Hubungan kecerdasan emosional dengan akhlakul karimah siswa di MTS. Al-Hidayah Bekasi

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN AKHLAKUL KARIMAH SISWA DI MTS. AL-HIDAYAH BEKASI

Skripsi ini diajukan untuk syarat memperoleh gelar Sarjana Pembimbing: Dra. ZIKRI NENI ISKA, M. Psi

SITI KHADIJAH, M. A

Disususn Oleh: DIDI AHMAD MURSIDI

206011000035

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

i

ABSTRAK

Nama : Didi Ahmad Mursidi Nim : 206011000035

Prodi : Pendidikan Agama Islam

Masalah-masalah emosional kurang mendapat perhatian serius dari para konseptor pendidikan dan pemerhati pendidikan selama ini, bahkan hal ini berdampak pada rendahnya kecerdasan emosional siswa. Di samping itu, siswa juga menghadapi problema yang menyangkut agama dan budi pekerti, karena ketegangan-ketegangan emosi, peristiwa yang menyedihkan dan keadaan yang tidak menyenangkan, sehingga berpengaruh besar dalam sikap siswa terhadap masalah-masalah agama dan akhlak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan kecerdasan emosional dengan akhlakul karimah siswa. Sekolah yang dipilih adalah MTs. Al -Hidayah Jati Asih kota Bekasi. Pengumpulan data dilakukan melalui angket. Angket diberikan kepada siswa. Dari populasi 171 siswa yang telah dipilih menjadi sampel sebanyak 30 siswa, dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cara acak (Random Sampling) artinya setiap populasi mempunyai kesempatan untuk dijadikan sampel.

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode analisis korelasional, yaitu untuk memperoleh data, fakta dan informasi yang akan mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan yang ada dalam penelitian. Dengan demikian, untuk mendapatkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan penulis menyebarkan angket yang ditujukan kepada siswa kelas 8a, 8b, dan 8c angket tersebut terdiri dari 30 item pertanyaan untuk kecerdasan emosional dan 30 item pertanyaan untuk akhlakul karimah.

Dengan memperhatikan besarnya

r

xy yaitu 0,907 dengan data tabel besarnya 0,701 berarti antara variabel X dan variabel Y terdapat hubungan yang kuat sekali. Sehingga hipotesis alternatif (Ha) disetujui atau diterima. Berarti memang benar antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi positif.

Dari hasil yang dilakukan melalui questioner yang disebarkan pada siswa terungkap bahwa dalam kaitannya kecerdasan emosional dengan akhlakul karimah siswa terdapat hubungan yang signifikan, berarti siswa telah memiliki kecerdasan emosional yang cukup baik sehingga dapat meningkatkan akhlakul karimah siswa di MTs Al Hidayah Kota Bekasi.


(5)

ii

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Sembah dan sujud kepada Allah yang Maha Kuasa yang telah menciptakan bumi beserta isinya, serta syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah, karena dengan rahmat dan hidayahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya serta para pengikut yang setia.

Dalam penulisan skripsi ini sudah sepantasnya penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya skripsi ini. Ucapan terimaksih tersebut penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Bahrissalim, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Sapiudin Shidiq M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Zikri Neni Izka M.Psi dan Siti Khadijah M.A Dosen Pembimbing Skripsi, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan arahan dan nasehat bagi penulis selama menyusun skripsi ini. 5. Seluruh dosen staf pengajar Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan selama dalam perkuliahan.


(6)

iii

6. Pengelola Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi pustaka.

7. Kepala MTs Al Hidayah Kota Bekasi beserta stafnya, atas kesempatan dan informasi yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian. 8. Ayahanda H. Ma’arif (Alm.) dan Ibunda H. Erni yang tercinta, yang telah

berjuang dan berkorban untuk membesarkan, mendidik, dan tidak lupa pula mendoakan sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Jakarta.

9. Kepada seluruh keluarga besar, kakanda terkasih H. Sa’diyah, Nurali, Siti Salmah, Aliyah, Siti Rojula S.E, Siti Rohmani S.Sos.I, Imron Rosyadi. yang juga tiada hentinya memberikan kasih sayangnya dan motivasi kepada penulis. Serta keponakan-keponakanku yang selalu menghibur penulis dikala suka dan duka.

10.Semua sahabat-sahabatku di HMI, KOMTAR, UKM Pramuka, BEM-NR, serta sahabat-sahabatku seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan kawan-kawan mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Non Reguler kelas A dan B angkatan 2006 terimaksih atas doa, bantuan dan dukungannya.

Saran dan kritik sangat penulis butuhkan demi kebaikan penulisan skripsi, karena penulis yakin dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya hanya kepada Allah swt jualah penulis serahkan, semoga jasa baik yang telah mereka sumbangkan menjadi amal sholeh dan mendapat balasan dari Allah swt, amien. Kurang lebihnya penulis mohon maaf. Wallahu’alam bishowab.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ciputat , 25 Juni 2011


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II : LANDASAN TEORITIS HAKEKAT KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan ... 8

2. Pengertian Emosi... 11

3. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 14

4. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam ... 18

5. Wilayah Utama Kecerdasan Emosional ... 25

B. Akhlakul Karimah Siswa 1. Pengertian Akhlakul Karimah ... 27

2. Pembagian dan Macam-macam Akhlakul Karimah ... 31

3. Metode Pendidikan Akhlak ... 43

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukkan Akhlak ... 44

C. Kerangka Berpikir ... 46

D. Hipotesis ... 48

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 49

B. Populasi Dan Sampel ... 50

C. Takhnik Pengumpulan Data ... 51


(8)

E. Tekhnik Analisa Data ... 55

F. Variabel Penelitian ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum MTs. Al Hidayah Jati Asih Kota Bekasi ... 59

B. Deskripsi data ... 60

C. Analisa dan interprstasi data ... 61

1. Analisis Data ... 63

2. Interprestasi Data ... 66

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

DAFTAR PUTAKA ... 71


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memiliki peran penting dalam rangka memelihara eksistensi setiap bangsa di dunia sepanjang masa. Pendidikan sangat menentukan bagi terciptanya peradaban masyarakat yang lebih baik. Untuk itulah perwujudan masyarakat yang berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri, dan berdaya saing dengan bangsa-bangsa di dunia.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, menyatakan tentang pentingnya proses belajar mengajar untuk menjadikan masyarakat yang baik sesuai dengan tujuan undang-undang tersebut. Pernyataan tersebut tertuang pada pasal 1 ayat (1), BAB Ketentuan Umum: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,


(10)

2

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”1

Tujuan utama pendidikan ialah mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Sehingga terjadi suatu hubungan baik antara masing-masing kecakapan yang menjadi tujuan dari pendidikan tersebut. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, namun disisi lain mengesampingkan pengembangan sikap atau nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Penyelenggaraan pendidikan dewasa ini terlihat lebih menekankan pada segi pengembangan intelektual peserta didik, dan masyarakat kita pada umumnya beranggapan bahwa hanya dengan kecerdasan intelektual seorang anak mampu menghadapi tantangan era globalisasi di masa depan.

Masalah-masalah emosional kurang mendapat perhatian serius dari para konseptor pendidikan dan pemerhati pendidikan lainnya selama ini, bahkan hal ini berdampak pada rendahnya kecerdasan emosional siswa. Para tokoh dan akademisi pendidikan cendrung meremehkan dan memarjinalkan pengaruh emosional dalam kehidupan belajarnya, kaum akademisi saat ini seakan-akan meyakini otaknya sebagai satu-satunya kekuatan yang paling dominan dalam belajar. Padahal itu juga belum tentu yang terbaik.

Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi atau ber-IQ tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah

1

Departemen Agama RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Thun 2003 tentang Sisdiknas (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006) h. 46


(11)

3

frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress.

Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau gelisah. Mereka berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk memikul tanggung jawab, dan mempunyai pandangan moral; mereka simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan mereka, bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, dan memandang dirinya sendiri secara positif, mudah bergaul, dan ramah, serta mereka mampu menyesuaikan diri dengan beban stress. 2

Kegoncangan pada remaja tersebut menimbulkan berbagai keresahan yang menyebabkan labilnya pikiran, perasaan, dan kemauannya. Di samping itu, remaja juga menghadapi problema yang menyangkut agama dan budi pekerti, karena ketegangan-ketegangan emosi, peristiwa yang menyedihkan dan keadaan yang tidak menyenangkan, mempunyai pengaruh besar dalam sikap remaja terhadap masalah-masalah agama dan akhlak.

Akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa oleh manusia sejak lahir dan tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik atau buruk sesuai dalam pembinaannya.3 Jadi, pada hakekatnya akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian.

Demikian pentingnya akhlakul karimah dalam kehidupan manusia sehingga dalam agama Islam banyak disebutkan dalam al-Qur‟an dan Hadits, diantaranya yaitu:

2

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional alih bahasa Hermaya T. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) h. 60-61

3


(12)

4                                    ) لحّلا : 94 (

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.4

ًاقلخ ْ ّسْحأ ًاناّْيإ نْيّمْ ّلا لّْكأ

)

ي م تلا ا

(

Artinya : “ Orang mukmin yang sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (Hadits Riwayat Turmudzi). 5

قاْخأا اكم ِّتأل تثعب اَّنإ

)

دّحأ ا

(

Artinya: “Bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti” (Hadist Riwayat Ahmad). 6

Dari ayat al-Qur’an dan Hadits diatas dapat dipahami bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad dan menentukan agama Islam sebagai agamamu (manusia), maka hiasilah agama itu dengan akhlakul karimah atau akhlak mulia.

Sikap acuh tak acuh remaja terhadap akhlak merupakan fenomena yang timbul akibat dari konflik dan pertentangan jiwa remaja dalam kehidupannya baik pada dirinya sendiri, maupun yang terjadi pada masyarakat umum, baik di sekolah maupun di rumah. Penyimpangan yang dilakukan remaja seperti perkelahian pelajar, pergaulan bebas, tindak kriminal, penggunanaan obat-obatan terlarang, membolos, mencontek, melanggar aturan sekolah, dan lain-lain. Hal ini terjadi karena kurang

4Depag RI dan Sekjen „Mujamma’, al-Qur’an dan Terjemahnya,

(Madinah: Percetakan

al-Qur’an Raja Fadh, 1990/1991), h. 417 5

Sidiq Muhammad Jamil, Sunan Tarmidzi, (Beirut: Darul Fikri, t.th), p. 278

6

Abdullah Muhammad Darwis, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Beirut: Darul Fikri, t.th), p. 322


(13)

5

tertanamnya nilai-nilai akhlak pada dirinya karena minimnya pemahaman siswa dan orang tuanya terhadap agama, sehingga mendorong untuk selalu melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap agama dan nilai-nilai moral.

Padahal kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya, sebaliknya apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya.

Fenomena yang terjadi di lapangan sehubungan dengan kecerdasan emosional dengan akhlakul karimah siswa menunjukan bahwa masih dijumpai siswa yang menunjukkan perilaku sebagai berikut: (1) menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung, pemarah, mudah tersinggung, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu, (2) menunjukkan akhlak yang kurang wajar, seperti menentang, acuh tak acuh, berbohong, membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan PR dan tidak teratur dalam belajar.

Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik untuk menyelidiki dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Akhlakul Karimah Siswa di MTs. Al-Hidayah Bekasi”

B. Identifikasi Masalah

Dari penjelasan latar belakang di atas maka penulis mengidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Penyelenggara pendidikan saat ini lebih menekankan pada segi pengembangan intelektual peserta didik, dan memarjinalkan peran kecerdasan emosional siswa dalam pengajaran di sekolah.

2. Perlu dikembangkannya kecerdasan emosional yang merupakan kunci sukses seorang siswa dalam menghadapi masa depan.


(14)

6

3. Pentingnya mengajarkan dan membiasakan akhlakul karimah kepada siswa baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakatnya.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya ruang lingkup yang diuraikan, maka untuk menghindari pembiasan dalam memahami pembahasan, maka penulis akan membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

a. Kecerdasan emosional yang mencakup dimensi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain.

b. Akhlakul karimah siswa dengan mengukur hubungan siswa kepada Allah swt, akhlak kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap lingkungan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, rumusan masalah yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana kecerdasan emosional siswa di MTs Al Hidayah Kota Bekasi?

b. Bagaimana akhlakaul karimah siswa di MTs Al Hidayah Kota Bekasi? c. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional


(15)

7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan akhlakul karimah siswa di MTs Al-Hidayah Kota Bekasi.

b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk hubungan kecerdasan emosional dengan akhlakul karimah siswa di MTs Al Hidayah Kota Bekasi.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat Penulisan ini adalah:

a. Secara akademis penelitian ini diharapkan menjadi bahan tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademis serta sebagai bahan pijakan untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.

b. Bagi instansi sekolah tulisan ini diharapkan menjadi bahan masukkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan kecerdasan emosional serta dapat mempengaruhi akhlak siswa di MTs Al-Hidayah Kota Bekasi.


(16)

8 BAB II

LANDASAN TEORITIS

HAKEKAT KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)

A. Pengertian Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan

Kecerdasan dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. dalam arti, kemampuan (al-qudrah) dalam memahami sesuatu secara tepat dan sempurna.1 Kecerdasaan berasal dari kata cerdas yang secara harfiah berarti sempurna perkembangan akal budinya, pandai dan tajam pikirannya. Selain itu cerdas dapat pula berarti sempurna pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya.2 Kecerdasan atau disebut juga intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang mempunyai nilai budaya.3

Kecerdasan merupakan kata benda yang menerangkan kata kerja atau keterangan. Seseorang menunjukkan kecerdasannya ketika ia bertindak atau berbuat

1

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) edisi revisi cet.7 h.96

2

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. 12, h. 211

3


(17)

9

dalam suatu situasi secara cerdas atau bodoh, kecerdasan seseorang dapat dilihat dalam caranya orang tersebut berbuat atau bertindak.4 Kecerdasan juga merupakan istilah umum untuk menggambarkan “kepintaran” atau “kepandaian” seseorang.5

Beberapa para ahli mencoba merumuskan definisi kecerdasan diantaranya: Suharsono menyebutkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat dibandingkan dengan usia biologisnya.6 Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih.7

Definisi dari Suharsono dan Gardner menyebutkan bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya. Jika Suharsono menilai kecerdasan dari sudut pandang waktu, sementara Gardner menilainya dari sudut pandang tempat.

Gardner membagi kecerdasan menjadi tujuh macam yaitu, kecerdasan linguistic, kecerdasan logis matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musical, kecerdasan kinestetik-tubuh, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.8

Kecerdasan-kecerdasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Kecerdasan linguistik adalah kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa.

2) Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan berfikir (menalar) dan menghitung, berfikir logis dan sistematis.

4

M. Alisuf Sabri. Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 115

5

Munandir, Enslikopedia Pendidikan, (Malang, UM Press, 2001), h. 122

6

Suharsono. Mencerdaskan Anak (Depok, Inisiasi Press, 2003) h, 43

7

Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, Cara Belajar Cepat Abad XXI, penerjemah Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa, 2002), h. 58

8

Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, Cara Belajar Cepat Abad XXI, penerjemah Dedy Ahimsa, h. 59-60


(18)

10

3) Kecerdasaan visual-spasial adalah kemampuan berfikir menggunakan gambar, memvisualisasikan hasil masa depan.

4) Kecerdasan musical adalah kemampuan menggubah atau menciptakan musik, dapat bernyanyi dengan baik atau memahami dan mengapresiasikan musik serta menjaga ritme.

5) Kecerdasan kinestetik-tubuh adalah kemampuan menggunakan tubuh secara terampil untuk memecahkan masalah, menciptakan barang serta dapat mengemukakan gagasan dan emosi.

6) Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain dan berempati.

7) Kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan menganalisis diri sendiri, membuat rencana dan menyusun tujuan yang akan dicapai.

Kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini dikenal juga sebagai keragaman kecerdasan (multiple intellegence). Pembagian kecerdasan oleh Gardner ini telah membuka paradigma baru dari sebuah kata kecerdasan. Karena berdasarkan pembagian-pembagian kecerdasan menurutnya, ternyata cerdas bukan semata dapat memiliki skor tinggi sewaktu ujian namun cerdas itu beranekaragam.

Kecerdasan yang bertumpu pada kemampuan emosional menurut Gardner disebut kecerdasaan personal yang terbagi dalam kecerdasaan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Definisi Gardner tentang kecerdasan personal ini adalah: “Kemampuan untuk memahami gejolak diri dan orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja sama dengan orang lain, serta kemampuan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat orang lain.”9

Kecerdasan orang banyak ditentukan oleh struktur otak. Otak besar dibagi dalam dua belahan otak yang disambung oleh segumpal serabut disebut corpus

9

Aprilia F. Pertiwi, Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak (Jakarta: Gramedia, 1997), h. 16


(19)

11

callosum. Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan dan sebaliknya belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Belahan otak kiri bertugas untuk merespon hal-hl yang sifatnya linier, logis dan teratur sementara otak belahan kanan bertugas untuk imaginasi dan kreatifitas.10

Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa kecerdasaan merupakan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan dan melakukan tindakan yang dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai guna bagi masyarakat.

2. Pengertian Emosi

Kata emosional berasal dari bahasa Inggris, emotion, yang berarti keibaan hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan.11 Dalam pengertian yang umumnya digunakan, emosi sering diartikan dorongan yang amat kuat dan cendrung mengarah kepada hal-hal yang kurang terpuji, seperti halnya emosi yang ada pada para remaja yang sedang goncang.12

Dalam bahasa Latin emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiyahnya adalah jiwa yang mengerakkan kita.13 Akar kata emosi adalah movere, kata kerja. Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, mengisyaratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.14 Daniel Goleman mengatakan emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan

10

Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Pendidikan Usia Dini,

(Jakarta: Prenhallindo, 2002) h, 11-12

11

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), cet. 7. h. 21

12

Lihat Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: Ruhama, 1984), cet. 1, h, 88

13

Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ Kecerdasan Emosional dalam

Kepemimpinan dan Organisasi, penerjemah Alex Tri Kantjono Widodo (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2002), h. xiv

14

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional alih bahasa Hermaya T. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) h. 7


(20)

12

mental, yang hebat atau meluap-luap.15 Crow dan Crow menyebutkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi pada definisi ini berperan dalam pengambilan keputusan yang menentukan kesejahteraan dan keselamatan individu.16

Emosi mempunyai peran dalam peningkatan proses konstruksi pikiran dalam berbagai bentuk pengalaman kehidupan manusia. Salovey dan Mayers mendifinisikan emosi sebagai respon terorganisasi, termasuk sistem fisiologis, yang melewati berbagai batas sub-sistem psikologis, misalnya kognisi, motivasi, dan pengalaman. Pengertian ini menunjukkan bahwa emosi merupakan respon atas stimulus yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang terorganisasi dengan baik yang melewati sub-sistem psikologis.17

Ibda menyebutkan bahwa emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya -suatu keadaan biologis dan psikologis- dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak.18 Sedangkan Sarlito Wirawan Sartono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas (mendalam).19

Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, lebih bersifat subyektif dari pada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir. Kedua, bersifat fluktuatif (tidak tetap), dan Ketiga, banyak bersangkut-paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.20

15

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional alih bahasa Hermaya T. h. 411

16

Netty Hartati, et.all., Islam dan Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) h. 90

17

Tekad Wahyono, Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik, (Surabaya: Universitas Wangsa Manggala, Anima, Indonesian Psychological Journal, 2001) h. 37

18

Fatimah Ibda, Emotional Intellegence dalam Dunia Pendidikan (Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Jurnal Didaktika, Vol.2 No. 2, 2000), h. 132

19

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda Karya, 2004), h.115

20


(21)

13

Terdapat dua macam pendapat tentang terjadinya emosi yaitu pendapat navistik dan pendapat empiristik. Pendapat navistik beranggapan bahwa emosi pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, semantara pendapat emperistik beranggapan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar.21

Dari perjalanan hidup kita sehari-hari, kadang kita tidak dapat membedakan antara perasaan dan emosi, karena keduanya merupakan kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, warna efektif dapat dikatakan perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Oleh karena itu, emosi adalah setiap keadaan diri seseorang yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat yang lemah maupun pada tingkat yang kuat.22

Sebagian orang menganggap bahwa perasaan dan emosi adalah sama, namun anggapan itu salah. Menurut M. Alisuf Sabri dalam bukunya mengungkapkan bahwa antara perasaan dan emosi adalah berbeda. Pada perasaan terdapat kesediaan kontak dengan situasi luar (baik positif maupun negatif), sedangkan pada emosi kontak itu seolah-olah menjadi retak atau terputus (misalnya terkejut, ketakutan, mengantuk, dan lain sebagainya).23

Emosi manusia dikoordinasikan oleh otak. Bagian otak yang mengatur emosi adalah sistem limbiks, struktur-struktur dalam limbik mengelola beberapa aspek emosi, yaitu pengenalan emosi melalui ekspresi wajah, tendensi berperilaku dan penyimpanan memori emosi. Folkerts menjelaskan bahwa sistem limbik terdiri atas empat struktur, yaitu thalamus dan hipothalamus, amigdala, hipokampus dan lobus frontalis.24

Thalamus menerima informasi dari lingkungan sekitar yang ditangkap oleh indera, sedang hipothalamus mengambil informasi dari bagian tubuh yang lain.

21

Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h 168

22

Zikri Neni Iska, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Kizi Brother’s, 2011) h. 103

23

M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), h. 74

24


(22)

14

Amingdala menginterpretasikan dan sekaligus menyimpannya sebagai arti emosi. Hipokampus mendukung kerja amigdala dalam menyimpan memori emosi, mengkonsolidasi memori non-emosi secara detail dan menyampaikan memori tersebut ke jaringan memori yang berbeda di otak. Lobus frontalis bertanggungjawab dalam pengaturan emosi sehingga memunculkan respon emosi yang tepat.

Kinerja otak sebagai pusat koordinasi dapat dijabarkan sebagai berikut: informasi-informasi yang diterima alat indera akan dibawa oleh thalamus melewati sinapsis tunggal menuju amigdala, sedang sebagian besar lainnya dikirim ke neokorteks, percabangan tersebut memungkinkan amigdala dapat memberikan respon emosi tanpa pengolahan informasi dan analisis dari neokorteks.25

Dari beberapa pendapat di atas, maka emosi merupakan suatu respon atas rangsangan yang diberikan –baik dari lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri- sehingga individu dapat menentukan pilihan dalam hidup yang menentukan kehidupannya. Atau dengan kata lain emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

3. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Jack Mayer dari Universitas Hampshire dan Peter Salovey, ahli psikologi dari Universitas Harvard pada tahun 1990. Dari tahun 1990 hingga saat ini, teori ini masih terus berkembang. Selain mereka, banyak pula para ahli lain, seperti Goleman dan Hein yang juga melakukan penelitian mengenai kecerdasan emosional. istilah kecerdasan emosional dipopulerkan oleh Goleman dalam bukunya yang berjudul Emotional Intellegence.

25


(23)

15

Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun Emotional Quotient (EQ) merupakan hal yang relatif baru dibandingkan Inteligensi Qoutient (IQ), namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan Inteligensi Qoutient (IQ).

Salovey dan Mayer mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.26 Pengertian senada juga diungkapkan oleh Nana Syaodah yang mengatakan kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan diri (mengendalikan emosi), memelihara dan memacu motivasi untuk terus berupaya dan tidak mudah menyerah atau putus asa, mampu mengendalikan dan mengatasi stres dan mampu menerima.27

Menurut Daniel Goleman, mengatakan bahwa kecerdasan emosional mengandung beberapa pengertian. Pertama, kecerdasan emosional tidak hanya berarti sikap ramah. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan misalnya sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosional bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa

26

Steven J. Stein & Howard E. Book, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional

meraih Sukses. penerjemah Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2002),

cet. Ke-1 h. 30

27

Nana Syaodah Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) cet. Ke-1 h. 97


(24)

16

sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.28

Kecerdasan emosional lebih lanjut dapat diartikan kepiawaian, kepandaian, dan ketepatan seseorang dalam mengelola diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain yang berada disekililingnya dengan menggunakan seluruh potensi psikologis yang dimilikinya, seperti inisiatif dan empati, adaptasi, komunikasi, kerjasama, dan kemampuan persuasi yang secara keseluruhan telah mempribadi pada diri seseorang.29

Kecerdasan emosional terbentuk karena ada kerjasama yang selaras antara kortek dan amingdala, antara pikiran dan perasaan. Apabila rangsangan ini berinteraksi dengan baik, kecerdasan emosional akan meningkat dan dengan demikian inteligensi rasional akan bertambah. Permasalahan kecerdasan emosional bukan pada emosinya, melainkan pada keselarasan emosi dan pengungkapannya.

Jack Mayer, psikolog dari Universitas of New Hampshire, mendefinisikan kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi diri sendiri. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan.30

Lebih lanjut pakar psikologi Cooper dan Sawaf mengatakan bahwa kecerdasan emosional kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikkan perasaan, untuk belajar

28

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet 3, h. 9

29

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, h. 9

30

Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Intelligence, terj, Alel Tri Kantcono, (Jakarta: Gramedia, 1998), Cet. Ke-3. h. 5


(25)

17

mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.31

Pandangan Gardner tentang keragaman kecerdasan merupakan manifestasi penolakan terhadap konsep buku tentang IQ (Intelligence Quoutient) sebagai faktor utama dalam meraih sukses. IQ menyumbang sekitar 20 persen bagi faktor utama dalam meraih sukses dalam hidup, maka 80 persen lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.32 Senada dengan pendapat tersebut, Patton mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik singgasana intelektual.33 Kecerdasan emosional merupakan dasar pokok dalam mengembangkan hubungan yang dapat memperkuat diri kita serta orang lain untuk menghadapai tantangan yaitu keseimbangan antara perasan dan pikiran.34 Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor pendukung kesuksesan seseorang dalam menjalani hidupnya.

Goleman mengemukakan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.35 Seseorang dikatakan cerdas secara emosional apabila memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri dan selaraskan setiap gejolak emosi dalam diri, serta kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dalam lingkungannnya.

Segel mengemukakan kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan yang menggambarkan kecerdasan hati, membuat seseorang berhasil dalam kehidupannya, berkaitan dengan hubungan pribadi dan antar pribadi, bertanggung

31

Robert K Cooper, Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi Terj, Alex Tri Kantjono Widodo, Emotional Intellegence in Leadership and Organizations, (Jakarta: Gramedia, 2002), cet. ke-1, h. xv

32

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, terj. T Hermaya, Cet., ke-9, h. 44

33

Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS (Depok: Intisari Press, 2002) h. 8 34

Patricia Patton, Kecerdasan Emosional Landassan Untuk Meraih Sukses Pribadi & Karir

(Jakarta: Mitra Media, 2000), h. 24

35


(26)

18

jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial.36 Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali diri (menyadari keadan diri, mengendalikan diri yang spontan, dan membangkitkan motivasi diri dalam diri) serta memahami gejolak perasaan orang lain (lewat sikap empatik dan kecakapan bergaul).37

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional dapat teraktualisasikan saat seseorang memiliki kontrol emosi diri yang stabil dan kecakapan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Jadi yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memiliki kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi yang tinggi serta memiliki kecakapan sosial yang meliputi empati dan keterampilan sosial yang tinggi.

4. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam

Menurut Daniel Goleman, “untuk menentukan sukses dalam kehidupan ini bukan kecerdasan intelektual tapi kecerdasan emosional.” Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya, seperti sabar dalam menghadapi kesulitan, sabar ketika belajar dan orang tersebut tekun, berhasil mengatasi berbagai ganguan dan tidak menuruti emosinya.

Teori Daniel Goleman mengenai kecerdasan emosional ini dapat disimpulkan dalam peribahasa Arab sebagai man shabara zhafira yang artinya barang siapa yang bersabar,maka ia akan sukses. Hal ini bisa dikaitkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang-orang yang sabar. Kecerdasan emosional bisa dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan, seperti itulah seorang sufi

36

Jeanne Segal, Melijitkan Kepekaan Emosional (Bandung: kaifa, 2002), h. 27

37


(27)

19

yang menempuh perjalanan menuju Allah. Hal inilah cara mengembangkan kecerdasan emosional.

Konsep kecerdasan emosional terkait dengan sikap-sikap terpuji dari kalbu dan akal yakni sikap bersahabat, kasih sayang, empati, takut berbuat salah, keimanan, dorongan moral, bekerja sama, beradaptasi, berkomunikasi dan penuh perhatian serta kepedulian terhadap sesamam makhluk ciptaan Tuhan.38

Istilah kecerdasan emosional dalam Islam dapat pula dijumpai dalam konsep lahir batin yang terdapat dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an kata insan digunakan untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya. Terdapat perbedaan antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasaan.39 Dengan menggunakan istilah insan, dapat diketahui bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan dan kecakapan manusia dalam memanfaatkan potensi psikologisnya, seperti kemampuan dalam bidang penalaran, memanfaatkan peluang, mengatur waktu, berkomunikasi, beradaptasi, kerja sama, persuasi, dan keterkaitan dengan moral. Jika semua potensi ini dilakukan maka martabat manusia akan berada dalam posisi yang membahagiakan dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk menggambarkan adanya kecerdasan emosional pada diri manusia, Al-Qur’an telah menginformasikan adanya unsur nafs, qalb, ruh, dan aql. Kata nafs dalam Al-Qur’an memiliki aneka makna, terkadang diartikan totalitas manusia, dan terkadang diartiakan sebagai apa saja yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku. sebagaimanafirman-Nya dalam surat al-Ra’d : 11

                                                              38

Abuddin Nata, Manejemen Pendidikan, (Bogor: Kencana, 2003), h. 45

39


(28)

20

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”40

Sedangkan kata qalb dalam di dalam Al-Qur’an digambarkan sebagai wadah bagi pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Sebagimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Qaf: 57

                 

Artinya: “Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, Maka mereka berada dalam Keadaan kacau balau”.

Surat al-Hadid : 27

                                                                  

Artinya:“Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya

40

Depag, Alquran dan terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir


(29)

21

Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah. Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.”41

Surat Ali Imran : 31

                           

Artinya: “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”42

Surat al-Hujarat : 7

                                                       

Artinya: “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta

41

Depag, Alquran dan terjemahnya h. 905

42


(30)

22

menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”43

,

Sementara itu, kata „aql digunakan Al-Qur’an sebagai alat untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, dorongan moral, dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah. Firman-Nya dalam surat al-Ankabut : 43

               

Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.44

Surat al-An’am : 51

                              

Artinya:“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.”45

Surat al-Mulk : 10

                   

43Depag, “Alquran dan terjemahnya”,

h. 846

44Depag, “Alquran dan terjemahnya”,

h. 628

45Depag, “Alquran dan terjemahnya”,


(31)

23

Artinya: “Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".46

Sedangkan, kata ruh digunakan Al-Qur’an dalam makna yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi substansinya. Ruh terkadang diartikan sebagai wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril, sesuatu yang dianugrahkan Tuhan kepada orang mukmin. Dan berarti pula sebagai dukungan dan peneguh hati atau kekuatan batin, serta sesuatu yang dianigrahkan Tuhan kepada seluruh manusia, yakni unsur ilahiyah. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujadalah : 22

                                                                                                   

Artinya: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah


(32)

24

golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung”.47

Menurut petunjuk Al-Qur’an bahwa setiap ciptaan Tuhan, seperti tumbuh -tumbuhan, binatang air, udara, tanah dan sebagainya memiliki jiwa. Yaitu selain mengisyaratkan adanya sifat kasih sayang dan kekuasaan Tuhan yang terdapat di balik ciptaan tersebut juga semua itu memiliki jiwa dan emosi. Jika benda-benda itu diperlakukan dengan lembut, kasih-sayang, dan perhatian, maka semuanya itu akan memberi manfaat kepada yang melakukannya. Sebaliknya, jika manusia berbuat kasar terhadap semua ciptaan tersebut seperti dengan menebang pohon secara membabi buta, merusak habitat binatang, mengotori air, mencemari udara, dan sebagainya, maka semua benda yang disakiti itu akan bereaksi kasar terhadap manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional amat dibutuhkan dalam menopang kelangsungan hidup manusia.

Kecerdasan emosional sebagaimana digambarkan pada uraian diatas terkait dengan sikap-sikap terpuji yang muncul dari qalbu dan aqlu, yaitu sikap bersahabat, kasih sayang, empati, takut berbuat salah, keimanan, dorongan moral, bekerja sama, dapat beradaptasi, berkomunikasi, dan penuh perhatian dan kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan tuhan.48

Dari berbagai pengertian tentang keceradasan emosional yang telah dijabarkan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa orang yang cerdas secara emosional mampu untuk memahami, menggali, membangkitkan dan mengontrol emosi diri secara stabil serta mampu memahami gejolak emosi orang lain melalui sikap empati, menahan hawa nafsu atau keinginan dan mengatasi kesedihan. Pengaktualisasian hal tersebut dapat terlihat dalam kecakapannya berinteraksi dengan lingkungan.

47Depag, “Alquran dan terjemahnya”,

h. 912

48

Abuddin Nata, Manjemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008) Ed. 2, Cet 3 h. 43


(33)

25 5. Wilayah Utama Kecerdasan Emosi

Menurut Salovey dan Mayer, disebutkan bahwa terdapat lima wilayah kecerdasan pribadi dalam kecerdasan emosional. Lima wilayah tersebut adalah, kemampuan untuk mengenali emosi diri, kemampuan untuk mengelola emosi, kemampuan untuk memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain, serta kemampuan membina hubungan dengan orang lain.49 Adapun penjelasannya dapat dipaparkan sebagai berikut:

1) Mengenali emosi diri, kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan mengenali emosi, menunjukkan inti kecerdasan emosional yang bermakna kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu muncul, seorang anak yang memiliki kesadaran diri mampu mengenali emosi yang sedang dialaminya dan dampak yang akan di timbulkannya. Bagaimana anak dapat mengaktualisasikan diri di tengah badai emosi, mengerti apa yang sedang dirasakannya, akan lebih peka pula terhadap perasaan orang lain. Ciri lain dari kemampuan mengenali emosi diri adalah mengenali rasa marah, rasa takut dan sedih. Rasa marah merupakan ekspresi yang paling sering muncul pada usia 7-11 tahun, dibandingkan rasa takut. Anak usia ini menganggap bahwa kemarahan merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan perhatian dari lingkungannya,50

2) Mengelola emosi, menanggapi perasaan agar perasaan dapat terungkapkan dengan pas oleh kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan mengelola emosi yaitu kemampuan menangani perasaan diri sendiri agar dapat terungkap secara tepat dan wajar. Pengendalian perasaan diri sehingga tidak meledak-ledak yang akhirnya akan mempengaruhi perilakunya secara salah. Seorang yang memiliki keterampilan mengelola emosi akan peka terhadap emosi dirinya, serta dengan mudah menghibur diri saat dirundung masalah dan cepat

49

Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, terj. T Hermaya, Cet., ke-9, h. 58-59

50

Aprilia Fajar Pertiwi, Seri Ayah Bunda: Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak,


(34)

26

bangkit kembali saat sedih. Intisari dari kemampuan mengelola emosi ini adalah kemampuan menenangkan diri dan mengekspresikan emosinya dengan tepat.51

3) Memotivasi diri sendiri, menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, kendali diri, emosional, menahan diri, terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Kemampuan memotivasi diri, kemampuan untuk memberikan kekuatan yang mendorong dirinya agar melakukan suatu kegiatan secara ulet, tekun dan penuh semangat. Mampu memberi semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.52

Seorang anak yang sukses dalam hidupnya adalah anak yang memiliki motivasi positif, kendali diri, serta memiliki harapan dalam hidup. Motivasi yang mengaktifkan dan membangkitkan perilaku yang tertuju pada pemenuhan kebutuhan. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan.53

4) Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional merupakan ketrampilan bergaul. Kecerdasan pribadi seseorang bukan hanya terlihat dalam kemampuannya mengenali emosi diri, tetapi juga kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, yaitu mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain sehingga orang lain merasa dihargai dan dimengerti. Anak yang terbuka terhadap gejolak emosi diri akan terampil untuk mengerti perasaan orang lain. Kemampunnya berempati, menempatkan perasaan dirinya ke dalam perasaan orang lain sehingga dapat memahami pikiran, perasaan, dan perilakunya. Kemampuan berempati ini sangat mempengaruhi dalam berinteraksi dengan orang lain, dan dampak pada penerimaan dirinya, lingkungan, serta meningkatkan kecakapan bersosialisasi.

51

Aprilia Fajar Pertiwi, Seri Ayah Bunda: Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak, h. 43

52

Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, terj. T Hermaya, Cet., ke-9 h. 58

53


(35)

27

5) Membina hubungan dengan orang lain, inti dari seni memelihara hubungan dengan orang lain adalah kemampuan untuk mengetahui dan mengenali perasaan orang lain. Keterampilan berinteraksi dengan orang lain merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. keterampilan berinteraksi dengan orang lain dapat disebut juga kecerdasan sosial. Adapun yang dimaksud kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wilayah kecerdasan emosional meliputi kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengerti apa yang sedang dialaminya dan dampak yang akan ditimbulkan. Kemampuan untuk mengelola dan mengekspresikan emosi diri, mengelola emosi bukan berarti menjauhi perasaan tidak menyenangkan untuk salalu bahagia, tetapi kemampuan untuk tidak membiarkan perasan sedih berlangsung tak terkendali. Kemampuan untuk memotivasi diri dalam melakukan sesuatu, menunjukkan keuletan dan rasa tanggung jawab. Selanjutnya kemampuan mengenali emosi orang lain dan mambina hubungan dengan orang lain, kemampuan untuk melakukan hubungan sosial sangat bergantung pada kematangan dua ketrampilan emosi lainnya, yaitu kemampuan mengelola emosi diri dan kemampuan memahami perasaan orang lain.

B. Akhlakul Karimah Siswa

1. Pengertian Akhlakul Karimah

Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk jamak dari kata Khulk, yang artinya secara etimologi adalah tingkah laku, perangai, tabi’at, watak, moral dan budi pekerti.54 Kata budi pekerti yang terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi ialah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio, yang disebut karakter. Pekerti ialah apa yang dilihat pada

54


(36)

28

manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut tingkah laku. Jadi budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.55

Secara lingustik (kebahasaan) kata akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlak adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana yang telah disebutkan di atas.56 Sedangkan Lamis Ma’luf dalam Al-Munjid fi-al-lughah wal A’lam mengatakan bahwa “akhlak” secara etimologi adalah perangai, kelakuan, tabi’at, kebiasaan dan peradaban yang baik.57

Sedangkan dari terminologi akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan, tanpa difikir dan direnungkan lagi.58 Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya suatu perbuatan yang mudah karena dibiasakan sehingga tidak memerlukan pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.59

Jadi, akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa oleh manusia sejak lahir dan tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik atau buruk sesuai dalam pembinaannya.60 Juga disyaratkan, suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran. Sebab seandainya ada seseorang yang memaksakan dirinya untuk mndermakan hartanya atau memaksakan hatinya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir dahulu, maka bukanlah orang yang semacam ini yang disebut orang dermawan.

55

Rachmat Djatnika, Isitem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), cet ke- 1, h. 26

56

M. Ardani, Akhlak-Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti Dalam Ibadah dan Tasawuf), (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001), Cet. Ke-1, h. 25

57Lamis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam

, (Beirut: Darul Masyrik, 1986), Cet. Ke- 28, h. 194

58

Masam Alfat, Dkk, Akidah Akhlak, h. 61

59

Suradji, Etika dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2006), h. 4

60


(37)

29

Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya, bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan.61

Ibrahim Anis dalam kitab Mu’jamal-wasit, sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata mengatakan bahwa akhlak adalah: “Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbutan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.62 Jadi, pada hakekatnya khuluk atau akhlak suatu kondisi atau sikap yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga timbullah berbagai macam perbuatan secara spontan dan mudah tanpa direkayasa dan tanpa memerlukan pemikiran.

Sedangkan dalam pengertian istilah terdapat beberapa pengertian, diantaranya menurut al-Ghazali yaitu:

سا سَّْلا ْيف ْيه ْنع ا ع ,

َي ْكف ىلإ ج اح ْيغ ْنم سي لْ سب اعْفأا دْصت ا ّْع ...

Artinya: “akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa, yang darinya lahir berbagai perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu

kepada pikiran pertimbangan.”63

Imam Al-Ghazaaly menekankan, bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik dan buruk dengan menggunakan ukuran ilmu-pengetahuan dan norma agama.

Adapun pengertian yang diberikan Ibn Maskawaih adalah:

يْأ ا ْكف ْيغ ْنم اعْفأ ىلإ ا ل يعا سَّْلل اح ه قاْخأا .

61

Asmaran, AS, Pengantar Study Akhlak,, h. 2

62

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1, h. 4

63

M. Ardani, Akhlak-Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti Dalam Ibadah dan Tasawuf)


(38)

30

Artinya: “Akhlak adalah keadaan jiwa yang selalu mendorong manusia berbuat, tanpa memikirkannya lebih lama.

Sedangkan pengertian akhlak menurut Al-Qurthuby adalah:

هْيف قل ْلا نم ْيصي هَنأ ًاقْلخ ىَّسي اا ْنم هسْن ناسْنإا هب خ ْأي ه ام .

Artinya: “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatannya itu termasuk bagian kejadiannya.64

Dari pengertian-pengertian di atas terdapat kesamaan, bahwasanya akhlak itu merupakan perbuatan yang berpangkal pada hati atau atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan pertimbangan dan tanpa ada unsur pemaksaan, kemudian diwujudkan dalam perbuatan yang berulang-ulang sehingga menjadi adat yang akhirnya menjadi sifat. Sifat adalah sebagian dari kepribadian. Sehingga sulit untuk diubah, karena elah tertanam dalam kepribadiannya. Jika keadaan (hal) tersebut melahirkan perbuatan perbuatan terpuji menurut pandangan syariat Islam dan akal pikiran, disebut akhlakul karimah (baik). Jika perbuatan-perbuatan yang timbul tidak baik dinamakan akhlakul mazmumah (buruk).

Perilaku baik atau mulia dikenal dengan sebutan akhlakul karimah. Akhlakul karimah adalah amal-amal shaleh manusia yang terwujud dari kekuatan iman (aqidah) yang dimiliki dengan benar, dan kekuatan agama Islam yang dilaksanakan dengan sempurna atau pelaksanaan syariat (rukun Islam) yang istiqomah dan kusyu. Karena agama itu pada dasarnya akan berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku manusia atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang. Karena jiwa itu abstrak maka untuk mempelajari dan menliti kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari sikap dan perilaku yang ditampilkan.65

64

Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2001), cet.ke-II, h. 2

65


(39)

31

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa akhlakul karimah adalah suatu sifat yang tertanam dengan kuat dalam jiwa seseorang yang melahirkan atau menimbulkan suatu perbuatan-perbuatan yang baik dengan mudah tanpa memerlukan suatu pertimbangan atau pemikiran terlebih dahulu.

2. Pembagian Akhlak

Dengan ajaran Islam, bahwa akhlak adalah meliputi semua aktifitas manusia dalam segala bidang (aspek) kehidupannya. Namun secara global pembagian akhlak menurut sifatnya terdiri dari dari dua macam. Pertama akhlak yang baik dan benar menurut syariat Islam, disebut juga akhlakmahmudah atau akhlakul karimah. Kedua adalah akhlak yang buruk, disebut akhlakmadzmumah.66

Dalam pembahasan ini, penulis membatasi hanya meninjau akhlakul karimah terhadap Allah swt, akhlakul karimah terhadap manusia dan akhlakul karimah terhadap lingkungan yaitu terhadap binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa.67

Sedangkan pembagian akhlak menurut obyeknya atau kepada siapa akhlak itu ditujukan, adalah sebagai berikut:

a. Akhlak kepada Allah

Akhlakul karimah terhadap Allah pada prinsipnya dapat diartikan penghambaab diri kepada-Nya atau dapt diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada tuhan sebagai Khaliq. Sebagai makhluk yang dianugrahi akal sehat, kita wajib menempatkan diri kita pada posisi yang tepat, yakni sebagai penghamba dan menempatkan-Nya sebagai satu-satunya zat yang kita per-Tuhan.

Ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah swt: 1) Allah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk, sebagai mana dalam al-Qur’an surat at-Tariq ayat 5-7, yang berbunyi:

66

Masam Alfat, Dkk, Akidah Akhlak,h. 66

67


(40)

32                       

Artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”

Dalam ayat yang lain Allah swt, berfirman bahwa manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging dan selanjutnya diberi roh, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 12-14 yang berbunyi:

                                                 

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”68

2) Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran, dan hati sanubari, disamping anggota badan

68Depag, “Alquran dan terjemahnya”,


(41)

33

yang kokoh dan sempurna kepada manusia, sebagaimana dalam al-Qur’an surat an -Nahl ayat 78 yang berbunyi:

                         

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”69

3) Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan sebagainya. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Jaatsiyah, ayat 12-13 yang berbunyi:

                                               

Artinya: “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur. dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”70

69Depag, “Alquran dan terjemahnya”,

h. 413

70


(42)

34

4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70, yang berbunyi:

















 



















Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

Namun demikian sungguhpun Alah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia sebagaimana disebutkan di atas bukanlah menjadi alasan Allah perlu dihormati. Bagi Allah swt, dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi kemulian-Nya. Akan tetapi sebagai manusia sudah sewajarnya menunjukkan akhlak kepada Allah swt.

Bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk dalam berakhlakul karimah kepada Allah swt,. Diantaranya, mencintai-Nya, ridha dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya, bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdo’a kepada-Nya, beribadah, meniru-meniru sifat-Nya dan berusaha mencari keridhaan-Nya dan sebagainya.71

Quraish Shihab menyatakan bahwa titik tolak akhlak kepada Allah swt, adalah dalam bentuk pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah swt, dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Berkenaan dengan akhlak kepada Allah dilakukan dengan cara banyak memuji-Nya. Dilanjutkan dengan

71


(43)

35

senantiasa bertawakkal kepada-Nya, yakni menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang menguasai diri manusia.72

b. Akhlakul Karimah Terhadap Sesama Manusia

Akhlakul karimah terhadap sesama manusia pada dasrnya bertolak kepada keluhuran budi dalam menempatkan diri kita dan menempatkan diri orang lain pada posisi yang tepat. Hal ini merupakan refleksi daro totalitas kita dalam menghambakan diri kepada Allah swt, sehingga akhlakul karimah yang kita alamatkan terhadap sesama manusia semata-mata didasari oleh akhlakul karimahyang kita persembahkan kepada-Nya.73

Akhlak terhadap sesama manusia, bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal yang negatif seperti membunuh, menyakiti badan atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang, tidak peduli apakah hal itu benar atau salah.

Al-qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Sehingga akan terwujud keharmonisan atau kerukunan antar sesama. Tidak masuk ke rumah orang lain tanpa izin, jika bertemu mengucapkan salam, dan ucapan yang dikeluarkan adalah ucapan yang baik. Setiap ucapan yang diucapakan adalah ucapan yang benar, jangan mengucilkan atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan yang buruk. Selanjutnya yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan itu hendaknya disertai kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan, mampu mengendalikan marah. Dan mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri.

72

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h.261-262

73

M. Nipan Abdul Halim, Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji,(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 89


(44)

36

Adapun bentuk-bentuk akhlak terhadap sesama manusia diantaranya adalah jujur, ikhlas, amanah, tawadhu, sabar, kasih sayang, pemaaf, penolong, berani, adil, rajin, disiplin, kreatif, sederhana, baik sangka, dermawan, toleransi, berbakti kepada kedua orang tua, iffah. Bila akhlakul karimah diamalkan (dipraktekkan) oleh setiap muslim dalam kehidupannya maka akan terwujud keharmonisan atau kerukunan di antara sesama dan masyarakat.74

c. Akhlakul Karimah Terhadap Lingkungan

Lingkungan yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Akhlakul karimah terhadap lingkungan pada prinsipnya menempatkan sesuatu itu sesuai dengan posisinya masing-masing. Ia merupakan refleksi dari totalitas penghambaan diri kita kepada Allah swt, sehingga apa yang kita perbuat terhadap mereka, semata-mata hanya didasari oleh akhlakul karimah kita kepada Allah swt.75

Akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan agar setiap mahklauk mencapai tujuan penciptaannya.

Berarti manusia dituntut mampu menghormati proses-prose yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Keadaan ini mengantarkan manusia menjadi bertanggung jawab, sehingga tidak melakukan pengrusakan. Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah swt, serta semuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini

74

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, 149-150

75


(45)

37

mengantarkan seorang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.76

Dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 38 ditegaskan bahwa binatang melata, burung-burungpun adalah umat seperti manusia juga sehingga semuanya seperti ditulis al-Qurthubi, didalam tafsirnya “tidak boleh diperlaukan secara aniaya”. Jangan dalam masa damai saat peperangan pun petunjuk al-Qur’an yang melarang melakukan melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksadalam arti harus sejalan dengan tujuan penciptaannya demi kemaslahatan terbesar. Allah berfirman dalam surat al-Hasyr ayat : 5:77

   







 











Artinya: “apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya[1464], Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”78

[1464] Maksudnya: pohon kurma milik musuh, menurut kepentingan dan siasat perang dapat ditebang atau dibiarkan tumbuh.

Akhlak Islam juga memperhatikan kelestarian dan keselamatan binatang, karena akhlak Islam itu sangat komprehensif, menyeluruh dan mencangkup berbagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Hal yang demikian dilakukan karena secara fungsional seluruh makhluk tersebut satu sama lain saling membutuhkan. Punah dan rusaknya salah satu bagian dari makhluk Tuhan itu akan berdampak negatif bagi makhluk lainnya.

76

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 270

77

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, 150-151

78Depag RI dan Sekjen „Mujamma’, Al-Qur’an dan Terjemahnya,


(46)

38

Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk akhlakul karimah terhadap lingkungan di antaranya adalah memelihara tumbuh-tumbuhan, menyayangi hewan, menjaga kebersihan dan menjaga ketentraman.79

3. Macam-macam Akhlakul Karimah

Adapun macam-macam akhlakul karimah itu adalah sebagai berikut: 1) Bertaubat (At-Taubah)

Bertaubat yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik. Dalam al-Qur’an banyak diterangkan masalah taubat, antara lain pada surat an-Nisaa ayat 16-17 yang berbunyi:



 



  

















Artinya: “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

2) Bersabar (Ash-Shabru)

Bersabar yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan dir pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapinya. Maka sabar yang

79


(1)

32 Hernowo, Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi

(Jakarta: MLC, 2005 ) 18 12

33 Abuddin Nata, Manejemen Pendidikan, (Bogor: Kencana,

2003) 19 45

34 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qu’an (Bandung:

Mizan, 1996) 19 280

35 Depag, Alquran dan terjemahnya (Jakarta: Yayasan

Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al Qur’an, 1971) 20 370 36 Abuddin Nata, Manjemen Pendidikan: Mengatasi

Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008)

24 43

37 Aprilia Fajar Pertiwi, Seri Ayah Bunda: Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak, (Jakarta: Yayasan Aspirasi Pemuda: 1997)

25 43

38 Masam Alfat, Dkk, Akidah Akhlak, (Semarang: CV. Toha

Putra, 1994) 27 60

39 Rachmat Djatnika, Isitem Etika Islami (Akhlak Mulia),

(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992) 28 26

40 M. Ardani, Akhlak-Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti Dalam Ibadah dan Tasawuf), (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001)

28 25

41 Lamis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam,

(Beirut: Darul Masyrik, 1986) 28 194

42 Suradji, Etika dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits,

(Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2006) 28 4

43 Asmaran, AS, Pengantar Study Akhlak, (Jakarta: CV.

Rajawali, 1992) 28 1

44 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja


(2)

45 M. Ardani, Akhlak-Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budi

Pekerti Dalam Ibadah dan Tasawuf) 29 28-29

46 Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: Kalam

Mulia, 2001) 30 2

47 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1999) 30 11

48 M. Nipan Abdul Halim, Menghias Diri dengan Akhlak

Terpuji,(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000) 35 89

49 Sudirman Tebba, Hidup bahagia Cara Sufi, (Jakarta:

Pustaka Irvan, 2007) 39 13

50 M. Abdul Quasem Kami, Etika Al-Ghazali, (Bandung:

Pustaka, 1988) 43 95

51 W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco,

1988) 44 180

52 Zakiah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan

Sekolah,(Jakarta: Ruhama, 1995) 45 77

53 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1997) 45 129

III

54 Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula, (Bandung: Alfabeta, 2009)

49 50

55 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu

Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) 50 108-109 56 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: andi

Offest, 1992) 51 151

IV 57 Databes MTs Al Hidayah Kota Bekasi Tahun 2011


(3)

UJI REFERESI

Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Akhlakul Karimah Siswa di Mts. Al-Hidayah Kota Bekasi” yang disusun oleh Didi Ahmad Mursidi, NIM 206011000035 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada tanggal1 Juli 2011.

Jakarta, 1 Juli 2011

Dosen Pembimbing Skripsi I

Dra. Zikri Neni Iska, M. Psi


(4)

(5)

(6)