UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tulang BC. Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis baik AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram
dapat diketahui jenis dan derajat ketulian Bashiruddin J, 2007. 4.
Notasi pada audiogram Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC yang dibuat dengan
garis lurus penuh intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-putus intensitas yang
diperiksa 250-4000 Hz. Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan telinga kanan warna merah Bashiruddin J, 2007.
Nilai nol audiometrik audiometric zero dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu
yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal 18-30 tahun. Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak
sama. Bashiruddin J, 2007. Telinga manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan frekuensi
1000 Hz yang besar nilai audiometrik kira-kira 0,0002 dynecm
2
. Pada frekuensi 2000 Hz nilai audiometriknya lebih besar dari 0,0002 dynecm
2
. Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan
liniar, tetapi merupakan kenaikan logaritmik secara perbandingan Bashiruddin J, 2007.
2.4. Ambang Dengar
Bashiruddin J, 2007
AD =
2.5. Tuli Mendadak
2.5.1. Definisi
Tuli mendadak atau sudden deafness adalah tuli yang terjadi secara tiba- tiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural dan penyebabnya tidak dapat
langsung diketahui. Biasanya terjadi pada satu telinga Bashiruddin J, 2007.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.2. Etiologi
Menurut Rauch, penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10- 15 kasus, sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebabnya idiopatik
Rauch, 2008. Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan
tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan neuromakustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah iskemia koklea dan infeksi
virus Bashiruddin J, dkk., 2007.
2.5.3. Patogenesis
Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral labirin,
gangguan vaskular labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit telinga
dalam yang berhubungan dengan autoimun. Namun setiap jalur teori ini belum
tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness. 1.
Infeksi viral labirin Prevalensi menunjukan 7 -13 pasien yang menderita tuli
mendadak sebelumnya menderita infeksi virus mumps, herpes. Terkadang dapat ditemukannya histopatologi pada telinga bagian dalam
yang menunjukan adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi ditemukan adanya kerusakan di koklea berupa hilangnya sel
–sel rambut dan sel penyokongnya, atrofi membrane tectorial, atrofi stria vascularis,
dan hilangnya neuron Marthur, 2015. 2.
Gangguan vaskular labirin Koklea diperdarahi oleh arteri auditiva interna, dimana pembuluh
darah ini merupakan arteri ujung atau end-artery, sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan. Gangguan vaskular labirin bisa disebabkan oleh adanya trombus, emboli dan vasospasme yang dapat menyebabkan penurunan
suplai darah ke koklea sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan terganggu iskemia koklea yang menyebabkan perubahan tekanan
oksigen perilimfe Marthur, 2015.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ruptur membran intrakoklear
Membran ini memisahakan telinga tengah dan telinga dalam. Pada koklea membran ini juga memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe.
Ruptur dari salah satu atau kedua membran ini dapat menyebabkan tuli mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke telinga tengah melalui tingkap
lonjong dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Ruptur membran intrakoklear menyebabkan bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe
sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea Marthur, 2015. 3.
Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun Pada sebuah studi terhadap 51 pasien yang mengalami tuli
mendadak, ditemukan adanya keterlibatan penyakit autoimun dan tuli mendadak Marthur, 2015.
2.5.4. Gejala Klinis