Profil Suku Banjar Suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini memiliki ciri khas madam, yaitu

komunikasi tercapai. Penggunaan fitur-fitur prosodi tidak dilakukan sewenang-wenang, tetapi terkonsep oleh penuturnya. Kosep dan terapan berbahasa dengan menggunakan aspek prosodi ini berlangsung serentak antara berpikir dan menyajikannya. Bahasa yang terujar melibatkan pergerakan naik turunnya nada pitch movements, kuat atau lemahnya suara sound density, tempo yaitu cepat atau lambatnya penyajian, dan lainnya. Fitur- fitur prosodi ini wajib ada, karena tanpanya akan menghasilkan ujaran yang monoton senada saja dan berlawanan dengan intonasi yang dikehendaki, baik secara sosial maupun budaya.

1.2 Profil Suku Banjar Suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini memiliki ciri khas madam, yaitu

perpindahan dari satu daerah ke daerah lain, lalu menetap di sana untuk mencari ketenangan hidup, baik lahir maupun batin. Biasanya orang Banjar berkecenderungan untuk bertempat tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani penanam padi, karet, dan kelapa, dengan membuka perkebunan kecil. Oleh karena itu, suku Banjar mempunyai kemampuan membuka lahan pertanian di hutan dan menggali saluran-saluran irigasi pertanian. Kemampuan tersebut menarik perhatian Sultan Serdang, yang pada tahun 1903, membuka proyek persawahan dekat Kota Perbaungan yang disebut bendang. Untuk mengolah sawah ini, didatangkan ribuan orang Banjar yang ahli bersawah dari Kalimantan Selatan dengan pimpinan kepala kelompoknya yang benama Haji Mas Demang. Akhirnya, mereka menentap di Sumatera Utara sampai sekarang ini. Bahkan, selain di Kesultanan Serdang, orang Banjar juga bermukim di wilayah budaya Melayu lainnya, yaitu Kesultanan Langkat, Deli, Asahan, dan Labuhanbatu. Universitas Sumatera Utara Kesultanan Langkat yang menjadi fokus kajian ini berada paling utara dalam budaya Melayu Sumatera Timur. Kesultanan Langkat merupakan salah satu kesultanan besar Melayu yang ada di daerah Sumatera Timur. Berdasarkan Peraturan Negeri Langkat yang dikeluarkan pada tanggal 20 Juni 1905 oleh Sultan Abdul Azis Abdul Jalil Rahmatsyah, kesultanan ini meliputi daerah-daerah yang berbatasan dengan Aceh Timur dan Aceh Tengah di sebelah timur, daerah Karo di sebelah selatan, Deli Serdang di sebelah timur, dan dengan Selat Malaka di sebalah utara Pelly, 1986:3-4. Masyarakat Banjar yang bertempat tinggal di Sumatera Timur, pada mulanya, berasal dari pertemuan berbagai kelompok suku bangsa yang memiliki kesamaan agama Islam. Kelompok suku bangsa yang menjadi inti suku Banjar berasal dari penduduk asli suku Dayak dan suku Melayu dari Sumatera yang kemudian membentuk kesatuan politik Kesultanan Banjar dalam proses islamisasi Kerajaan Demak. Sejak saat itu, agama Islam menjadi ciri khas suku Banjar sebagaimana disimpulkan oleh Alfani Daud dalam Daud 1997:6 berikut ini. Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak beradab-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok- kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” membersihkan diri di samping menjadi orang Banjar. Suku Banjar yang memiliki tradisi madam tersebut menyebar ke berbagai daerah di Kepulauan Nusantara. Suku Banjar yang menetap di Sumatera Timur atau Sumatera Utara merupakan penduduk yang bermigrasi dari daerah Kalimantan Selatan, sekitar Martapura dan Barito, diperkirakan pada abad kesembilan belas. Mereka menyusuri Sungai Barito, lalu mengharungi Selat Malaka ke arah barat, dan sampai ke Sumatera Universitas Sumatera Utara Timur. Di tempat baru ini, mereka membuat perkampungan suku Banjar, seperti Desa Sei. Ular, Desa Kebun Kelapa, dan Desa Pantai Labu. Menurut Fauzi 2006:2 di Provinsi Sumatera Utara, khususnya bahagian yang dikenal dengan Tanah Deli, sejak dahulu banyak bermukim orang Banjar. Bersama penduduk lainnya, mereka telah merasakan bahwa Tanah Deli ini merupakan kampung halaman bersama. Selama ratusan tahun mereka hidup bersama secara harmonis dengan suku-suku lainnya yang bermukim di Tanah Deli, baik suku-suku setempat, pendatang dari Kepulauan Nusantara, maupun pendatang dari mancanegara. Bersama-sama dengan suku Melayu Deli dan penduduk migran lainnya, masyarakat Banjar membangun daerah tempat tinggalnya. Di antara orang-orang Banjar yang berada di Langkat, sudah banyak pula yang mengaku dirinya sebagai bagian dari suku Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Hal ini disebabkan orang Banjar menjadikan agama Islam sebagai ciri khas kesukuan yang diserap ke dalam adat istiadat mereka tersebut memiliki kesamaan perlakuan agama Islam sebagai penanda utama kesatuan suku bangsa Melayu. Sistem religi yang dianut oleh masyarakat Banjar itu sesuai dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat Melayu di mana masyarakat Banjar tersebut bertempat tinggal. Kesamaan religi dan kesamaan wilayah tempat tinggal suku Banjar dengan suku Melayu di Kesultanan Langkat telah menempatkan masyarakat Banjar sebagai bagian yang menyatu dengan suku Melayu Langkat. Meskipun masyarakat Banjar dapat berintegrasi dengan suku Melayu di Sumatera Utara, akan tetapi suku Banjar ini mengalami polarisasi kebudayaan. Sebagian masyarakat Banjar ada yang bertekad kuat memelihara dan menjaga tradisi kebudayaan Universitas Sumatera Utara Banjar, terutama mereka yang kawin sesama suku Banjar dan tinggal di kawasan pemukiman Banjar di Sumatera Utara. Meskipun demikian, sebagian masyarakat ada yang beradaptasi dengan kebudayaan setempat terutama Melayu dan Jawa. Hal ini dilakukan oleh orang Jawa yang kawin dengan suku Banjar tersebut, sehingga terjadi pelunturan identitas karena proses adaptasi atau akulturasi ini. Apalagi orang Melayu di Sumatera Utara juga menganggap bahwa orang Banjar juga adalah orang rumpun Melayu seresam di Sumatera Utara, maka banyak pula di antara orang Banjar ini disebut dan menyebut diri sebagai Melayu Banjar. Polarisasi kebudayaan yang dialami masyarakat Banjar di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Langkat, merupakan dampak globalisasi. Untuk menjaga agar masyarakat Banjar tidak mengalami dampak negatif polarisasi tersebut, maka penelitian dan pengkajian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas kultur Banjar di Langkat perlu dilakukan secara ilmiah. Objek penelitian yang menarik berkaitan dengan identitas kultur keluarga migran Banjar adalah syair madihin. Di Langkat, syair ini biasanya disajikan dalam konteks upacara adat perkawinan Banjar, ketika pengantin menggunakan upacara adat Banjar. Syair madihin dalam konteks ini adalah untuk mempertahankan identitas suku Banjar di Sumatera Utara, khususnya wilayah budaya Banjar dan Melayu Langkat. Syair madihin adalah salah satu sastra tradisional suku Banjar, yang biasanya disajikan mode dengan cara dinyanyikan, sehingga syair madihin merupakan wujud perpaduan antara sastra dan musik. Salah satu aspek yang menarik untuk diteliti dan dikaji adalah mereka menyebut genre sastra ini dengan syair, sementara bentuk teks-teks yang digunakan sebenarnya lebih dekat dengan pantun. Penggabungan syair dan pantun Universitas Sumatera Utara dalam syair madihin menjadikan fungsi sosial budaya sastra lisan ini semakin penting dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama dalam adat perkawinan Banjar di Kabupaten Langkat. Bagi masyarakat Banjar, penggunaan istilah syair untuk madihin adalah untuk merujuk kepada pengertian umum sebagai karya sastra. Di sini yang menarik minat peneliti, mengapa mereka memakai istilah syair bukan pantun, walau yang dipraktikkan sebenarnya pantun dalam bahasa Banjar, dengan struktur teks yang mendekati pantun. Isi syair madihin adalah serangkaian pantun dalam bahasa Banjar yang dituturkan dengan prosodi melodi dan irama tertentu. Disajikan dengan tambahan pukulan gendang frame satu sisi yang tarbang, dengan irama tertentu oleh seorang seniman syair madihin. Dari segi strukturnya syair madihin merupakan puisi tradisional yang memiliki aturan-aturan sastra, khususnya dalam hal pembaitan dan persajakan. Dalam syair madihin, karena pantun yang digunakan dalam syair tersebut disajikan secara musikal, maka ada beberapa ciri penting pantun yang menarik perhatian peneliti dalam syair madihin, yaitu: i pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan melodi; ii walaupun prinsipnya teks syair madihin menggunakan pantun, namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan dalam syair. Hal ini disebabkan sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang menjadi ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bagian ini pantun tak boleh masuk; iii pantun dalam syair madihin juga selalu dapat diulur atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasukinya; iv pantun-pantun dalam syair madihin juga dapat disisipi oleh kata-kata interyeksi seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, dan lain- lainnya, di tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris; dan, v selain itu, dalam satu Universitas Sumatera Utara baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan secara melodis prosodi. Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik. Sebaliknya, teknik silabik dipergunakan untuk durasi yang relatif pendek. Keadaan yang lebih elastis seperti ini terjadi pada keseluruhan syair madihin yang berdasarkan kepada pantun. Elastisitas pantun pada syair madihin, umpamanya, terjadi pada persajakan yang bebas dan tidak terikat pada pola persajakan. Hal ini dapat disimak pada pantun pembuka yang diiringi tabuhan tarbang pada acara hiburan di sebuah acara pesta perkawinan. Pada pembuka acara adat perkawinan Banjar tersebut biasanya terdapat pantun untuk membuka acara seperti pantun di bawah ini. balimbing matang diulah Pancuk anak Saluang cucuki akan Para tetamu, nan hadir datang Silahkan masuk di taratak nan kami sadiakan. belimbing masak dipucuk pohon anak-anak dan cucu-cucu yang akan datang serta para undangan yang sudah datang silahkan masuk di taratak yang kami sediakan Makna pantun sebagai syair pembuka adalah memperkenanlan diri, sebagai ucapan selamat datang bertemu dengan anak dan cucu. Di dalam hal ini, yang punya hajatan sangat menghormati para tamu yang sudah diundang untuk masuk ke tempat yang telah disediakan. Syair madihin dalam bentuk pantun ini, menurut kualitas sastra yang dianut oleh pamadihinan, berstatus bait pertama dan kedua sebagai sampiran sedangkan bait ketiga dan keempat berstatus isi. Pola persajakannya pada umumnya adalah abba. Pilihan tema pertunjukan syair madihin sangat bergantung pada tuntutan situasi dan kondisi pergelaran. Akan tetapi, syair madihin pada umumnya berisikan tentang Universitas Sumatera Utara kehidupan keluarga, nasihat kepada pengantin baru, berupa petuah agama Islam khususnya, diselingi dengan humor-humor segar. Seorang pamadihinan sangat diperlukan untuk berimprovisasi dalam mengolah kata dan kalimat yang akan diucapkannya. Kesenian syair madihin biasanya digelar dalam rangka malam hiburan rakyat karasmin, tujuannya untuk memeriahkan acara pesta perkawinan dan menghibur para tetamu. Biasanya syair madihin dibawakan secara berpasangan duet secara terus- menerus bersahut-sahutan balas membalas. Dalam bidang etnomusikologi disebut dengan litany, responsorial, atau call and response. Umumnya pamadihinan tersebut adalah suami dan istri, tetapi tidak sebagai hal yang mutlak, karena syair madihin bisa juga digelar secara perseorangan. Pertunjukan syair madihin yang paling penting adalah pada upacara adat perkawinan Banjar. Pertunjukan ini dilakukan setelah acara yang disebut batatai, yakni mempelai bersanding. Pada malam harinya diadakan hiburan yang disebut bajajagaan, termasuk malam hari tersebut digelarlah kesenian syair madihin untuk menghibur para keluarga, sanak saudara, dan tamu yang hadir. Pertunjukan syair madihin pada malam upacara adat perkawinan Banjar tersebut menempatkan syair madihin dalam fungsi sosial budaya yang penting dalam identitas kultur masyarakat Banjar di Kabupaten Langkat. Di Kabupaten Langkat, syair madihin selalu difungsikan dalam upacara adat perkawinan Banjar. Hal ini juga menarik untuk dikaji dari sudut fungsi. Namun fungsi ini telah mengalami degradasi seiring adaptasi masyarakat Banjar di Sumatera Utara. Keunikan budaya lisan tradisional pada suku Banjar dapat kita jumpai pada adat perkawinan suku Banjar yang ada di daerah Secanggang, Kabupaten Langkat. Kondisi Universitas Sumatera Utara sastra lisan dan beragam bentuk seni tradisi saat ini ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun tak mau. Gambaran kondisi inilah yang terdapat pada syair madihin Banjar. Sangat melunturnya minat orang atau masyarakat terhadap berbagai bentuk sastra lisan Banjar disebabkan faktor semakin berkurangnya seniman tradisional yang mengolah karya seni tersebut untuk bertahan. Bahkan, karya seni tersebut semakin tertinggal oleh arus globalisasi dengan masuknya hiburan seni populer yang terus berkembang pesat sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini semakin menguatkan minat peneliti untuk meneliti fungsi syair madihin dalam kehidupan sosiobudaya masyarakat Banjar di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian