Konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah

(1)

i

KONFLIK INTERPERSONAL WANITA LAJANG YANG BERKARIER DAN MENDAPAT TUNTUTAN ORANG TUA UNTUK MENIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Maria Adrini

119114045

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

Pengkhotbah 3 : 4 dan 11

________________________________________________

“Ada waktu untuk

menangis

; ada waktu untuk

tertawa

; ada waktu untuk

meratap

; ada waktu untuk

menari

.

Ia

membuat segala sesuatu

indah pada

waktunya

, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati

mereka.”


(5)

v

karya sederhana ini dipersembahkan untuk:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang telah memberikan

kesempatan untuk belajar berjuang dan berusaha tanpa

menyerah!

Papa dan mama yang sangat sabar menunggu di rumah untuk

melihat saya manjadi seorang wisudawati

.

Having both of you is

the precious things from God forme.

Oma yang selalu menjadi motivator skripsiku, sinmung oma.

Opa, Phopho, Kungkung, & adik-adikku di surga..


(6)

(7)

vii

KONFLIK INTERPERSONAL WANITA LAJANG YANG BERKARIER DAN MENDAPAT TUNTUTAN ORANG TUA UNTUK MENIKAH

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Maria Adrini

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya mengelola konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah. Informan yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak tiga orang wanita. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan menggunakan Wawancara Semi-Terstruktur untuk metode pengambilan data. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum, konflik yang terjadi yakni antara kebutuhan informan untuk fokus dengan pekerjaan dan ibu yang menuntut supaya informan mencari pasangan dan menikah. Faktor yang mempengaruhi munculnya konflik adalah adanya faktor dari lingkungan yang mendesak untuk mencari pasangan dan merasa terbebani karena kondisi orang tua yang sudah tua. Konflik tersebut menimbulkan dampak, yaitu sulit berkonsentrasi saat bekerja, sulit untuk tidur, dan tidak ada motivasi untuk melakukan apapun. Secara umum, ketiga informan mengelola konflik gaya rubah yang menyelesaikan konflik dengan cara mengutamakan kepentingan dan kebaikan bersama.

Kata kunci : konflik interpersonal, wanita karier, wanita lajang, tuntutan untuk menikah, kualitatif deskriptif


(8)

viii

INTERPERSONAL CONFLICT OF SINGLE WOMEN WHO HAVE A CAREER AND GET THE PARENTS’ DEMANDS TO GET MARRIED

Student of Psychology Faculty Of Sanata Dharma University, Yogyakarta

Maria Adrini

ABSTRACT

This research aims to describe the interpersonal conflicts of single women who had a career and got parents' demands to marry. There were three women involved in this research as the informants. The research method used was qualitative descriptive and using Semi-Structured Interview for data retrieval method. Data analysis method used was descriptive analysis. Based on the result of research, in general, the conflict that occured between the needs of informants to focus in their jobs and the mothers who demanded that the informants to find a partner and get married. Factors that influence the emergence of conflict was the existence of factors from the urgent environment to find a partner and the feeling of being burdened by the condition of parents who were getting older. The conflict had an impact, which was difficult to concentrate when working, difficult to sleep, and no motivation to perform any activity. In general, the three informants managed conflict with the fox-style that resolved conflict by prioritizing the common goodness.

Keywords : interpersonal conflict, single women, parents’demands, married, descriptive qualitative


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria untuk berkat dan kasih yang telah diberikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir (skripsi) ini. Dengan ditulisnya skripsi ini, diharapkan dapat memberi manfaat dan inspirasi kepada pembaca.

Tentunya penulisan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, ijinkan peneliti untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu tak henti memberikan kekuatan dan pendampingan pada peneliti untuk dapat bertahan menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan semangat selama penulisan skripsi.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Sanata Dharma.

4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Mba P. Henrietta PDADS., M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih karena sudah bersabar membimbing saya selama menulis skripsi. Semoga Tuhan Yesus selalu melindungi mba Etta dan keluarga. 6. Untuk dosen penguji skripsi, Mba P. Henrietta PDADS., M.A. selaku dosen


(11)

xi

kedua, dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., Psi. selaku dosen penguji ketiga. Terima kasih untuk masukan dan ilmu yang telah diberikan kepada peneliti.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terima kasih untuk semua ilmu yang telah diajarkan kepada kami semua. 8. Papa dan mama yang sudah sangat sabar dan bekerja keras untuk dapat

membimbing sampai pada titik terakhir berjuang menyelesaikan skripsi. 9. Oma yang selalu berdoa dan menyemangati untuk menyelesaikan skirpsi.

Terima kasih juga untuk Opa, Phopho, Kungkung, dan adik-adik yang selalu memberkati dan menjadi motivator dari surga yang jauh. I will always missing all of you..

10.Khiu-khiu, Ii, tante, Kuchong, Ichong, Khiume semuanya.. Terima kasih sudah menemani mama dan papa selama peneliti berproses menyelesaikan skripsi.

11.Untuk semua sepupu aku yang ada di Bangka, Tanjungpinang, Batam, Jakarta, dan Belgia.. aku sayang sama kalian.

12.Thank you very much untuk Bobby Putra Kurniawan yang sudah sangat

sabar dan rela diganggu waktunya. Terima kasih juga untuk pengalaman yang tak terlupakan sehingga akan selalu menjadi kenangan. Makasih juga untuk si cerewet dan manja, Cookie Sweety Similikity.. tetap jadi anak yang baik dan manis ya. My lovely puppy..

13.Teman-teman Psikologi Sanata Dharma, terutama yang sudah lama berkelana dan berjuang bersama untuk meraih S.Psi. Ivana, Megy, Rhisty,


(12)

xii

Tuti, Florent, Maria, Oci, Iin, dan lainnya. Anak kos yang baik hati: Adel, Evlyn, dan kawan-kawan.

14.Teman-teman satu bimbingan : Rara, Clara, Betrik, Ika (tetap semangat!!).

15.Youtubers yang sering menjadi semangat dan ‘teman’ mengerjakan skripsi :

Ce Ria SW, Elisabet Wang, Ko Ricky, dan Kak Pita (Pita’s Life).

16.Terima kasih juga untuk jasa delivery order dari Burjo Kembar Srikandi, Oishi, Warung Sipit, dan Go-Food.

17.Untuk semua yang sudah pernah saya repotkan, terima kasih banyak.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa di dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang membangun. Semoga Tuhan selalu melindungi dan mendampingi.

Yogyakarta, 06 Mei 2017 Peneliti,


(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... ILMIAH ... .ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 6

C. TUJUAN PENELITIAN ... 6


(14)

xiv

1. Manfaat Praktis ... 7

2. Manfaat Teoritis ... 7

BAB II DAFTAR PUSTAKA ... 8

A.MENIKAH ... 8

B.WANITA KARIER DAN MELAJANG ... 11

1. Wanita Karier ... 11

2. Melajang ... 12

C.KONFLIK INTERPERSONAL ... 21

D.KONFLIK INTERPERSONAL WANITA LAJANG YANG BERKARIER DAN MENDAPAT TUNTUTAN ORANG TUA UNTUK MENIKAH ... 27

E.PERTANYAAN PENELITIAN ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A.JENIS PENELITIAN ... 29

B. FOKUS PENELITIAN ... 30

C. INFORMAN PENELITIAN ... 30

D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 31

E. METODE ANALISIS DATA ... 32

F. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A.PELAKSANAAN PENELITIAN... 36


(15)

xv

1. Profil Informan Pertama ... 39

2. Profil Informan Kedua... 41

3. Profil Informan Ketiga ... 43

C.HASIL PENELITIAN ... 45

1. Informan Pertama ... 45

2. Informan Kedua ... 48

3. Informan Ketiga ... 51

D.PEMBAHASAN ... 57

BAB V KESIMPULAN ... 60

A.KESIMPULAN... 60

B.SARAN ... 61

1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 61

2. Bagi Informan Penelitian ... 61


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ... 32

Tabel 2 ... 38

Tabel 3 ... 39


(17)

xvii

LAMPIRAN

VERBATIM...66 INFORMED-CONSENT FORM...95


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Saat ini jumlah wanita lajang yang berambisi untuk mengembangkan karier semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya kesempatan bagi wanita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan juga untuk mencari lapangan pekerjaan. Selain itu juga keberadaan pegawai wanita saat ini sangat diperhitungkan di dunia kerja. Wanita bekerja bukan hanya ingin memperoleh penghasilan, akan tetapi juga ingin lebih berprestasi, berguna bagi orang lain, dan ingin mengubah pandangan masyarakat awam yang masih menganggap bahwa wanita tidak mampu untuk bekerja. Status lajang bagi seorang wanita juga memberikan kesempatan bagi wanita untuk melakukan yang diinginkan (Christine, Hartanti, dan Nanik, 2013 ; Imanoviani dan Djuniarto, 2013 ; Sulastrie dan Abas, 2012 ; Wulandari, Nursalam dan Ibrahim, 2015).

Bekerja dipilih oleh wanita dengan alasan, yakni ingin memperoleh keterampilan pengetahuan dan pengaktualisasian diri maupun ingin memperoleh kepuasaan batin. Selain itu, kaum wanita juga ingin membuktikan bahwa tidak hanya pria yang dapat bekerja sehingga nantinya mereka akan sejajar dengan pria (Mangkuprawira dan Vitalaya, 2007, dalam Iklima, 2014). Wanita karier adalah wanita yang bekerja pada suatu organisasi atau perusahaan untuk mencapai jabatan tertentu yang dapat diperoleh dengan menambah pengalaman dengan keahlian yang dimiliki dan perencanaan yang


(19)

2

logis untuk kemajuan kariernya, yang mana akan menambah tanggung jawab dalam bekerja dan komitmen kerja, serta kenaikan upah (Sutanto dan Haryoko, 2010).

Ada beberapa lapangan pekerjaan yang menyeleksi calon pegawainya tidak hanya berdasarkan pengalaman, tetapi juga status pernikahannya, yakni belum menikah atau masih lajang (Hewlett, 2006). Wanita muda pada usia dewasa awal yang ingin fokus pada pekerjaan memilih untuk menunda pernikahan karena pernikahan terkadang menjadi penghambat bagi wanita untuk meraih cita-cita mereka (Noviana & Suci, 2010). Kumalasari (2014) mengatakan bahwa alasan untuk terus melajang dikarenakan oleh adanya beberapa faktor, yakni peluang karier yang luas, hasrat akan kepuasan diri, dan adanya ketakutan akan perceraian, serta adanya keinginan untuk membahagiakan dan merawat orang tua. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari, Cahyono dan Roswita (2015) diperoleh hasil bahwa salah satu informan masih ingin berkarier karena ingin membalas jasa orang tuanya yang telah membesarkannya sejak kecil. Informan hanya ingin fokus pada kebahagiaan orang tuanya dengan cara merawatnya.

Beri dan Beri (2013) menambahkan bahwa alasan utama mengapa wanita tetap melajang ialah mereka ingin memperoleh jaminan secara finansial yang lebih terjamin dan menikmati hasil kerja keras dari pendidikan yang mereka tempuh. Oleh karena itu, mereka belum ingin menikah dengan alasan bahwa menikah dapat menghambat dan menghancurkan impian yang sudah dibangun.


(20)

3

Wanita yang masih ingin bebas menikmati hidup sendiri juga menjadi alasan untuk terus berkarier. Wanita tidak suka diatur oleh siapapun, termasuk seseorang yang nantinya akan menikah dengannya. Kebanyakan dari wanita belum bersedia untuk melepas status lajangnya. Hal ini didukung juga dengan adanya tulisan di halaman tribunnews.com pada berita Chanbel News Asia, bahwa terdapat hasil survei yang membuktikan sebanyak 82 persen wanita di Cina memilih untuk melajang karena dapat bersenang-senang dan menikmati hasil dari kerja keras mereka. Selain itu, 30 persen wanita lebih memilih untuk menabung gaji mereka untuk membeli rumah. Contohnya Chen yang memilih untuk hidup sendiri tanpa menikah dan sudah memiliki apartemen. Ia berpendapat bahwa membeli sebuah tempat tinggal merupakan hal yang berguna dibandingkan dengan membeli barang lainnya. Chen menambahkan bahwa apabila seorang perempuan tidak dapat mandiri secara finansial, maka ia akan bergantung pada suaminya setelah menikah. Menurut Chen, hidup sendiri bukan merupakan masalah yang besar(Malau, 2011).

Wanita yang menjalani kehidupan melajang, dan memiliki pekerjaan atau karier yang sukses dipandang sebagai suatu hal yang aneh dalam masyarakat tradisional, yang pada umumnya berpegang pada budaya yang mengharuskan kaum wanita untuk menikah karena wanita sudah seharusnya bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga. Apabila seorang anak mengikuti nasehat orang tua untuk melepas masa lajangnya, maka orang tua akan merasa tenang karena anaknya sudah mendapatkan seorang pria yang akan mendampingi seumur hidup (Noviana dan Suci, 2010).


(21)

4

Sutanto dan Haryoko, 2010 mengatakan bahwa masyarakat selalu menilai wanita yang tidak menikah sebagai hal yang tidak sesuai dengan nilai sosial masyarakat pada umumnya, yakni pernikahan yang dinilai sebagai pilihan hidup yang seharusnya dipilih oleh wanita. Hal tersebut juga berkaitan dengan orang tua menginginkan sang anak perempuan untuk menikah karena mereka tidak mau anaknya disebut sebagai perawan tua. Mereka merasa malu apabila anak mereka mendapat julukan demikian. Hal tersebut menjadikan sang anak terbebani karena mendapat tuntutan untuk menikah. Sang anak dituntut untuk patuh kepada orang tuanya (Noviana dan Suci, 2010).

Adanya keinginan untuk melajang dengan memilih karier dan tuntutan untuk menikah dari orang tua dapat menimbulkan munculnya konflik. Konflik tersebut timbul karena nilai untuk mengikuti amanat orang tua dengan kebutuhan untuk mengejar karier tidak sejalan (Noviana dan Suci, 2010).

Cahyono dan Roswita (2013) mengatakan bahwa konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus, yang mana keduanya saling bertentangan. Konflik ini diibaratkan seperti makan buah simalakama, dimakan salah tidak dimakan juga salah, dan kedua pilihan yang ada memiliki akibat yang seimbang.

Wanita lajang merasakan adanya konflik interpersonal antara keinginannya untuk tetap berkarier dan mematuhi amanat orang tua untuk menikah. Dampak dari konflik interpersonal yang muncul pada individu yang bersangkutan berupa: timbulnya rasa trauma, selalu merasa tidak nyaman, bahkan berkurang atau hilangnya rasa percaya diri individu dalam masyarakat


(22)

5

(Cahyono dan Roswita, 2013). Noviana dan Suci (2010) menambahkan bahwa dampak dari konflik yang terjadi dapat mengganggu konsentrasi dan kinerja wanita karier, serta aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Performa dalam bekerja menjadi tidak maksimal karena fokusnya terpecah pada hal lain.

Peneliti melakukan wawancara dengan wanita lajang yang berusia empat puluh tahun pada hari Jumat, 15 April 2016. Berdasarkan hasil wawancara, informan mengatakan bahwa dirinya sudah dituntut menikah oleh orang tua. Hal ini dikarenakan umur informan sudah menginjak empat puluh tahun. Orang tuanya merasa khawatir apabila sang anak tidak segera menikah dan nantinya akan disebut sebagai perawan tua. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa lebih nyaman sendiri dan ia sangat menikmati pekerjaannya saat ini. Informan mengatakan bahwa memiliki pasangan baginya bukan prioritas untuk saat ini. Meskipun demikian, tuntutan tetap diperoleh dan kali ini bukan hanya dari orang tua saja, akan tetapi juga dari kakak iparnya yang mengatakan bahwa ibunya sering sakit beberapa bulan ini karena memikirkan anak bungsunya belum juga menikah. Tuntutan dari keluarga membuatnya tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Setiap apapun yang dilakukan terlintas omongan dari keluarga terutama ibu yang ingin menimang cucu dari anak bungsunya. Terkadang pekerjaan tidak terselesaikan dan tidak mencapai target yang telah ditentukan. Keharusan menikah yang ditanamkan dalam dirinya menjadikannya terhambat dalam menyelesaikan pekerjaan. Senada dengan apa yang dikatakan dalam Noviana dan Suci (2010) bahwa adanya keinginan


(23)

6

mempertahankan nilai untuk mengikuti amanat orang tua dengan kebutuhan untuk mengejar karier menjadi tidak sejalan.

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana gaya mengelola konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapatkan tuntutan orang tua untuk menikah. Berdasarkan penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan, khususnya di bidang psikologi sosial dan perkembangan tentang konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah.

B.RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gaya mengelola konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah.

C.TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya mengelola konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah.


(24)

7 D.MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan, khususnya di bidang psikologi sosial dan perkembangan tentang gaya mengelola konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada informan untuk bahan refleksi tentang gaya mengelola konflik interpersonal wanita lajang yang berkarier dan mendapatkan tuntutan orang tua untuk menikah.


(25)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.MENIKAH

Nikah (kbbi, 2015) adalah ikatan pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Menurut Dariyo (2004) menikah berarti individu terlibat aktif dalam ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ajaran agama. Ia menggambarkan menikah sebagai suatu ikatan yang suci antara suami-istri yang usianya memang sudah waktunya untuk menikah. Menikah didefinisikan oleh Santrock (2002) sebagai persatuan antara dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Hal ini berarti bahwa menikah adalah suatu ikatan pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama yang berlaku (kbbi, 2015; Dariyo, 2004; Santrock 2002).

Berikut ini ada beberapa alasan menikah (Turner & Helms, 1987, dalam Dariyo, 2004) sebagai berikut:

1. Commitment (komitmen). Banyak orang menginginkan adanya seseorang

mendedikasikan dirinya pada pasangannya dengan tulus. Pernikahan merupakan ekspresi dari tipe dedikasi ini, dan upacara pernikahan menjadi simbol dari komitmen.

2. One-to-one Relationship (hubungan pribadi antara seseorang dengan

seseorang yang lainnya). Artinya, hubungan yang dijalin dengan pasangan adalah hubungan yang berlangsung selamanya. Banyak orang yang ingin


(26)

9

hidup bersama dengan pasangannya untuk mendapatkan dukungan secara emosional dalam bentuk afeksi, rasa hormat, kepercayaan, dan keintiman suatu hubungan.

3. Companionship and sharing (persahabatan dan berbagi). Pernikahan

artinya menyediakan kesempatan untuk menanggulangi kesepian dan persaingan diri sendiri.

4. Love (cinta). Hidup banyak orang akan semakin baik apabila mereka

menjadi berarti bagi orang lain. Banyak orang yang ingin mendapatkan seseorang yang akan memberi mereka cinta yang tak bersyarat dan mereka dapat membalas cinta tersebut. Pernikahan menawarkan kesempatan bagi setiap pasangan untuk memenuhi kebutuhan dasar akan cinta.

5. Happiness (kebahagiaan). Adanya kebahagiaan dalam berbagai fase

kehidupan sangatlah penting bagi setiap orang. Banyak orang mengharapkan pernikahan pernikahan adalah sumber kebahagiaan.

6. Legitimization of sex and children (pengesahan hubungan seksual dan

anak). Pernikahan memunculkan rasa hormat terhadap suatu perilaku seksual. Pengesahan akan adanya anak juga merupakan salah satu alasan untuk menikah. Dengan adanya anak, pasangan suami dan istri akan merasa lengkap karena mereka mendapatkan penerus keluarga.


(27)

10

Tujuan seseorang untuk menikah menurut Gilarso (2003) antara lain:

1. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih antara suami dan istri. Cinta yang semata-mata bukan dorongan nafsu dan rasa tertarik melainkan suatu kepuasan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya.

2. Kelahiran dan pendidikan anak, karena perkawinan merupakan suatu lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan untuk mempunyai anak. 3. Pemenuhan kebutuhan seksual. Individu dewasa awal yang normal pastinya

memiliki kebutuhan akan seksualitas dan kebutuhan ini layak dipenuhi dalam hubungan suami istri yang dipenuhi dengan kerelaan dan tanggung jawab sebagai perpaduan cinta dan kasih.

4. Perkawinan juga mempunyai tujuan untuk jaminan perlindungan, demi ketenangan, nama baik, kesejahteraan, dan kerukunan keluarga.

Motivasi seseorang untuk menikah, antara lain: adanya dorongan romantik dengan pasangan lawan jenis, hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup, keinginan untuk mendapatkan kepuasan seks terhadap lawan jenis, malu kalau disebut ‘gadis tua’, dan alasan yang primer adalah adanya hasrat untuk hidup bahagia bersama dengan pasangan yang dicintai (Kartono, 2006).


(28)

11 B. WANITA KARIER DAN MELAJANG

1. Wanita Karier

Wanita karier adalah seseorang yang mengalami atau memperoleh perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain dengan bekerja menggunakan pikiran, tenaga, dan fisik. Wanita karier diartikan sebagai wanita yang sudah mencapai posisi tertinggi pada suatu organisasi. Hal ini berarti bahwa wanita karier adalah seseorang yang memperoleh perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain (Anoraga, 2005, dalam Imanoviani & Djuniarto, 2013; Citrin dan Smith, 2003, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010).

Bagi wanita yang sudah menikah, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Disamping itu, bekerja juga dapat meningkatkan rasa percaya diri wanita yang bersangkutan untuk menghadapi kehidupan kariernya (Sulastrie dan Abas, 2012). Bahkan tidak sedikit wanita yang mengatakan bahwa alasan mereka bekerja adalah untuk menjaga keuangan keluarga tetap stabil, meskipun suami mereka juga bekerja (Beri dan Beri, 2013).

Berikut ini adalah ciri-ciri wanita karier (Munandar, 2001, dalam Dewi dan Basti, 2015): (1) wanita yang giat melakukan pekerjaan demi kemajuan, (2) kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan adalah yang berkaitan dengan kemampuannya, (3) bidang pekerjaan yang ditekuni sekarang adalah bidang yang sesuai dengan tujuan awal, yakni mendapatkan kemajuan.


(29)

12

Berikut ini ada beberapa hambatan yang dialami wanita ketika mengembangkan kariernya (Daeng, Hartati dan Widyastuti, 2005): 1. Faktor penghambat dari dalam, yakni berupa: sikap dari wanita

sendiri yang enggan untuk meningkatkan prestasi karena takut akan konsekuensi negatif dari prestasi yang akan dicapainya. Contohnya: ketakutan akan anak dan suami tidak terurus.

2. Faktor dari luar: adanya pandangan masyarakat yang masih menganggap bahwa wanita lebih rendah daripada pria sehingga kurang dipercaya untuk menduduki jabatan tertentu. Selain itu, kurangnya dukungan dari suami juga menjadi faktor penghambat.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai wanita karier diperoleh hasil, yakni diketahui bahwa wanita karier yang sudah menikah memiliki peran ganda. Peran sebagai wanita karier dan peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak-anak. Oleh karena itu, peran ganda ini memicu adanya dampak bagi seorang wanita karier yang sudah menikah, yakni berkurangnya waktu dan perhatian terhadap suami dan anak (Daeng, Hartati dan Widyastuti, 2005).

2. Melajang

Lajang atau hidup sendiri (single), yakni orang yang tidak menikah, sedang tidak terlibat hubungan romantis dengan lawan jenis


(30)

13

dan juga tidak memiliki teman yang tinggal dan hidup bersama di tempat tinggal yang sama. Melajang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hidup melajang atau hidup sendiri. Dariyo (2004) menambahkan bahwa hidup sendiri adalah salah satu pilihan hidup yang ditempuh oleh seorang individu. Hidup sendiri berarti ia sudah memikirkan resiko-resiko apa saja yang akan timbul sehingga mau tidak mau ia harus siap menanggung segala kerepotan yang muncul dalam perjalanan hidupnya Hal ini berarti bahwa melajang atau lajang adalah seseorang yang hidup sendiri dan tidak menikah (Stein, 1976, dalam Sutanto & Haryoko, 2010 ; kbbi, 2015; dan Dariyo, 2004). Seorang wanita yang masih lajang atau melajang dengan statusnya mereka memperoleh keuntungan, yakni: kebebasan, kesenangan, waktu untuk membangun sebuah persahabatan, dan adanya kepuasan akan materi yang dapat dinikmati sendiri (Rouse, 2006, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010). Wanita lajang dapat memperoleh rasa keintiman melalui hubungan pertemanan yang di dalamnya terdapat kasih sayang, komitmen, dan dapat berlangsung hingga waktu yang lama (Peter Stein, 1981, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010).

Berikut Shostack (dalam Pratiwi, 2007) menjabarkan beberapa tipe wanita lajang:

1. Ambivalent

Tipe ini merupakan individu yang secara suka rela melajang dan menganggap kesendiriannya adalah sementara.


(31)

14

Mereka tidak mencari pasangan untuk menikah, tetapi tetap terbuka dengan rencana-rencana menikah. Biasanya wanita dengan tipe ini lebih mengutamakan pendidikan, karier, dan kesenangan.

2. Wishful

Individu yang termasuk dalam tipe ini adalah mereka yang aktif mencari pasangan, akan tetapi belum menemukan yang cocok. Dengan kata lain, mereka sudah siap untuk menikah.

3. Resolve

Tipe ini adalah individu yang melajang dikarenakan pilihan mereka sendiri, seperti: romo atau pastor, biarawan, biarawati, dan sebagainya.

4. Regretful

Tipe ini sebenarnya mereka memilih untuk menikah. Akan tetapi karena menyerah pada nasib, mereka tidak bisa menikah. Misalnya saja mereka yang memiliki cacat secara fisik maupun psikis, kaum lesbian, dan sebagainya.

Berikut ini terdapat alasan menurut para ahli mengapa wanita melajang: 1. Kehidupan pribadi yang bebas

Dariyo (2004) mengatakan bahwa wanita ingin menjalani hidup secara bebas. Hidup sendiri dipilih seseorang untuk menyenangkan diri sendiri tanpa diganggu dengan kehadiran orang lain. Pilihan apapun yang dilakukan diharapkan dapat memenuhi


(32)

15

kebutuhan diri mereka sendiri. Artinya, seseorang dapat bebas menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa diganggu. Hidup sendiri merupakan pilihan yang harus dijalani sepanjang hidupnya dengan menerima konsekuensi positif dan negatif. Serupa dengan Wulandari, Nurlasam dan Ibrahim (2015) yang mengatakan bahwa wanita ingin menjalani kehidupan yang pribadi secara bebas. Sejalan dengan feminisme liberal, yakni pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Perempuan juga harus menuntut haknya tanpa harus bergantung pada laki-laki. Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010) menambahkan bahwa adanya gaya hidup yang menggairahkan juga dapat mempengaruhi wanita untuk melajang. Artinya, gaya hidup yang bisa dinikmati sendiri tidak ada yang mengatur dirinya kapan harus berada di rumah tepat waktu.

2. Besarnya peluang untuk meningkatkan jenjang karier.

Dariyo (2004) mengatakan bahwa wanita karier terlanjur memikirkan karier pekerjaan tidak menutup kemungkinan, individu yang mencapai jenjang karier tinggi akan merasa kesulitan memperoleh jodoh yang diharapkan karena tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Akhirnya, setelah lama tidak menemukan pasangan yang sesuai, maka ia sibuk dengan kariernya. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Nursalam dan Ibrahim


(33)

16

(2015) yang mengatakan bahwa wanita karier terlalu memikirkan karier dan pekerjaannya. Dalam terori feminisme, kaum wanita ingin memperjuangkan haknya agar dapat setara dengan laki-laki. Hal ini semakin didukung dengan perkembangan jaman yang mengakibatkan semakin meningkatnya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010) menambahkan faktor yang serupa, yakni adanya keinginan untuk meniti karier dan senang berpergian. Meniti karier yang disenangi dapat menjadikan wanita karier menikmati dan ingin memperoleh kedudukan yang lebih. Selain itu, senang berpergian kemanapun yang diinginkan merupakan hal yang menyenangkan untuk menikmati hasil kerja keras sendiri.

3. Ketidakcocokan dengan lawan jenis.

Dariyo (2004) berpendapat bahwa wanita karier menunda untuk menikah karena adanya perasaan trauma pada masa lalu. Perasaan yang dipermainkan oleh kekasih menjadi penyebab munculnya perasaan takut untuk membangun rumah tangga. Akibatnya, mereka merasa takut untuk membentuk kehidupan rumah tangga. Selain itu, ada yang berpandangan bahwa dengan hidup berumah tangga berarti akan melahirkan, mengurusi, mendidik anak-anak, dan mengurus pasangan. Hal ini berarti, ia tidak dapat berkonsentrasi mencapai keinginan yang


(34)

dicita-17

citakannya. Faktor yang hampir serupa menurut Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010), yakni sering gagal dalam mencari pasangan hidup dan tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang sesuai dengan kriteria (Nanik dan Hendriani, 2016). Sering gagal mencari pasangan dikarenakan adanya kriteria tertentu yang kurang sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, wanita karier sulit mendapatkan pasangan.

4. Trauma perceraian.

Dariyo (2004) mengatakan bahwa adanya pilihan untuk menunda pernikahan disebabkan karena trauma perceraian. Bagi sebagian orang perceraian merupakan hal yang biasa. Kerap kali setelah menikah tidak lama kemudian perkawinan hancur karena masing-masing pasangan memilih hidup sendiri. Bagaimanapun peristiwa perceraian memberikan dampak luka batin yang tidak mungkin dilupakan seumur hidup, baik wanita maupun pria. Dengan hidup sendiri, seseorang merasa bebas menikmati seluruh aktivitas yang dilakukan tanpa memperoleh gangguan dari pihak lain. Hurlock (1990) menambahkan faktor lain, yakni kekecewaan di masa lalu yang dialami dalam keluarga dengan pengalaman pernikahan dan kehilangan kepercayaan dalam dirinya terhadap pernikahan karena trauma masa lalu orang tua (Nanik dan Hendriani, 2016). Kecewa di masa lalu terhadap pengalaman


(35)

18

pernikahan menjadikan seseorang untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan kembali dengan lawan jenis. Adanya rasa takut dalam diri sendiri apabila terulang kembali ketika menjalin hubungan baru.

5. Perasaan dibutuhkan oleh keluarga di rumah.

Wulandari, Nursalam dan Ibrahim (2015) mengatakan bahwa adanya perasaan dibutuhkan oleh keluarga di rumah menjadikan wanita karier menunda pernikahan. Sejak kecil orang tua selalu merawat anaknya. Inilah saatnya membalas jasa orang tua. Adanya rasa kasihan pada orang tua menjadikan seseorang untuk lebih bertanggung jawab. Hal ini didukung juga dengan peryataan dari Hurlock (1990) yakni wanita karier menganggap dirinya mempunyai tanggung jawab dan waktu untuk orang tua dan saudara-saudaranya.

6. Kenyamanan untuk hidup sendiri tanpa pasangan.

Kartono (2006) mengatakan bahwa adanya sikap egosentrisme atau narsisme yang berlebihan pada diri wanita karier. Cinta yang berlebihan pada diri sendiri. Cinta diri atau narsisme adalah hal wajar, bahkan sangat perlu untuk mempertahankan harga diri. Apabila berlebihan, akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang kedua adalah musim


(36)

19

pasang dari kebudayaan. Adanya perubahan secara teknologi dan kepandaian manusia yang lama kelamaan melupakan agama dan hanya menjadikan individu semakin individualis. Wulandari, Nursalam dan Ibrahim (2015) menambahkan bahwa adanya prioritas-prioritas kehidupan lainnya. Kebanyakan dari mereka yang masih lajang mengatakan bahwa menikah bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Apalagi saat ini perkawinan tidak selamanya bahagia karena semakin banyaknya kekerasan dalam rumah tangga, poligami, dan perceraian. Sumber lain menambahkan terlalu lama sandiri sehingga sudah nyaman dengan keadaan yang dialaminya (Nanik dan Hendriani, 2016).

7. Masalah ideologi dan panggilan agama.

Individu yang mempercayai suatu kepercayaan tertentu (ideologi politik atau agama tertentu) dan berusaha untuk mempertahankan keyakinan tersebut, ia memilih untuk tidak menikah. Rasul Paulus salah satu contoh orang yang melakukan kehidupannya sendiri. Orang yang memilih untuk hidup selibat dianggap sebagai orang yang mempunyai keputusan untuk hidup suci karena sepanjang hidupnya tidak akan pernah menikah dan tidak akan pernah melakukan hubungan seks dengan siapapun (Dariyo, 2004).


(37)

20

8. Tidak pernah mencapai usia kematangan sebenarnya.

Kematangan bukan semata-mata hanya mental dan fisik saja, akan tetapi juga harus mencapai kematangan secara sosial, seperti mampu beradaptasi pada lingkungan sosial di tengah masyarakat dan mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Kematangan ini sudah seharusnya dimiliki oleh setiap individu karena berguna untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan juga pasangan setelah menikah(Kartono, 2006).

9. Ketakutan akan munculnya konflik dalam keluarga.

Banyaknya kekerasan dalam rumah tangga dan berujung pada perceraian. Pengalaman rekan kerja yang sudah berkeluarga mengenai kehidupan ekonomi dan kebutuhan anak untuk bersekolah juga menjadikam pertimbangan seseorang untuk menikah (Nursalam dan Ibrahim 2015).

10.Identifikasi secara ketat terhadap orang tua.

Adanya kelekatan dengan orang tua dari usia kanak-kanak yang menjadikan seorang wanita dewasa sulit menemukan pasangan atau calon suami yang sesuai dengan dirinya. Setiap kali ia bertemu dengan seorang pria selalu saja hasilnya kurang sukses karena ia selalu terbayang dengan sosok ayahnya. Wanita yang


(38)

21

seperti ini tidak akan bisa terlalu lama terpisah dari ayahnya. Lama-kelamaan akan sulit mendapatkan pasangan (Kartono, 2006).

11.Anggapan bahwa diri tidak menarik.

Menurut Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010), dengan usia yang sudah seharusnya menikah, wanita lajang merasa tidak memiliki ketertarikan khusus pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh adaya rasa kurang percaya diri untuk tampil di depan orang lain terutama denagan lawan jenis.

C. KONFLIK INTERPERSONAL

Konflik dapat dialami oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Konflik juga dibagi dalam beberapa kategori salah satunya adalah konflik interpersonal. Konflik interpersonal merupakan suatu pertentangan yang diekspresikan oleh dua pihak atau lebih yang saling berkaitan dan memiliki perbedaan tujuan, sumber daya terbatas, dan adanya pihak lain yang ingin ikut campur dalam konflik yang terjadi (Beebe dan Redmond, 2004).

Konflik interpersonal merupakan salah satu konsekuensi dari kehidupan sosial yang memerlukan interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut dapat menimbulkan perbedaan pendapat, perbedaan tujuan atau persaingan yang memicu konflik interpersonal. Jenis konflik ini bersifat antarpribadi yang biasa terkait dengan sejumlah keterampilan hubungan


(39)

22

sosial yang dimiliki masing-masing orang. Semakin seseorang memiliki keterampilan dalam menjalin hubungan sosial (penyesuaian diri yang buruk, komunikasi tidak lancar, kepekaan kurang memadai) (Johnson, 1981, dalam Supratiknya, 1995).

Konflik interpersonal adalah suatu masalah yang serius yang dapat dihadapi oleh semua orang sebab konflik tersebut dapat berpengaruh cukup mendalam terhadap emosi seseorang. Emosi yang timbul dari dua orang yang saling berselisih berkembang sehingga mengakibatkan rusaknya hubungan komunikasi (Astuti, 2003).

Menurut Winardi (1994) konflik interpersonal dapat terjadi pada dua individu atau lebih yang sifatnya kadang-kadang adalah substantif atau emosional, yakni:

a. Konflik yang sifatnya substantif (substantive conflict) meliputi ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti tujuan, alokasi sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan, prosedur, serta penugasan pekerjaan.

b. Konflik yang sifatnya emosional (emosional conflict) timbul karena rasa perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut, dan sikap menentang.

Menurut Pickering (2000, dalam Wahyuningsih, 2008) mengatakan bahwa setiap orang mempunyai empat kebutuhan dasar psikologis, yakni:


(40)

23

a. Keinginan untuk dihargai dan diperlakukan sebagai manusia

Setiap orang ingin diakui keberadaannya dan dihargai. Penghargaan merupakan hal yang dapat dijadikan sebagai motivasi bagi seseorang.

b. Keinginan untuk memegang kendali

Orang yang memiliki keinginan untuk memegang kendali pada dasarnya tidak memiliki rasa percaya diri. semakin besar rasa percaya diri, maka semakin kecil keinginan untuk mengendalikan orang lain. c. Keinginan memiliki harga diri tinggi

Rasa harga diri yang tinggi merupakan landasan yang kokoh untuk menghadapi berbagai macam jenis situasi dan memecahkan masalah.

Mardianto (1990) mengemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik bersumber dari individu sebagai bagian dari kelompok yang dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Karakteristik individu, yaitu nilai, sikap dan keyakinan, kebutuhan dan kepribadian, serta persepsi

b. Kondisi situasional yang dapat mendorong timbulnya konflik, yaitu keadaan saling bergantung, kebutuhan untuk saling berinteraksi, perbedaan status, komunikasi, tanggung jawab, dan adanya peraturan yang ambigu.

c. Kondisi yang kompleks dalam kelompok juga dapat menimbulkan konflik, yakni adanya spesialisasi dan differenisiasi kerja, tugas saling


(41)

24

bergantung, tujuan utama yang ingin dicapai, keputusan, dan peraturan-peraturan.

Dalam menyelesaikan konflik ada strategi yang dapat dilakukan. Strategi tersebut merupakan hasil belajar yang biasanya dimulai dari masa kanak-kanak. Bila seseorang terlibat dengan orang lain dalam suatu konflik, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yakni (Johnson, 1981, dalam Supratiknya, 1995):

a. Tujuan-tujuan atau kepentingan pribadi kita. Tujuan-tujuan pribadi tersebut dapat dirasakan sebagai hal yang sangat penting sehingga harus diselesaikan atau tidak terlalu penting sehingga dapat kita korbankan b. Hubungan baik dengan pihak lain, seperti tujuan pribadi, hubungan dengan

pihak lain (dengan siapa kita berkonflik ini juga dapat kita rasakan) apakah merupakan hal yang penting atau sama sekali tidak penting

Bertingkah laku dalam saat menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain kita rasakan. Berdasarkan dua pertimbangan tersebut, dapat dipertimbangkan lima gaya mengelola konflik interpersonal, yaitu:

a. Gaya kura-kura

Kura-kura dianggap lebih senang menarik diri dengan bersembuyi di balik tempurung untuk menghindari konflik. Mereka cenderung untuk menghindar dari sumber masalah dan orang-orang yang dapat menimbulkan konflik. Kura-kura percaya bahwa setiap usaha yang


(42)

25

dilakukan untuk memecahkan konflik akan sia-sia. Lebih baik memilih untuk menarik diri atau menghidar secara fisik maupun psikologis dari konflik daripada menghadapinya. Dalam tokoh pewayangan, sikap semacam ini kiranya dapat ditemukan dalam figur Baladewa.

b. Gaya ikan hiu

Ikan hiu senang untuk mengalahkan lawannya dengan memaksanya menerima solusi konflik yang ia sodorkan. Menurutnya, mencapai tujuan pribadi adalah hal utama, sedangkan hubungan dengan pihak lain tidak terlalu penting. Konflik harus diselesaikan dengan cara salah satu pihak menang dan pihak lainnya kalah.Watak ikan hiu adalah selalu mencari kemenangan dengan cara menyerang, mengungguli, dan mengancam ikan-ikan lain. Dalam tokoh pewayangan, sikap ini dapat ditemukan dalam tokoh Duryudana. c. Gaya kancil

Kancil sangat peduli dengan hubungan dengan orang lain dan kurang mengutamakan tujuan pribadinya. Ia ingin diterima dan disukai oleh binatang lain. Kancil memiliki keyakinan, yakni konflik harus dihindari demi kerukunan. Setiap konflik tidak mungkin dipecahkan tanpa merusak hubungan. Konflik harus didamaikan, bukan dipecahkan agar hubungan tidak menjadi rusak. Dalam tokoh pewayangan, ditemukan dalam diri tokoh Puntadewa.


(43)

26 d. Gaya rubah

Rubah dikenal sebagai binatang yang suka untuk berkompromi. Baginya, mencapai tujuan pribadi dan menjalin hubungan baik dengan pihak lain merupakan hal yang penting. Ia mau mengorbankan sedikit tujuan-tujuannya dan hubungan baik dengan pihak lain demi tercapainya kepentingan dan kebaikan bersama.

e. Gaya burung hantu

Burung hantu sangat mengutamakan tujuan pribadinya sekaligus hubungan dengan pihak lain. Menurut burung hantu, konflik merupakan sesuatu hal yang harus dicari pemecahannya dan pemecahannya harus sejalan dengan tujuan pribadi maupun tujuan lawannya. Bagi burung hantu, konflik bermanfaat meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi ketegangan yang terjadi antara dua pihak yang berhubungan. Ketika menghadapi konflik, burung hantu akan selalu mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak dan yang mampu menghilangkan ketegangan, serta perasaan negatif lain yang mungkin muncul di dalam diri kedua pihak akibat konflik. Dalam dunia pewayangan, dikenal dengan nama Kresna.


(44)

27

D. KONFLIK INTERPERSONAL WANITA LAJANG YANG BERKARIER DAN MENDAPAT TUNTUTAN ORANG TUA UNTUK MENIKAH

Setiap individu tentunya memiliki permasalahan. Baik permasalahan dengan orang tua, dengan teman, dengan rekan kerja, ataupun dengan diri sendiri. Hal ini dapat terjadi kapan dan di mana saja tanpa diduga. Permasalahan atau biasa juga disebut dengan konflik. Intinya, siapa saja dapat mengalami jenis konflik ini, termasuk wanita lajang yang berkarier. Bentuk tuntutan dari orang tua bermacam-macam, ada yang berupa pertanyaan: “Kapan menikah?”. Ada pula yang mendapat tuntutan dari perjodohan yang selalu dilakukan dari orang tua (Noviana dan Suci, 2010). Wanita lajang merasakan adanya konflik interpersonal antara keinginannya untuk tetap berkarier dan mematuhi amanat orang tua untuk menikah. Terkadang mereka mengalami hambatan untuk mengerjakan tugasnya, sulit untuk berkonsentrasi dan fokus, terutama ketika tugas yang diberikan harus segera selesai. Permasalahan yang muncul bisa dari mana saja dan kapan pun. Noviana dan Suci, (2010) menambahkan bahwa dampak dari konflik yang terjadi tersebut dapat mengganggu konsentrasi dan kinerja wanita karier, serta aktivitas yang dilakukan sehari-hari.

Tuntutan yang diberikan oleh orang tua memicu timbulnya konflik interpersonal, yakni antara wanita lajang yang berkarier dengan orang tuanya. Konflik interpersonal yang terjadi dengan orang tua tersebut mengakibatkan dampak pada sang anak (wanita lajang yang berkarier) pada saat bekerja dan


(45)

28

melakukan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui gaya mengelola konflik interpersonal pada wanita lajang yang berkarier dan mendapatkan tuntutan orang tua untuk menikah.

E.PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana gaya mengelola konflik interpersonal pada wanita lajang yang berkarier dan mendapat tuntutan orang tua untuk menikah?


(46)

29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang mencoba untuk menggali arti menurut para informan, sehingga peneliti harus terjun langsung ke lapangan atau suasana alamiah informan untuk mengambil berbagai macam data, seperti melalui wawancara, observasi, maupun dokumen-dokumen. Penelitian kualitatif mencoba untuk mencari gambaran secara keseluruhan dari isu yang diteliti, sehingga bisa saja penelitian yang akan dilaksanakan menjadi lebih luas dari perencanaan penelitian yang telah disusun sebelumnya (Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015).Tujuan penelitian kualitatif yaitu memberikan uraian deskriptif mengenai fenomena yang diselidiki. Penelitian ini melibatkan pengumpulan data dalam bentuk laporan verbal naturalistik, seperti transkrip wawancara atau pernyataan tertulis, kemudian analisis yang dilakukan bersifat tekstual (Smith, 2009).

Penelitian kualitif deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk menggambarkan masalah-masalah berupa realita yang terjadi pada saaat ini dari sekelompok individu, suatu objek, atau kondisi pada masa sekarang (Sugiyono, 2014). Poerwandari (2005) menambahkan bahwa kualitatif deskriptif memiliki ciri yakni penyimpulan faktual atau mendeskripsikan


(47)

fakta-30

fakta mengenai informan dan merupakan model paling sederhana dari pendekatan kualitatif.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada bagaimana gaya mengelola konflik interpersonal yang dialami oleh wanita lajang yang berkarier dan mendapatkan tuntutan orang tua untuk menikah. Hal ini menarik untuk diteliti karena ada sebagian kecil dari wanita karier yang belum menikah. Wanita muda pada usia dewasa awal yang ingin fokus pada pekerjaan memilih untuk menunda pernikahan karena pernikahan terkadang menjadi penghambat bagi wanita untuk meraih cita-cita mereka (Noviana dan Suci, 2010). Status lajang yang dimiliki seorang wanita menimbulkan adanya tuntutan untuk menikah dari orang tua. Hal ini mengakibatkan timbulnya konflik interpersonal dalam diri wanita yang bersangkutan. Setiap konflik selalu mengakibatkan pihak yang terlibat di dalamnya menjadi tidak nyaman, maka dibutuhkan sebuah pemahaman tentang konflik, khususnya konflik interpersonal (Cahyono dan Roswita, 2013).

C. INFORMAN PENELITIAN

Informan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita lajang yang sedang berkarier atau bekerja dan belum menikah. Informan pertama berusia dua puluh lima tahun, yang kedua tiga puluh lima tahun dan yang ketiga berusia empat puluh dua tahun. Teknik sampling yang digunakan adalah purposeful


(48)

31

sampling. Purposeful sampling adalah teknik pengambilan sample yang dilakukan dengan berdasarkan kriteria yang ditentukan yang sesuai dengan tujuan penelitian(Herdiansyah, 2010).

D.METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang akan dilakukan menggunakan metode Wawancara Semi-Terstruktur. Jenis wawancara ini termasuk dalam kategori in-depth-interview, yang mana pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dilakukan wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan, pendapat, dan ide secara lebih terbuka dari pihak yang diwawancara (Sugiyono, 2014). Peneliti akan memberikan pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara. Akan tetapi, urutan wawancara pada masing-masing informan tidak akan sama karena tergantung pada jawaban setiap informan penelitian (Rachmawati, 2007 dalam Herdiansyah, 2010). Peneliti menggunakan Wawancara Semi-Terstruktur karena peneliti dapat bebas berimprovisasi saat informan menjawab pertanyaan yang perlu dikembangkan lagi sesuai dengan alur dan tetap pada topik yang sudah ditentukan (Herdiansyah, 2010).

Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun rumusan pertanyaan dan dijadikan sebagai panduan selama proses wawancara. Hal ini dilakukan supaya peneliti fokus dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya (Herdiansyah, 2010). Pertanyaan utama dalam penelitian ini


(49)

32

adalah bagaimana konflik interpersonal yang dialami oleh wanita lajang yang berkarier dan mendapatkan tuntutan orang tua untuk menikah.

Tabel 1.

Panduan pertanyaan wawancara

No. Pertanyaan

1. Latar belakang kehidupan informan dan keluarganya 2. Latar belakang pekerjaan

3. Kehidupan pekerjaan informan 4. Rencana jangka pendek informan 5. Rencana jangka panjang informan

6. Pengalaman informan berkaitan dengan pekerjaannya 7. Sikap orang tua terhadap informan

8. Konflik yang terjadi di dalam keluarga (perlakuan atau sikap

anggota keluarga terutama orang tua seperti apa yang sering dialami oleh informan)

9. Dampak yang dialami informan terhadap kegiatan sehari-hari 10. Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik

11. Pengalaman apa saja yang dialami ketika berpacaran 12. Harapan terhadap pasangan dan menikah

13. Harapan untuk orang tua

Selain menggunakan panduan wawancara, peneliti juga akan menggunakan alat perekam untuk mendukung pengumpulan data.

E.METODE ANALISIS DATA

Menurut Smith (1995, dalam Poerwandari, 2005) terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk transkrip wawancara, yaitu:


(50)

33

1. Membaca transkrip berulang-ulang untuk mendapatkan pemahaman tentang kasus atau masalah kemudian menggunakan menuliskan tema-tema yang muncul maupun kata kunci yang dapat menangkap esensi data dari verbatim.

2. Peneliti dapat menuliskan kesimpulan sementara. Pada tahap ini belum dilakukan penyimpulan konseptual apapun. Penyimpulan terlalu cepat hanya akan menghalangi peneliti untuk memperoleh pemahaman secara utuh mengenai realitas yang ditelitinya.

3. Selanjutnya, peneliti akan mendaftarkan tema-tema yang muncul dan mencoba memikirkan hubungan-hubungan antara masing-masing tema. 4. Setelah peneliti melakukan proses di atas pada masing-masing transkrip

wawancara, maka peneliti dapat menyusun ‘master’ berisikan daftar tema-tema dan kategori yang telah disusun sehingga menampilkan pola hubungan antarkategori.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk analisis data kualitatif deskriptif menurut Poerwandari (2005), yaitu:

1. Pertama, memindahkan hasil wawancara ke dalam bentuk verbatim (transkrip wawancara).

2. Kemudian setiap barisnya diberikan nomor sebagai kode (coding) untuk memudahkan peneliti membuat tema.

3. Selanjutnya, melakukan analisis awal berupa pemadatan faktual. Pemadatan faktual yang dilakukan berupa menghilangkan


(51)

pertanyaan-34

pertanyaan dalam penulisan verbatim dan hanya menuliskan jawaban-jawaban informan.

4. Tahap selanjutnya adalah menemukan tema-tema berdasarkan jawaban-jawaban informan. Berdasarkan tema-tema tersebut ditemukan tema-tema yang besar dan kemudian akan digabung untuk menemukan tema yang lebih luas untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi.

5. Tahap terakhir adalah melakukan interpretasi yang digabungkan dengan teori-teori yang berhubungan dengan topik penelitian.

F. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah lain dalam memberikan validitas dalam kualitatif. Validitas kualitatif menurut Gibs (dalam Creswell, 2010) merupakan pemeriksaan akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur tertentu. Berikut ini ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menguji valid atau tidaknya suatu data menurut Marvasti (2004, dalam Herdiansyah, 2010), antara lain:

1. Menggunakan validasi informan (member checking)

Maksudnya, mengecek ulang data dengan menunjukkan salinan verbatim wawancara beserta analisis dari peneliti kepada informan. Peneliti meminta responden untuk membaca dan menilai analisis yang telah ditulis sesuai dengan wawancara yang telah dilakukan. Selain itu, analisis peneliti terhadap verbatim apakah sudah sesuai dan sejalan dengan apa


(52)

35

yang dipahami dan dimaksudkan oleh informan. Jika kedua hal tersebut sudah sesuai, setelah itu informan menandatangani lembar verbatim. 2. Trianggulasi perspektif

Istilah lain dari trianggulasi adalah multilevel perspective, yang dimaksudkan dengan menggunakan perspektif orang lain. Metode yang digunakan yakni pemeriksaan data dengan cara membandingkan data berdasarkan instrumen pengumpulan data.

3. Menggunakan bahan reverensi

Bahan reverensi membantu peneliti untuk mendefinisikan bahan penelitian yang tepat dan metode dalam pengumpulan data. Selain itu, referensi dapat menjadi penggerak atau acuan terhadap hasil penelitian.


(53)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan November 2016 hingga April 2017. Peneliti menggunakan wawancara sebagai metode utama pengumpulan data. Peneliti mewawancari tiga orang informan wanita karier.

Pada saat melakukan pertemuan dengan informan, peneliti menjelaskan beberapa hal mengenai topik penelitian, tujuan, dan juga manfaat dari penelitian. Setelah menjelaskan beberapa hal tersebut, informan diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan terbuka. Peneliti juga menyampaikan bahwa informan dapat memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang diberikan bila tidak ingin menjawab.

Sebelum pertemuan kedua dilakukan, peneliti mempersiapkan lembar persetujuan (informed consent) untuk meminta persetujuan informan. Selain menggunakan informed consent, peneliti juga meminta persetujuan dari informan untuk menggunakan alat perekam. Alat perekam berfungsi untuk merekam pembicaraan selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat ini juga berfungsi untuk membantu peneliti ketika membuat verbatim.

Ketika akan melakukan wawancara formal untuk mendapatkan data, peneliti juga melakukan pendekatan dengan informan. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya pada saat wawancara formal berlangsung, informan tidak merasa canggung dan sungkan untuk mejawab pertanyaan yang


(54)

37

diberikan. Wawancara formal dilakukan kepada ketiga informan hingga semua data yang diperlukan selesai. Berikut adalah urutan kegiatan wawancara yang dilakukan:


(55)

38 Tabel 2

Pelaksanaan Wawancara

Waktu Kegiatan Tempat

16 November 2016 Wawancara pertama informan I

Rumah makan 05 Desember 2016 Wawancara kedua

informan I

Rumah makan 13 Desember 2016 Wawancara pertama

informan II

Rumah makan 04 Maret 2017 Wawancara kedua

informan II

Rumah makan 11 Maret 2017 Wawancara ketiga

informan II

Rumah makan 20 Maret 2017 Wawancara pertama

informan III

Rumah makan 21 Maret 2017 Wawancara ketiga

informan I

Rumah makan 27 Maret 2017 Wawancara keempat

informan I

Rumah makan 28 Maret 2017 Wawancara kedua

informan III

Rumah makan 02 April 2017 Wawancara kelima

informan I

Rumah makan 03 April 2017 Wawancara keempat

informan II

Rumah makan

Berikut ini pada Tabel 3, peneliti melakukan member checking yang berfungsi untuk mengecek ulang data dengan menunjukkan salinan verbatim wawancara beserta analisis dari peneliti kepada informan. Peneliti meminta responden untuk membaca dan menilai analisis yang telah ditulis sesuai dengan wawancara yang telah dilakukan. Selain itu, analisis peneliti terhadap verbatim apakah sudah sesuai dan sejalan dengan apa yang dipahami dan dimaksudkan oleh informan. Jika kedua hal


(56)

39

tersebut sudah sesuai, setelah itu informan menandatangani lembar verbatim.

Tabel 3

Member checking

Waktu Kegiatan Jawaban Informan 08 April 2017 Pelaksanaan member

checking informan pertama

“Ya.. Itulah sebagian kisah dari saya. Yang bisa saya

ceritakan.”

12 April 2017 Pelaksanaan member checking informan kedua

“Oh.. Iya. Benar itu semua yang terjadi sebagai anak sulung di rumah.”

15 April 2017 Pelaksanaan member checking informan ketiga

“Ya.. Memang itulah yang terjadi. Semoga dari jawaban dan kisah pengalaman saya bermanfaat.”

B. DESKRIPSI INFORMAN PENELITIAN 1. Profil Informan Pertama

Informan bekerja sebagai guru les Matematika. Usianya sekarang dua puluh lima tahun. Informan merupakan anak kedua dari dua berasaudara. Ibunya bekerja sebagai seorang guru dan bapaknya seorang pensiunan. Bapak dan ibu informan tinggal di kota Banten sedangkan informan dan kakak perempuannya tinggal di Yogyakarta sejak SMA. Setelah kakak informan lulus kuliah, informan tinggal sendiri di Yogyakarta dan kakaknya memilih untuk kembali ke Banten.


(57)

40

Informan mengatakan bahwa selama mereka bersama dari kecil tidak pernah akur dan selalu bertengkar. Akan tetapi setelah dewasa dan mereka tidak serumah lagi, kakak informan mulai mendekatkan diri dengan informan dengan cara berkomunikasi dan menceritakan tentang apa yang dirasakan saat ia ditanyakan tentang pasangan.

Keseharian informan selain sebagai guru les privat Matematika. Informan mengajar les privat mulai dari sore hari hingga malam hari. Informan mengatakan bahwa ia menikmati pekerjaannya karena berhubungan dengan pendidikan. Informan juga terkadang membantu yayasan sosial yang berada dekat dengan tempat tinggalnya. Informan mengatakan bahwa ia sering menghabiskan waktu di yayasan tersebut sambil mengisi waktu luang. Informan mengatakan bahwa ia merasa senang hati untuk membantu anak-anak yang ada di yayasan sosial tersebut, terutama dalam hal pendidikan. Informan mengajarkan mereka beberapa pelajaran sekolah yang mudah dipahami.

Informan pernah dekat dengan laki-laki. Informan mengatakan bahwa laki-laki ini adalah orang yang baik. Laki-laki ini juga sering curhat dengan informan mengenai masalahnya. Setelah beberapa lama dekat, informan pun mulai suka dengannya, namun ternyata laki-laki ini sudah punya pacar. Informan tidak tahu bahwa dia sudah memiliki pacar. Informan merasa sudah dibohongi. Oleh karena itu, informan sulit untuk terbuka dengan orang baru karena peristiwa ini.


(58)

41

Beberapa kegiatan diikuti informan untuk mendapatkan teman dan juga pasangan. Mulai dari mengikuti acara seminar dan kegiatan rohani. Hal ini dilakukan informan karena informan sadar bahwa dirinya kurang pergaulan, maka dirinya berusaha untuk mengikuti kegiatan supaya dapat menemukan pasangan.

2. Profil Informan Kedua

Informan kedua berusia tiga puluh lima tahun. Ayah informan bekerja di pabrik makanan di Jakarta, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga dan terkadang menerima pesanan kue di rumah. Informan merupakan anak sulung dan memiliki dua orang adik perempuan kembar yang masih SMA. Saat ini informan bekerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang industri. Informan bekerja sebagai seorang sekretaris. Informan mengatakan bahwa ia bekerja di perusahaan tersebut hanya untuk mengumpulkan uang untuk membangun toko kue. Informan ingin memiliki toko kue sendiri karena ia sangat suka membuat kue.

Informan terkadang membantu adik-adiknya untuk mengerjakan tugas sekolah. Setiap malam, informan bersama adik-adiknya duduk di ruang belajar untuk mengerjakan tugas sekolah mereka. Apabila ada yang tidak dipahami, maka informan akan membantu untuk menyelesaikan. Tak jarang, mereka juga bercerita bersama tentang apa yang dialami di sekolah.


(59)

42

Informan pernah memiliki pengalaman berpacaran dengan laki-laki. Mereka sudah berpisah sejak dua tahun yang lalu. Awalnya mereka berpacaran tanpa ada masalah. Namun setelah dua bulan berpacaran, mantan informan menjadi temperamen. Ia sulit mengendalikan emosi. Kemudian yang dilakukan informan adalah menanyakan kepada mantannya apa yang sebenarnya dialami dan apa masalah yang terjadi padanya. Akhirnya, informan pun mendapatkan jawabannya. Mantan informan mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dan ayahnya sudah meninggal. Saat ini, mantan informan tinggal dengan kakak dan ibunya.

Semua tanggung jawab untuk mencari nafkah ditanggung oleh mantan informan. Sejak kecil ia selalu hidup terbatas, termasuk untuk makan. Setelah mendengarkan jawaban dari mantannya, informan menawarkan untuk membantu keuangan keluarga mantannya. Mantan informan pada saaat itu menolak untuk dibantu oleh informan.

Beberapa bulan kemuadian, masalah muncul ketika mantan informan ingin meminjam uang untuk memperbaiki motor adiknya yang rusak. Mantan informan ingin meminjam uang dengan jumlah puluhan juta rupiah. Informan merasa bahwa jumlah tersebut terlalu banyak dan tidak mungkin ia dapat memberikannya. Informan merasa didesak untuk meminjamkan uang kepada mantannya. Mantan informan menyuruh informan untuk mencari pinjaman uang. Sejak saat itu, informan mulai merasa tidak nyaman dengan mantannya. Akhirnya, informan


(60)

43

memutuskan hubungan mereka dengan cara menghapus kontak mantannya.

Informan mengatakan bahwa ia belum dapat menjalin hubungan dengan laki-laki lain karena pengalaman dengan mantannya dua tahun yang lalu. Informan mengatakan bahwa ia tidak mau disakiti lagi oleh laki-laki. Bahkan, hingga saat ini informan masih mengingat kejadian di masa lalu yang mengganggu pekerjaannya di kantor.

3. Profil Informan Ketiga

Informan ketiga berusia empat puluh dua tahun. Informan merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Adik laki-lakinya sekarang sedang di Jakarta. Informan tinggal bersama kedua orang tuanya di Yogyakarta. Ayah informan bekerja sebagai pemegang kepala cabang salah satu perusahaan swasta di Yogyakarta dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Informan bekerja sebagai seorang pendeta. Informan dan adiknya selalu dimanjakan sejak kecil. Bisa dikatakan mereka selalu berkecukupan dalam hal apapun.

Ketika di rumah, informan terkadang membantu ibunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu dan memasak. Keseharian informan ialah sebagai seorang pendeta di salah satu gereja di Yogyakarta. Informan juga terkadang mengunjungi rumah jemaat yang sedang mengalami musibah. Selain itu, informan juga aktif mengikuti beberapa kegiatan sosial yang diadakan oleh jemaat gereja.


(61)

44

Informan pernah dekat dengan laki-laki. Mereka dekat karena sering kerja kelompok bersama. Mendekati ujian akhir laki-laki itu mengutarakan perasaannya kepada informan. Pada saat itu, informan tidak bisa menjawab karena ia tahu bahwa dirinya berencana untuk mendaftarkan diri ke universitas yang ada di Semarang. Informan sendiri tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh karena ia ingin memiliki pasangan yang bisa selalu tatap muka, diajak jalan, dan berdiskusi.

Pada suatu hari informan pergi ke Semarang untuk mendaftarkan diri. Ketika tiba di universitas tersebut ternyata sudah tutup pendaftarannnya. Informan merasa kecewa karena tidak mengetahui batas akhir pendaftaran. Di sisi lain, ia merasa senang karena bisa menjalani hubungan dengan laki-laki itu. Informan pun mulai menghubunginya, akan tetapi tidak ada jawaban. Bahkan tidak ada yang tahu kemana dia pergi.

Setelah dua hari informan mendapat kabar bahwa laki-laki itu dan keluarganya ternyata pindah mendadak ke Kalimantan untuk suatu urusan. Sejak saat itu, informan sulit untuk menjalin hubungan dengan laki-laki karena ia masih takut untuk menjalin hubungan. Informan takut kalau nanti sudah berpacaran, ia ditinggal lagi oleh pasangannya. Sama seperti yang dialaminya ketika SMA. Ini adalah salah satu alasan mengapa sampai saat ini informan belum memiliki pasangan.


(62)

45 C. HASIL PENELITIAN

1. Informan Pertama

Informan pertama mengalami konflik, yakni masih ingin fokus dengan pekerjaannya sekarang dan informan menjadikan anak les atau tanggung jawab sebagai alasan untuk menunda mencari pasangan. Di sisi lain, informan mengalami konflik dengan ibunya yang menanyakan dan meminta informan untuk serius mencari pasangan.

“Aku gak mungkin dong ninggalin mereka begitu

aja maksudnya aku tuh harus ada alasan yang jelas

kan untuk kasih tau kenapa aku gak bisa ngajarin

mereka lagi. Tapi di sisi lain aku juga harus cari

pasangan sesuai dengan yang mama tuntut ke aku.”

(W3. 6-9)

Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya konflik pada informan pertama, antara lain yang pertama adalah lingkungan. Lingkungan yang mendesak dengan pertanyaan tentang pasangan. Hal yang terkait, yakni merasa terbebani dari lingkungan yang menanyakan tentang pasangan. Keduanya berasal dari lingkungan yang menanyakan tentang pasangan dan membuat informan terbebani dengan hal tersebut. Faktor terakhir yang mempengaruhi munculnya konflik ialah informan merasa terbebani karena kondisi orang tua yang sudah tua.

“Bukan lingkungan gereja, lingkungan apa ya kalo di.. lingkungan X lah intinya. Banyak yang nanya‘kapan nikah’? Kapan nyusul?Aku juga merasa terbebani sama kayak kakakku.”


(63)

46

Dampak konflik yang terjadi ialah informan susah tidur dan malas melakukan apapun karena desakan yang diberikan. Informan juga menjadi sulit beristirahat karena memikirkan pertanyaan dari orang tua mengenai pasangan. Dampak lainnya ialah informan merasa kesusahan ketika mendapatkan desakan dari orang tua. Informan merasa terbebani karena sudah disuruh mencari pasangan untuk menikah.

”Desakan yang kadang bikin aku susah tidur dan

mau ngapa-ngapain males. Bahkan pas aku mau

makan aja males kemana-mana. Kadang sampai

gak tau mau beli makan apa. Kadang juga susah

tidur karena mikirin pertanyaan...”

(W1. 86 &148-150)

Oleh karena adanya dampak konflik yang muncul, maka muncul beberapa upaya untuk menghindari konflik, antara lain adalah internet dijadikan sebagai pelampiasan terhadap desakan orang tua dan menghindar dari ibu. Di sisi lain, terdapat upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik setelah adanya upaya menghindari konflik. Informan berusaha untuk mengikuti saran dari ibunya untuk mencari pasangan. informan juga berusaha untuk menjelaskan kepada ibunya mengenai dirinya yang belum memiliki pasangan. Selain berusaha untuk menjelaskan kepada ibunya, informan juga menyerahkan diri kepada Tuhan dan berdoa setiap pagi. Hal ini dilakukan informan karena ia mulai menyadari bahwa selain berusaha mengikuti seminar dan pertemuan-pertemuan, ia juga harus berdoa.

Adanya keinginan untuk berdoa, menjadikan informan untuk berusaha bangun dipagi hari dengan cara mengatur alarm dan meminta


(64)

47

bantuan dari temannya untuk membangunkannya. Informan melakukan semua ini dengan tujuan meminta jodoh pada Tuhan. Upaya lain yang dilakukan informan untuk menangani konflik dengan cara mengikuti kegiatan sarah sehan dan seminar. Oleh karena itu, muncul kesadaran dalam diri informan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dengan cara menulis doa khusus untuk mendapatkan pasangan. Akan tetapi, informan memiliki keinginan untuk berusaha melupakan mantan dan masa lalunya. Salah satu cara yang ingin dilakukan adalah meminta maaf kepada mantannya dan kemudian melupakannya.

“Aku berusaha bangun pagi dengan mengatur

alarm untuk bangun tepat waktu. Kadang juga aku

minta bantuan temanku bangunin karena biasanya

dia juga bangun pagi untuk berdoa. Habis itu aku mulai

bikin permohonan tentang jodohku itu pada TuhaKhusus

tiap pagi jam lima subuh harus aku bangun dan

mulai doa.”

(W4. 16-17 & 24-27)

Informan mengikuti beberapa kegiatan untuk mendapatkan pasangan. Ketika mengikuti suatu kegiatan, informan berusaha untuk tidak menutup diri berteman dengan orang baru. Informan juga menjadikan bangun pagi untuk berdoa sebagai motivasi untuk menyenangkan orang tua.

“...aku tapi aku gak menutup diri bergaul sama

orang baru. Baru kemarin ikut sarah sehan bedah

buku terus dapat kenalan tapi buat kenalan buat

cari cowok.”


(65)

48

Informan mengakui bahwa dirinya kurang pergaulan sehingga sulit mendapatkan pasangan. Hal ini juga didukung dengan adanya kebiasaan membandingkan orang lain dan masih ada rasa curiga informan akibat dari pengalaman masa lalu dengan pasangan. Di sisi lain, informan menyadari bahwa dirinya posesif terhadap mantan dan hal ini menyebabkan ia berpisah. Oleh sebab itu, muncul rasa bersalah dalam diri informan karena sudah berpisah dengan mantan. Akibatnya, pada saat bertemu dengan orang baru informan sering membandingkan orang tersebut dengan mantannya.

Informan merasa yakin bahwa permohonannya akan dikabulkan oleh Tuhan. Ia merasa yakin karena sudah berusaha mengikuti beberapa kegiatan dan sudah berdoa untuk memohon jodoh. Ayah informan juga memberikan nasehat kepada anaknya untuk bergaul agar mendapatkan pasangan.

2. Informan Kedua

Informan kedua merasa terbebani karena harus memberi contoh atau panutan dan statusnya sebagai anak sulung. Di sisi lain, tuntutan orang tua terhadap anak sulung menjadikan munculnya konflik pada informan. Orang tua informan juga berusaha mendekatkan dirinya dengan laki-laki.


(66)

49

“Kenapa ya aku udah harus mikir pasangan padahal aku masih mau kerja cari uang untuk bantu orang tua dan masih ada adek-adekku. Aku kadang nyalahin diriku sendiri.Misalkan aja tiba-tiba kepikiran sama mama dan aku tahu kalau mama sama papa itu udah tua dan aku anak pertama ya. Tanggung jawab aku sebagai anak belum selesai dan menurutku pasangan dan menikah itu bukan hal yang urgent untuk beberapa tahun ini. Aku nyesel sama diri sendiri karena aku ditahun sebelumnya belum bisa jadi anak yang bisa dibanggain sama ortu jadi sampai sekarang pun aku masih merasa kurang dan ya begitulah kira-kira akibatnya ya. Pikiran aku campur aduk jadi satu. Harus kerja di rumah juga udah tanggung jawab aku bantu ortu di rumah..”

(W3. 13-23)

Trauma dengan masa lalu yang dialami informan ini menjadikannya menutup diri terhadap laki-laki. Informan belum bisa dekat dengan laki-laki karena rasa kecewa dan sakit hati terhadap omongan orang tua mantannya.

“Belum bisa karena ya memang masa lalu aku menjalin hubungan gak berakhir dengan baik-baik, aku gak mau disakiti.”

(W1. 97-99)

Pengalaman masa lalu mempengaruhi konsentrasi informan saat bekerja. Informan juga menghidar dari orang tua karena malas ditanyakan tentang pasangan. Munculnya konflik dalam diri sendiri karena merasa masih punya banyak tanggung jawab. Informan juga merasa bersalah karena belum bisa membahagiakan orang tua. Informan baru menyadari ada yang aneh pada dirinya ketika diberitahu oleh temannya mengenai penampilan, terutama berat badan. Selain itu juga informan mengatakan bahwa beberapa hari belakangan ini senang mendengarkan lagu galau.


(67)

50

“Itu sih aku baru sadar pas ada teman kerjaan yang bilang, eh kamu kok sekarang kurusan ya tapi gak kelihatan cerah dan agak kucel.Hah? Masak iya begitu? Nah dari situ aku sadar ada yang aneh sama aku.”

(W3. 54-55 & 55-56)

Dengan adanya konflik yang dialami informan, timbullah upaya untuk menghindari konflik, yakni informan mengunjungi kedai kopi sebagai pelarian terhadap masalah yang dialami. Akan tetapi, informan juga berupaya untuk mengikuti beberapa kegiatan untuk mendapatkan pasangan dengan cara tidak menutup diri dengan orang baru. Informan juga menjadikan bangun pagi untuk berdoa sebagai motivasi untuk menyenangkan hati orang tua. Selain itu informan juga beranggapan bahwa tidak ada yang instan termasuk menemukan pasangan. Informan berupaya untuk menangani konflik dengan cara berdiskusi. Akan tetapi, informan menundanya karena kesehatan orang tua yang kurang baik. Informan ingin memiliki pasangan yang mapan dan berpenghasilan. Ia tidak mau lagi salah memilih pasangan seperti apa yang terjadi di masa lalunya. Informan optimis keinginannya akan dikabulkan oleh Tuhan untuk mendapatkan pasangan.

“Nah dari situ aku kayaknya jadi punya kriteria pasangan ku nanti harus mapan dan sudah

berpenghasilan. Aku berusaha mengambil tempat untuk sendiri berdoa kepada Tuhan supaya

dibukakan jalan menemukan pasanganku. Selalu begitu dan masih sampai hari ini.”

(W4.43-44 & W2. 81-82)

Informan tersentuh saat mendengarkan khotbah tentang bagaimana menyenangkan hati orang tua. Ia merasa bersalah karena terlalu sibuk


(68)

51

dengan urusan pribadi dan pekerjaan. Pada saat itu juga informan tersadar bahwa lewat doa ia bisa menemukan pasangan. Informan percaya, dengan berdoa pada Tuhan, pasti bertemu dengan pasangannya.

“Khotbah yang dibicarakan adalah tentang menyenangkan hati orang tua. Bagaimana menyenangkan hati orang tua dan apa saja yang bisa diperoleh anak dari menyenangkan hati orang tua. Salah satu cara yang disebutkan adalah berdoa pada Tuhan. Karena Tuhan adalah Maha

segalanya. Berdoa lewat Tuhan adalah perbuatan yang paling dapat membantu untuk menyenangkan hati orang tua. Selain itu juga Tuhan akan senang karena kita sebagai anak datang untuk berdoa padaNya. Dari khotbah itu deh spontan aku tersentuh.”

(W4. 9-16)

3. Informan Ketiga

Informan tidak dapat menjalani hubungan jarak jauh dan belum siap untuk menjalin hubungan dengan laki-laki karena takut ditinggal tanpa ada kabar. Selain itu, informan masih ingin fokus dengan pekerjaannya untuk melakukan pelayanan. Desakan dari ibu berupa pertanyaan tentang pasangan dan status sebagai anak sulung menjadi konflik yang dialami informan ketiga.

“Maksudnya ya aku gak bisa kalau harus pacaran jarak jauh karena aku mau nya punya pacar yang bisa diajak jalan dan diskusi bareng dengan tatap muka dan sering bertemu. Kalau LDR kan susah kami komunikasi.”

(W1. 76-78)

Dengan adanya konflik, maka timbul dampak konflik pada informan. Pertama-tama ia menyalahkan diri sendiri karena sibuk dengan


(69)

52

pekerjaannya yang membuat orang tuanya sedih karena belum menikah. Informan juga menyalahkan diri sendiri karena telah menjadi anak yang egois dan tidak menuruti keinginan orang tua. Kemudian informan mulai merasa sedih melihat ibunya gelisah dan susah tidur. Oleh sebab itu, informan menjadi tidak fokus dengan pekerjaanya dan sulit berkonsentrasi ketika bekerja.

“Habis mama ngomong sama aku, aku mulai salahin diri aku sendiri. Semua campur aduk dalam pikiranku. Belum, jadi ketika aku salahin diri sendiri, aku jadi gak fokus sama pekerjaanku sama pelayananku, sama kegiatan aku di kelompok doa dan susah untuk menempatkan diri.”

(W1. 157-158 & 168-171)

Informan memutuskan selama dua hari untuk mengintrospeksi diri dan menenangkan diri. Selain itu, informan juga meminta saran dari temannya untuk permasalahan yang dialami. Kemudian informan berupaya untuk menyelesaikan konflik dengan cara pulang menemui orang tua dan mengadakan pembicaraan. Akhirnya, informan memilih untuk fokus mencari pasangan dan membahagiakan orang tua. Hal ini dikarenakan informan sadar ternyata keputusan yang terbaik adalah mengikuti keinginan orang tua untuk mencari pasangan.

“Orang tua muncul untuk meminta aku mencari pasangan. Dari kejadian itu aku sempat diam untuk tidak melakukan apapun dan aku memutuskan untuk sendiri. Aku dulu dua hari tidak pulang ke rumah karena ingin sendiri menenangkan diri. Aku pergi ke tempat penginapan untuk introspeksi diri.”


(70)

53

Informan ingin memperbaiki penampilan supaya mendapatkan pasangan. Informan memperbaiki penampilan dengan cara merubah model rambut dan gaya berpakaian untuk mendapatkan pasangan. Selain itu informan mengikuti kegiatan untuk mendapatkan pasangan. Informan juga mengajak temannya untuk pergi ke tempat umum untuk mencari pasangan hingga berdoa dan membaca firman Tuhan juga dilakukan.

“Selain itu yang aku lakukan berdoa meminta kepada Tuhan supaya aku dapat

ditemukan dengan pasanganku. Berdoa pagi dan malam setiap hari untuk dapat bimbingan dari Tuhan semoga diberikan jalan yang terbaik.”

(W2. 13-15)

Dukungan orang tua didapat oleh informan untuk mencari pasangan. Terutama ibu yang memberikan semangat dan doa. Informan merasa senang karena ibunya sudah dapat tidur dengan nyenyak dan sudah mulai tidak menanyakan tentang pasangan.

“Setelah pembicaraan itu ya mama udah mulai tenang, maksudnya udah mulai bisa tidur nyenyak...”

(W2. 63-64)

Informan memiliki beberapa harapan terhadap orang tuanya, yakni keinginan untuk membahagiakan orang tua. Oleh karena itu, informan ingin segera menemukan pasangan untuk membahagiakan orang tua.

“Aku mau kerja dulu mau nabung buat mama sama papa pergi jalan-jalan. Mama ketawa dengar jawaban aku itu. mama bilang kalau aku gak usah kerja keras demi biayain mereka liburan karena papa juga masih bisa biayain kalau mau pergi jalan-jalan liburan. Tapi aku bilang ke mama kalau aku mau biayain mereka pergi ke tempat ziarah di


(71)

54

Lordes dan tempat ziarah di Eropa sana. Itu impian aku untuk orang tua karena mereka udah merawat aku dari aku lahir. Sebagai ucapan terima kasih aku ke mereka aku mau biayain mereka liburan. Dengan fokus kerja, aku berharap bisa biayain mereka pergi liburan ke sana.”


(72)

55 Tabel 4

Ringkasan / Tema Informan Penelitian No. Tema / Topik Informan

Pertama

Informan Kedua

Informan Ketiga 1. Konflik yang dialami Informan

masih ingin fokus dengan pekerjaannya Ibu yang

menanyakan dan meminta untuk mencari pasangan Informan merasa terbebani dengan statusnya sebagai anak sulung dan kakak bagi adiknya karena harus menjadi contoh atau panutan Tuntutan dari orang tua terhadap anak sulung Tuntutan dari orang tua terhadap anak sulung Ibu yang

menanyakan tentang pasangan

2. Faktor yang mempengaruhi munculnya konflik Lingkungan yang mendesak dengan pertanyaan tentang pasangan Informan merasa terbebani dengan kondisi orang tua yang sudah tua  Informan belum bisa dekat dengan laki-laki karena merasa kecewa, sakit hati, dan trauma dari pengala-man masa lalu


(1)

92 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79.

membahagiakan orang tua. Mungkin apa yang aku lakukan selama ini merupakan hal positif tapi aku juga harus mengikuti orang tua. Sudah tugas seorang anak untuk melakukan keinginan orang tua. Dia juga mengatakan bahwa keinginanku untuk membantu orang lain itu juga dapat dilakukan kapan saja dan bahkan ketika aku menikah nanti aku juga tetap akan dapat menjalankan apa yang aku inginkan. Jadi keputusan yang aku ambil adalah harus menyenangkan orang tua terlebih dahulu. Aku sudah memahami apa yang harus aku pilih. Mengenai pekerjaanku, ya tentang itu aku tetap menjalaninya.

Ya jadi setelah dua hari itu aku pulang aku minta maaf ke mama dan papa atas apa yang aku lakukan, aku terlalu terobsesi dengan pekerjaan aku. Aku sekarang siap untuk mencari pasangan dan menikah dan aku bilang kalau aku bakalan berusaha untuk berubah lebih baik lagi.

Setelah pembicaraan itu ya mama udah mulai tenang, maksudnya udah mulai bisa tidur nyenyak dan udah gak nanya-nanya udah dapat cowok atau belum? Aku senang sekarang mama udah bisa tidur nyenyak. Karena aku tiap hari bilang ke mama aku bakalan berusaha bahagiain papa dan mama. Ya sekarang aku jalanin semua dengan usaha dan banyak doa untuk pasanganku nanti. Mama juga bantuin doa buat aku supaya ketemu cowok yang baik. Mama juga tiap hari selalu semangatin aku supaya aku gak menyerah untuk berusaha.

Ya dengan kata lain, sekarang orang tuaku sudah lebih tenang karena aku sudah berusaha untuk mencari pasangan. Sambil bekerja melayani orang lain dan menjadi pelayan Tuhan, aku tetap fokus dengan janjiku pada orang tuaku. Udah gak ada lagi masalah sekarang karena semua mendukung aku untuk mencari pasangan, orang tuaku dan adikku juga.

Iya, aku berharap semua akan baik-baik saja dan aku segera menemukan pasangan untuk membahagiakan orang tuaku.

Ya. Amin. Terima kasih ya.

yang terbaik adalah mengikuti

keinginan orang tua untuk mencari pasangan (44-46) Informan meminta saran kepada temannya untuk permasalahan yang dialami (48-55) Informan berupaya untuk menyelesaikan konflik dengan cara pulang menemui orang tua dan mengadakan pembicaraan (59-63)

Informan merasa senang karena ibunya sudah dapat tidur dengan nyenyak dan sudah mulai tidak menanyakan tentang pasangan (63-64) Ibu informan memberikan dukungan berupa semangat dan doa (68-70) Semua anggota keluarga informan mendukung untuk mencari pasangan (74-75)


(2)

93

Informan ingin segera menemukan pasangan untuk membahagiakan orang tua (76-77)


(3)

94


(4)

95


(5)

(6)

97