Erda Pranita Sinaga : Upaya Pengembangan Rumah Bolon Untuk Meningkatkan Kunjungan Wisatawan Di Kabupaten Simalungun, 2009
USU Repository © 2008
4.1.6 Cerita Rakyat Mengenai Rumah Bolon
Konon, dulu desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya,
terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah
Simalungun. Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai
wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah : Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematangraya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami
oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri. Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman raja Purba yang
pertama kali diduduki tuan Pangultop-ultop 1624-1648, yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang
memimpin adalah raja tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun
pada tahun 1947. Tak diketahui siapa pembunuhnya dan apa pula motifnya,” ujar Wanson.
Penjaga sekaligus pemandu wisatawan, lokasi bangunan tua yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektar itu.
Mengenai tradisi pengalihan kekuasaan, Wanson menjelaskan ada semacam tradisi pengalihan kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja hendak mewariskan
kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja yang akan berkuasa kemudian.
Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang
Erda Pranita Sinaga : Upaya Pengembangan Rumah Bolon Untuk Meningkatkan Kunjungan Wisatawan Di Kabupaten Simalungun, 2009
USU Repository © 2008
tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon. Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu?. Seperti lazimnya dalam tradisi
kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa
keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan,” ujar Wanson.
Politik kekuasaan
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di kerajaan Purba bukanlah tuan Pangultop-ultop, melainkan raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada
awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Barat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja?. Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten
Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan
kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara Purba, ia berhasil menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu terdapat biji
padi dan jagung, ia mendapatkan makanannya sendiri. Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun memohon kepada raja Purba Dasuha untuk
diberikan sebidang tanah. Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu. Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop
Erda Pranita Sinaga : Upaya Pengembangan Rumah Bolon Untuk Meningkatkan Kunjungan Wisatawan Di Kabupaten Simalungun, 2009
USU Repository © 2008
kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu munculah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak
menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” kakek atau orang yang dihormati, melainkan panggilan raja.
“Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka akhirnya memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba
Dasuha pun mengadakan pertemuan dengan Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah”.
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” disumpahi adalah prosesi yang menjadi
langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “Appang-appang” kulit kerbau adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk
mendapatkan ketiganya. Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu sejenis tempayan air yang terbuat
dari kulit labu. Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “Jika tanah dan air yang aku duduki ini
bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah”. Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu. Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah
melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati seperti
Erda Pranita Sinaga : Upaya Pengembangan Rumah Bolon Untuk Meningkatkan Kunjungan Wisatawan Di Kabupaten Simalungun, 2009
USU Repository © 2008
lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui,
sekarang kamulah raja yang pantas memimpin kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu Purba Dasuha masih
dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah. Lalu setelah membalik kembali kisah itu, benarkah ada unsur politis di sana?. Sekali lagi ini adalah
pengungkapan fakta dari seorang Wanson Purba, yang juga merupakan keturunan raja Kuraha panglima raja tuan Pangultop-ultop semasa kepemimpinannya. Ia sendiri
mengetahui kisah itu dari ayahnya, P. Purba yang selama 43 tahun telah menjaga Rumah Bolon.
Wanson pun tak menepis hal itu. “Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan,” katanya. “Pasalnya, tanah
dan air serta appang-appang yang digunakan sebagai media sumpah dibawa sendiri olehnya dari tanah asalnya, sehingga memungkinkan ia selamat dari maut.”
4.2 Keberadaan Rumah Bolon di Pematang Purba Kabupaten Simalungun