Profil pertumbuhan kalus daun lembaga biji tanaman jatropha curcas pada media white dengan menggunakan teknik kultur jaringan.

(1)

INTISARI

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di Indonesia saat ini masih belum digunakan secara luas untuk bahan pengobatan. Masyarakat Indonesia sering menggunakan tanaman ini sebagai antiseptik, laksatif dan purgatif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang golongan terpenoid antara kalus hasil budidaya in-vitro dengan biji dari tanaman asalnya.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif dengan rancangan acak lengkap pola searah. Eksplan yang berasal dari daun lembaga biji tanaman Jatropha curcas ini ditumbuhkan pada media White dengan penambahan zat pangatur tumbuh yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) : Benzylaminopurine (BAP) (2:2). Pengamatan dilakukan terhadap waktu inisiasi kalus, ukuran bobot kalus basah awal dan akhir, grafik pertumbuhan dan hasil KLT kalus dengan biji tanaman asalnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inisiasi kalus pada media White dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2 : 2 (NAA : BAP) yakni 4 hari. Pada hari ke-20 terjadi pertumbuhan maksimum kalus dimana hal ini juga memperlihatkan fase stasioner. Kandungan air dalam kalus menunjukkan peningkatan saat waktu tanam dan mulai tetap pada hari ke-4 hingga ke-32. Kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas memiliki bercak kromatografi lapis tipis yang sama dengan biji tanaman asalnya dengan menggunakan teknik multiple elution sebanyak 3 kali dengan harga Rf pada kalus sebesar 0,275.

Kata kunci : Jatropha curcas, kalus, kultur jaringan.


(2)

ABSTRACT

In Indonesia, at present “jarak pagar” (Jatropha curcas) still widely used as a medicine yet. Indonesian people used this plant as an antiseptic, lacsative and also purgative. The goal of this research is to get some information about the comparison of terpenoid between callus from in-vitro cultivation and seed from the original plant.

This research was a non-experimental descriptive observation using complete randomly arrangement. And then, the explant from cotyledon of Jatropha curcas seed was planted at White medium with concentration of growth hormone 2: 2 for Naphthalene acetic acid: Benzylaminopurine. The variable of observation for this research are time of initiate callus, weight of callus after planted and after harvest and also Thin Layer Chromatography profile of callus and seed from the plant.

The result shows that the time of initiate callus in White medium with the concentration of NAA and BAP (2: 2) are 4 days. At the 20th day there was maximum growth of callus, and it means the stationer phase. The callus water contains get increased when planting and then get stationer from day 4th till 32nd days. The callus from cotyledon of Jatropha curcas has Thin Layer Chromatography spot which is similar with the seed from the plant using multiple elution technique at 3 times with Rf about 0,275.

Keyword : Jatropha curcas, callus, tissue culture.


(3)

PROFIL PERTUMBUHAN KALUS DAUN LEMBAGA BIJI

TANAMAN JATROPHA CURCAS PADA MEDIA WHITE

DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR

JARINGAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Christophorus Aditya Nugraha NIM: 028114135

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Pergilah ke Rakyat, mulailah dari apa yang

mereka punya, bekerjalah bersama mereka,

hasilkanlah sesuatu yang berguna bagi mereka,

dan apabila mereka sudah mendapatkan atas apa

yang mereka butuhkan, biarlah mereka yang

berkata : “kami sudah bekerja dan menghasilkan

sesuatu bagi kami”

(Mao Tse)

“Jika anda berpikir ke depan, taburlah benih. Jika

anda berpikir 10 tahun ke depan, tanamlah

sebatang pohon. Jika anda berpikir 100 tahun ke

depan, didiklah Rakyat.”

(Kuan Tsu)

”Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu

lakukan untuk salah seorang dari yang paling

hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk

Aku.” Sebab, Iman tanpa perbuatan itu kosong.

(Mat 25:45)

^âÑxÜáxÅut{~tÇ ~tÜçt~â |Ç| àxÜâÇàâ~M

UtÑt~ wtÇ \uâ áxutzt| àtÇwt ~tá|{ wtÇ ut~à|~âA

^xwât tw|~~â? Utçâ wtÇ gÉÑtÇ tàtá áxztÄtÇçtA

ctÜt át{tutà çtÇz àxÜ~tá|{A

TÄÅtÅtàxÜ~âA

UtÇzát wtÇ axztÜt~â

.

iv


(7)

(8)

INTISARI

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di Indonesia saat ini masih belum digunakan secara luas untuk bahan pengobatan. Masyarakat Indonesia sering menggunakan tanaman ini sebagai antiseptik, laksatif dan purgatif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang golongan terpenoid antara kalus hasil budidaya in-vitro dengan biji dari tanaman asalnya.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif dengan rancangan acak lengkap pola searah. Eksplan yang berasal dari daun lembaga biji tanaman Jatropha curcas ini ditumbuhkan pada media White dengan penambahan zat pangatur tumbuh yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) : Benzylaminopurine (BAP) (2:2). Pengamatan dilakukan terhadap waktu inisiasi kalus, ukuran bobot kalus basah awal dan akhir, grafik pertumbuhan dan hasil KLT kalus dengan biji tanaman asalnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inisiasi kalus pada media White dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2 : 2 (NAA : BAP) yakni 4 hari. Pada hari ke-20 terjadi pertumbuhan maksimum kalus dimana hal ini juga memperlihatkan fase stasioner. Kandungan air dalam kalus menunjukkan peningkatan saat waktu tanam dan mulai tetap pada hari ke-4 hingga ke-32. Kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas memiliki bercak kromatografi lapis tipis yang sama dengan biji tanaman asalnya dengan menggunakan teknik multiple elution sebanyak 3 kali dengan harga Rf pada kalus sebesar 0,275.

Kata kunci : Jatropha curcas, kalus, kultur jaringan.


(9)

ABSTRACT

In Indonesia, at present “jarak pagar” (Jatropha curcas) still widely used as a medicine yet. Indonesian people used this plant as an antiseptic, lacsative and also purgative. The goal of this research is to get some information about the comparison of terpenoid between callus from in-vitro cultivation and seed from the original plant.

This research was a non-experimental descriptive observation using complete randomly arrangement. And then, the explant from cotyledon of Jatropha curcas seed was planted at White medium with concentration of growth hormone 2: 2 for Naphthalene acetic acid: Benzylaminopurine. The variable of observation for this research are time of initiate callus, weight of callus after planted and after harvest and also Thin Layer Chromatography profile of callus and seed from the plant.

The result shows that the time of initiate callus in White medium with the concentration of NAA and BAP (2: 2) are 4 days. At the 20th day there was maximum growth of callus, and it means the stationer phase. The callus water contains get increased when planting and then get stationer from day 4th till 32nd days. The callus from cotyledon of Jatropha curcas has Thin Layer Chromatography spot which is similar with the seed from the plant using multiple elution technique at 3 times with Rf about 0,275.

Keyword : Jatropha curcas, callus, tissue culture.


(10)

KATA PENGANTAR

Syukur dan terima kasih ke Hadirat Sang Pencipta atas segala rahmat tuntunan dan pendampingan serta kasih yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Profil Pertumbuhan Kalus Daun Lembaga Biji Tanaman Jatropha Curcas Pada Media White Dengan Menggunakan Teknik Kultur Jaringan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi.

Penelitian hingga tahap penulisan skripsi ini tidak akan dapat selesai, tanpa bantuan serta doa dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Keluarga besar terutama BAPAK dan IBU atas segala doa, nasehat dan pengorbanannya yang telah mendorong dan menyemangati. Bayu dan Topan atas doa, pengertian, bantuan dan selalu mengingatkan hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Ignatius Yulius Kristio Budiasmoro, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan banyak masukan pengetahuan, kesabaran dan diskusi dalam membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah bersedia menguji dan memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini. 4. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah

bersedia menguji dan memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.


(11)

5. Seluruh dosen (khususnya Bpk. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Bpk Dr. Sabikis dan Bpk Dr. Pudjono, S.U., Apt.) dan karyawan (terutama Bpk Kasiran) Fakultas Farmasi atas bimbingan selama 4 tahun ini.

6. Seluruh laboran Fakultas Farmasi, terutama laboran Laboratorium Biologi (Mas Sigit, Mas Wagiran, Mas Andri dan Mas Sarwanto) atas segala bantuan dan dukungannya selama ini.

7. Teman-teman seperjuangan yang penelitiannya di Laboratorium Kultur Jaringan (Pak Eko, Vicky, Dony, Melisa dan Ancol). Vero, Mina, Ratna dan Christin yang telah bersedia membagikan pengetahuan selama penelitian 8. Tjun Liong S.Farm., dan Valentino Dhiyu Asmoro, S.Farm., yang telah ambil

bagian dalam proses dan dinamika melalui diskusi dan debat selama di Fakultas Farmasi serta seluruh teman-teman kelompok E angkatan 2002 atas kebersamaan dan bekerjasamanya dalam segala hal dan teman-teman kelas C yang lain.

9. Sahabat dan teman yang selalu mengingatkan dan mengajarkan arti kedewasaan dan perjuangan. Heni (atas segala dukungan, perhatian dan kasih sayang serta telah memberi “warna dan rasa” hidupku). Tedy, Mbatu, Okhi dan Yoyo (yang telah mengajariku arti sebuah perjuangan untuk berbuat bagi sesama). Teman-teman BEMU 2005, Insadha 2004 dan seluruh civitas akademika Universitas Sanata Dharma (yang telah mendewasakanku untuk mengerti apa arti sebuah kepemimpinan), Bayu, Sumin, Bani, Felix dan Ibu Bapak kost (yang telah bersedia berbagi keceriaan selama berada di kost).


(12)

10.Bangsa dan Negara Republik Indonesia atas keindahan alam, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang plural serta para Pahlawan Nasional (Bung Karno, Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Rm. Magunwijaya dll) yang telah memberikan inspirasi bagiku.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Hyang Maha Kuasa selalu memberikan dan membalas rahmat kasih, kebaikan dan ketulusan yang telah dirasakan penulis selama ini.

Dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki. Maka dari itu, penulis masih mengharapkan banyak masukan saran dan kritik demi kesempurnaan karya skripsi ini sehingga dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.

Yogyakarta, 10 Februari 2007

Penulis.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v

INTISARI………... vi

ABSTRACT………. vii

KATA PENGANTAR………... viii

DAFTAR ISI………... xi

DAFTAR TABEL………... xvi

DAFTAR GAMBAR……….. xvii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xviii

BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang………... 1

B. Permasalahan………... 2

C. Keaslian Penelitian………... 3

D. Manfaat Penelitian………... 3

E. Tujuan Penelitian………... 4

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA A. Tanaman Jatropha curcas………... 5


(14)

1. Nama daerah……… 5

2. Nama ilmiah……… 5

3. Morfologi……… 5

4. Kandungan kimia………... 7

5. Khasiat dan Kegunaan………... 8

B. Terpenoid ………... 10

C. Kultur Jaringan Tanaman………12

1. Kultur jaringan……… 12

2. Kalus………... 14

3. Eksplan……….... 15

4. Menabur eksplan………. 16

5. Sub kultur………... 18

6. Pertumbuhan kalus……….. 18

D. Media Kultur Jaringan………. 19

1. Unsur makro………... 20

2. Unsur mikro……… 21

3. Vitamin………... 22

4. Zat pengatur tumbuh dan hormon...………... 23

5. Bahan pemadat media………... 25

6. Sukrosa……….... 26

7. Lingkungan………... 26

E. Sterilisasi ………... 28

F. Kromatografi Lapis Tipis………... 31


(15)

1. Fase diam……… 32

2. Fase gerak………... 33

3. Penempatan cuplikan………... 33

4. Elusi……… 34

5. Deteksi……… 34

6. Penilaian kromatografi…..………... 35

G. Keterangan Empiris.……… 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian………. 38

B. Definisi Operasional….……….. 38

C. Bahan dan Alat……….……….. 39

1. Bahan……….. 39

2. Alat………... 41

D. Tata Cara Penelitian….……….. 42

1. Determinasi tanaman……….. 42

2. Pemilihan eksplan………... 42

3. Pengumpulan bahan……… 42

4. Pembuatan stok………... 43

5. Pembuatan media……….... 44

6. Sterilisasi………. 45

7. Penanaman eksplan………... 46

8. Inisiasi kalus……….... 47

9. Subkultur………. 47


(16)

10.Pemanenan kalus………. 48

11.Analisis pertumbuhan kalus……….... 48

12.Pembuatan serbuk………... 49

13.Uji KLT ekstrak kalus daun lembaga dan biji tanaman Jatropha curcas.. 50

E. Analisis Hasil……….. 51

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Jatropha curcas…...……… 52

B. Penentuan Eksplan………... 52

C. Waktu Inisiasi Kalus..……….. 55

D. Deskripsi Kalus……….... 57

E. Subkultur……….. 59

F. Analisis Profil Pertumbuhan Kalus……….. 60

1. Pola pertumbuhan kalus………... 60

2. Persen kadar air...………... 62

G. Pengeringan dan Pembuatan Serbuk……….... 64

H. Kromatografi Lapis Tipis………... 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 76

B. Saran………... 76

DAFTAR PUSTAKA………... 78

LAMPIRAN………... 81

BIOGRAFI PENULIS………... 89


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak

n-hexane : aseton : methanol (80:15:5) dan fase diam silika gel GF 254 yang dicelupkan pada larutan AgNO3 2,5%

di semprot dengan reagen vanillin-sulfat... 70 Tabel II. Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak

n-hexane : aseton : methanol (80:15:5) dan fase diam silika gel GF 254 yang dicelupkan pada larutan AgNO3 2,5%

di semprot dengan reagen antimon-triklorida ... 72


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Foto pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu………. 58

Gambar 2. Pola pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu……….. 60

Gambar 3. Persen kadar air………..………... 63

Gambar 4. Struktur isoprene………... 68

Gambar 5. Kromatogram kalus dan biji Jatropha curcas setelah di semprot dengan reagen vanillin-sulfat……….. 74

Gambar 6. Kromatogram kalus dan biji Jatropha curcas setelah di semprot dengan reagen antimon-triklorida………... 75


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat determinasi tanaman……….……….….. 81

Lampiran 2. Foto-foto hasil penelitian……….……. 82

Lampiran 3. Komposisi media white……….….... 86

Lampiran 4. Hasil penimbangan pemanenan kalus dari hari ke hari... 87

Lampiran 5. Persen kadar air... 88


(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian besar penelitian untuk mengeksplorasi budidaya tanaman Jatropha curcas khususnya dengan menggunakan metode kultur jaringan. Pengembangan budidaya tanaman Jatropha curcas ini dilakukan dalam rangka penggunaannya sebagai tanaman obat. Jatropha curcas berpotensi menghasilkan jenis metabolit sekunder yang bermanfaat dalam bidang farmasi salah satunya yakni terpenoid yang dapat digunakan sebagai bahan anti-bakteri (Roberto Can Aké, dkk, 2004). Masyarakat Indonesia biasanya menggunakan daun tanaman ini untuk penyakit eksim, jamur dan mencegah masuk angin bagi bayi.

Untuk membudidayakan kalus tanaman Jatropha curcas yang nantinya dapat menghasilkan terpenoid yang diharapkan, maka digunakan dua macam ZPT yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) merupakan golongan hormon sintetis (zat pengatur tumbuh) dimana NAA mempunyai fungsi untuk menginisiasi dan BAP untuk mendorong pertumbuhan kalus. NAA merupakan golongan ZPT auksin sedangkan BAP adalah golongan ZPT sitokinin. NAA dan BAP mempunyai kelebihan dibandingkan dengan ZPT golongan auksin dan sitokinin yang lain, diantaranya yaitu NAA dan BAP relatif tahan terhadap pemanasan terutama saat proses sterilisasi media, sifat kimia NAA dan BAP stabil


(21)

terhadap penguraian yang dilakukan oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Profil pertumbuhan kalus merupakan salah satu parameter untuk mengetahui fase pertumbuhan dari kalus yang sedang dikulturkan yakni fase lag, eksponensial dan penuaan (George dan Sherrington, 1984). Pengolahan kultur kalus dengan menggunakan sistem bioreaktor memerlukan profil pertumbuhan kalus untuk mengetahui waktu yang tepat saat pemanenan ataupun penggantian media kultur sehingga metabolit sekunder yang dihasilkanpun dalam keadaan optimal (Misawa, M., 1994). Dalam dunia kefarmasian, teknik kultur jaringan sangat bermanfaat dalam produksi metabolit sekunder yang bernilai ekonomi dengan cara mengambil metabolit sekunder yang dihasilkan dengan melakukan pada suatu bioreaktor dimana sistem ini dapat menghasilkan sejumlah besar metabolit sekunder dalam waktu yang singkat (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Biji tanaman ini mengandung banyak terpenoid (Sinaga, 2005) sehingga daun lembaga biji digunakan sebagai eksplan untuk dikembangkan secara kultur jaringan. Media White merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah dimana tanaman berkayu lebih suka media yang berkonsentrasi rendah (Rao dan Lee cit Katuuk, 1979).

B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah potongan daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dapat membentuk kalus dengan teknik kultur jaringan ?


(22)

2. Seperti apakah profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) ?

3. Apakah kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas mengandung golongan terpenoid yang sama dengan biji tanaman asalnya?

C. Keaslian penelitian

Sejauh pengamatan peneliti hingga penelitian ini disusun, belum ada penelitian tentang profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas L. pada media White dengan menggunakan teknik kultur jaringan.

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasilnya dapat membantu pengembangan ilmu farmasi khususnya mengenai kultur kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas untuk menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan yakni golongan terpenoid.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana informasi untuk memproduksi metabolit sekunder daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas secara cepat dan efisien dengan menggunakan teknik kultur jaringan yakni dengan menggunakan sistem bioreaktor.


(23)

E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan teknik kultur jaringan pada daun lembaga dari bijitanaman Jatropha curcas.

2. Tujuan khusus

Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui bahwa daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dapat membentuk kalus dengan teknik kultur jaringan.

b. Mengetahui bentuk profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP)

c. Membandingkan hasil KLT kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas dengan biji tanaman asalnya untuk mengetahui kesamaan kandungan golongan terpenoidnya.


(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman Jatropha curcas L. 1. Nama daerah

Nawaih nawas (Aceh); Jarak kosta (Melayu); Jirak (Minangkabau); Jarak gundul, Jarak iri, Jarak pager, Jarak cina (Jawa); Bintalo (Gorontalo); Bindalo (Buwol, Sulawesi); Malate, Maka male (Seram) (Sinaga, 2005).

2. Nama ilmiah

Tanaman Jatropha curcas termasuk dalam familia Euphorbiacea. Genus dari tanaman ini adalah Jatropha L. (Anonim, 2005a).

3. Morfologi

Jatropha curcas sangat baik untuk beradaptasi pada daerah dengan kondisi yang kering atau kurang subur. Pertumbuhan Jatropha curcas yang baik justru pada daerah yang panas yaitu pada daerah tropis. Jatropha curcas ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim dan tidak sensitif terhadap lama waktu penyinaran matahari. Tanaman ini merupakan spesies yang sangat mudah untuk beradaptasi, namun ketangguhan tanaman ini berasal dari kemampuannya untuk dapat tumbuh pada lahan kritis dan kondisi iklim yang kering (Anonim, 2005a).

Tanaman Jatropha curcas merupakan tanaman perdu atau pohon kecil, bercabang-cabang tidak teratur, tinggi sekitar 1–7 meter. Batangnya berkayu, silindris, bercabang, berkulit licin, memiliki tonjolan-tonjolan bekas tangkai daun


(25)

yang gugur. Bila dipatah-patahkan atau terluka, batangnya akan mengeluarkan getah putih, kental dan agak keruh (Sinaga, 2005).

Tanaman ini merupakan tanaman berdaun tunggal, tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau, tetapi permukaan bawah lebih pucat dari permukaan atas. Daun lebar, berbentuk jantung atau bulat telur melebar, dengan panjang dan lebar hampir sama, yaitu sekitar 5–15 cm. Helai daun bertoreh, berlekuk bersudut 3 atau 5. Pangkal daun berlekuk dan ujung dari pangkal daun meruncing. Tulang daun menjari dengan 5–7 tulang utama. Tangkai daun panjang, sekitar 4–15 cm (Sinaga, 2005).

Tanaman ini mempunyai bunga majemuk bentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal, berumah satu. Baik bunga jantan maupun betina Jatropha curcas ini tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung batang atau di ketiak daun. Jatropha curcas memiliki bunga dengan kelopak 5 buah berbentuk bulat telur, panjang sekitar 4 mm. Benang sari dari tanaman Jatropha curcas mengelompok pada pangkal, warna kuning. Jatropha curcas pada tangkai putik berukuran pendek berwarna hijau, dan kepala putik melengkung keluar berwarna kuning. Mahkota pada putik Jatropha curcas berjumlah 5 buah, berwarna agak keunguan (Sinaga, 2005).

Buah Jatropha curcas ini berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2–4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika sudah masak. Buah tanaman ini terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji (Sinaga, 2005).


(26)

Ketika biji Jatropha curcas sudah masak ditandai dengan adanya perubahan warna dari hijau menjadi kuning, sekitar 2 hingga 4 bulan dari masa fertilisasi. Lapisan kulit yang tipis hitam tersebut didalamnya terdapat biji Jatropha curcas (Anonim, 2005b), tiap buah terdapat 3 biji, berbentuk elips, ruang biji berbentuk segitiga elips, 1.5-2 x 1-1.1 cm (Anonim, 2005a). Biji berbentuk bulat telur memanjang agak bengkok. Sisi cekung dibagi dua di tengah oleh rafe. Panjang 1.5 cm sampai 2 cm, diameter 10 mm hingga 12 mm. Pada pangkal biji terdapat tonjolan seperti karunkula. Kulit luar biji (testa) agak rapuh, warna hitam, tidak rata, agak kasar. Kulit dalam (tegmen) berwarna putih, tipis berkerut dan beralur-alur. Inti biji berwarna putih sampai kekuning-kuningan. Lembaga berupa selaput tipis yang lebar, terdapat di antara keping biji (Anonim, 1995a).

4. Kandungan kimia

Pada genus Jatropha secara keseluruhan mempunyai senyawa metabolit sekunder lainnya yakni lignan, diterpen, triterpen dan peptida siklik (Roberto et all, 2004). Tanaman Jatropha curcas mengandung bahan kimia diantaranya triakontranol, kaempesterol, stigmasterol, iteksin, dan asam sianida (HCN). Pada daun tanaman ini mengandung saponin, flavonoida, tannin, terpenoid dan senyawa polifenol. Sedangkan batang tanaman ini mengandung sponin, flavonoida, tannin dan senyawa–senyawa polifenol. Getah Jatropha curcas mengandung tannin 11–18 persen. Pada bagian biji tanaman Jatropha curcas mengandung berbagai senyawa alkaloid, saponin, terpenoid dan sejenis protein beracun yang disebut kursin (Sinaga, 2005).


(27)

5. Khasiat dan kegunaan

Berdasarkan jurnal yang diacu dalam penelitian ini dikatakan bahwa terpenoid yang berasal dari daun dan akar tanaman jarak dapat digunakan sebagai bahan anti-bakteri (Roberto Can Aké, dkk, 2004). Bagian dari akar, batang, daun dan buah dari tanaman ini sudah digunakan secara luas pada pengobatan tradisional di banyak daerah belahan Afrika barat. Biji dari Jatropha curcas sudah digunakan sebagai bahan purgatif, anti-helmantik, dan baik digunakan untuk mengatasi penyakit kulit, asam urat, ascites dan paralisis. Minyak dari biji tanaman ini sudah digunakan sebagai bahan tambahan pada terapi penyakit rematik, gatal-gatal dan penyakit parasit kulit serta terapi pada demam, jaundice dan gonorrhoea, sebagai diuretik dan larutan penyegar mulut. Pada beberapa daerah tertentu di Afrika, masyarakat mengunyah biji untuk mendapatkan efek laksatif. Biji Jatropha curcas juga sudah mulai disarankan dalam pengobatan sebagai bahan chemotherapeutic yang tersedia pada dosis non-letal (Adam, 1974). Keadaan ini mungkin dilaporkan karena biji Jatropha curcas mempunyai aktivitas anti-helmantik. Terdapat laporan dari Gabon bahwa 1-2 buah biji cukup untuk mempunyai aktivitas sebagai bahan purgatif; bila dosis ditingkatkan maka dapat mengakibatkan kematian (Anonim, 2003). Penyebab kematian diantaranya disebabkan oleh adanya senyawa toksik yakni cursin dengan cara merusak dinding pembuluh darah (Perry dan Metzger, 1980).

Getah dari Jatropha curcas diaplikasikan secara langsung pada luka dan bahan pembalut luka serta sebagai bahan astrigen untuk membersihkan mulut, gusi dan terapi luka pada lidah dan mulut. Di Nigeria batang digunakan dengan


(28)

cara dikunyah. Getah mempunyai daya antibiotik melawan Candida albicans, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyrogens. Selain itu juga mempunyai efek sebagai bahan anti-koagulasi pada darah (Anonim, 2005a). Getah dari Jatropha curcas mengandung sebuah alkaloid yang dikenal dengan sebutan jatrophine, dimana dipercayai mempunyai efek anti-kanker. Juga digunakan secara eksternal pada penyakit kulit dan rematik serta luka terbuka pada daerah tertentu (Anonim, 2006b). Getah juga digunakan secara topikal untuk bee dan wasp stings (Duke, 1983).

Ekstrak metanol dari daun Jatropha curcas menghasilkan perlindungan pada kultur sel lymphoblastoid manusia melawan efek sitopatik dari plasma HIV. Infusa daun digunakan sebagai bahan diuretik, untuk mandi, terapi batuk, dan sebagai terapi konvulsan serta penangkal serangan penyakit. Daun juga digunakan untuk terapi jaundice, demam, sakit rematik, cacingan dan pertumbuhan janin yang buruk pada ibu hamil. Daun memproduksi getah yang mempunyai efek haemostasis; daun ini digunakan untuk membungkus luka. Di Ghana, abu bakaran daun diaplikasikan melalui injeksi rektal untuk terapi haemorrhoids (Anonim, 2005a).

Akar dari Jatropha curcas memperingan pembengkakkan akibat tetanus dan rasa sakit akibat luka, disentri dan jaundice. Dilaporkan bahwa akar digunakan sebagai bahan anti-bisa dari gigitan ular. Akar juga digunakan dalam bentuk sediaan dekok yang mempunyai fungsi sebagai cairan penyegar mulut yang biasanya dicampurkan pada permen karet dan pasta gigi. Selain itu juga


(29)

digunakan untuk mengobati penyakit skabies, cacing pita dan eksim (Duke, 1983).

B. Terpenoid

Terpen merupakan senyawa hasil kondensasi linear asam asetat dengan dua atom karbon. Asam asetat melalui berbagai cara akan menjadi asam malonat yang akhirnya akan menjadi beberapa senyawa terpen. Senyawa ini banyak terdapat dalam berbagai jenis tanaman sebagai komponen minyak atsiri. Terpen merupakan senyawa hidrokarbon jenuh atau tidak jenuh dengan jumlah atom karbon (C) kelipatan 5 (Soemarno cit. Mursyidi, 1990).

Menurut Soemarno (cit. Mursyidi, 1990), istilah terpen kemudian diganti dengan terpenoid mengingat senyawa hidrokarbon tersebut mempunyai gugus fungsional yang mengandung atom O dan diketahui bahwa biosintetik terpenoid merupakan polimerisasi senyawa isopren. Terpenoid biasanya digolongkan menjadi :

1. Monoterpenoid dengan jumlah atom C = 10. 2. Seskuiterpenoid dengan jumlah atom C = 15. 3. Diterpenoid dengan jumlah atom C = 20. 4. Sesterpenoid dengan jumlah atom C = 25. 5. Triterpenoid dengan jumlah atom C = 30. 6. Tetraterpenoid dengan jumlah atom C = 40.

Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Kadang-kadang minyak atsiri terdapat di dalam


(30)

sel kelenjar khusus pada permukaan daun, sedangkan karotenoid terutama berhubungan dengan kloroplas didalam daun dengan kromoplas di dalam daun bunga (petal). Biasanya ekstraksi terpenoid dari jaringan tanaman dilakukan dengan cara memakai petroleum eter, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina. Pemeriksaan golongan terpenoid dilakukan dengan cara dilakukan penyemprotan dengan asam sulfat pekat dan kemudian diteruskan dengan pemanasan (Harbone, 1987).

Banyak jenis macam terpenoid sudah diidentifikasi dan diketahui peran aktif dalam berbagai macam tanaman. Sifat yang cukup kelihatan yaitu dalam mengatur pertumbuhan. Dua dari golongan utama pengatur tumbuh ialah seskuiterpenoid absisin dan giberelin yang mempunyai kerangka dasar diterpenoid. Selain itu golongan karotenoid juga turut berperan bagi tanaman yakni sebagai pigmen pembantu pada fotosintesis. Golongan terpenoid lain yang turut membantu tanaman yakni mono- dan seskuiterpen dimana berfungsi untuk memberi bau dan wangi khas yang sudah diketahui (Harbone, 1987).

Masih dalam dugaan bahwa terpenoid ini turut berperan pada antaraksi antara tanaman dengan hewan, misalnya sebagai alat komunikasi dan pertahanan pada serangga. Pada suatu terpenoid tertentu yang tidak mudah menguap telah diimplikasikan sebagai hormon kelamin pada fungus (Harbone, 1987). Terpenoid diminati untuk diteliti lebih jauh yakni untuk mengetahui sejauh mana peran terpenoid sebagai pelindung terhadap serangga yang pada akhirnya dapat dikembangkan sebagai bahan penolak serangga bagi manusia (Robinson, 1991).


(31)

Pada golongan diterpenoid, perhatian besar telah diberikan kepada segolongan ester diterpenoid rumit yang diisolasi dari tanaman sekeluarga Euphorbiaceae yang mempunyai aktivitas sebagai antimikrobial, anti tumor karena efek sitotoksiknya (Roberto et all, 2004), antileukimia dan senyawa pengiritasi kulit kuat yang pada akhirnya juga sangat bermanfaat sebagai bahan penelitian sebagai kontrol positif terhadap proses iritasi kulit dan tentunya juga tingkat iritasi ini telah di standarisasi terlebih dahulu (Robinson, 1991).

Manusia telah melakukan penelitian dan pengembangan terpenoid dalam rangka untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat terutama digunakan sebagai tanaman obat-obatan. Diantaranya telah menunjukkan berbagai macam aktivitas fisiologis manusia yakni gangguan menstruasi, malaria, kerusakan hati, fungisida, patukan ular, diabetes dan sebagainya (Robinson, 1991).

C. Kultur Jaringan Tanaman 1. Kultur jaringan

Jenis pembiakan secara vegetatif yang paling mutakhir dan terus dikembangkan adalah kultur jaringan. Menurut Suryowinoto (1991) cit Katuuk (1989), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan adalah membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil atau planlet yang mempunyai sifat seperti induknya dalam lingkungan aseptis. Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel yang dikemukakan


(32)

oleh Schleiden dan Schwann, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom yaitu kemampuan tiap sel untuk tumbuh tanpa harus berdiferensiasi namun tiap sel tadi secara otomatis terkarakterisasi untuk tumbuh menjadi organ baru bagi tanaman; bahkan memiliki kemampuan totipotensi (Hendaryono dan Wijayani, 1994) yakni kemampuan tiap sel, darimana saja bagian sel itu diambil dan apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Suryowinoto, 1991 cit Hendaryono dan Wijayani 1994). Kultur jaringan merupakan salah satu jenis pembiakan vegetatif dan termasuk dalam kultur in vitro (Katuuk, 1989).

Dari teori sel Schleiden dan Schwann, umumnya kemampuan totipotensi ini lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang juvenil, muda, dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman (Santoso dan Nursandi, 2002). Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Macam-macam jenis kultur jaringan yang telah berkembang dan digunakan secara luas saat ini antara lain : kultur meristem yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan muda atau meristem; kultur pollen yaitu kultur jaringan dengan menggunakan eksplan dari pollen atau benang sari; kultur protoplas yaitu kultur jaringan dengan menggunakan eksplan dari protoplas, dimana protoplas itu sendiri yakni sel hidup yang telah dihilangkan dinding selnya; kultur kloroplas yaitu kultur jaringan dengan menggunakan kloroplas untuk keperluan fusi protoplas (memperbaiki sifat tanaman dengan


(33)

membuat varietas baru); Silangan protoplas/fusi protoplas yaitu menyilangkan dua macam protoplas menjadi satu, kemudian dibudidayakan sampai menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat baru (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Budidaya meristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari eksplan yang ditanam. Eksplan merupakan potongan jaringan atau organ yang dikulturkan (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Katuuk, 1989 ).

Beberapa keunggulan pembiakan vegetatif melalui kultur jaringan adalah dapat memperbanyak dengan cepat kultivar hibrida baru yang berasal dari satu sel untuk kegunaan komersil, dapat menciptakan tanaman baru bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus, dapat memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan memakai biji, dapat memperoleh tanaman induk yang sama sifat genetiknya dalam jumlah yang banyak, dan dapat menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun (Katuuk, 1989).

2. Kalus

Kalus sebenarnya adalah proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk. Dengan pengambilan metabolit sekunder dari kalus, biasanya malah dapat diperoleh kandungan lain yang lebih banyak jenisnya, karena seringkali timbul zat-zat terpenoid atau persenyawaan-persenyawaan lainnya yang sangat berguna khususnya dalam bidang pengobatan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Teknik kultur jaringan dicirikan oleh kondisi kultur aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (Zat


(34)

Pengatur Tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yustina, 2003).

Kumpulan sel pada kalus ini belum diketahui jelas apa fungsinya. Kalus yang terbentuk ini diharapkan terjadi morfogenesis dengan cara pengkulturan yang berulang-ulang dari media lama ke media yang baru. Teknik pemindahan eksplan ini disebut subkultur (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Katuuk, 1989).

Benzilaminopurin (kelompok sitokinin) dan Naftalen Asam Asetat (kelompok auksin sintesis) merupakan dua kelompok ZPT yang sering ditambahkan dalam media kultur. Penggunaan bersama kedua jenis ZPT ini dapat memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Kombinasi ZPT antara sitokinin group dengan auksin group dengan metode Mohr merupakan kunci keberhasilan dalam kultur jaringan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui berapa dosis kombinasi ZPT auksin dan sitokinin yang dapat memberikan pertumbuhan yang paling baik terhadap eksplan yang digunakan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

3. Eksplan

Eksplan adalah bagian tanaman yang sesuai, yang kemudian dijadikan semacam benih untuk membentuk pertumbuhan selanjutnya (Wetherell, 1982). Besarnya ukuran eksplan yang ditanam dalam beberapa kasus menentukan terbentuknya kalus atau tidak. Eksplan yang berukuran kecil akan cenderung kalus, sedangkan eksplan yang ukurannya lebih besar potensial untuk bermorfogenesis (Bionde dan Thorpe, 1981).


(35)

Menurut Soegihardjo (1990), bahan eksplan dapat dipilih sebagai berikut dengan tumbuhan yang dimaksud :

a. Gymnospermae : tunas kecambah steril atau bagian floem b. Graminal : lembaga, mesokotil, akar atau bagian batang

c. Dicotyledoneae : kecambah steril (akar, hipokotil, keping biji), batang, umbi dan daun

d. Zingiberaceae dapat digunakan rimpang muda yang bertunas atau biji.

Menurut George dan Sherington (1984), semakin besar eksplan yang digunakan maka semakin besar kemungkinan eksplan akan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Oleh karena itu perlu dicari ukuran eksplan yang minimun dan efektif. Eksplan yang terlalu kecil tidak akan tumbuh secepat eksplan yang ukurannya terlalu besar. Biasanya eksplan yang terlalu kecil daya tahannya kurang. Ukuran yang paling baik adalah jika sel berjumlah sekitar 20.000-25.000 buah (Thorpe cit. Katuuk, 1989).

Macam eksplan, ukuran, umur dan cara pembudidayaan akan mempengaruhi berhasil tidaknya kultur jaringan tanaman dan apakah morfogenesis akan dapat diimbas dari kultur jaringan tanaman tersebut. Aturan sederhana yang mungkin dapat digunakan sebagai pegangan adalah bahwa kita harus menggunakan tanaman sumber eksplan yang sehat dan tumbuh kuat, memilih jaringan yang muda dan menggunakan eksplan yang cukup besar (Whetherell, 1982).


(36)

4. Menabur eksplan

Menabur eksplan dilakukan didalam laminar air flow dengan kondisi aseptik. Sebelum kita bekerja di dalam laminar air flow ini, semua perhiasan yang digunakan seperti cincin, jam tangan dan sebagainya harus dilepas, dan tangan harus dibasuh dahulu dengan alkohol 70%. Dalam menabur eksplan, pekerja harus menggunakan masker penutup mulut atau hidung (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Penanaman eksplan atau penaburan eksplan dilakukan secara aseptik pada media padat dan ditekan pelan-pelan agar terjadi persinggungan yang baik antara eksplan dan media. Selanjutnya media ditutup dengan penutup botol media erat-erat untuk mencegah penguapan dan inkubasi dilakukan ditempat gelap dengan penyinaran pada suhu (25±3)0C (Dixon, 1985).

Untuk eksplan yang berupa daun diletakkan telungkup atau telentang, tetapi berdasarkan pengalaman posisi terbaik adalah bagian dorsal menghadap ke atas atau ditelungkupkan. Untuk batang atau tunas yang melekat di batang (cabang) ditancapkan atau diletakkan horisontal. Eksplan yang berupa kepingan atau irisan tipis dapat diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian permukaan yang luas melekat erat pada media (Soegihardjo, 1990).

Beberapa hari kemudian akan terbentuk kalus pada permukaan eksplan. Terbentuknya kalus karena pembelahan sel yang cepat dari sel-sel tanaman. Kalus juga terbentuk karena adanya luka dari bagian tanaman (George dan Sherrington, 1984).


(37)

5. Subkultur

Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) sub kultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus atau protokormus dapat dipenuhi. Dengan pertumbuhan kalus pada tempat yang tertutup, lama kelamaan akan dapat menyebabkan terjadinya akumulasi dari metabolit toksis serta dapat menyebabkan pengeringan dalam media sehingga dapat pecah. Cara pemindahan dilakukan dengan cara memindahkan kalus ke media baru (segar) dalam keadaan aseptik (Soegihardjo, 1989).

Subkultur dilakukan setiap 4 minggu untuk media yang tersedia 30 ml. Pada dasarnya pemindahan kalus sangat beragam tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus (Soegihardjo, 1989).

6. Pertumbuhan kalus

Mulai dari waktu subkultur atau penaburan inokulum, ada tiga tahap perkembangan dari kalus, yaitu induksi pembelahan sel, tahap pembelahan sel aktif dan tahap pembelahan sel lambat atau sel berhenti membelah. Laju pertumbuhan kalus biasanya ditetapkan secara kuantitatif dengan parameter indeks pertumbuhan atau pertambahan bobot kalus basah. Pertambahan bobot kalus basah merupakan selisih antara bobot kalus basah pada periode tertentu dikurangi bobot kalus mula-mula atau bobot inokulum.

Selanjutnya dari kurva pertumbuhan kalus yang menyatakan hubungan antara pertumbuhan bobot kalus basah dengan umur kalus dapat diketahui fase-fase pertumbuhan kalus antara lain :


(38)

a. fase lag, yaitu fase dimana belum terjadi pertumbuhan kalus secara nyata. Ini terjadi beberapa waktu setelah kalus di subkultur serta merupakan masa adaptasi kalus dengan media yang baru. Pada fase ini pertambahan bobot kalus hanya sedikit dan hampir terlihat mendatar pada kurva.

b. fase eksponensial, yaitu fase dimana mulai terjadi pertumbuhan kalus. Pertambahan bobot kalus mulai terlihat nyata dan diikuti fase linier dimana pertumbuhan kalus terus menaik secara eksponensial seperti garis lurus ke atas dan berhenti.

c. fase penuaan, yaitu fase dimana pertumbuhan kalus mulai menurun dan menjadi berhenti. Kalus tidak dapat tahan hidup pada fase ini dalam waktu yang lama. Sel-sel mulai mati media pertumbuhan kelebihan muatan dan nutrien telah habis digunakan, sehingga kematian sel menjadi lebih cepat (George dan Sherrington, 1984).

D. Media Kultur Jaringan

Nutrisi atau unsur- unsur yang dibutuhkan oleh jaringan tanaman dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a. Garam-garam anorganik yang dibedakan lagi menjadi dua, yaitu unsur makro (unsur yang dibutuhkan dalam jumlah besar) dan unsur mikro (unsur yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi harus tersedia).

Jenis- jenis yang termasuk unsur makro adalah Nitrogen, Fosfor, Kalium, Sulfur, Kalsium, dan Magnesium. Sedangkan unsur mikro meliputi Klor, Mangan, Besi, Tembaga, Seng, Bor, dan Molibdenum.


(39)

b. Garam- garam organik yang terdiri dari sukrosa, vitamin, dan zat pengatur tumbuh (ZPT).

1. Unsur makro

Kegunaan masing-masing unsur makro yang diperlukan bagi tumbuhan untuk dapat bertahan hidup dan mendukung pertumbuhannya akan dijabarkan berikut ini :

a. nitrogen (N). Nitrogen berpengaruh dalam menaikkan daya tumbuh tanaman. Unsur ini sangat penting dalam proses pembentukan klorofil, terpenoid, asam inti, beberapa hormon tumbuhan serta asam amino. Bila tanaman kekurangan nitrogen, akan terlihat pada warna daun yang ada yakni menguning, sedangkan bila terlalu banyak menyebabkan perkembangan vegetatif akan lebih besar daripada perkembangan buah. Sumber nitrogen pada media kultur berasal dari amonium (NH4+) dan yang paling penting nitrat (NO3-). Jumlah amonium yang digunakan berkisar 2-8 mM sedang nitrat sekitar 25-40 mM.

b. fosfor (P). Dalam jaringan meristematik serta daerah yang cepat pertumbuhan biasanya banyak terdapat fosfor. Terlalu banyak fosfor dalam media dapt menghambat pertumbuhan eksplan. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan penyerapan unsur lainnya seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu). Sumber fosfor dalam media diberikan dalam bentuk natrium hidrofosfat (NaH2PO4.H2O) atau kalium hidrofosfat (KH2PO4).

c. potasium (K). Potas adalah unsur yang berguna untuk pembelahan sel, sintesa karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi nitrat. Potas harus diberikan dalam media dengan konsentrasi 20 mM malah adakalanya dapat


(40)

melebihi lagi. Bentuk ikatan potasium yang banyak digunakan dalam media kultur yakni KNO3 dan KH2PO4.

d. magnesium (Mg). Magnesium adalah elemen utama dalam molekul klorofil. Selain itu magnesium bekerja sebagai aktivator enzim. Dalam media kultur sering diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O.

e. belerang (S). Belerang terdapat dalam beberapa molekul protein, berguna untuk perkembangan akar. Belerang diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O atau {Ca(NO3)2.4H2O}.

2. Unsur mikro

Kegunaan masing-masing unsur mikro yang diperlukan bagi tumbuhan untuk dapat bertahan hidup dan mendukung pertumbuhannya akan dijabarkan berikut ini :

a. besi (Fe). Besi berperan dalam sintesis klorofil. Dalam media kultur zat besi terlebih dahulu dicampurkan dengan EDTA (Asam Etilen Diamin Tetraasetik). Zat besi tidak boleh dicampurkan secara langsung ke dalam media dikarenakan sifat zat besi yang tidak mudah larut sehingga dapat menimbulkan endapan. b. mangan (Mn). Pada tanaman yang tumbuh di tanah, kekurangan mangan dapat menyebabkan klorotik (tanaman berwarna pucat) dan sering menunjukkan bintik-bintik hitam yang tidak lain adalah kematian setempat. Dalam media kultur jaringan, unsur ini berguna untuk membentuk membran kloroplas.

c. boron (B). Memegang peranan penting dalam perombakan gula. Media kultur yang kekurangan boron dapat mengakibatkan sintesa sitokinin dalam media terganggu. Bila kebanyakan boron dapat mengakibatkan tanaman mati.


(41)

d. seng (Zn). Seng merupakn unsur yang penting dalam pembentukan protoplas. Tanaman yang berkecukupan seng mampu memproduksi auksin IAA endogenous. e. kobalt (Co). Kegunaan kobalt dalam kultur jaringan adalah untuk pembentukan asam inti dan juga untuk mengikat unsur nitrogen.

f. tembaga (Cu). Tembaga berperan dalam proses konversi energi.

g. yodium (I). Unsur yodium tidak terlalu diperlukan dalam media, namun sering digunakan. Beberapa asam amino sering juga mengandung yodium.

h. molibdenum (Mo). Zat ini berguna dalam proses pengikatan nitrogen dari atmosfer menjadi nitrat dengan bantuan bakteri pengikat N. Selain itu juga berguna dalam proses pembentukan klorofil. Bila diberikan secara berlebihan dapat merusakkan jaringan tanaman.

3. Vitamin

Walaupun dalam jumlah kecil, pemberian vitamin dalam media kultur merupakan suatu keharusan lantaran tanaman yang dikulturkan tersebut belum mampu untuk membuat vitaminnya sendiri. Adapun jenis vitamin yang sering diberikan : thiamin HCl dimana berfungsi sebagai koenzim yang membantu daur asam organik dalam proses respirasi; nicotinamida yaitu suatu koenzim yang menjadi aktif dalam reaksi cahaya; myo-inositol adalah alkohol gula; asam panthothenik adalah suatu jenis vitamin B yang bekerja aktif sebagai koenzim dan berfungsi dalam metabolisme zat lemak; vitamin B6 adalah koenzim yang membantu reaksi kimia dalam proses metabolisme; choline sebagai terpenoid yang ada dalam vitamin B kompleks dan riboflavin dimana dikenal dengan vitamin B2.


(42)

4. Zat pengatur tumbuh (ZPT) dan hormon

Terdapat sebuah perbedaaan antara hormon dan zat pengatur tumbuh. Moore (1989) (cit. Santoso dan Nursandi 2004) mencirikan atau membedakan zat tersebut yakni :

a. hormon tanaman adalah senyawa organik dan bukan merupakan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (< 1mM) yang disintesis pada bagian tertentu, umumnya ditranslokasikan ke bagian lain tanaman di mana senyawa tersebut menghasilkan suatu respon secara biokimia, fisiologis dan morfologis.

b. zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik dan bukan merupakan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (<1 mM) mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Selain dari zat makanan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan diatur oleh hormon tumbuh. Tidak semua sel yang dikulturkan dapat memproduksi sendiri hormon pengatur tumbuhnya. Eksplan yang terlalu kecilpun juga belum mampu untuk memproduksi hormon tumbuhnya. Berikut ini akan diberikan keterangan mengenai beberapa zat pengatur tumbuh yang telah dikenal :

a. golongan auksin. Auksin merupakan hormon tumbuhan yang diproduksi secara alamiah oleh tumbuhan. Pada pemberian auksin dengan kadar yang relatif tinggi, kalus cenderung ke arah pembentukan primordia akar. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan adanya indikasi bahwa auksin dapat meningkatkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air dan melunakkan dinding sel yang diikuti dengan menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel disertai


(43)

dengan kenaikan volume sel. Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Pengaruh auksin dalam mikropropagasi antara lain adalah untuk menginduksi pertumbuhan kalus, pembentukan klorofil serta morfogenesis (Katuuk, 1989). Mekanisme kerja dari auksin yang dapat merangsang pertumbuhan yaitu auksin merangsang sekresi H+. Ion K+ diambil masuk ke dalam sel untuk mengimbangi pengeluaran H+ yang menurunkan potensial air dalam sel sehingga mengakibatkan pengembangan sel. Jenis auksin sintetik yang sudah ada diantaranya NAA (a-naphtalene acetic acid), 2.4-D (2.4 Dichlorophenoxy acetic acid), IBA (3-indole butyric acid), PCPA (P-chlorophenoxy acetic acid), IAA (3-indole acetic acid). IAA adalah juga hormon tumbuhan yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon alami).

b. Sitokinin. Dalam alam terbuka, sitokinin diantaranya berfungsi mengatur pertumbuhan melalui pembelahan sel, membantu mengawasi perkecambahan biji dan menunda penuaan. Sedangkan pada kultur jaringan sitokinin berfungsi mengatur pertumbuhan serta morphogenesis. Pemberian sitokinin dengan kadar yang relatif tinggi, differensiasi kalus akan cenderung ke arah pembentukan primordia batang atau tunas (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Sitokinin diproduksi didalam akar, namun demikian penambahan di dalam media masih tetap diperlukan. Jika yang akan dikulturkan yakni akar, maka sebaiknya sitokinin tidak ditambahkan. Sebaliknya apabila eksplan yang akan dikulturkan adalah pucuk tunas dimana produksi sitokininnya sedikit, maka diperlukan penambahan sitokinin di dalam media. Jenis auksin sintetik yang digunakan BAP (N6-benzyl


(44)

amino purine), BA (benzyl adenin) dan FAP (N6-furfurylamino purine) (Katuuk, 1989).

5. Bahan pemadat media

Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat dimana eksplan tumbuh. Media tanam sangat mutlak keberadaannya karena pada media ini terdapat semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan dengan medianya, tetapi tidak boleh tenggelam sehingga aerasinya baik. Media tanam tersebut dapat berbentuk cair atau padat. Pada media padat diperlukan bahan pemadat media. Idealnya, bahan pemadat media harus dapat disterilkan dengan autoklaf dan gel yang terbentuk ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim tanaman serta tidak bereaksi dengan komponen media yang lainnya (Yusnita, 2003).

Zat pemadat media yang sering digunakan yakni berupa agar-agar. Agar adalah berupa campuran polisakarida dari galaktosa yang diekstrak dari ganggang laut. Umumnya dapat membentuk gel atau memadat pada suhu 40-450C dengan titik cair 80-900C. Bentuk cair atau padat dari agar dapat bersifat balik (Yusnita, 2003). Menurut Katuuk (1989) agar memiliki sifat dapat mengikat air. Dengan semakin tinggi konsentrasi dari agar tadi maka makin kuat dalam mengikat air. Kepekatan agar yang terlalu tinggi mengakibatkan sulitnya bagi eksplan untuk mengambil sumber hara yang terlarut dalam media. Kepekatan yang biasa digunakan yaitu berkisar antara 0.6-0.8%. media yang kurang kadar garam dan hormonnya akan lebih keras dibandingkan dengan media yang tinggi kadar garam


(45)

dan hormonnya. Penggunaan agar biasanya sebanyak 8-10 g/l air suling (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

6. Sukrosa

Sukrosa adalah sumber energi yang diperlukan untuk induksi kalus (Hendaryono dan Ari, 1994), karena dalam kondisi in-vitro tanaman tidak bersifat autotrof. Hal ini disebabkan botol tempat tumbuh kultur bukan ditempat yang ideal untuk mendukung proses pertumbuhan yakni proses fotosintesis karena ditempatkan di tempat yang gelap (Pierik, 1987).

Konsentrasi sukrosa optimum yang sering digunakan dalam proses pengkulturan berkisar 2-3% atau 20.000-30.000 mg/l (Yusnita, 2003). Tetapi konsentrasi sukrosa ini juga tergantung pada tipe dan umur eksplan (Pierik, 1987). 7. Lingkungan

Bagi tanaman yang hidup in-vitro, 5 faktor lingkungan utama yang harus dipenuhi ialah cahaya, suhu, pH, kelembaban dan wadah/botol kultur.

a. cahaya. Cahaya sangat penting bagi kehidupam mikroorganisme. Bagi tanaman in-vitro cahaya berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang disebut fotomorfogenesis. Sehubungan dengan fotosintesis, cahaya belum begitu terlalu penting bagi kultur jaringan tanaman. Pertumbuhan sel kultur jaringan yang teratur pada dasarnya tidak dihambat oleh cahaya, malah sebaliknya pembelahan sel mula-mula pada eksplan serta pertumbuhan jaringan kalus acapkali dihambat/dibatasi oleh persoalan cahaya.

b. suhu. Pada umumnya kultur jaringan memerlukan suhu sebesar 25-300C. Namun untuk pertumbuhan optimum hal ini akan berbeda-beda pada tiap spesies


(46)

serta jenis eksperimen yang dilakukan. Suhu yang rendah dapat mempengaruhi perkembangan embrio.

c. pH. Keasaman dan kebasan media juga merupakan faktor lingkungan eksplan yang sangat menentukan. Pada umumnya pH yang paling disukai untuk pertumbuhan sel adalah antara 5-6. Tetapi menurut penelitian dilaporkan bahwa walaupun sudah diatur, pH akan turun sebanyak 0.5 sesudah autoklaf. Kultur menjadi asam disebabkan oleh pembentukan asam-asam organik.

d. kelembaban. George dan Sherrington (1984) melaporkan bahwa dalam penelitian Lane tentang kelembaban relatif, dia menemukan pertumbuhan tidak normal yang menyebabkan matinya sel. Hal ini bisa terjadi bila kelembaban dalam botol turun sampai 95%.

e. wadah/botol kultur. Ukuran wadah kultur biasanya juga mempengaruhi pertumbuhan serta morfogenesis in-vitro. Hal ini barangkali disebabkan oleh perbedaan konsentrasi CO2 yang tersedia, etilen, gas lain yang berada dalam wadah (Katuuk, 1989).

Beberapa media dasar yang pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara lain adalah :

a. Medium dasar Murashige dan Skoog (MS) : digunakan untuk hampir semua macam tanaman, terutama tanaman herbaceus. Media ini mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+. b. Medium dasar B5 atau Gamborg : digunakan untuk kultur susupensi sel kedele, alfafa, dan legume lain.


(47)

c. Medium dasar White : Medium ini merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah.

d. Medium Vacin Went (VW) : digunakan khusus untuk medium anggrek.

e. Medium dasar Nitsch dan Nitsch : digunakan untuk kultur tepungsari (pollen) dan kultur sel.

f. Medium dasar Schenk dan Hildebrandt : digunakan untuk kultur jaringan tanaman monokotil.

g. Medium dasar Woody Plant Medium (WPM) : digunakan untuk tanaman yang berkayu.

h. Medium dasar N6 : digunakan untuk tanaman serelia terutama padi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

E. Sterilisasi

Pekerjaan yang paling berat dalam kultur jaringan yakni menciptakan serta memelihara kondisi aseptis. Jalan yang paling baik untuk mengatasi kehadiran mikrobial adalah dengan menciptakan semua yang berhubungan dengan kegiatan kultur jaringan bebas mikrobial, mulai dari material tanaman, perlengkapan, lingkungan hingga pada cara kerja. Alat maupun teknik aseptik ada bermacam-macam :

1. Sterilisasi basah

Cara sterilisasi panas basah adalah dengan menggunakan uap air. Alat yang digunakan pada sterilisasi ini adalah autoklaf. Alat ini biasanya digunakan untuk mensterilisasikan media, bahan dan instrumen yang digunakan selama


(48)

proses pengkulturan. Hampir semua mikroba mati sesudah diberi uap air dengan suhu 1210C selama 10-20 menit. Lama sterilisasi ada aturannya yakni media 20-75 ml selama 15-20 menit dengan suhu 1210C, media 75-500 ml selama 20-25 menit dengan suhu 1210C, media 500-5000 ml selama 25-35 menit dengan suhu 1210C dan peralatan gelas/kertas selama 30 menit dengan suhu 1300C. Manfaat mensterilkan dengan menggunakan autoklaf adalah prosesnya cepat, sederhana serta sanggup membasmi virus tertentu. Namun selain itu ada kekurangan yakni dapat menurunkan pH sekitar 0.3-0.5 unit, dapat merusak substansi yang mudah menguap, bila pemanasan terlau tinggi gula akan membatu sehingga dapat menjadi racun dalam media.

2. Sterilisasi panas kering

Untuk mensterilkan dengan suhu tinggi dan kering dipakai oven. Biasanya oven digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang tidak mudah terbakar misalnya bahan yang terbuat dari bahan gelas atau logam. Namun tidak semua alat dari bahan logam harus disterilkan dengan cara ini, alat-alat seperti mata pisau serta skapel tidak dapat disterilkan dengan cara ini sebab dapat merusak ketajaman pisau/alat. Biasanya sterilisasi untuk suhu 1600C memerlukan waktu 45 menit, 1700C selama 18 menit, 1800C selama 7.5 menit dan 1900C selama 1.5 menit. Suhu harus selalu tetap di kontrol karena pada suhu 1700C kertas mulai hancur.

3. Sterilisasi memakai nyala

Instrumen yang telah disterilkan dari oven, dikeluarkan dari bungkusnya kemudian dicelup ke dalam alkohol 70% kemudian disterilkan lagi dengan


(49)

nyala, baru boleh dipakai. Setelah beberapa saat instrumen harus dicelupkan ke dalam etanol kemudian dibakar. Perlakuan ini berjalan terus selama kegiatan inokulasi yang berlangsung di dalam kotak transfer.

4. Ultra filtrasi

Beberapa komponen dalam media tanaman tidak stabil dan dapat terurai pada suhu yang tinggi. Bahan itu meliputi protein, vitamin, asam amino serta sari tanaman. Untuk sterilisasi, bahan ini ditapis dengan filter. Ayakan mempunyai lobang dengan ukuran bermacam-macam 0.2-1.0 mikron. Hasil filtrasi kemudian dituang dalam media.

5. Bahan kimia

Bahan kimia digunakan untuk membasmi mikrobial. Biasanya bahan kimia yang digunakan hanya untuk mensterilkan bagian permukaan saja meliputi material tanaman, instrumen, tangan pekerja serta ruangan/kotak transfer. Bahan yang biasa dipakai :

a. Alkohol digunakan untuk mensterilkan material tanaman, instrumen, permukaan ruang dan kotak kultur. Untuk material tanaman dipakai alkohol tujuh puluh persen.

b. Kalsium hipoklorida (Ca(OCl)2) merupakan salah satu bahan pencuci yang paling efektif dan kurang merusakkan jaringan.

c. H2O2 adalah bahan pencuci yang baik karena sifatnya yang mudah terurai, sehingga material tanaman hanya dibilas satu kali saja.

d. Sublimat (HgCl2) adalah bahan yang sangat beracun baik bagi tanaman, manusia dan hewan.


(50)

6. Cahaya

Ruang dan kotak transfer sukar untuk disterilkan hanya dengan menggosok alkohol atau bahan kimia pada permukaan. Untuk itu dipakai lampu germicidal dengan sinar ultraviolet. Keterbatasan menggunakan sinar ultraviolet yakni untuk bagian yang tidak terkena cahaya maka tidak bisa disterilisasi, sinar ultraviolet hanya mampu mematikan bentuk bakteri dan jamur bukan untuk spora (Katuuk, 1989).

F. Kromatografi Lapis Tipis

Teknik identifikasi dan pemisahan senyawa fisikokimia yang paling banyak dipakai adalah teknik kromatografi. Selain menggunakan teknik kromatografi kertas (KKt), cara terbaik untuk memisahkan dan mengidentifikasi senyawa fenol sederhana adalah dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Kelebihan KLT adalah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya (Harborne, 1987).

Senyawa fenol dideteksi setelah hidrolisis jaringan tanaman (segar atau kering) dalam suasana asam, basa, atau setelah pemekatan ekstrak tanaman (Harborne, 1987). Senyawa yang dipisahkan berupa larutan, ditotolkan pada fase diam dalam bentuk bercak atau garis. Fase diam yang terdiri atas bahan butiran halus, ditempatkan pada pelat penyangga gelas atau logam. Campuran akan dipisahkan berupa larutan akan ditotolkan dan menghasilkan bercak. Fase diam ini kemudian diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang sesuai (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan


(51)

kapiler (pengembangan), dan bercak pemisahan dideteksi dengan pereaksi- pereaksi yang lazim untuk senyawa yang dimaksud (Stahl, 1985).

1. Fase diam

Lapisan dibuat dari salah satu fase diam yang khusus digunakan untuk kromatografi lapis tipis yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Dua sifat yang penting dari fase diam adalah besar partikel serta homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada mereka. Partikel yang butirannya sangat besar tidak akan memberikan hasil yang baik dan salah satu alasan untuk menaikkan hasil pemisahan adalah menggunakan fase diam yang butirannya halus. Sebelum digunakan lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab serta bebas dari uap laboratorium (Sastrohamidjojo, 2002).

Kebanyakan fase diam yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder), yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan pada lapisan, serta menambah adesi pada gelas penyokong. Pengikat yang paling sering digunakan yaitu kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdagangan, silika gel telah diberi pengikat dan diberikan nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 2002).

Untuk memisahkan terpena berdasarkan jumlah ikatan rangkap ialah menggunakan plat KLT silika gel yang waktu penyaputannya menggunakan bubur silika gel yang dibuat dengan larutan 2.5% AgNO3 dalam air, sebagai pengganti air (Harbone, 1987).


(52)

2. Fase gerak

Pada kromatografi lapis tipis, fase gerak biasanya terdiri dari atas satu atau beberapa pelarut. Fase ini bergerak terhadap fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Pelarut yang digunakan harus mempunyai kualitas analitik dan bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin dengan maksimum tiga komponen (Stahl, 1969).

Pada saat penggunaan fase gerak campuran beberapa pelarut organik sebaiknya mempunyai kepolaran yang serendah mungkin. Salah satu alasan penggunaan itu untuk mengurangi serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Pelarut mempunyai sifat kepolaran yang tinggi dalam campuran akan mengakibatkan perubahan sistem menjadi sistem partisi dan campuran larutan fase gerak dapat dikatakan baik jika dapat memberikan kekuatan bergerak sedang (Sastrohamidjojo, 2002).

3. Penempatan cuplikan

Penotolan sampel pada kromatografi lapis tipis menggunakan alat mikropipet berujung runcing. Pada penotolan sampel diusahakan sedekat mungkin dengan lempeng. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan cuplikan sedapat mungkin larutan yang mudah menguap dan mempunyai polaritas rendah. Garis akhir dapat dibuat dengan menandai lapisan dengan jarak rambat fase gerak sepuluh hingga lima belas sentimeter (Sastrohamidjojo, 2002).


(53)

4. Elusi

Bila sampel telah ditotolkan, lapisan kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap pelarut fase gerak yang digunakan. Lempeng fase diam dicelupkan dalam fase gerak sedalam kira-kira 0.5-1.0 cm. Bejana kromatografi ditutup rapat untuk meyakinkan homogenitas atmosfer dalam bejana, maka dinding dalam bejana dilapisi dengan lembaran kertas saring yang ujungnya direndam dalam fase gerak (Sastrohamidjojo, 2002).

Dalam kromatografi lapis tipis terdapat dua metode pengembangan yaitu : a. Pengembangan sinambung, yakni membiarkan bagian atas lempeng menjulur keluar melalui sebuah celah pada tutup bejana kromatografi. Bila fase gerak telah mencapai celah itu maka akan terjadi penguapan yang sinambung, mengakibatkan aliran pelarut yang tetap pada lempeng (Anonim, 1995b).

b. Pengembangan berulang, yakni setelah dilakukan pengembangan kemudian dikeringkan lalu dikembangkan lagi pada sistem pelarut yang sama ataupun yang berbeda hingga didapatkan pemisahan yang baik. Ini sangat berguna pada pemisahan senyawa yang mempunyai perbedaan polaritas (Moffat, 1986).

5. Deteksi

Pada kromatografi lapis tipis, bercak dari senyawa umumnya tidak berwarna sehingga untuk menentukan bercak tersebut dapat dilakukan secara fisika dan kimia.

a. Fisika. Metode-metode fisika yang sering digunakan meliputi fluoresensi sinar ultraviolet serta pencacahan radioaktif. Pada senyawa-senyawa yang dapat


(54)

berfluoresensi maka bercak akan terlihat di bawah sinar ultraviolet. Namun jika senyawa tersebut tidak berfluoresensi ditentukan dengan indikator fluoresensi pada fase diam sehingga pada bercak akan terlihat hitam sedangkan tempat yang tanpa bercak berfluoresensi (Stahl, 1969).

b. Kimia. Metode kimia yang sering digunakan untuk mendeteksi bercak pada kromatografi lapis tipis dengan menyemprotkan suatu pereaksi kimia. Senyawa-senyawa organik dapat dilakukan dengan penyemprotan H2SO4 pekat. Untuk pembentukan warna yang optimal diperlukan suhu 2000C kurang lebih selama 10 menit, noda yang akan teramati berwarna hitam. Cara ini efektif untuk menentukan bercak tetapi tidak baik untuk identifikasi (Sastrohamidjojo, 2002). 6. Penilaian kromatografi

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi lapis tipis biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf .

Jarak rambat bercak Rf =

Jarak rambat fase gerak

Angka Rf berjarak antara 0.00-1.00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Sedangkan hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 menghasilkan nilai berjarak 0-100.

Dalam mengidentifikasi bercak pada pelat kromatogram lazimnya menggunakan harga Rf (retardation factor). Rf didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pengembang. Karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Markham, 1988).


(55)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga Rf dalam kromatografi lapis tipis adalah :

a. sifat dari penyerap serta derajat aktivitasnya.

b. tebal serta kerataan lapisan; ketidakrataan lapisan penyerap akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tidak rata pada daerah plat sehingga harga Rf juga tidak sama.

c. kemurnian fase gerak; pelarut yang tidak murni akan memberikan pemisahan yang tidak baik. Demikian pula jika fase gerak yang digunakan berupa campuran, maka perbandingan yang dipakai harus diperhatikan.

d. kejenuhan bejana kromatografi; pemisahan yang dilakukan dalam bejana yang mempunyai kejenuhan tidak sama mengakibatkan harga Rf tidak sama.

e. suhu; pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan fase. Jumlah cuplikan yang berlebihan memberikan tendensi noda berbentuk ekor yang akan mengakibatkan kesalahan harga Rf. f. kesetimbangan; pada bejana kromatografi yang tidak jenuh dengan uap pelarut akan menyebabkan pada saat pengembangan untuk permukaan pelarut yang cekung dan ini akan mengakibatkan fase gerak lebih cepat merambat pada bagian tepi daripada bagian tengah. Hal ini mengakibatkan kesalahan dalam penentuan harga Rf (Sastrohamidjojo, 1991).


(56)

G. KETERANGAN EMPIRIS

Penelitian tentang profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas L. pada media White dengan menggunakan teknik kultur jaringan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas yang dapat membentuk kalus dengan teknik kultur jaringan, bentuk profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) serta membandingkan hasil KLT kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas dengan biji tanaman asalnya untuk mengetahui kesamaan kandungan golongan terpenoidnya.


(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian profil pertumbuhan kalus daun lembaga biji tanaman Jatropha curcas pada media White dengan menggunakan teknik kultur jaringan ini, termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental deskriptif dengan rancangan acak lengkap pola searah yakni subjek uji tidak mendapatkan perlakuan selama penelitian dan setiap sampel mempunyai kesempatan yang sama untuk dilakukan pencuplikan dimana sifat penelitian ini adalah melaporkan (mendeskripsikan) hasil data yang ada selama penelitian.

B. Definisi Operasional

1. Daun lembaga yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun lembaga dari biji yang terdapat di dalam buah tanaman Jatropha curcas yang berusia ± 2 bulan dari saat berbunga, bagian yang dipergunakan adalah daun lembaga tidak termasuk mata tunasnya. Daun lembaga inilah sebagai subjek uji penelitian. 2. Inisiasi kalus adalah terbentuknya kalus pertama kali yang ditandai dengan

bintik putih pada pinggir eksplan.

3. Bobot kalus basah awal adalah hasil pengurangan bobot media + botol + kalus dengan bobot botol + media pada saat subkultur.

4. Bobot kalus kering adalah bobot kalus pada saat pemanenan dan sudah mengalami proses pengeringan di dalam oven pada suhu 40-500C, sampai


(58)

diperoleh kalus dengan bobot konstan yaitu antara penimbangan yang pertama dan berikutnya selama 1 jam tidak berbeda 0.5 mg.

5. Pertumbuhan kalus adalah bobot kalus basah akhir dikurangi dengan bobot kalus basah awal.

6. Waktu inisiasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh eksplan untuk menumbuhkan kalus yang dihitung dari saat penanaman eksplan sampai hari pertama kalus mulai tumbuh/muncul.

7. Persen kadar air adalah bobot kalus basah dikurangi dengan bobot kalus kering lalu dibagi dengan bobot kalus basah dikali dengan 100%.

8. Metabolit sekunder yang terkandung di dalam kalus sama dengan metabolit yang ada pada biji menandakan bahwa keduanya sama-sama menghasilkan metabolit yang sama yakni golongan terpenoid.

9. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yaitu Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) dalam media Whiteyang digunakan adalah 2:2.

C. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan utama yang dibutuhkan untuk proses kultur jaringan yang nantinya akan ditumbuhkan yakni daun lembaga dari biji yang terdapat di dalam buah tanaman Jatropha curcas. Biji yang digunakan yakni berasal dari buah tanaman Jatropha curcas yang diambil dari Kebun Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Dusun Paingan, Desa Maguwohardjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.


(59)

a. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain : 1). bahan untuk kultur jaringan tanaman

a). bahan media kultur: (1). unsur-unsur makro

(a). kalium nitrat, Merck, Germany, 105063. (b). kalium klorida, Merck, Germany, 104936.

(c). kalsiumnitrat-tetrahidrat, Merck, Germany, 102121. (d). magnesiumsulfat-heptahidrat, Merck, Germany, 105886.

(e). natriumdihidrogenfosfat-monohidrat, Merck, Germany, 106346. (f). natrium sulfat, Merck, Germany, 106649.

(2). unsur-unsur mikro

(a). asam borat, Merck, Germany, 100165. (b). besi (II) sulfat-heptahidrat, 103965. (c). kalium iodida, Merck, Germany, 105043.

(d). mangansulfat-tetrahidrat, BDH Limited Poole, England, 10153. (e). sengsulfat-heptahidrat, Merck, Germany, 108883.

(3). vitamin

(a). asam nikotinat, Calbiochem, US dan Canada, 481918. (b). piridoksin (B6), Bratako, Chemika, Bandung, Indonesia. (c). tiamin (B1), Bratako, Chemika, Bandung, Indonesia. (4). sumber karbon : sukrosa, Merck, Germany, 107653. (5). agar, Mkr Chemicals.


(60)

(a). 6-bensilamino-purin, Sigma Chemicals, Germany, B-3408. (b). 1-naphthylasetic acid, Merck, Germany, S.22687.743. b). desinfektan

(1). alkohol 70% derajat kemurnian teknis. (2). natrium hipoklorida, Bayclin.

2). bahan untuk kromatografi lapis tipis : a). aseton, Merck, Germany, 100014. b). asam sulfat, Merck, Germany, 100731. c). etil-asetat, Merck, Germany, 109623. d). kloroform, Merck, Germany, 102445. e). metanol, J.T. Baker, USA, 9070-68. f). n-hexane, Merck, Germany, 104367.

g). antimon triklorida, Merck, Germany, 107838. h). perak nitrat, Merck, Germany, 101512.

i). plate KLT Silica-Gel GF 254, Merck, Germany, 5553. j). vanilin, Merck, Germany, 8510.

k). asam asetat glasial, J.T Barker, USA, 9573-05. 2. Alat

a. Alat yang digunakan selama proses kultur jaringan : botol kultur (Schott Duran), alat-alat gelas, glassfine, pinset, skapel, autoklaf (YX 400Z Shanghai Sanshen, Medical Inst, Co, LTD), oven (Marius Instrument, German), inkubator (Heraeus Tamson, Holland), pemanas listrik (Ika Combimag, RCT, German), Timbangan analitik (Scaltec), Laminar Air Flow, lampu UV, kertas


(61)

pH, kertas saring, sprayer, refrigerator (Sharp) sterear dan aluminium foil (Heavy-Duty, Total-Wrap).

b. Alat untuk penyarian : alat gelas, waterbath.

c. Alat untuk KLT : lempeng KLT silika gel GF 254, bejana KLT, alat gelas, pipa kapiler, penyemprot bercak, lampu UV 254 dan 365 nm.

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman

Determinasi tumbuhan Jatropha curcas dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan menggunakan acuan buku “Flora of Java” (Backer dan Van den Brink, 1963; 1985).

2. Pemilihan eksplan

Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun lembaga dari biji Jatropha curcas yang telah disterilkan terlebih dahulu. Sterilisasi dilakukan dengan cara melewatkan eksplan di atas api bunsen, namun hati-hati jangan sampai mengenai lidah api bunsen (terbakar) karena eksplan ini tidak terlalu tahan panas. Apabila terlalu panas maka eksplan akan gosong. Kriteria daun lembaga dari biji yang digunakan yakni masih muda (masih berair), kenyal (seperti jelly), dan yang digunakan bagian tengah daun lembaga.

3. Pengumpulan bahan

Bahan utama yang digunakan adalah buah Jatropha curcas yang diambil dari tanaman Jatropha curcas yang tumbuh sehat dan subur dengan spesifikasi


(62)

diameter buah yakni 3-3.5 cm sebagai parameter pemilihan buah yang akan digunakan. Daun lembaga yang berasal dari biji dimana biji tersebut terdapat di dalam buah tanaman Jatropha curcas, adalah buah yang masih segar, muda dan bersih (sehat). Sedangkan biji yang digunakan sebagai pembandingnya diperoleh dari buah yang sudah tua berwarna kuning kehitaman yang berumur ± 5 bulan dari saat berbunga. Buah kemudian dicuci dan dikupas untuk diambil bijinya kemudian dibelah dan di iris tipis-tipis kemudian dikeringkan. Hal ini dilakukan untuk menghentikan reaksi enzimatik yang mungkin terjadi di dalam jaringan tumbuhan sehingga tidak terjadi penurunan kadar zat aktif. Pengeringan dianggap cukup bila irisan yang didapatkan telah rapuh dan mudah dipatahkan. Tanaman Jatropha curcas diambil dari Kebun Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Dusun Paingan, Desa Maguwohardjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

4. Pembuatan stok

a. pembuatan larutan stok hara makro. Stok makro White dengan kepekatan lima mililiter/liter. Pembuatan dimulai dengan pertama-tama menyiapkan gelas piala dengan ukuran 500 ml yang diisi dengan 300 ml aquades kemudian masukkan 8000 mg kalium nitrat aduk hingga jernih. Tambahkan 30000 mg kalsium nitrat dihidrat aduk lagi hingga jernih lalu tambahkan 72000 mg magnesium sulfat heptahidrat aduk hingga jernih kemudian tambahkan 6500 mg kalium klorida dan aduk hingga homogen, 16500 mg natrium dihidrogenfosfat hidrat, 20000 mg natrium sulfat kemudian aduk hingga homogen. Lalu tambahkan


(63)

aquadest hingga tanda. Untuk 1 liter media dibutuhkan 5 ml larutan dari stok makro.

b. pembuatan larutan stok hara mikro. Stok mikro White dengan kepekatan lima mililiter/liter. Pembuatan dimulai dengan pertama-tama menyiapkan gelas piala dengan ukuran 500 ml yang diisi dengan 300 ml aquades kemudian masukkan 700 mg mangan sulfat tetrahidrat aduk hingga jernih. Tambahkan 300 mg seng sulfat heptahidrat aduk lagi hingga jernih lalu tambahkan 150 mg asam borat aduk hingga jernih kemudian tambahkan 75 mg kalium iodida dan aduk hingga homogen kemudian tambahkan 250 mg besi (II) sulfat lalu di aduk hingga homogen. Kemudian tambahkan aquadest hingga tanda. Untuk 1 liter media dibutuhkan 5 ml larutan dari stok mikro.

c. pembuatan larutan stok vitamin. Stok vitamin White dengan kepekatan 5 ml/L. Pembuatan dimulai dengan pertama-tama menyiapkan gelas piala dengan ukuran lima ratus mililiter yang diisi dengan 300 ml aquades kemudian masukkan 10 mg thiamin HCl aduk hingga jernih. Tambahkan 50 mg asam nikotinat aduk lagi hingga jernih lalu tambahkan 10 mg piridoksin HCl aduk hingga jernih. Lalu tambahkan aquadest hingga tanda. Untuk 1 liter media dibutuhkan 5 ml larutan dari stok vitamin.

5. Pembuatan media

Aquadest sebanyak kurang lebih 300 ml dipanaskan dalam Beaker Glass seribu mililiter. Masukkan bahan- bahan nutrisi makro ke dalam Beaker Glass, sambil terus diaduk dengan pengaduk stirer. Larutan stok hara mikro sebanyak 5 ml dimasukkan dalam campuran media. Stok vitamin sebanyak 5 ml selanjutnya


(64)

juga dimasukkan dalam campuran media. Berturut- turut masukkan 30 g sukrosa dan 8-10 g agar. Selanjutnya tambahkan aquadest sampai kurang lebih 1000 ml, aduk, dan panaskan sampai jernih. Setelah jernih dan mendidih, angkat Beaker Glass dari pemanas. Tambahkan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Tambahkan zat pengatur tumbuh auksin (Naphthaleneacetic acid (NAA)) dan sitokinin Benzylaminopurine (BAP) dengan konsentrasi 2 : 2 ppm. Atur pH larutan media 5,2- 5,6. Jika terlalu alkali tambahkan HCl 1N, tetapi jika terlalu asam tambahkan KOH 1N. Pindahkan larutan media ke dalam botol kultur dengan ketebalan media kurang lebih 1 (satu) cm. Tutup botol, kemudian sterilisasi dengan autoklaf (121°C,15 menit). Simpan media yang telah disterilkan tersebut ke dalam inkubator.

6. Sterilisasi

a. alat. Alat- alat dissecting- set (skapel dan pinset) dan glass ware (cawan petri yang berisi kertas saring, Beaker Glass, tabung reaksi dan Elemenyer yang berisi aquadest) yang akan digunakan, setelah dicuci dengan Bayclin dan dikeringkan di dalam oven kemudian dibungkus dengan kertas payung.. Sterilisasi alat- alat tersebut di dalam autoklaf (121 °C, 15 menit) selama 20- 30 menit.

b. ruangan. Dinding- dinding ruangan penanaman eksplan dan Laminar Air Flow (LAF) disterilkan dengan menggunakan alkohol 70 % atau spiritus. Selanjutnya lampu UV baik yang ada di ruangan maupun di LAF dinyalakan selama 24 jam. c. eksplan (daun lembaga dari biji Jatropha curcas). Biji yang terdapat dalam

buah dan diambil daun lembaga dari bijinya yang kemudian ditumbuhkan menjadi kalus terlebih dahulu disterilkan. Pertama kali, buah Jatropha curcas dicuci


(65)

dengan cara disikat halus menggunakan detergent yang ada (hati-hati jangan sampai kulit buah terluka), kemudian dibilas dengan air mengalir lebih kurang 15 menit. Setelah itu dibawa ke dalam LAF untuk disterilkan lebih lanjut.

Di dalam LAF, buah Jatropha curcas tadi kemudian dicelupkan ke dalam alkohol 70 % yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah buah tadi dicelupkan kemudian di bakar di atas api bunsen selama lebih kurang 5 detik saja. Lakukan proses ini lebih kurang 5 kali replikasi. Perlu diperhatikan bahwa proses ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menimbulkan kebakaran. Kemudian buah diletakkan di atas cawan untuk dibelah dan diambil bijinya. Pembelahan buah ini mengikuti alur cangkang dari biji yang terbagi menjadi 2-3 bagian biji agar biji yang akan diambil tidak terluka. Setelah biji dapat dikeluarkan dari cangkang buah dengan bantuan pinset dan skapel yang telah disterilkan terlabih dahulu, kemudian biji dicelupkan ke dalam alkohol 70 % dan dilewatkan diatas api bunsen, lakukan proses ini lebih kurang 3 kali perlakuan saja. Pemanasan yang dilakukan jangan terlalu lama karena biji dapat gosong dan daun lembaga dari biji yang akan ditanam akan mati.

7. Penanaman eksplan

Biji yang akan ditanam dibelah membujur, kemudian diambil bagian daun lembaga dari biji dan dipotong menjadi 2-3 potongan dengan menggunakan skapel di dalam cawan petri. Potongan tersebut dimasukkan dalam media tanam dalam posisi horisontal dengan sedikit ditekan dengan tujuan untuk memperbesar sudut kontak eksplan dengan permukaan media. Inkubasikan medium yang telah ditanami eksplan tersebut di ruang inkubator dengan suhu ruangan 180C serta


(1)

(a)

(b)

Keterangan

gambar

:

a. Gambar kromatogram kalus (A)

dan biji (B) pada 365 nm.

b. Gambar kromatogram kalus (A)

dan biji (B) pada 254 nm.

c. Gambar kromatogram kalus (A)

dan biji (B) setelah disemprot dengan

reagen vanilin-sulfat.


(2)

(a)

(b)

Keterangan

gambar

:

a. Gambar kromatogram kalus (A), biji (B)

pada 365 nm.

b. Gambar kromatogram kalus (A), biji (B)

pada 254 nm.

c. Gambar kromatogram kalus (A), biji (B)

setelah disemprot dengan reagen

antimon-triklorida.


(3)

Lampiran 3

Komposisi Media White

I. Unsur-unsur makro

a. Kalium nitrat (KNO3).

b. Kalium klorida (KCl).

c. Kalsiumnitrat-tetrahidrat (Ca(NO

3

)

2

.4H

2

O).

d. Magnesiumsulfat-heptahidrat (MgSO

4

.7H

2

O).

e. Natriumdihidrogenfosfat-monohidrat (NaH

2

PO

4

.H

2

O).

f. Natrium sulfat (Na

2

SO

4

).

II. Unsur-unsur mikro

a. Asam borat (H3BO3).

b. Besi (II) sulfat-heptahidrat (FeSO4.7H2O).

c. Kalium iodida (KI).

d. Mangan (II) sulfat-tetrahidrat (MnSO

4

.4H

2

O).

e. Sengsulfat-heptahidrat (ZnSO

4

.7H

2

O).

III. Vitamin

a. Asam nikotinat.

b. Piridoksin (B6).

c. Tiamin (B

1

).

IV. Sukrosa.

V. Agar.

VI. Zat pengatur tumbuh

a. Auksin (asam naftalen asetat).

b.

Sitokinin

(6-bensilamino-purin).

VII. Aquadest.


(4)

Hasil penimbangan pemanenan kalus dari hari ke hari

Hari panen ke- Bobot media Bobot media& kalus Bobot kalus awal Rata-rata bobot kalus awal Bobot cawan Bobot cawan& kalus Bobot kalus akhir Rata-rata bobot kalus akhir Pertumbuhan kalus

4 179.4960 179.6000 0.1040 22.9660 23.0916 0.1256

4 183.2230 183.3030 0.0800 22.9655 23.0804 0.1149

4 169.3130 169.4260 0.1130 0.0920 22.9654 23.0846 0.1192 0.1117 0.0197

4 173.7190 173.8180 0.0990 22.9656 23.0774 0.1118

4 171.6100 171.6740 0.0640 22.4955 22.5825 0.0870

8 170.0900 170.1790 0.0890 21.4640 21.6125 0.1485

8 178.0760 178.1420 0.0660 24.3444 24.4539 0.1095

8 175.7540 175.8540 0.1000 0.0918 26.2709 26.3996 0.1287 0.1316 0.0398

12 171.6130 171.7250 0.1120 22.9821 23.1218 0.1397

12 170.7090 170.8420 0.1330 22.4954 22.6727 0.1773

12 173.0090 173.1330 0.1240 23.0305 23.1822 0.1517

12 170.7120 170.8090 0.0970 0.1223 15.1719 15.3283 0.1564 0.1744 0.0522

16 170.3290 170.4640 0.1350 22.4957 22.7080 0.2123

16 179.4520 179.6050 0.1530 22.4944 22.7134 0.2190

16 176.6000 176.6710 0.0710 21.4587 21.5708 0.1121

16 176.5220 176.6260 0.1040 0.1258 15.1711 15.4029 0.2318 0.1923 0.0665

16 177.2800 177.3860 0.1060 13.6506 13.7950 0.1444

20 178.6690 178.8640 0.1950 23.0295 23.2835 0.2540

20 172.3490 172.5540 0.2050 24.3114 24.6587 0.3473

20 179.0820 179.2670 0.1850 24.2895 24.5532 0.2637

20 170.6710 170.8100 0.1390 0.1830 24.3389 24.5658 0.2269 0.2793 0.0963

20 173.1720 173.4060 0.2340 26.2638 26.5648 0.3010

24 181.7600 181.9120 0.1520 22.9745 23.2323 0.2578

24 173.7370 173.9490 0.2120 24.3419 24.6520 0.3101

24 178.6930 178.7980 0.1050 24.2867 24.4833 0.1966

24 175.2260 175.3750 0.1490 0.1412 15.1832 15.4244 0.2412 0.2231 0.0819

24 172.1800 172.3100 0.1300 24.3134 24.5130 0.1996

28 172.0840 172.1940 0.1100 26.2665 26.4346 0.1681

28 178.0410 178.2070 0.1660 13.6622 13.9118 0.2496

28 175.3660 175.4760 0.1100 22.5060 22.6594 0.1534

28 172.7730 172.8720 0.0990 0.1208 22.9769 23.1375 0.1606 0.1807 0.0599

32 169.6310 169.7390 0.1080 23.0416 23.2007 0.1591

32 171.3550 171.4530 0.0980 21.4596 21.6034 0.1438

32 170.1820 170.3190 0.1370 0.1220 23.0302 23.2225 0.1923 0.1674 0.0454


(5)

Lampiran 5

Kadar Air Kalus

Hari panen ke- Bobot cawan Bobot cawan& kalus basah Bobot kalus basah Rata-rata bobot kalus basah Bobot cawan Bobot cawan& kalus kering Bobot kalus kering Rata-rata bobot kalus kering Persen kadar air 4 22.9660 23.0916 0.1256 22.9660 22.9842 0.0182

4 22.9655 23.0804 0.1149 22.9662 22.9724 0.0062

4 22.9654 23.0846 0.1192 0.1117 22.9661 22.9784 0.0123 0.0104 90.70725

4 22.9656 23.0774 0.1118 22.9663 22.9760 0.0097

4 22.4955 22.5825 0.0870 22.9659 22.9714 0.0055

8 21.4640 21.6125 0.1485 24.3386 24.3516 0.0130

8 24.3444 24.4539 0.1095 26.2658 26.2760 0.0102

8 26.2709 26.3996 0.1287 0.1316 22.9753 22.9873 0.0120 0.0117 91.12842

12 22.9821 23.1218 0.1397 21.4637 21.4752 0.0115

12 22.4954 22.6727 0.1773 22.4961 22.5125 0.0164

12 23.0305 23.1822 0.1517 23.0304 23.0448 0.0144

12 15.1719 15.3283 0.1564 0.1744 15.1722 15.1866 0.0144 0.0154 91.15666

16 22.4957 22.7080 0.2123 22.4955 22.5120 0.0165

16 22.4944 22.7134 0.2190 22.5056 22.5266 0.0210

16 21.4587 21.5708 0.1121 21.4688 21.4769 0.0081

16 15.1711 15.4029 0.2318 0.1923 15.1817 15.1994 0.0177 0.0156 91.89639

16 13.6506 13.7950 0.1444 13.6615 13.6739 0.0124

20 23.0295 23.2835 0.2540 23.0409 23.0596 0.0187

20 24.3114 24.6587 0.3473 24.3134 24.3389 0.0255

20 24.2895 24.5532 0.2637 24.2868 24.3098 0.0230

20 24.3389 24.5658 0.2269 0.2793 24.3417 24.3597 0.0180 0.0226 91.92382

20 26.2638 26.5648 0.3010 26.2663 26.2928 0.0265

24 22.9745 23.2323 0.2578 22.9763 22.9961 0.0198

24 24.3419 24.6520 0.3101 24.3145 24.3317 0.0172

24 24.2867 24.4833 0.1966 24.2874 24.3030 0.0156

24 15.1832 15.4244 0.2412 0.2231 15.1820 15.2047 0.0227 0.0189 91.54715

24 24.3134 24.5130 0.1996 24.3415 24.3653 0.0238

28 26.2665 26.4346 0.1681 26.2673 26.2823 0.0150

28 13.6622 13.9118 0.2496 13.6610 13.6827 0.0217

28 22.5060 22.6594 0.1534 22.5053 22.5173 0.0120

28 22.9769 23.1375 0.1606 0.1807 22.9762 22.9857 0.0095 0.0138 92.34814

32 23.0416 23.2007 0.1591 23.0395 23.0516 0.0121

32 21.4596 21.6034 0.1438 22.4605 22.4714 0.0109

32 23.0302 23.2225 0.1923 0.1674 23.0305 23.0493 0.0188 0.0137 91.81438


(6)