Gambaran Perilaku Higiene Menstruasi pada Remaja Putri di SDN

untuk mempertahankan kesehatan seksual dan mencegah terjadinya penyakit seksual. Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku higiene menstruasi dengan mengobservasi secara tidak langsung yaitu dengan melakukan pendekatan recall atau wawancara kepada reponden. Responden diminta mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan beberapa waktu lalu Maulana, 2009. Penelitian Suryati 2012 pada remaja putri SMPN 2 Depok bahwa dari 186 responden, sebesar 143 orang 76,9 mempunyai perilaku kebersihan saat menstruasi baik, dimana perilaku baik ditunjang oleh frekuensi mengganti pembalut pada saat menstruasi sedikit sebesar 47,8, frekuensi mengganti pembalut saat menstruasi sedikit 68,3, dan hal-hal yang perlu diperhatikan saat menstruasi sebesar 96,8 dan mengetahui akibat yang ditimbulkan jika tidak menjaga kebersihan saat menstruasi sebesar 79. Thakre 2011 menjelaskan bahwa praktik higiene menstruasi yang baik ditunjukkan dengan penggunaaan pembalut dan mencuci alat kelamin secara adekuat. Dalam penelitian ini, perilaku higiene menstruasi remaja putri SDN di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan ditunjukkan oleh frekuensi mandi lebih dari 2 kali sehari sebesar 54,2, sebagian besar remaja putri mandi lebih dari 2 kali sehari saat menstruasi, begitu juga dengan keramas, sebagian besar remaja putri keramas setiap 2 hari sekali saat menstruasi 61, hal ini dilakukan agar badan tetap segar dan bebas dari bau badan akibat keringat yang diproduksi secara berlebih ketika menstruasi Kusmiran, 2012. Sebagaimana penelitian Lawan, Yusuf, Musa 2010, menyatakan bahwa remaja putri sebagai respondennya menyatakan bahwa mereka menambah frekuensi mandinya saat menstruasi sebanyak 3 sampai 4 kali per hari. Berbeda halnya dengan penelitian El-Gilany et al 2005 dalam Dasgupta dan Sarkar 2008 menjelaskan bahwa remaja putri di Mesir tidak mandi selama menstruasi karena kurangnya privasi. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan mereka dan persepsi yang salah mengenai menstruasi. Perilaku lainnya adalah membersihkan alat kelamin dengan air bersih 92,3. Thakre 2011 dalam penelitiannya di India menyebutkan bahwa hanya 40,57 yang membersihkan vagina dengan air saja. Sebagian besar dari respondennya yaitu 58,18 membersihkan dengan sabun dan air dan yang paling sedikit sekitar 1,29 membersihkannya dengan air dan antiseptik. Saat menstruasi maupun hari-hari biasa, seharusnya individu membersihkan vagina dengan air bersih, dan lebih baik lagi dengan air hangat tanpa menggunakan sabun khusus, pembersih vagina atau pewangi vagina, karena pada vagina terdapat kuman Doderlin yang berfungsi memproduksi asam yang dapat mencegah bakteri masuk ke dalam vagina dan menyebabkan infeksi. Jika kita membersihkan vagina menggunakan pembersih khusus secara rutin maka dapat membunuh kuman tersebut dan memicu bakteri jahat berkembangbiak dan menyebabkan infeksi; Membasuh dari depan ke belakang 62,7, hal ini dilakukan supaya bakteri yang ada di anus tidak terbawa ke dalam vagina yang berisiko menimbulkan infeksi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Thakre 2011 yang menyatakan bahwa hanya 33,85 dari remaja putri membersihkan alat kelamin dengan baik. Perbedaan antara di kota dan di desa adalah 58,09 remaja putri kota kurang memuaskan dalam pembersihan alat kelamin, sedangkan didesa adalah 79,45. Pembersihan alat kelamin yang kurang memuaskan ini dikarenakan pembersihannya kurang dari 2 kali per hari akibat responden yang kurang tahu tentang kebersihan menstruasi dan privasi; Mengeringkan dengan handuktisu kering 61, hal ini dilakukan supaya vagina tidak lembab dan mencegah bakteri jahat tumbuh di daerah kemaluan Pudiastuti, 2012. Mengganti celana dalam 2 kali sehari 71,2, menganti celana dalam saat terkena darah menstruasi 88,1, dengan mengganti celana dalam secara rutin minimal 2 kali sehari atau segera ketika celana dalam terkena darah dapat mencegah vagina dari kelembaban yang berlebihan. Selain itu, infeksi juga sering terjadi akibat celana dalam yang tidak bersih Kusmiran, 2012. Selanjutnya, perilaku lainnya adalah mengganti pembalut saat penuh dengan darah 91,5, penggantian pembalut tidak boleh lebih dari 6 jam, karena pembalut akan menyimpan bakteri ketika lama tidak diganti Ketika individu merasa tidak nyaman akibat vaginanya lembab, maka diharuskan segera mengganti pembalut. Karena ketika vagina lembab, mikroorganisme dan jamur akan berkembangbiak sehingga dapat mengganggu ekosistem vagina yang mengakibatkan vagina menjadi gatal dan berbau. Sebagaimana penelitian Lee et al 2006 menjelaskan bahwa dari seluruh responden yaitu remaja putri di Malaysia terdapat 70,8 menggunakan pembalut ≤ 4 pembalut per hari karena jumlah darah yang keluar sedikit, 17,6 menggunakan 2 pembalut dalam satu kali pemakaian karena keluarnya darah sangat banyak, dan 11,1 menggunakan pembalut 5-10 pembalut per hari karena jumlah darahnya sedang. Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku penggunaan pembalut remaja Malaysia sudah baik, karena minimal penggunaan pembalutnya adalah 4 kali per hari 6 jam sekali mengganti pembalut. Selain itu, perilaku mencuci tangan sebelum dan sesudah mengganti pembalut 76,3; mengganti pembalut setelah buang air besar 52,5; mencuci pembalut bekas pakai sebelum dibuang 74,6 dan membungkus pembalut bekas pakai sebelum dibuang 94,9, adapun penelitian Lawan, Yusuf, Musa 2010 menyatakan bahwa remaja membuang pembalut bekas di limbah rumah tangga 71,2, pembakaran 24,3, penguburan 4,3 dan disiram di toilet 0,3. Sebagaimana penelitian Dasgupta dan Sarkar 2008, menjelaskan bahwa sebesar 92 responden 57,5 remaja membuang dengan benar pembalutpotongan kain yang digunakan dengan membungkusnya dengan sebuah kantong kertas dan dibuang di tempat pembuangan limbah padat. Penelitian ini juga sejalan dengan Thakre 2011 bahwa responden membungkus pembalut dengan kertas terlebih dahulu, baru kemudian membuang pembalut tersebut di limbah padat atau membakarnya. Sebanyak 52,20 respondennya membuang pembalut dengan cara dibakar, sebesar 39,79 membuang di limbah padat dan 6,72 menggunakan metode pembuangan lain. Dari 46,89 gadis kota dan 60,96 gadis desa yang menjadi respondennya membuang dengan cara dibakar dan 45,23 gadis kota dan 12,33 gadis desa membuang dengan rutin di tempat pembuangan sampah Perilaku selanjutnya adalah tidak pernah menggunakan pembalut kain yang bisa dipakai ulang 83,1. Ketika remaja menggunakan pembalut kain dikhawatirkan pembalut kain tersebut kurang higiene akibat perawatannya yang kurang baik, seperti cara mengeringkan ditempat tersembunyi dan tidak terkena sinar matahari yang berisiko tumbuhnya mikroba atau larva yang dapat menyebabkan vagina berbau tidak sedap atau terjadi keputihan Ali, 2007. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Lawan, Yusuf, Musa 2010 menyatakan bahwa 93,8 respondennya menggunakan pembalut selama menstruasi, dan terdapat 6,2 yang menggunakan kain yang dicucidirebus, dikeringkan, dan dipakai ulang, atau menggunakan sepotong kain yang dibuang setelah dipakai. Perilaku merebus dan mengeringkan kain sebelum dipakai ulang merupakan perilaku perlindungan terhadap infeksi. Bagi remaja yang menggunakan pembalut kain yaitu 23 responden tersebut menyatakan bahwa pembalut sanitary pads mahal sebesar 21 orang 91,3 dan dapat menyebabkan keputihan sebesar 2 orang 8,7. Sejalan dengan penelitian Thakre 2011 bahwa sebanyak 49,35 respondennya menggunakan pembalut, 45,75 menggunakan potongan kain bekas, dan hanya 4,90 menggunakan kain potongan baru. Adapun responden yang paling banyak menggunakan pembalut adalah remaja putri perkotaan yaitu 60,58, sedangkan remaja putri pedesaan hanya 30,82 yang menggunakan pembalut. Alasan tidak menggunakan pembalut ini adalah 30,25 respondennya menyatakan kurang tahu, 30,85 biaya mahal, ketersediaan dan rasa malu. Namun, cara pengeringan pembalut kain tersebut sebesar 51,32 mengeringkan diluar rumah dan dibawah sinar matahari, 47,37 mengeringkan di dalam rumah, dan 4,94 mengeringkan diluar rumah tanpa sinar matahari. Berbeda halnya dengan penelitian Dasgupta dan Sarkar 2008 di India, mereka menjelaskan bahwa hanya 18 responden 11,25 yang menggunakan pembalut selama menstruasi. Mayoritas responden suka menggunakan potongan kain daripada pembalut. Hal ini dikarenakan kemiskinan dan tingginya biaya pembalut sekali pakai serta ketidaktahuan pentingnya penggunaan pembalut yang tersedia di pasar readymade. Lebih buruknya lagi, perawatan pembalut kain yang dipakai ulang ini adalah remaja mencuci kain bekas pakai dengan sabun dan menyimpannya ditempat yang rahasia dan kadang-kadang tersembunyi di tempat yang tidak higienis sampai menstruasi berikutnya. Jenis bahan penyerap yang digunakan menjadi perhatian utama pada remaja. Hal ini dikarenakan penggunaan kembali bahan penyerap bisa menjadi penyebab infeksi jika kebersihannya kurang dan penyimpanannya buruk. Sebagaimana penelitian-penelitian diatas yang menyatakan bahwa banyak responden menggunakan kain bekas sebagai pembalut yang dicuci dengan sabun dan air kemudian membuang di pembuangan limbah rutin setelah digunakan beberapa bulan Thakre, 2011. Perilaku ini dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal yang mempengaruhi adalah umur dan inteligensi tingkat kecerdasan. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi adalah informasi yang dapat menimbulkan kesadaran dan mempengaruhi perilaku Notoatmodjo, 2007. Faktor sosial dan budaya juga termasuk faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku Notoatmodjo, 2005. Sedangkan menurut Thakre 2011, beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku higiene menstruasi ini adalah status ekonomi, dimana status ekonomi ini yang paling berpengaruh, keadaan rumah perkotaan atau pedesaan, kesadaran tentang kebutuhan informasi tentang praktik higiene menstruasi. Faktor internal yang pertama adalah usia. Usia merupakan faktor yang mewakili tingkat kematangan seseorang Sunarto dan Hartono, 2008. Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, sehingga semakin dewasa umur seseorang, semakin banyak informasi yang didapat dan banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan yang menjadikan individu lebih bijaksana, matang dan lebih baik dalam berpikir maupun bertindak Refliana, 2005 dan Mubarak, 2007. Oleh karena itu, responden yang memiliki usia yang lebih tua diharapkan memiliki perilaku higiene menstruasi yang lebih baik, karena dianggap lebih berpengalaman. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian ini yaitu responden dengan usia 11 tahun sebesar 63,9 memiliki perilaku baik, pada usia 12 tahun sebesar 71,4 memiliki perilaku baik, begitu juga pada usia 13 tahun sebesar 100 memiliki perilaku baik pula. Selain umur, tingkat pengetahuan juga sangat berpengaruh terhadap perilaku. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia terhadap objek melalui indera yang dimilikinya, baik penglihatan, pendengeran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan ini merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman dan lingkungan yang telah diketahui, dipersepsikan, diyakini, sehingga menimbulkan motivasi niat untuk bertindak, sehingga pada akhirnya perwujudan niat tersebut menghasilkan sebuah perilaku Notoatmoadjo, 2007. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan Notoatmodjo, 2010. Adapun tingkat pengetahuan responden sebagian besar adalah baik, yaitu 42 orang 71,2, cukup yaitu 17 orang 28,8, dan tidak satupun responden berpengetahuan kurang. Dengan pengetahuan yang baik tentang menstruasi dan higiene menstruasi, maka memungkinkan responden untuk mampu berperilaku baik dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Selain perilaku di atas, terdapat perilaku yang kurang baik dimana responden kurang mengetahui dampak penggunaan pembersih alat kelamin sabun mandi secara rutin, mereka selalu menggunakan sabun mandi setiap kali membersihkan kemaluan, yaitu 49,2 karena menganggap bahwa sabun mandi lebih baik digunakan daripada sabun bayi, hal ini terbukti bahwa 69,5 responden tidak pernah menggunakan sabun bayi ketika membersihkan vagina, padahal sabun bayi lebih baik karena mampu menjaga keasaman vagina yang dapat mencegah bakteri masuk ke dalam vagina; responden tidak pernah mengganti pembalut 4 kali sehari walaupun darah tidak banyak keluar sebesar 37,3 karena menganggap bahwa cukup mengganti pembalut sebanyak 2 kali sehari ketika darah tidak banyak keluar; responden menggunakan celana dalam ketat saat menstruasi yaitu sebesar 27,1, mereka kurang mengetahui bahwa celana dalam yang ketat akan menyebabkan daerah kewanitaan lembab akibat kulit susah bernapas, hal ini memudahkan jamur berkembangbiak dan menimbulkan iritasi pada organ kewanitaan. Berbeda dengan penelitian Nurrachmawati dan Triana 2010, mereka menjelaskan bahwa responden dengan pengetahuan kurang disebabkan oleh ketidaktahuan tentang definisi menstruasi 9, siklus menstruasi 37 dan lama hari keluarnya darah haid 39. Hal ini menunjukkan bahwa higiene kurang adalah karena pemahaman tentang menstruasi yang kurang atau bahkan persepsi individu yang keliru mengenai menstruasi tersebut. Kurangnya keterpaparan dengan informasi dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan, sehingga memungkinkan individu berperilaku kurang sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan yang dianutnya Notoatmodjo, 2007. Hal ini sesuai dengan penelitian Sari, Firani, dan Yuliatun 2009, menyatakan bahwa responden kelompok yang mendapatkan pendidikan kesehatan sebagian besar memiliki perilaku baik dan yang tidak mendapatkan pendidikan kesehatan sebagian besar memiliki perilaku cukup. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang lebih baik, perilaku individu juga lebih baik.

3. Gambaran Keluhan di Sekitar Organ Reproduksi pada Remaja Putri

di SDN di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Organ reproduksi merupakan terdiri dari organ reproduksi bagian luar dan bagian dalam Pinem, 2009. Alat kelamin wanita berhubungan langsung dengan dunia luar yang memudahkan terjadinya infeksi pada bagian luarnya yang secara berkelanjutan dapat menginfeksi selaput dinding perut peritonitis. Namun, diketahui bahwa sistem pertahanan alat kelamin wanita cukup baik yaitu dengan adanya sistem asam basa, pengeluaran lendir yang selalu mengalir ke arah luar yang menyebabkan bakteri dibuang dalam bentuk menstruasi. Sekalipun demikian, sistem pertahanan ini terkadang cukup lemah sehingga infeksi sering susah dikendalikan dan menimbulkan keluhan klinis dari infeksi tersebut. Salah satu keluhan klinisinfeksi alat kelamin ini adalah leukorea atau keputihan Manuaba, 2009. Keputihan yaitu gejala keluarnya cairan putih dari liang senggama secara berlebihan Pudiastuti, 2012. Keputihan bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala penyakit. Dalam jumlah lendir sedikit, keputihan tidak dirasa atau dikeluhkan oleh wanita pada umumnya, namun para wanita diharapkan untuk tidak menganggap biasa terhadap pengeluaran cairan leukorea ini Manuaba, 2009. Penelitian ini, sebagian besar responden mengalami keputihan, yaitu 52 orang 88,1 dengan frekuensi terjadinya keputihan adalah kadang-kadang 69,5, dan hanya 2 orang 3,3 yang selalu mengalami keputihan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Ayuningtyas 2011 menunjukkan bahwa siswi SMAN 4 Semarang sebesar 96,9 mengalami keputihan dan hanya 3,1 tidak mengalami keputihan. Hasil survey dari 30 responden di SMAN Salatiga menyatakan bahwa terdapat 23 responden mengalami keputihan normal dan 7 responden mengalami keputihan abnormal Afriani, 2005. Penelitian Amelia, Dewi dan Karim 2012 menjelaskan bahwa tindakan remaja dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk mencegah keputihan masih buruk, yaitu 62,2. Tindakan responden dalam menjaga organ reproduksi untuk mencegah keputihan yang masih buruk dipengaruhi oleh sikap responden responden dalam menjaga kebersihan organ genitalia yang masih negatif, serta didukung oleh kebiasaan yang dianggap wajar padahal berisiko terjadinya keputihan. Kebiasaan ini ditunjukkan dengan kebiasaan membersihkan organ genitalia dari arah belakang ke depan, memakai celana dalam dari bahan nilon, dan memakai antiseptik tanpa anjuran dari tenaga kesehatan. Teori Blum menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesehatan individu adalah perilaku. Blum 1974 dalam Maulana 2013 menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesehatan individu adalah faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Hal ini didukung oleh penelitian Sari 2010 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku higiene pribadi dengan kejadian