mengenai kinerja akademik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.
f. Ujian Akhir Nasional
Ujian Akhir Nasional sekarang Ujian Nasional pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa.
Namun Ujian Nasional yang diberlakukan mulai tahun 2002 itu dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu
seperti SDMI, SLTPMTs dan sekolah-sekolah menengah yakni SMAMA dan sebagainya.
Maksud penilaian hasil-hasil pendidikan itu adalah untuk mengetahui, dengan alasan yang bermacam-macam pada waktu dilakukan penilaian itu,
sudah sejauh manakah kemajuan anak didik. Hasil dari tindakan mengadakan penilaian itu kemudian dinyatakan dalam suatu pendapat yang perumusannya
bermacam-macam. Ada yang menggolongkan dengan menggunakan lambang- lambang A-E, dan ada yang menggunakan skala sampai 11 tingkat yaitu mulai
dari 0-10, dan ada yang memakai penialaian dari 0-100. Pada umumnya, mempergunakan angka dati 0-10, tapi ada juga yang mempergunakan lambang A-
E.
Selanjutnya, pada tiap akhir masa tertentu, seperti misalnya Ujian Akhir Semester UAS, sekolah mengeluarkan rapor tentang kelakuan, kerajinan dan
kepandaian murid-murid yang menjadi tanggungjawab guru. rapor itu merupakan
perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa tertentu itu.
Berdasar diskusi di atas, maka prestasi belajar, sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah keseluruhan nilai yang didapat seorang
siswa selama kegiatan belajar berlangsung. Untuk kepentingan pengukuran penelitian, aspek ini diwakili oleh rapor masing-masing responden yang mendata
nilai tiap siswa untuk seluruh mata pelajaran yang diikutinya. Jumlah nilai ini kemudian dibagi dengan jumlah mata pelajaran.
2.2. Self-Regulated Learning
2.2.1. Definisi self-regulated learning
Barry J. Zimmerman selaku salah satu tokoh yang dianggap paling otoritatif dalam membahas self-regulated learning mengatakan 1990, bahwa
istilah tersebut bisa didefinisikan sebagai proses spesifik tertentu di mana siswa mengonseptualisasikan metakognisi, motivasi dan perilaku partisipatifnya dalam
proses belajar.
Dalam hal ini Zimmerman 1990 menjelaskan, bahwa: When defining self-regulated learning, it is important to distinguish
between self-regulation processes, such as perceptions of self-efficacy, and strategies designed to optimize these processes, such as intermediate goal-
setting. Self-regulated learning strategies refer to actions and processes directed at acquisition of information or skills that involve agency,
purpose, and instrumentality perceptions by learners. Undoubtedly, all
learners use regulatory processes to some degree, but self-regulated learners are distinguished by a their awareness of strategic relations
between regulatory processes or responses and learning outcomes and b their use of these strategies to achieve their academic goals.
Penekanan yang ditunjukkan Zimmerman dalam uraian tersebut adalah pelaku self-regulated learning selalu menyadari relasi strategis antara
proses meregulasi diri atau respon dalam belajar dengan hasil belajar, serta penggunaan strategi regulasi diri untuk mencapai tujuan belajar.
Schunk dalam Shu-shen Shih, 2002 mendefinisikan self-regulated learning sebagai di mana siswa secara individual mengaktivasi dan
mempertahankan orientasi sistemik kognisi dan perilaku demi pencapaian prestasi belajar akademik. Sementara Zimmerman dan Schunk dalam Pei-Di Shen, et. al,
2007, menjelaskan self-regulated learning sebagai memicu diri melalui orientasi pikiran, perasaan dan aksi yang secara sistemik diorientasikan untuk membantu
setiap siswa mencapai tujuannya.
Berdasar paparan tersebut, istilah self-regulated learning bisa kita definisikan sebagai kondisi di mana siswa secara individual mengaktivasi dan
mempertahankan sistematisasi kognisi dan perilaku yang diorientasikan kepada pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan
2.2.2. Karakteristik Self-Regulated Learner
Berdasar penjelasan Zimmerman dalam Montalvo Torres, 2004, secara umum siswa yang menerapkan strategi self-regulated learning memiliki
perbedaan dengan mereka yang tidak menerapkannya. Karakteristik-karakteristik yang membedakan mereka antara lain adalah:
1. Mengenali dan tahu bagaimana cara menggunakan aspek-aspek dari strategi kognitif pengulangan, elaborasi, organisasi, yang mampu
membantu bertansformasi, mengorganisasi, mengelaborasi dan me- recover informasi.
2. Mengetahui cara merencanakan, mengontrol dan mengorientasi proses mentalnya untuk mencapai prestasi dalam tujuan belajarnya.
3. Memiliki perangkat motivasi dan emosi yang adaptif, seperti self- efficacy, adopsi terhadap tujuan belajar, mengembangkan emosi positif
dalam mengerjakan tugas, serta memiliki kapasitas untuk mengontrolnya.
4. Mampu merencanakan upaya dan waktu dalam melaksanakan tugas, serta mampu menciptakan dan menstrukturisasi lingkungan belajar
yang menyenangkan, seperti menemukan tempat yang nyaman untuk belajar, serta mau meminta bantuan guru dan teman kelasnya ketika
mengalami kesulitan. 5. Menunjukkan upaya untuk berpartisipasi dalam kontrol dan pengaturan
tugas akademik, iklim dan struktur kelas.
6. Mampu mengatur kemauannya untuk menghindari gangguan internal demi memertahankan konsentrasi, upaya dan motivasi dalam
menyelesaikan tugas akademik.
Intinya, karakteristik dari siswa yang menerapkan self-regulated learning, dapat dikatakan, bahwa mereka adalah agen dari perilakunya sendiri, percaya
bahwa belajar adalah proses yang proaktif, mampu memotivasi diri dan menjalankan strategi untuk mencapai hasil belajar yang diinginkannya.
2.2.3. Aspek-aspek Self Regulated Learning
Pintrich, et. al 1991 menyebutkan bahwa ada dua aspek penting dalam self-regulated learning ini, yaitu:
1. Motivational strategies, adalah strategi-strategi yang digunakan siswa
untuk mengatasi stres dan emosi-emosi yang kadang kala menguasai saat mereka lelah mengatasi kegagalan-kegagalan dan lelah menjadi
pembelajar yang baik
Komponen-komponen yang masuk ke dalam aspek ini adalah:
a. Value component
- Intrinsic goal orientation: Goal orientation adalah persepsi siswa
terhadap alasan-alasan yang membuatnya melibatkan diri dalam tugas belajar. Dalam Motivated Strategies for Learning
Questionnaire MSLQ, goal orientation dimaksudkan sebagai tujuan umum atau orientasi siswa terhadap detil-detil sebagai
bagian dari keseluruhan. Intrinsic goal orientation adalah tingkat di mana siswa merasa berpartisipasi dalam demi alasan-alasan
semacam tantangan, rasa ingin tahu dan penguasaan.
- Extrinsic goal orientation: pelengkap bagi intrinsic goal
orientation, dan merupakan kondisi di mana alasan siswa untuk terlibat dalam tugas adalah hal-hal seperti nilai, ganjaran, unjuk
diri, nilai baik dari orang lain, dan atau kompetisi.
- Task value: harus dibedakan dari goal orientation. Perbedaannya
terletak pada evaluasi siswa tentang seberapa menarik, seberapa
penting dan seberapa bergunanya tugas yang hendak ia kerjakan. b.
Expectancy component -
Control of learning beliefs: Control of learning: keyakinan siswa
bahwa upayanya dalam belajar akan berbuah positif. Dengan ini ia percaya bahwa hasil yang ia dapat merupakan bagian dari
usahanya, dibandingkan akibat faktor-faktor eksternal seperti pendidik.
- Self-Efficacy for learning and performance: Item-item yang
dicakup oleh skala ini mengukur dua aspek dari ekspektasi: Harapan kesuksesan dan self-efficacy. Harapan kesuksesan
mengacu pada harapan akan prestasi, dan secara spesifik
berhubungan dengan prestasi tugas. Self-efficacy adalah sebuah penghargaan terhadap kemampuannya menguasai sebuah tugas.
c. Affective component