b. Hadiah
Hadiah dapat menjadi motivasi yang kuat, dimana siswa tertarik pada bidang tertentu yang akan diberikan hadiah. Tidak demikian jika hadiah
diberikan untuk suatu pekerjaan yang tidak menarik menurut siswa.
c. Kompetisi
Persaingan, baik yang individu atau kelompok, dapat menjadi sarana untuk meningkatkan motivasi belajar. Karena terkadang jika ada saingan, siswa
akan menjadi lebih bersemangat dalam mencapai hasil yang terbaik. d.
Ego-involvement Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas
dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Bentuk kerja keras siswa
dapat terlibat secara kognitif yaitu dengan mencari cara untuk dapat meningkatkan motivasi.
e. Memberi Ulangan
Para siswa akan giat belajar kalau mengetahui akan diadakan ulangan. Tetapi ulangan jangan terlalu sering dilakukan karena akan membosankan
dan akan jadi rutinitas belaka. f.
Mengetahui Hasil Mengetahui hasil belajar bisa dijadikan sebagai alat motivasi. Dengan
mengetahui hasil belajarnya, siswa akan terdorong untuk belajar lebih giat. Apalagi jika hasil belajar itu mengalami kemajuan, siswa pasti akan
berusaha mempertahankannya atau bahkan termotivasi untuk dapat meningkatkannya.
g. Pujian
Apabila ada siswa yang berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka perlu diberikan pujian. Pujian adalah bentuk reinforcement yang positif dan
memberikan motivasi yang baik bagi siswa. Pemberiannya juga harus pada
waktu yang tepat, sehingga akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi motivasi belajar serta sekaligus akan membangkitkan
harga diri. h.
Hukuman Hukuman adalah bentuk reinforcement yang negatif, tetapi jika diberikan
secara tepat dan bijaksana, bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman tersebut.
4. Pengaruh Sikap Otoriter Orang Tua terhadap Motivasi Belajar Siswa
Ada beberapa pendekatan yang dapat diikuti orang tua dalam berhubungan dengan dan mendidik anak-anaknya. Salah satu diantaranya
adalah sikap dan pendidikan otoriter. Biasanya mengambil sikap otoriter dan memperlakukan maupun mendidik anak secara otoriter dimaksudkan “demi
kebai kan anaknya”. Orang tua mempunyai cita-cita yang tinggi untuk anaknya,
dan jika anak menuruti segala perintah orang tuanya, anak akhirnya akan menemukan kebahagiaan. Demikian fikiran orang tua.
Tetapi dalam kenyataannya, anak yang dibesarkan dirumah yang bersuasana otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan
orang tua. Orang tua yang menghendaki anaknya mencapai sesuatu yang dicita-citakan, biasanya berfikir bahwa anaknya juga mempunyai kemampuan
untuk mencapai cita-cita itu, meskipun dalam kenyataannya sering tidak demikian. Sering kali orang tua menekan anaknya untuk membaca atau
mempelajari hal-hal yang menarik perhatian orang tua. Anak harus mendapat nilai yang tinggi di buku rapornya, anak harus dapat main musik, dan
sebagainya. Ada berbagai redaksi anak terhadap perlakuan orang tua demikian.
Anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi mampu memenuhi kehendak orang tua , akan terbiasa dengan cara berfikir dan cara hidup yang
sesuai dengan cita-cita orang tua yang ditanamkan sejak kecil. Kebiasaan yang mengarah ke peningkatan semangat untuk mencapai sesuatu yang tinggi dalam
hidup itu mendorongnya untuk bekerja keras, untuk menjadikan kenyataan-
kenyataan cita-cita orang tuanya. Kadang-kadang anak macam ini dapat mencapai apa yang di inginkan orang tuanya, atau setidak-tidaknya mendekati
apa yang diharapkan orang tuanya; tetapi ia belum tentu bahagia, sebab arah tujuannya tidak merupakan pilihannya sendiri. Anak yang kurang mampu
merealisasi tujuan orang tuanya, akan merasa tertekan. Ia dapat berkembang menjadi anak yang canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir,
bimbang dan bahkan menjadi labil. Anak dari golongan ini mudah lari keperbuatan menyontek, berbuat tidak jujur, berontak terhadap orang tuanya
secara tersembunyi, atau menjadi anak yang apatis.
31
Dalam kitab Al- Muqaddimah hal. 619 pada pasal “Kekerasan terhadap
Anak ”, Ibnu Khaldun berpendapat; bahwa pengajaran yang dilakukan dengan
cara yang keras dan kaku bias membahayakan bagi keberadaan anak, terutama pada masa anak-anak, karena hal itu merupakan kebiasaan yang jelek. Barang
siapa yang mendidik anak-anak dengan cara keras dan kejam, mereka akan menjadi manusia yang senantiasa merasakan tekanan-tekanan, berkembang
dengan jiwa yang
menyesakkan, menghilangkan jiwa dinamisnya, menimbulkan jiwa-jiwa yang malas, serta memunculkan prilaku-prilaku yang
bohong dan jelek. Juga senantiasa bersikap pura-pura karena mereka takut akan munculnya tangan-tangan atau sikap kekerasan; dan sikap itu akan menjadi
kebiasaan bagi mereka, maka sepantasnyalah hubungan antara murid dengan gurunya atau orang tua dengan anaknya dilakukan dengan tidak secara otoriter
dalam mendidiknya. Pendapat Ibnu Khaldun dapat dipahami bahwa kekerasan dan sikap
otoriter dalam bergaul dengan anak-anak adalah sangat membahayakan, dan bisa mengakibatkan pada penderitaan dan kenakalan mereka, serta bisa
menumbuhkan prilaku yang bohong, jahat, penipu, dan juga sikap yang berpura-pura, sehingga menjadi kebiasaan prilaku sehari-hari mereka.
32
Dengan memperhatikan uraian di atas, kita lihat bahwa kepribadian anak terbentuk dan berkembang dengan pengaruh yang diterimanya sejak kecil,
31
Kartini Kartono, Peran Keluarga Memandu Anak ……h. 97-98
32
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi press, 1996, Cet. I, h. 108-109