Pengaruh self f-regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP terbuka

(1)

1

SISWA SMP TERBUKA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

KIKI RIZKI AMALIA

NIM: 104070002393

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

4

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Kiki Rizki Amalia NIM : 104070002393

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Self-regulated learning dan Adversity quotient Terhadap Prestasi belajar siswa SMP Terbuka” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 29 November 2011

Kiki Rizki Amalia NIM : 10407000239


(5)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi B) November 2011 C) Kiki Rizki Amalia

D) Pengaruh self-regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka

E) xi + 90 Halaman + 36 Lampiran

Keberadaan SMP Terbuka merupakan suatu fakta yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jumlah SMPT di Indonesia sebanyak 2.111 dengan jumlah siswa sebanyak 248.432 orang. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa banyaknya anak-anak usia sekolah yang memiliki kendala sosial ekonomi dan geografis. Namun yang terpenting bukan hanya dapat menampung banyaknya siswa saja melainkan perlu memperhatikan prestasi belajarnya karena prestasi belajar merupakan indikator keberhasilan dari suatu proses belajar mengajar. Sampai saat ini prestasi belajar siswa SMPT masih tergolong rendah. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pembelajaran yang dapat mendukung meningkatkan prestasi belajar siswa SMPT, diantaranya yaitu dengan self-regulated learning dan adversity quotient.tujuan.

Pendekatan yang digunakan peneletian ini adalah kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII dan IX SMPT Bojongmangu yang berjumlah 75 orang dengan menggunakan teknik total sampling. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan self-regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMPT. Apabila dilihat dari koefisien regresi, ada 3 variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar yaitu, metacognitive strategy, resource management strategy dan control. Namun, jika dilihat berdasarkan proporsi varians setiap variabel, hanya 3 variabel yang kontribusinya signifikan terhadap prestasi belajar yaitu cognitive strategy (44,1%), metacognitive strategy (25%), serta resource management strategy (4,5%). Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya meneliti faktor-faktor atau variabel lain yang mempengaruhi prestasi belajar seperti self-esteem, self-control dan lain-lain dan juga dapat menggunakan sampel SMP reguler. Disarankan pula untuk para guru siswa SMP Terbuka agar membantu siswa dalam meningkatkan self-regulated learning dan adversity quotientnya agar dapat memperoleh prestasi yang lebih baik, dengan cara memberi informasi mengenai self-regulated learning dan adversity quotient..


(6)

6

DAFTAR ISI

MOTO ………...………...…... i

PERSEMBAHAN ……….………. ii

ABSTRAK ………...……….. iii

KATA PENGANTAR ……….…...……... iv

DAFTAR ISI ………...…..… v

DAFTAR TABEL ………... ix

DAFTAR GAMBAR ……….…….… x

DAFTAR LAMPIRAN ………..…………..….. xi

BAB I PENDAHULUAN ……….…….. ….. 1-15 1.1. Latar belakang masalah…………...….…... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 11

1.2.1. Pembatasan masalah …………..………. …… 11

1.2.2. Perumusan masalah ………..………... 12

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 13

1.3.1. Tujuan penelitian ……….... 13

1.3.2. Manfaat penelitian ………... 13

1.4. Sistematika Penulisan ………... 14

BAB II KAJIAN TEORI ……….…...…… 16-50 2.1. Prestasi Belajar ………..……….. 16

2.1.2. Pengertian prestasi belajar ………….……...… 16

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ………..…… 17


(7)

2.1.4. Pengukuran prestasi belajar ………..…...……. 22

2.2. Self-Regulated Learning ………..….……. 24

2.2.1. Pengertian self-regulated learning………..…. 24

2.2.2. Karakteristik siswa yang memiliki self-regulated learning………..… 25

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning……….… 27

2.2.4. Strategi-strategi self-regulated learning…...…. 33

2.2.5. Dimensi self-regulated learning ………. 36

2.2.6. Pengukuran self-regulated learning……… 37

2.3. Adversity Quotient…………...……….………… 38

2.3.1. Pengertian adversity quotient……..………….. 38

2.3.2. faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient……….……… 39

2.3.3. Dimensi adversity quotient……… 41

2.3.4. Pengukuran adversity quotient………. 44

2.4. Kerangka Berpikir ……….………. 45

2.5. Hipotesis penelitian ……….……. 49

2.5.1. Hipotesis mayor ………. 49

2.5.2. Hipotesis minor ……….. 49

BAB III METODE PENELITIAN ………...…… 51-68 3.1. Pendekatan Penelitian ………. 51

3.2. Populasi dan sampel ………….………... 52

3.2.1. Populasi ………...………….……... 52

3.2.2. Sampel ………...…….. 52


(8)

8

3.3.1. Identifikasi variabel …………..……….…....…. 52

3.3.2. Definisi operasional variabel ……….……. 53

3.4. Pengumpulan Data ………..………….. 53

3.4.1. Teknik pengumpulan data .……….…… 53

3.4.2. Instrumen penelitian ……….…….…... 54

3.5. Uji Instrumen Penelitian ……….…… 60

3.5.1. Uji validitas instrumen penelitian ………….….. 60

3.5.2. Uji reliabilitas instrumen penelitian ………….… 61

3.6. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian ……….…. 62

3.6.1. Hasil uji coba instrumen self-regulated learning ... 64

3.6.2. Hasil uji coba instrumen adversity quotient .……. 65

3.7. Teknik Analisa Data ……….…….. 66

3.8. Prosedur Penelitian ……….………… 67

BAB IV HASIL PENELITIAN ………..……….. 69-81 4.1. Gambaran umum responden ……….…… 69

4.1.1. Gambaran umum berdasarkan jenis kelamin ….…. 69 4.1.2. Gambaran umum berdasarkan usia …………...….. 70

4.2. Deskriptif Statistik Variabel Penelitian ……..……….….. 71

4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ………...…….. 71

4.3.1. Kategorisasi skor self-regulated learning….…….. 71

4.3.2. Kategorisasi skor adversity quotient………….….. 72

4.3.3. Kategorisasi skor prestasi belajar ………...…. 73

4.4. Uji Hipotesis Penelitian ……….……...…….… 74

4.4.1. Analisis regresi variabel penelitian ………. 74


(9)

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ……....……... 82-87

5.1. Kesimpulan ……….…....…..……... 82

5.2. Diskusi ……….……..………….. 83

5.3. Saran ………..……….…....……. 86

5.3.1. Saran teoritis ………...…….…....…….. 86

5.3.2. Saran praktis ……….…...…….. 87

DAFTAR PUSTAKA ……….……...….….. 88 LAMPIRAN


(10)

10

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue print skala self-regulated learning untuk tryout ... 54

Tabel 3.2 Format penilaian skala self-regulated learning ... 57

Tabel 3.3 Blue print skala adversity quotient untuk tryout ... 58

Tabel 3.4 Format penilaian skala adversity quotient ... 59

Tabel 3.5 Blue print hasil tryout skala self-regulated learning ... 62

Tabel 3.6 Blue print hasil tryout skala adversity quotient ... 65

Tabel 4.1 Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin ... 69

Tabel 4.2 Gambaran umum responden berdasarkan usia ... 70

Tabel 4.3 Deskriptif statistik variabel penelitian ... 71

Tabel 4.4 Kategorisasi skor self-regulated learning ... 72

Tabel 4.6 Kategorisasi skor adversity quotient ... 72

Tabel 4.8 Kategorisasi skor prestasi belajar ... 73

Tabel 4.9 Anova ... 74

Tabel 4.10 Model summary ... 75

Tabel 4.11 Coefficient ... 76

Tabel 4.12 Keterangan persamaan regresi prestasi belajar ... 77


(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir pengaruh self-regulated learning dan

adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka ……….. 48


(12)

12

1. Surat izin penelitian 2. Surat keterangan penelitian 3. Alat ukur penelitian

4. Hasil perhitungan statistik 5. Data mentah

6. Data nilai rapot


(13)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara kepulauan. Keadaan geografis yang luas dan terdiri dari lebih dari 13.000 pulau, menyulitkan transportasi dan komunikasi. Hal ini yang mendorong penggunaan sistem pendidikan jarak jauh dan terbuka. Salah satu bentuk sistem pendidikan ini adalah SMP Terbuka (Suparman & Zuhairi, 2004). Sampai pada tahun 2011 ini jumlah SMP Terbuka sebanyak 2.111 sekolah dan 7.413 tempat kegiatan belajar (TKB) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan jumlah siswa sebanyak 248.432 orang, jumlah guru bina sebanyak 26.248 orang serta jumlah guru pamong sebanyak 15.221 orang (http://pikiran-rakyat.com/). Mengacu dari data ini SMP Terbuka dapat menjadi alternatif pendidikan, sehingga tidak berlebihan jika SMP Terbuka mendapatkan perhatian khusus baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Saat ini SMP Terbuka telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan di Indonesia. SMP Terbuka adalah suatu subsistem pendidikan pada tingkat SMP yang mengutamakan siswanya belajar secara mandiri dengan bimbingan terbatas dari orang lain (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005). Sistem pendidikan jarak jauh (termasuk juga SMP Terbuka), menurut Suparman dan Zuhairi (2004) telah di tempatkan sebagai sistem pendidikan yang bersifat komplementer terhadap sistem pendidikan biasa. Bahkan lebih tegas, Miarso (2004) memandang bahwa SMP Terbuka bukan sekedar pendidikan komplementer atau suplementer, melainkan sebagai pendidikan kompensatorik


(14)

14

yang bisa menjadi pengganti yang statusnya paralel terhadap lembaga pendidikan yang telah ada. Sedangkan menurut Belawati (1999) SMP Terbuka merupakan sekolah yang didirikan pemerintah untuk siswa yang memiliki kendala dalam memperoleh pendidikan pada bidang ekonomi, sosial dan geografis.

Sesuai dengan misi SMP Terbuka, dengan adanya SMP Terbuka diharapkan dapat melayani anak tamatan SD/MI terutama yang berusia 13-15 tahun atau maksimal 18 tahun yang kurang beruntung karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis atau menghadapi kendala waktu, sehingga tidak memungkinkan untuk mengikuti pelajaran sebagai siswa SMP reguler (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005). Kendala dalam bidang geografis, menyulitkan siswa untuk pergi ke sekolah setiap hari karena tinggal di daerah terpencil yang jauh dari gedung sekolah dan juga tidak ada transportasi, maka anak itu tidak dapat menghadiri pelajaran di sekolah seperti anak lainnya (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005). Bahkan sekalipun di lokasi tersebut dibangun sekolah, belum tentu siswa dapat mengikuti pendidikan seperti di sekolah reguler karena kendala ekonomi yang mengharuskannya membantu orangtua dengan bekerja pada jam-jam sekolah (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005).

Oleh karena itu metode pembelajaran di SMP Terbuka disesuaikan dengan karakteristik dari para pembelajarnya yaitu menerapkan metode belajar mandiri, dengan metode belajar mandiri menghendaki siswa untuk belajar sendiri atau kelompok yang tidak terlalu bergantung kepada guru pamong atau fasilitator atau tutor. Tidak seperti sistem pendidikan konvensional (reguler) yang


(15)

menggunakan sistem belajar tatap muka di kelas. (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005).

Dalam proses belajar mengajar di SMPT jumlah jam tatap muka dengan guru bina (guru mata pelajaran) di sekolah induk hanya 6-12 jam perminggu, dan selebihnya siswa belajar di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) dibimbing oleh guru pamong, yang merupakan anggota masyarakat yang diserahi tugas untuk membimbing kegiatan belajar siswa di TKB. Lokasi TKB diusahakan berada dekat dengan tempat tinggal siswa, jadi setiap SMP Terbuka memiliki beberapa TKB yang jumlah dan penyebaran lokasinya ditentukan berdasarkan keadaan dan kondisi siswanya (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005).

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa siswa SMP Terbuka tidak belajar bersama guru, tidak ada orang yang mengatur belajar siswa sehingga siswa harus dapat mengatur belajarnya sendiri, seperti harus dapat menyusun jadwal kegiatan belajarnya sendiri sesuai dengan waktu yang dimilikinya dan juga ketika menghadapi kesulitan dalam mempelajari suatu topik pelajaran siswa dapat mencari bantuan kepada orang lain yang dianggap mampu dan mau membantu memecahkan persoalannya seperti orang tua, teman, kakak, guru atau lainnya (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005).

Pengaturan diri dalam belajar tersebut perlu dilakukan agar siswa SMP Terbuka berhasil dalam mengikuti proses belajar di SMP Terbuka. Sesuai dengan visi SMP Terbuka yaitu menghasilkan lulusan yang berkualitas, mandiri dan bertanggung jawab serta menjangkau sasaran yang luas (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005). Jadi penyelenggaraan SMPT tidak hanya


(16)

16

menitikberatkan pada segi kuantitas yakni hanya sekedar menampung siswa sebanyak mungkin, melainkan penekanan untuk diberikan pada segi kualitas pendidikan, dengan kata lain penyelenggaraan SMP Terbuka diharapkan pada lulusannya memiliki kompetensi pengetahuan dan keterampilan (Nurhayati, 2006). Untuk mencapai visi tersebut siswa SMP Terbuka dituntut memiliki prestasi belajar yang baik, karena seperti yang diungkapkan Winkel (1996) bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.

Namun, Prestasi belajar siswa SMP Terbuka tahun ini masih terhitung rendah. Hal itu dapat di lihat dari taraf kelulusan siswa SMP Terbuka pada Ujian Nasional (UN) tahun 2011, contohnya SMP Terbuka Pragan (Sumenep, Jawa Timur), SMP Terbuka Cepiring (Jawa Tengah), SMP Terbuka Tretep (Temanggung, Jawa Tengah), SMP Terbuka Tembarak (Temannggung, Jawa Tengah) dan SMP Terbuka Bulun (Temanggung, Jawa Tengah) yang memiliki taraf kelulusan 0%, artinya tidak ada satupun siswa SMPT yang lulus dalam ujian pada sekolah-sekolah tersebut. Jadi jika dilihat pada tingkat SMP/sederajat di seluruh Indonesia yang mengikuti ujian nasional, ketidaklulusan tertinggi terjadi pada SMP Terbuka yang persentasenya mencapai 28,92%, sedangkan SMP dan MTs, masing-masing sebesar 7,01% serta 4,71% (http://kompas.com/). Tentunya prestasi belajar seperti itu sangat tidak diharapkan oleh lembaga pendidikan apapun, karena prestasi belajar dapat dikatakan sebagai indikator keberhasilan dari suatu proses belajar mengajar (Hakim, 2000).

Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu diupayakan berbagai hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Seperti yang


(17)

sudah diungkapkan sebelumnya, salah satu cara agar siswa dapat berhasil dalam belajarnya yaitu dengan mengatur belajarnya. Dalam psikologi pendidikan, bagaimana siswa mengatur belajarnya sendiri dikenal dengan istilah self-regulated learning.

Self-regulated learning digambarkan sebagai strategi-strategi yang digunakan siswa untuk mengatur kognisinya (menggunakan strategi-strategi kognitif dan metakognitif) dan juga penggunaan strategi mengelola sumber pengetahuan (Pintrich, 1999)

Senada dengan pengertiannya, ada tiga komponen utama/penting dalam self-regulated learning. Pertama Strategi kognitif (cognitive strategy), strategi ini digunakan siswa untuk belajar yaitu mengingat dan memahami materi pelajaran. Strategi kognitif ada tiga macam yaitu rehearsal, elaboration, dan organization. Kedua strategi metakognitif (metacognitive startegy), strategi metakognitif digunakan siswa untuk merencanakan, memonitor dan meregulasi berbagai hal untuk mencapai tujuan. Ketiga strategi mengelola sumber pengetahuan (resource management strategy), pada dimensi ini untuk melihat bagaimana siswa mengelola atau mengatur sumber pengetahuannya, seperti; waktu, lingkungan belajar, kerjasama dengan teman sebaya dan mencari dukungan atau bantuan.(Pintrich, 1999).

Self-regulated learning siswa dapat diketahui dengan melihat strategi-strategi self-regulated learning yang digunakan siswa karena strategi self-regulated learning merupakan aksi dalam proses mendapatkan informasi dan keterampilan secara langsung, sehingga penggunaan strategi self-regulated


(18)

18

learning ini sangat penting bagi siswa (Zimmerman, 1989). Tentunya strategi-strategi self-regulated learning ini berkaitan dengan kognitif, metakognitif serta pengelolaan sumber pengetahuan.

Dengan meregulasi dirinya dalam belajar, siswa dapat memperluas pengetahuan dan menjaga motivasinya, secara periodik memonitor kemajuannya dalam mencapai tujuan, dapat mengevaluasi halangan yang muncul dan melakukan penyesuaian yang dibutuhkan (Winne, dalam Santrock 2001).

Riset sebelumnya mendukung pentingnya pengaturan diri terhadap prestasi belajar. Seperti Zimmerman (dalam Santrock 2001) telah menemukan bahwa siswa yang berprestasi tinggi adalah para self-regulated learner yaitu siswa yang mengatur belajarnya. Penelitian senadapun dilakukan oleh Pintrich dan De Groot (dalam Chen 2002) yang hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang berprestasi tinggi dilaporkan lebih banyak menggunakan strategi-strategi self-regulated learning daripada siswa yang meraih prestasi rendah.

Dari hasil riset para tokoh tersebut, dapat dikatakan bahwa self-regulated learning merupakan salah satu langkah dalam pencapaian prestasi belajar yang baik. Seperti yang di ungkapkan Zimmerman dan Schunk (2001) bahwa penggunaan berbagai proses untuk mengatur belajarnya (self-regulated learning) adalah faktor yang berpengaruh dalam prestasi akademis.

Namun ada pula yang melakukan penelitian mengenai hubungan antara self-regulated learning dengan prestasi belajar menunjukkan hasil yang berlawanan dengan hasil penelitian para tokoh. Seperti hasil penelitian Indri (2001) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara self-regulated


(19)

learning dengan prestasi belajar. Senada dengan hasil penelitian Pelt (2008) yang menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara self-regulated learning dengan prestasi belajar. Walaupun demikian secara teoritis self-regulated learning merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Tentunya prestasi belajar ini tidak hanya dipengaruhi oleh self-regulated learning saja, namun dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

Salah satu faktor lainnya yang diasumsikan mempengaruhi prestasi belajar adalah daya juang atau yang dikenal dengan istilah adversity quotient (AQ). AQ didefinisikan oleh Stoltz (2000) dalam tiga bentuk. Pertama, AQ sebagai konsep kerangka kerja yang baru dalam memahami dan mempertinggi semua bagian dari kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan. Ketiga, AQ sebagai alat yang didasarkan pada penelitian ilmiah untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam berespon terhadap kesulitan.

Singkatnya AQ merupakan suatu upaya untuk melihat bagaimana respon seseorang terhadap kesulitannya, apakah akan terus berusaha dalam mengatasi kesulitannya tanpa menyerah, yang dikenal dengan istilah ”mendaki”, ataukah seseorang akan menyerah pada kesulitannya. Seseorang yang terus mendaki dapat disebut seseorang yang memiliki daya juang tinggi/AQ yang tinggi dan sebaliknya seseorang yang menyerah pada kesulitan, ia dapat disebut memiliki daya juang rendah/AQ rendah (Stoltz, 2000).

Konsep AQ ini muncul karena menurut Stoltz (2000), IQ (intelligence quotient) dan EQ (emotional quotient) belum cukup untuk memprediksi


(20)

20

keberhasilan seseorang sehingga Stoltz mengajukan suatu teori yang menjembatani antara IQ dan EQ yang merupakan faktor penting yang mampu membuat seseorang memaksimalkan potensi EQ dan IQ nya. Sebab tanpa ada usaha/daya juang yang tinggi, maka EQ dan IQ seseorang akan menjadi sia-sia, tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu daya juang sangat diperlukan dalam pencapaian keberhasilan. Dengan demikian AQ perlu ditingkatkan, terlebih untuk siswa SMP Terbuka yang tidak hanya memiliki permasalahan dalam bidang akademis karena perannya sebagai siswa tetapi seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa siswa SMP Terbuka memiliki masalah lainnya yaitu dalam bidang sosial, ekonomi dan juga geografis, sehingga jika siswa SMP Terbuka ingin berhasil/sukses dalam belajarnya maka diperlukan AQ yang tinggi.

AQ mempunyai dimensi yang dikenal dengan istilah CO2RE, yaitu

control (pengendalian), origin dan ownership (asal usul dan pengakuan), reach (jangkauan) dan endurance (daya tahan) (Stoltz, 2000). Dari dimensi ini dapat melihat bagaimana seseorang merespon kesulitannya, sekaligus dapat melihat hubungan antara AQ dan keberhasilan (termasuk keberhasilan akademis).

Tingginya dimensi control menunjukkan individu mempersepsikan lebih banyak kendali yang ia miliki pada kesulitan yang sedang dihadapi sehingga memungkinkan untuk bertahan melewati kesulitan yang ada, sedangkan individu dengan control yang rendah sering merasa tidak berdaya bila dihadapkan dengan kesulitan, karena menganggap kesulitan merupakan hal diliuar kendalinya.

Individu dengan dimensi origin dan ownership yang tinggi menunjukkan seseorang menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi


(21)

disebabkan oleh dirinya sendiri dan diri kita sendiri yang bertanggung jawab atas kegagalan/kesalahan yang terjadi serta cepat bangun untuk memperbaikinya.

Rendahnya dimensi reach ini menunjukkan seseorang menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi akan menjangkau pada aspek kehidupannya yang lain, sedangkan tingginya nilai dimensi ini menunjukan seseorang membatasi jangkauan masalah pada peristiwa yang sedang dihadapi saja.

Dimensi endurance yang tinggi menunjukkan seseorang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menghadapi kesulitan sehingga kesulitan dianggap hanya akan berlangsung sebentar sehingga hal ini akan meningkatkan optimisme dan kekuatan untuk menyongsong tantangan hidup yang lebih sulit, dan sebaliknya dengan endurance yang rendah seseorang menganggap kesulitan akan berlangsung lama.

Secara umum seseorang yang memiliki CO2RE yang tinggi, ia akan

merespon kesulitan dengan rasa berdaya/mampu, optimis, bersemangat sehingga peluang meraih keberhasilan menjadi lebih besar. Demikian pula dengan siswa SMP Terbuka yang memiliki CO2RE yang tinggi akan lebih mudah meraih

prestasi yang baik karena mampu melokalisir kesulitan-kesulitan yang ada.

Penelitian sebelumnya mendukung pentingnya AQ terhadap prestasi belajar. Seperti William (2003) telah menemukan bahwa siswa dengan AQ yang tinggi menunjukkan prestasi yang lebih baik dibanding siswa dengan AQ yang rendah. Dweck (dalam Stoltz, 2000) telah menemukan bahwa anak-anak dengan


(22)

22

respon pesimis terhadap kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi rendah bila dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola lebih optimis.

Dari penelitian-penelitian tersebut memperkuat asumsi bahwa AQ mempengaruhi prestasi belajar. Namun penelitian mengenai AQ dengan prestasi belajar yang dilakukan Mamahit (2000) menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara AQ dan prestasi belajar. Begitu pun penelitian yang dilakukan Tjundjung (2001) yang menunjukkan hasil serupa yaitu tidak ada kaitan antara AQ dengan prestasi belajar. Walaupun demikian secara teoritis AQ merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Seperti yang diungkapkan Stoltz (2000) yang bahwa AQ merupakan prediktor global terhadap kesuksesan. Dan kesuksesan atau keberhasilan dalam bidang pendidikan, khususnya sekolah ditunjukkan dengan prestasi belajar yang baik.

Berdasarkan fakta, teori dan penelitian-penelitian sebelumnya, yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh self-regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka”.


(23)

1.2.1. Pembatasan masalah

Untuk menjaga agar penelitian ini terfokus dan tidak melebar terlalu jauh maka penulis membatasi masalah sebagai berikut:

a. Self-regulated learning; dalam penelitian ini self-regulated learning yang diteliti menggunakan konsep self-regulated learning Pintrich (1999) yang terdiri dari: cognitive strategy (strategi kognitif), metacognitive strategy (strategi metakognitif) dan resource management strategy (strategi mengelola sumber pengetahuan).

b. Adversity quotient; pada penelitian ini adversity quotient yang diteliti menggunakan konsep adversity quotient Stoltz (2000) yang terdiri dari: control (pengendalian), origin dan ownership (asal usul dan pengakuan), reach (jangkauan),dan endurance (daya tahan).

c. Prestasi belajar; adapun prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prestasi yang diraih dalam kurun waktu satu semester, yaitu nilai rata-rata persiswa, yang dihitung dari jumlah nilai seluruh mata pelajaran yang didapati dalam buku rapot kemudian dibagi dengan jumlah mata pelajaran. Pada penelitian ini penulis menggunakan nilai rapot semester akhir.

d. Siswa SMP Terbuka; dalam penelitian ini penulis memilih tempat di SMP Terbuka Bojong Mangu yang melibatkan siswa kelas VIII dan IX.


(24)

24

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan self-regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi cognitive strategy terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi metacognitive strategy terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi resource management strategy terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi control terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi origin dan ownership terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi reach terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi endurance terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka?

9. Berapakah proporsi varian masing-masing variabel independen?


(25)

1.3.1. Tujuan penelitian

Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh yang signifikan self-regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

1.3.2. Manfaat penelitian a. Manfaat secara teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap ilmu pengetahuan dan pengembangan pendidikan, terutama dalam self-regulated learning, adversity quotient dan prestasi belajar. Selain itu diharapkan juga dapat memperkaya hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya dan menjadi bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

b. Manfaat secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaca terutama siswa SMP Terbuka untuk meningkatkan self-regulated learning, dan adversity quotientnya. Serta untuk para guru SMP Terbuka agar dapat membantu siswanya dalam meningkatkan self-regulated learning dan juga daya juangnya sehingga siswa dapat mencapai prestasi belajar yang baik, dengan cara memberi informasi mengenai self-regulated learning dan adversity quotient.


(26)

26

Dalam karya tulis ini penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB 1 : PENDAHULUAN, dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB 2 : KAJIAN TEORI, pada bab ini penulis menjabarkan antara lain : prestasi belajar: pengertian prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dan pengukuran prestasi belajar; self-regulated learning: pengertian self-regulated learning, karakteristik siswa yang memiliki self-regulated learning, dan faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning, strategi-strategi self-regulated learning, dimensi self-regulated learning serta self-regulated learning dan prestasi belajar di SMP Terbuka; adversity quotient: pengertian adversity quotient, faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient, dimensi adversity quotient, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

BAB 3 : METODE PENELITIAN, dalam bab ini penulis menguraikan tentang pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, pengumpulan data, uji instrumen penelitian, hasil uji coba instrumen penelitian, teknik analisa data dan prosedur penelitian. BAB 4 : ANALISIS HASIL PENELITIAN, dalam bab ini penulis akan


(27)

responden, deskriptif statistik variabel penelitian, kategorisasi skor variabel penelitian, dan uji hipotesis variabel penelitian.

BAB 5 : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN, pada bab ini penulisi akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(28)

28

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bab 2 ini dibahas teori dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi: prestasi belajar: pengertian prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar; self-regulated learning: pengertian self-regulated learning, karakteristik siswa dengan self-regulated learning, dan faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning, dimensi self-regulated learning serta self-regulated learning dan prestasi belajar di SMP Terbuka; adversity quotient: pengertian adversity quotient, faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient dan dimensi adversity quotient serta kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

2.1. Prestasi Belajar

2.1.1. Pengertian prestasi belajar

Chaplin (2004) menyamakan kata prestasi dengan kata achievement, yang memiliki pengertian sebagai berikut:

a. Pencapaian atau hasil yang telah diperoleh, b. Sesuatu yang telah dicapai, dan

c. Satu tingkat khusus dari kesuksesan karena mempelajari tugas-tugas, atau tingkat tertentu dari kecakapan atau keahlian dalam tugas-tugas sekolah atau akademis. Secara pendidikan atau akademis prestasi merupakan satu tingkat khusus berupa perolehan atau hasil keahlian dalam karya akademis yang


(29)

dinilai guru-guru, lewat tes-tes yang dibakukan atau lewat kombinasi kedua hal tersebut.

Menurut Syah (2004) prestasi belajar sebagai hasil yang dicapai oleh siswa, yang terungkap dari hasil evaluasi terhadap proses pembelajarnya. Hal senada diungkap Setiawati (1992) yang menjelaskan bahwa prestasi belajar merupakan hasil belajar yang dicapai setelah melalui proses belajar yang dinyatakan dengan nilai.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Sedangkan Suryabrata (2005), berpendapat bahwa prestasi belajar sebagai hasil dari suatu proses yang biasanya dinyatakan dalam bentuk kuantitatif (angka) yang khusus diberikan untuk proses evaluasi, misalnya rapot hasil ini diberikan kepada siswa pada akhir semester setelah pelaksanaan ujian akhir.

Namun dalam penelitian ini pengertian prestasi belajar yang digunakan adalah pengertian yang diungkap Winkel (1996) yang mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. 2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Prestasi belajar yang dicapai individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap prestasi belajar antara lain yaitu:


(30)

30

a. Faktor internal

1) Menurut Suryabrata (2001) aspek jasmani (fisiologis) yang dibedakan menjadi dua macam yakni:

a. Keadaan tonus jasmani pada umumnya

Jasmani yang sedang lelah atau sakit dapat mengganggu aktivitas belajar seseorang sehingga kegiatan belajarnya kurang maksimal. b. Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu, terutama pancaindera.

Pancaindera memegang peranan penting dalam belajar, terutama indera penglihatan dan pendengaran. Sehingga fungsi pancaindera yang kurang baik dapat memungkinkan terjadinya hambatan pada aktivitas belajar seseorang.

2) Aspek psikologis

Aspek psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa adalah tingkat intelegensi,sikap siswa terhadap guru dan pelajaran, bakat, minat dan motivasi. Semuanya saling berkaitan, semakin tinggi intelegensi siswa yang diiringi oleh bakat, minat, motivasi dan sikap siswa terhadap guru dan mata pelajaran memungkinkan siswa untuk memperoleh hasil belajar yang baik (Syah, 2004).

b. Faktor eksternal 1) Aspek sosial

a. Lingkungan sosial sekolah, seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang


(31)

simpatik dan memperlihatkan suritauladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.

b. Lingkungan sosial masyarakat, seperti tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.

c. Lingkungan sosial keluarga, lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga dan ketegangan keluarga, semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang di capai oleh siswa.

2) Aspek nonsosial

Faktor-faktor yang termasuk aspek nonsosial adalah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa (Syah, 2004).


(32)

32

3) Aspek budaya

Dalam hal ini seberapa besar adat atau kebudayaan memberi dukungan pada warganya untuk menggunakan ilmu pengetahuan (seperti buku bacaan) dan teknologi yang dapat mendukung aktivitas belajarnya (Ahmadi, 1991).

c. Faktor pendekatan belajar 1) Faktor stimuli belajar

Yang di maksud adalah segala hal di luar individu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar yang berkenan dengan:

1. Panjang bahan pelajaran

Semakin panjang bahan pelajaran, semakin panjang pula waktu yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.

2. Kesulitan bahan pelajaran

Bahan pelajaran yang semakin sulit dapat memperlambat seseorang untuk memahaminya, sehingga membutuhkan aktivitas belajar yang lebih intensif.

3. Berat ringannya tugas yang diberikan

Hal ini erat hubungannya dengan tingkat kemampuan individu. Tugas yang sama kadar kesukaranya berbeda-beda bagi setiap individu karena kapasitas intelektual dan pengalaman mereka belum tentu sama (Ahmadi, 1991).


(33)

2) Faktor metode belajar

Metode belajar yang di pakai oleh guru sangat mempengaruhi metode yang di pakai oleh siswa. Faktor ini menyangkut beberapa hal sebagai berikut:

a. Pengenalan hasil-hasil belajar

Dengan mengetahui hasil belajar yang telah di capai ia akan berusaha untuk meningkatkan hasil yang lebih baik lagi.

b. Penggunaan modalited indera

Setiap orang memiliki penekanan yang berbeda dalam belajar, oleh karena itu, ada yang menekankan impresi oral, visual, kinestetik atau kombinasi dari itu semua (Ahmadi, 1991).

3) Faktor cara belajar

Cara belajar yang digunakan siswa dapat berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa, namun tergantung dari cara belajar yang digunakan siswa. Misalnya seorang siswa terbiasa mengaplikasikan cara belajar deep, yang berpeluang untuk meraih prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan cara belajar surface atau reproductive (Syah, 2004).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang itu memiliki prestasi baik atau buruk terdapat dalam dua aspek yakni aspek dalam (internal) dan aspek luar (eksternal). Aspek dalam bisa di tandai dengan tingkat intelegensi seseorang, motivasi, minat dan lain sebagainya. Sedangkan aspek luar diri seseorang itu sangat tergantung lingkungan


(34)

34

yang ada di sekitar individu. Selain kedua aspek tersebut, ada juga yang mempengaruhi prestasi seseorang dalam belajar, yakni pendekatan belajar seseorang. Dari pendekatan ini sebenarnya mengacu pada aspek yang ada dalam belajar yakni pengajar atau guru dan siswa. Baik guru ataupun siswa dapat bekerjasama dalam proses belajar yang baik sehingga menghasilkan hasil yang baik. Selain itu ada faktor lain yang secara teoritis mempengaruhi prestasi belaajr siswa yaitu self-regulated learning dan adversity quotient.

Banyak para ahli yang melakukan penelitian tentang self-regulated learning dihubungkan dengan prestasi belajar yang menunjukkan hasil yang positif, sehingga seperti Zimmerman (1990), Zimmerman dan Schunk (2001), mengungkapkan bahwa self-regulated learning merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Adversity quotient pun dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar didasarkan dari penelitian para ahli seperti Mark (2003), Dweck (2000) yang menunjukkan hasil bahwa siswa ber AQ tinggi memiliki prestasi yang lebih baik, bahkan Stoltz (2000) dengan tegas mengungkapkan bahwa AQ merupakan prediktor global terhadap kesuksesan. 2.1.3. Pengukuran prestasi belajar

Pada pendidikan di sekolah, untuk mengetahui prestasi belajar siswa dilakukan pengukuran dan penilaian dengan memberikan tes atau ujian. Prestasi belajar siswa diukur setiap akhir semester, meliputi seluruh mata pelajaran siswa dalam semester, yang kemudian dituangkan dalam buku rapot.

Untuk mendapatkan nilai rapot seorang guru menggunakan berbagai sarana evaluasi akademis seperti nilai ulangan harian. Pada SMP Terbuka nilai


(35)

ulangan harian ini terdapat dua jenis yaitu nilai tes akhir modul dan nilai tes akhir unit (Petunjuk Praktis Bagi Guru Bina, Depdiknas 2005). Sarana evaluasi yang terakhir yaitu nilai ulangan umum, dalam Petunjuk Praktis Bagi Guru Bina (Depdiknas, 2005) nilai rapot didapat dari:

R = P + 2 Q 3

R= nilai rapot P= rata-rata ulangan harian Q= hasil ulangan umum

Di dalam Petunjuk Praktis Bagi Guru Bina (Depdiknas, 2005) nilai rata-rata ulangan harian didapat dari:

P = M + 2 U 3

M= hasil tes akhir modul U= hasil tes akhir unit

Nilai kuantitatif dalam rapot memiliki skala 0 – 100 untuk nilai mata pelajaran (Laporan Hasil Belajar Siswa SMP Negeri 1 Bojong Mangu, Pemerintah Kabupaten Bekasi). Nilai rapot ini diberikan kepada siswa pada setiap akhir semester.

Dalam penelitian ini, informasi dari buku rapot yang penulis gunakan adalah nilai rata-rata persiswa, yang dihitung dari jumlah nilai seluruh mata pelajaran yang didapati dalam buku rapot yang kemudian dibagi dengan jumlah


(36)

36

mata pelajaran. Pada penelitian ini penulis menggunakan nilai rapot semester akhir.

2.2. Self-Regulated Learning

2.2.1. Pengertian Self-Regulated Learning

Self-regulated learning memiliki definisi yang beragam dari para ahli sesuai dengan kepentingan dan konsentrasi mereka. Menurut Zimmerman (1989) self-regulated learning adalah ”kemampuan siswa secara metakognisi,

motivasional, dan perilaku yang berpartisipasi aktif dalam proses belajar”. Lebih lanjut lagi Zimmerman (1989) mengatakan, bahwa dalam self-regulated learning secara pribadi siswa mengatur dan mengarahkan perilakunya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan tanpa tergantung kepada guru, orangtua atau lainnya. Self-regulated learning juga merupakan sebuah tindakan inisiatif diri dalam menetapkan tujuan dan mengatur usaha untuk mencapai tujuan (Zimmerman & Risemberg, dalam Chen, 2002).

Santrock (2001) pun mengungkapkan bahwa self-regulated learning merupakan kegiatan memonitor diri terhadap pikiran, perasaan dan sikap dalam mencapai tujuan. Winne (dalam Azevedo & Cromley, 2004) mengatakan bahwa self-regulated learning merupakan proses yang bermanfaat untuk siswa dalam mengatur tujuan belajarnya dan sebagai usaha untuk memonitor, mengatur dan mengontrol kognisi, motivasi dan sikapnya dalam mencapai tujuan. Tujuan disini dapat yang berkaitan dengan akademis (seperti meningkatkan pemahaman dalam


(37)

membaca) dan tujuan yang berkaitan dengan socioemotional (seperti mengontrol emosi, meningkatkan hubungan yang baik dengan teman).

Woolfolk (2008) menambahkan bahwa self-regulated learning adalah keterampilan yang akan diterapkan untuk menganalisis tugas-tugas belajar, menetapkan tujuan dan merencanakan cara untuk mengerjakan tugas itu, dan khususnya membuat keputusan tentang bagaimana belajar dilaksanakan.

Pada penelitian ini pengertian self-regulated learning yang dipakai adalah pengertian yang diungkap Pintrich (1999) yang mengungkapkan bahwa self-regulated learning digambarkan sebagai strategi-strategi yang digunakan siswa untuk mengatur kognisinya (menggunakan strategi-strategi kognitif dan metakognitif) dan juga penggunaan strategi mengelola sumber pengetahuan. 2.2.1. Karakteristik siswa yang memiliki self-regulated learning

Borkowski dan Schneider (dalam Wolters 2003) mengungkapkan siswa yang memiliki self-regulated learning (self-regulated learner) memiliki pengetahuan yang luas mengenai bermacam-macam strategi kognitif, yang dapat meningkatkan belajar siswa. Sedangkan menurut Butler dan Winne (dalam Wolter 2003) self-regulated learner adalah siswa yang menggunakan kemampuan metakognisinya, dan juga berpengalaman mengenai proses berpikir dan belajar dan memiliki strategi-strategi untuk memonitor dan belajarnya. Lain halnya dengan Woolfolk (2008) yang mengatakan bahwa self-regulated learner adalah siswa mengenal dirinya dengan baik (seperti mengetahui minat dan bakatnya, apa yang disukainya, apa yang mudah dan sulit baginya, bagaimana memanfaatkan


(38)

38

kekuatannya dan mengatasi kesulitannya) dan juga self-regulated learner sangat termotivasi untuk belajar.

Selain itu Corno dkk (dalam Montalvo & Torres, 2004) menunjukkan karakteristik self-regulated learner sebagai berikut:

a) mengenal dan tahu bagaimana menggunakan strategi-strategi kognitif (repetisi, elaborasi dan organisasi), yang membantu siswa untuk memperhatikan, menyusun, merinci dan memperoleh informasi.

b) tahu bagaimana merencanakan, mengontrol dan mengarahkan proses mental siswa terhadap pencapaian tujuan pribadi.

c) menunjukkan keyakinan yang dapat memotivasi diri, seperti; rasa keyakinan diri yang tinggi dalam berprestasi dan emosi yang adaptif/positif, seperti; kepuasan dan antusiasme.

d) merencanakan dan mengontrol waktu dan usaha dalam mengerjakan tugas, dan siswa tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang baik, contohnya seperti; menemukan tempat yang cocok untuk belajar.

e) menunjukkan usaha yang lebih besar di dalam mengontrol dan meregulasi tugas akademik, struktur dan iklim kelas.

f) memiliki kemauan yang kuat (will-power/volitional), bertujuan untuk menghindari kekacauan dalam belajarnya, selain itu untuk menjaga konsentrasi, usaha dan motivasi siswa selama pengerjaan tugas akademik.

Selanjutnya Winne (dalam Santrock, 2001) mengemukakan karakteristik self-regulated learner adalah:


(39)

b) menyadari keadaan emosinya dan memiliki strategi untuk mengelola emosinya.

c) secara periodik memonitor kemajuannya dalam mencapai tujuan.

d) menyesuaikan dan memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang telah dibuatnya.

e) mengevaluasi halangan yang mungkin muncul dan melakukan penyesuaian yang dibutuhkan.

Jadi jika dilihat secara keseluruhan yang diungkapkan oleh para tokoh, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa siswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning (self-regulated learner) adalah siswa yang mengenal dirinya dengan baik, baik kelebihan ataupun kekurangan yang ada pada dirinya, dan juga mengetahui bagaimana cara memanfaatkan kelebihannya juga mengatasi kekurangannya, sehingga sikap dan emosi yang muncul dari para self-regulated learner adalah sikap dan emosi yang positif terhadap belajarnya.

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning

Mengacu pada teori sosial kognitif, self-regulated learning di pengaruhi oleh tiga faktor besar. Sebagaimana dijelaskan Bandura (dalam Zimmerman 1989), bahwa self-regulated learning tidak hanya ditentukan oleh proses dalam diri (personal process) saja, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan (environment) dan perilaku (behavioral) yang memiliki timbal balik.

a. Proses dalam diri (Personal process)

Proses dalam diri merupakan salah satu faktor penting dalam self-regulated learning. Beberapa strategi self-regulated learning sangat terkait dengan apa


(40)

40

yang terjadi dalam diri siswa. Salah satu bagian proses dalam diri ini adalah self-efficacy yang merupakan kunci dari proses dalam diri (personal process). Self-efficacy merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh bagian-bagian lainnya yaitu pengetahuan siswa (student’s knowledge), proses metakognitif (metacognitive process), tujuan (goal) dan afeksi (Zimmerman, 1989).

1.Efikasi diri (Self-efficacy)

Para ahli teori sosial kognitif mengasumsikan bahwa self-efficacy merupakan faktor utama (variabel kunci) dalam self-regulated learning (Zimmerman, 1989). Bandura (dalam Zimmerman, 1989) mengemukakan, self-efficacy merupakan persepsi siswa akan kemampuan dirinya dalam mengelola dan melakukan tindakan-tindakan yang penting untuk memperoleh tingkat penampilan keterampilan dalam sebuah tugas.

Bandura (dalam Santrock, 2001) menambahkan, self-efficacy dapat mempengaruhi peserta didik akan tugas-tugasnya, pengarahan usaha, ketekunan dan prestasi. Jika dibandingkan dengan siswa yang memiliki ketidakyakinan atas kemampuan belajarnya, siswa yang memiliki self-efficacy tinggi menunjukan keterampilannya dalam mengerjakan tugas jauh lebih siap, bekerja lebih keras, tahan terhadap tugas-tugas yang lebih sulit, dan menunjukan prestasi lebih tinggi.


(41)

2. Pengetahuan siswa (Student’s knowledge)

Dua jenis pengetahuan yang mempengaruhi dalam self-regulated learning menurut Zimmerman (1989) yaitu :

a. Pengetahuan deklaratif (Declarative knowledge)

Berdasarkan Siegler (dalam Zimmerman, 1989), pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang memiliki kaitan yang jelas dengan kejadian di dunia luar. Jadi pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh siswa dari pengalamannya, yang tentunya dari pengalamannya itu mempengaruhi self-regulated learning siswa.

b. Pengetahuan regulasi diri (Self-regulative knowledge)

Yaitu pengetahuan yang mengandung pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana seseorang memakai strategi sedangkan pengetahuan kondisional berkaitan dengan kapan dan mengapa strategi yang di pakai dapat efektif. Sehingga pengetahuan ini mempengaruhi penggunaan self-regulated learning.

3. Tujuan (Goal)

Menetapkan sebuah tujuan, baik itu jangka pendek maupaun jangka panjang dalam sebuah proses belajar merupakan hal yang sangat penting. Dengan menetapkan tujuan siswa akan berusaha untuk meraih tujuan tersebut. Usaha dilakukan siswa berkaitan dengan penggunaan strategi self-regulated learning (Zimmerman, 1989).


(42)

42

4. Proses metakognitif (Metacognitive process)

Proses metakognitif adalah proses pengambilan keputusan yang mengatur penyeleksian dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Proses metakognitif tergantung dari penetapan tujuan. Dalam proses metakognitif, seseorang yang melakukan pengaturan diri meliputi merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri dan melakukan evaluasi diri selama proses mencapai kemahiran itu berlangsung (Corno dkk, dalam Zimmerman, 1990).

5. Afeksi

Zimmerman (1989), mengungkapkan bahwa afektif dapat juga mempengaruhi self-regulated learning. Misalnya, terdapat sebuah bukti bahwa kecemasan menghambat proses metakognitif, terutama proses mengontrol tindakan. b. Perilaku (Behavioral events)

Tiga kategori tindakan siswa terutama bagian yang relevan dalam melakukan analisa self-regulated learning adalah observasi diri (self-observation), penilaian diri (self-judgement) dan reaksi diri (self-reaction) (Zimmerman, 1989).

1. Observasi diri (Self-observasion)

Self-observasion adalah merupakan respon siswa yang melibatkan pemantauan yang sistematis terhadap performanya.

2. Penilaian diri (Self-judgement)

Self-judgement adalah respon yang melibatkan pembandingan yang sistematis antara performa (hasil kerjanya) dengan standar atau tujuan yang


(43)

ditetapkan. Dua cara yang dapat digunakan dalam melakukan self-judgement adalah membandingkan hasil yang di peroleh dengan hasil orang lain atau dengan standar tertentu.

3. Reaksi diri (Self-reaction)

Zimmerman (1989) mengungkapkan bahwa berdasarkan teori sosial kognitif, self-reaction ini terdiri dari tiga jenis yaitu (a) behavior self-reaction yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respon belajar yang spesifik, (b) personal self-reaction yang digunakan untuk meningkatkan proses-proses dalam dirinya selama belajar, dan (c) environmental self-reaction dimana siswa meningkatkan lingkungan-lingkungannya.

c. Hal-hal yang terjadi di luar diri/lingkungan (Environmental events)

Ada dua jenis lingkungan yang mempengaruhi self-regulated learning adalah pengalaman sosial dan struktur dari lingkungan belajar (Zimermman,1989).

1. Pengalaman sosial (Social experience)

Para ahli teori sosial kognitif telah banyak memberikan perhatian pada pengaruh pengalaman sosial/pengalaman enactive (langsung). Bandura (dalam Zimmerman, 1989) mengasumsikan bahwa belajar dengan cara mengamati tingkah laku atau perilaku sendiri, merupakan cara yang paling memberikan pengaruh untuk mengubah persepi siswa mengenai kemampuan dan meningkatkan ingatan pada pengetahuan tersebut. Berbagai pengalaman sosial siswa dapat berpengaruh terhadap penggunaan strategi regulasi diri baik secara positif ataupun negatif


(44)

44

tergantung dari pengalaman yang diperoleh. Bagian lain dari pengalaman sosial ini adalah modeling.

Model merupakan sumber untuk menampilkan keterampilan self-regulatory. Yang dapat ditiru dari model diantaranya adalah merencanakan dan mengelola waktu secara efektif, membangun lingkungan kerja atau belajar yang produktif, dan menggunakan sumber-sumber sosial (Schunk & Zimmerman, dalam Santrock, 2001). Modeling akan efektif bila model dirasa sama dengan observer. Modeling dari strategi-strategi self-regulated learning yang efektif dapat meningkatkan self-efficacy siswa, baik bagi siswa yang merasa kurang memiliki kemampuan maupun siswa yang yakin akan kemampuannya (Zimmerman, 1989).

2. Struktur lingkungan belajar (Structure of the learning context)

Secara khusus struktur lingkungan belajar memiliki dua elemen yaitu tugas akademik dan tempat belajar. Menurut teori sosial kognitif (Mischel dkk, dalam Zimmerman, 1989) belajar siswa sangat ditentukan oleh lingkungan belajar pada situasi itu terjadi. Perubahan tugas akademik untuk meningkatkan kesulitan atau merubah tempat belajar dari bising menjadi sepi dapat mempengaruhi afeksi self-regulated learning. Bandura (dalam Zimmerman, 1989), menunjukkan bukti bahwa penilaian siswa mengenai self-efficacy dipengaruhi langsung oleh kesukaran atau kesulitan tugas.


(45)

2.2.4. Strategi-strategi self-regulated learning

Zimmerman (1989) menekankan bahwa untuk dapat dikatakan mengatur belajar (self-regulated), proses belajar siswa harus melibatkan penggunaan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademisnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa-siswa yang memperoleh prestasi tinggi dilaporkan telah menggunakan strategi-strategi self-regulated learning (Pintrich & DeGroot, dalam Chen, 2002). Strategi self–regulated learning adalah aksi dalam proses mendapatkan informasi dan keterampilan secara (Zimmerman, 1989).

Zimmerman dan Martinez Pons (1990) mengembangkan structured interview, Self-regulated Learning Interview Schedule (SRILIS) untuk mengukur strategi self-regulated learning yang digunakan siswa. Structured interview ini dikembangkan menjadi 14 kelas strategi self-regulated learning. Satu kategori di luar dari strategi-strategi self-regulated learning dinamakan other.

Strategi-strategi self-regulated learning sebagai berikut: 1. Evaluasi diri (Self-evaluation)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif dari siswa untuk mengevaluasi

kualitas atau kemajuan dari pekerjaan siswa. Contoh, ” Saya memeriksa kembali pekerjaan saya untuk memastikan telah benar.”

2. Mengatur dan transformasi (Organizing and transforming)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif dari siswa mengatur materi instruksional guna meningkatkan pembelajaran. Contoh, ”Saya membuat outlinesebelum mengerjakan makalah saya.”


(46)

46

3. Menetapkan dan merencanakantujuan (Goal setting and planning)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif siswa menetapkan tujuan, dan merencanakan urutan, waktu, dan penyelesaian terhadap tujuan tersebut.

Contoh, ”Pernah pertama kali saya harus belajar dua minggu sebelum ulangan tiba dan menyiapkan diri saya.”

4. Mencari informasi (Seeking information)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif siswa untuk berusaha mencari dan memastikan sumber-sumber non-sosial ketika menyelesaikan sebuah tugas.

Contoh, ”Sebelum mengerjakan tugas saya ke perpustakaan dulu mencari sebanyak mungkin bahan untuk tugas tersebut.”

5. Menyimpan rekaman dan memonitor diri (Keeping record and monitoring) Pernyataan yang mengindikasikan siswa dalam merekam kejadian ataupun

hasil dari pekerjaannya. Contoh, ” Saya membuat catatan kecil dari diskusi kelas.”, “Saya menyimpan daftar kata-kata yang salah saya ucapkan.”

6. Mengatur lingkungan (Environment structuring)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif dari siswa untuk menata lingkungan fisik sekitar tempat belajar agar membuat proses belajar lebih baik. Contoh,

”saya selalu menghindar dari apapun yang mengganggu saya belajar.”, ”Saya mematikan radio ketika saya belajar agar saya bisa berkonsentrasi.”

7. Konsekuensi diri (Self-consequenting)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif dari siswa mengatur dan mempersiapkan rewards atau punishment bila ia sukses atau gagal dalam


(47)

menyelesaikan suatu tugas atau tujuan. Contoh, ” Jika saya berhasil ujian saya akan pergi menonton ke bioskop.”

8. Berlatih dan mengingat (Rehearsing and memorizing)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif untuk latihan agar bisa mengingat

materi. Contoh, ”Dalam mempersiapkan diri pada ujian matematika saya

mengulang menulis rumus-rumus sehingga saya bisa hafal.”

9-11. Mencari bantuan di lingkungan sosial (Seeking social assistance)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif dari siswa untuk meminta bantuan kepada (9) teman-teman,(10) guru, (11) dan orang yang lebih tua. Contoh,”Jika saya mempunyai masalah dengan pelajaran matematika yang tidak saya mengerti saya akan meminta bantuan dari teman-teman yang bisa.”

12-14. Membaca kembali catatan (Reviewing record)

Pernyataan yang mengindikasikan inisiatif dari siswa untuk membaca lagi

catatan (12), ujian (13), dan buku pelajaran (14). Contoh, ”ketika mempersiapkan diri untuk ujian saya membaca ulang buku saya.”

15. Lainnya (Other)

Pernyataan yang mengindikasikan perilaku belajar merupakan dorongan juga dari orang tua, guru dan lainnya serta hal-hal lain diluar ke-14 kategori di

atas. Contoh, ”Saya hanya melakukan apa yang guru saya inginkan.”

Zimmerman dan Martinez Pons (1990) mengemukakan bahwa strategi organizing, transforming, rehearsing dan memorizing serta goal setting dan planning berfokus pada pengoptimalan pengaturan dalam diri, strategi seperti self-evaluating, self-consequenting, didesain untuk meningkatkan fungsi perilaku.


(48)

48

Sedangkan strategi seperti seeking information, record keeping dan monitoring, environment structuring, seeking social assistence, dan reviewing record didesain untuk mengoptimalkan pemanfaatan siswa akan lingkungan belajarnya.

2.2.5. Dimensi self-regulated learning

Menurut Pintrich (1999) dimensi self-regulated learning ada tiga yaitu: 1. Cognitive strategy (strategi kognitif)

Strategi ini digunakan siswa untuk belajar, yaitu mengingat dan memahami materi pelajaran. Strategi kognitif ada tiga macam yaitu rehearsal, elaboration dan organization. Rehearsal (latihan), strategi kognitif ini menyangkut menghafal hal-hal yang diajarkan, seperti melafalkan/mengucapkan kata-kata dengan suara keras seperti seseorang yang sedang membaca bagian isi teks, mengkodekan informasi kedalam bahasa/istilah sendiri. Elaboration (pengembangan), strategi ini menyangkut pemahaman materi. Seperti meringkas materi pelajaran, membuat analogi, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan yang baru, mengumpulkan informasi, menerapkan ide-ide pelajaran dalam kegiatan lain. Organizational (organisasi), menyangkut pemilihan informasi penting, yang meliputi tingkah laku seperti memilih ide pokok dari teks, membuat outline materi pelajaran, menggarisbawahi materi penting.

2. Metacognitive strategy (strategi metakognitif)

Strategi metakognitif digunakan siswa untuk merencanakan, memonitor dan meregulasi berbagai hal selama proses pencapaian tujuan. Seperti; merencanakan tujuan belajar, menyaring materi sebelum dibaca/dipelajari,


(49)

membuat pertanyaan-pertanyaan umum sebelum membaca materi agar lebih fokus/terarah, memonitor pemahaman bacaan/materi yang guru terangkan, memonitor kecepatan mengerjakan soal ketika ujian (dapat menyesuaikan dengan waktu yang disediakan), mengubah cara belajar agar lebih tepat, menyesuaikan cara belajar dengan tipe pelajaran, menyesuaikan cara belajar dengan cara mengajar guru.

3. Resource management strategy (strategi mengelola sumber pengetahuan). Pada dimensi ini dapat melihat bagaimana siswa mengelola/mengatur sumber pengetahuannya seperti mengatur waktu melajar, memilih atau menciptakan lingkungan belajar yang baik, kerjasama dengan teman sebaya dan mencari dukungan atau bantuan belajar ketika menghadapai kendala.

2.2.7. Pengukuran self-regulated learning

Untuk mengukur self-regulated learning dalam penelitian ini penulis menggunakan skala. Skala di buat berdasarkan dimensi self-regulated learning yang dikemukakan Pintrich (1999), yaitu startegi kognitif, strategi metakognitif dan strategi mengelola sumber pengetahuan. Dalam skala self-regulated learning terdapat pernyataan-pernyaataan mengenai strategi belajar siswa. Dari skala tersebut dapat diketahui startegi-startegi belajar yang digunakan siswa. Pada skala ini terdapat 30 pernyataan mengenai strategi belajar siswa.


(50)

50

2.3. Adversity Quotient

2.3.1. Pengertian adversity quotient

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa AQ memberi informasi seberapa jauh seseorang bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuannya dalam mengatasinya. AQ juga memprediksikan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang hancur, siapa yang bertahan dan siapa yang menyerah serta siapa yang akan melampaui harapan atas usaha dan potensinya dan siapa yang gagal.

Lebih lanjut Stoltz (2000) mengatakan AQ digunakan untuk membantu individu dalam memperkuat kemampuan dan ketekunannya dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dan impian-impian mereka tanpa memperdulikan apa yang terjadi.

Pengertian AQ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang mendefinisikan AQ dalam tiga bentuk. Pertama, AQ sebagai konsep kerangka kerja yang baru dalam memahami dan mempertinggi semua bagian dari kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan. Ketiga, AQ sebagai alat yang didasarkan pada penelitian ilmiah untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam berespon terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).


(51)

2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient

Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient menurut Stoltz (2000) sebagai berikut:

a. Daya saing

Orang-orang yang merespon berbagai kesulitan secara lebih optimis diramalkan akan bersikap lebih agresif dan berani mengambil resiko sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan sikap yang pasif. Orang yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih tangkas dalam bertindak supaya yang dikerjakan berhasil dalam menghadapi persaingan, sedangkan yang bereaksi secara destruktif cenderung lebih tidak berhati-hati serta mudah pesimis.

b. Produktivitas

Seligman (dalam Stoltz, 2000) membuktikan penelitiannya bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik maka orang tersebut kurang berpotensi serta kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.

c. Kreativitas

Inovasi merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan, inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Menurut Barker (dalam Stoltz, 2000), kreativitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang timbul oleh hal yang tidak pasti, sehingga hanya yang memiliki AQ tinggi yang akan menghasilkan kretivitas karena tidak menyerah pada keadaan, tapi terus


(52)

52

mencari berbagai kemungkinan, sebaliknya orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan (berAQ rendah) tidak mampu bertindak kreatif.

d. Motivasi

Stoltz (2000) menganggap orang yang memiliki AQ tinggi sebagai orang yang paling memiliki motivasi.

e. Mengambil resiko

Menurut Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2000) orang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif bersedia mengambil resiko lebih banyak untuk mencoba hal-hal yang baru.

f. Perbaikan

Dalam kehidupan individu harus melakukan perbaikan untuk mencegah agar tidak ketinggalan zaman. Menurut Stoltz (2000) orang yang AQ lebih tinggi menjadi lebih baik dalam melakukan perbaikan sedangkan orang yang AQ rendah sebaliknya.

g. Ketekunan

Ketekunan merupakan inti dari pendakian dan AQ seseorang. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus melakukan usaha. Menurut Seligman (dalam Stoltz, 2000) dari hasil penelitiannya membuktikan bahwa para tenaga penjual, militer, mahasiswa serta tim olahraga yang merespon kesulitan dengan baik akan pulih dari kekalahan dan mampu terus bertahan. Sebaliknya yang merespon kesulitan dengan buruk, mereka akan mudah menyerah.


(53)

h. Belajar

Belajar sangat penting dalam kehidupan, karena dengan belajar individu mampu mencoba hal-hal yang belum terjadi. Dengan belajar, individu akan mampu menghadapi tantangan yang dihadapinya dengan baik. Menurut Carol Dwek (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak yang merespon pesimis terhadap kesulitan tidak akan belajar dan tidak berprestasi dibanding dengan anak-anak yang merespon kesulitan dengan optimis.

i. Merangkul perubahan

Menurut (Stoltz, 2000) agar individu bisa sukses harus efektif dalam mengatasi perubahan.

j. Keuletan, stress, tekanan, kemunduran

Suzanne Oullette (dalam Stoltz, 2000) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting, pengendalian, tantangan, dan komitmen, mereka akan tetap ulet dalam menghadapi berbagai kesulitan. Sedangkan orang yang tidak merespon kesulitan dengan pengendalian, tantangan, dan komitmen cenderung akan menjadi lemah akibat situasi yang sulit.

2.3.3. Dimensi adversity quotient

Menurut Stoltz (2000) AQ memiliki empat dimensi pokok yang disebut CO2RE, yaitu control (pengendalian), origin dan ownership (asal usul dan

pengakuan), reach (jangkauan) dan endurance (daya tahan). Dibawah ini akan dijelaskan tiap-tiap dimensi dari AQ:


(54)

54

1. Dimensi C = control (pengendalian)

Dimensi ini mempertanyakan “seberapa besar kendali yang dianggap dimiliki seseorang terhadap peristiwa kemalangan?” kuncinya adalah persepsi karena berkaitan dengan anggapan kemampuan seseorang untuk mengubah suatu situasi.

Individu dengan control yang tinggi mempersepsikan lebih banyak kendali yang ia miliki pada kesulitan yang ia hadapi sehingga dapat bertahan melewati kesulitan dan tetap konsisten dengan tujuannya, sedangkan individu dengan control yang rendah memiliki kecenderungan untuk menganggap kejadian yang buruk merupakan di luar kendalinya. Rendahnya kendali yang dimiliki oleh seseorang mempunyai pengaruh yang sangat merusak terhadap kemampuan untuk merubah situasi. Orang yang memiliki control yang rendah sering merasa tidak berdaya bila dihadapkan dengan kesulitan (Stoltz, 2000).

2. Dimensi O2 = origin dan ownership (asal usul dan pengakuan)

O2 merupakan gabungan antara origin dengan ownership. O2

menyatakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat dari kesulitan itu. Origin berkaitan dengan rasa bersalah. Rasa bersalah yang wajar akan membantu seseorang belajar dan bangkit untuk memperbaiki tingkah lakunya. Sedangkan rasa bersalah yang tidak wajar akan membuat seseorang merasa tidak berdaya untuk memperbaiki keadaan.

Ownership, pengakuan atas masalah yang terjadi membuat seseorang bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan meskipun kesalahan bukan


(55)

sepenuhnya berasal dari dirinya. Berbeda dengan tidak mengakui atas akibat dari masalah yang terjadi akan membuat seseorang terus menyalahkan orang lain, tidak berkembang dan tidak mau bertanggung jawab untuk mengubah keadaan. Orang yang memiliki AQ tinggi akan memiliki rasa bersalah yang wajar dan menjadi pembelajaran baginya agar tidak berbuat salah lagi dan juga ia akan mengakui akibat dari masalah yang terjadi dan akan bertanggung jawab untuk mengubah keadaan tanpa memperdulikan apa atau siapa penyebabnya (Stoltz, 2000).

3. Dimensi R = reach (jangkauan)

Dimensi reach mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Rendahnya nilai dari dimensi ini akan membuat kesulitan menjangkau segi-segi lain dari kehidupan. Dengan kata lain semakin rendah skor dimensi R yang dimiliki seseorang maka semakin besar kemungkinan orang tersebut menganggap bahwa peristiwa-peristiwa buruk atau kesulitan sebagai bencana, yang akan menyebar dengan cepat sekali, bisa sangat berbahaya karena akan menimbulkan kerusakan yang signifikan bila dibiarkan tidak terkendali. Dengan kata lain semakin besar kemungkinan seseorang untuk membesar-besarkan masalah yang ada dalam pikirannya.

Sebaliknya semakin tinggi nilai R semakin besar kemungkinan orang tersebut hanya membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi saja. Menjaga kesulitan supaya tetap berada ditempatnya akan membuat


(56)

56

perasaan frustasi, kesukaran-kesukaran hidup dan tantangan hidup lebih mudah ditangani (Stoltz, 2000).

4. Dimensi E = endurance (daya tahan)

Dimensi ini menilai dan menguraikan seberapa lama seseorang menganggap kesulitan akan bertahan. Orang-orang dengan AQ rendah lebih mungkin menganggap kesulitan akan bertahan lama dan mereka yang mempunyai AQ tinggi menganggap kesulitan tidak akan berlangsung lama.

2.3.4. Pengukuran Adversity quotient

Untuk mengukur adversity quotient dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Skala dibuat berdasarkan dimensi adversity quotient yang dikemukakan Stoltz (2000), yaitu control, origin dan ownership, reach dan endurance. Setiap dimensi AQ menguraikan tentang respon seseorang terhadap kesulitan. Dalam skala AQ, berisi tentang kesulitan/permasalahan yang sering dihadapi siswa SMPT. Daftar kesulitan/permasalahan diambil dari teori mengenai SMPT dalam Bahan Sosialisasi SMPT Depdiknas (2005) dan juga dari Adolescent life-change event scale (ALCES) (Windle, 1992). Pada skala ini terdapat 20 pernyataan yang dapat mengukur AQ seseorang.


(57)

2.4. Kerangka Berpikir

Keadaan sosial, ekonomi dan geografis yang dimiliki oleh siswa SMPT, membuat metode pembelajaran di SMPT disesuaikan dengan karakteristik siswanya, yaitu dengan menggunakan metode belajar mandiri. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa siswa SMPT tidak belajar bersama guru, tidak ada orang yang mengatur belajar siswa sehingga siswa harus dapat mengatur belajarnya sendiri (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005).

Walaupun demikian siswa SMPT diharapkan dapat berhasil mengikuti proses belajarnya di SMPT. Sesuai dengan visi SMPT yaitu menghasilkan lulusan yang berkualitas, mandiri dan bertanggung jawab serta menjangkau sasaran yang luas (Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005). Untuk itu siswa SMPT dituntut untuk memiliki prestasi belajar yang baik, karena prestasi belajar merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang (Winkel, 1996). Kemudian prestasi belajar dapat dikatakan sebagai indikator keberhasilan dari suatu proses belajar mengajar (Hakim, 2000).

Prestasi belajar yang dicapai seseorang erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan. Jadi apabila siswa SMP Terbuka ingin berhasil dalam mengikuti pendidikan di SMP Terbuka, maka diperlukan strategi atau cara yang bervariasi yang mampu memudahkan proses belajarnya dan juga dapat membantunya dalam menjaga motivasinya sehingga memiliki tujuan yang terarah dan dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Salah satu caranya yaitu dengan meregulasi dirinya dalam belajar atau dikenal dengan istilah self-regulated learning.


(58)

58

Di dalam self-regulated learning, aksi dan proses secara langsung untuk memperoleh informasi dan keterampilan belajar ini dapat dilakukan melalui penggunaan strategi-strategi self-regulated learning (Zimmerman, 1989). Ada 3 macam strategi self-regulated learning yaitu strategi kognitif (cognitive strategy), strategi metakognitif (metacognitive strategy) dan strategi mengelola sumber pengetahuan (resource management strategy) (Pintrich, 1999).

Dengan meregulasi dirinya dalam belajar siswa dapat memperluas pengetahuan dan menjaga motivasinya, secara periodik memonitor kemajuannya dalam mencapai tujuan, dapat mengevaluasi halangan yang muncul dan melakukan penyesuaian yang dibutuhkan (Winne, dalam Santrock 2001). Penelitian yang mendukung bahwa self-regulated`learning berpengaruh terhadap prestasi belajar yaitu penelitian Zimmerman (dalam Santrock 2001) telah menemukan bahwa siswa yang berprestasi tinggi adalah para self-regulated learner yaitu siswa yang mengatur belajarnya. Hasil penelitian yang senadapun dilakukan oleh Pintrich dan De Groot (dalam Chen 2002) yang hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang berprestasi tinggi dilaporkan lebih banyak menggunakan strategi-strategi self-regulated learning daripada siswa yang meraih prestasi rendah.

Selain faktor regulasi diri, faktor lain yang diasumsikan memiliki pengaruh dalam meraih kesuksesan dalam belajar adalah adversity quotient yang tinggi. AQ merupakan bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan-kesulitannya (Stoltz, 2000). Lebih lanjut Stoltz (2000) mengungkapkan AQ sebagai prediktor global terhadap kesuksesan. Dan kesuksesan dalam bidang


(59)

pendidikan adalah prestasi belajar yang baik. Di dalam adversity quotient tedapat 4 dimensi yaitu pengendalian (control), asal uaul dan pengakuan (origin dan ownership), jangkauan (reach)serta daya tahan (endurance).

Penelitian sebelumnya mendukung pentingnya AQ terhadap prestasi belajar. Seperti William (2003) telah menemukan bahwa siswa dengan AQ yang tinggi menunjukkan prestasi yang lebih baik dibanding siswa dengan AQ yang rendah. Dweck (dalam Stoltz, 2000) telah menemukan bahwa anak-anak dengan respon pesimis terhadap kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi rendah bila dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola lebih optimis.

Dengan demikian dapat diduga bahwa siswa SMP Terbuka yang meregulasi dirinya dalam belajar (self-regulated learner) akan memiliki prestasi yang baik dan juga siswa SMP Terbuka yang memiliki daya juang (adversity quotient) yang tinggi akan memiliki prestasi yang baik pula. Dan sebaliknya siswa yang tidak meregulasi dirinya dan juga tidak memiliki daya juang yang tinggi maka prestasinya pun akan rendah.


(60)

60

Bagan kerangka berpikir

Cognitive strategy

Metacognitive strategy

Resource management

strategy

Control

Origin dan

ownership

Reach

Endurance Self-regulated

learning

Prestasi belajar siswa SMP

Terbuka

Tinggi

Sedang

Rendah

tasi belajar d

Adversity quotient


(61)

2.5 Hipotesis Penelitian 2.5.1. Hipotesis mayor

Hipotesis Nol (H0) : Tidak ada pengaruh yang signifikan self-regulated

learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

Hipotesis Alternatif (Ha) : Ada pengarih yang signifikan self-regulated learning

dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

2.5.2. Hipotesis minor

1. H01 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi cognitive strategy

terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi cognitive strategy terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

2. H02 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi metacognitive strategy

terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi metacognitive strategy terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

3. H03 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi resource management

strategy strategy terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka. Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi resource management strategy


(62)

62

4. H04 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi control terhadap prestasi

belajar siswa SMP Terbuka.

Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi control terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

5. H05 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi origin dan ownership

terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi origin dan ownership terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

6. H06 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi reach terhadap prestasi

belajar siswa SMP Terbuka.

Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi reach terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

7. H07 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dimensi endurance terhadap

prestasi belajar siswa SMP Terbuka.

Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi endurance terhadap prestasi belajar siswa SMP Terbuka.


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari delapan subbab yaitu pendekatan penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, pengumpulan data, uji instrumen penelitian, hasil uji coba instrumen, analisis data dan prosedur penelitian.

3.1. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan karena penelitian ini bekerja dengan angka-angka dan datanya berwujud bilangan (skor/nilai peringkat/frekuensi), serta dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian yang sifatnya spesifik dan untuk melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi variabel yang lain (Arikunto, 2002).

Sedangkan jenis penelitian ini adalah korelasi prediktif, karena penelitian ini bersifat non-eksperimental, dimana peneliti mengumpulkan data-data mengenai faktor-faktor yang merupakan pendukung terhadap suatu variabel penelitian, kemudian menganalisis faktor-faktor tersebut untuk dicari peranannya terhadap variabel lainnya (Arikonto, 2002). Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran pengaruh self-regulated learning (SRL) dan adversity quotient (AQ) terhadap prestasi belajar.


(64)

64

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada satu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian (Arikunto, 2002). Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Terbuka Bojongmangu kelas VIII dan X. Jumlah siswa di kelas VIII sebanyak 30 orang sedangkan di kelas X jumlah siswanya sebanyak 45 orang. Jadi total populasi pada penelitian ini adalah 75 orang.

3.2.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP Terbuka Bojongmangu kelas VIII dan X yang berjumlah 75 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling, dimana semua populasi dijadikan sampel. Seperti yang diungkap Arikunto (2002), apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil keseluruhannya.

3.3. Variabel Penelitian

3.3.1. Identifikasi variabel

Kerlinger (2000) mendefinisikan variabel penelitian sebagai suatu sifat yang dapat memiliki berbagai macam nilai, menyangkut segala sesuatu yang menjadi objek penelitian. Variabel dibagi menjadi dua macam yaitu variabel bebas (independent variable) yang merupakan variabel yang mempengaruhi dan


(1)

147

45.41 39.73 46.39 60.70 46.82 55.48 47.42 70.85 43.82 48.60 52.47 60.70 48.13 55.66 48.24 71.38 48.06 49.62 50.91 56.87 56.19 45.58 51.82 76.46 51.87 51.41 58.24 44.74 56.76 60.34 48.06 78.54 53.07 46.85 43.72 61.40 43.99 45.58 46.04 71.00 49.80 50.00 51.22 57.84 45.76 48.77 44.29 77.65 45.60 59.77 53.70 58.55 42.08 48.77 48.89 78.46 46.02 53.24 51.37 60.70 50.18 40.54 48.24 70.15 61.87 63.86 60.40 49.79 60.33 53.63 61.37 81.23 64.47 57.02 44.42 38.78 51.24 40.58 53.57 77.46 30.98 30.38 27.56 35.78 40.24 30.68 40.06 72.46 61.82 51.54 46.51 49.36 58.56 51.77 59.90 77.46 48.23 39.26 43.27 43.03 55.66 37.40 57.05 72.77 52.68 43.97 43.27 49.36 62.24 55.48 55.30 72.77


(2)

148


(3)

(4)

(5)

(6)

152


Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Iklim Kelas Terhadap Penggunaan Strategi Self- Regulated Learning Siswa Kelas X dan XI Unggulan Pada SMA Negeri 3 Medan

7 59 127

Hubungan Antara Adversity Quotient (AQ) Dengan Prestasi Belajar Mahasiswa S1 Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2014

3 66 97

Perbedaan Self Directed Learning Siswa Sekolah Menengah Atas Dan Sekolah Menengah Kejuruan Di Yayasan Dharma Bakti Medan

3 25 91

Pengaruh self-regulated learning terhadap prestasi belajar matematika siswa MtsN 3 Pondok Pinang

9 43 96

Hubungan antara self-regulated learning dengan prestasi belajar siswa SMP Bina Amal Bekasi

0 5 75

Pengaruh Gaya Pengasuhan, Self-Efficacy, dan Self Regulated Learning terhadap Prestasi Akademik Remaja

0 6 36

PENGARUH SELF-REGULATED LEARNING DAN MINAT BELAJAR SISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPS Pengaruh Self-Regulated Learning Dan Minat Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Kalijambe Sragen Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 2 16

PENGARUH SELF-REGULATED LEARNING DAN MINAT BELAJAR SISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPS Pengaruh Self-Regulated Learning Dan Minat Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Kalijambe Sragen Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 4 19

Pengaruh Phobia Matematika, Self-Efficacy, Adversity Quotient dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII di Kabupaten Gowa.

0 0 2

PENGARUH SELF REGULATED LEARNING TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS X PADA MATA PELAJARAN EKONOMI

0 0 11