EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MAJAPAHIT (Crescentia cujete) SEBAGAI PESTISIDA NABATI HAMA Spodoptera litura PADA TANAMAN SAWI(Brassica juncea L).

(1)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MAJAPAHIT (Crescentia cujete) SEBAGAI PESTISIDA NABATI HAMA Spodoptera litura PADA

TANAMAN SAWI (Brassica juncea L) SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Disusun Oleh Mesa Septiana Wulandari

NIM 13308141005

PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN LMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“ Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai doa, karena sesungguhnya nasib seorang manusia tidak akan berubah dengan

sendirinya tanpa berusaha”

“Kerjakanlah, Wujudkanlah, Raihlah cita-citamu mulai dengan bekerja bukan hanya menjadi beban didalam impianmu”


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta Nabi Muhammad SAW, saya mempersembahkan skripsi ini dengan segala cinta dan kasih kepada :

1. Ayahanda Mursid dan Ibunda Munawaroh yang menjadi panutan setiap perbuatan dan langkahku, yang memberikan segala kasih sayang, restu, motivasi dan pengorbanan baik moril maupun materi. Terimakasih atas doa dan dukungan yang tiada hentinya diberikan untukku hingga saat ini. 2. Kakek dan Nenekku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivasi. 3. Tunanganku Muhammad Bayu Alamsyah yang selalu memberi semangat

dan selalu membantu saya dalam segala hal

4. Guru-guru sejak TK sampai SMA serta dosen-dosen perguruan tinggi, yang memberikan ilmu dan bimbingan dengan sabar dan ikhlas.

5. Teman-teman Biologi seangkatan yang selalu memberi canda tawa dalam belajar di kampus kita tercinta.

6. Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat dan canda tawa. 7. Almamaterku, Program Studi Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi,


(7)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MAJAPAHIT (Crescentia cujete) SEBAGAI PESTISIDA NABATI HAMA Spodoptera litura PADA

TANAMAN SAWI (Brassica juncea L)

Oleh :

Mesa Septiana Wulandari 13308141005

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis optimal ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) sebagai pengendali hama Spodoptera litura pada tanaman sawi caisim (Brassica juncea), persentase mortalitas Spodoptera litura, pemendekan hidup hama Spodoptera litura instar III menjadi pupa, pengaruh terhadap morfologi, tingkat kerusakan tanaman sawi caisim (Brassica juncea) dan berat basah (Brassica juncea) setelah pemberian ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete).

Jenis Penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 variasi dosis dan 5 kali pengulangan. Obyek penelitian ini adalah 125 ekor larva Spodoptera litura instar III yang dikumpulkan dari Balittas Malang, Jawa Timur. Ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) dibuat dari 100 gram daun Majapahit segar yang dicampur dengan 200 gram air dan 1 ml alkohol dan diendapkan selama 24 jam. Starter ekstrak daun Majapahit Crescentia cujete menjadi 5 variasi dosis yaitu 0%, 17,5%, 20%, 22,5% dan pestisida kimia. Penginfeksian hama dilakukan pada tanaman sawi yang berumur 21 hari setelah tanam di green house FMIPA, UNY. Tanaman sawi diinfeksikan masing-masing 5 ekor larva Spodoptera litura, perhitungan mortalitas larva dilakukan satu hari penyemrotan pestisida nabati.

Hasil uji statistik Oneway Anova diperoleh p=0,000 sehingga (p<0,05) artinya ada perbedaan yang nyata atau bermakna yaitu ekstrak daun Majapahit Crescentia cujete mengakibatkan mortalitas hama Spodoptera litura. Ekstrak daun Crescentia cujete pada dosis 22,5% adalah dosis yang paling efektif mengakibatkan kematian larva. Hasil uji Oneway Anova menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pemendekan hidup larva instar III menjadi pupa namun tidak berpengaruh terhadap morfologi, tingkat kerusakan dan berat basah tanaman sawi caisim (Brassica juncea).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hikmat dan anugerah-Nya sehingga Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) di FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Efektivitas Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) sebagai Pestisida Nabati Hama Spodoptera litura pada Tanaman Sawi (Brassica juncea)”.

Ucapan terima kasih tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi di program studi Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi, FMIPA, UNY.

2. Dr. Hartono, selaku Dekan Fakultas Matematika dan IImu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian serta segala kemudahan yang diberikan.

3. Dr. Paidi, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan IImu Pemgetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

4. Dr. Tien Aminatun, M.Si., selaku Ketua Program studi Biologi Fakultas Matematika dan IImu Pemgetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.


(9)

5. Prof. Dr. IGP Suryadharma, selaku Dosen Pembimbing I tugas akhir skripsi yang telah memberikan bimbingan dan motivasi serta pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Dr. Ir Suhartini, MS., selaku Dosen Pembimbing II tugas akhir skripsi yang telah meluangkan waktu untuk penulis, memberikan bimbingan, pengarahan sekaligus motivasi dan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini

7. Evy Yulianti S.Si.,M.Sc., selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberi masukan, bimbingan, motivasi dan semangat dari semester 1 sampai sekarang.

8. Bapak dan Ibu serta keluarga besar yang telah memerikan restu, doa dan motivasi sehingga tugas akhir skripsi ini dapat terselesaikan. 9. Muhammad Bayu Alamsyah, partner dalam segala hal yang selalu

membantu dan menyemangati saya.

10.Tantin Nurhidayah dan Rahmawati, partner skrispi yang selalu ada untuk bertukar pikiran.

11.Suci Fitriani dan Dewi Anjani, sahabat yang selalu menyemangati saya.

12.Teman-teman Biologi B’13 yang selalu menemani hingga sampai semester 8 ini

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisa tugas akhir skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, maka dari itu penulis sangat


(10)

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnan tugas akhir skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat. Semoga Tuhan senantiasa memberikan limpahan rahmat dan keselamatan bagi kita semua.

Yogyakarta, April 2017


(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Pernyataan ... iv

Motto ... v

Halaman Persembahan ... vi

Abstrak ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xi

Daftar Gambar ... xv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan ... 8

F. Manfaat ... 9

G. Batasan Operasional ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Pengelolaan Hama Terpadu ... 11

1. Pengertian ... 11

2. Sejarah dan Perkembangan PHT ... 11

B. Pestisida Nabati ... 12

1. Pengertian ... 12

2. Kelebihan Pestisida Nabati ... 14

3. Kekurangan Pestisida Nabati ... 14

4. Prinsip Kerja Pestisida Nabati ... 15

5. Contoh tanaman yang untuk Pestisida Nabati ... 15

C. Daun Majapahit (Crescentia cujete) ... 21

1. Klasifikasi ... 21

2. Morfologi Tanaman ... 21

3. Ekologi dan Penyebaran ... 23

4. Kandungan Kimia ... 23


(12)

D. Tanaman sawi (Brassica juncea) ... 25

1. Klasifikasi ... 25

2. Morfologi Tanaman ... 26

3. Syarat Tumbuh Tanaman Sawi ... 27

4. Aspek Produksi ... 31

5. Pengendalian OPT ... 39

E. Hama Ulat Grayak Spodoptera litura ... 39

1. Klasifikasi ... 39

2. Siklus Hidup dan ciri-ciri Spodoptera litura ... 40

3. Gejala Serangan ... 43

F. Kerangka Berpikir ... 44

G. Hipotesis Penelitian ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

B. Bahan dan Alat ... 47

C. Variabel Penelitian ... 48

D. Rancangan Penelitian ... 49

E. Prosedur Kerja ... 50

a. Penyemaian Bibit Sawi ... 50

b. Persiapan Media Tanam ... 50

c. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman ... 51

d. Penyediaan Hama ... 51

e. Pelepasan Hama ... 51

f. Pembuatan Ekstrak Daun Majapahit ... 52

g. Pembuatan Dosis Ekstrak Daun Majapahit ... 52

h. Aplikasi Perlakuan ... 53

i. Perhitungan ... 54

F. Rancangan Tabel Pengamatan Harian………... 56

G. Analisis Data ... 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Pengaruh Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Presentase Mortalitas Hama Spodoptera litura ... 58

1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura ... 58

2. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura ... 61


(13)

3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Mortalitas

Larva Instar III ... 62 4. Uji Duncan Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit

(Crescentia cujete) terhadap Mortalitas Larva Instar III .. 63 B. Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete)

terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Spodoptera litura yang Menjadi Pupa ... 72

1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Larva Instar III

Spodoptera litura yang Menjadi Pupa ... 72 2. Data Hasil Analisis Statistik Pemendekan Siklus Hidup Larva

Instar III Spodoptera litura yang menjadi Pupa ... 74 3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak

Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Pemendekan Siklus Larva Instar III Spodoptera litura yang menjadi Pupa.. 75 4. Uji Duncan Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit

(Crescentia cujete) terhadap Pemendekan Siklus Larva

Instar III Spodoptera litura yang menjadi Pupa ... 77 C. Pengaruh Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap

Morfologi Tanaman Sawi (Brassicca juncea) ... 80 D. Pengaruh Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap

Berat Basah Sawi (Brassica juncea) ... 83 1. Data Hasil Pengamatan Berat Basah Sawi ... 83 2. Data Hasil Analisis Statistik Berat Basah Sawi ... 84 3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun

Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Berat Basah Sawi.. 85 E. Keterbatasan Penelitian ... 86


(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pohon Majapahit ... 22

Gambar 2. Telur Spodoptera litura ... 40

Gambar 3. Larva Spodoptera litura ... 42

Gambar 4. Pupa Spodoptera litura ... 42

Gambar 5. Grafik Persentase Mortalitas menurut Dosis Ekstrak Daun Majapahit ... 64

Gambar 6. Grafik Persentase Mortalitas Spodoptera litura menurut Dosis dan Waktu Pengamatan ... 65

Gambar 7. Grafik Perubahan Fase larva instar III Spodoptera litura menjadi pupa ... 76


(16)

DAFTAR TABEL Tabel 1. Hasil Pengamatan Harian Jumlah Mortalitas

hama Spodoptera litura... 48 Tabel 2. Rancangan Tabel Pengamatan Harian Jumlah Mortalitas

Hama Spodoptera litura ... 56 Tabel 3. Rancangan Tabel Pengamatan Harian Larva menjadi Pupa

Spodoptera litura ... 57 Tabel 4. Pengamatan Harian Jumlah Mortalitas Hama Spodoptera litura

... 58 Tabel 5. Hasil Analisis Statistik Mortalitas Spodoptera litura ... 61 Tabel 6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit

(Crescentia cujete) terhadap Mortalitas Larva Instar III

Spodoptera litura.. ... 62 Tabel 7. Uji Duncan Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit

(Crescentia cujete) terhadap Mortalitas Larva Instar III ... 63 Tabel 8. Pengamatan Harian Jumlah Larva yang Menjadi Pupa ... 72 Tabel 9. Presentase Pemendekan Siklus Hidup Larva menjadi Pupa ... 74 Tabel 10. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak

Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Pemendekan Siklus Larva Instar III Spodoptera litura yang menjadi Pupa ... 75 Tabel 11. Uji Duncan Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Majapahit

(Crescentia cujete) terhadap Pemendekan Siklus Larva Instar III Spodoptera litura yang menjadi Pupa... 77 Tabel 12. Morfologi Tanaman Sawi Berdasarkan Pengamatan Warna,

Bentuk Daun dan Banyaknya Daun Berlubang ... 80 Tabel 13. Berat Basah Tanaman Sawi ... 83 Tabel 14. Presentase Rata-Rata Berat Basah Sawi ... 84 Tabel 15. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak

Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Berat Basah


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi ... 91 Lampiran 2. Hasil SPSS ... 98 Lampiran 3. Surat Izin Penelitian... 103


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penggunaan pestisida sintetik pada umumnya kurang aman karena mempunyai dampak yang merugikan terhadap kesehatan dan lingkungan hidup, untuk itu pestisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati (Sastrodiharjo et al., 1992).

Pestisida dari bahan nabati adalah salah satu produk yang dapat berperan sebagai pengganti insektisida sintetik, karena beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tumbuhan ada yang bersifat toksik terhadap hama serangga (Balfas, 1994; Mudjiono et al.,1994). Seperti yang dikemukakan Campbell dan Sullivan (1933) serta Burkill, (1935) bahwa berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan rapellent. Beberapa contoh yang dikemukakan Othmer (1966), nikotin dari daun tembakau, rotenoid dengan bahan aktif rotenon dari banyak spesies dari genus Tephrosea, Derris, Lonchocarpus, Miletia dan Mundilea, kemudian ekstrak dari biji Schoenocaulon officinale.


(19)

Tanaman sawi (Brassica juncea) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Serangan berat organisme pengganggu pada tanaman menyebabkan daun rusak atau habis termakan sehingga dapat menurunkan produksi sampai mematikan tanaman. Hama ulat pemakan daun Spodoptera sp. paling banyak menyerang tanaman sayur-sayuran dan menyebabkan kerusakan sekitar 80 % (Sriniastuti, 2005). Pengendalian ulat pemakan daun oleh petani masih tergantung pada penggunaan insektisida sintetik yang diyakini praktis dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat. Namun, petani cenderung menggunakan pestisida dengan takaran yang berlebihan, sehingga penggunaan pestisida perlu dikelola dan dikendalikan secara efektif dan aman bagi lingkungan (Haryanto, 2003).

Tanaman sawi merupakan salah satu jenis sayuran yang berpotensi untukdikembangkan di Indonesia. Selain budidayanya yang mudah, sawi juga bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi manusia dalam bentuksayuran. Sawi merupakan jenis sayuran yang banyak digemari oleh para konsumen di berbagai lapisan masyarakat, sehingga berpotensi sebagai peluang usaha/bisnis. Sawi tergolong sayuran yang dapat ditanam pada berbagai musim. Oleh karena itu, sayuran ini dapat ditanam sepanjang tahun baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Dalam budidaya tanaman sawi, adabeberapa faktor dapat menghambat produksi baik secara kualitas maupun kuantitas, faktor tersebut adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman, terutama hama ulat. Adapun


(20)

hama ulat yang menyerang tanaman sawi yaitu ulat Grayak (Spodoptera litura) dan (Plutella xylostella) (Anonim, 2008), namun ulat grayak (Spodoptera litura) lebih banyak merusak tanaman sawi karena pada fase instar III ulat tersebut lebih rakus dan tidak hanya makan daun sawi namun batang sawi juga.

Pada umumnya, petani melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida sintetik dengan asumsi bahwa pestisida sintetik lebih efektif untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman. Pestisida kimia mempunyai dampak negatif bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungannya. Hal ini disebabkan pestisida sintetik (kimia) dapat menimbulkan dampak residu dan mengakibatkan terjadinya pencemaran pada tanah, air dan udara. (Harno, 2012). Selain itu penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan dapat menyebabkan hama menjadi kebal, peledakan hama baru, penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia. Oleh karena itu perlu dicari cara pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang lebih aman dan ramah lingkungan (Lubis, 2002). Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengendalikan OPT adalah dengan penggunaan pestisida nabati yang berasal dari tumbuhan-tumbuhan di lingkungan sekitar. Pestisida nabati dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangan ulat pada tanaman maupun gulma. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tumbuhan baik dari


(21)

dasarnya pun relatif mudah didapat, sehingga para petani diharapkan mampu mengaplikasikannya dan tidak bergantung lagi pada penggunaan pestisida kimiawi. Dengan modal usaha yang kecil petani dan kelompok usaha kecil bisa memanfaatkan bahan alam sebagai bahan pestisida dan obat-obatan tanaman. mudah hanya memerlukan ketelatenan, selain itu biayanya pun sangatmurah (Novizan, 2002).

Salah satu tumbuhan yang diperkirakan berpotensi sebagai pestisida nabati adalah tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete) yang selama ini dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional untuk luka bakar dan diare. Dalam penelitian lain menjelaskan bahwa kandungan kimia yang terdapat pada batang Majapahit ( Crescentia cujete) adalah saponin dan polifenol, kandungan pada buah yaitu : tannin dan polifenol, sedangkan daun Majapahit mengandung saponin, alkaloid, terpenoid, tannin dan flavonoid.

Penelitian Linda (2013) juga menunjukkan bahwa alkaloid dapat berkhasiat sebagai insektisida. Kandungan lain dari daun majapahit adalah saponin, cara kerja saponin adalah memasuki tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan efek sistemik. Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui epikutikula serangga, senyawa tersebut masuk ke dalam jaringan di bawah integumen menuju daerah sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan kutikula sehingga menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak


(22)

kehilangan air. Saponin juga dapat merendahkan tegangan permukaan. Selain masuk melalui kutikula, saponin masuk melalui makanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi dengan cara menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang mengakibatkan terganggunya sistem pencernaannya. Saponin juga dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan.

Cara kerja alkaloid adalah mendegradasi membran sel untuk masuk ke dalam dan merusak sel dan juga dapat mengganggu sistem kerja syaraf larva dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Terjadinya perubahan warna pada tubuh larva menjadi lebih transparan dan gerakan tubuh larva yang melambat bila dirangsang sentuhan serta selalu membengkokkan badan disebabkan oleh senyawa alkaloid sedangkan flavonoid dapat menyebabkan cacat bakar dan amat beracun. Kandungan tannin pada daun maja inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengendalian dengan pestisida nabati. Kandungan tannin inilah yang menyebabkan daun maja memiliki rasa yang pahit atau sepet. Terpenoid bersifat racun perut yag dapat membunuh hama sasaran dengan cara masuk kedalam pencernaan melalui makanan yang hama makan (Linda, 2013)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Efektivitas Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia


(23)

cujete) sebagai Pestisida nabati Hama Spodoptera litura pada Tanaman Sawi (Brassica juncea).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang sudah diuraikan, maka dapat di identifikasi permasalahan-permasalahan penelitian antara lain:

1. Permasalahan cara pengendalian hama Spodoptera litura yang berwawasan lingkungan.

2. Jenis tanaman yang mengandung bahan aktif sebagai pestisida nabati.

3. Dosis ekstrak daun Majapahit yang paling berpangaruh terhadap mortalitas Spodoptera litura.

4. Efektivitas ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) dalam mengendalikan hama Spodoptera litura.

5. Pengaruh yang ditimbulkan akibat paparan ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap hama Spodoptera litura.

6. Pengaruh ekstrak daun Majapahit terhadap berat basah sawi (Brassica juncea)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada pengamatan mortalitas hama, pemendekan fase hama Spodoptera litura dari larva instar III menjadi


(24)

pupa, serta pengaruh ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap morfologi dan tingkat kerusakan tanaman sawi dengan membandingkan antara masing-masing dosis perlakuan.

D. Rumusan Masalah

1. Berapakah dosis optimal ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) yang berpengaruh terhadap mortalitas larva Spodoptera litura, pemendekan siklus larva instar III menjadi pupa, tingkat kerusakan dan berat basah sawi?

2. Berapakah kematian hama Spodoptera litura setelah pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete)?

3. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap pemendekan fase hama Spodoptera litura instar III menjadi pupa?

4. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap morfologi dan tingkat kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea) ?

5. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea) ?


(25)

E. Tujuan

1. Mengetahui dosis optimal ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) yang berpengaruh terhadap mortalitas larva Spodoptera litura, pemendekan siklus larva instar III menjadi pupa, tingkat kerusakan dan berat basah sawi

2. Mengetahui kematian hama Spodoptera litura setelah pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete)

3. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap pemendekan fase hama Spodoptera litura larva instar IIImenjadi pupa

4. Mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap tingkat kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea)

5. Mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea)


(26)

F. Manfaat

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian eksperimen ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian mengenai manfaat ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) sebagai pestisida nabati dan pengendali hama Spodoptera litura.

2. Bagi Masyarakat

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi masyarakat mengenai manfaat ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan serangan hama Spodoptera litura.

b. Mengurangi dampak pencemaran lingkungan dengan mengganti pemakaian pestisida kimiawi menjadi pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan


(27)

G. Batasan Operasional

a. Benih sawi (Brasicca juncea) yang digunakan adalah benih sawi caisim yang lulus hasil uji KEPMENTAN No: 254/Kpts/TP.240/5/2000.

b. Tanaman sawi (Brasicca juncea) yang akan diinfeksikan adalah tanaman sawi yang berumur 21 hari.

c. Hama yang digunakan adalah larva instar III Spodoptera litura. Larva instar III Spodoptera litura mempunyai ciri-ciri: memiliki panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm, yang diinfeksikan pada masing-masing tanaman sawi caisim (Brasicca juncea) yang ditanam di polybag berjumlah 5 larva.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Hama Terpadu

1. Pengertian

(Pengelolaan Hama Terpadu) (PHT) merupakan suatu cara pendekatan berdasarkan pertimbangan ekonomi, ekologi dan sosial dalam rangka pengelolaan agro ekosistem secara keseluruhan. Dalam berbudidaya kita tidak pernah terlepas dari masalah Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yaitu Hama. Permasalahan tersebut menjadi sebuah dilema bagi petani sampai akhirnya kebanyakan petani memilih pestisida kimia untuk memberantas OPT tersebut tanpa memperhatikan akibat yang akan di alaminya seperti Resistensi (kekebalan hama), Resurjensi (ledakan hama), matinya musuh alami seperti burung, belalang dan ular (Untung, 1993).

2. Sejarah dan Perkembangan PHT

Upaya peningkatan produksi padi secara nasional sudah dimulai sejak 1969 melalui Program Bimas Gotong Royong, dengan menerapkan teknologi panca usaha secara parsial berupa varietas unggul IR5 dan IR8, pemupukan, dan penyemprotan hama dari udara. Inovasi ini berhasil meningkatkan produksi beras menjadi 12,25 juta


(29)

ton pada tahun 1969 dari 11,67 juta ton pada tahun 1968. Pada tahun 1970 diterapkan panca usaha lengkap dengan menambah komponen teknologi pengairan sehingga produksi padi terus meningkat dengan makin meluasnya areal pertanaman padi ajaib IR5 dan IR8 (Satari, 1983). Penerapan konsep PHT secara seksama dimulai pada tahun 1976 dan sejak tahun 1989 dikembangkan program PHT. Program tersebut telah membawa Indonesia diakui oleh dunia internasional berhasil mengembangkan PHT. Dukungan politik bagi pengembangan PHT secara luas dapat dilihat dari Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 yang melarang 57 formulasi pestisida pada tanaman padi (Untung, 2000). Keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan PHT tentu tidak terlepas dari peran aktif berbagai pihak, termasuk petani sendiri. Dalam periode 1989-1999 melalui program Sekolah Lapang PHT (SLPHT) Departemen Pertanian berhasil melatih lebih dari satu juta petani, khususnya untuk tanaman padi dan tanaman pangan lainnya. Hal ini tentu penting artinya dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui PHT dalam praktek pertanian yang baik.

B. Pestisida Nabati 1. Pengertian

Indonesia secara geografis terleak di garis equator, sehingga memiliki iklim tropis dengan OPT (organisme pengganggu tanaman) menjadi masalah utama dalam kegiatan bertani.


(30)

Penggunaan agro kimia, khususnya pestisida sintetis di Indonesia sangat intensif, bahkan sudah berlebih dan tidak sesuai rekomendasi. Pestisida masih merupakan jaminan keberhasilan bertani bagi sebagian besar petani di Indonesia. Petani sudah sangat tergantung kepada pestisida, namun disisi lain residu pestisida pada komoditas pertanian dan lingkungan cukup tinggi, sehingga membahayakan konsumen dan mencemari lingkungan. Salah satu teknik pengendalian OPT yang ramah lingkungan adalah dengan penggunaan pestisida yang berasal dari tumbuhan yang lazim disebut pestisida nabati. Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, sedangkan arti pestisida itu sendiri adalah bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi OPT. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di alam (bio-degredable), sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan. Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) terbesar ke dua di dunia setelah Brazil, termasuk memiliki sejumlah tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pestisida, baik yang dapat langsung digunakan atau dengan ekstraksi sederhana dengan air, ekstraksi dengan pelarut organik lainnya ataupun dengan cara penyulingan, tergantung kepada tujuan dari formula yang akan dibuat (Hendayana, 2010)


(31)

2. Kelebihan Pestisida Nabati

1. Teknologi pembuatannya lebih mudah dan murah, sehingga memungkinkan untuk dibuat sendiri dalam skala rumah tangga. 2. Pestisida nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi

lingkungan maupun terhadap makhluk hidup, sehingga relatif aman untuk digunakan.

3. Tidak beresiko menimbulkan keracunan pada tanaman, sehingga, tanaman yang diaplikasikan pestisida nabati jauh lebih sehat dan aman dari pencemaran zat kimia berbahaya. 4. Tidak menimbulkan resistensi (kekebalan) pada hama, dalam

artian pestisida nabati aman bagi keseimbangan ekosistem. 5. Hasil pertanian yang dihasilkan lebih sehat serta terbebas dari

residu pestisida kimiawi.

3. Kekurangan Pestisida Nabati

1. Daya kerja pestisida nabati lebih lambat, tidak bisa terlihat dalam jangka waktu yang cepat.

2. Pada umumnya tidak membunuh langsung hama sasaran, akan tetapi hanya bersifat mengusir dan menyebabkan hama menjadi tidak mendekati tanaman budidaya.

3. Mudah rusak dan tidak tahan terhadap sinar matahari.

4. Daya simpan relatif pendek, artinya pestisida nabati harus segera digunakan setelah proses produksi. Hal ini menjadi


(32)

hambatan tersendiri bagi petani untuk mendapatkan pestisida nabati instan ataupun untuk memproduksi pestisida nabati untuk tujuan komersil.

5. Perlu dilakukan penyemprotan yang berulang-ulang. (Hendayana, 2010)

4. Prinsip Kerja Pestisida Nabati

Prinsip kerja pestisida nabati (Hendayana, 2010) :

a. Merusak perkembangan telur, larva dan pupa. b. Menghambat pergantian kulit.

c. Mengganggu komunikasi serangga. d. Menyebabkan serangga menolak makan. e. Menghambat reproduksi serangga betina. f. Mengurangi nafsu makan.

g. Mengusir serangga.

h. Menghambat perkembangan patogen penyakit.

5. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai Pestida Nabati 1. Mimba (Azadirachta indica)

Daun dan biji mimba mengandung senyawa aktif azadirachtin sebagai senyawa utama meliantriol, salanin dan nimbin. Senyawa ini tidak untuk membunuh secara cepat, tetapi


(33)

prosesganti kulit, menghambat perkawinan dan komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan menghambat pembentukan kitin. Selain itu, daun dan biji mimba juga berperan sebagai pemandul. Biji mimba mengandung beberapa komponen aktif antara lain azadirachtin, salannin, azadiradion, salannol, gedunin, nimbinen dan deacetyl nimbinen. Dari beberapa komponen aktif tersebut ada empat senyawa yang diketahui berfungsi sebagai pestisida yaitu azadirachtin, salannin, nimbinen dan meliantriol. Efektif untuk mengendalikan serangga bertubuh lunak (200 spesies) antara lain belalang, thrips, ulat, kupu-kupu putih, dll. Ekstrak mimba sebaiknya disemprotkan pada tahap awal dari perkembangan serangga, disemprotkan pada daun, disiramkan pada akar agar bisa diserap tanaman dan untuk mengendalikan serangga di dalam tanah. Di samping itu dapat juga untuk mengendalikan jamur (fungisida) pada tahap preventif, menyebabkan spora jamur gagal berkecambah. Jamur yang dikendalikan antara lain penyebab: embun tepung, penyakit busuk, cacar daun/kudis, karat daun, bercak daun dan mencegah bakteri pada embun tepung (Marianah, 2013).

2. Tembakau (Nicotiana tabacum)

Kandungan aktif : nikotin dengan kadar tertentu. Spesies Nicotianatabacum dan N. rustica memiliki kandungan nikotin


(34)

antara 6%-18%,dan kandungan tertinggi terdapat didaun. Pemanfaatan : sebagai insektisida nabati, digunakan sebagai racun perut dan pernapasan. Hama yang dikendalikannya terutama serangga berukuran kecil dan bertubuh lunak, seperti ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida) (Ngasih, 2014).

3. Babadotan (Ageratum conyzoides)

Kandungan kimia yang terkandung adalah saponin, flavonoid, polivenol, kumarine, eugenol 5%, HCN dan minyak atsiri. Ekstrak daun babadotan berfungsi sebagai penolak (repellent) dan penghambat perkembangan serangga hama (Setiawati, Murtiningsih, Gunaeni dan Rubiati, 2008)

4. Cengkeh (Syzygium aromaticum)

Kandungan aktif : minyak asiri dan komponennya, seperti eugenol dan eugenol asetat. Selain dalam bentuk ekstrak, tepung cengkih juga menghambat pertumbuhan patogen tanaman. Bagian tanaman yang bisa dimanfaatkan adalah daun, bunga, dan tangkai bunga. Pemanfaatan : Sebagai fungisida nabati, mengendalikan jamur patogen Phytophtora capsici, P. palmivora, Selerotium sp., serta Rigidoporus lignosus. Konsentrasi minimal tepung daun atau tangkai bunga untuk menghambat ketiga jamur tersebut adalah


(35)

0,4%, sedangkan tepung bunga 0,2%. Populasi P.capsici dalam tanah menurun dan populasi jamur tanah meningkat dengan pemberian minimal 1% tepung bunga. Pemakaian minyak dan eugenol untuk maksud yang sama adalah 200 ppm dan 300 ppm. Minyak cengkeh juga menekan pertumbuhan Pseudomonas solanacearum pada keluarga terung-terungan. Pemberian tepung daun cengkeh sebanyak 5% ke dalam tanah menekan 69% serangan Fusarium oxysporum jamur penyebab penyakit busuk batang pada vanili (Ngasih, 2014).

5. Daun Pepaya (Carica papaya)

Kandungan bahan aktif : daun pepaya mengandung zat aktif enzim papain, alkaloid, dan glikosid. Papain adalah enzim hidrolase sistein protease yang ada pada getah tanaman papaya, baik di daun, batang maupun buahnya. Getah pepaya mengandung sedikitnya tiga jenis enzim yaitu papain (10%), khimopapain (45%), dan lisozim (20%).Ekstrak daun papaya efektif untuk mengendalikan hama ulat, hama penghisap, aphid, rayap, hama kecil, dan ulat bulu (Marianah, 2013).


(36)

Kandungan bahan aktif mindi mirip seperti mimba, yaitu: azadirachtin, triol, dan salanin. Tanaman mindi banyak dimanfaatkan untuk pestisida nabati. Bagian tanaman mindi yang dapat digunakan untuk pengendalian hama adalah daunnya, biji/buahnya, dan kulitnya. Mindi dapat digunakan untuk pestisida nabati, untuk mengusir atau penolak hama, menghambat hama untuk bertelur, insektisida, dan menghambat perkembangan cendawan Mindi juga mengandung racun kontak dan racun perut bagi serangga sasaran. Hama sasaran yang bisa dikendalikan yaitu Aphis citri, ulat grayak Spodoptera sp., Spodoptera eridania, ulat jarak Spodoptera littoralis, belalang Locusta migratoria, Ulat kuncung tembakau Helicoverpa virescens, Wereng punggung putih Sogatella furcifera dan hama gudang Ephestia cautella, Rhizopertha domonica. Mindi tidak mempunyai efek racun pada laba-laba, sedikit meracuni kepik predator wereng coklat Cyrtorhinus lividipennis, tetapi mampu meracuni manusia dan binatang menyusui lainnya (Marianah, 2013).

6. Jarak (Ricinus communis)

Kandungan kimia biji jarak mengandung 40-50% minyak jarak (oleum ricini, kastrooli) yang mengandung bermacam-macam trigiliserida, asam palmitat, asam risinoleat, asam isorisinoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, asam stearate, alkaloida


(37)

risinin, risin, dan lipase. Daun jarak mengandung saponin, senyawa-senyawa flavonoida, astragalin, reiniutrin, risinin dan vitamin C. Akar jarak memiliki kandungan kimia metiltrans-2-dekena-4,6, 8-trinoat dan 1- tridekena-3,5,7,9,11-pentin-beta-sitosterol. Pemanfaatan : ekstrak biji jarak dapat mengendalikan hama secara umum (Setiawati dkk, 2008).

7. Daun Sirsak (Annona muricata)

Daun sirsak mengandung senyawa acetogenin antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin dan beberapa kandungan kimia yaitu alkaloida, flavonoida, saponin, tanin, glikosida, gikosida atrakuinon, dan steroid/ triterpenoid. Pemanfaatan dapat digunakan untuk mengendalikan hama belalang karena memiliki senyawa-senyawa yang bersifat racun perut bagi hama belalang (Khoiriyah, Handayani, A'yun, Sulistiyowati dan Hasanah, 2012).


(38)

C. Daun Majapahit 1. Klasifikasi

Crescentia cujete adalah suatu jenis temu-temuan dengan taksonomi sebagai berikut: (Steenis, 1974)

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Scrophulariales Familia : Bignoniaceae Genus : Crescentia Spesies : Crescentia cujete

2. Morfologi Tanaman a. Batang

Maja merupakan tanaman perdu, dengan kulit buah berwarna hijau. Pohon maja dapat tumbuh 20 meter dengan tajuk yang tumbuh menjulang ke atas dan kayunya sangat keras. Batang berkayu (lignosus), berbentuk silindris, batang tua kadang melintir satu sama lain, berwarna coklat kotor, permukaan kasar (Rismayani, 2013).


(39)

Gambar 1. Pohon majapahit b. Daun dan bunga

Daunnya mejemuk, menyirip, lonjong, tepi rata, ujung membulat, pangkal meruncing, panjang 10-15 cm, lebar 5-7 cm, bertangkai pendek bewarna hijau dan pertulangan daunnya menyirip. Bunga simetris tunggal di cabang dan ranting, kelopak mula-mula menutup (kelopak air) kemudian terbelah bentuk upih. Mahkota bentuk bibir, tabung mahkota membengkok bentuk lonceng. Panjang putik 2 cm, kepala putik berbentuk corong, bewarna putih sedangkan benang sari ada 4 buah. Perbungaannya berbentuk tandan keluar dari ketiak daun, bergerombol dan kelopak bunga berbentuk segi tiga, berwarna kehijau hijauan hingga putih (Sunarto, 1992).

c. Buah dan Biji

Buah buni, bulat seperti bola voli, berdiameter 13-30 cm, hijau kekuningan, kulit buah licin, mengayu tebal dan sering digunakan sebagai wadah tempat air. Biji banyak, pipih, tertanam dalam daging buah yang lembek.


(40)

3. Ekologi dan Penyebaran

Tanaman Crescentia cujete tumbuh di daerah Asia yang beriklim tropis

dari India sampai Indonesia. Tanaman majapahit dapat tumbuh di dataran

rendah hingga ketinggian 1300 m di atas permukaan laut (Raharjoet al.,

2004).

4. Kandungan Kimia

Penelitian tentang uji fitokimia kandungan buah majapahit oleh (Ejelonu, et al., 2011) dan (Ogbuagu, 2008), memperoleh hasil bahwa buah majapahit mengandung senyawa flavonoid, tanin. Berdasarkan hasil uji fitokimia yang telah dilakukan, ekstrak daun majapahit mengandung senyawa, flavonoid, saponin, tanin, terpenoid, dan alkaloid.

Menurut panelitian (Linda, 2013) tentang uji toksisitas ulat grayak dari hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa di daun majapahit (Crescentia cujete) mengandung senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, terpenoid, tannin, dan saponin. Senyawa terpenoid tersebut bisa bersifat sebagai antifeedant atau penolak makan yang mempunyai bau menyengat sehingga larva menurun nafsu makannya dan kekurangan nutrisi sehingga menyebabkan mortalitas pada larva.

Kandungan lain dari daun majapahit adalah saponin, cara kerja saponin adalah memasuki tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan efek sistemik. Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui epikutikula serangga, senyawa tersebut


(41)

masuk ke dalam jaringan di bawah integumen menuju daerah sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan kutikula sehingga menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak kehilangan air. Selain masuk melalui kutikula, saponin masuk melalui makanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi dengan cara menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang mengakibatkan terganggunya sistem pencernaannya, terhambat perkembangannya dan akhirnya mati jika tingkat penghambatan pencernaan relatif tinggi. Saponin juga dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan.

Cara kerja alkaloid adalah mendegradasi membran sel untuk masuk ke dalam dan merusak sel dan juga dapat mengganggu sistem kerja syaraf larva dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Terjadinya perubahan warna pada tubuh larva menjadi lebih transparan dan gerakan tubuh larva yang melambat bila dirangsang sentuhan serta selalu membengkokkan badan disebabkan oleh senyawa alkaloid.

Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat menyebabkan cacat bakar dan amat beracun. Larva yang mati karena insektisida, tubuhnya cenderung rusak, menyusut. Tannin mempunyai bau khas yang sepet dan pahit sehingga berfungsi sebgai penolak makan (antifeedant) (Linda, 2013).


(42)

5. Penggunaan

Daun majapahit dapat digunakan sebagai obat tradisional antara lain: penurun gula darah, kudis, borok, diare, luka, pestisida pada hama (Linda,2013).

D. Tanaman Sawi 1. Klasiikasi

Sawi (Brassica juncea L.) masih satu famili dengan kubis-krop, kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili Cruciferae (brassicaceae) oleh karena itu sifat morfologi tanamannya hampir sama, terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah (polong) maupun bijinya. Sawi termasuk ke dalam kelompok tanaman sayuran daun yang mengandung zat-zat gizi lengkap yang memenuhi syarat untuk kebutuhan gizi masyarakat. Klasifikasi tanaman sawi menurut (Cahyono, 2003):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Class : Angiospermae Ordo : Papavorales Famili : Brassicaceae Genus : Brassica


(43)

2. Morfologi Tanaman

Sistem perakaran sawi memiliki akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar kesemua arah dengan kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi antara lain mengisap air dan zat makanan daridalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Heru dan Yovita, 2003).

Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Pada umumnya pola pertumbuhan daunnya berserat (roset) hingga sukar membentuk krop (Sunarjono, 2004). Sawi umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah.

Struktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua (Rukmana, 2002).


(44)

3. Syarat Tumbuh Tanaman Sawi

Sawi pada umumnya banyak ditanam didataran rendah. Tanaman ini selaintahan terhadap suhu panas (tinggi) juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi iklim tropis Indonesia (Haryanto dan Tina, 2002).

1. Keadaan iklim

Keadaan iklim yang perlu mendapat perhatian didalam menentukan lokasi usaha tani sawi adalah suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, dan penyinaran cahaya matahari.

a. Suhu udara

Menurut Cahyono (2003), pertumbuhan sawi yang baik membutuhkan suhu udara yang berkisar antara 19ºC - 21ºC. Keadaan suhu suatu daerah atau wilayah berkaitan erat dengan ketinggian tempat dari permukaan laut (dpl). Daerah yang memiliki suhu berkisar antara 19ºC - 21ºC adalah daerah yang ketingiannya 1000-1200 m di atas permukaan laut, semakin tinggi letak suatu daerah dari permukaan laut, suhu udaranya semakin rendah, sementara itu pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh suhu udara. Misalnya proses perkecambahan, pertunasan, pertumbuhan dan lain sebagainya. Suhu yang melebihi 21ºC dapat menyebabkan tanaman sawi tidak dapat


(45)

mempengaruhi pertumbuhan sawi. Jika suhu tidak sesuai maka pertumbuhannya tidak akan berjalan dengan baik, karena terhambatnya proses fotosintesis yang dapat mengakibatkan terhentinya produksi pati (karbohidrat) dan respirasi meningkat. Keadaan iklim yang perlu mendapat perhatian didalam menentukan lokasi usaha tani sawi adalah suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, dan penyinaran cahaya matahari lebih besar. Jika suhu sesuai dengan daerah yang dikehendaki, maka tanaman sawi dapat melakukan fotosintesis dengan baik untuk pembentukan karbohidrat dalam jumlah yang besar, sehingga sumber energi lebih tersedia untuk proses pernapasan (respirasi), pertumbuhan tanaman (pembesaran dan pembentukan sel-sel baru, pembentukan daun), dan produksi (kualitas daun baik).

b. Kelembaban udara

Kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman sawi yang optimal menurut Cahyono (2003), berkisar antara 80% sampai dengan 90%. Kelembaban yang tinggi dan lebih dari 90% berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Tanaman tumbuh tidak sempurna, tanaman tidak subur, kualitas daun tidak bagus, dan bila penanaman bertujuan untuk pembenihan maka kualitas biji yang dihasilkan jelek. Kelembaban udara juga


(46)

berpengaruh terhadap proses penyerapan unsur hara oleh tanaman yang diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman.

c. Curah hujan

Tanaman sawi dapat ditanam sepanjang tahun (sepanjang musim). Curah hujan yang cukup sepanjang tahun dapat mendukung kelangsungan hidup tanaman karena ketersediaan air tanah mencukupi. Curah hujan yang sesuai untuk pembudidayaan tanaman sawi adalah 1000-1500 mm/tahun. Daerah yang memiliki curah hujan sekitar 1000-1500 mm/tahun yakni daerah dengan ketinggian 1000-1500 m dpl. (Cahyono, 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat di tanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur.

d. Penyinaran cahaya matahari

Tanaman dapat melakukan fotosintesis serta memerlukan energi yang cukup. Cahaya matahari merupakan energi yang diperlukan untuk tanaman dalam melakukan fotosintesis. Energi kinetik matahari yang optimal yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara 350 cal / cm2- 400 cal

/cm2 setiap hari (Cahyono, 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa


(47)

cukup memerlukan panjang penyinaran matahari (fotoperiodisitas) 12-16 jam setiap hari.

2. Keadaan tanah

Sawi pada umumnya banyak ditanam di dataran rendah. Tanaman ini selaintahan terhadap suhu panas (tinggi) juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi iklim tropis Indonesia (Haryanto dan Tina, 2002). Dengan kata lain tanaman ini cukup adaptif dengan keadaan iklim di Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa karena Indonesia mempunyai kecocokan terhadap iklim, cuaca dan tanahnya sehingga tanaman ini baik dikembangkan di Indonesia ini. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 200 meter di atas permukaan laut. Namun biasanya dibudidayakan pada daerah yang mempunyai ketinggian 100 meter sampai 500 meter dpl. Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa panas maupun berhawa dingin, sehingga dapat diusahakan dari dataran rendah maupun dataran tinggi. Meskipun demikian pada kenyataannya hasil yang diperoleh lebih baik di dataran tinggi.


(48)

4. Aspek produksi

Menurut Haryanto dan Tina (2002), kegiatan budidaya sawi meliputi tahapan sebagai berikut :

1. Pengolahan tanah

Kegiatan membersihkan lahan dari segala vegetasi atau tanaman yang tidak diinginkan seperti sisa-sisa perakaran, tunggul, dan batu-batu (apabila untuk pembukaan lahan baru). Menyiapkan lahan yang bersih permukaannya dan layak sebagai tempat tumbuhnya tanaman sawi sehingga memudahkan penyiapan dan pengolahan tanah selanjutnya. Kegiatan pengolahan tanah secara umum sebelum menanam sayuran adalah pengemburan tanah serta pembuatan bedengan. Pada tahap pengemburan tanah, untuk jenis semua tanaman akan mempunyai perlakuan yang relatif hampir sama, tetapi dalam hal pembuatan bedengan mempunyai perlakuan yang berbeda – beda. Pengemburan tanah dapat menciptakan kondisi yang dibutuhkan oleh tanaman agar mampu tumbuh dengan baik. Tahap-tahap pengemburan meliputi pencangkulan untuk memperbaiki stuktur tanah serta sirkulasi udaranya dan pemberian pupuk organik atau pupuk kimia sebagai pupuk dasar untuk memperbaiki stuktur fisik serta kimia tanah yang akan menambah kesuburan lahan. Tanah yang hendak digemburkan harus dibersihkan


(49)

tumbuh. Lahan harus bersih dantidak boleh terus ternaungi. Lokasi yang teduh dan ternaungi tidak baik untuk pertumbuhan sawi karena jenis sayuran ini merupakan jenis tanaman sayur yang menyukai cahaya, untuk lahan yang akan ditanami sawi pengemburan biasanya dilakukan dengan cara mencangkul tanah sedalam 20-40 cm. Pengolahan tanah ini dilakukan secara sempurna hingga tidak ada lagi gumpalan-gumpalan tanah yang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar tanaman. Tanah yang digunakan sebagai tempat atau lahan untuk penanaman sawi harus gembur karena tanah yang bergumpal atau keras akan menghambat pertumbuhan sehingga masa panen dapat lebih lama atau tanaman tumbuh kerdil tidak seperti yang diinginkan. Pada saat melakukan pengemburan tanah sebaiknya dilakukan juga pemberian pupuk organik sebagai pupuk dasar. Tanaman sawi membutuhkan pupuk kandang sebanyak 10 ton/ha (Haryanto dan Tina, 2002). Pemberian pupuk kandang pada saat pengemburan bertujuan agar pupuk kandang dapat lebih cepat bercampur merata denga tanah sehingga unsur hara dan stuktur tanah dapat dengan mudah tergantikan, untuk daerah yang mempunyai derajat keasaman yang terlalu rendah (tanah bersifat terlalu asam) sebaiknya dilakukan pengapuran. Pengampuran bertujuan untuk menaikkan derajat keasaman tanah sehingga tanah tidak terlalu asam, semakin bersifat asam, maka tanah itu memerlukan kapur yang lebih banyak. Setelah lahan digemburkan,


(50)

kemudian tanah diratakan dan membuat bedengan. Bedengan ini berfungsi untuk memberikan perlakuan pada tanaman agar tumbuh lebih teratur dan baik. Bedengan sebaiknya dibuat memanjang dari arah timur ke barat agar tanaman dapat menerima cahaya matahari yang perlu untuk pertumbuhan tanaman.

2. Pembibitan

Pembibitan dapat dilakukan bersamaan dengan pengolahan tanah untuk penanaman, hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan waktu yang digunakan. Ukuran bedegan yang akan digunakan untuk pembibitan tidak perlu terlalu lebar dan luas, karena pembibitan tidak memerlukan jarak tanam yang jauh dan besar. Dua minggu sebelum penaburan benih dilakukan bedengan pembibitan terlebih dahulu ditaburi dengan 2 kg pupuk kandang, 20 g urea, 10 g TSP dan 7,5 g KCL. Cara melakukan pembibitan di awali dengan benih ditaburkan pada permukaan bedengan pembibtan, selanjutnya benih ditutupi dengan tanah yang halus setebal 1-2 cm. Melakukan perawatan dengan penyiraman menggunakan sprayer atau gembor. Benih yang baik akan tumbuh 3-5 hari setelah penaburan benih. Setelah berdaun 3-5 helai (kira-kira berumur 3-4 minggu setelah benih ditaburkan) bibit dapat dipindahkan ke bedengan penanaman.


(51)

3. Penanaman

Bedengan penanaman sawi dibuat dengan ukuran 120 cm dan panjang sesuai dengan ukuran petak tanah. Tinggi bedengan penanaman ini dibuat sekiar 20-30 cm dengan jarak antar bedengan 30 cm. Jarak antar bedengan ini bertujuan sebagai parit drainase dan tempat lalu lalang pekerja. Satu minggu sebelum penanaman sawi dilakukan, bedengan penanaman ditaburi serta diaduk dengan pupuk kandang, TSP, dan KCL yang dosisnya berturut-turut 10 ton, 100 kg, dan75 kg per ha lahan. Jarak tanam antar tanaman adalah 20 x 20 cm sampai dengan 30 x 30 cm.

Memilih bibit yang pertumbuhannya baik, ciri-ciri bibit yang baik adalah batang tubuh tegak, daun hijau segar mengkilap dan tidak terserang hama atau penyakit. Memindahkan bibit dengan hati-hati dari bedengan pembibitan. Pemindahan bibit dapat menggunakan alat bantu seperti cetok atau sendok tanaman untuk memindahkan tanaman agar sebagian tanah yang membalut perakaran bibit dapat terikut pada saat pencabutan. Langkah selanjutnya adalah penggalian lubang tanam di bedengan penanaman. Penggalian dilakukan dengan tangan atau tugal pada titik yang sesuai dengan jarak tanam. Ukuran lubang tidak perlu terlalu besar, cukup 4-8 x 6-10cm, namun yang terpenting bibit dapat tumbuh dengan baik dan tidak gampang tercabut. Bibit dimasukkan ke lubang tanam


(52)

dengan hati-hati. Selanjutnya lubang dirapikan dan tanahnya sedikit dipadatkan pada pangkal batang.

4. Pemeliharaan

Pemeliharaan adalah tahapan kerja yang terpenting dalam pembudidayaan tanaman. Hasil yang optimal hanya akan dicapai apabila pemeliharaan tanaman dilakukan secara baik. Tindakan pemeliharaan ini meliputi penyiraman, panjarangan, penyulaman, penyiangan dan pengemburan, pemupukan tambahan, serta pengendalian hama dan penyakit.

a. Penyiraman

Air adalah faktor pembatas tumbuh tanaman, tanpa air yang cukup sawi tumbuh kerdil layu dan bahkan dapat mati. Sejak tanaman disemai hingga tumbuh besar air selalu dibutuhkan oleh tanaman sawi. Pada musim hujan, air hujan yang turun biasanya mampu mencukupi kebutuhan air yang diperlukan sawi. Bahkan saat hujan turun deras, air dapat berlimpah sehingga harus disalurkan dari areal pertanaman karena dapat mengganggu pernapasan akar dan pertumbuhan tanaman. Parit yang juga merupakan jarak antar bedengan harus dijaga agar tidak mampat sehingga mampu menyalurkan kelebihan air tersebut. Di musim kemarau atau saat hujun turun tidak menentu, siraman tanaman menjadi sangat penting.


(53)

Penyiraman dapat dilakukan dengan menggunakan gembor, pipa penyemprot, sprinkler, atau dengan sistem leb. Sistem leb ialah memasukkan air ke areal melalui parit drainase selama beberapa waktu (2-8 jam), tergantung kebutuhan dan situasi kekeringan. Namun, penyiraman dengan gembor hingga air cukup membasahi tanah pada pagi dan sore hari umunya sudah memadai.

b. Penjarangan

Penanaman sawi yang tanpa melalui tahap pembibitan pada umumnya tumbuh tidak teratur. Jika hal ini dibiarkan dan tidak dilakukan penjarangan makaakan menyebabkan adanya persaingan dalam mengambil unsur hara dalam tanah. Penjarangan ini bertujuan untuk mendapatkan kualitas dan hasil sawi yang baik. Penjarangan dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh berdekatan atau terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur, untuk penanaman bibit dengan jarak tanam yang sudah ditentukan misalnya 20 x 20 cm atau 40 x 40cm.

c. Penyulaman

Penyulaman merupakan kegiatan penggantian tanaman yang mati. Tanaman sulaman biasanya diambil dari bibit tanaman yang masih tersisa di bedengan pembibitan, hal ini bertujuan agar umur


(54)

dan tingkat pertumbuhan tanaman yang sudah tumbuh dengan baik di bedengan penanaman dengan tanaman sulaman tidak berbeda jauh. Cara penyulaman cukup sederhana dan muda, tanaman yang mati dibuang dengan cara dicabut kemudian lubang penanaman dibuat pada bekas tempat penanaman sebelumnya, selanjutnya tanaman sulaman ditanam sebagai penggantinya.

d. Penyiangan, penggemburan dan pengguludan

Penyiangan biasanya dilakukan 2-4 kali selama masa pertanaman sawi, disesuaikan dengan kondisi keberadaan gulma pada bedengan penanaman. Setelah tanaman berumur 2 minggu di bedengan penanaman biasanya gulma sudah mulai banyak. Penyiangan ini dilakukan agar pengambilan unsur hara dari dalam tanah dapat berlangsung sempurna tanpa diganggu oleh tumbuhan-tumbuhan liar yang lainnya. Perlu diperhatikan bahwa penyiangan harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka pada tanaman intinya. Penggemburan dan pengguludan dilakukan apabila tekstur tanah berubah menjadi keras dan padat. Penggemburan dan pengguludan biasanya dilakukan bersamaan dengan penyiangan. Penggemburan harus dilakukan dengan hati-hati karena seringkali dapat merusak tanaman. Pengguludan di bedengan untuk tanaman sawi tidak terlalu dibutuhkan karena pengguludan yang dilakukan pada bedengan bertujuan untuk tetapmemfungsikan


(55)

parit drainase sebagai sarana pelancar kelebihan air. Pengguludan dilakukan dengan cara menaikan tanah yang jatuh kebagian parit pengairan kebedengan semula.

e. Pemupukan tambahan

Pupuk tambahan diberikan pada saat 3 minggu setelah tanam yaitu urea dengan dosis 50 kg per ha. Pupuk TSP dan KCl tidak terlalu dibutuhkan untuk pemupukan tambahan ini hal ini dikarenakan sawi merupakan sayuran daun yang lebih membutuhkan pupuk untuk membantu pertumbuhan daun, sehingga pupuk urea yang lebih penting dan lebih dibutuhkan sebagai pupuk tambahan. Pemberian urea sebagai pupuk tambahan dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali atau dapat juga dengan melarutkan pupuk urea tersebut dengan air, lalu disiramkan pada bedengan penanaman dengan perbandingan 25 g pupuk urea dilarutkan dalam 25 liter air untuk 5 meter bedengan.

5. Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) Menurut Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran & Biofarmaka (2008), pengendalian OPT dilakukan agar tidak terjadi kerusakan pada bagian tananaman, sehingga masih menguntungkan secara ekonomis dan untuk menghindari kerugian ekonomi berupa kehilangan hasil (kuantitas) dan penurunan mutu (kualitas) produk


(56)

serta menjaga kesehatan tanaman dan kelestarian lingkungan hidup danaman konsumsi. Pelaksanaan kegiatan pengendalian OPT, harus diawali dengan pengenalan jenis hama dan penyakit yang ada pada tanaman sawi, sehingga pada saat pelaksanaan pengendalian OPT dapat dilakukan dengan tepat.

E. Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura) 1. Klasifikasi ulat grayak

Klasifikasi hama ulat grayak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :

Kingdom :Animalia Class :Insecta Ordo :Lepidoptera Famili : Noctuidae Genus : Spodoptera Spesies :Spodoptera litura

2. Siklus Hidup dan Ciri-ciri Ulat Grayak (Spodoptera litura)

Telur berbentuk bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat kekuning kuningan, berkelompok (masing – masing berisi 25 – 500 butir) tertutup bulu seperti beludru (


(57)

Tenrirawe dan Talanca, 2008). Stadia telur berlangsung selama 3 hari (Rahayu dkk, 2009).

Gambar 2. Telur Spodoptera litura ( Sumber Cardona et al., 2007)

Telur menetas menjadi larva selama 3 hari. Lama stadia larva 17 - 26 hari, yang terdiri dari larva instar 1 antara 5 - 6 hari, instar 2 antara 3 - 5 hari, instar 3 antara 3 - 6 hari, instar 4 antara 2 - 4 hari, dan instar 5 antara 3 - 5 hari (Cardona et al. , 2007) Lama stadia larva 17 - 26 hari, yang terdiri dari larva instar 1 antara 5 - 6 hari, instar 2 antara 3 - 5 hari, instar 3 antara 3 - 6 hari, instar 4 antara 2 - 4 hari, dan instar 5 antara 3 - 5 hari (Cardona et al.,2007).

Instar pertama tubuh larva berwarna hijau kuning, panjang 2,00 sampai 2,74 mm dan tubuh berbulu - bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2 - 0,3 mm. Instar kedua, tubuh berwarna hijau dengan panjang 3,75 - 10,00 mm, bulu - bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal


(58)

terdapat garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua - dua. Larva instar ketiga memiliki panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig - zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh. Instar keempat, kelima dan keenam agak sulit dibedakan. Panjang tubuh instar ke empat 13 - 20 mm, instar kelima 25 - 35 mm dan instar ke enam 35 - 50 mm. Mulai instar keempat warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan, hijau kekuningan atau hijau keunguan (Pracaya, 2005).

Ulat yang keluar dari telur berkelompok di permukaan daun. Setelah beberapa hari, ulat mulai hidup berpencar. Panjang tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 50 mm (Balitbang, 2006).


(59)

Gambar 3. Larva Spodoptera litura ( Sumber Dokumentasi pribadi)

Setelah cukup dewasa, yaitu kurang lebih berumur 2 minggu, ulat mulai berkepompong. Masa pupa berlangsung di dalam tanah dan dibungkus dengan tanah (Kalsoven, 1981). Pupa berada di dalam tanah atau pasir, pupa berbentuk oval memanjang dan berwarna cokelat mengkilat. Tubuh pupa memiliki panjang dan lebar antara 22,29 + 0,7 mm dan 7,51 + 0,36 mm. Lama stadia pupa 9-14 hari (Cardona et al., 2007) . Setelah 9 - 10 hari kepompong akan berubah menjadi ngengat dewasa (Balitbang, 2006).

Gambar 4. Pupa Spodoptera litura (Sumber Dokumentasi Pribadi)


(60)

3. Gejala Serangan

Ulat grayak aktif makan pada malam hari, meninggalkan epidermis atas dan tulang daun sehingga daun yang terserang dari jauh terlihat berwarna putih (Balitbang, 2006). Larva yang masih kecil merusak daun dan menyerang secara serentak berkelompok. Dengan meninggalkan sisa – sisa bagian atas epidermis daun, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun, umumnya terjadi pada musim kemarau (Tenrirawe dan Talanca, 2008). Selain pada daun, ulat dewasa makan polong muda dan tulang daun muda, sedangkan pada daun yang tua, tulang-tulangnya akan tersisa. Selain menyerang sawi, ulat grayak juga menyerang jagung, kentang, tembakau, kacang hijau, bayam dan kubis (Balitbang, 2006).


(61)

F. Kerangka Berpikir

Penggunaan pestisida merupakan salah satu cara pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang sering dikenal dengan sebutan hama. Petani masih sering menggunakan pestisida sintetik untuk mengendalikan hama pada tanaman, hal ini bertentangan dengan program Pemerintah yaitu dengan mengedepankan pertanian organik.

Penggunaan pestisida sintetik menunjukkan hasil yang sangat efektif dan efisien, tetapi penggunaan pestisida kimia atau sintetik ini dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan permasalahan baik dalam aspek lingkungan seperti mengakibatkan resistensi hama, meninggalkan residu di dalam tanah, air, udara serta berdampak pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi bahan makanan yang terkena pestisida tersebut.

Masalah – masalah tersebut dibutuhkan cara pengendalian hama yang dapat menandingi keampuhan dari pestisida kimia dan berwawasan lingkungan, sehingga tidak menimbulkan permasalahn di lingkungan dan membahayakan manusia. Ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) dengan kandungan senyawa saponin, alkaloid, terpenoid, tannin dan flavonoid memiliki cara sebagai pestisida nabati, anti makan (antifeedant) dan penolak (repellent)


(62)

G.

Pestisida Sintetis:

- Hama menjadi resisten

- Meningkatkan residu

berbahaya pada lingkungan (air, tanah, udara)

- Membahayakan kesehatan manusia

Diperlukan pengendalian hama yang tidak mengakibatkan hama resisten, tidak meninggalkan residu berbahaya bagi lingkungan dan aman dikonsumsi bagi manusia

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mengurangi penggunaan pestisida sintetis dan mengintroduksi penggunaan pestisida nabati

Pestisida nabati dengan menggunakan ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) mengandung senyawa saponin, alkaloid, tannin, terpenoid dan flavonoid. (Linda,2013)

Terpenoid Tanin Saponin Alkaloid Flavonoid

Sawi (Brassica juncea) Ulat grayak (Spodoptera litura)

- Perubahan morfologi tanaman dan tingkat kerusakan

- Berat basah tanaman

- Mortalitas hama - Pemendekan fase larva


(63)

H. Hipotesis Penelitian

1. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka akan berpengaruh terhadap mortalitas hama, pemendekan hidup larva instar III menjadi pupa, morfologi tanaman, tingkat kerusakan dan berat basah tanaman sawi.

2. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka tingkat mortalitas akan semakin tinggi.

3. Ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) berpengaruh terhadap pemendekan hidup hama Spodoptera litura instar III menjadi pupa. 4. Semakin tinggi dosis ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) yang diberikan maka akan berpengaruh terhadap morfologi tanaman sawi dan tingkat kerusakan akan semakin sedikit.

5. Semakin tinggi dosis ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) yang diberikan maka akan berpengaruh terhadap berat basah sawi yaitu akan semakin berat.


(64)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat : Penelitian ini dilakukan di Green House Kebun Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

2. Waktu : Penelitian berlangsung selama ± 2 bulan (Desember 2016-Februari 2017)

B. Bahan dan Alat a. Bahan - Daun Majapahit

- Hama Spodoptera litura - Air

- Benih Sawi - Kain Kasa

- Pupuk kompos - Tanah

- Alkohol 90%

- Pestisida kimia merk Dursban

b. Alat - Blender - Saringan - Gelas ukur - Pisau

- Alat penyemprot - Polybag

- Baskom

- Pot tray - Penggaris

- Kuas kecil dan kuas besar


(65)

- Gunting - Erlenmeyer

- Kain pilla polos - Insectscreen C. Variabel Penelitian

a. Uji Pendahuluan

a. Variabel Bebas : Dosis ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete), yaitu dosis 0%, 5 %, 10%, 15% dan 20%.

Berdasarkan perlakuan pada uji pendahuluan diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Tabel Uji Pendahuluan Hasil Pengamatan Harian Jumlah Mortalitas hama Spodoptera litura

Keterangan :Penyemprotan 1 : Rabu, 1 Februari 2017

Penyemprotan 2 : Jum’at, 3 Februari 2017

Pengamatan ke 1: Kamis, 2 Februari 2017 Pengamatan ke 2: Sabtu, 4 Februari 2017

Dari Tabel 1 diketahui bahwa persentase paling efektif untuk Jumlah

Hama

Konsentrasi Pengamtan

Ke

Ulangan Jumlah

Sub Total Jumlah Total Mortalitas Persentase Mortalitas

I II III IV V

25 0% 1 0 0 0 0 0 0 0 0%

2 0 0 0 0 0 0

25 5% 1 0 0 1 1 1 3 9 36%

2 1 1 1 2 1 6

25 10% 1 1 2 2 1 1 7 14 56%

2 1 2 1 1 2 7

25 15% 1 2 1 2 2 1 8 16 64%

2 1 2 1 2 2 8

25 20% 1 3 2 2 2 2 11 22 88%


(66)

penelitian sesungguhnya digunakan konsentrasi tersebut dibawah 20 % (17,5%) dan diatas 20% (22,5%).

b. Variabel Terikat : Persentase mortalitas hama Spodoptera litura c. Variabel Kontrol : cara pengekstrakan, lama perendaman benih, umur

hama Spodoptera litura, umur bibit sawi dan jenis tanaman sawi. b. Uji Sesungguhnya

a. Variabel Bebas : Dosis ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete), yaitu dosis 0%, 17,5%, 20%, 22,5% dan pestisida kimia

b. Variabel Terikat : Persentase mortalitas hama Spodoptera litura, pemendekan fase hama Spodoptera litura instar III menjadi pupa, ada tidaknya perubahan morfologi tanaman sawi, tingkat kerusakan tanaman sawi caisin (Brassica juncea) dan berat basah sawi (Brassica juncea).

c. Variabel Kontrol : cara pengekstrakan, lama perendaman benih, umur hama Spodoptera litura, umur bibit sawi dan jenis tanaman sawi. D. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini disusun menurut Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas lima perlakuan. Daun majapahit ditimbang sebanyak 100 gram kemudian ditambahkan 200 ml air selanjutnya di blender dan setelah halus ditambahkan alkohol 90 % sebanyak 1 ml, sehingga didapatkan ekstrak daun majapahit sebesar 50%. Campuran tersebut diperas kemudian disaring menggunakan saringan dan diendapkan


(67)

selama 24 jam. Hasil campuran saringan tersebut yang digunakan sebagai starter ekstrak daun majapahit.

E. Prosedur Kerja

1. Penyemaian Bibit Sawi

Penyemaian bibit sawi dilakukan dengan menggunkan biji. Biji sawi tersebut direndam menggunakan air, kemudian memilih antara biji yang tenggelam dan mengapung. Biji yang tenggelam adalah biji yang terbaik untuk dilakukan penyemaian.

Media tanaman yang digunakan adalah tanah dan pupuk kompos. Media tanam di masukkan ke dalam kotak-kotak tray, setiap kotak tray berisi 2 biji sawi. Penyemaian dilakukan selama 14 hari dengan penyiraman yang dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari pada pukul 09.00 WIB dan 15.30 WIB serta dilakukan pengendalian hama secara normal.

2. Persiapan Media Tanam

Media tanaman yang digunakan adalah tanah dan pupuk kompos, perbandingan campuran 2:1. Media tanam yang digunakan harus memenuhi kebutuhan hidup sawi, tanah berfungsi sebagai media yang paling banyak untuk menciptakan kondisi struktur tanah yang baik untuk pertumbuhan sawi. Pupuk kompos digunakan sebagai pupuk tanaman yang mengandung unsur hara yang lengkap seperti: natrium, fosfor dan kalium dan didalam pupuk kompos terdapat mikroorganisme yang dapat


(68)

merombak bahan organik yang sulit diserap oleh tanaman. Campuran media tanam tersebut dimasukkan di dalam polibag yang berukuran 35x35 cm.

3. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Sawi

Bibit yang telah mempunyai 3-4 helai daun, tidak terinfeksi penyakit dan hama, dipindahkan dalam 25 polibag. Masing-masing polibag berisi satu bibit sawi, setelah sawi memasuki umur 7 hari setelah tanam, maka dilakukan pemberian pupuk kompos untuk memenuhi nutrisi yang dibutuhkan sawi. Pemeliharaan meliputi penyiraman 2 kali sehari pagi dan sore serta dilakukan pengendalian hama secara manual.

4. Penyediaan Hama

Penyediaan hama yaitu didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran (Balittas) Malang yaitu ketika hama masih larva instar I yang kemudian diaklimatisasi selama ± 5 hari sampai pada tahap fase instar III

5. Pelepasan Hama Spodoptera litura

Pelepasan hama dilakukan pada saat sawi berumur 21 hari setelah tanam. Setiap polibag diinfeksikan sebanyak 5 hama Spodoptera litura untuk masing-masing polybag dengan jumlah 5 perlakuan dengan 5 kali ulangan, yaitu pada konsentrasi 0%, 17,5%, 20%, 22,5% dan penggunaan


(69)

pestisida Dursban sebagai pembanding dengan konsentrasi 0,5 ml yang dilarutkan dalam 200 ml air.

6. Pembuatan Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete)

Daun majapahit ditimbang sebanyak 100 gram kemudian ditambahkan 200 ml air selanjutnya diblender dan setelah halus ditambahkan alkohol 90 % sebanyak 1 ml, sehingga didapatkan ekstrak daun majapahit sebesar 50%. Campuran tersebut diperas kemudian disaring menggunakan saringan dan diendapkan selama 24 jam. Campuran hasil saringan tersebut yang digunakan sebagai starter ekstrak daun majapahit (Wiwin Setyati dkk,2008). Penggunan pestisida sintetik yaitu dengan pengenceran 0,5 ml yang ditambahkan air hingga 200 ml air. 7. Pembuatan Dosis Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete)

Starter ekstrak daun Majapahit didapatkan konsentrasi sebesar 50%, dari kadar 50% diperoleh perlakuan sebagai berikut:

a. Perlakuan untuk uji Pendahuluan : V1/K1=V2/K2

Keterangan: K1 = Konsentrasi starter daun majapahit K2 = Konsentrasi perlakuan yang diinginkan

V1 = Volume air untuk mnghaluskan daun majapahit V2 = Volume campuran yang dicari


(70)

Contoh: V1/K1=V2/K2

V2 = (200 x 50%) / 5% = 20 ml

Ekstrak 5% (20 ml ekstrak starter dicampur dengan 180 ml air)

L0 = Perlakuan kontrol

L1= Ekstrak 5% (20 ml ekstrak starter dicampur dengan 180 ml air)

L2= Ekstrak 10% (40 ml ekstrak starter dicampur dengan 160 ml air)

L3= Ekstrak 15% (60 ml ekstrak starter dicampur dengan 140 ml air)

L4= Ekstrak 20% (80 ml ekstrak starter dicampur dengan 120 ml air)

b. Perlakuan untuk uji Sesungguhnya:

L1= Ekstrak 17,5% (70 ml ekstrak starter dicampur dengan 130 ml air)

L2= Ekstrak 20% (80 ml ekstrak starter dicampur dengan 120 ml air)

L3= Ekstrak 22,5% (90 ml ekstrak starter dicampur dengan 110 ml air)

L4= Pestisida kimia (0,5 ml pestisida dicampur dengan 199,5 ml air)

8. Aplikasi Perlakuan

Aplikasi dilakukan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Aplikasi dilakukan satu hari setelah pemberian hama uji (Rahayu,2009), yaitu pada sawi yang berumur 21 hari setelah tanam, setelah hama sudah


(71)

strimin, penutupan dengan kain strimin ini per polybag tujuannya agar ulat tidak keluar dari tanaman sawi tersebut. Aplikasi penyemprotan dilakukan dengan handsprayer, waktu penyemprotan dilakukan pada sore hari 15.30-17.00 WIB dan dilakukan satu kali penyemprotan dalam satu hari, saat penelitian ini dilakukan penyemprotan dua kali dengan pengamatan dua kali. Sore hari merupakan waktu yang tepat untuk penyemprotan karna larva hama aktif memakan daun pada sore hari (Harborne, 1989).

9. Perhitungan

a. Persentase Mortalitas Larva Spodoptera litura

Larva hama yang mati adalah larva yang tidak bergerak lagi. Pengamatan mortalitas dilakukan setelah 1 hari dilakukan penyemprotan pada tanaman sawi, yaitu pada tanaman sawi yang berumur 23 hari. Penyemprotan pestisida nabati dari ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) dilakukan sebanyak dua kali yaitu setiap dua hari sekali. Penyemprotan pertama yaitu dilakukan pada hari Rabu, 8 Februari 2017 sedangkan penymprotan ke dua yaitu dilakukan pada hari Jum’at, 10 Februari 2017. Pengamatan yang pertama yaitu pada hari Kamis, 9 Februari 2017 sedangkan pengamatan yang ke dua pada hari Sabtu 11 Februari 2017.

Persentase mortalitas larva di hitung dengan rumus

M = a x 100% N


(72)

Keterangan : M = Persentase Mortalitas

a = Jumlah hama yang mati

N = Jumlah hama yang diinfeksikan

b. Persentase Larva Spodoptera litura yang menjadi Pupa

Pengamatan dilakukan 1 hari setelah aplikasi ekstrak yang dilakukan dengan cara disemprotkan. Penyemprotan dilakukan sebanyak dua kali yaitu setiap hari 2 hari sekali. Penyemprotan pertama yaitu dilakukan pada hari Rabu, 8 Februari 2017 sedangkan penyemprotan ke dua yaitu dilakukan pada

hari Jum’at, 10 Februari 2017. Pengamatan yang pertama yaitu pada hari Kamis, 9 Februari 2017 sedangkan pengamatan yang ke dua pada hari Sabtu 11 Februari 2017.

Persentase larva yang menjadi pupa di hitung dengan rumus

P = P x 100% N

Keterangan : P = Persentase Pupa

p = Jumlah larva instar III yang menjadipupa N = Jumlah hama yang diinfeksikan


(73)

F. Rancangan Tabel Pengamatan Harian

a. Tabel 2. Rancangan Tabel Pengamatan Harian Jumlah Mortalitas Hama Spodoptera litura

Jumlah Hama

Konsentrasi Pengamtan

ke

Ulangan Jumlah

Sub Total

Jumlah Total Mortalitas

Persentase Mortalitas

I II III IV V

25 0% 1

2

25 17,5% 1

2

25 20% 1

2

25 22,5% 1

2

25 Pestisida

sintetik

1 2


(74)

b. Tabel 3. Rancangan Pengamatan Harian Larva menjadi Pupa Spodoptera litura

Jumlah Hama

Konsentrasi Pengamatan Ke

Ulangan Jumlah

Total Pupa

Persentase Pupa

I II III IV V

25 0% 1

2

25 17,5% 1

2

25 20% 1

2

25 22,5% 1

2

25 Pestisida

Sintetik

1 2

G. Analisis Data

Data pengamatan harian dianalisis dengan uji ANOVA (Analysis of Variance). Hasil uji ANOVA yang berpengaruh atau berbeda nyata di lanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf nyata 5% (Hanafiah, 2004).


(75)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang pemberian ekstrak daun Majapahit (Crescentia cujete) sebagai pestisida nabati untuk pengendalian hama Spodoptera litura pada tanaman Sawi (Brassicca juncea) dapat diuraikan sebagai berikut,

A. Pengaruh Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Presentase Mortalitas Hama Spodoptera litura

1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura

Hasil pengamatan pengaruh ekstrak daun Majapahit terhadap mortalitas hama Spodoptera litura adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Pengamatan Harian Jumlah Mortalitas Hama Spodoptera litura Jumlah

Hama

Konsentrasi Pengamatan

Ke

Ulangan Jumlah

Sub Total Jumlah Total Mortalitas Persentase Mortalitas

I II III IV V

25 0% 1 0 0 0 0 0 0 0 0%

2 0 0 0 0 0 0

25 17,5% 1 1 2 1 2 2 8 17 68%

2 2 2 2 1 2 9

25 20% 1 1 2 2 2 2 9 21 84%

2 3 3 2 2 2 12

25 22,5% 1 3 2 2 3 2 12 25 100%

2 2 3 3 2 3 13

25 Pestisida 1 5 5 5 5 5 25 25 100%

Keterangan :

Penyemprotan: Penyemprotan 1 : Rabu, 8 Februari 2017 Penyemprotan 2 : Jum’at, 10 Februari 2017 Pengamatan: Pengamatan 1 : Kamis, 9 Februari 2017


(76)

Pengamatan 2 : Sabtu, 11 Februari 2017 Persentase Mortalitas larva Spodoptera litura dihitung dengan rumus:

M = a x 100% N

Keterangan : M = Persentase Mortalitas

a = Jumlah hama yang mati

N = Jumlah hama yang diinfeksikan

Berdasarkan Tabel 4 hasil pengamatan mortalitas menunjukkan bahwa semakin tinggi suatu dosis yang diberikan, maka akan semakin tinggi pula mortalitas hamanya. Hal ini berkaitan dengan banyaknya kandungan yang terdapat pada bagian suatu tanaman yang akan dijadikan sebagai ekstrak, dalam penelitian ini bagian tanaman yang digunakan yaitu daun tanaman majapahit (Crescentia cujete) sedangkan sasaran hama yang digunakan yaitu larva instar III Spodoptera litura yang memiliki ciri-ciri: panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig - zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh (Pracaya, 2005).

Dosis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0%, 17,5%, 20% dan 22,5%. Pada penggunaan dosis 17,5 % persentase mortalitasnya yaitu sebesar 68%, pada dosis 20% persentase mortalitasnya yaitu 84% sehingga diperoleh dosis optimal yaitu pada pemberian dosis 22,5% yang mengakibatkan hama Spodoptera litura mengalami mortalitas sebanyak


(1)

(Penyemprotan dengan air)

(Penyemprotan dengan ekstrak)


(2)

6

(Pengamatan kedua)

(Pengamatan kedua)


(3)


(4)

8

2.

Hasil Analisis SPSS

Descriptives

Mortalitas

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

1 5 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00

2 5 3.4000 .54772 .24495 2.7199 4.0801 3.00 4.00

3 5 4.2000 .44721 .20000 3.6447 4.7553 4.00 5.00

4 5 5.0000 .00000 .00000 5.0000 5.0000 5.00 5.00

5 5 5.0000 .00000 .00000 5.0000 5.0000 5.00 5.00

Total 25 3.5200 1.91746 .38349 2.7285 4.3115 .00 5.00

ANOVA

Mortalitas

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 86.240 4 21.560 215.600 .000

Within Groups 2.000 20 .100

Total 88.240 24

Mortalitas

Duncan

Kode N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

1 5 .0000

2 5 3.4000

3 5 4.2000

4 5 5.0000

5 5 5.0000


(5)

Descriptives

Pupa

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

1 5 5.0000 .00000 .00000 5.0000 5.0000 5.00 5.00

2 5 1.6000 .54772 .24495 .9199 2.2801 1.00 2.00

3 5 .8000 .44721 .20000 .2447 1.3553 .00 1.00

4 5 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00

5 5 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00

Total 25 1.4800 1.91746 .38349 .6885 2.2715 .00 5.00

ANOVA

Pupa

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 86.240 4 21.560 215.600 .000

Within Groups 2.000 20 .100

Total 88.240 24

Pupa

Duncan

Kode N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

4 5 .0000

5 5 .0000

3 5 .8000

2 5 1.6000

1 5 5.0000


(6)

10

ANOVA

Brt_basah

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 57.860 4 14.465 2.307 .094

Within Groups 125.400 20 6.270

Total 183.260 24

Descriptives

Brt_basah

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

1 5 14.0000 2.23607 1.00000 11.2236 16.7764 10.00 15.00

2 5 18.0000 2.73861 1.22474 14.5996 21.4004 15.00 20.00

3 5 16.0000 2.23607 1.00000 13.2236 18.7764 15.00 20.00

4 5 17.1000 2.65518 1.18743 13.8032 20.3968 15.00 20.00

5 5 18.1000 2.60768 1.16619 14.8621 21.3379 15.00 20.00