UJI EKSTRAK DAUN MARA TUNGGAL (Clausena excavata Burm F.) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA HAMA Spodoptera litura PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea (L.)).
UJI EKSTRAK DAUN MARA TUNGGAL (Clausena excavata Burm F.) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA HAMA Spodoptera litura
PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea (L.))
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Sains Biologi
Oleh
Tantin Nurhidayah NIM 13308141023
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu adalah kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
dan hanya Rabbmulah hendaknya kamu berharap. (QS. Alam Nasyrah (94): 5—8)
“Miracle is another name of hardwork”
“Barang siapa bertawakal pada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya, sesungguhnya Allah lah yang akan melaksanakan urusan (yang
dikehendaki)-Nya.” (QS. AT-Talaq : 3)
(6)
UJI EKSTRAK DAUN MARA TUNGGAL (Clausena excavata Burm F.) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA HAMA Spodoptera litura
PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea (L.))
Oleh :
Tantin Nurhidayah NIM 13308141023
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis optimal ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) sebagai bioinsektisida hama Spodoptera litura pada tanaman sawi caisism (Brasssica Juncea ), mortalitas larva Spodoptera litura, pemendekan fase larva instar III Spodoptera litura menjadi pupa, ada tidaknya pengaruh terhadap morfologi tanaman sawi caisim, dan berat basah tanaman sawi setelah pemberian ekstrak daun mara tunggal.
Jenis penelitian ini adalah Rancangan Penelitian Eksperimen dengan 5 variasi dosis dan 5 kali pengulangan. Obyek penelitian ini adalah 125 ekor larva instar III Spodoptera litura yang diperoleh dari Balittas Malang, Jawa Timur. Ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) dibuat dari 100 gram daun mara tunggal segar yang dicampur dengan 200 ml air dan 1 ml alkohol 90 % sebagai pelarut dan didiamkan selama 24 jam. Starter ekstrak daun diencerkan menjadi 4 variasi dosis yaitu 0 %, 17,5 %, 20 %, dan 22,5 %, juga pestisida sintetik. Penginfeksian hama dilakukan pada tanaman sawi yang berumur 21 hari setelah tanam yang ditanam di green house FMIPA UNY. Tanaman sawi diinfeksikan masing-masing 5 ekor larva Spodoptera litura, pengamatan dilakukan satu hari setelah penyemprotan bioinsektisida.
Hasil uji statistik Homogenitas dan Normalitas menunjukkan hasil yang tidak signifikan, artinya data berasal dari populasi berdistribusi normal dan homogen. Hasil uji One Way Anova diperoleh p=0,000 sehingga (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang nyata ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap mortalitas larva Spodoptera litura. Ekstrak daun mara tunggal pada dosis 22,5 % adalah dosis efektif mengakibatkan kematian larva diatas 80 %. Hasil uji One Way Anova menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah pembentukan pupa Spodoptera litura, pemendekan fase larva menjadi pupa dan terhadap morfologi sawi. Namun tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah tanaman sawi caisim.
(7)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul “Uji Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) sebagai Bioinsektisida Hama Spodoptera litura pada Tanaman Sawi (Brasssica juncea L)” ini diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi.
Penulis menyadari bahwa dalam pelaksanaan penelitian dan dalam menyusun skripsi ini, tidak lepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Hartono, selaku Dekan FMIPA UNY yang telah memberikan izin penelitian dan pengesahan.
2. Bapak Paidi M.Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY atas izin dalam pelaksanaan penelitian.
3. Ibu Dr. Tien Aminatun, M.Si, selaku Ketua Program Studi Biologi FMIPA UNY yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan.
4. Bapak Prof. Dr. IGP. Surya Darma selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberi saran, bimbingan, motivasi dari sebelum penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Suhartini, M.S. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, motivasi, dan arahan dari sebelum penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
6. Keluarga besar Jurdik Biologi FMIPA atas bantuannya
7. Kedua orang tua Bapak Katenan dan Ibu Katiyam yang senantiasa memberikan doa, motivasi, kasih sayang, dan dukungan baik secara moril, materil, maupun spiritual.
(8)
9. Teman-teman Biologi B 2013, tim skripsi Rahmawati dan Mesa, dan teman-teman seperjuangan, Ita, Ana, Triyono, juga Okta Febriyanti atas semangat, kebersamaan dan bantuan kalian.
10. Habibi Riyo, terima kasih atas semangat, doa dan bantuannya yang selalu ada untuk membantu penulis.
11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu yang secara langsung dak tidak langsung telah mendukung dan membantu pelaksanaan penelitian sampai terselesainya laporan skripsi ini.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Penyusun berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
(9)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Batasan Masalah ... 5
D. Rumusan Masalah ... 5
E. Tujuan Penelitian ... 5
F. Manfaat Penelitian ... 6
G. Batasan Operasional ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Pengertian Insektisida ... 8
B. Bioinsektisida ... 9
(10)
D. Cara Masuk Insektisida ... 13
E. Tanaman Mara Tunggal ... 15
F. Tanaman Sawi ... 20
G. Spodoptera litura ... 25
H. Kerangka Berfikir ... 28
I. Hipotesis ... 30
BAB III METODE PENELITIAN... 31
A. Tempat dan Waktu Penelitian... 31
B. Bahan dan Alat ... 31
C. Variabel Penelitian ... 32
D. Rancangan Penelitian ... 33
E. Prosedur Kerja ... 35
F. Analisis Data... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Pengaruh Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap Mortalitas Hama Spodoptera litura ... 41
B. Pengaruh Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap Pemendekan Fase Larva Instar III Spodoptera litura Menjadi Pupa ... 52
C. Pengaruh Ekstrak Daun Mara Tunggal ( Clausena excavata Burm F ) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 62
D. Morfologi dan Tingkat Kerusakan Tanaman Sawi ... 65
E. Keterbatasan Penelitian ... 68
BAB V PENUTUP ... 69
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 70
(11)
LAMPIRAN 1 ... 74
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Mortalitas Hama Spodoptera litura Setelah Penyemprotan Ekstrak Daun Mara Tunggal dengan Berbagai Konsentrasi. ... 32 Tabel 2. Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura .... 41 Tabel 3. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura ... 44 Tabel 4 . Hasil Uji Homogenitas Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura 45 Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura ... 46 Tabel 6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura ... 47 Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) dan Pestisida Sintetik terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura ... 50 Tabel 8. Pengamatan Jumlah Pupa Spodoptera litura ... 53 Tabel 9. Data Hasil Analisis Statistik Larva Spodoptera litura yang Menjadi Pupa ... 54
Tabel 10. Hasil Uji Homogenitas Jumlah Pupa Spodoptera litura ... 55 Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Jumlah Pupa Spodoptera litura... 56 Tabel 12. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap Jumlah Pupa Spodoptera litura ... 56
Tabel 13. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F.) dan Pestisida Sintetik terhadap Pembentukan Pupa Larva Spodoptera litura ... 60 Tabel 14 . Data Hasil Pengamatan Pengaruh Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 62 Tabel 15. Hasil Uji Homogenitas Berat Basah Tanaman Sawi ... 63
(13)
Tabel 16. Hasil Uji Normalitas Berat Basah Tanaman Sawi ... 64 Tabel 17. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 65 Tabel 18. Tabel Morfologi dan Tingkat Kerusakan Tanaman Sawi. ... 66
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Cara Kerja Insektisida ... 15
Gambar 2. Tanaman Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) ... 17
Gambar 3. Larva Instar III Hama Spodoptera litura... 26
Gambar 4. Kerangkan Berpikir Peneliti ... 29
Gambar 5. Grafik Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura ... 42
Gambar 6. Kematian Larva Spodoptera litura Selama Perlakuan. ... 45
Gambar 7. Pupa Spodoptera litura ... 57
Gambar 8 . Kerusakan Daun Sawi Akibat Serangan Larva Instar III Spodoptera litura. ... 67
(15)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Penelitian………..76 Lampiran 2. Hasil Analisis Data………78 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian……….…89
(16)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh organisme atau serangga
merupakan masalah penting bagi petani di Indonesia. Petani mengeluarkan
biaya yang cukup besar untuk menanggulangi tanamannya dari serangan
hama. Pertanian jenis sayuran kol, kubis, sawi dan sebagainya, salah satu
hama yang merugikan adalah hama ulat grayak (Spodoptera litura). Hama tersebut menyerang tanaman kedelai dan juga tembakau yang meyebabkan
kerusakan cukup besar. Hama ini sering menyebabkan daun dan buah sayuran
menjadi sobek, terpotong-potong dan berlubang. Tingkat kerusakan yang
diakibatkan oleh hama ini sangat merugikan, karena dapat menurunkan
kualitas, jumlah produksi dan kegagalan panen. Hama ini bersifat polifag atau
dapat hidup pada berbagai jenis tanaman, seperti tomat, sawi, kubis, cabai,
buncis, bawang merah, terong, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu,
jeruk, jarak kepyar, pisang, tembakau dan kacang-kacangan. Kerusakan yang
disebabkan biasanya dikendalikan para petani menggunakan pestisida sintesik
yang dianggap lebih efektif.
Pada umumnya, petani melakukan pengendalian dengan menggunakan
pestisida sintetik (kimia) dengan asumsi bahwa pestisida sintetik lebih efektif
untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman. Untuk
mengendalikannya petani menggunakan insektisida kimia yang intensif dan
(17)
dampak negatif bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungannya.
Penggunaan pestisida sintesik juga dapat merusak organisme nontarget,
resistensi hama, dan menimbulkan efek residu pada tanaman dan lingkungan
(Laoh, 2003). Penggunaan insektisida tersebut sering meninggalkan residu
yang berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Untung, 2006).
Kekhawatiran akan dampak negatif dari penggunaan insektisida sintetik
tersebut menimbulkan kebutuhan akan adanya alternatif yang dapat dipakai
untuk mengendalikan populasi hama dan serangga vektor sampai pada tingkat
yang tidak merugikan secara ekonomi dan lingkungan.
Dengan banyaknya efek samping dari insektisida sintesik, penelitian
tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan bioinsektisida untuk
mengendalikan hama serangga, sangat menarik perhatian para peneliti.
Pemanfaatan senyawa-senyawa kimia dari tumbuhan memberikan kelebihan
seperti tidak menimbulkan resistensi, mudah terdegradasi, dan relatif tidak
beracun bagi manusia. Banyak senyawa-senyawa kimia seperti dari kelompok
terpenoid, alkaloid, dan fenol yang telah diisolasi dari berbagai tumbuhan
mempunyai aktivitas penghambat makan serangga (Dadang, 2007:28).
Pengendalian penggunaan bahan kimia berlebih di areal pertanian dapat
dikendalikan dengan menggunakan cara pengendalian yang aman dan ramah
lingkungan seperti pemanfaatan musuh alami hama dan juga bioinsektisida.
Di alam ini, sebenarnya telah disediakan bahan-bahan alami yang dapat
dimanfaatkan untuk menanggulangi penyakit dan juga serangan hama
(18)
adalah tumbuhan marga Clausena yang memiliki beberapa spesies tersebar di seluruh Indonesia. Di antara berbagai spesies, salah satunya adalah Clausena excavata Burm F dengan nama daerah mara tunggal (Jawa Tengah), tikusan (Jawa Tengah), ki bajetah (Sunda) dan juga sicerek (Minangkabau)
(Asmaliyah, 2010). Berdasarkan hasil skrining fitokimia, diketahui jenis
Clausena excavata Burm F mengandung komponen metabolit sekunder yang dominan adalah kumarin, limonoid, dan alkaloid (Muhaimin, 2014:24).
Menurut Dadang (2000:28), tanaman yang mengandung senyawa
limonoid ini banyak memberikan efek biologis kepada serangga seperti
penghambatan makan dan kematian serangga, akan tetapi setiap tanaman
memiliki konsentrasi zat metabolit sekunder yang berbeda-beda, bahwa
semakin tinggi konsentrasi maka jumlah zat metabolit sekunder yang
mengenai kulit serangga semakin banyak, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga (Sinaga, 2009).
Tanaman sawi merupakan jenis tanaman kelompok marga Brassica yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat yakni bagian daunnya. Tanaman
Brassica, misalnya sawi banyak diusahakan di daerah pedesaan di dataran tinggi, meskipun di beberapa tempat diusahakan di dataran rendah. Sawi
merupakan jenis sayuran daun yangdigemari oleh konsumen karena memiliki
kandunganpro-vitamin A dan vitamin C yang tinggi (Moniharapon, 2014).
Selain itu, sawi merupakan salah satu inang bagi larva Spodoptera litura. Dengan memperhatikan kandungan yang terdapat dalam tumbuhan Clausena
(19)
excavata Burm F, maka tumbuhan ini berpotensi sebagai agen pengendalian hama serangga.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang sudah diuraikan, maka dapat
dijabarkan permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi antara lain:
1. Permasalahan cara mengendalikan hama Spodoptera litura yang ramah lingkungan dan mudah didapat.
2. Efek negatif paparan pestisida sintetik.
3. Resistensi hama akibat penggunaan bahan kimia berlebih.
4. Jenis tanaman yang memiliki bahan aktif sebagai bioinsektisida dan yang
mudah didapat.
5. Proses pembuatan bioinsektisida yang dapat dilakukan oleh semua
kalangan.
6. Kekurangan bioinsektisida dibanding dengan pestisida sintetik.
7. Efektivitas dosis ekstrak daun tanaman mara tunggal (Clausena excavata Burm F) dalam mengendalikan hama Spodoptera litura.
8. Efek paparan ekstrak daun tanaman mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap hama Spodoptera litura, dan terhadap morfologi tanaman sawi. 9. Efek paparan ekstrak daun tanaman mara tunggal terhadap lingkungan dan
(20)
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka dalam
penelitian ini akan dibatasi pada pengamatan mortalitas hama, pemendekan
hama Spodoptera litura pada fase larva hingga menjadi pupa, serta pengaruh ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap morfologi dan berat basah dari tanaman sawi pada perlakuan dengan dosis ekstrak daun mara
tunggal.
D. Rumusan Masalah
1. Berapakah dosis optimal ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) sebagai bioinsektisida pengendali hama Spodoptera litura pada tanaman sawi (Brassica juncea L)?
2. Berapakah persentase kematian hama Spodoptera litura setelah pemberian ekstrak daun tanaman mara tunggal (Clausena excavata Burm F)?
3. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak daun tanaman mara tunggal
(Clausena excavata Burm F) terhadap umur larva instar III Spodoptera litura sampai menjadi pupa?
4. Apakah ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea)? E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dosis optimal ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) sebagai bioinsektisida untuk pengendalian hama Spodoptera litura pada tanaman sawi.
(21)
2. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap mortalitas hama Spodoptera litura.
3. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap umur larva instar III Spodoptera litura sampai menjadi pupa.
4. Mengetahui ada tidaknya pengaruh dari ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap tingkat kerusakan dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea).
F. Manfaat Penelitian
Bagi Petani dan Masyarakat
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai perbandingan
pestisida sintetik dan bioinsektisida terhadap mortalitas hama.
2. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar
menggunakan bahan insektisida alami, yang bisa didapatkan dengan mudah,
aman bagi manusia dan lingkungan. Khususnya menggunakan ekstrak daun
tanaman mara tunggal (Clausena excavata Burm F) sebagai bioinsektisida terhadap hama Spodoptera litura.
Bagi para saintis
1. Dapat menambah informasi dan juga wawasan untuk melakukan pendekatan
praktis dari penguasaan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk
pemecahan masalah terutama masalah pengendalian hama menggunakan
bioinsektisida yaitu hama Spodoptera litura yang menyerang tanaman sayuran.
(22)
G. Batasan Operasional
1. Hama Spodoptera litura yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III.
2. Bioinsektisida dalam hal ini adalah insektisida nabati dari ekstrak daun mara
tunggal.
3. Pengaruh pemberian ekstrak daun tanaman mara tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap larva instar III hama Spodoptera litura antara lain adalah: persentase mortalitas hama, panjang siklus hidup hama, dan juga morfologi dan berat basah tanaman sawi (Brasica juncea L).
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Insektisida
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua
zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk
memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia (Anonim, 2012:3).
Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis
insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung berkontak
dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi kontak langsung dapat
berupa penyemprotan udara (space spray) seperti pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan dingin(cold fogging) / ultra low volume (ULV). Insektisida residual adalah Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu
tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan
tersebut akan terpapar dan akhirnya mati (Anonim, 2012:3).
Cara kerja Insektisida dalam tubuh serangga dikenal istilah mode of action dan cara masuk atau mode of entry. Mode of action adalah cara Insektisida memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target site) di dalam tubuh serangga. Cara kerja Insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor
terbagi dalam 5 kelompok yaitu:
(24)
2). Menghambat produksi energi,
3).Mempengaruhi sistem endokrin,
4). Menghambat produksi kutikula dan 5). Menghambat keseimbangan air.
Mode of entry adalah cara insektisida masuk ke dalam tubuh serangga, dapat melalui kutikula (racun kontak), alat pencernaan (racunperut), atau lubang
pernafasan (racun pernafasan). Meskipun demikian suatu insektisida dapat
mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam tubuh serangga (Anonim,
2012:3-4).
B.Bioinsektisida
Hutan tropis basah yang diperkirakan menyimpan jenis-jenis tumbuhan
yang memiliki bioaktivitas. Hutan tropis merupakan sumber hayati yang kaya
berbagai spesies tumbuh-tumbuhan.
Bioinsektisida memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh
insektisida sintetik. Di alam, insektisida tumbuhan memiliki sifat yang tidak
stabil sehingga memungkinkan dapat didegradasi secara alami (Arnason et al., 1993; Isman, 1995). Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik
seperti resistensi dan terbunuhnya hama bukan sasaran dewasa ini harga
pestisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya. Di
sisi lain ketergantungan petani akan penggunaan insektisida cukup tinggi. Hal
ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit
membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa
(25)
insektisida. Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40
jenis tumbuhan berpotensi sebagai bioinsektisida (Direktorat BPTP &
Ditjenbun, 1994).
Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili
tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan
sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae,
Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup
kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh
banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian
potensi tanaman sebagai sumber insektisida tumbuhan sebagai alternatif
pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Alam sebenarnya telah menyediakan bahan-bahan alami yang dapat
dimanfaatkan untuk menanggulangi serangan hama dan penyakit tanaman.
Tetapi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu:
Kelebihan:
1. Degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari.
2. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan napsu makan
serangga walaupun jarang menyebabkan kematian.
3. Toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman
pada manusia dan lingkungan.
4. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan
(26)
5. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT (Organisme Penganggu
Tanaman) yang telah kebal pada pestisida sintetik.
6. Phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman.
7. Murah dan mudah dibuat oleh petani.
Kelemahannya:
1. Capat terurai dan kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus
lebih sering.
2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga).
3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena
keterbatasan bahan baku.
4. Kurang praktis.
5. Tidak tahan disimpan.
(Sinaga, 2009:15)
Setiap tanaman mengandung zat metabolit sekunder dengan konsentrasi
berbeda-beda, bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka jumlah zat metabolit
sekunder yang mengenai kulit semakin banyak, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga lebih banyak. (Sutoyo, 1997;
Sinaga, 2009:16). Bioinsektisida memiliki beberapa fungsi, antara lain: repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat.
Antifeedant, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot, merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat reproduksi serangga
betina, racun syaraf, mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga
(27)
Hasil studi etnobotani pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida di daerah
hutan penyangga Taman Nasional Bukit Baka - Bukit Raya (Kabupaten
Sintang) dan Taman Nasional Gunung Palong (Kabupaten Ketapang)
mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 53 jenis tumbuhan pernah
dimanfaatkan petani dan masyarakat setempat sebagai pestisida. Jumlah jenis
tumbuhan ini tentunya akan bertambah bila dilakukan studi etnobotani pada
kabupaten-kabupaten lainnya. Dari sejumlah tanaman yang digunakan sebagai
pestisida, 19 jenis tumbuhan digunakan petani sebagai insektisida, sedangkan
sisanya digunakan sebagai racun hewan lainnya. Jenis tumbuhan yang pernah
dimanfaatkan sebagai insektisida tumbuhan pada suatu tempat dengan tempat
lainnya sangat beragam, sedangkan cara pemanfaatannya umumnya relatif
hampir sama. Umumnya terdapat beberapa cara yang biasa dilakukan petani,
antara lain dengan :
1. Penyemprotan cairan perasan tumbuhan,
2. Penyebaran atau penempatan/ penanaman bagian tumbuhan di sudut-sudut
tertentu pada lahan pertanaman,
3. Pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang mengandung bahan
insektisida),
(28)
C. Mekanisme Kerja Insektisida
Menurut cara kerjanya pada tanaman setelah diaplikasikan, insektisida
secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut.
a. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar,
batang atau daun. Selanjutnya, insektisida sistemik tersebut mengikuti
gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman
lainnya. Contoh insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan, karbofuran, dan monokrotofos (Djojosumarto,2000 :41).
b. Insektisida Nonsistemik
Insektisida nonsistemik satelah diaplikasikan pada tanaman sasaran
tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar
tanaman (Djojosumarto,2000:42).
c. Insektisida Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat
diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan
ke bagian tanaman lainnya (Djojosumarto, 2000:42).
D. Cara Masuk Insektisida
Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran
dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut.
1. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida-insektisida tersebut masuk
(29)
ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran
pencernaan. Selanjutnya, insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh
serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan syaraf
pusat serangga) (Djojosumarto, 2000:42). Oleh karena itu serangga harus
memakan tanaman yang terlebih dahulu disemprot menggunakan insektisida
dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya. Insektisida yang benar-benar
murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan insektisida memiliki efek
ganda, yaitu racun perut dan racun kontak.
2. Racun kontak
Racun kontak merupakan insektisida yang mampu masuk kedalam
tubuh serangga melalui kulit, serangga kemudian akan mati apabila
bersinggungan dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga
berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang memiliki sifat racun
kontaknya kuat adalah diklorfos dan pirimifos metil (Djojosumarto, 2000:43). 3. Racun pernapasan
Merupakan insektisida yang bekerja lewati saluan pernapasan.
Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang
cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, misalnya metil bromide, alumunium fosfida, (Djojosumarto, 2000:43). Berikut adalah bagan cara kerja insektisida.
(30)
Gambar 1. Cara Kerja Insektisida (Djojosumarto,2000:45)
E.Tanaman Mara Tunggal 1. Taksonomi
Tanaman mara tunggal, atau disebut juga dengan nama daerah Sicerek
atau juga Tikusan. Memiliki klasifikasi sebagai berikut (Asmaliyah, 2010).
Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rutales
Suku : Rutaceae Marga : Clausena INSEKTISIDA
Cara kerja pada tanaman
Nonsistemik
Sistemik
Sistemik lokal
Cara masuk ke dalam tubuh
Racun pernapasan Racun kontak
(31)
2. Morfologi dan Ekologi
Tanaman dengan nama spesies Clausena excavata Burm F, memiliki nama umum Tikusan (Jawa Tengah), mara tunggal (Jawa
Tengah), Temung (Aceh), Ki Bajetah (Sunda) dan juga Sicerek
(Minangkabau). Pohon mara tunggal merupakan pohon tahunan dengan
tinggi antara 2 hingga 3 meter. Batang tanaman berbetuk bulat,
bercabang, berkayu dengan warna hijau kotor. Daun tanaman ini
merupakan daun majemuk, menyirip ganjil, berseling, bulat telur,
ujungnya runcing, tepi rata, pangkal membulat, pertulangan menyirip
panjang 4-7,5 cm, lebar 2-4 cm, tangkai pendek, permukaan daun
berbulu halus, hijau.
Bunga tanaman Clausena excavata Burm F, majemuk, bentuk malai, di ketiak daun dan di ujung batang, berbulu, panjang ±10 cm,
kelopak bunga berbulu, berlekalan, ujung bertajuk, hijau, mahkota
lepas, bentuk pita, warna putih, dengan tangkai benangsari warna putih.
Kepala sari kuning keputih-putihan, tangkai putik hijau kekuningan,
kepala putik berwarna ungu (Asmaliyah, 2010).
Buahnya buni, berbentuk bulat dengan diameter + 1 cm, saat masih
muda berwarna hijau muda, setelah tua berwarna jingga. Biji dari buah
ini berbentuk bulat telur dengan diameter + 5 mm, warna hijau bergaris
(32)
Gambar 2. Tanaman Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) Sumber: Ismail Adam Arbab dkk. 2011
3. Kandungan Kimia Tanaman Mara Tunggal
Pengekstrakan tanaman daun Clausena excavata Burm F, telah menghasilkan Koumarin dengan nama clauslactone-R, Clauslacton-B,
dan scopoletin. Juga jenis triterpena yaitu friedelin, stigmasterol,
b-sitosterol, 5-gluten-3, dan karbazole alkaloids. Selain itu dalam minyak
daun ekstrak Clausena excavata, mengandung aktivitas larvasidal, antimicrobial, antifungi dan sitotoksisk. Komponen didalamnya adalah
elemicin (65,02 %) dan methyl eugenol (12,95 %) sebagai kandungan
utamanya. Komponen minor lainnya adalah linalool, safrol,
terpinolena, a-humulena, a-terpinena dan b-elemena. (Lim Gin Keat,
2005:5-6). Selain itu juga mengandung saponin, flavanoida dan tannin.
Menurut Utami dkk (2007:210), penelitian yang dilakukannya
menggunakan ekstrak kering daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap mortalitas hama Spodoptera litura, berhasil
(33)
mematikan 92 % larva, pada konsentrasi 100 % sehingga larva gagal
terbentuk pupa.
Dalam ekstrak daun mara tunggal terdapat tannin, yaitu senyawa
polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein.
Tannin tidak dapat dicerna lambung dan mempunyai daya ikat dengan
protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Ridwan, 2010; Permana,
2016:6). Menurut Yunita dkk (2009) tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena tannin akan mengikat protein dalam
sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan
sehingga diperkirakan proses pencernaan larva menjadi terganggu
akibat zat tanin tersebut. Selain itu tannin memilik rasa yang pahit
sehingga dapat menghambat aktivitas makan serangga. Menurut Sinaga
(2009:17), bioinsektisida memiliki beberapa fungsi, antara lain :
repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal : dengan bau yang
menyengat. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot, merusak perkembangan telur, larva dan pupa,
menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
system hormon di dalam tubuh serangga
Lu (1994; Permana, 2016:6), mengatakan bahwa, senyawa yang
bersifat racun yang masuk ke tubuh akan mengalami biotransformasi.
Proses metabolisme tersebut membutuhkan energi, semakin banyak
senyawa racun yang masuk ke tubuh serangga menyebabkan energi
(34)
energi yang digunakan untuk menetralisir senyawa racun tersebut
menyebabkan penghambatan terhadap metabolisme yang lain sehingga
serangga akan kekurangan energi dan akhirnya mati. Selain itu,
senyawa saponin dapat bersifat sebagai insektisida, yaitu dengan
merubah perilaku makan serangga dengan cara menghambat uptake makanan pada saluran pencernaan. Saponin juga dapat menghambat
pertumbuhan stadium larva dengan menganggu tahap moulting larva
(Chaieb, 2010; Permana,2016:6).
Seperti penelitian Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa
kandungan metabolit sekunder dalam tanaman seperti glikosida
flavonoid bersifat racun perut (stomach poisoning), yang bekerja apabila senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga maka akan
mengganggu organ pencernaannya. Selain meracuni perut, senyawa
golongan flavonoid juga dapat mengiritasi kulit dan menghambat
transportasi asam amino leusin.
Diduga senyawa flavonoid menghambat leusin yang berperan
dalam proses pembentukan asetil koA pada Siklus Kreb. Pada saat
proses ini terhambat, asetil koA tidak dapat menambahkan fragmen nya
pada oksaloasetat dan akibatnya siklus kreb terganggu dan tidak dapat
menghasilkan ATP (Sinaga, 2009).
Senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun mara
tunggal adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang
(35)
bahwa flavonoid mempunyai efek toksik, antimikrobia, antifeedant. Salah satu senyawa golongan flavonoid yakni rotenone memiliki efek
mematikan serangga sebagai racun respirasi sel.
F. Tanaman Sawi 1. Klasifikasi
Menurut Haryanto (2003:9), tanaman sawi memiliki klasifikasi
sebagai berikut.
Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Brassicaceae Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L.
2. Deskripsi Tanaman
Sawi hijau (Brassica rapa convar. parachinensis; suku sawi-sawian atau Brassicaceae) merupakan jenis sayuran yang cukup populer. Dikenal pula sebagai caisim, caisin, atau sawi bakso, sayuran
(36)
sayuran ini mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi.
Bila ditanam pada suhu sejuk tumbuhan ini akan cepat berbunga.
Karena biasanya dipanen seluruh bagian tubuhnya (kecuali akarnya)
(Haryanto, 2003:11).
Tanaman semusim yang mudah tumbuh. Perkecambahannya
epigeal (muncul dipermukaan tanah). Sewaktu muda tumbuh lemah,
tetapi setelah daun ketiga dan seterusnya akan membentuk setengah
roset dengan batang yang cukup tebal, namun tidak berkayu. Daun
elips, dengan bagian ujung biasanya tumpul. Warnanya hijau segar,
biasanya tidak berbulu. Menjelang berbunga sifat rosetnya agak
menghilang, menampakkan batangnya. Bunganya kecil, tersusun
majemuk berkarang. Mahkota bunganya berwarna kuning, berjumlah 4
(khas Brassicaceae). Benang sarinya 6, mengelilingi satu putik. Buahnya menyerupai polong tetapi memiliki dua daun buah dan disebut
siliqua (Haryanto, 2003:12). 3. Manfaat
Tanaman sawi, baik setelah diolah maupun sebagai lalapan,
mengandung beragam zat makanan yang esensial bagi kesehatan tubuh.
Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang
diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi
zat-zat makanan yang terkandung dalam setiap 100 g berat basah sawi
adalah : 2,3 g protein, 0,3 g lemak, 4,0 g karbohidrat, 220,0 mg kalsium,
(37)
vitamin C 102 mg. Selain memiliki kandungan vitamin dan gizi yang
penting untuk kesehatan, sawi dipercaya dapat menghilangkan rasa
gatal di tenggorokan akibat batuk, penderita penyakit ginjal dianjurkan
untuk banyak-banyak mengkonsumsi sawi karena dapat membatu
memperbaiki fungsi kerja ginjal (Haryanto, 2003:5-7).
4. Jenis-Jenis Tanaman Sawi
a. Sawi Hijau atau Sawi Asin
Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi sebagai
bahan sayuran segar karena rasanya agak pahit. Sawi hijau
berukuran lebih kecil dibanding sawi jabung atau sawi putih, tetapi
warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek, tetapi tegap.
Daunnya lebar, tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku tetapi
kuat (Haryanto, 2003:10).
b. Sawi Huma
Disebut sawi huma, karena sawi ini tumbuh baik ditanam di
tempat-tempat kering, seperti tegalan dan huma. Sawi huma
daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijau keputih-putihan.
Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang kecil,
tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti bersayap
(Haryanto, 2003:11).
c. Sawi Putih atau Sawi Jabung
Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang
(38)
dibudidayakan di tempat kering. Bila sudah desawa, sawi ini
memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua. Tangkainya
panjang, tetapi lemas dan halus, batangnya pendek tetapi tegap dan
bersayap. Beberapa varietas sawi putih diantaranya rugosa rob dan
prain (Haryanto, 2003:10).
d. Caisim alias sawi bakso
Menurut Haryanto (2003:10), caisim, merupakan jenis sawi
yang paling banyak dipasarkan dan dikonsumsi. Tangkai daunnnya
panjang, langsing, dan berwarna putih kahijauan. Daunnya lebar
memanjang, tipis, dan berwarna hijau.
e. Sawi keriting
Seperti namanya, ciri khas sawi ini adalah daunnya keriting.
Bagian daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai
daun. Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang
keriting, jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa
(Haryanto, 2003:12).
f. Sawi Monumen
Sawi monumen memiliki ciri khas tubuhnya amat tegak dan
berdaun kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai.
Tangkai daun berwarna putih, berukuran agak lebar dengan tulang
daun yang juga berwarna putih. Jenis sawi ini tergolong terbesar
(39)
5. Syarat tumbuh
Sawi dikenal sebagai tanaman sayuran daerah iklim sedang
(sub-tropis), tetapi saat ini berkembang pesat di daerah tropis. Kondisi iklim
yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah daerah yang
mempunyai suhu malam hari 15,6° C dan siang hari 21,1° C serta
penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari.
Di Indonesia, tanaman sawi pada umumnya banyak di tanam di
dataran rendah. Tanaman ini selain tahan terhadap suhu panas (tinggi),
juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi
iklim tropis Indonesia, sehingga tidak harus mengandalkan benih
impor. Sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun paling
baik adalah jenis tanah lempung berpasir; seperti tanah andosol. Pada
tanah-tanah yang mengandung liat perlu pengelolaan lahan secara
sempurna, antara lain pengolahan tanah yang cukup dalam,
penambahan pasir dan pupuk organik dalam jumlah dosis tinggi. Syarat
tanah yang ideal untuk tanaman sawi adalah subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), tata
udara dalam tanah berjalan dengan baik, dan pH tanah antara 6-7.
Penelitian dan pengembangan tanaman sawi di dataran rendah,
umumnya ditanam pada jenis tanah Latosol dengan pH 6 serta dosis
pupuk kandang minimum 20 ton/hektar. Dari berbagai literatur
ditemukan, sawi toleran terhadap kisaran pH 6-7 (Haryanto,
(40)
G. Spodoptera litura
1. Morfologi dan biologi
Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi ulat grayak (Spodoptera litura) adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kela : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura
Ulat grayak mengalami metamorphosis sempurna yang terdiri dari
empat stadium hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Larva Spodoptera litura mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai warna kulit (corak) berbentuk bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan
kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning.
Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat atau
hitam kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Beberapa hari kemudian,
larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya.
Biasanya larva berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah
(41)
Gambar 3. Larva Instar III Hama Spodoptera litura (Sumber: Dokumentasi pribadi)
2. Siklus Hidup Hama Spodoptera litura a) Telur
Imago betina meletakkan telur pada malam hari, telur berbentuk
bulat. Telur diletakkan berkelompok di atas permukaan daun. Dalam satu
kelompok, jumlah telur antara 30-100 butir. Telur-telur tersebut menetas
antara 2-4 hari. Kelompok telur ditutupi oleh rambut-rambut halus yang
berwarna putih, kemudian telur berubah menjadi kehitam-hitaman pada
saat akan menetas (Setiani, 2012:5).
b) Larva
Larva instar satu S. litura yang baru menetas biasanya hidup berkelompok, tetapi menyebar sendiri-sendiri setelah besar. Larva
memakan ujung daun muda dan mengalami perubahan warna sesuai
dengan perubahan instar yang dialaminya. Larva instar satu berwarna
hijau, kemudian berubah menjadi hijau tua saat memasuki instar dua.
Pada instar tiga dan empat warnanya menjadi hijau kehitaman pada
(42)
Pada saat larva memasuki instar lima warnanya berubah menjadi coklat
muda. Stadium larva S. litura berkisar antara 9 – 14 hari. Larva instar akhir bergerak dan menjatuhkan diri ke tanah. Setelah berada di dalam
tanah, larva akan memasuki pra pupa dan kemudian berubah menjadi
pupa (Setiani, 2012:5).
c) Pupa
Pupa S. litura berwarna cokelat muda dan pada saat akan menjadi imago berubah menjadi cokelat kehitaman. Pupa memiliki
panjang 9-12 mm, pupa berada di dalam kedalaman tanah dengan
kedalama kurang lebih 1 cm (Setiani, 2012:6).
d) Imago
Imago memiliki panjang yang berkisar 10-14 mm dengan
rentang sayap 24-30 mm, sayap depan berwarna putih keabu-abuan,
pada bagian tengah sayap depan terdapat tiga pasang bintik-bintik yang
berwarva perak. Sayap belakang putih pada bagian tepi berwarna
cokelat gelap (Kalshoven, 1981).
3. Daerah Sebar dan Ekologi
Ulat grayak merupakan hama yang menyerang sayuran muda. S. litura menyerang tanaman pada malam hari dan biasanya serangan dilakukan
bersama-sama. Pada siang hari biasanya ulat grayak bersembunyi di balik
daun. Serangan S. litura menyebabkan kerusakan lebih dari 20 % pada tanaman umur lebih dari 20 HST (Adisarwanto et al 1999; Setiani, 2012:7).
(43)
4. Tanaman Inang dan Gejala Kerusakan
Kebanyakan larva kupu-kupu dan ngengat makan tumbuh-tumbuhan
tetapi jenis yang berbeda makan dengan cara-cara yang berbeda. Larva yang
lebih besar biasanya makan di pinggiran daun dan makan semuanya kecuali
rangka-rangka daun yang lebih besar, larva yang kecil makan daging daun
(yang menyebabkan daun tinggal rangkanya) atau membuat lubang-lubang
yang kecil di dalam daun (Borror, et all, 1992). Kerusakan daun yang diakibatkan larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan
sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja.
Larva instar lanjut merusak tulang daun. Pada serangan berat menyebabkan
gundulnya tanaman (Sudarmo, 1992).
H. Kerangka Berfikir
Daun tanaman mara tunggal terdapat kandungan flavonoid, tannin,
alkaloid, kumarin, limonoid yang merupakan racun bagi serangga. Tannin dapat
menyebabkan pencernaan hama Spodoptera litura terganggu karena memiliki daya ikat dengan protein, karbohidrat, dan mineral, dan juga menimbulkan rasa
pahit yang bias menurunkan nafsu makan hama. Senyawa alkaloid dan flavonoid
dapat menyebabkan racun perut serangga, mengiritasi kulit, dan sebagai
antifeedant. Sedangkan saponin dapat menghambat uptake pencernaan dengan menurunkan tegangan selaput mukosa dinding digestive larva sehingga korosif, dan juga menyebabkan lemah syaraf dan kerusakan spirakel sehingga hama tidak
bias bernafas. Jika zat metabolit sekunder tersebut masuk ke dalam tubuh hama
(44)
larva menjadi pupa. Selain itu, bagi tanaman inang yang disemprot
bioinsektisida ekstrak daun mara tunggal akan menyebabkan berkurangnya
tingkat kerusakan tanaman sawi dan meningkatkan berat basah tanaman sawi.
Berikut adalah kerangka berpikir peneliti.
Bioinsektisida dengan menggunakan ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) mengandung komponen metabolit sekunder seperti, tannin,
saponin, alkaloid, limonoid dan flavonoid.
Tannin Saponin Flavonoid
• Perubahan tingkat kerusakan tanaman
• Perbedaan berat basah
• Mortalitas hama Spodoptera litura
• Pemendekan siklus hama dari
larva instar III menjadi pupa Limonoid Alkaloid Spodoptera litura Tanaman sawi - Memiliki daya ikat dengan protein, karbohidrat dan vitamin. - Memiliki rahsa pahit - Menghambat uptake pencernaan - Kerusakan organ digestive serangga
- Lemah syaraf
dan kerusakan spirakel - Racun perut serangga - Anti feedant - Memiliki sifat insektidal - Mengiritasi kulit serangga
- Racun perut
(45)
I. Hipotesis
1. Semakin tinggi dosis yang diberikan, maka semakin tinggi tingkat
mortalitas hama.
2. Semakin tinggi dosis ekstrak daun mara tunggal, semakin pendek lama
hidup larva menjadi pupa.
3. Semakin tinggi dosis ekstrak daun mara tunggal, maka semakin kecil tingkat
(46)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat: Penelitian dilakukan di Green House Kebun Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta.
2. Waktu: Bulan Desember 2016 -Februari 2017.
B. Bahan dan Alat 1. Bahan
- Daun mara tunggal
- Hama Spodoptera litura - Air kran
- Biji sawi
- Pupuk Kandang
- Tanah
- Alkohol 90 %
- Pestisida Sintetik nama dagang “Dusband” 2. Alat
- Blender
- Gelas ukur
- Saringan
- Kuas kecil
(47)
- Handsprayer - Pollybag - Pipet tetes
- Kain kasa
- Ember
- Kelambu
- Erlenmeyer
C. Variabel Penelitian 1. Uji Pendahuluan
a. Variabel bebas: Dosis ekstrak daun mara tunggal konsentrasi 0 %, 5 %,
10 %, 15 %, dan 20 %.
Berdasarkan perlakuan pemberian ekstrak daun mara tunggal pada larva
Spodoptera litura diperoleh hasil uji pendahuluan mortalitas larva sebagai berikut.
Tabel 1. Mortalitas Hama Spodoptera litura Setelah Penyemprotan Ekstrak Daun Mara Tunggal dengan Berbagai Konsentrasi. Konsentrasi Pengamatan Ulangan Jumlah
1 2 3 4 5
0 % H2 0 0 0 0 0 0
H4 0 0 0 0 0 0
5 % H2 0 1 0 2 0 3
H4 2 1 1 1 1 9
10 % H2 0 0 1 0 1 2
H4 3 2 1 1 1 10
15 % H2 0 1 0 2 0 3
H4 3 3 3 2 3 17
20 % H2 1 0 1 1 0 3
H4 3 3 4 4 5 23
Keterangan: H2: Hari ke dua setelah penyemprotan bioinsektida pertama H4: Hari ke dua setelah penyemprotan bioinsektisida ke dua
(48)
Berdasarkan hasil pengamatan uji pendahuluan, diketahui bahwa
semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mara tunggal, maka semakin tinggi
tingkat mortalitas larva. Mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan
dosis 20 %, yaitu mematikan 23 ekor larva. Berdasarkan hasil tersebut,
maka dosis 20 % dijadikan acuan untuk dosis uji sesungguhnya, yaitu dosis
di bawah 20 % dan di atas 20 %.
2. Uji Sesungguhnya
a. Variabel bebas: Dosis ekstrak daun mara tunggal konsentrasi 0 %, 17,5
%, 20 %, 22,5 %, dan Pestisida Sintetik.
b. Variabel terikat:
1. Mortalitas hama Spodoptera litura.
2. Jumlah larva instar III Spodoptera litura yang menjadi pupa.
3. Tingkat kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea L).
4. Berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L). 3. Variabel kontrol: metode pengekstrakan daun, media tanam, jenis sawi,
umur pembibitan sawi, umur hama Spodoptera litura. D. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini disusun menurut Rancangan Penelitian
Eksperimen yang terdiri dari empat perlakuan dosis dengan lima
(49)
tunggal sebagai bioinsektisida pada masing-masing hama uji, yaitu hama
Spodoptera litura.
Pembuatan ekstrak daun mara tunggal sebanyak 100 gr dihaluskan
lalu dilarutkan dengan 100 ml air, ditambah 1 ml alkohol 90 % lalu diperas
kemudian didiamkan selama 24 jam.
Dengan perlakuan:
M0 = perlakuan kontrol
M1 = ekstrak 17,5 % ( 17,5 ml ekstrak starter + 82,5 ml air)
M2 = ekstrak 20 % ( 20 ml ekstrak starter + 80 ml air)
M3 = ekstrak 22,5 % ( 22,5 ml ekstrak starter + 77,5 ml air)
M4 = Pestisida sintetik 0,0025 % ( 0,5 ml Pestisida sintetik Dursband +
200 ml air)
Berikut adalah layout peletakkan pot tanaman sawi pada penelitian.
Keterangan :
= Dosis Ekstrak daun mara tunggal 17,5 % = Dosis Ekstrak daun mara tunggal 20 % = Dosis Ekstrak daun mara tunggal 22,5% = Kontrol
(50)
E. Prosedur Kerja
1. Penyemaian Bibit Sawi
Bibit sawi yang akan ditanam sebelumnya direndam selama 24
jam. Bibit sawi yang digunakan adalah bibit yang tenggelam. Persemaian
bibit sawi menggunakan media berupa pasir halus dengan ketebalan 3-4
cm. Biji sawi yang telah terpilih ditaburkan di atas media. Selanjutnya
ditutupi kembali dengan media tipis-tipis sekitar 0,5 cm. Jarak penaburan
agak renggang. Dilakukan penyiraman setiap hari hingga media
terbasahi. Penyiraman dilakukan satu kali yaitu pukul 09.00 WIB.
Penyemaian dilakukan selama 14 hari.
2. Persiapan Media Tanam
Dalam penelitian ini, media tanam yang digunakan adalah media
tanam tanah dan pupuk kompos yang berasal dari pupuk kandang.
Perbandingan tanah dengan pupuk kompos adalah 2:1. Media tanah
digunakan untuk menjadikan kondisi yang memenuhi pertumbuhan
tanaman sawi. Kompos pupuk kandang memiliki kandungan unsur hara
seperti natrium, kalium, phosphor, dan juga mikroorganisme yang
mampu memecah bahan organik.
3. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Sawi
Benih yang telah disemai yang berumur 10 hari atau yang memiliki
3-4 helai daun dipilih. Tanaman sawi harus sehat, tidak terinfeksi
hama/penyakit memiliki daun yang berwarna hijau, segar. Kemudian
(51)
polybag berisi satu tanaman sawi. Sementara untuk penyiraman air
dilakukan 1 kali sehari. Penyiangan dari gulma/ hama dilakukan secara
manual.
4. Pengumpulan Hama Spodoptera litura
Larva Spodoptera litura diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang. Hama Spodoptera litura yang diperoleh adalah hama instar I yang menetas kemudian diaklimatisasi dan
dipelihara selama 5 hari agar menjadi larva instar III yang memiliki ciri
warna hijau kehitaman pada bagian abdomen, pada abdomen terdapat
garis hitam melintang. Hama tersebut diberi makan caisim segar dan
daun cabai segar dan ditutup dengan kasa.
5. Pelepasan Hama Spodoptera litura
Pelepasan hama dilakukan pada saat sawi berumur 21 HST. Setiap
tanaman sawi diinfeksikan 5 ekor hama Spodoptera litura. Penginfeksian hama dilakukan pada sore hari.
6. Pembuatan Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavate Burm F.) Daun mara tunggal segar ditimbang sebanyak 100 gram kemudian
dihaluskan/diblender dengan 100 ml air kran ditambah 1 ml alcohol 90
%. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 24 jam untuk
menghasilkan produk ekstrak, lalu disaring dengan saringan yang dilapisi
dengan kain kasa berlapis. Campuran tersebut dijadikan sebagai starter
(52)
Untuk mendapatkan ekstraksi yang menyeluruh dan mendapatkan
senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas farmakologi maka
pemilihan pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi merupakan
faktor yang penting. Pelarut ideal yang sering digunakan adalah alkohol
atau campurannya dengan air karena merupakan pelarut pengekstraksi
yang terbaik untuk hampir semua senyawa dengan berat molekul rendah
seperti saponin dan flavonoid (Wijesekera, 1991; Arifianti, 2014). Daun
mara tunggal yang sudah diblender kemudian direndam selama 24 jam.
Pada perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel,
sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut
dalam pelarut. Pelarut yang mengalir ke dalam sel dapat menyebabkan
protoplasma membengkak dan bahan kandungan sel akan larut sesuai
dengan kelarutannya. Lamanya waktu ekstraksi menyebabkan terjadinya
kontak antara sampel dan pelarut lebih intensif sehingga hasilnya juga
bertambah sampai titik jenuh larutan. Kontak antara sampel dan pelarut
dapat ditingkatkan apabila didukung dengan adanya pengocokan agar
kontak antara sampel dan pelarut semakin sering terjadi, sehingga proses
ekstraksi lebih sempurna (Kristiani, 2014).
Perhitungan pembuatan dosis ekstrak insektisida nabati
menggunakan rumus: �
� = �
� keterangan: V1 = Volume ekstrak daun mara tunggal konsentrasi 100 %
(53)
V2 = Volume air
M1= Konsentrasi ekstrak daun mara
tunggal yang akan dibuat
M2 = Konsentrasi ekstrak daun mara tunggal 100 %
Pembuatan ekstrak 20 %, maka: �
� = � � VI = 100 20 % 100 % V1 = 100 x 20 %
100 % V1 = 20 ml
Pembuatan dosis ekstrak daun mara tunggal konsentrasi 20 % adalah
campuran 20 ml ekstrak + 80 ml air.
Pembuatan variasi konsentrasi ekstrak Ekstrak daun mara tunggal
(Clausena excavata Burm F.) dengan tiga dosis yaitu:
a. Ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) 17,5 % (17,5 ml ekstrak starter daun mara tunggal dicampur dengan 87,5 ml
air).
b. Ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) 20 % (20 ml ekstrak starter daun mara tunggal dicampur dengan 80 ml air).
c. Ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) 22,5 % (22,5 ml ekstrak starter daun mara tunggal dicampur dengan 77,5 ml
(54)
7. Aplikasi perlakuan
Aplikasi dilakukan setelah satu hari hama diinfeksikan. Aplikasi
penyemprotan menggunakan handsprayer dengan volume 40 ml setiap tanaman dan waktu penyemrotan dilakukan pada sore hari pukul 15.00 – 17.00 WIB. Penyemprotan diaplikasikan pada daun, batang, tanah dan
dilakukan pada waktu sore hari karena larva Spodoptera litura aktif makan pada saat malam hari. Penyemprotan dilakukan setiap 2 hari
sekali. Selain itu, peneliti menggunakan insekisida kima untuk
mengetahui perbandingan dengan insektisida nabati dengan dosis sesuai
anjuran pakai yakni 0,0025 %.
8. Pengamatan
a. Persentase Mortalitas Larva Spodoptera litura
Larva yang mati adalah larva yang tidak bergerak lagi.
Pengamatan dilakukan 1 hari setelah penyemprotan. Penyemprotan
dilakukan sebanyak 2 hari sekali.
Persentase mortalitas dihitung dengan rumus:
M = a x 100 N
Keterangan: M = Prosentase Mortalitas a = Jumlah hama yang mati
N = Jumlah hama yang diinfeksikan b. Persentase Larva instar III Spodoptera litura yang Menjadi Pupa
Persentase larva yang menjadi pupa dihitung dengan menggunakan rumus:
(55)
Keterangan: P = Presentase Pupa
p = Jumlah larva Instar III yang menjadi pupa N = Jumlah hama yang diinfeksikan.
F. Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis Homogenitas dan Normalitas lalu
dilanjutkan Uji One Way Anova (Analysis of Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila hasil uji ANOVA menunjukkan hasil signifikan
atau beda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf 5 % untuk mengetahui perbedaan antar masing-masing perlakuan (Suhandoyo, 2010:6).
(56)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap Mortalitas Hama Spodoptera litura
Berdasarkan penelitian, dilakukan pengamatan mortalitas hama Larva
Instar III Spodoptera litura pengamatan dilakukan tiga hari setelah infeksi hama, yakni satu hari setelah penyemprotan dengan ekstrak daun mara tunggal
yang pertama. Pengamatan ke dua dilakukan pada satu hari setelah
penyemprotan ke dua. Berikut adalah data mortalitas larva yang dihasilkan
selama perlakuan.
1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura
Data pengamatan mortalitas larva selama perlakuan dengan dua kali
pengamatan beserta persentase mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura Jumlah hama
diinfeksikan
Dosis Pengamatan ke- Sub Total Mortalitas Jumlah Total Mortalitas Persentase Mortalitas (%)
25 0 % 1 0 0 0
2 0
25 17,5 % 1 2 14 56
2 12
25 20 % 1 4 21 84
2 17
25 22,5 % 1 5 25 100
2 20
25 Pestisida Sintetik
1 25 25 100
2 0
Keterangan :
Penyemprotan : Penyemprotan 1 : Rabu, 08 Februari 2017 Penyemprotan 2 : Jum’at, 10 Februari 2017 Pengamatan : Pengamatan Ke-1 : Kamis, 09 Februari 2017 Pengamatan ke-2 : Sabtu, 11 Februari 2017
(57)
Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis
bioinsektisida yang diberikan memberikan efek jumlah mortalitas yang semakin
tinggi juga. Hal tersebut berkaitan dengan konsentrasi bahan aktif yang terdapat
dalam ekstrak daun mara tunggal. Dosis optimal pemberian insektisida nabati
adalah 20 % dan 22,5 %. Mortalitas terbanyak terjadi setelah penyemprotan
kedua atau pengamatan hari ke 4 setelah infeksi. Penelitian uji ekstrak daun
mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) menunjukkan adanya perbedaan jumlah mortalitas larva instar III Spodoptera lituratera litura yang diinfeksikan pada tanaman sawi.
Dilihat dari Tabel 2, konsentrasi 20 % mampu mematikan larva
Spodoptera litura sebanyak 84 % dan konsentrasi 22,5 % dapat mematikan larva sebanyak 100 %. Menurut Mumford dan Norton (1981; Permana, dkk.
2016:5), suatu insektisida dikatakan efektif apabila mampu mematikan minimal
80 % serangga uji. Berikut adalah diagram grafik mortalitas larva setelah
perlakuan.
Gambar 5. Grafik Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura
0 2 4 5
0
12 17
20
0 20 40
0% 17.50% 20% 22.50%
Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura
(58)
Dari Gambar 5, terlihat bahwa larva banyak mati pada pengamatan ke
2, yakni setelah dilakukan dua kali penyemprotan. Pemberian ekstrak daun
mara tunggal sebagai bioinsektisida memberikan efek insektidal pada hama.
Larva cukup lama untuk bisa mati dengan teknik penyemprotan, hal tersebut
diduga efek racun dalam tubuh serangga bekerja secara lamban karena dosisnya
yang cukup rendah. Berdasarkan pengamatan, larva kebanyakan mati pada hari
ke empat setelah infeksi, sesuai dengan pernyataan Sinaga ( 2009:15), bahwa
insektisida nabati cepat terurai dan kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya
harus lebih sering. Sesuai dengan hal tersebut, serangga dapat mati setelah
disemprot sebanyak 2 kali, sedangkan menggunakan Pestisida Sintetik,
serangga langsung mati dalam kurun waktu 2 jam setelah penyemprotan. Setiap
tanaman mengandung zat metabolit sekunder dengan konsentrasi berbeda-beda,
bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka jumlah zat metabolit sekunder yang
mengenai kulit semakin banyak, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan
menyebabkan kematian serangga lebih banyak. Tanaman yang berinteraksi
dengan serangga menyebabkan adanya usaha mempertahankan diri sehingga
tanaman mampu memproduksi metabolit sekunder untuk melawan serangga
hama. Dengan adanya zat bioaktif yang dikandung oleh tanaman yang dibuat
bioinsektisida akan menyebabkan aktivitas larva terhambat, sesuai pengamatan
ditandai dengan gerakan larva lamban, tidak memberikan respon gerak, nafsu
(59)
2. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura Berdasarkan data pengamatan mortalitas larva Instar III Spodoptera litura, dilakukan analisis statistik untuk mengetahui rata-rata mortalitas dan signifikansi dari bioinsektisida dari ekstrak daun mara tunggal terhadap
mortalitas larva instar III Spodotera litura.
Tabel 3. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura
Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal Rata-rata persentase Mortalitas ±SD
0 % 0,00 ± 0,00a
17,5 % 2,80 ± 0,83b
20 % 4,20 ± 0,83c
22,5 % 5,00 ± 0,00d
Rata-rata 3,00 ± 2,02
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan persentase mortalitas sama.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata mortalitas larva Spodoptera litura adalah 3 dengan standar deviasi 2,02 . Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan mortalitas larva Spodoptera litura yang berbanding lurus dengan kenaikan dosis ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dosis ekstrak daun mara tunggal 22,5
% menyebabkan mortalitas hama Spodoptera litura tertinggi.
Masing- masing rerata mortalitas memiliki huruf yang berbeda, artinya
berbeda signifikan rerata antar perlakuan dosis. Semakin tinggi dosis yang
diberikan maka akan semakin kuat daya insektidal dari ekstrak daun tersebut.
Menurut pengamatan, kematian larva memiliki ciri bentuk tubuh yang
menyusut, tidak sebesar saat larva masih hidup. Senyawa kimia yang memiliki
aktivitas insektidal dalam daun mara tunggal yang memberikan efek tersebut
(60)
kumarin dan limonoid. Senyawa aktif tersebut masuk ke dalam tubuh larva
diduga melalui 3 cara yaitu melalui saluran pernapasan, kontak fisik antara
tubuh dengan senyawa toksisk dan saluran pencernaan (Permana, 2016),
dimana larva memakan daun yang terkena paparan ekstrak daun mara tunggal.
Berikut adalah dokumentasi mortalitas larva Spodoptera litura selama perlakuan, yang terlihat keriput, ukuran tubuh menyusut dan berwarna pucat.
Gambar 6. Kematian Larva Spodoptera litura Selama Perlakuan. Sumber : Dokumentasi Pribadi
3. Hasil Analisis Statistik Homogenitas dan Uji Normalitas Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura
Berdasarkan hasil penelitian, data dilakukan analisis menggunakan uji
homogenitas untuk mengetahui apakah data homogen. Berikut adalah hasil
analisis uji homogenitas.
Tabel 4 . Hasil Uji Homogenitas Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura Test of Homogeneity of Variance
Sig. Mortalitas Based on Mean .180
Based on Median .450 Based on Median
and with adjusted df
.468
(61)
Hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa nilai signifikan lebih dari 0,05
(p- value=0,05), maka data dapat dikatakan homogen karena hasil tidak
signifikan. Ternyata pengujian dengan statistik Based on Mean diperoleh
signifikansi 0,180, nilai tersebut melebihi 0,05. Dengan demikian data penelitian di atas homogen.
Selanjutnya dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Berikut adalah hasil analisis uji normalitas.
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Mortalitas Larva Instar III Spodoptera litura
Tests of Normality
Mortalitas
Kode Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Sig. Sig.
1 .200* .314
2 .200* .492
3 .200* .314
Berdasarkan hasil analisis Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai signifikansi lebih besar dari taraf kesalahan 0,05 artinya data tersebut dinyatakan berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Dari kedua hasil uji analisis tersebut, diketahui bahwa data mortalitas larva
instar III Spodoptera litura berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan
populasi yang memiliki variansi yang sama, maka data memenuhi syarat untuk dilanjutkan uji Anova satu arah.
4. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura
Berdasarkan data mortalitas larva Spodoptera litura selama pengamatan, dilakukan analisis dengan menggunakan uji homogenitas untuk mengetahui
(62)
hasil yang tidak signifikan, artinya data homogen. Data mortalitas juga dianalisis
dengan uji normalitas untuk mengetahui apakah persebaran data normal, hasil
analisis menunjukkan tidak signifikan p> 0,05. Data tersebut terdistribusi normal,
maka dilanjut dengan uji statistik One Way Anova.
Uji statistik One Way Anova untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan ekstrak daun mara tunggal terhadap mortalitas larva. Hasil analisis
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura
F Sig.
Perlakuan antar kelompok 68.952 .000
Hasil Anova satu arah menunjukkan bahwa ρ- value sebesar 0,000 (α < 0,05) sehingga Ho ditolak. Nilai signifikansi yang lebih kecil dibandingkan
dengan taraf nilai kesalahan 0,05 artinya terdapat pengaruh perbedaan
perlakuan terhadap mortalitas larva Spodoptera litura. Pada pengamatan langsung peneliti, larva mati ditandai dengan ukuran tubuh yang menyusut dan
juga warna agak pucat. Diduga larva mengalami kegagalan mengenali
makanannya sehingga kelaparan, selain itu dengan polybag dan penutup kain
tile yang rapat, larva tidak bisa keluar untuk mencari makanan lain sehingga
larva kelaparan dan mati.
Hal di atas sejalan dengan pernyataan Dadang (2008:28),
senyawa-senyawa yang mengandung limonoid dalam tanaman mara tunggal banyak
(63)
kematian serangga. Masuknya bahan aktif flavonoid dalam tubuh serangga akan
mengganggu organ pencernaannya. Seperti penelitian Sinaga (2009), yang
menyatakan bahwa kandungan metabolit sekunder dalam tanaman seperti
glikosida flavonoid bersifat racun perut (stomach poisoning), yang bekerja apabila senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga maka akan mengganggu
organ pencernaannya. Selain meracuni perut, senyawa golongan flavonoid juga
dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin.
5. Uji DMRT Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura
Data mortalitas larva Spodoptera litura yang diperoleh dan dianalisis dengan uji Anova menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,00. Kemudian
dilakukan uji lanjut, yakni uji DMRT untuk mengetahui pengaruh antar dosis
yang diberikan terhadap mortalitas larva.
Hasil uji jarak berganda DMRT menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan pengaruh dosis ekstrak daun mara tunggal pada masing-masing
dosis yaitu 0 %, 17,5 %, 20 % dan 22,5 %. Berdasarkan hasil uji tersebut,
diketahui bahwa masing-masing dosis memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap mortalitas larva. Semakin tinggi dosis yang diaplikasikan, rerata
mortalitas juga semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
dosis 0 %, 17,5 %, 20 % dan 22,5 % memberikan pengaruh nyata terhadap
mortalitas larva instar III Spodoptera litura. Artinya perbedaaan dosis ekstrak daun mara tunggal antar perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata
(64)
tersebut terlihat pada masing-masing ulangan yang menunjukkan bahwa
semakin tinggi dosis yang diberikan, maka mortalitas larva juga semakin tinggi.
Pada pengamatan, larva mengalami mortalitas setelah dua kali
penyemprotan bioinsektisida. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Lu (1994;
Permana, 2016:6), yang menyatakan bahwa, senyawa yang bersifat racun yang
masuk ke tubuh akan mengalami biotransformasi. Proses metabolisme tersebut
membutuhkan energi, semakin banyak senyawa racun yang masuk ke tubuh
serangga menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk proses netralisir semakin
besar. Banyaknya energi yang digunakan untuk menetralisir senyawa racun
tersebut menyebabkan penghambatan terhadap metabolisme yang lain sehingga
serangga akan kekurangan energi dan akhirnya mati. Selain itu, senyawa
saponin dapat bersifat sebagai insektisida, yaitu dengan merubah perilaku
makan serangga dengan cara menghambat uptake makanan pada saluran pencernaan. Saponin juga dapat menghambat pertumbuhan stadium larva
dengan menganggu tahap moulting larva (Chaieb, 2010; Permana,2016:6).
6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) dan Pestisida Sintetik terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura
Berdasarkan penelitian, peneliti menggunakan pestisida sintetik dengan 5
kali pengulangan untuk membandingkan efek paparan terhadap mortalitas larva
Spodoptera litura. Dari data pengamatan dilakukan analisis dengan uji Anova untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh dari kedua insektisida
(65)
Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) dan Pestisida Sintetik terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura
F Sig.
Perlakuan antar kelompok 78.929 .000
Berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar
0,000. Nilai signifikansi ini lebih kecil bila dibandingkan dengan taraf nilai
kesalahan (p-value) sebesar 0,05 (α < 0,05). Artinya terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan penyemprotan ekstrak daun mara tunggal dan Pestisida
Sintetik terhadap mortalitas larva instar III Spodoptera litura.
Menurut pengamatan peneliti, larva Spodoptera litura mengalami kematian selang waktu 2 jam setelah aplikasi insektisida kimia. Kematian larva
adalah 100 % dari semua ulangan. Kerja insektisida kimia sangat cepat untuk
membunuh larva. Senyawa kimia tersebut masuk ke dalam tubuh larva diduga
melalui 3 cara yaitu melalui saluran pernapasan, kontak fisik antara tubuh
dengan senyawa toksik dan saluran pencernaan (Permana, 2016). Cara kerja
insektisida kimia terbagi dalam 5 kelompok yaitu: mempengaruhi sistem saraf,
menghambat produksi energi, mempengaruhi sistem endokrin, menghambat
produksi kutikula dan menghambat keseimbangan air. Insektisida masuk ke
dalam tubuh serangga, dapat melalui kutikula (racun kontak), alat pencernaan
(racun perut), atau lubang pernafasan (racun pernafasan). Meskipun demikian
suatu insektisida dapat mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam tubuh
(66)
7. Uji DMRT Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Mara Tunggal ( Clausena excavata Burm F.) dan Pestisida Sintetik terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura
Berdasarkan hasil analisis uji Anova yang menunjukkan nilai signifikansi
0,00. Dilakukan uji lanjut DMRT untuk mengetahui ada tidaknya beda nyata
antar dosis perlakuan dan dengan perlakuan pestisida sintetik.
Hasil uji jarak berganda DMRT menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan pengaruh dosis ekstrak daun mara tunggal pada masing-masing
dosis yaitu 0 %, 17,5 %, 20 % dan 22,5 % terhadap mortalitas larva Spodoptera litura. Namun terjadi perbedaan yang tidak signifikan antara dosis 22,5 % dengan perlakuan pestisida sintetik, karena memiliki nilai rata-rata mortalitas
larva yang sama dan terletak pada kolom subset yang sama.
Berdasarkan data analisis tersebut, dosis ekstrak daun mara tunggal 22,5
% mampu mematikan semua serangga uji, begitu pula pestisida sintetik yang
mampu mematikan semua serangga uji. Dengan kandungan yang dimiliki
ekstrak daun mara tunggal, berpotensi efektif untuk dijadikan bioinsektisida,
karena dalam ekstrak daun mara tunggal terdapat tannin, yaitu senyawa
polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein. Hal
tersebut sejalan dengan pernyataan Ridwan (2010; Permana, 2016;6), yang
menyatakan bahwa tannin tidak dapat dicerna lambung dan mempunyai daya
ikat dengan protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Menurut Yunita dkk (2009) tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena
tannin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan
(1)
aktif memakan daun sawi. Setelah penyemprotan pertama, ada beberapa larva Spodoptera litura yang mati, akibatnya sawi yang termakan berkurang.
E. Keterbatasan Penelitian
Peneliti mengalami kesulitan kekurangan jumlah larva Spodoptera litura karena larva yang menetas di Balittas (Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) Malang, hanya cukup digunakan untuk 5 hama setiap tanaman. Jadi peneliti menggunakan jumlah minimal dalam melakukan penelitian.
(2)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) berpotensi sebagai bioinsektisida. Ekstrak daun mara tunggal efektif pada dosis 22,5 % dan berpengaruh signifikan terhadap mortalitas larva instar III Spodoptera litura karena kandungan saponin, flavonoid, tannin, limonoid dan alkaloid yang merupakan racun perut, racun syaraf dan racun kontak serangga.
2. Peningkatan dosis ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) berbanding lurus dengan mortalitas larva instar III Spodoptera litura. 3. Kenaikan dosis ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F)
berbanding terbalik dengan pembentukan jumlah pupa Spodoptera litura. Terjadi pemendekan umur larva menjadi pupa selama ± 3 hari lebih pendek dibanding umur larva Spodoptera litura pada umumnya. 4. Ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) berpengaruh
terhadap tingkat kerusakan sawi, namun tidak berpengaruh terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea).
(3)
B. Saran
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai efektivitas ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) sebagai bioinsektisida yang aman untuk mengendalikan hama Spodoptera litura dengan bahan aktif yang dimilikinya. Untuk penelitian selanjutnya, akan lebih baik jika aplikasi penyemprotan bioinsektisida dilakukan sebelum (preventif) dilakukan infeksi hama untuk menghindari kerusakan parah pada tanaman inang.
2. Bagi masyarakat
a. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan petani tentang penggunaan bioinsektisida yang ramah lingkungan dan efektif dengan cara yang mudah dan dosis yang optimal.
b. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegunaan lain daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) yang dapat dimanfatkan dengan baik, untuk mengurangi penggunaan insektisida kimia yang memiliki efek negative lebih banyak.
c. Penggunaan bioinsektisida ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) yang ramah lingkungan, degradasi yang cepat oleh sinar matahari, dan dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah kebal pada pestisida sintetik.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Adam Arbab, Ismail. (2011). Clausena Excavata Burm.F.(Rutaceae): Areview Of Its Traditional Uses, Pharmacological And Phytocemical Properties. Journal Of Medicine Plants Research Vol. 5(33), Pp, 7177-7184. Universiti Putra Malaysia
Arifianti, Lusiana dkk. (2014). Pengaruh Jenis Pelarut Pengekstraksi Terhadap Kadar Sinestesin Dalam Ekstrak Daun Orthosiphon stamineus Benth. E-Journal Planta Husada Vol.2 No.1 April 2014. Arnason, J.T., S. et al. (1993). Insecticides In Tropical Plants With
Non-Neurotoxic Modes Of Action. P. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (Eds.), Phytochemical Potential Of Tropical Plants. New York: Plenum Press.
Anonim. (2012). Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam Pengendalian Vektor. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Asmaliyah dkk. (2010). Pengenalah Tumbuhan Penghasil Bioinsektisida Dan
Pemanfaatannya Secara Tradisional. Kementrian Kehutanan RI Borror, D.J, C.A. Triplehorn And N.F. Johnson. (1993). Pengenalan
Pelajaran Serangga (Terjemahan). Edisi Ke VI. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. 1083 Hal.
Dadang. (1999). Sumber Insektisida Alami. H. 8–20. Dalam B.W. Nugroho, Dadang, D. Prijono (Editor). Bahan Pelatihan Pengembangan Dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dadang Dan R.S. Dewi. (2008). Penghambatan Makan Dan Mortalitas Campuran Ekstrak Tumbuhan Terhadap Larva Plutella Xylostella L. H. 253–261. Dalam Effendi, B.S (Ed). Prosiding Simposium Revitalisasi Penerapan PHT Dalam Praktek Pertanian Yang Baik Menuju Sistem Pertanian Yang Berkelan-Jutan, Sukamandi, 10–11 April 2007. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Suban. Dadang Dan Kanju Ohsawa. (2000). Penghambatan Aktivitas Makan Larva
Plutella Xylostella (L). ( Lepidoptera : Yponomeutidae) Yang Diperlakukan Ekstrak Biji Swietenia Mahogani Jacq. (Meliaceae). Buletin Hama Dan Penyakit Tumbuhan 12(I):27-32(2000. Bogor : IPB Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran Dan Biofarma. (2008). SOP Budidaya
(5)
Direktorat Pengembangan Usaha Deptan. (2002). Pedoman Kemitraan Usaha Agribisnis. Departeman Pertanian, Jakarta.
Djojosumarto. (2000). Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta : Kanisius
Hafsah, Mohammad Jafar. (1999). Kemitraan Usaha: Konsepsi Dan Strategi. Departemen Pertanian, Jakarta
Hamid, A., Y. Nuryani. (1992). Kumpulan Abstrak Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani, Bogor. P.1. Dalam S. Riyadi, A. Kuncoro, Dan A.D.P. Utami. Tumbuhan Beracun. Malang: Balittas.
Haryanto, E. Dan T. Suhartini. (20020. Sawi Dan Selada. Penebar Swadaya, Jakarta
Harcourt, D.G. (1957). Biology Of The Diamondback, Plutella Maculipennis (Curt.) In Eastern Ontario. II. Life History, Behavior And Host Relationships. Canadian Entomol. 89: 554-564.
Kalshoven, L. G. A. (1981). The Pests Of Crops In Indonesia. Revised And Translated By P. A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 701 H.
Kristiani, Vincentia dan Filia Irawati Halim. (2014). Pengaruh Konsentrasi Etanol dan Waktu Maserasi Terhadap Perolehan Fenolik, Flavonoid, dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rambut Jagung. Skripsi.Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Laoh JH dkk, (2003). Kerentanan Larva Spodoptera litura L. terhadap Virus Nuklear Polyhedrosis. Diakses secara online dari http://www.unri.ac. id /jurnal/jurnal_natur/vol5 (2)/Henni .pdf.
Lim Gin Keat. (2005). Chemical Constituents And Biological Activity Of Clausena Excavata. UPM
Muhaimin, (2014). Derivatif Limonoid Dari Clausena Excavata Sebagai Biofungisida Terhadap Cendawan Patogen Tanaman. J. Ind. Soc. Integ. Chem., 2014, Volume 6, Nomor 1
Muhaimin Dan Harizon, (2003). Penelusuran Senyawa Bioaktif Dari Beberapa Tumbuhan Clausena Sp., Laporan Penelitian . Universitas Jambi, Jambi.
Permana, Rangga Eka Sapta, Moerfiah dkk. (2016). Pemanfaatan Ekstrak Daun Karuk (Piper sarmentosum) Sebagai Insektisida Nabati Hama
(6)
Sastrosiswoyo, S. (1987). Perpaduan Pengendalian Secara Hayati Dan Kimiawi Hama Ulat Daun Kubis (Plutella Xylostella Linn. Lepidoptera: Yponomeutidae) Pada Tanaman Kubis. Disertasi. Universitas Pajajaran. Bandung. 387 H
Sastrosiswojo, Sudarwohadi Dkk. (2005). Penerapan Teknologi PHT Pada Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung
Sastrosiswojo, S. (1987). Perpaduan Pengendalian Secara Hayati Dan Kimiawi Hama Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L; Lepidoptera : Yponomeutidae) Pada Tanaman Kubis. Disertasi : Fakultas Pascasarjana UNPAD, Bandung. 388 H.
Setiani, Asih. (2012). Potensi Sl-Nvp (Spodoptera litura-Nuclear Polyhedrosis Virus) Dalam Mengendalikan Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Tanaman Kedelai. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Sinaga, Riswanto. (2009). Uji Efektivitas Bioinsektisida Terhadap Hama Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau ( Nicotiana Tabaccum L.). Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Sudarwohadi S. (1975). Pengaruh Waktu Tanam Kubis Dan Dinamika Populasi Plutella Maculipennis Curt. Dan Crocidolomia Binotalis Zell. Bul. Penel. Hort. 3(4) : 3-14.
Utami, Sri, Lailan Syaufina. Dkk. (2010). Daya Racun Ekstrak Kasar Daun Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) erhadap Larva Spodoptera litura. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Agustus 2010, hlm.96-100.Vol 15 No. 2