10. Ra226 0,042

11. Eu154 --

12. Br82 --

Aktivitas Total 122,608

Dari Gambar 3, jika grafik tersebut dibandingkan dengan aktivitas Cs137 sebagai fungsi waktu secara teoritis, menunjukkan bahwa grafik aktivitas limbah cair diatas grafik Cs137. Ini berarti bahwa limbah cair mengandung aktinida yang berumur panjang yang tidak terdeteksi secara analisis. Oleh karena itu, untuk keamanannya, limbah cair ini dianggap limbah cair TRU yang diimobilisasi dengan polimer.


(21)

12

2.3. Teknologi Pengolahan Limbah

Pengolahan limbah radioaktif meliputi 2 tahap, yaitu 1. reduksi volume 2. imobilisasi atau solidifikasi. Reduksi volume bertujuan untuk memudahkan penanganan selanjutnya, sedangkan imobilisasi untuk mengikat radionuklida dengan bahan matriks tertentu, sehingga jika kontak dengan air tidak mudah lepas ke lingkungan pada saat penyimpanan lestari dalam tanah.

Reduksi volume untuk limbah cair dapat dilakukan dengan evaporasi, penukar ion, koagulasi-flokulasi/ pengolahan secara kimia, sedangkan untuk limbah padat dapat dilakukan dengan kompaksi dan insinerasi.

Imobilisasi dapat dilakukan dengan semen, polimer, gelas, synroc, keramik tergantung jenis dan karakteristik limbahnya.

2. 4. Resin Penukar Ion

Resin penukar ion dapat didefinisikan sebagai senyawa hidrokarbon terpolimerisasi, yang mengandung ikatan silang (crosslinking) serta gugusan-gugusan fungsional yang mempunyai ion-ion yang dapat dipertukarkan. Sebagai zat penukar ion, resin mempunyai karakteristik yang berguna dalam analisis kimia, antara lain untuk menghilangkan ion-ion pengganggu, proses deionisasi air, memisahkan ion-ion logam dalam campuran, dan sebagainya. Resin penukar ion berprinsip pada gaya elektrostatik dimana ion yang terdapat pada resin ditukar oleh ion logam dari limbah.

Produk yang pertama kali digunakan untuk pertukaran ion di dalam industri adalah zeolit anorganik yang terdapat di alam, seperti aluminosilikat, yang mempunyai kapasitas pertukaran ion per meter kubik sangat rendah. Selanjutnya dilakukan perbaikan dengan menggunakan penukar ion organik yang mempunyai kapasitas pertukaran yang sangat tinggi per meter kubik bahan. Perbaikan selanjutnya


(22)

13 adalah dengan menggunakan penukar ion organik yang terbuat dari bahan alam yang tersulfonasi seperti batu bara, lignit, dan gambut. Namun resin penukar ion yang paling tinggi kapasitasnya adalah polistirena divinilbenzena (SDVB) [Auatin, 1996]

Reaksi pertukaran ion terjadi karena difusi adanya beda konsentrasi ion di dalam limbah dan dalam resin. Konsentrasi sesuatu unsur dalam limbah lebih besar daripada dalam resin, sehingga terjadi perpindahan unsur dari limbah ke resin. Bertitik tolak dari sifat radionuklida yang sangat membahayakan ini, maka resin bekas dan limbah yang lain dilakukan pengungkungan (imobilisasi) dengan bahan matriks tertentu, sehingga terjadi matriks limbah yang berbentuk padat. Oleh karena itu dipandang perlu dilakukan pemisahan isotop-isotop Cs dan Ce dari limbah radioaktif secara penukar ion, dan selanjutnya imobilisasi resin bekas dengan polimer.

Gaya dorong (driving force) terjadi reaksi pertukaran ion adalah karena difusi yaitu adanya perbedaan konsentrasi ion di dalam larutan dan di dalam resin. Jika konsentrasi ion A di dalam larutan lebih tinggi dari pada konsentrasi ion A dalam resin, maka akan terjadi difusi ion A dari larutan ke resin, dan dari resin akan dilepaskan ion yang dipertukarkan ke larutan. Reaksi berlangsung terus sampai resin penukar ion jenuh. Dalam praktek, zeolit dan resin dapat dipakai sebagai penukar ion. Akan tetapi penggunaan resin lebih terkenal dibandingkan zeolit.

2.5. Pemilihan Bahan Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif.

Bahan matriks untuk imobilisasi limbah radioaktif cair dipilih yang dapat membentuk campuran yang homogen dan tidak membentuk fase pemisah. Terjadinya pemisahan fase ini akan menyebabkan ketidak homogenan hasil akhir imobilisasi limbah. Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan matriks untuk imobilissi limbah, yaitu :


(23)

14

2. Kandungan limbah (waste loading)

3. Ketahanan kimia (laju pelindihan) 4. Kestabilan terhadap panas

5. Kestabilan terhadap radiasi. 6. Keutuhan fisik

Bahan matriks untuk imobilisasi merupakan penahan (barier) primer untuk membatasi terlepasnya radionuklida, sehingga harus homogen, permeabilitasinya rendah, dan kekuatan mekaniknya baik. Setelah pertimbangan proses sederhana, maka ketahanan kimia perlu lebih mendapat perhatian. Hal ini sesuai dengan tujuan imobilisasi yaitu mencegah agar radionuklida tidak terlepas ke lingkungan jika kontak dengan air selama penyimpanan [Martono H, 1996].

Kandungan limbah dalam bahan matriks berpengaruh terhadap ekonomi proses (efisiensi imobilisasi). Pertimbangan lainnya, yaitu : bahan yang digunakan untuk imobilisasi murah, mudah didapat, dan proses sederhana.

Ketahanan panas dalam hal gelas devitrifikasi (kristalisasi) merupakan kestabilan atau ketahanan bahan terhadap temperatur tinggi. Makin tinggi aktivitas limbah maka suhu yang ditimbulkan juga semakin tinggi, pada gelas dan polimer. kestabilan terhadap panas adalah terjadinya kristalisasi dalam gelas dan polimer. Terjadinya kristalisasi ini akan merubah struktur gelas dan polimer dari amorf menjadi kristalisasi. Terjadinya kristalin ini akan menaikkan laju pelindihan radionuklida dari gelas dan polimer ke lingkungan.

Kestabilan terhadap radiasi merupakan ketahanan bahan terhadap pengaruh radiasi yang dipancarkan oleh limbah radioaktif dalam bahan matriks. Pengaruh radiasi alfa dalam bahan dapat mengakibatkan radiolisis dan terjadi perubahan komposisi. Adanya kerusakan bahan tersebut dapat dilihat dari perubahan densitas, kekuatan


(24)

15 mekanik, dan laju pelindihannya. Hal ini akan membatasi aktivitas limbah yang diimobilisasi dan pemilihan bahan matriks yang sesuai. Keutuhan fsik (physical integrity) yaitu keutuhan fisik secara menyeluruh seperti dimensi.

2. 6. Bahan Matriks Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif Cair

Beberapa jenis bahan untuk imobilisasi limbah cair, yaitu [Martono H. 1996] : 1.Semen

Semen digunakan untuk imobilisasi limbah radioaktif cair aktivitas rendah dan menengah yang tidak mengandung aktinida atau radionuklida berumur paro panjang. Hal ini disebabkan karena kandungan aktivitas dalam semen rendah yaitu sekitar 1Ci/m3 dan semen mengalami degradasi dalam jangka panjang ± 300 tahun. Setelah itu semen mengalami degradasi, limbah radioaktif cair aktivitas rendah dan menengah tidak lagi mempunyai potensi bahaya radiologis. Jadi semen tidak dapat digunakan untuk limbah cair aktivitas tinggi dan limbah cair TRU yang perlu pengelolaan yang lebih lama. Keuntungan penggunaan semen murah, proses imobilisasinya sederhana dan semen dapat berfungsi sebagai perisai radiasi.

2.Gelas aluminosilikat

Gelas aluminosilikat pernah dikembangkan di USA, tetapi tidak dikembangkan lebih lanjut karena temperatur pembuatannya tinggi sekitar 1350 oC dan kandungan limbahnya lebih kecil dari 10 %. Temperatur pembuatan yang tinggi akan mengakibatkan bata tahan api lebih cepat korosif sehingga umur melter lebih pendek, yang akan lebih banyak menimbulkan limbah radioaktif padat. Demikian pula gas yang terjadi pada temperatur yang lebih tinggi akan lebih banyak dan


(25)

16 penanganan gasnya lebih kompleks. Kandungan limbah yang rendah tidak ekonomis dari segi prosesnya.

3.Gelas fosfat

Keuntungan gelas fosfat adalah relatif rendah temperatur pembentukanya (kira-kira 900 oC), sehingga kehilangan gas volatil Cs dan Ru lebih sedikit. Di dalam gelas fosfat semua oksida dapat larut termasuk MoO3. Pengembangan gelas fosfat tidak dilanjutkan karena gelas fosfat korosif dan mempunyai kecenderungan mengalami devitrivikasi pada temperatur yang lebih rendah, yaitu sekitar 400 oC 4.Gelas borosilikat

Gelas borosilikat mempunyai stabilitas panas yang lebih tinggi dibandingkan gelas fosfat. Temperatur antara 500 – 900 oC. Demikian pula ketahanan kimianya lebih baik dari pada gelas fosfat. Unsur Mo dan Pu dengan jumlah tertentu dalam gelas borosilikat dapat menimbulkan adanya fase pemisah.

5.Gelas keramik

Gelas keramik dapat dihasilkan dari lelehan gelas dengan pemanasan yang lama diatas temperatur transformasi (Tg), yaitu sekitar 510 oC. Oleh karena adanya pemanasan yang lama maka prosesnya lebih mahal. Gelas keramik menunjukkan ketahanan fisik dan mekanik yang lebih baik dan ketahanan kimianya kurang baik dibandingkan gelas borosilikat.

6.Synroc (synthetic rock)

Synroc adalah mineral titanate dan ini masih dalam tahap pengembangan di Australia, Inggris, dan Jepang dalam rangka kerja sama dengan Australia. Synroc juga dilakukan di Australia. Synroc termasuk jenis keramik dan pembuatannya lebih sukar dibanding gelas, karena pengepresan dilakukan pada temperatur sekitar 1350 oC atau pengepresan pada temperatur rendah dan diikuti sintering


(26)

17 pada temperatur tinggi. Sifat kimia dan fisika jenis keramik ini lebih baik dibanding gelas borosilikat, sehingga mempunyai prospek yang baik di masa mendatang.

7. Vitromet

Vitromet adalah butir gelas dalam matriks Pb yang dikembangkan di Belgia untuk mengatasi kandungan panas yang tinggi, karena hantaran panas Pb tinggi. Kandungan limbah dalam vitromet kecil.

8.Bitumen

Bitumen merupakan senyawa hidrokarbon baik alifatik maupun aromatik yang mempunyai berat molekul tinggi. Proses bituminasi dilakukan pada temperatur antara 150 – 230 oC. Bitumen mempunyai ketahanan kimia yang tinggi, ketahanan fisik (terhadap panas) dan ketahanan terhadap radiasi kurang baik. Hal yang perlu diperhatikan terhadap bitumen adalah temperatur bakar dan efek radiasi yang mengakibatkan radiolisis, terbentuknya gas, terjadinya radikal bebas.

9. Polimer

Polimer tahan dalam jangka lama, namun tidak tahan terhadap radiasi dan temperatur tinggi karena terjadi degradasi. Proses polimerisasi dilakukan antara temperatur kamar sampai temperatur tinggi tergantung jenisnya. Ketahanan kimia polimer baik dan ketahanan fisiknya atau ketahanan panasnya kurang baik. Polimer leleh pada suhu tinggi tergantung jenisnya. Temperatur leleh maksimum ada yang sampai 400oC.


(27)

18

2.7. Cesium

Unsur cesium dapat dilambangkan dengan Cs, yang memiliki nomor atom 55 dan nomor massa 132,9. Cs merupakan unsur pada golongan 1A yaitu golongan logam alkali. Warna dari Cs adalah kuning keemasan, unsur ini paling reaktif jika dibandingkan dengan unsur litium (Li) pada golongan logam alkli ini.

Perbedaan mendasar antar unsur-unsur golongan 1A terdapat pada ukuran kation yang ditunjukan oleh reaksi dengan O2. dalam udara atau O2 pada 1 atm, logam-logamnya terbakar. Litium hanya memberikan LiO2 dengan sedikit runutan Li2O2. Na biasanya memberikn peroksida, Na2O2, tetapi akan berlanjut dengan adanya O2 di bawah tekanan serta panas, menghasilkan superoksida, NaO2. kalium, Rb, dan Cs membentuk suproksida MO2. 137Cs memilki waktu paruh 30,23 tahun. Memiliki titk cair 28,5 0C.

2.8. Cerium

Lambang dari unsur cerium adalah Ce, dimana memiliki nomor atom 58 dan nomor massa 140,1. termasuk dalam golongan lantanida. Warnanya putih keabu-abuan, padat pada 298 K. Cerium oksida (CeO2), memiliki massa molar 172.115 g/mol. Cerium ini satu-satunya lantanida +4 yang ada dalam larutan akua demikian juga dalam padatan. Cerium (IV) digunakan sbagai pengoksidasi dalam analiis dan dalam kimia organik. Bentuk padat, memiliki densitas 6,770 g/cm3.

2.9. Polimer

Polimer (poly = banyak, mer = bagian) adalah molekul raksasa yang biasanya memiliki bobot molekul tinggi, dibangun dari pengulangan unit-unit. Molekul sederhana yang membentuk unit-unit ulangan ini dinamakan monomer. Reaksi


(28)

19 pembentukan polimer dikenal dengan istilah polimerisasi . Makromolekul merupakan istilah sinonim polimer. Istilah makromolekul pertama kali dikenalkan oleh Herman Staudinger, seorang kimiawan dari Jeman. [Steven, 2001]

Polimer digolongkan menjadi dua macam, yaitu polimer alam (seperti pati, selulosa, dan sutra) dan polimer sintetik seperti polimer vinil. Plastik yang dikenal sehari-hari merupakan polimer sintetik. Sifat plastik yang mudah dibentuk (bahasa latin; plasticus = mudah dibentuk) dikaitkan dengan polimer sintetik yang dapat dilelehkan dan diubah menjadi bermacam-macam bentuk. Padahal sebenarnya plastik mempunyai arti yang lebih sempit. Plastik termasuk bagian polimer termoplastik, yaitu polimer yang akan melunak apabila dipanaskan dan dapat dibentuk sesuai pola yang diinginkan. Setelah dingin polimer ini akan mempertahankan bentuknya yang baru. Proses ini dapat diulang dan dapat diubah menjadi bentuk yang lain. Golongan polimer sintetik lain adalah polimer termoset (materi yang dapat dilebur pada tahap tertentu dalam pembuatannya tetapi menjadi keras selamanya, tidak melunak dan tidak dapat dicetak ulang).

Proses pertumbuhan rantai selama polimerisasi bersifat acak, oleh karena itu rantai-rantai polimer yang berbeda dalam suatu contoh polimer akan mempunyai panjang yang berbeda-beda pula, tentu saja karena massa molekul nisbi (Mr)nya pun berbeda-beda. Massa molekul nisbi (Mr) hanya merupakan salah satu faktor yang menentukan sifat polimer. Faktor penting lainnya ialah susunan rantai dalam polimer. Penelitian sinar x terhadap polimer menunjukan bahwa dalam bahan polimer terdapat daerah yang didalamnya terdapat rantai polimer yang tersusun secara teratur. [Cowd,M.A.1991]


(29)

20

2.10. Poliester Tak Jenuh

Poliester tak jenuh merupakan jenis oligomer yang lain. Poliester tak jenuh merupakan hasil reaksi campuran asam organik (misalnya asam fumarat, asam maleat, dan anhidrida ftalat) dengan glikol (misalnya propilen glikol dan dietilen glikol). Campuran poliester tak jenuh dengan monomer stiren merupakan bahan pelapis radiasi yang sudah lama dikenal. Walaupun campuran ini mempunyai kecepatan pengeringan yang rendah, tetapi banyak dipakai untuk pelapisan permukaan kayu karena harganya relatif murah [R Holman and F Oldring, 1988].

Suatu asam dibasa (tabel 4) bereaksi secara kondensasi dengan alkohol dihidrat (tabel 3) digunakan untuk mendapatkan poliester. Karena asam tak jenuh digunakan dengan berbagai cara sebagai bagian dari asam dibasa, yang menyebabkan terdapatnya ikatan tak jenuh dalam rantai utama dari polimer yang dihasilkan, maka disebut poliester tak jenuh. Selanjutnya, monomer vinil seperti pada Tabel 5 dicampur yang bereaksi dengan gugus tak jenuh pada saat pencetakan.(Surdia Tata,Ir.M.S.Met.E dan Saito Shinroku,Prof. Dr.1992)


(30)

21

Tabel 4. Asam dibasa dipergunakan untuk resin poliester.

Untuk pengesetan termal, digunakan benzoil peroksida (BPO) sebagai katalis. Temperatur optimal adalh 80 – 130 0C, namun demikian, kebanyakan pengesetan dingin yang digunakan. Sebagai katalis digunakan metil etil keton peroksida (MEKPO) dan sebagai pemercepat digunakan kobal naftenat. Bahan ini baik digunakan bila diencerkan 10 kali dengan monomer stiren. Katalis ditambahkan pada 1 – 2 %.


(31)

22 Poliester tak jenuh merupakan salah satu bahan diantara bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan beton polimer, selain bahan agregat anorganik (batu, pasir, fly ash), MEKPO, (CH3COO)2 Zn sebagai katalis dan kobal naftenat sebagai promotor. Poliester tak jenuh yang dihasilkan memberikan serapan khas ikatan rangkap pada frekuensi gelombang 1645 cm-1, yang menunjukkan adanya ikatan tak jenuh. [Aisyah. 2003.].

Ada banyak jenis poliester. Bila zat tersebut dimodifikasi menurut suatu cara, sifat-sifatnya cukup bervariasi. Mengenai ketahanan kimianya, pada umumnya kuat terhadap asam kecuali asam pengoksid, tetapi lemah terhadap alkali. Bila dimasukkan dalam air mendidih untuk waktu yang lma (300 jam), bahan akan pecah dan retak-retak. Bahan ini mudah mengembang dalam pelarut, yang melarutkan polimer stiren. Kemampuan terhadap cuaca sangat baik. Tahan terhadap kelembaban dan sinar UV bila dibiarkan diluar, tetapi sifat tembus cahaya permukaan rusak dalam beberapa tahun.

2.10.1. Reaksi Polimerisasi

Berdasarkan proses pembentukan, polimer dapat dibedakan menjadi 2, yaitu polimer adisi dan polimer kondensasi. Penggolongan ini pertama kali digunakan oleh Carothers [Steven,2001], yang didasarkan pada adanya unit ulang dari suatu polimer mengandung atom yang sama seperti monomer. Polimer adisi memiliki atom-atom yang sama seperti monomer dalam unit ulangnya, sedangkan polimer kondensasi memiliki atom-atom yang lebih sedikit karena terbentuknya produk sampingan selama berlangsungnya polimerisasi.

1. Poimerisasi adisi

Polimerisasi adisi melibatkan reaksi rantai. Penyebab reaksi rantai dapat berupa radikal bebas atau ion. Polietilen merupakan salah satu bentuk


(32)

23 polimerisasi adisi. Beberapa monomer etilena (C2H4) bergabung menjadi satu rantai polietilen (C2H4)n,

Cl2 2 Cl· (1)

2. Polimerisasi kondensasi

Polimerisasi kondensasi melibatkan penggabungan molekul kecil-kecil, menghasilkan molekul besar-besar melalui reaksi kondensasi (atau adisi-penyingkiran) dalam kimia organic, yang terjadi pada zat bermassa molekul rendah. Misalnya, jika campuran etanol dan asam etanoat dipanasi bersama sedikit asam sulfat pekat, etil asetat dihasilkan,disertai penyingkiran air.

CH3.COOH + C2H2OH ↔ CH3COOC2H5 + H2O (4)

Reaksi berhenti sampai disini karena tidak terdapat gugus fungsi yang dapat bereaksi (pada contoh ini gugus –COOH dan gugus –OH). Akan tetapi, jika tiap molekul pereaksi mengandung 2 atau 3 gugus fungsi maka reaksi berikutnya dapat terjadi [Cowd,M.A.1991]

Poliester pertama yang dibuat oleh Carothers mempunyai suhu pelunakan sangat rendah, sehingga sebagai bahan pembentuk serat poliester, ia tidak tahan setrika. Akibatnya Carothers mengesampingkan poliester itu dan memfokuskan pada poliamida yang menjadi awal pengembangan nilon. Pada tahun 1942 Whinfield dan Dickson membuat suatu poliester yang mereka sebut polietilen tereftalat. Poliester lurus dapat dihasilkan dari pemanasan bersama asam berbasa dua dan alkohol dihidrat tertentu [Cowd,M.A. kimia polimer.1991], sebagaimana ditunjukan oleh reaksi berikut :


(33)

24 n HO – R’ – OH + n HOOC – R – COOH →

H -[ O – R’ – OOC – R – CO] – n OH + [2n - 1] H2O

(dapat dibuktikan sendiri bahwa dari 5 molekul asam berbasa 2 dan 5 diol, akan terbentuk 5 kesatuan berulang –O-R1- OOC-R-CO- dan dilepaskan molekul air)

Katalis digunakan pada polimerisasi rantai ionik yang menghasilkan makroion (bukan makroradikal).[Feldman, Dorel.Anton,J,H.1995.]

 Proses curing

Curing atau pengeringan pada proses polimerisasi merupakan perubahan fase cair dan pasta menjadi padat. Proses ini dapat terjadi secara fisika karena adanya penguapan pelarut atau medium pendispersi. Curing juga dapat terjadi karena perubahan kimia, terjadinya reaksi antara molekul-molekul yang relatif kecil dengan fase cair atau pasta membentuk jaringan molekul yang lebih besar, padat, dan tidak mudah larut.

Proses curing dapat dilakukan dengan reaksi polimerisasi yang bersifat eksotermis. Proses lebih sederhana, walaupun kadang-kadang curing dalam polimerisasi ini perlu waktu lama. Reaksi polimerisasi dimulai dengan adanya radikal bebas yang terbentuk karena dekomposisi bahan yang tidak stabil oleh suhu maupun katalis. Radikal bebas dengan monomer akan mengadakan reaksi polimerisasi dan akhirnya jika radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas, maka terjadi reaksi terminasi yang menghasilkan polimer.

2.11. Imobilisasi Limbah Cair Trans-Uranium dengan Polimer

Imobilisasi yang disebut juga solidifikasi merupakan proses mencampur limbah radioaktif (penukaran ion organik maupun anorganik bekas, konsentrat evaporator, abu insenerator, dan lain-lain) kedalam matrial matriks, sehingga menjadi bentuk padat yang sukar larut jika hasil imobilisasi tersebut kontak dengan air pada


(34)

25 tempat penyimpanan akhir/disposal dalam tanah. Sebelum imobilisasi dilakukan, penukar resin organik bekas memerlukan satu atau lebih proses pengolahan awal dan/atau pengolahan.walaupun, dalam beberapa kasus, hal ini dapat dilakukan tanpa proses pengolahan awal lain, kemudian menghilangkan kandungan air.

Matriks yang biasa digunakan untuk imobilisasi penukar ion bekas adalah semen, bitumen dan beberapa jenis polimer. Oleh karena yang terikat dalam polimer adalah radionuklida berumur panjang dan resin penukar ion merupakan senyawa organik, maka digunakan matriks polimer untuk imobilisasinya. Di beberapa negara, high integrity container digunakan untuk penyimpanan dan/atau disposal dari media penukar ion bekas, tampa menggunakan bahan matriks solidifikasi/imobilisasi (IAEA, 2002).

2.12. Imobilisasi menggunakan polimer

Imobilisasi resin penukar ion bekas dengan polimer umumnya digunakan pada kebanyakan instalasi pengolahan limbah. Perbedaan tipe polimer yang digunakan dan masih diperlukan riset lanjutan untuk menekan harga yang saat ini kurang efektif, proses yang lebih sederhana, dan kualitas produk yang lebih baik. Beberapa polimer yang digunakan untuk imobilisasi diantaranya dalah resin epoksi, poliester, polietilena, polistirena dan kopolimer, urea formaldehida, poliurethan, fenol formalehida dan polistirena (IAEA, 2002).

Polimer dibagi dalam dua kategori: polimer termoplastik dan polimer termoset. Polimer termoplastik menjadi lembut (meleleh) dengan penambahan pemanasan. Hal ini biasa ditambahkan dalam bentuk padat dan dipanaskan kemudian dikombinasikan dengan limbah. Polimer termoset ditangani dalam bentuk cair yang kemudian dipolimerisasikan menjadi bentuk padat menggunakan katalis dan/atau pemanas setelah limbah ditambahkan. Pengguanaan jenis termoset lebih populer


(35)

26 dikarenakan prosesnya dapat dilakukan pada temperatur kamar. Pada beberapa kasus sering digunakan imobilisasi metode batch dalam kontainer disposal (biasanya bentuk drum standar). Material penukar ion anorganik dan residu proses kedua seperti abu dan cairan umumnya tidak diimobilisasi dengan polimer karena lebih dapat menerima imobilisasi yang lain seperti semen. Setiap partikel resin dilapisi dengan material matriks. Pada beberapa kasus tidak ditemukan ikatan antara polimer dan resin (IAEA, 2002).

2.13. Parameter Pengujian 2.13.1. Penentuan Densitas

Densitas merupakan salah satu parameter blok polimer limbah yang dibutuhkan untuk memprediksikan keselamatan transportasi, penyimpanan sementara (interm storage), dan penyimpanan lestari. Densitas akan menjadi besar jika kandungan limbahnya juga besar. Hal ini disebabkan karena persentase radionuklida berat dalam polimer besar. Persentase kandungan limbah besar, persentase polimer kecil, sehingga densitas polimer besar. Densitas dari blok polimer limbah ditentukan dengan persaman :

 =

v m

...( 1 )

Dimana : ρ = densitas ( g/cm3 ) m = massa sampel ( gram ) v = volume sampel ( cm3 )


(36)

27

2.13. 2. . Penentuan Kuat Tekan

Kuat tekan adalah gaya maksimum yang dibutuhkan untuk menghancurkan benda uji dibagi dengan luas permukaan yang mendapat tekanan. Kuat tekan blok polimer limbah merupakan parameter penting untuk evaluasi karena jatuh atau mengalami benturan. Kuat tekan akan menjadi kecil apabila kandungan limbahnya besar. Dengan penambahan bahan Cs dan Ce. Yang bersifat rapuh, maka polimer- limbah yang terjadi menjadi rapuh dan kuat tekannya menurun. Kuat tekan dihitung dengan persamaan :

σ =

A Pmaks

...( 2 )

dimana :

σ = kuat tekan ( kN/cm2 ) A = luas penampang ( cm2 ) Pmaks = beban tekan maksimum ( kN )

2.13. 3. Penentuan Laju Lindih

Laju pelindihan merupakan salah satu karakteristik blok polimer limbah yang penting untuk mengevaluasi hasil imobilisasi, karena tujuan akhir imobilisasi limbah adalah memperkecil potensi terlepasnya radionuklida yang ada dalam polimer limbah itu ke lingkungan. Dalam hal ini dapat diasumsikan sebagai korosi, yaitu lepasnya unsur kerangka polimer sedangkan laju pelindihannya sendiri, yaitu lepasnya sejumlah unsur limbah dari blok polimer limbah. Pengujian ini menggunakan alat soxhlet pada suhu 1000C dan tekanan 1 atm. Dalam penelitian ini laju lindih ditentukan dengan mengukur Cs dalam air pelindih setelah diekstraksi selama 6 jam. Laju pelindihan akan semakin besar jika kandungan limbah juga besar. Hal ini dikarenakan konsentrasi radionuklida dalam rongga antara ikatan polimer semakin


(37)

28 besar sehingga perbedaan konsentrasi sebagai gaya dorong proses difusi menjadi lebih besar. Laju pelindihan dinyatakan dengan persamaan :

L =

t

A

W

.

...( 3 )

dimana : L = laju pelindihan ( g.cm-2.hari-1 ) W = berat Cs dalam air pelindih ( gram ) A = luas permukaan ( cm2 )

t = waktu lindih ( hari )

2.14. Analisis laju pelindihan dengan alat Atomic Absorption Spectrometry (AAS)

AAS merupakan salah satu cara analisis yang digunakan untuk menentukan unsur-unsur atau logam-logam contoh. Cara analisis ini dikembangkan oleh Walls tahun 1955. Metode AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Khopkar, 1990).

Cara analisis spektrofotometer serapan atom, baik dengan nyala maupun yang tanpa nyala mampu menentukan hampir semua unsur logam secara kuantitatif dengan kemampuan mulai dari konsentrasi besar maupun konsentrasi kecil (KLH-JICA, 2005).

2.14.1 Prinsip Dasar Analisis AAS

a. Metode flame

Prinsip dasar dari teknik Atomic Absorption Spectrometry (AAS) adalah elektron dalam suatu atom pada keadaan dasar menyerap energi cahaya pada panjang gelombang tertentu dan berubah ke tingkat energi yang lebih tinggi


(38)

29 (tereksitasi). Jumlah atom yang dilewati cahaya dan tereksitasi berbanding lurus dengan jumlah energi yang diserap. Dengan mengukur jumlah energi cahaya yang diserap dapat ditentukan jumlah atau konsentrasi atom elemen yang diuji dalam contoh ( Suryana, 2001)

Hubungan antara serapan yang dialami oleh sinar dengan konsentrasi analit dalam larutan standar bisa dipakai untuk menganalisi arutan sampel yang tidak diketahui yaitu dengan mengukur serapan yang diakibatkan oleh larutan sampel tersebut terhadap sinar yang sama ( KLH – JICA, 2005).

Hubungan antara konsentrasi atom logam dengan pengukuran cahaya yang diabsorbsi ditunjukkan dengan persamaan Lambert – Beer yang berbunyi :

“ Bla sebuah media dilewati cahaya yang transparan, maka cahaya akan diserap oleh media tersebut dimana nilai absorbannya sebanding dengan tebal dan kepekatan dari media “.

Dengan rumus sebagai berikut :

A = - log Ic / Io = Kv . d. C

Dimana :

A = Absorbansi

Io = Intensitas cahaya awal (erg/detik)

Ic =Intensitas cahaya setelah sebagian diabsorbsi oleh contoh (erg/detik)

Kv = Absortivitas molar-konstan (Liter.mol.cm) d = Tebal media (cm)


(39)

30

Gambar 4: Diagram blok dari AAS

b. Metode flameless (tanpa nyala)

Atomisasi tanpa nyala dilakukan energi listrik pada batang karbon yang biasanya tabung grafit. Contoh diletakkan dalam tabung grafit dan arus listrik dialirkan melalui tabung tersebut sehingga tabung dipanaskan dan contoh akan teratomisasikan. Temperatur tabung grafit dapat diatur dengan merubah arus listrik yang dialirkan, sehingga kondisi temperatur optimum untuk setiap macam contoh atau unsur yang dianalisa dapat dicapai dengan mudah.

2.14.2. proses Absorbsi

Dalam proses ini seberkas sinar yang intensitasnya sebesar Io dengan panjang gelombang tertentu (hv) melewati media pengabsorbsi yang terdiri dari atom. Bila ada atom yang mengabsorbsi energi cahaya tersebut maka energi yang diserap akan mengubah atom tadi menjadi atom yang tereksitasi, sedangkan energi yang tidak diserap akan terus melewati media sebagai sinar yang ditransmisikan.


(40)

31

2.14.3. Komponen-komponen AAS

1) Sumber Radiasi (lampu katode)

Sumber radiasi yang banyak digunakan adalah lampu katoda berongga, tabung yang bermuatan gas sumber radiasi yang baik adalah sumber radiasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) Memancarkan intensitas sinar dengan pita radiasi yang sempit b) Tidak mengabsorbsi sendiri

c) Tidak ada background yang kontinyu

Gambar sumber radiasi (lampu katode) ditunjukan pada Gambar 6.

Gambar 5: Sumber radiasi (lampu katode)

2) Atomizer

Alat ini berfungsi untuk mengubah unsur dalam larutan contoh menjadi bentuk kabut dimana akan dilakukan pengukuran absorbsi. Proses yang terjadi dalam atomisasi secara umum adalah :

a. Nebulasi yaitu pengubahan cairan ke dalam bentuk kabut aerosol b. Pemisahan titik-titik kabut dengan sebaran ukuran yang benar c. Pencampuran kabut dengan gas memasukannya ke dalam burner


(41)

32 Gas (biasanya oksigen untuk pembakar) dialirkan ke dalam spray chamber melalui venturi akibatnya cairan sampel terisap ke atas dan dialirkan ke dalam spray chamber. Titik air yang besar akan mengalir ke bawah sedangkan yang halus terus masuk ke dalam pembakar, diameter dari partikel-partikel biasanya lebih kecil dari 2 µm. Di dalam spray chamber kabut sampel dicampur dengan bahan kemudian dimasukkan ke dalam pembakar. Campuran bahan bakar dan oksigen harus diperhatikan dan disesuaikan dengan unsur yang dipakai.

Gambar 5. Nebulizer,burner &spray chamber (Christian,Gary D & James, E Oreilly, 1986)

3) Monokromator

Monokromator mempunyai fungsi mengisolasi sinar yang diperlukan (λ tertentu) dari sinar yang dihasilkan oleh lampu katoda, jadi bila ada beberapa panjang gelombang cahaya maka akan dilewatkan ke detektor yang hanya cahaya tertentu saja sedangkan yang lain diserap atau ditiadakan.

Dalam spektrofotometer serapan atom, sistem optik dimaksudkan untuk mengumpulkan cahaya dari sumbernya dilewatkan ke sampel kemudian ke monokromator.


(42)

33 4) Detektor

Detektor adalah alat yang dipakai untuk mengamati dan melaksanakan semua pengukuran cahaya. Alat tersebut mengubah energi cahaya menjadi energi listrik sehingga pengukuran menjadi lebih mudah. Detektor yang dipakai dalam AAS pada

umumnya adalah Photomultipier tube. Photomultipier tube menghasilkan sinyal listrik sebanding dengan intensitas cahaya pada panjang gelombang yang telah dipisahkan oleh monokromator.

5) Sistem Modulasi

Sistem ini digunakan untuk mencegah terukurnya pancaran cahaya yang berasal dari atom yang melepaskan energinya waktu kembali ke keadaan semula setelah tereksitasi.

Keuntungan metode AAS adalah sebagai berikut : 1.Spesifik, karena mudah dalam melakukan pengujian 2.Batas limit deteksi yang rendah

3.Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur yang berlainan dapat diukur 4.Pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap larutan contoh, jadi berbeda

dengan kolorimetri (yang membutuhkan pembentukan senyawa berwarna), gravimetrik (dimana endapan perlu dikeringkan terlebih dahulu), dan sebagainya, preparasi contoh sebelum pengukuran cukup sederhana.

5.Output data (absorban) dapat langsung dibaca

6.Dapat diaplikasikan kepada jenis unsur dalam banyak jenis 7.Batas kadar-kadar yang dapat ditentukan adalah amat luas


(43)

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Radioaktif Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN PUSPIPTEK Serpong, pada bulan September 2007 sampai dengan Maret 2008 kemudian diteruskan dengan analisis Cs terlindih di Labolatorium terpadu UIN Jakarta November 2008.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

Bahan- bahan yang digunakan adalah Resin Amberlite IR 120 Na yang merupakan resin penukar ion dari Rohm and Haas France S.A.S, poliester tak jenuh (YUKALAC 2252) dan katalis MEKPO (Metil Etil Keton Peroksida) dari PT. Justus Kimia Raya, cesium klorida ( CsCl ) dari Univar,cerium oksida ( CeO2 ) dari Sigma Chemical Co., glisin (H2NCH2COOH) dari Merck, natrium hidroksida( NaOH ) dari Merck, air bebas mineral.

3.2.2. Alat

Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antar lain : Paul weber untuk uji kuat tekan, soxhlet untuk uji lindih, pH meter, Atomic Absorption Spectrometry ( AAS ) dari Perkin Elmer dengan tipe A. analyst 700, blok cetakan polimer dengan diameter 0.65 cm dan tinggi 0,65 cm, neraca analitik.


(44)

35

3.3 Metode Kerja

Pada penelitian ini dilakukan tahap awal yaitu penjenuhan resin. Resin yang akan dijenuhkan terlebih dahulu dipilih dengan ukuran yang sama yaitu 40 mesh. Resin (Amberlite IR 120 Na) dimasukkan ke dalam larutan CsCl sebagai limbah simulasi, didiamkan hingga jenuh. Setelah itu resin disaring kemudian dikeringkan. Pada proses pengeringan ini digunakan oven dengan suhu tetap 100 oC. resin disini digunakan sebagai limbah simulasi.

Dalam pembuatan blok polimer ini dibutuhkan bahan pengungkung yaitu poliester tak jenuh (Yukalac 2252) yang dicampurkan dengan bahan pengeras (hardener) yaitu katalis MEKPO, bersifat asam kuat. Katalis yang digunakan 1 % dari jumlah poliester.

Sebagai perbandingan dibuat pula limbah cair simulasi dari campuran CsCl dan CeO2 dengan proses yang sama dengan limbah simulasi dari larutan CsCl murni. Limbah cair simulasi yang terbentuk dicampurkan dengan absorber dalam berbagai rasio berat limbah 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 %. Larutan tersebut diaduk sehingga homogen kemudian dicetak dalam tabung reaksi. Setelah terbentuk polimer padat, polimer dikeluarkan dari tabung reaksi kemudian dipotong-potong hingga ukurannya sama, dengan ukuran diameter sama dengan tinggi. Perbandingan komposisi polimer limbah ditunjukkan pada tabel 6.


(45)

36 Tabel 6. Perbandingan penambahan resin untuk masing-masing waste loading

dengan berat total 50 gram

Waste loading (%) Resin (gram) Resin poliester tak jenuh (gram)

Hardener (gram)

0 - 25 25

10 5 22,5 22,5

20 10 20 20

30 15 17,5 17,5

40 20 15 15

50 25 12,5 12,5

3.4. Metode Karakterisasi dan Analisis 3.4.1. . Pengujian Densitas

Pada pengujian densitas alat yang digunakan adalah jangka sorong, dengan mengukur tinggi dan diameter sampel, serta menimbang blok polimer limbah yang telah berulang-ulang dimasukkan ke dalam oven dan desikator hingga diperoleh berat konstan.

3.4.2 Pengujian Kuat Tekan

Pengujian kuat tekan dilakukan dengan alat Paul Weber(prinsip kerja alat menyerupai piston), dengan spesifikasi D.7064 Remshaiden-Grunbach. Dengan satuan kN dan skala terkecil 1 kN. Dengan demikian dapat diketahui seberapa kuat tekan blok polimer limbah tersebut.


(46)

37 Gambar 6. Alat Paul Weber Untuk Uji Kuat Tekan

3.4.3. pengujian laju lindih

Pengujian laju lindih digunakan alat soxhlet yang telah diatur suhu dan tekanannya, yaitu pada suhu 100 oC dan 1 atm. Uji ini dilakukan selama 6 jam, dengan mulai hitungan pada saat tetesan pertama mengenai blok polimer. Laju kondensasi pada soxhlet dijaga tetap pada 300 cm3/jam.

Gambar 7. Alat Soxhlet Untuk Uji Pelindihan

Langkah selnjutnya adalah untuk mendapatkan berat konstan dari blok polimer dengan cara dikeringkan dengan menggunakan oven, untuk menghilangkan kadar air


(47)

38 bebas dalam sampel. Untuk mengetahui Cs yang terlindih selama uji pelindihan dilakukan analisis air pelindih dengan menggunakan alat AAS.

3.4.4. Pengujian pengaruh pH terhadap laju pelindihan.

Pada pengujian pH ini dilakukan perlakuan yang sama dengan melakukan pelindihan tetapi pelarut yang digunakan berbeda. Untuk pH yang bersifat asam seperti pada pH 2 dan pH 5 digunakan glisin, sedangkan untuk yang bersifat basa digunakan pelarut NaOH. Untuk pH netral pH 7 dengan air bebas mineral. Setelah itu Cs yang terlindih dilakukan pengujian dengan menggunakan AAS. Pada pengujian pengaruh pH terhadap laju pelindihan blok polimer limbah direndam dalam air pelindih pada 1000C dan 1 atm.

Untuk melakukan pengujian dengan menggunakan AAS, terlebih dahulu dibuat larutan standarnya. Untuk pengujian unsur Cs, ditimbang sebanyak 1,267 gram CsCl, kemudian dilarutkan dalam 1 liter air bebas mineral sehingg diperoleh larutan standar induk Cs 1000 mg/liter. Di ambil 10 ml larutan standar induk Cs 1000 ppm, kemudian dilarukan dalam labu ukur 100 ml dengan menabahkan aquades sampai tanda garis. Sehingga didapatkan larutan standar dengan kadar 100 ppm. Dibuat derat standar Cs 0, 1, 3, dan 6 ppm dengan melarutkan masing-masing 0 ; 0,5 ; 1,5 ; dan 3 ml larutan standar Cs 100 ppm dengan aquades dlam labu ukur 50 ml.


(48)

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Imobilisasi Limbah Dengan Polimer

Polimer poliester tak jenuh dengan kandungan limbah 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 % berat. Dengan berat polimer sebesar 25 gram warna polimer tanpa kandungan limbah adalah berwarna putih. Dimana Semakin tinggi kandungan limbah dalam polimer warna polimer akan semakin kuning. Hasil polimer limbah diuji densitas, kuat tekan, dan laju pelindihanya.

Dalam penelitian ini reaksi polimerisasi yang dilakukan dengan proses curing

yang bersifat eksotermis, karena proses dapat dilakukan dengan peralatan yang sederhana dan biaya yang murah. Adapun dalam penelitian ini terjadi proses pertukaran ion yang menggunakan metode batch. hal ini dilakukan karena dengan mengginakan metode ini proses lebih mudah dilakukan, dan biaya lebih murah. Resin yang digunakan sebagai penukar ion adalah amberlite IR 120 Na yang memiliki kapasitas tukar kation 1,5 meq/g.

Pengamatan secara visual hasil imobilisasi limbah simulasi dengan polimer menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan limbah maka warna blok polimer – limbah hasil imobilisasi lebih kecoklatan, Sedangkan untuk polimer tanpa limbah tampak berwarna jernih. Hal ini dapat terjadi karena semakin banyaknya resin yang digunakan seiring dengan bertambahnya kandungan limbah.

Densitas ditentukan berkaitan dengan transportasi, disain tempat penyimpanan sementara, dan penyimpanan lestari. Kekuatan tekan ditentukan berkaitan dengan benturan atau jatuh pada saat transportasi dan penyimpanan. Adanya benturan, maka akan terjadi retakan atau pecah menjadi butir-butir kecil. Terjadinya butir-butir kecil


(49)

40 akan meningkatkan luas permukaan kontak dengan air yang menaikkan laju pelindihan.

Penentuan harga laju pelindihan dimaksudkan untuk mengetahui kualitas blok-polimer limbah yang dihasilkan. Serta untuk menentukan sejauh mana pelepasan radionuklida dari blok polimer limbah. Pelindihan dilakukan dengan alat soxhlet pada 1000C dan 1 atm selam 6 jam.

4.2. Pengaruh Kandungan Limbah Terhadap Densitas polimer

Hubungan kandungan limbah (Waste Loading) terhadap densitas blok polimer untuk limbah simulasi (Cs) ditunjukan pada Gambar 8 dan untuk limbah simulasi (Cs + Ce) pada Gambar 9.

0.8 0.9 1 1.1 1.2

0 10 20 30 40 50

Kandungan Limbah (%)

D en si tas ( g /cm 3)

Gambar 8. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs) terhadap densitas

0.8 0.9 1 1.1 1.2

0 10 20 30 40 50

Kandungan Lim bah (%)

D e n s it a s ( g /c m 3 )

Gambar 9. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap densitas.


(50)

41 Dari gambar grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) terhadap densitas, nilai densitas pada kandungan limbah awal 0 % adalah 0,8747 g/cm3 dan berturut-turut pada kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % adalah 0.9627, 0.9977, 1.0141, 1.0242, dan 1.1296 g/cm3 . dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa makin tinggi kandungan limbah, maka makin besar densitasnya. Hal tersebut karena persentase radionuklida yang massanya lebih besar dalam polimer makin besar. Persentase kandungan limbah besar, mengakibatkan persentase polimer kecil, sehingga densitas polimer besar. Semakin tinggi kandungan limbah maka makin banyak atom-atom yang massanya besar yaitu Cs yang terkandung dalam polimer, sedangkan polimer disusun dari atom-atom C dan H.

Pada Gambar 9, grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ) terhadap densitas, nilai densitas pada kandungan limbah awal 0 % adalah 0,8747 g/cm3 , nilai ini sama dengan nilai pada blok polimer ( Cs ) karena pada kandungan limbah 0 % belum dicampurkan dengan limbah simulasinya. Sedangkan nilai densitas untuk kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % berturut-turut nilai densitasnya adalah 1.0074, 1.0362, 1.0762, 1.1309, dan 1.1638 g/cm3 . hal ini dikarenakan persentase radionuklida yang massanya lebih besar dalam polimer makin besar. Persentase kandungan limbah besar, mengakibatkan persentase polimer kecil, sehingga densitas polimer besar. Semakin tinggi kandungan limbah maka makin banyak atom-atom yang massanya besar yaitu Cs dan Ce yang terkandung dalam polimer, sedangkan polimer disusun dari atom-atom C dan H.

Dari grafik pengaruh kandungan limbah simulasi antara limbah simulasi ( Cs ) dan limbah simulasi ( Cs + Ce ), densitas pada


(51)

42 kandungan limbah simulasi ( Cs ), hal ini dikarenakan adanya unsur Ce yang massanya jauh lebih besar dibandingkan unsur Cs yang memiliki massa 133.

4.3. Pengaruh Kandungan Limbah Terhadap Kuat Tekan Polimer Limbah

Selanjutnya hubungan kandungan limbah (waste loading) terhadap kuat tekan polimer untuk limbah simulasi (Cs) ditunjukkan pada Gambar 12, sedangkan hubungan kandungan limbah terhadap kuat tekan untuk limbah simulasi (Cs+Ce) ditunjukan pada Gambar 11.

4 6 8 10 12 14 16

0 10 20 30 40 50

Kandungan Lim bah (%)

K

u

at

T

ekan

(

k

N

/cm

2)

Gambar 10. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs) terhadap kuat Tekan

Pada grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) terhadap kuat tekan (Gambar 10). Makin tinggi kandungan limbah maka makin rendah kuat tekannya, akan tetapi kandungan limbah 0 % lebih kecil jika dibandingkan dengan kandungan limbah 10 %, hal ini kemungkainan disebabkan karena selongsong blok polimer yang agak renggang sehingga menjadi rapuh. Kuat tekan semakin turun jika kandungan limbahnya semakin besar, hal tersebut dikarenakan pengisian bahan Cs membentuk bahan komposit yang sifatnya rapuh dan rantai polimer yang terbentuk semakin pendek. Dengan rantai polimer yang semakin pendek dan volume limbah yang


(52)

43 semakin besr maka tiap lapisan rantai polimer tidak cukup untuk mengungkung limbah sehingga kuat tekan menjadi semakin menurun.

4 6 8 10 12 14 16

0 10 20 30 40 50

Kandungan Lim bah (%)

Ku

at

T

ek

an

(

kN/

cm2)

Gambar 11. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap kuat tekan

Pada grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ) terhadap kuat tekan (Gambar 11), dapat dilhat nilai kuat tekan pada kandungan limbah 0 % nilainya sama dengan pada pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) yaitu 7.5188 kN/cm 2 . sedangkan pada kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % masing-masing adalah 10.5263, 9.7744, 9.0225, 8.2707, dan 6.7669 kN/cm 2 . pada kandungan limbah 0 % nilai kuat tekannya juga lebih kecil jika dibanding pada kandungan limbah 10 % hal ini sama halnya dengan yang terjadi pada limbah simulasi ( Cs ) hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh selongsong blok polimer yang agak renggang sehingga menjadi rapuh. Kuat tekan semakin turun jika kandungan limbahnya semakin besar, hal tersebut dikarenakan pengisian bahan Cs + Ce membentuk bahan komposit yang sifatnya rapuh dan rantai polimer yang terbentuk semakin pendek. Dengan rantai polimer yang semakin pendek dan volume limbah yang semakin besr maka tiap


(53)

44 lapisan rantai polimer tidak cukup untuk mengungkung limbah sehingga kuat tekan menjadi semakin menurun.

Dari ke 2 grafik tersebut, pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) dan kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ) terhadap kuat tekan dapat dilihat perbedaan diantara keduanya yaitu kuat tekan pada kandungan limbah simulasi ( Cs ) lebih besar jika dibanding dengan kuat tekan pada kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ), hal ini disebabkan karena adanya unsur Ce yang lebih besar, yang menyebabkan blok polimer menjadi semakin rapuh.

4.4. Analisis kandungan limbah terhadap laju pelindihan limbah simulasi dalam polimer dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrometry).

Gambar 14.Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs) dengan menggunakan AAs

(atomic absorption spectrometry).

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

0 10 20 30 40 50 60

Kandungan limbah (%)

L a ju pel indi han ( g /c m 2 .h ar i)

Gambar 12. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs) dengan menggunakan AAS.

Pada kandungan limbh 0 % tidak dilakukan pengujian karena pada kandungan limbah 0 % tidak terdapat unsur Cs. Laju pelindihan pada kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % berturut-turut adalah 0.05, 0.09, 0.1889, 0.225, dan 0.2842 g/cm2 hari. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar kandungan limbahnya maka laju pelindihannya akan semakin besar pula. Hal ini disebabkan oleh adanya


(54)

45 proses difusi, yang dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi unsur dalam polimer dan larutan pelindih yang semakin besar.

Gambar 13. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrometry).

Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa laju pelindihan dipengaruhi oleh besarnya kandungan limbah dalam polimer. Pada laju pelindihan kandungan limbah 10 % yaitu 0.0403 g/cm2 hari, lebih kecil dibandingkan pada kandungan limbah 20 % sebesar 0.0659 g/cm2hari begitu seterusnya. Karena semakin tinggi kandungan limbahnya maka laju pelindihannya juga akan tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya proses difusi, yang dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi unsur dalam polimer dan larutan pelindih yang semakin besar.

Laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi ( Cs ) lebih besar jika dibandingkan dengan laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ), hal ini dikarenakan ada unsur selain unsur Cs yang terdapat pada Gambar 13, yaitu unsur Ce. Kandungan Cs dalam polimer pada Gambar 13 lebih besar jika dibandingkan Gambar 12, sehingga perbedaan konsentrasi dalam polimer dan dalam air pelindih lebih besar.

Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) dengan menggunakan AAs (atomic

absorption spectrometry) 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

0 10 20 30 40 50 60

Kandungan limbah (%)

L a ju p e lin d ih a n ( g /c m 2. ha ri )


(55)

46 Berdasarkan pertimbangan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan maka hasil terbaik adalah polimer dengan kandunganlimbah 20 % dan 30 %.

4.5. Pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah 20 %.

Pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah 20 % dapat dilihat pada Gambar 14 dan kandungan limbah simulasi (Cs + Ce) 20 % pada Gambar 15.

Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs)20% dengan menggunakan AAs

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

0 2 4 6 8 10 12 14

PH L a ju p e lin d ih a n ( g /c m 2 .h a ri)

Gambar 14. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs 20 %.

Pada Gambar 16, pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs 20 % dilakukan uji pH 2, pH 5, pH 7, pH 9, dan pH 12. dari data yang dihasilkan diperoleh data secara berturut-turut sebagai berikut : 0.1967, 0.1537, 0.09, 0.0738, dan 0.1291 g/cm2hari. Pada gambar di atas pada pH 2 laju pelindihannya sangat tinggi dan menjadi turun pada pH 5 dan konstan pada pH 7 karena bersifat netral, kemudian pada pH 9 terjadi penurunan walaupun hanya sedikit, akan tetapi pada pH 12 mengalami kenaikan tetapi laju pelindihannya tidak sebesar laju pelindihan pada pH 5. hal ini dikarenakan Laju


(56)

47 pelindihan di daerah asam lebih tinggi dari pada di daerah netral ≈ pH 7. Hal ini disebabkan karena pada pH asam blok polimer korosif, yaitu rantai polimernya rusak, sehingga Cs lebih banyak lepas. Demikian pula didaerah basa lebih korosif daripada di daerah netral sehingga laju pelindihan di daerah basa lebih tinggi daripada di daerah netral. Di daerah asam laju pelindihannya lebih tinggi daripada didaerah basa, karena daerah asam lebih korosif dibanding daerah basa.

grafik pengaruh kandungan limbah (Cs+Ce) terhadap PH pada kandungan limbah 20%

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2

0 2 4 6 8 10 12 14

PH L a ju p e lin d ih a n ( g /c m 2 .h a ri )

Gambar 15. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dan Ce dalam polimer limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs dan Ce 20 %.

Pada gambar di atas dapat dilihat laju pelindihan paling tinggi adalah pada pH 2 yaitu sebesar 0.1834 g/cm2hari. Adapun nilai laju pelindihan pada pH 5, pH 7, pH 9, dan pH 12 berturut-turut adalah sebagai berikut : 0.1295, 0.0659, 0.0510, dan 0.0801 g/cm2hari. Hal ini dikarenakan Laju pelindihan di daerah asam lebih tinggi dari pada di daerah netral ≈ pH 7. Hal ini disebabkan karena pada pH asam blok polimer korosif, yaitu rantai polimernya rusak, sehingga Cs lebih banyak lepas. Demikian pula didaerah basa lebih korosif daripada di daerah netral sehingga laju pelindihan di daerah basa lebih tinggi daripada di daerah netral. Di daerah asam laju pelindihannya


(57)

48 lebih tinggi daripada didaerah basa, karena daerah asam lebih korosif dibanding daerah basa.

Pada pengujian pH terhadap laju pelindihan dengan menggunakan instrument AAS, blok polimer yang digunakan adalah blok polimer dengan kandungan limbah 20 % bukan pada kandungan limbah 30 %. Hal ini di lakukan dengan pertimbangan bahwa pada kandungan limbah 30 % blok polimer agak rapuh sehingga yang digunakan untuk pengujian pH terhadap laju pelindihan adalah kandungan limbah 20 %. pada kandungan limbah simulasi Cs lebih besar dibandingkan dengan kandungan limbah simulasi (Cs + Ce) hal ini dikarenakan pada limbah simulasi (Cs + Ce), kandungan Cs nya lebih sedikit karena ada unsur lain di dalamnya yaitu Ce. Adapun pengujian terhadap kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ) tidak dilakukan, unsur Ce tidak dapat dideteksi dikarenakan pada instrument AAS tidak terdapat program untuk menganalisis unsur Ce.


(58)

49

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di BAB IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Semakin besar kandungan limbah, maka semakin besar pula densitasnya. 2. Semakin besar kandungan limbah, maka semakin kecil kuat tekannya. 3. Semakin besar kandungan limbah, maka semakin besar laju pelindihannya. 4. Semakin asam pH maka laju pelindihannya akan semakin tinggi.

5. Laju pelindihan pada pH asam > pH basa > pH netral

Berdasarkan pertimbangan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan, pengaruh pelindihan terhadap pH maka dapat disimpulkan bahwa hasil terbaik diperoleh untuk blok polimer dengan kandungan limbah Cs + Ce dan Cs pada kandungan limbah 20 % dan 30 %. Karena pada blok polimer dengan kandungan limbah yang lebih besar blok polimer lebih rapuh. Pada saat pengujian pengaruh laju pelindihan terhadap pH dapat dilihat bahwa pada pH asam laju pelindihan sangt tinggi hal ini dikarenakan menglami korosif sehingga laju pelinihannya tinggi.

5.2. Saran

Pada penelitian dengan metode ini dapat diperoleh komposisi polimer-limbah yang terbaik, dan dapat digunakan untuk proses berikutnya. Untuk mengetahui unsur yang terlindih atau rantai polimer yang terkorosi perlu dilakukan analisis larutan hasil pelindihan.


(59)

50

DAFTAR PUSTAKA

_____. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia No.10 tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran. Unit jaringan dokumentasi dan informasi hukum BATAN. Jakarta

Austin, George T. 1996. Industri Proses Kimia. jilid 1. alih bahasa: Jasifi. Jakarta ;Erlangga

Anonim. www.republika.co.id/2007/07/03/amankah limbah nuklir kita.

Aisyah. 2004. Pengaruh Keasaman dan Kandungan Limbah Pada Imobilisasi Limbah TRU dari Instalasi Radiometalurgi Dengan Polimer. hasil penelitian pusat pengembangan pengelolaan limbah radioaktif 2003. P2PLR. Jakarta

BATAN. 1998. Pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Atomos tahun VII No. 1. Jakarta; Pusat Permasyarakatan IPTEK Nuklir dan Kerja Sama. BATAN. 1997. prosiding pertemuan dan persentasi Teknologi Pengolahan Limbah 1.

serpong. Pusat Trknologi Pengolahan Limbah Radioaktif.

Choppin, G.R & Rydberg, J. 1980. Nuclear Chemistry. Oxford, Inggris; Pergamon Press.

Collins, J.C. 1960. Radioactive Waste. London, Inggris; E. & F. N. Spon Limited. Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Alih Bahasa: Harry Firman. Bandung; Penerbit

ITB.

Cotton,f albert, wilkinon,Geoffrey. 1989. kimia anorganik dasar. Jakarta; UI press Darussalam, M. 1996. Radiasi dan Radioisotop Prinsi dan Penggunaannya dalam

Biologi, Kedokteran dan Pertanian. Bandung; Penerbit Tarsito Bandung Day, D.H. 1985. Atom. 341. 11

Ewing, G. W. 1985 . Instrumental Methods of Chemical Analysis. Fifth Edition. McGraw Hill Book Company. New York.

IAEA. 1979. Characteristics Of Solidified High Level Waste Products. Technical report no. 187. Vienna. Amphlett, C.B. 1961. Radioactive Waste. London, Inggris; Pergamon Press.

IAEA. 1985. Chemichal Durability and Related Properties of Solidified High Level Waste Form. Technical Report Series No. 257. Vienna, Austria; IAEA


(60)

51 IAEA. 1988. Immobilization of Low and Intermediate Level Radioactive Waste With

Polymer. Technical report series no.289. Vienna.

IAEA. 2002. Application of Ion Exchange Processes for The Treatment of Radioaktive Waste and Management of Spent Ion Exchangers. Technical Reports Series No. 408. Vienna,Austria; IAEA.

IAEA. 2003. Spent Fuel Performance Assement and research. TECDOC-1343. International Atomic Energy Agency. Vienna.

. Juda D,K. http:/gdl.its.ac.id/2005/07/18/Pengaruh metil etil keton peroksida (MEKPO) terhadap sifat mekanik komposit beton polimer yang terbuat dari polietilentereftalat (PET) hasil daur ulang.

KLH-JICA. 2005. Optimalisasi Penggunaan Spektrofotometer Serapan Atom dan Spektrofotometer UV-VIS. ASDEP SARPEDAL, Serpong.

Khopkar. S.M.. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press, Jakarta

Las, Thamzil. 1989. Use of Natural Zeolite for Nuclear Waste Treatment. PhD Thesis. United Kingdom; Departement of Chimestry and Applied Chimestry University of Salford.

Lubis, erwansyah. http://www.batan.go.id/desember 2003/ Keselamatan Radiasi Lingkungan dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia.

Marsahall, W. 1981. Nuclear Power Technology. Oxford, Inggris; Clarendon Press. Martono, H. 1997. Status Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Limbah

Aktinitas Tinggi di Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Teknologi Pengolahan Limbah I, BATAN, Serpong.

Martono, H. 2007. Pengelolaan Limbah Aktivitas Tinggi dan Trans-uranium. Pendidikan dan Pelatihan Pengolahan Limbah Radioakif, BATAN; Serpong. Martono,H; Aisyah; Wati. 2007. Pengolahan Limbah Cair Hasil Sampling Pengujian

Bahan Bakar Pasca Iradiasi dari Instalasi Radiometalurgi. Serpong; BATAN, PTLR.

Martono H. 1997. Pengelolaan Limbah Aktivitas Tinggi di Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif. Prosiding pertemuan dan persentasi ilmiah teknologi pengolahan limbah I. BATAN. Serpong

Martono H. 1996. Bahan Matriks Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif Cair. Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif. BATAN. Serpong. Jakarta

Martono H. 1988. Characterization Of Waste Glass and Treatment Of High Level Liquid Waste. Tokai works. Japan


(61)

52 Martono, H; Danu,S. 1994. Imobilisasi Limbah Cair Trans-uranium Simulasi dengan Poliester Stiren Secara Iradiasi Sinar Gamma. Hasil Penelitian Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif 1993/1994. Serpong; BATAN. Martono, H; Wati. 2007. Karakteristik Laju Pelindihan Gelas-Limbah. Prosiding

Seminar Nasional XVI “Kimia dalam Industri dan Lingkungan”. Yogyakarta. Miyasaki, S et al. 1996. Japan Experiences in The Fundamental Management of

Radioactive Wastes. Jakarta; BATAN – JEPIC Seminar.

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Petrucci H,Ralph. 1987. Kimia dasar prinsip dan terapan modern. Jilid 1. Jakarta;

Erlangga

P2TBU. 2001. Laporan Analisa radioaktivitas Unsur dari Radiometalurgi. P2TBU. Serpong.

R. Holman, and F. Oldring. 1988. UV & EB Curing Formulation For Printing Inks, Coating & Paints. SITA. London

Shirai, E. 1993. Nuclear Fuel Cycle. Japan electric power information center. Japan SNFS. 1983. Final Storage Of Spent Nuclear Fuel-KBS-3. Swedish nuclear fuel

supply company. Stockholm.

Steven, Malcolm P. 2001. Kimia Polimer. Alih bahasa: Lis Sopyan. Jakarta; Pradnya Paramita.

Surdia tata,Ir.M.S.Met E ; saito shinroku, Prof.Dr. 1992. pengetahuan bahan teknik.

Jakarta; pradnya paramita.

Suryana, Nana. 2001. Teori Instrumentasi dan Teknik Analisa dengan Spektrofotometer Serapan Atom. Pusat Pengujuan Mutu Barang, Jakarta.

Sutarti, Musri & Rachmawati, Minta. 1994. Zeolit: Tinjauan Literatur. Jakarta; Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI.

Sutarti, Musri dan Rachmawati,Minta. 1994. Zeolit: Tinjauan literatur. Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-LIPI

Wati. 1992. Pengaruh Komposisi, Waktu dan Keasaman Terhadap Ketahanan Kimia Gelas Limbah. Pusat pendidikan dan latihan BATAN. Yogyakarta.


(62)

53

Lampiran 1. Pengelolaan Limbah Aktivitas Tinggi dan Transuranium (TRU)

Limbah aktivitas tinggi/tru dari hasil pengujian bahan bakar pasca iradiasi (cair/padat)

Limbah Cair Aktivitas Tinggi/TRU dari hasil pelarutan bahan bakar pasca

iradiasi

Limbah Cair Limbah Padat

Karakterisasi Kajian pengelolaan

Karakterisasi Imobilisasi limbah simulasi dengan polimer

Karakterisasi Imobilisasi limbah simulasi dengan polimer

Proses pretreatment Imobilisasi limbah simulasi


(63)

54

Lampiran 2.Bagan Cara Kerja

Pembuatan limbah simulasi

Dicampur dengan resin penukar ion

Dicampur dengan polimer dengan variasi waste loading

Resin dikeringkan

Dimasukkan dalam blok cetakan

Densitas

Pengujian

Kuat Tekan Laju Pelindihan

Analisis air pelindih dengan SSA

Ditimbang sampai berat konstan

Dalam oven pada 110ºC Jenuh

Rasio optimum ditentukan


(1)

55 Lampiran 3. Tabel komposisi berat limbah Cs atau Cs+Ce dan resin.

Kandungan Limbah (%)

Poliester tak jenuh (gram)

Resin (gram) Katalis

0 25 0 0.25

10 22.5 2.5 0.225

20 20 5 0.2

30 17.5 7.5 0.175

40 15 10 0.15

50 12.5 12.5 0.125

Lampiran 4. Tabel densitas limbah simulasi Kandungan

limbah (%)

Volume Berat awal limbah

(Cs)

Densitas (Cs) (g/cm3)

Berat awal limbah (Cs+Ce)

Densitas (Cs+Ce) (g/cm3)

0 1.7262 1.5184 0.8747 1.51 0.8747 10 1.7262 1.6619 0.9627 1.7390 1.0074 20 1.7262 1.7223 0.9977 1.7887 1.0362 30 1.7262 1.7505 1.0141 1.8577 1.0762 40 1.7262 1.7680 1.0242 1.9522 1.1309 50 1.7262 1.9499 1.1296 2.0089 1.1638

Volume tabung : V = π x r2 x t

= 3.14 x 0.65 cm x 0.65 cm x 1.3 cm = 1.7262 cm3


(2)

56 Lampiran 5. Tabel kuat tekan limbah simulasi

Kandungan Limbah

(%)

Limbah simulasi (Cs)

Pmaks (kN)

Kuat tekan (Cs) (kN/cm2)

Limbah simulasi (Cs+Ce) Pmaks (kN)

Kuat tekan (Cs+Ce) (kN/cm2)

0 10 7.5188 10 7.5188

10 20 11.2782 14 10.5263

20 19 14.2857 13 9.7744

30 18 13.5338 12 9.0225

40 17 12.7819 11 8.2707

50 14 10.5263 9 6.7669

Dimana A = π x r2

= 3.14 x 0.65 cm x 0.65 cm = 1.327857 cm2

Lampiran 6. Tabel laju pelindihan limbah simulasi (Cs) Kandungan

limbah (%)

W0

(gram)

Wt (gram) Laju pelindihan

(g/cm2 hari)

0 1.51 1.4529 0.0339

10 1.6619 1.5874 0.0442 20 1.7223 1.5708 0.0899 30 1.7505 0.9598 0.4696 40 1.7680 0.7852 0.5837 50 1.9499 0.9580 0.5890


(3)

57 Lampiran 7. Tabel laju pelindihan limbah simulasi (Cs+Ce)

Kandungan limbah (%)

Wo (gram)

Wt (gram) Laju pelindihan

(g/cm2 hari) 0 1.51 1.4529 0.0339 10 1.7390 1.2745 0.2759 20 1.7887 1.2214 0.3369 30 1.8577 0.5060 0.8027 40 1.9522 0.2140 1.0323 50 2.0089 0.2555 1.0414

Dimana, waktu yang digunakan selama laju pelindihan yaitu 6 jam (0.25 hari). A = (π x r2) + (2 x π x r) + (π x r2)

= (3.14 x 0.65cm x 0.65cm) + (2 x 3.14 x 0.65cm) + (3.14 x 0.65cm x 0.65cm)

= 6.7353 cm3

Lampiran 8. Data laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi Cs dengan alat AAS ( Atomic Absorption Spectrometry )

Kandungan limbah (%)

Cs yang terlucut

(mg/l) laju pelindihan (g/cm² hari)

10 167,5 0,0499

20 302.6 0,09

30 634,6 0,1889

40 756 0.225


(4)

58 Lampiran 9. Data Laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce)

dengan alat AAS ( Atomic Absorption Spectrometry )

Kandungan limbah (%)

Cs yang terlindih

(mg/l) laju pelindihan (g/cm² hari)

10 135,6 0.0403

20 221.4 0.0659

30 551,4 0.1641

40 675,8 0.2011

50 885,4 0.2635

Lampiran 10. Data pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) Terhadap pH

PH

Cs yang

terlindih (mg/l) Laju Pelindihan (g/cm² hari)

2 132,2 0.1967

5 103,3 0.1537

9 49,6 0.0900

12 86,8 0.1291

Lampiran 11. Data pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs+Ce ) Terhadap pH

PH

Cs yang

terlindih (mg/l) Laju Pelindihan (g/cm² hari)

2 123.24 0.1834

5 87,02 0.1295

9 34,27 0.0659

12 53,8 0.0801

Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Cs

Konsentrasi Cs (mg/l) Emisi

0 0,0

1 0,9 3 2,9 6 6,1


(5)

59 y = 1.0214x - 0.0786

R2 = 0.9992

0 1 2 3 4 5 6 7

0 1 2 3 4 5 6 7

Konsentrasi

Em

is

i

Lampiran 13. Kondisi operasional SSA

Panjang gelombang 852,5 nm

Flame Udara 17,0 l/menit Asetilen 2,0 l/menit

Slit 0,2 nm

Slit width (nm) 0,7 H


(6)

60

Basket tempat Sampel Laju alir pada saat Pelindihan Lampiran 15. Sampel sebelum dan sesudah uji

Sampel sebelum pengujian

Sampel setelah uji kuat tekan