Ranwal RPJMD Kab. Bandung Barat 2018-2023

1 BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), menyatakan bahwa dokumen perencanaan pembangunan daerah terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun sedangkan RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun merupakan bagian yang terintegrasi dengan RPJPD, yang mengindikasikan bahwa penyusunan RPJMD hendaknya selaras dan berkelanjutan untuk mencapai visi dan misi RPJPD. Perencanaan pembangunan daerah tersebut merupakan proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata cara Evaluasi RPJPD dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD dan RKPD, menyatakan bahwa, tahapan penyusunan RPJMD daerah dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan teknokratis, politis, partisipatif serta top down dan bottom up yang bertujuan untuk pemantapan landasan pembangunan secara menyeluruh dengan penekanan kepada peningkatan daya saing produk dan hubungan regional terutama dengan provinsi tetangga, dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata cara Evaluasi RPJPD dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD dan RKPD, menyatakan bahwa, tahapan penyusunan RPJMD daerah dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan teknokratis, politis, partisipatif serta top down dan bottom up yang bertujuan untuk pemantapan landasan pembangunan secara menyeluruh dengan penekanan kepada peningkatan daya saing produk dan hubungan regional terutama dengan provinsi tetangga, dengan

Dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2018-2023, maka diawali dengan evaluasi RPJMD 2013-2018 yang sudah dilakukan serta penyusunan studi pendahuluan (Background Study) RPJMD 2018-2023 untuk mengumpulkan data dan informasi kondisi saat ini serta review terhadap hasil evaluasi pelaksanaan RPJMD sebelumnya. Hasil studi pendahuluan (Background Study) RPJMD 2018- 2023 menghasilkan bahan untuk menyusun rancangan teknokratik RPJMD yang memuat (Pasal 44 Permendagri 86/2017); pendahuluan; gambaran umum kondisi daerah; gambaran keuangan daerah; dan, permasalahanan dan isu strategis daerah. Rancangan teknokratik dibahas tim penyusun bersama dengan Perangkat Daerah untuk memperoleh masukan dan saran sesuai dengan tugas dan fungsi Perangkat Daerah untuk kemudian disempurnakan berdasarkan berita acara kesepakatan dan ditandatangani oleh Kepala Bappeda (atau untuk Kabupaten Bandung Barat adalah Bappelitbangda) dan Kepala Perangkat Daerah. Rancangan Teknokratik RPJMD kemudian menjadi bahan penyusunan Rancangan Awal RPJMD, setelah Bupati terpilih dilantik dan bertugas secara efektif.

Rancangan Awal RPJMD tersebut akan memuat :

1. pendahuluan;

2. gambaran umum kondisi Daerah;

3. gambaran keuangan Daerah;

4. permasalahan dan isu strategis Daerah;

5. visi, misi, tujuan dan sasaran;

6. strategi, arah kebijakan dan program pembangunan Daerah;

7. kerangka pendanaan pembangunan dan program Perangkat Daerah;

8. kinerja penyelenggaraan pemerintahan Daerah; dan

9. penutup Selain memuat isu-isu strategis, potensi serta evaluasi kinerja pembangunan

sebelumnya, Rancangan Awal RPJMD sudah harus menjabarkan visi dan misi Bupati terpilih. Berdasarkan pasal 261 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014, Visi dan Misi Bupati terpilih harus diterjemahkan ke dalam perencanaan pembangunan jangka menengah daerah.

1.1.1 Tentang Pembangunan Berkelanjutan Tidak ada negara yang menolak ketika dalam Konferensi PBB tentang

Lingkungan dan Pembangunan (UN Conference on Environment and Developmen) tahun 1992 si Rio de Janeiro, WCED (World Commission on Environment and Development) mencanangkan konsep dan program dunia pembangunan-pembangunan yang bekelanjutan yang kemudian disebut Agenda

21 adalah pembangunan. Konsep ini mengartikan pembangunan berkelanjutan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus menghalangi generasi akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini juga mengandung pengertian tentang bagaimana mempertemukan kebutuhan yang terus berubah, secara kuantitatif dan kualitatif, yang ditentukan juga oleh tingkat perkembangan teknologi fan kemampuan organisasi sosial untuk mengelola kemampuan lingkungan. Program PBB tentang pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam Agenda 21 tidak terwujud meski kemudian disederhanakan dan lebih difokuskan pada masalah air, kesehatan, pertanian dan keragaman hayati (WHAB program) menjadi deklarasi dan rencana implementasi Johannesburg. Deklarasi dan rencana tersebut disepakati melalui the World Summit on Sustainable Development (WSSD) 2002. Sementera itu menjelang berakhirnya abad 21, kepala negara anggota PBB tahun 2000 mencetuskan Deklarasi Millenium yang kemudian dimalihkan menjadi Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals atau MDG) untuk mencapai kondisi dunia tahun 2015. MDG inilah yang kemudian dilanjutkan dengan SDG (Tujuan Pembangunan Pembanguna) untuk mencapai kondisi 2030. Berbeda dengan Agenda 21 dan WHAB, SDG atau TPB menekankan pada pencapaian pada sasaran, sedang cara, sumberdaya dan sarana untuk mencapainya diserahkan pada masing-masing negara atau organisasi yang berkomitmen untuk mewujudkannya. SDG merupakan kesepakatan internasional untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan di seluruh tempat.

2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan.

3. Menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia.

4. Memastikan pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang.

5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan.

6. Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua.

7. Memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan modern untuk semua.

8. Mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan yang layak untuk semua.

9. Membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan, dan mendorong inovasi.

10. Mengurangi kesenjangan di dalam dan di antara negara-negara.

11. Menjadikan perkotaan yang inklusif, aman, berketahanan, dan berkelanjutan.

12. Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.

13. Mengambil langkah penting untuk mitigasi perubahan iklim dan mengatasi dampaknya.

14. Perlindungan dan penggunaan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara berkelanjutan.

15. Mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan perubahan lahan menjadi gurun, menghentikan dan merehabilitasi kerusakan lahan, menghentikan kepunahan keanekaragaman hayati.

16. Mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh – Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif.

17. Menghidupkan dan memelihara kemitraan global demi pembangunan berkelanjutan.

Ketujuh belas tujuan tersebut pada dasarnya dapat digolongkan pada empat permasalahan, yaitu permasalahan : (1) sosial, (2) ekonomi, (3) lingkungan dan (4) tata kelola. Selanjutnya berbagai organisasi tingkat internasional dan nasional yang yang dianggap mempunyai wewenang dan kompetensi untuk mewujudkan tujuan tersebut disibukkan dengan indikator dan cara memonitor upaya pencapaian tujuan tersebut. Di Indonesia upaya mewujudkan TPB ini dituangkan dalam Perpres No.59/3017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Bagaimana merespon dan menyesuaikan arahan Ketujuh belas tujuan tersebut pada dasarnya dapat digolongkan pada empat permasalahan, yaitu permasalahan : (1) sosial, (2) ekonomi, (3) lingkungan dan (4) tata kelola. Selanjutnya berbagai organisasi tingkat internasional dan nasional yang yang dianggap mempunyai wewenang dan kompetensi untuk mewujudkan tujuan tersebut disibukkan dengan indikator dan cara memonitor upaya pencapaian tujuan tersebut. Di Indonesia upaya mewujudkan TPB ini dituangkan dalam Perpres No.59/3017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Bagaimana merespon dan menyesuaikan arahan

1.1.2 Tentang Daya Dukung Lingkungan Prinsip yang diberikan berbagai panduan nasional adalah bahwa KLHS

ditujukan untuk melindungi dan mengelola daya dukung dan daya tampung lingkungan. Secara umum disepakati bahwa daya dukung adalah: jumlah populasi maksimum suatu spesies tertentu yang dapat didukung oleh suatu habitat (yang berubah dan menjadi tidak pasti dalam perjalanan waktu) tanpa merusak produktivitas dan produksi habitat tersebut . Walaupun demikian definisi tersebut tidak cocok untuk diterapkan pada kehidupan manusia. Karena manusia mempunyai kemampua untuk meniadakan kompetisi dalam penggunaan dukungan dan mempunyai kemampuan mengupayakan ketersediaan barang dan jasa yang langka. Perdagangan dan teknologi adalah yang membuat jejaring kehidupan manusia begitu luas menjadi alasan utama untuk menolak penerapan konsep daya dukung bagi perikehidupan manusia.

Peraturan Menteri LH No.17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Dalam Penataan Ruang Wilayah,tampaknya disiapkan dalam kaitannya dengan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Peraturan Menteri tersebut, daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).

Dengan fokus lahan dan air, pedoman ini menawarkan cara penentuan daya dukung didasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu : (1) Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang. (2) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan (mand land ratio). (3) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Alur pikir pedoman ini mulai dengan telaah permintaan (kebutuhan) yang diperkirakan berdasarkan kriteria/standar kualitas dan kuantitas kebutuhan dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas pasokan atau ketersediaan. Melalui proses membandingkan permintaan dan ketersediaan inilah kemudian diindikasikan daya dukung telah atau belum terlampaui. Pedoman ini memuat standar dan kriteria untuk peruntukan kawasan (kebutuhan lahan dan air) untuk kawasan sebagai berikut: (1) hutan produksi; (2) hutan Dengan fokus lahan dan air, pedoman ini menawarkan cara penentuan daya dukung didasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu : (1) Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang. (2) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan (mand land ratio). (3) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Alur pikir pedoman ini mulai dengan telaah permintaan (kebutuhan) yang diperkirakan berdasarkan kriteria/standar kualitas dan kuantitas kebutuhan dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas pasokan atau ketersediaan. Melalui proses membandingkan permintaan dan ketersediaan inilah kemudian diindikasikan daya dukung telah atau belum terlampaui. Pedoman ini memuat standar dan kriteria untuk peruntukan kawasan (kebutuhan lahan dan air) untuk kawasan sebagai berikut: (1) hutan produksi; (2) hutan

Sejauh dapat dimengerti, pedoman tersebut sesungguhnya suatu standar dan kriteria perencanaan yang sifatnya indikatif dan tidak mutlak. Dalam pedoman tersebut kemampuan teknologi untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung belum diperhitungkan. Juga kemampuan manusia dan kegiatannya untuk beradaptasi terhadap suatu situasi belum menjadi perhatian.

Selain itu daya dukung keseluruhan wilayah bukan penjumlahan daya dukung masing-masing kawasan seperti yang dikonsepkan dalam pedoman tersebut. Bahkan daya dukung itu meningkat menjadi lebih besar apa bila keseluruhan kawasan digabung menjadi satu kesatuan. Karena surplus untuk satu faktor pembatas di suatu kawasan dapat dimanfaatkan oleh kawasan yang mengalami defisit dalam pembatas tersebut.

KLHS RPJMD Bandung Barat akan tetap mengacu pada prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan dan prinsip daya dukung lingkungan, tetapi tidak dapat sepenuhnya mengikuti rincian panduan karena keterbatasan informasi. Dalam kaitannya dengan TPB, sementara ini KLHS hanya bisa menggunakan informasi yang disediakan badan statistik sampai tingkat kecamatan. Sedang daya dukung dan daya tampung lingkungan akan dicoba ditandai dengan pengenalan

untuk mengindiksikan permasalahannya. Sedang angka kuantitatif dan absolut daya dukung agaknya tidak mungkin ditemukan.

1.1.3 Tujuan Pembangunan Pada Tingkat Kecamatan Wilayah Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 16 Kecamatan. Data masing-

masing Kecamatan tercatat dalam Kabupaten Bandung Barat dalam Angka dan secara lebih dalam buku Kecamatan dalam Angka. Dalam buku ini dimuat data kependudukan dan kondisi sosial, ekonomi dan perdagangan, pertanian dan pertambangan dan sebagainya. Oleh karena pemilahan, analisis dan pemilahan data untuk masing-masing wilayah Kecamatan adalah suatu proksi yang bisa dilakukan untuk tiap Kecamatan.

Selain itu, Google Earth atau Citra Resolusi Tinggi juga bisa mengindikasikan tipe ekosistem utama masing-masing Kecamatan. Dari kerapatan dan susunan bangunan dan vegetasi yang dapat dikenali, gambar tersebut dapat diindikasikan tipe ekosistemnya. Kehadiran ekosistem kekotaan, pertanian, kehutanan, Selanjutnya dengan didukung oleh aneka peta tematik dan data numerik dari kabupaten dan kecamatan dalam angka, dikaji jasa ekosistem dan tantangan yang dihadapi dimasing-masing Kecamatan. Wilayah Kecamatan dipilih sebagai pemadu dan pengikat analisis jasa ekosistem dan perkembangan berkelanjutan. Kajian inilah yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang memadukan tipe ekosistem dengan jasanya dengan tujuan pembanguan berkelanjutan. Hasil KLHS adalah analisis ekosistem dan jasanya yang kemudian dicoba ditelaah fungsi dan peranan ekosistem yang mana yang gayut dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) dan visi pembangunan menurut RPJP Kabupaten Bandung Barat yang bersifat makro. TPB adalah kesepakatan dan program dunia yang sudah diadopsi Indonesia menjadi program nasional. Tujuan ini tidak secara eksplisit menjadi program Kabupaten Bandung Barat karena telah mempunyai cita-citanya sendiri. Walaupun demikian dengan terwujudnya visi jangka panjang Kabupaten Bandung Barat, akan dengan sendirinya menunjang program TPB.

Berdasarkan yang dibahas dan diuraikan sebelumnya, KLHS akan yang diadopsi oleh dokumen RPJMD ini memiliki kerangka kerja seperti diagram berikut:

Daya dukung daya tampung,dampak dan risiko lingkungan

Indikasi

Rekomendasi

Tipe ekosistem

Pemahaman Gambaran

Penguatan RPJP atas KLHS &

dan jasanya ,

pencapaian

2009 -2025 dan

Umum

proram RPJMD isu strategis

Kabupaten Bandung

Efisiensi dan

Barat2018-2023

manfaat SDA, perubahan iklim, keragaman hayati

Gambar 1-1 Integrasi Skenario KLHS untuk RPJMD Kabupaten Bandung Barat

2018-2023

Sumber : Analisis Penyusun, 2018

1.2 Dasar Hukum Penyusunan

Penyusunan Rancangan Awal RPJMD 2018-2023 didasarkan pada aspek hukum utama sebagai berikut :

1. Peraturan Perundangan Terkait Perencanaan Pembangunan

a. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

b. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian Dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah

2. Peraturan Perundangan Terkait Penganggaran, meliputi:

a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

1.3 Hubungan Antar Dokumen

Penyusunan dokumen perencanaan pembangunan harus mempertimbangkan dan memperhatikan sistem penganggaran dan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Keuangan Negara. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, yaitu Undang-undang

No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah; Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbedaharaan; Peraturan Pemerintah 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006.

RPJMD ini disusun dengan memperhatikan RPJMN dan RPJM Provinsi dan berpedoman pada RPJPD. Selanjutnya RPJMD ini dijabarkan menjadi RKPD. Integrasi antara rencana pembangunan dan sistem keuangan negara dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1-2 Alur Perencanaan dan Penganggaran

Sumber : UU 25/2004 dan UU 23/2014

1.4 Maksud, Tujuan dan Sasaran

Penyusunan Rancangan Awal RPJMD 2018-2023 dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan dalam beberapa tahapan perumusan RPJMD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2018-2023. Kegiatan ini bertujuan untuk merumuskan naskah Penyusunan Rancangan Awal RPJMD 2018-2023 dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan dalam beberapa tahapan perumusan RPJMD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2018-2023. Kegiatan ini bertujuan untuk merumuskan naskah

Sementara itu penyusunan RPJMD Kabupaten Bandung Barat dimaksudkan untuk memberikan arah bagi kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah, serta program kewilayahan dalam rangka memastikan terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan dan konsistensi antara penganggaran, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan selama 5 (lima) tahun masa pembangunan di Bandung Barat, untuk mewujudkan Kabupaten Bandung Barat yang lebih baik.

Tujuan penyusunan RPJMD adalah memberikan :  Pedoman bagi kebijakan keuangan daerah dan strategi pembangunan

daerah  Pedoman bagi Perangkat Daerah dalam menyusun rencana strategis selama jangka waktu 2018 – 2023  Indikator dan tolok ukur dalam melakukan evaluasi kinerja Perangkat Daerah di lingkungan Kabupaten Bandung Barat dalam jangka waktu 2018 sampai dengan 2023

Sasaran penyusunan Rancangan Awal RPJMD 2018 – 2023 adalah sebagai berikut:

1. Terumuskannya gambaran umum kondisi Kabupaten Bandung Barat.

2. Teridentifikasi dan terumuskannya gambaran keuangan Kabupaten Bandung Barat.

3. Terumuskannya kebijakan pembangunan di Kabupaten Bandung Barat, Nasional, otonomi daerah serta komitmen internasional, nasional dan provinsi yang berpengaruh pada pembangunan di Kabupaten Bandung Barat.

4. Terumuskannya permasalahanan dan isu strategis Kabupaten Bandung Barat

5. Terumuskannya visi dan misi pembangunan Kabupaten Bandung Barat

6. Terumuskannya strategi dan program pembangunan Kabupaten Bandung Barat

7. Terumuskannya kerangka pendanaan pembangunan Kabupaten Bandung Barat

1.5 Sistematika Penulisan

RPJM Kabupaten Bandung Barat tahun 2018-2023 ini terdiri dari sembilan BAB yaitu sebagai berikut :

BAB I

Pendahuluan

Bagian ini menjelaskan mengenai gambaran umum penyusunan rancangan awal RPJMD agar substansi pada bab-bab berikutnya dapat dipahami dengan baik.

BAB II

Gambaran Umum Kondisi Daerah

Bagian ini menjelaskan dan menyajikan secara logis dasar-dasar analisis, gambaran umum kondisi daerah yang meliputi aspek geografi dan demografi serta indikator kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah. Penjabaran dilakukan berdasarkan hasil analisis dan kajian gambaran umum kondisi daerah.

BAB III

Gambaran Keuangan Daerah

Bagian ini menyajikan gambaran hasil pengolahan data dan analisis terhadap pengelolaan keuangan daerah.

BAB IV

Permasalahan dan Isu-Isu Strategis Daerah

Bagian ini menjadi dasar utama visi dan misi pembangunan jangka menengah yang menggambarkan permasalahan pembangunan

permasalahan pada penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang relevan berdasarkan analisis, dan isu strategis yang diambil dari permasalahan pembangunan yang dianggap paling prioritas untuk diselesaikan.

Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran

Bab ini menguraikan mengenai visi, misi, tujuan, dan sasaran yang telah disepakati.

BAB VI Strategi, Arah Kebijakan, dan Program Pembangunan Daerah

Bab ini menguraikan strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan dan sasaran serta arah kebijakan dari setiap strategi.

dan Program

Peningkatan Daerah

Bagian ini memuat program prioritas dalam pencapaian visi dan misi serta seluruh program yang dirumuskan dalam renstra perangkat daerah beserta indikator kinerja dan pagu indikatif target.

BAB VIII Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Bagian ini menggambarkan indikator kinerja daerah yang bertujuan untuk memberi gambaran tentang ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi kepala daerah dan wakil kepala daerah.

BAB IX

Penutup

2 BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

2.1 Aspek Geografi dan Demografi

Kabupaten Bandung Barat adalah wilayah pemekaran Kabupaten Bandung, yang pembentukannya diwacanakannya sejak tahun 1999. Walaupun demikian baru pada tanggal 2 Januari 2007 secara formal dan legal menjadi Kabupaten Bandung Barat dengan terbitnya UU No.12/2007. Undang-undang ini menetapkan bahwa Kabupaten Bandung Barat mencakup wilayah 16 kecamatan yaitu: Kecamatan Lembang, Kecamatan Parongpong, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Cikalongwetan, Kecamatan Cipeundeuy, Kecamatan Ngamprah, Kecamatan Cipatat, Kecamatan Padalarang, Kecamatan Batujajar, Kecamatan Cihampelas, Kecamatan Cililin, Kecamatan Cipongkor; Kecamatan Rongga, Kecamatan Sindangkerta Kecamatan Gununghalu. Masing-masing mempunyai karakter ekosistem yang berbeda walaupun awalnya hanya berupa hutan dataran, perbukitan dan pegunungan.

Perubahan ekosistem terjadi sejak jalan raya pos yang dibangun Daendels dan perkembangan Kota Bandung pada awal abad ke 19. Ekosistem yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Bandung Barat berubah menjadi perkebunan, persawahan dan permukiman. Perubahan pun menjadi-jadi setelah pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kota Bandung sebagai markas besar militer, pusat segala pengembangan keteknikan seperti pendidikan teknik tinggi, telekomunikasi, pengembangan industri keramik, dan markas besar militer bahkan Kota Bandung juga digagas sebagai ibukota Hidia Belanda. Perkembangan kota Bandung ini merambah ke sekitarnya. Lembang menjadi kawasan peristirahatan, teropong bintang, dan perkebunan kina yang dikaitkan Perubahan ekosistem terjadi sejak jalan raya pos yang dibangun Daendels dan perkembangan Kota Bandung pada awal abad ke 19. Ekosistem yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Bandung Barat berubah menjadi perkebunan, persawahan dan permukiman. Perubahan pun menjadi-jadi setelah pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kota Bandung sebagai markas besar militer, pusat segala pengembangan keteknikan seperti pendidikan teknik tinggi, telekomunikasi, pengembangan industri keramik, dan markas besar militer bahkan Kota Bandung juga digagas sebagai ibukota Hidia Belanda. Perkembangan kota Bandung ini merambah ke sekitarnya. Lembang menjadi kawasan peristirahatan, teropong bintang, dan perkebunan kina yang dikaitkan

Sampai dengan hadirnya pemerintahan orde baru, perkembangan yang terorganisasikan yang berarti adalah pembangunan pusat pendidikan milter komando di Batujajar. Sementara perkembangan secara individual, inkremental, informal terus terjadi sampai terbentuk permukiman kota di Lembang dan Padalarang. Pada masa pemintahan orde baru pula dibangun waduk Saguling yang merendam kawasan seluas 5.600 ha dan Waduk Cirata di perbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Purwakarta. Kehadiran waduk ini jelas menghadirkan tipe ekosistem baru di Bandung yang bahkan mempengaruhi wilayah lain.

Sementara itu, oleh kebijakan penanaman modal pemerintahan orde baru, Kawasan Cemereme dan Batujajar berubah menjadi seperti industri makanan, minuman, tekstil, komponen bangunan, perabot rumah tangga, aneka peralatan untuk dalam negeri maupun ekspor. Puluhan industri hadir di Batujajar tersebut tumbuh dan berkembang secara inkremental dan masing-masing mencoba menata diri sendiri.

Kemudian ada prakarsa upaya swasta yang membangun perumahan terorganisasikan skala kota yang eksklusif di Padalarang dan perumahan bagi lapisan menengah di Ngamprah. Prakarsa ini antara lain didorong oleh pembangunan jalan bebas hambatan yang melintas Kecamatan Padalarang, Ngamprah dan Cpendeuy. Pembangunan perumahan terorganisasikan tersebut ditujukan bagi penduduk Bandung dan karena itu dapat disebut sebagai urbanisasi oleh perambahan wilayah urban..

Dengan demikian, Kabupaten Bandung Barat terbentuk dan kemudian hadir pemerintahan kabupaten yang menghadapi wilayah kecamatan yang memangku tipe ekosistem hutan, pertanian dan perkebunan, tipe ekosistem perairan waduk, tipe ekosistem kekotaan yang dibentuk industri dan permukiman. Selain itu juga Dengan demikian, Kabupaten Bandung Barat terbentuk dan kemudian hadir pemerintahan kabupaten yang menghadapi wilayah kecamatan yang memangku tipe ekosistem hutan, pertanian dan perkebunan, tipe ekosistem perairan waduk, tipe ekosistem kekotaan yang dibentuk industri dan permukiman. Selain itu juga

2.1.1 Kondisi Umum Geografis Secara geografis, Kabupaten Bandung Barat memiliki lokasi yang strategis

dalam konstelasi regional Jawa Barat. Kabupaten Bandung Barat merupakan pintu masuk ke Bandung Raya, menjadikan Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu pusat pertumbuhan di wilayah Barat serta dilalui jalur transportasi Barat-Timur berupa jalan tol Cipularang dan lintasan kereta Api Jawa. Hal ini pula yang menjadikan Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu daerah yang masuk dalam Kawasan Perhatian Investasi (KPI). Meskipun demikian, hingga tahun 2015, Kabupaten Bandung Barat belum termasuk ke dalam 5 kota/kabupaten yang paling diminati oleh investor baik melalui PMA maupun PMDN, baik dilihat dari realisasi investasi, penyerapan tenaga kerja, dan jumlah proyek. Kota/kabupaten yang paling diminati investor adalah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Bandung (BPPT Jawa Barat, 2015).

Gambar 2-1 Kabupaten Bandung Barat sebagai Pintu Masuk dan Bagian dari KSN

Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung

Sumber : Perda Provinsi Jawa Barat No. 22/2010, RTRWP Jawa Barat 2009-2029

2.1.1 Topografi Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh kemiringan lereng yang sangat terjal

yaitu dapat mencapai lebih dari 40%. Wilayah yang sangat terjal ini terdapat pada wilayah Kecamatan Gununghalu seluas 13.480 ha. Kemiringan lereng datar yaitu 0-8% terdapat pada Kecamatan Batujajar. Sisanya berada pada kemiringan 8-15%. Ketinggian di Kabupaten Bandung Barat berkisar sekitar 0-2.500 mdpl. Dengan luasan lahan terbesar pada ketinggian 500-1.000 mdpl yaitu 66% dari total luasan wilayahnya. Berdasarkan informasi kemiringan dan ketinggian wilayah terdapat empat jenis morfologi di Kabupaten Bandung Barat, yaitu: pedataran, landai, perbukitan dan pegunungan.

Tabel 2-1 Gambaran Kondisi Wilayah Kabupaten Bandung Barat Menurut

Luas (ha)

1 0-500 m

2 500-1000 m

3 1000-1500 m

4 1500-2000 m

5 2000-2500 m

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat. 2009-2029

66,7% Wilayah Kabupaten Bandung Barat merupakan kawasan dengan elevasi antara 500 sampai dengan 1000 m dan 15,7% nya merupakan kawasan pada elevasi dibawah 500 m dpl. Pada kawasan dibawah 500 m inilah terletak Waduk Saguling dan Cirata, Oleh karena Kabupaten Bandung Barat mempunyai Visi RPJPD akan menjadi Kabupaten Agroindustri, pengembangan pertanian di kawasan pade elevasi antara 500-1000 m dpl, merupakan wilayah yang perlu mendapat perhatian. Karena elevasi ini menentukan temperatur, kelembaban, penyinaran matahari, yang apabila dikaitkan denga jenis tanah dan curah hujan, akan menentukan jenis tanaman apa yang paling tepat untuk mendukung pengembangan agroindustri.

Oleh karena pertanian dan perkebunan sudah berlangsung lebih dari seratus tahun, mungkin sudah diperoleh pengalaman empirik tentang komoditi pertanian dan perkebunan yang paling tepat. Walaupun demikian, dimasa mendatang mungkin dibutuhkan pembaruan jenis tanaman, agar agroindustri lebih maju dengan nilai tambah yang lebih tinggi dan mampu mengangkat rakyat Kabupaten Bandung Barat agar lebih sejahtera. Selain itu di wilayah Kabupaten Bandung Barat terdapat kawasan sekitar 6,2% yang berada pada elevasi 1500-2000 m dpl dan 1,1 % yang berada pada elevasi antara 2000-2500 mdpl. Kawasan ini mungkin masih berupa hutan pegunungan rendah dan hutan pengunungan tinggi alami maupun hasil reboisasi yang dipertahankan, yang hanya boleh dipungut hasil hutan non kayunya.

2.1.2 Sumber Daya Air Sumber daya air merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang

pembangunan di Kabupaten Bandung Barat. Kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan sumber daya air cukup tinggi, mengingat adanya bencana banjir dan kekeringan yang terjadi. Kabupaten Bandung Barat memiliki kurang lebih 90 sungai, dengan sungai utama adalah Sungai Citarum, Sungai Cimahi, Sungai Cibeureum, Sungai Citarum Hulu, dan Sungai Cikarial, yang melewati Kecamatan Cipongkor, Kecamatan Cililin, Kecamatan Cihampelas, dan Kecamatan Batujajar. Sungai-sungai ini termasuk ke dalam Sub DAS Cikapundung (Lembang, Cisarua, Parongpong) dan Sub DAS Citarum (Cililin, Ngamprah, Batujajar, Padalarang) dengan total panjang adalah 3941.68 Km.

Selain itu, di Kabupaten Bandung Barat terdapat 2 Danau/Situ Alam dan 2 Waduk/Danau Buatan. Danau/Situ Alam terdiri dari Situ Lembang dan Situ Ciburuy serta Waduk Saguling dan Cirata yang merupakan sumber tenaga listrik (PLTA). Waduk Saguling terletak di sungai Citarum yang tersebar di beberapa kecamatan yaitu di Kecamatan Cililin, Batujajar, Saguling, dan Cipongkor. Sedangkan Waduk Cirata terletak ke arah hilir dari Waduk Saguling yang lokasinya berada di Kecamatan Cipeundeuy. Selain itu terdapat situ-situ kecil lainnya seperti Situ Cimangsud, Situ Dano, dan Situ Umar.

Tabel 2-2 Gambaran Kondisi Wilayah Kabupaten Bandung Barat menurut

Ketersediaan Sumber Daya Air

No.

SUMBER AIR

LUASAN (Ha)

1 Daerah Air Tanah Dangkal 469.40 2 Sumber Daya Air Yang memancar

10,609.05 Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

Dimengerti bahwa sumber daya air yang besar yang tertampung waduk Saguling dan Cirata berada dibawah kendali pemerintah tingkat nasional. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah berprakarsa menyelidiki air tanah yang muncul sebagai mata air dan itulah yang dianggap sumber daya air selain penampungan alami seperti Situ Ciburuy. Hasil penyelidikan mata air baru sampai pada lokasi dan debit air yang dikeluarkan, masih pelu ditindak lanjuti dengan

dan bagaimana memanfaatkannya.

bagaimana

menjaga

kelangsungannya

Gambar 2-2 Peta Ketinggian Kabupaten Bandung Barat

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

19

Gambar 2-3 Peta Sumber Daya Air Kabupaten Bandung Barat

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

2.1.3 Sumber Daya Tanah Jenis tanah yang terdapat pada Kabupaten Bandung Barat adalah Kompleks

Regosol Kelabu dan Litosol, Andosol Coklat, Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat, Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol, Latosol Coklat, Latosol Coklat Kemerahan, Latosol Coklat Tua Kemerahan, Aluvial Coklat Kekelabuan, Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemerahan, Podsolik Kuning, Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol, Asosiasi Aluvial Kelabu Dan Aluvial Coklat Kekelabuan, dan Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu. Dengan luasan terbesar adalah pada jenis tanah Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol seluas 37,202 Ha. Selain itu, ditinjau dari asal pengendapan batuan, Kabupaten Bandung Barat terbagi menjadi beberapa wilayah yaitu Littoral, Littoral Reef, Neritic, Plutonism Sub-Volcanic, Terrestrial Alluvium, Terrestrial Fluvial, Terrestrial Lacustrine, Transition, dan Volcanism Subaerial.

Tabel 2-3 Peta Sumber Daya Air Kabupaten Bandung Barat NO.

JENIS GEOLOGI

LUASAN (Ha)

1 Littoral

2 Littoral Reef

4 Plutonism Sub-Volcanic

5 Terrestrial Alluvium

6 Terrestrial Fluvial

7 Terrestrial Lacustrine

8 Transition

9 Volcanism Subaerial

5,516.07 Sumber: RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

10 Unknown

Tabel 2-4 Gambaran Kondisi Wilayah Kabupaten Bandung Barat Menurut Jenis

Tanah

NO.

JENIS TANAH

LUASAN (Ha)

1 Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 2,663.05 2 Andosol Coklat

8,562.34 3 Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat

14,985.30 4 Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol

NO.

JENIS TANAH

LUASAN (Ha)

5 Latosol Coklat 17,739.37 6 Latosol Coklat Kemerahan

40.13 7 Latosol Coklat Tua Kemerahan

10,905.82 8 Aluvial Coklat Kekelabuan

7,756.54 9 Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemerahan

17,615.19 10 Podsolik Kuning

1,018.34 11 Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan

37,202.11 Regosol

12 Asosiasi Aluvial Kelabu Dan Aluvial Coklat Kekelabuan 1,883.50 13 Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu

6,748.13 Sumber: RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

Berdasarkan pengetahuan inilah di wilayah Kabupaten Bandung Barat ditandai adanya jenis tanah : regosol, litosol, latosol, aluvial, podsolik. Berdasarkan klasifikasi inilah dapat disarankan jenis tanaman yang dikembangkan. Walaupun demikian kondisi khas seperti tanaman ubi jalar di Cilembu atau nanas di Cikalong belum dapat diindikasikan dalam peta tersebut.

Untuk tujuan pengembangan pertambangan diindikasikan dan dipetakan sifat fisik batuan seperti batuan beku, batuan sedimen, batuan malihan dan sebagainya. Selain itu ditandai umur batuan yang diklasifikasikan menurut suatu perioda dan era, antara lain perioda kuarter yang artinya terbentuk paling lama 1,6 juta tahun yang lalu, tersier yang terbentuk antara 1,6 juta sampai 65 juta tahun yang lalu. Periode tersebut dikaitkan dengan era yang mendai faktor menonjol yang mengisi di bumi waktu itu. Berdasarlan jenis batuan dan eranya tersebut, ahli geologi menelaah kemungkinan ditemuinya berbagai produk tambang.

2.1.2 Klimatologi Kabupaten Bandung Barat memiliki curah hujan rata-rata per tahun adalah

kurang lebih pada 1.500-3.500 mm/tahun. Ada dua kecamatan yang memiliki curah hujan kurang dari 1.500 yaitu Kecamatan Batujajar dan Padalarang. Sedangkan untuk curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun adalah Kecamatan Batujajar, Cihampelas, Ngamprah, Padalarang dan Parongpong. Selanjutnya kurang lebih pada 1.500-3.500 mm/tahun. Ada dua kecamatan yang memiliki curah hujan kurang dari 1.500 yaitu Kecamatan Batujajar dan Padalarang. Sedangkan untuk curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun adalah Kecamatan Batujajar, Cihampelas, Ngamprah, Padalarang dan Parongpong. Selanjutnya

Tabel 2-5 Kondisi Curah Hujan Wilayah Kabupaten Bandung Barat

No.

CURAH HUJAN

LUASAN

(ha)

1 < 1.500 mm/th

5,480.72

2 1.500-2.000 mm/th

19,672.73

3 2.000-2.500 mm/th

39,832.87

4 2.500-3.000 mm/th

50,222.95

15,114.22 Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

5 3.000-3.500 mm/th

Wilayah Kabupaten Bandung Barat dikaruniai keberuntungan karena selalu disinggahi awan pembawa hujan dan ditempati penampungan air yang sangat besar yaitu waduk Saguling dan Cirata. Data curah hujan sendiri diragukan keakuratannya, karena dimana lokasi penakar curah hujan belum diketahui. Data yang tercatat dalam Kabupaten Bandung Barat dalam angka diperoleh dari data provinsi, menggambarkan curah hujan di wilayah Kabupaten Bandung Barat dalam satu tahun rata-rata sekitar 2000 mm lebih, sedang dalam satu bulan tertinggi sekitar 250 mm dan terendah 70 mm. Dengan demikian, dalam satu tahun wilayah Kabupaten Bandung Barat yang luasnya 130.577 Ha atau 1.305.770.000 m2 akan menerima curahan air hujan sebanyak 2,6 milyar meter kubik air. Berapa besar yang menguap, berapa banyak yang meresap dalam tanah dangkal dan tanah dalam, berapa yang tertampung di waduk Saguling dan Cirata dan berapa besar penguapan hamparan seluas itu, masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

Gambar 2-4 Peta Jenis Tanah Kabupaten Bandung Barat

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

2.1.4 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dikelompokkan berdasarkan

fungsinya, yaitu: berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Jika dilihat dari fungsi guna lahan yang ada Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh fungsi budidaya non-pertanian sebesar 104.257.97 ha atau hampir 50% dari luasan total wilayah Kabupaten Bandung Barat. Disusul oleh luasan fungsi budidaya pertanian sebesar 37.5%. kabupaten Bandung Barat memiliki luasan fungsi kawasan lindung yang terbilang kecil, hanya 9% dari total wilayah yaitu 19.171 ha.

Berikut penjabaran luasan guna lahan Kabupaten Bandung Barat (pada tahun 2007).

Tabel 2-6 Guna Lahan Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007 No.

Jenis Guna Lahan

Luasan (Ha) Persentase (%)

1 Kawasan Lindung

Kawasan Lindung

2 Kawasan Budidaya

Budidaya Pertanian Kebun Campur

Sawah Tadah Hujan

Tegal/Ladang

3 Budidaya Non-Pertanian

Jalan Kereta Api

Pasar / Pertokoan

Permukiman

Lapangan

Taman

Tambang

No.

Jenis Guna Lahan

Luasan (Ha) Persentase (%)

Total Budidaya

Tanah Kosong

100.0 Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

Total Kabupaten

130,821.24

2.1.5 Kawasan Rawan Bencana Peristiwa bencana alam yang sering terjadi di Kabupaten Bandung Barat terdiri

dari gempa bumi, tanah longsor, angin kencang, dan letusan gunung berapi. Peristiwa bencana alam di Kabupaten Bandung barat didominasi oleh kejadian gempa bumi dan tanah longsor. Kawasan rawan bencana longsor secara umum menyebar di bagian utara dan selatan Kabupaten Bandung Barat, yaitu terdapat di Kecamatan Lembang, Parongpong, Cikalongwetan, Cipatat, Batujajar, Cililin, Rongga, Gununghalu. Kawasan bencana letusan gunung berapi terdapat di Kecamatan Lembang, Parongpong, dan Cisarua.

Gambar 2-5 Peta Curah Hujan Kabupaten Bandung Barat

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

27

Gambar 2-6 Peta Tutupan Lahan Kabupaten Bandung Barat

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

28

Gambar 2-7 Peta Rawan Bencana Kabupaten Bandung Barat

Sumber : RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029

2.1.6 Kerangka Pengembangan Wilayah

Pemahaman atas kondisi geografis dan aspek fisik wilayah lainnya memberikan pengetahuan dalam merumuskan pemikiran potensi pengembangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat. Berikut ini kerangka pemikiran mengenai potensi pengembangan Kabupaten Bandung Barat berdasarkan aspek-aspek fisik wilayah.

Tabel 2-7 Kerangka Potensi Pengembangan Wilayah No.

Aspek Fisik Wilayah

Kerangka Pengembangan Wilayah

1 Geografi

 Menjadi pintu masuk ke

 Memanfaatkan lokasi wilayah

yang strategis  Dilalui jaringan transportasi primer  Memperluas kawasan lindung  Belum diminati investor

Metropolitan Bandung

untuk melindungi badan air dan 2 Topografi

Didominasi lahan dengan kemiringan

kawsan rawan bencana longsor

terjal dan elevasi sama atau lebih dari

 Melindungi kawasan pertanian

750 m dpl (batas elevasi Kawasan

lahan basah

 Mengembangkan kegiatan dan 3 Hidrologi

Bandung Utara)

 Memiliki dan dilalui banyak sungai,

kawasan perkotaan yang ramah

danau, waduk

lingkungan

 Terdapat potensi banjir dan sekaligus kekeringan

4 Iklim

Didominasi wilayah dengan curah hujan sedang dan tinggi

5 Penggunan

Didominasi dengan kawasan budidaya

Lahan

non pertanian (terbangun). Kawasan budidaya pertanian lebih kecil, dan hanya 9% merupakan kawasan lindung

6 Kawasan Rawan

Rawan longsor, dan terdapat potensi

Bencana

kekeringan dan banjir lokal

2.1.7 Aspek Demografis

Pertumbuhan dan dinamika penduduk yang terjadi di suatu wilayah akan memberi dampak dan pengaruh pada perkembangan di wilayah tersebut. Perubahan sosial kependudukan akan mempengaruhi strategi dan kebijakan yang digunakan dalam pengembangan satu wilayah, termasuk mengenai jumlah penduduk dan kemudian tingkat kepadatan penduduk.

Jumlah penduduk di Kabupaten Bandung Barat cenderung fluktuatif dan tidak selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Adapun laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2016 ke 2017 adalah 1,09%. Jumlah penduduk terbesar berada Jumlah penduduk di Kabupaten Bandung Barat cenderung fluktuatif dan tidak selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Adapun laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2016 ke 2017 adalah 1,09%. Jumlah penduduk terbesar berada

Adapun kepadatan penduduk terendah di Kecamatan Gununghalu, diikuti oleh Kecamatan Rongga, Sindangkerta, Saguling, dan Cipeundeuy. Kecamatan-kecamatan ini terletak di sebelah barat dan timur, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan peta kepadatan penduduk di bawah ini (Gambar 2-8), terlihat bahwa persebaran kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung Barat cenderung berkelompok antara daerah utara dan selatan. Selain variabel jumlah penduduk dan luas wilayah, kepadatan penduduk yang berkelompok juga mengindikasikan adanya keterpusatan aktivitas di wilayah tersebut. Sehingga, hal tersebut dapat menjadi threat bagi Kabupaten Bandung Barat terkait indikasi ketimpangan wilayah yang ada.

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat perlu menyiapkan diri terkait meningkatnya jumlah penduduk tidak hanya di kecamatan dengan karakteristik perkotaan, tetapi juga di beberapa kecamatan yang diprediksi akan menjadi kecamatan dengan karakteristik perkotaan sebagai akibat dari adanya amanat perencanaan pembangunan secara agregat. Seperti perencanaan pembangunan Kereta Cepat di Walini, pembangunan sarana pendidikan tinggi di Kecamatan Cikalong Wetan, dan lain-lain.

Berikut ini adalah data jumlah penduduk per kecamatan dari tahun 2010 hingga 2017:

Tabel 2-8 Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung Barat per Kecamatan Tahun 2010-2017

Tahun

No Kecamatan

1 Cililin

89,996 91,012 2 Cihampelas

114,938 116,097 3 Sindangkerta

69,004 69,868 4 Gununghalu

75,862 76,712 5 Rongga

55,567 56,108 6 Cipongkor

90,245 91,108 7 Batujajar

96,960 97,962 8 Lembang

Tahun

No Kecamatan

Sumber: Kabupaten Bandung Barat dalam Angka Tahun 2013-2017 dan Data Makro Sosial Kabupaten

Bandung Barat Tahun 2017

Tabel 2-9 Kepadatan Penduduk Kabupaten Bandung Barat per Kecamatan Tahun 2017

Luas Wilayah

(Jiwa/Km 2 )

Sumber: Hasil Olahan Data Makro Sosial Kabupaten Bandung Barat Tahun 2017

Gambar 2-8 Peta Persebaran Kepadatan Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 2017

Sumber: Hasil Olahan Data Makro Sosial Kabupaten Bandung Barat Tahun 2017

Selanjutnya, untuk melihat karakteristik masyarakat di Kabupaten Bandung Barat, perlu diketahui persentase pendidikan akhir penduduk di atas 10 tahun. Identifikasi tingkat pendidikan ini dilakukan karena tingkat pendidikan masyarakat dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pola pikir, cara pandang dan juga sebagai indikasi proses peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Berikut ini adalah data pendidikan akhir tersebut:

Tabel 2-10 Persentase Pendidikan Akhir Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Kabupaten Bandung Barat Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2017

5 Akademi/ PT

Sumber: Data Makro Sosial Kabupaten Bandung Barat Tahun 2017

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa masih terdapat penduduk yang tidak/ belum pernah sekolah dasar sebesar 13,68%. Hal yang menjadi penting kemudian dari data di atas adalah persentase tertinggi dari jenjang pendidikan akhir masyarakat Kabupaten Bandung Barat yaitu sekolah dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang relatif masih rendah sebesar 42%. Pendidikan akhir penduduk yang masih rendah tersebut dapat memberikan dampak kepada beberapa aspek kesejahteraan masyarakat seperti mata pencaharian, tingkat pengangguran, dan sebagainya.

Tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Bandung Barat meningkat sebesar 1,5%, dari 7,83% pada tahun 2016 menjadi 9,33% pada tahun 2017. Tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Bandung Barat tersebut masih tinggi dan di atas angka tingkat pengangguran terbuka Provinsi Jawa Barat (8,22%) (Data Ketenagakerjaan Kabupaten Bandung Barat, 2017). Berdasarkan grafik di bawah ini (Gambar 2-9), diketahui bahwa tingkat pengangguran tersebut terjadi di pendidikan akhir yang relatif masih rendah, yaitu pendidikan dasar.

Gambar 2-9 Persentase Pengangguran menurut Pendidikan Akhir dan Jenis

Kelamin Tahun 2017

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional, 2017

Jenjang pendidikan akhir SD dan SMA merupakan jenjang pendidikan yang memiliki kontribusi tertinggi pada angka pengangguran di Kabupaten Bandung Barat. Dimana, laki-laki dengan pendidikan akhir SMA merupakan persentase tertinggi dalam angka pengangguran sebesar 45,28%. Masih rendahnya tingkat pendidikan tersebut pada akhirnya membawa dampak pada tingkat pengangguran yang terjadi. Fakta tersebut kemudian disandingkan dengan kondisi piramida penduduk di bawah ini yang menyatakan bahwa usia produktif 25-49 tahun merupakan kelompok usia terbanyak di Kabupaten Bandung Barat.

Gambar 2-10 Piramida Penduduk tahun 2017

Sumber: Hasil Olahan Basis Data Pembangunan Kabupaten Bandung Barat Tahun

Bonus demografi di kabupaten Bandung Barat relatif sudah terjadi pada tahun 2017. Penduduk dengan usia produktif dengan kebijakan yang tepat, dapat disebut sebagai bonus demografi. Hal tersebut dikarenakan saat ini, peran usia muda dan/atau produktif dengan kreativitasnya mampu menjadi tulang punggung dalam menjalankan revolusi industri keempat di Indonesia. Kabupaten Bandung Barat juga harus memulai mentransformasikan ekonominya untuk menyiapkan diri menghadapi gelombang baru ekonomi tersebut.

Sayangnya, bonus demografi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik. Terlihat dari tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Bandung Barat yang masih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi Jawa Barat. Diperlukan berbagai pendekatan dengan mengkolaborasikan peluang dan kelemahan ini, salah satunya adalah melalui pendekatan ekonomi, yaitu penciptaan wirausaha-wirausaha baru.