Pengaruh Pemberian Methylcobalamin terhadap Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome dengan Diabetes Melitus dan Tanpa Diabetes Melitus

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. CARPAL TUNNEL SYNDROME II.1.1. Definisi

Carpal tunnel syndrome adalah kumpulan gejala akibat penekanan pada nervus medianus oleh ligamentum karpal transversal, di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan. (Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,2011).

II.1.2. Epidemiologi

Carpal tunnel syndrome merupakan cedera akibat pekerjaan yang kedua terbanyak setelah nyeri punggung bawah. Sindroma ini paling sering mengenai populasi usia 30-60 tahun, dengan perbandingan wanita dan pria 3-5 : 1 dan lebih dari 50% kasus terjadi secara bilateral. (Durrant dkk, 2002). Insidensi tahunan diperkirakan 120 per 100.000 wanita dan 60 per 100.000 pria. Insidensi tampaknya meningkat dengan pertambahan usia pada laki-laki namun insidensi puncak pada wanita adalah pada usia 45-54 tahun. (Hui dkk, 2005).

Carpal tunnel syndrome merupakan salah satu neuropati kompresi esktremitas atas yang paling sering dijumpai. Diperkirakan sekitar satu juta penduduk di Amerika Serikat setiap tahunnya menderita CTS. Insidensi dan prevalensinya bervariasi sekitar 0.125-1% dan 5-16%. Kondisi ini lebih sering dijumpai pada perempuan dibanding laki-laki. Usia rerata saat diagnosis dilaporkan 50 tahun pada laki-laki dan 51 tahun pada wanita. Suatu studi di Inggris melaporkan insidensi sebesar 139.4 kasus per 100.000 penduduk wanita dan 67.2


(2)

kasus per 100.000 penduduk laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki sebesar 2.07. (Aroori dkk, 2008).

II.1.3. Anatomi II.1.3.1. Carpal tunnel

Carpal tunnel adalah suatu terowongan fibro-osseous yang dibentuk oleh tulang-tulang karpal dan flexor retinaculum. (Durrant dkk, 2002; Yugueros 2002). Komponen tulang pada carpal tunnel membentuk suatu lengkungan,yang dibentuk oleh empat tonjolan tulang—di proksimal oleh tulang pisiformis dan tubercle of scaphoid dan di distal oleh hook of hamate dan tubercle of trapezium. Tendon palmaris longus di superfisial berjalan anterior menuju ke flexor retinaculum untuk menyatu dengan fasia palmaris. Di bawah fasia palmaris, suatu ligamen membentuk batas superfisial dari carpal tunnel, yang disebut ligamen karpal transversal. Ligamen flexor retinaculum dan karpal transversal dianggap merupakan istilah yang sama (sinonim) oleh berbagai penulis. (gambar 1) (Pecina dkk, 2001; Yugueros 2002)


(3)

Dikutip dari : Yugueros.P., Berger,R.A. 2002. Anatomy of the carpal tunnel. In: Luchetti,R., Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

Ukuran dari terowongan ini bervariasi, dengan ukuran yang paling umum dijumpai adalah panjang 2-5 cm dan lebar 2-3 cm. Carpal tunnel cenderung menyempit semakin ke arah distal. Sembilan tendon ke jari-jari dan nervus medianus berjalan di dalam flexor retinaculum dalam carpal tunnel. Terdapat satu pembungkus synovial yang sama untuk seluruh tendon, kecuali tendon flexor pollicis longus. (gambar 2). (Durrant dkk, 2002).

Gambar 2. Anatomi carpal tunnel

Dikutip dari : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and peripheral entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.

Walaupun tampaknya carpal tunnel merupakan ruang terbuka yang berhubungan dengan kompartemen fleksor dari lengan bawah di proksimal dan ruang midplamar di distal, namun carpal tunnel merupakan suatu kompartemen tertutup dan mempertahankan kadar tekanan jaringan dan cairannya sendiri. (Yugueros 2002).

II.1.3.2. Nervus Medianus

Nervus medianus berasal dari korda lateral dan medial dari pleksus brakialis sebagai gabungan saraf yang berasal dari radiks C6 dan T1. (gambar 3). (Kimura 2001;Preston dkk, 2002). Korda lateral, terdiri dari serabut C6,C7, mensuplai serabut sensorik ke thenar eminence dan ibu jari (C6), jari telunjuk


(4)

(C6-C7), dan jari tengah ((C6-C7), begitu juga serabut motorik ke otot-otot lengan bawah. Korda medial, terdiri dari C8-T1, mensuplai serabut motorik ke otot-otot median distal pada lengan bawah dan tangan, begitu pula serabut sensorik ke bagian lateral dari jari manis. (Freimer dkk, 2001; Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 3. Anatomi Pleksus Brakialis

Dikutip dari : Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and Muscle: Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.

Pada lengan atas, nervus medianus berjalan turun tanpa memberikan cabang. (Preston dkk, 2002). Nervus medianus tidak mensarafi otot apapun pada lengan atas. Nervus ini memasuki lengan bawah antara dua kaput pronator teres, dimana ia mensarafi fleksor karpi radialis, palmaris longus dan flexor digitorum superficialis. Satu cabang motorik murni, yang disebut saraf interoseus anterior,


(5)

menginervasi flexor pollicis longus, pronator quadratus dan flexor digitorum profundus I dan II. Nervus medianus kemudian berjalan di lengan bawah, dan setelah memberikan percabangan sensorik palmar, yang menginervasi kulit pada thenar eminence, nervus ini berjalan melalui carpal tunnel antara pergelangan tangan dan telapak tangan. (gambar 4) (Freimer dkk, 2001; Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 4. Distribusi Nervus Medianus

Dikutip dari : Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and Muscle: Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.

Pada telapak tangan, nervus medianus terbagi menjadi divisi motorik dan sensorik. Divisi motorik berjalan ke distal telapak tangan dan mensarafi lumbrikal I dan II. Selain itu, terdapat cabang motorik ke thenar eminence yang menginervasi


(6)

otot APB, bagian lateral dari flexor pollicis brevis dan opponens pollicis. (Kimura 2001;Durrant dkk, 2002; Preston dkk, 2002). Serabut sensorik dari nervus medianus yang berjalan melalui carpal tunnel mensarafi ibu jari bagian medial, jari telunjuk, jari tengah dan aspek lateral jari manis. (gambar 5) (Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 5. Distribusi nervus medianus di tangan

Dikutip dari : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and peripheral entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.

Nervus medianus merupakan struktur yang pertama terganggu dan menimbulkan gejala jika terdapat stenosis atau peningkatan tekanan dalam terowongan. Kondisi apapun yang menyebabkan penurunan ruang dalam terowongan karpal atau peningkatan tekanan dalam terowongan akan meningkatkan friksi atau gesekan antara tendon fleksor, nervus medianus dan ligamen karpal transversalis. Gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang berulang dapat menyebabkan stenosis dan peningkatan tekanan dalam terowongan. (Durrant dkk,2002)


(7)

II.1.4. Etiopatogenesis

Terdapat beberapa etiologi dari CTS, walaupun sebagian besar bersifat idiopatik. Kasus idiopatik selama ini dianggap sebagai suatu tenosynovitis ligamen karpal transversal. Namun begitu, temuan patologis hanya menunjukkan sedikit bukti adanya inflamasi sedangkan temuan yang lebih sering adalah edema, sklerosis vaskular dan fibrosis yang paling sesuai dengan stress berulang pada jaringan ikat. (Preston dkk, 2002). Sejumlah kondisi seperti gangguan anatomi, penyakit inflamasi, dan gangguan metabolik dapat menyebabkan atau memperberat gejala.(tabel 1) (Viera, 2003)

Penyebab utama CTS adalah kompresi nervus medianus di dalam terowongan karpal. Kompresi ini berhubungan dengan peningkatan tekanan di dalam kanalis karpal. Setiap kanal memiliki kapasitas yang tetap; oleh sebab itu, tiap kondisi yang memprovokasi suatu perluasan di dalam kanal akan secara langsung meningkatkan tekanan internal dan akibatnya menekan nervus medianus. Adanya anomali kandungan (isi) dalam kanal dan posisi dari struktur internalnya akan menurunkan rongga kanalis yang tersedia. Kandungan yang anomali ini mencakup edema, inflamasi, perdarahan, deposit substan patologis, dan/atau kondisi seperti amyloidosis,dsb. Terdapat peningkatan tekanan intrakanalis dalam kanalis yang lebih kecil akibat kondisi kongenital atau berbagai perkembangan abnormal. Kondisi pre-existing, seperti polineuropati atau kompresi nervus yang sama yang lebih proksimal, akan meningkatkan kemungkinan


(8)

kerusakan nervus medianus akibat kompresi. Penyebab sistemik CTS yang paling sering dijumpai adalah DM, rheumatoid arthritis dan hipotiroidisme. (Luchetti 2007)

Tabel 1. Faktor penyebab CTS

Dikutip dari : Viera,A.J. 2003. Management of carpal tunnel syndrome. American family physician. 68(2): 265-27

Seluruh jaringan yang berada dalam carpal tunnel dapat terkena penyakit dan mempengaruhi nervus medianus sehingga menyebabkan kompresi. Struktur di sekitarnya yang tidak berada dalam kanalis juga dapat terkena penyakit dan menginvasi kanalis, menyebabkan konsekuensi yang sama terhadap nervus medianus. Nervus medianus juga dapat terlibat dalam suatu patologi metabolik yang menyebabkannya menjadi rentan terhadap fenomena kompresi. Pasien dengan polineuropati lebih rentan terhadap kompresi saraf. Hal ini paling sering dijumpai pada pasien DM, yang menunjukkan gejala dan tanda CTS akibat kompresi nervus medianus, disertai gangguan sensorik pada ekstremitas atas akibat polineuropati. (Luchetti 2007). Diabetes melitus merupakan penyakit


(9)

sistemik yang paling sering berhubungan dengan CTS. Kompresi nervus medianus hanya salah satu dari sekian banyak komplikasinya. Pada pasien-pasien ini, nervus medianus sudah terlibat dalam polineuropati dan lebih rentan terkena kompresi. (Luchetti 2007)

Beberapa teori tentang patogenesis CTS telah diusulkan untuk menjelaskan gejala dan gangguan pada pemeriksaan konduksi saraf. Teori yang paling luas dikenal adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular dan teori vibrasi. Berdasarkan teori kompresi mekanik, gejala CTS disebbakan oleh kompresi nervus medianus dalam carpal tunnel. Kekurangan teori ini adalah bahwa teori ini dapat menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf namun tidak dapat menjelaskan penyebab yang mendasari terjadinya kompresi mekanis tersbut. Penelitian terdahulu mengaitkan gejala CTS dengan kompresi nervus

medianus spontan. Istilah ‘spontan’ digunakan karena tidak adanya hubungan

yang jelas antara deformitas sendi pergelangan tangan dengan gejala. Kompresi tampaknya disebabkan oleh berbagai faktor seperti regangan, penggunaan yang berlebihan, eksensi pergelangan tangan yang berlama-lama dan berulang. (Aroori,dk 2008)

Teori insufisiensi mikroovaskular mengusulkan bahwa kurangnya aliran darah menyebabkan deplesi nutrien dan oksigen ke saraf dan menyebabkan jaringan saraf perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk mentransmisikan impuls saraf. Jaringan fibrosa dan scar pada akhirnya akan berkembang di dalam saraf. Bergantung pada keparahan cedera, perubahan dalam saraf dan otot dapat bersifat permanen. Gejala khas CTS berupa kebas, nyeri, kesemutan , bersamaan dengan hilangnya konduksi saraf dianggap sebagai akibat iskemik pada saraf.


(10)

Sejumlah studi eksperimental mendukung teori iskemi akibat kompresi yang diberikan secara eksternal dan akibat peningkatan tekanan di dalam terowongan karpal. Studi sebelumnya menemukan bahwa perlambatan konduksi pada nervus medianus dapat dijelaskan dengan kompresi iskemik saja dan tidak harus berhubungan dengan gangguan mielinasi. Studi eksperimental lainnya menemukan kadar interleukin-6 (IL-6) dan prostaglandin E2 (PGE2) lima kali lebih tinggi pada pasien CTS dibanding orang normal. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan ini disebabkan oleh perubahan oksidatif akibat cedera iskemik dan reperfusi. Menurut teori vibrasi, gejala CTS dapat disebabkan oleh efek jangka panjang penggunaan alat-alat getar pada nervus medianus. Suatu studi menemukan edema epineural di nervus medianus dalam beberapa hari setelah paparan terhadap alat genggam yang bergetar. Selain itu, penelitia pada studi tersebut juga menemukan perubahan serupa setelah trauma mekanik, iskemik, dan kimia. Menariknya, penulis juga melaporkan penelitian pada hewan yang menunjukkan akumulasi sementara dari struktur aksoplasmik yang terganggu setelah paparan singkat terhadap alat getar. Perubahan ini pertama kali ditemukan dalam serabut saraf unmyelinated pada sistem simpatis; suatu kehilangan yang demikian dapat mengurangi aliran mikro-vaskular ke nervus medianus dan menyebabkan gangguan pada mielin dan penurunan kecepatan konduksi motorik.(Aroori,dk 2008)

II.1.5. Patofisiologi Kompresi Saraf

Kompresi saraf kronis merupakan akibat dari berbagai mekanisme trauma seperti traksi, gesekan, dan tekanan berulang. Jaringan saraf merupakan struktur


(11)

yang statis, ketika terjadi pergerakan tungkai atau sendi, jaringan saraf harus beradaptasi dan bergerak dengan perlahan beberapa millimeter di sepanjang perjalanannya. Jaringan saraf melewati berbagai kanalis yang sempit secara anatomis mulai dari foramen vertebra ke bagian yang paling distal dari ekstremitas. Kanal-kanal ini tidak memiliki titik tetap, oleh karena itu, jaringan saraf harus dapat bebas meluncur di dalamnya. Edema jaringan lokal sekitarnya, bahkan dalam jumlah yang kecil sekalipun, dapat mengganggu gerakan saraf pasif (gliding). Saat terjadi pergerakan anggota badan, jaringan saraf yang tidak terlalu mobile akan mengalami peregangan, sehingga menyebabkan kerusakan yang tersembunyi, seperti iritasi, edema dan atau microinjuries yang menyebabkan pembentukan bekas luka (scar adhesions). Jaringan parut menyebabkan peningkatan tekanan lokal dan mengurangi nerve gliding, sehingga menyebabkan kompresi saraf permanen. Jenis kompresi ini sering disebut “nerve entrapment”. (Luchetti 2007).

II.1.5.1. Efek Kompresi pada Serabut Saraf

Tingkat keparahan cedera saraf yang disebabkan oleh suatu kompresi akut dan atau kronis bergantung pada durasi trauma kompresi tersebut. Onsetnya, seperti halnya pemulihan saraf, dapat bervariasi dan mencerminkan dasar patofisiologi cedera. Serabut saraf menunjukkan kerentanan yang bervariasi terhadap kompresi dan berhubungan dengan ukurannya, lokasi fasikulus dalam nerve trunk. Dasar patofisiologi dari kompresi akut dan kronis masih kontroversial: baik faktor iskemik dan mekanis telah diajukan sebagai penyebab utama dari defek fungsional. (Luchetti,2007)


(12)

Efek kompresi lokal telah diuji secara eksperimental pada hewan menggunakan berbagai model miniatur. Kompresi eksternal sebesar 20-30 mmHg menyebabkan perlambatan aliran venula epineurium. Jika kekuatan tekanan meningkat, aliran kapiler endoneurium juga berkurang. Pada tekanan sebesar 80 mmHg, terjadi stasis aliran intraneural komplit dalam segmen saraf yang terkompresi (iskemia) (tabel 2). (Luchetti,2007)

Tabel 2. Efek tekanan terhadap aliran mikrovaskular intraneural

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

II.1.5.3. Efek Kompresi pada Transpor Aksonal

Pada tahun 1948, Weiss dan Hiscoe melaporkan bahwa penyempitan saraf menyebabkan pembengkakan dan akumulasi cairan di daerah yang terletak proksimal dari lokasi cedera. Hal ini disebabkan oleh efek obstruksi pada aksoplasma di dalam serat saraf. Secara teori, dapat dipercayai bahwa kompresi akan mengganggu transportasi aksonal secara langsung dan mekanik atau sekunder melalui obliterasi pembuluh intraneural dengan menyebabkan anoksia..(tabel 3 dan 4). (Luchetti,2007)


(13)

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

Tabel 4.Efek tekanan terhadap transpor aksonal retrograde

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

II.1.5.4. Edema Intraneural Akibat Kompresi

Kompresi dengan konsekuensi iskemia total dan subtotal dapat menyebabkan kerusakan pada semua jaringan intraneural termasuk sel Schwann, serat saraf, dan intraneural microvessels. Cedera mikrovaskuler dapat berhubungan dengan peningkatan permeabilitas membran terhadap protein, sedangkan periode iskemik jangka panjang dapat diikuti dengan edema intraneural segera setelah aliran darah kembali . Percobaan pada hewan telah menunjukkan bahwa edema endoneural jenis ini diikuti dengan kerusakan permanen pada fungsi saraf. Modifikasi permeabilitas mikrovaskuler intraneural telah dipelajari secara eksperimental pada tingkat kompresi yang berbeda. (tabel 5). (Luchetti 2007)


(14)

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

II.1.5.5. Efek Kompresi Terhadap Transmisi Impuls

Suatu percobaan dengan pemberian tekanan pada nervus medianus telah dilakukan oleh Lundborg. Tekanan 30 mmHg menyebabkan onset perubahan elektrofisiologi yang berhubungan dengan gejala sensorik (parestesi). Blok konduksi motorik dan sensorik total dijumpai pada tekanan lebih dari 40-50 mmHg. (tabel 6)

Tabel 6. Efek tekanan terhadap KHS medianus di pergelangan tangan

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

Percobaan ini menunjukkan bahwa level tekanan kritis pada microvessels

yang menyebaban obliterasi dengan konsekuensi iskemik dan blok konduksi total adalah sekitar 40-50 mmHg. (Luchetti 2007)

II.1.5.6. Tahapan Cedera Saraf Kompresif

Kerentanan serabut saraf terhadap kompresi bervariasi sesuai dengan ukuran dan topografi intrafasikular. Selain itu, terlihat bahwa tahap-tahap kompresi saraf harus didefinisikan berdasarkan sifat dari cedera fungsional dan jenis pemulihan fungsional, serta gambaran anatomi-patologik dari berbagai komponen jaringan trunkus saraf. (Luchetti 2007)


(15)

Istilah blok konduksi metabolik (fisiologis) mengacu pada kurangnya oksigen lokal akibat terhentinya sirkulasi,disertai inhibisi transmisi impuls pada bagian yang intak secara struktural pada serabut saraf. Jenis blok ini dapat disebabkan oleh kompresi lokal lemah, misalnya, kompresi peroneal, seperti yang terjadi ketika salah satu kaki disilangkan di atas yang lain. Dalam situasi ini, blok bersifat reversibel ketika tekanan dihilangkan. Waktu yang dibutuhkan untuk ini pemulihan fungsional ini berhubungan dengan durasi iskemia dan edema intraneural yang terjadi akibat anoksia endotel yang menyebabkan peningkatan dalam waktu pemulihan. Batas waktu untuk iskemia yang kemudian menjadi blok ametabolik pada cedera saraf irreversible adalah 6-8 jam. (Luchetti 2007)

II.1.5.6.2. Neuroapraxia

Neuroapraxia merupakan jenis blok konduksi saraf di mana kontinuitas akson tetap utuh tanpa onset degeneratif, tetapi konduksi di sepanjang daerah kompresi pulih setelah beberapa minggu atau bulan. Istilah ini diperkenalkan oleh Seddon. Jenis cedera ini diperkirakan berhubungan dengan fenomena akut, dengan kerusakan lokal pada mielin pada nodus Ranvier. Blok ini menetap sampai cedera mielin telah sembuh. Ini merupakan suatu proses yang biasanya memakan waktu beberapa minggu ke bulan. Seperti yang awalnya diamati oleh Seddon, neuroapraxia merupakan paralisis motorik dan tidak mengenai serabut saraf simpatik. (Luchetti 2007)

II.1.5.6.3. Axonotmesis

Axonotmesis berarti hilangnya kontinuitas akson lokal tapi tabung endoneurial tetap utuh. Cedera berhubungan dengan kompresi yang lebih berat atau traksi berlebihan yang menyebabkan gangguan pada kontinuitas aksonal,


(16)

sehingga memicu degenerasi aksonal. Tabung endoneural tidak terkena dan pemulihan fungsional mencerminkan waktu yang diperlukan oleh akson untuk mengalami regenerasi dalam tabung endoneural sampai mereka mencapai target perifer. Pertumbuhan akson dipandu oleh tabung yang asli; prognosisnya baik sehubungan dengan regenerasi. (Luchetti 2007)

II.1.5.6.4. Neurotmesis

Neurotmesis menandakan hilangnya kontinuitas akson dan melibatkan elemen trunkus saraf, termasuk endoneural, perineurium atau epineurium. Menurut klasifikasi original dari Seddon, neurotmesis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan saraf yang telah sepenuhnya terputus atau benar-benar rusak total akibat fibrosis dan tidak lagi dapat mengalami pemulihan spontan. Neurotmesis memerlukan tindakan bedah untuk mendapatkan pemulihan fungsional yang total kembali. (Luchetti 2007)

Gangguan terhadap mikrosirkulasi intraneural, transpor aksonal, dan transmisi impuls merupakan dasar klinis terjadinya gejala dan tanda klinis. Berbagai tahapan CTS yang telah diusulkan mencoba untuk menunjukkan keterlibatan baik faktor etiologi, maupun patofisiologi. Tahap awal CTS ditandai dengan parestesi pada malam hari, dan ini didasarkan pada insufisiensi mikrovaskuler intraneural malam hari akibat adanya peningkatan tekanan pada carpal tunnel di malam hari. Peningkatan bertahap pada tekanan cairan jaringan mencerminkan redistribusi cairan tubuh pada posisi horizontal, dan fleksi palmar pergelangan tangan. Tidak boleh dilupakan bahwa selain terdapat penurunan tekanan vaskular pada malam hari, yang berhubungan dengan ritme sirkadian,


(17)

juga terdapat penurunan tekanan perfusi pada carpal tunnel. Gejala timbul akibat disorganisasi metabolik lokal pada saraf, mengakibatkan kekurangan oksigen sekunder akibat keterlibatan mikrosirkulasi intraneural. Gejala-gejala bersifat reversibel bila posisi pergelangan tangan, otot, dan postur tubuh menjadi normal atau jika dilakukan pembedahan pada ligamentum karpal. (Luchetti 2007)

Dalam kasus CTS lebih lanjut, edema menjadi persisten pertama di epineurium dan kemudian di endoneurium. Keterlibatan mikrosirkulasi konstan dan peningkatan tekanan cairan jaringan menyebabkan gejala menetap, tetapi dekompresi masih bisa reversibel jika terjadi bersamaan dengan pemulihan aliran interneural dan edema ini kemudian dihilangkan dari daerah tersebut. Cedera fokal dari komponen serabut saraf terjadi pada tahap ini dengan cedera pada selubung mielin yang disebabkan oleh tekanan dan iskemia saraf sekunder. Cedera neuroapraksia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan diri dan fungsi serabut saraf dapat kembali normal setelah beberapa bulan sejak saat dekompresi. Suatu edema jangka panjang dapat disertai oleh fibroblast dan berubah menjadi fibrosis. Dalam situasi ini, beberapa serabut dapat terlibat hanya oleh fenomena ametabolik dan yang lainnya dengan demyelinization dengan kerusakan yang lebih besar (neuroapraxia) sementara yang lain dapat berakhir dengan degenerasi akson (axonotmesis). Dekompresi saraf dapat diikuti dengan jangka waktu yang sangat bervariasi untuk pemulihan fungsional dan tergantung pada beratnya cedera. Kadang-kadang pemulihan fungsi tertentu dapat terjadi dengan cepat (akibat kerusakan metabolik) sementara pemulihan lainnya jauh lebih lambat (bulan atau tahun). Pada beberapa kasus, pemulihan fungsional tidak


(18)

terjadi karena terdapat interneural scar, selain degenerasi aksonal (kerusakan fungsional permanen). (Luchetti 2007)

II.1.5.7. Cedera Iskemik-Reperfusi pada CTS

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa final common pathway untuk terjadinya CTS adalah peningkatan tekanan cairan interstisial dalam terowongan karpal dan nervus medianus, disebabkan oleh stasis vena microcirculatory dalam ruang tertutup. Studi eksperimental menunjukkan bahwa perubahan pada CTS mengikuti suatu kurva dose-response dari jumlah dan durasi tekanan cairan interstisial dan dapat reversibel hingga ke suatu titik, dengan terapi fisik atau dekompresi bedah. Berbagai faktor intrinsik, ekstrinsik, atau "idiopatik" baik secara individu atau kolektif berperan atau berkontribusi terhadap peningkatan tekanan ini. Komponen anatomi, patofisiologi, biokimia, dan histologis berperan dalam penjelasan fenomena ini. (Freeland dkk, 2007)

II.1.5.7.1.Faktor anatomi

Terowongan karpal dapat berfungsi sebagai ruang pembatas yang tertutup. Pasien CTS cenderung memiliki carpal tunnel yang lebih kecil daripada normal. Rasio dari isi terowongan karpal dengan volumenya berkurang seiring dengan pergelangan tangan menjadi lebih kecil. Hal ini dapat menjelaskan sediikt tentang meningkatnya prevalensi CTS pada wanita dibandingkan dengan pria. Otot lumbrikalis yang normal, dan terutama hipertrofik, yang dapat dijumpai pada pekerja, lebih lanjut mengurangi volume carpal tunnel dengan fleksi jari. (Freeland dkk, 2007)


(19)

Luas penampang terowongan karpal berkurang dengan fleksi atau ekstensi pergelangan tangan progresif, sedangkan tekanan interstisial meningkat. Gerakan menggenggam dan pergelangan tangan berulang yang kuat dapat meningkatkan tekanan terowongan karpal. Pemberian tekanan atau getaran dari luar ke telapak tangan akan meningkatkan tekanan terowongan karpal. Bentuk-bentuk tekanan mekanis ini dapat menyebabkan stasis vena di terowongan karpal, yang pada gilirannya dapat menyebabkan iskemia pada sel endotel di tingkat kapiler dan kemudian terhadi peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi cairan ke dalam kanalis karpal. Edema persisten dan peningkatan tekanan interstisial akhirnya menyebabkan penurunan transpor aksonal dan aliran darah intraneural diikuti oleh aktivitas fibroblas dan pembentukan scar di dan sekitar saraf. Suatu studi menemukan bahwa perubahan degeneratif iskemik jaringan ikat dengan akses cairan menyebebkan pembengkakan tambahan karena kandungan glikosamin glikan dan hyaluronan pada jaringan yang berubah. (Freeland dkk, 2007)

II.1.5.7.3. Faktor biokimia

Sejumlah bukti mendukung pendapat bahwa kerusakan selular iskemik dan oksidatif dan perubahan biokimia memediasi terjadinya "idiopatik" CTS. Bukti eksperimental dan klinis kini menunjukkan bahwa reactive oxygen intermediates (ROIs) adalah molekul bioaktif baik dalam keadaan fisiologis dan patologis. Produksi senyawa aldehida, seperti malondialdehyde (MDA) pada konsentrasi yang sangat rendah dan tidak beracun telah terbukti dapat memodulasi dan mempengaruhi beberapa fungsi sel termasuk transduksi sinyal, ekspresi gen, dan proliferasi sel. Iskemik lokal intermiten dan reperfusi selama periode pemulihan


(20)

dapat menyebabkan cedera oksidatif sel dan jaringan. Reactive oxygen intermediates dan agen pro-oksidan lainnya menyebabkan peroksidasi lipid membran sel. Hal ini menyebabkan pembentukan suatu campuran kompleks dari aldehyde end produCTS, termasuk malondialdehyde (MDA), 4-hydroxy-2,3-nonenal (HNE), dan 4-hydroxy-2,3-alkenals (HAKs) lainnya dengan panjang rantai yang berbeda. Molekul-molekul aldehida ini merupakan mediator utama dari efek seluler toksik yang ditimbulkan oleh stres oksidatif. Dengan berlanjutnya stres oksidatif, sistem pertahanan antioksidan normal pada tubuh manusia menjadi kewalahan dan cedera seluler terjadi. Jaringan saraf yang bermielin, merupakan sumber yang kaya lipid, merupakan target dominan untuk peroksidasi lipid yang dimediasi radikal bebas dan lebih berat mnegalami kerusakan akibat kompresi dibandingkan serabut saraf yang tidak bermielin. (Freeland dkk, 2007)

Iskemia dan cedera seluler memulai metabolism asam arakidonat menjadi produk siklooksigenase seperti prostaglandin E2. Prostaglandin E2 merupakan vasodilator poten yang diketahui akan meningkatkan sensitivitas nerve endings terhadap stimulus kimia dan mekanik dan dengan demikian memberikan kontribusi terhadap timbulnya rasa nyeri yang dialami oleh pasien CTS. Studi menunjukkan bahwa prostaglandin (PGE) dapat menyebabkan peningkatan negativitas dari tekanan cairan interstisial yang menyebabkan peningkatan pesat dalam pembentukan edema, berkontribusi terhadap gangguan fungsi jaringan. Jumlah PGE2 dalam tenosynovium pasien CTS telah dilaporkan meningkat empat kali lipat dari control. (Freeland dkk, 2007)

Interleukin-6 memainkan peran penting dalam perkembangan, diferensiasi, regenerasi, dan degenerasi dari neuron pada sistem saraf perifer dan sentral,


(21)

tetapi biasanya tidak terdeteksi. Kerusakan selular yang diciptakan oleh iskemik neural dan sinovial juga dapat memberikan kontribusi pada produksi sitokin. Interleukin-6 bertanggung jawab untuk perubahan peptida saraf yang berkaitan dengan cedera saraf constriction-type. Kompresi saraf kronis pada hewan percobaan menyebabkan kadar IL-6 yang terdeteksi pada beberapa neuron motorik dan sensorik dan beberapa jaringan ikat dan menginduksi proliferasi fibroblas synovial jika berikatan dengan reseptor IL-6. Kadar IL-6 serum secara statistik tidak berbeda antara pasien CTS dan kontrol, meskipun kadar IL6 tenosynovial kali lebih tinggi pada kelompok pasien CTS. Data ini menunjukkan bahwa IL-6 mungkin memainkan peran lokal pada patofisiologi CTS. (Freeland dkk, 2007)

II.1.6. Gambaran Klinis

Carpal tunnel syndrome dapat muncul dengan berbagai gejala dan tanda. Wanita lebih sering terkena dibanding pria. Walaupun biasanya bilateral, tangan yang dominan biasanya lebih berat terkena, terutama pada kasus-kasus idiopatik. (Preston 2002). Gejala CTS bervariasi sesuai dengan keparahan penyakit. Pada tahap awal, pasien biasanya mengeluhkan gejala akibat keterlibatan komponen sensorik dari nervus medianus. Gejala yang paling sering adalah nyeri yang disertai kebas dan kesemutan pada daerah distribusi nervus medianus distal dari pergelangan tangan. Daerah yang terlibat biasanya adalah ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, dan sisi radial dari jari manis. (Pecina dkk, 2001; Preston 2002; Aroori dkk, 2008). Pasien mengeluhkan nyeri pada pergelangan tangan dan lengan yang berkaitan dengan parestesi pada tangan. Nyeri dapat terlokalisir pada pergelangan tangan, atau dapat menjalar ke lengan bawah, lengan atau yang


(22)

lebih jarang, ke bahu. Gejala-gejala dapat diprovokasi dengan postur fleksi atau ekstensi pergelangan tangan. Paling umum dijumpai, hal ini terjadi saat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mengemudi atau memegang telepon, buku atau koran. (Preston 2002)

Tabel 7. Gejala dan Tanda pada carpal tunnel syndrome

Dikutip dari : Pecina,M.,M., Nemanic,J.,K., Markiewitz.,A.,D. 2008. Tunnel syndromes.Peripheral nerve compression syndromes. CRC Press.New York.

Keluhan sensorik dapat berupa hipestesi hingga anestesi. Pasien dapat mengalami peningkatan intensitas rasa kebas, tingling dan disestesia pada malam hari, dan dapat terbangun dari itidur. Fenomena ini dikenal dengan brachialgia paresthetica nocturna. (Durrant dkk, 2002). Saat tidur, fleksi atau ekstensi pergelangan tangan yang persisten menyebabkan peningkatan tekanan pada terowongan karpal, iskemia saraf, dan akibatnya parestesi. Pasien sering terbangun dari tidur dan perlu menggoyangkan tangannya untuk menghilangkan rasa nyeri. (Preston 2002; Aroori dkk, 2008)

Gambaran klinis CTS awal atau ringan biasanya hanya berupa gangguan sensorik, namun pada kasus-kasus yang lebih berat sering melibatkan kelemahan


(23)

dan atrofi otot APB. (Durrant dkk, 2002; Preston 2002) dan hanya sekitar 40% pasien yang awalnya muncul dengan hipotrofi atau atrofi tenar. (Pecina dkk, 2001)

II.1.7. Nyeri pada CTS

Nyeri merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien CTS, yang biasanya disertai rasa kebas dan kesemutan pada daerah distribusi nervus medianus distal dari pergelangan tangan. Daerah yang terlibat biasanya adalah ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, dan sisi radial dari jari manis. (Pecina dkk, 2001; Preston 2002; Aroori dkk, 2008). Nyeri dapat terlokalisir pada pergelangan tangan, atau dapat menjalar ke lengan bawah, lengan atau yang lebih jarang, ke bahu. (Preston 2002).

Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri pada pasien CTS. Studi dari Nunez dkk, (2010) menemukan bahwa faktor psikososial lebih penting dibandingkan faktor patofisiologi (pemeriksaan KHS) dalam menentukan intensitas nyeri pada pasien CTS. Illness behavior (seperti depresi dan strategi coping) merupakan prediktor disabilitas yang lebih penting dibanding faktor demografik atau hasil pengukuran objektif. (Nunez,dk 2010). Nyeri merupakan salah satu faktor yang berperan dalam disabilitas kronik pada pasien CTS. (Turner dkk, 2004).

Manajemen nyeri yang efektif sangat bergantung pada penilaian yang akurat, yang mencakup evaluasi nyeri, gejala, status fungsional dan riwayat klinis pasien. Komponen penting dalam penilaian nyeri meliputi penentuan lokasi, deskripsi, intensitas, durasi, faktor yang memperberat dan meringankan, gejala-gejala terkait dan pengaruhnya terhadap kehidupan pasien. Terdapat sejumlah


(24)

instrumen untuk menentukan intensitas nyeri; yang paling sering digunakan untuk pasien dewasa dengan fungsi kognitif yang intak adalah visual analogue scale (VAS), numerical rating scale (NRS), verbal descriptor scale (VDS). Visual analogue scale menggunaan garis horizontal berukuran 10 cm, dengan pangkal

no pain(tidak nyeri)” dan ujung “worst imaginable pain” (nyeri yang paling berat), dimana pasien diminta untuk memberi tanda pada garis yang paling mewakili persepsi mereka tentang intensitas nyeri yang sedang dirasakan atau dalam 2 minggu terakhir. Jarak antara tanda yang diberi pasien diukur dari pangkal untuk menentukan skor pasien. Kadang-kadang digunakan istilah ‘ringan’, ‘sedang’,

‘berat’, atau diberikan angka di sepanjang garis sebagai pemandu, dan ini disebut

graphic rating scale. (Mannion dkk, 2007; Powell dkk, 2010).

Gambar 6. Visual Analogue Scale (VAS)

Dikutip dari : Mannion,A.F., balague,F., Pellise,F., Cedraschi,C. 2007. Pain measurement in patients with low back pain. Nature clinical practice rheumatology. 3(11): 610-618.

Instrumen VAS ini memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif cepat, sederhana dan mudah dilakukan, dapat diterjemahkan ke berbagai bahasa, telah divalidasi secara ekstensif dan dianggap sebagai salah satu instrumen terbaik untuk menilai intensitas nyeri.(Powell dkk, 2010)


(25)

II.1.8. Prosedur Diagnosis II.1.8.1. Anamnesis

Carpal tunnel syndrome paling sering muncul dengan keluhan nyeri, rasa kebas, kesemutan, rasa terbakar atau kombinasi dari hal ini pada aspek palmar dari ibu jari, jari telunjuk, jari tengah dan aspek radial dari jari manis. (Katz 2002). Gejala subjektif yang paling umum adalah "nocturnal acroparesthesia" yang terdiri dari rasa kesemutan yang disertai nyeri dan bahkan dapat mengganggu tidur. Parestesia umumnya menghilang dengan mengubah posisi lengan, dengan menggerakkannya atau mengurutnya. Parestesia dapat terjadi di siang hari dan sering dipicu oleh posisi tertentu atau kegiatan tertentu seperti tindakan menjahit, mengemudi, memegang telepon atau buku. (Ceruso dkk, 2007) Carpal tunnel syndrome lebih sering dijumpai pada perempuan. Meskipun demikian, CTS juga dapat dijumpai pada laki-laki dan pada semua usia. Perlu ditanyakan ada tidaknya trauma pada pergelangan tangan atau trauma proksimal sepanjang jalur saraf atau akar-akarnya. Riwayat penyakit terdahulu dan sekarang yang menyertai pasien, juga harus menjadi pertimbangan, karena dapat menjelaskan onset timbulnya gejala dan mungkin memerlukan pengobatan selain pengobatan lokal (misalnya, penyakit endokrin atau metabolik seperti diabetes atau gangguan tiroid, penyakit reumatologi). (Ceruso dkk, 2007)

II.1.8.2. Pemeriksaan Klinis

Tes objektif dilakukan berdasarkan tes provokasi dan pada evaluasi defisit motorik dan sensorik yang mungkin ada di distribusi nervus medianus di pergelangan tangan. (Ceruso dkk, 2007). Sejumlah tes telah dikembangkan untuk


(26)

diagnosis CTS. Tidak ada satupun yang dapat berdiri sendiri. Sebagian besar tes ini saling melengkapi satu sama lain. (Aroori dkk, 2008).

II.1.8.2.1. Tanda Tinel

Pada pemeriksaan ini, pemeriksan mengetuk tempat perjalanan nervus medianus pada lipatan pergelangan tangan. Timbulnya rasa kesemutan atau nyeri pada jari yang dipersarafi nervus medianus merupakan tanda yang positif. Tinel menemukan tanda ini pada tahun 1915 dan menyatakan bahwa sensasi kesemutan terjadi bila saraf yang cedera diketuk di bagian proksimal nya dan menduga bahwa ini adalah tanda degenerasi aksonal. Tanda tinel menunjukkan sensitivitas 23-67% dan spesifisitas 55-100%. (Aroori dkk, 2008; Ceruso dkk, 2007; Viera 2003)

II.1.8.2.2. Tes Phalen

Pada tes ini, fleksi pergelangan tanganmenyebabkan kompresi saraf antara ligamen karpal transversal dan tendon fleksor pada carpal tunnel, menyebabkan parestesi pada distribusi nervus medianus. Tes ini dianggap positif jika dijumpai parestesi dalam waktu kurang dari satu menit. (Aroori dkk, 2008; Ceruso dkk, 2007; Viera 2003)

II.1.8.2.3. Tes Kompresi (Pressure provocation test)

Analog dengan tes fleksi pergelangan tangan adalah tes kompresi nervus medianus, dijelaskan oleh Durkan. Tes ini dianggap spesifik untuk diagnosis CTS; menilai timbulnya parestesi pada distribusi nervus medianus ketika dokter memberikan tekanan dengan ibu jari pada carpal tunnel selama


(27)

sekitar 30 detik. (Ceruso dkk, 2007). Sensitivitas tes ini antara 28-63 % dan spesifisitasnya antara 33-74%. (Aroori dkk, 2008).

II.1.8.2.4. Tourniquet test

Hasil yang positif adalah terjadinya parestesi pada distribusi nervus medianus saat manset pemeriksaan tekanan darah di lengan pasien dipompa hingga di atas tekanan sistolik selama satu menit atau lebih. Nervus medianus yang mengalami komrpesi dan iritasi dianggap lebih rentan terhadap iskemik jika dibandingkan dengan nervus medianus normal. Namun begitu, bahkan individu normal juga dapat mengalami gejala yang serupa dan sulit untuk dievaluasi, terutama pada kasus CTS ringan. Tes ini memiliki sensitivitas antara 21-52% dengan spesifisitas antara 36-87%. (Aroori dkk, 2008)

II.1.8.2.5. Pemeriksaan Motorik

Fungsi otot yang paling mudah untuk diuji adalah otot abductor pollicis brevis. Pasien diminta untuk menempatkan ibu jari tegak lurus terhadap telapak tangan dan melawan tekanan yang diberikan dengan arah aduksi pada falang distal. Muskulus opponens pollicis diuji dengan meminta pasien untuk menyatukan ujung ibu jarinya dengan ujung jari kelima. Saat pemeriksa mencoba untuk membuka posisi ini, pasien diminta untuk menahan. Selanjutnya, hipotrofi atau atrofi dari otot tenar juga harus diperiksa; derajat atrofi, pada kenyataannya, sebanding dengan kerusakan saraf. Oleh karena itu, penting untuk memperhitungkan reliabilitas dan validitas tes yang digunakan dalam pemeriksaan klinis pasien. (Ceruso dkk, 2007). Pemeriksaan otot-otot tenar mudah dilakukan pada pemeriksaan klinis CTS. (Durrant dkk, 2002)


(28)

II.1.8.3. Pemeriksaan Elektrofisiologi

Tujuan pemeriksaan elektrodiagnostik pada dasarnya adalah untuk menentukan lokasi lesi, untuk menentukan keterlibatan serabut motorik, sensorik atau keduanya, untuk menentukan dasar fisiologis (aksonal, demielinasi) dan keparahan lesi (derajat axonal loss, kontinuitas akson), begitu pula perjalanan lesi (bukti reinervasi atau ongoing axonal loss). Tujuan utama pemeriksaan neurofisiologis pada pasien dengan gejala dan tanda klinis CTS adalah untuk mengkonfirmasi kompresi nervus medianus di pergelangan tangan. Pemeriksaan KHS sensorik dan motorik nervus medianus dan segmen saraf lainnya dan pemeriksaan EMG jarum pada sat atau beberapa otot memungkinkan menyingkirkan diagnosis penyakit lain yang sering berhubungan dengan CTS seperti radikulopati, pleksopati dan sebagainya.(Schoenhuber dkk, 2007)

Pemeriksaan KHS mengukur KHS sensorik dan motorik pada nervus medianus di pergelangan tangan. Komponen sensorik nervus medianus lebih dulu terkena dibanding komponen motorik dan pada CTS tahap awal biasanya dijumpai perlambatan KHS sensorik. Pemeriksaan KHS nervus medianus merupakan baku emas uji diagnostik dengan sensitivitas antara 49-84% dan sepsifisitas 95-99%. (Aroori dkk, 2008). Untuk melakukan pemeriksaan elektrodiagnostik yang lengkap pada nervus medianus, ekstremitas yang terkena harus dibandingkan dengan sisi yang tidak terkena dan dengan saraf yang lain pada tangan yang sama, biasanya pada nervus ulnaris. (Weiss 2004).

II.1.8.3.1. Pemeriksaan KHS Sensorik

Sensory nerve action potentials (SNAPs) biasanya merupakan potensial aksi yang pertama terkena pada CTS.Teknik yang bermanfaat adalah untuk


(29)

membandingkan SNAPs yang direkam di pertengahan telapak tangan dan di sepanjang carpal tunnel. Biasanya digunakan jarak 7 cm dari elektroda cincin pada jari telunjuk ke tengah telapak tangan dan 7 cm dari sini ke carpal tunnel (total 14 cm). Walaupun tiap laboratorium memiliki nilai standar normalnya masing-masing, namun secara umum KHS kurang dari 44 meter/detik pada carpal tunnel menunjukkan perlambatan. Nilai SNAPs medianus juga dibandingkan dengan nilai SNAPs ulnar pada sisi yang sama. Perbedaan latensi lebih dari 0.5 ms antara keduanya menunjukkan CTS. Penurunan amplitudo pada sisi yang terkena dapat menunjukkan suatu lesi aksonal dari nervus medianus atau blok konduksi di sepanjang carpal tunnel (jika amplitudo proksimal kurang dari 50% dari amplitudo di distal midpalm). Perbedaan amplitudo lebih dari 50% (dibandingkan dengan amplitudo sensorik medianus pada sisi yang tidak terkena) dianggap signifikan. (Weiss 2004)

II.1.8.3.2. Pemeriksaan KHS Motorik

Latensi distal dari compound muscle action potential (CMAP) merupakan parameter yang penting dalam menilai keterlibatan serabut motorik pada CTS. Seperti halnya pemeriksaan sensorik, jarak dari elektroda aktif ke tempat stimulasi harus distandarisasi. Sebagian besar laboratorium menggunakan jarak 8 cm. Dengan jarak ini, suatu latensi lebih dari 4.2 ms biasanya menunjukkan CTS. Nervus ulnaris juga harrus diperiksa untuk memastikan tidak ada neuropati motrik general. Perbedaan latensi distal antara nervus medianus dan ulnaris yang lebih dari 1 ms juga menunjukkan CTS. Penurunan amplitudo pada sisi yang terkena dapat menunjukkan suatu lesi aksonal dari nervus medianus (tidak spesifik di


(30)

sepanjang perjalanan saraf) atau blok konduksi di sepanjang carpal tunnel. (weiss 2004).

II.1.8.3.3. Elektromiorafi (EMG)

Pemeriksaan EMG harus dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan aksonal (potensial fibrilasi atau positive sharp waves), dan/atau reinervasi. Pemeriksaan hendaknya meliouti otot APB. Jika dijumpai aktivitas spontan pada otot ini, otot-otot lain harus diperiksa untuk memastikan diagnosis, (Weiss 2004) Aktivitas spontan sebagai akibat denervasi dapat terlihat pada pemeriksaan otot APB.Temuan ini biasanya terlihat pada tahap lanjut. (Durrant dkk, 2002)

Pemeriksaan elektrodiagnotik pada mononeuropati nervus medianus mencakup : (Poernomo dkk, 2003)

1. Kecepatan hantar saraf :

 Pemeriksaan motoris nervus medianus dan ulnaris untuk menyingkirkan adanya polineuropati

 Pemeriksaan sensoris nervus medianus dan ulnaris. Untuk diagnosis CTS, dilakukan pemeriksaan antidromik jari IV, membandingkan latensi distal antara nervus ulnaris dan medianus. Normal selisih latensi n.ulnaris-medianus :  0.4 ms

2. EMG jarum

Pemeriksaan pada otot-otot distal (APB) dan beberapa otot proksimal. Otot-otot proksimal yang mudah diperiksa adalah m. pronator teres, fleksor polisis longus, fleksor karpi radialis da fleksor digitorum sublimis. (tabel 8)

Protokol Pemeriksaan ENMG pada neuropati medianus


(31)

1. Pemeriksaan motoris n.medianus, elektrode aktif pada m.APB, elektrode stimulasi pada pergelangan tangan, siku dan aksila

2. Pemeriksaan motoris n.ulnaris, elektrode aktif pada m.ADM, elektrode stimulasi pada pergelangan tangan, bawah siku dan atas siku

3. F-respon pada n.medianus dan n.ulnaris

4. Pemeriksaan sensorik n.medianus, elektrode aktif pada jari II, elektrode stimulasi pada pergelangan tangan (dianjurkan bilateral)

5. Pemeriksaan sensorik n.ulnaris (elektrode aktif pada jari V, elektrode stimulasi pada pergelangan tangan)

6. Perbandingan latensi n.medianus-ulnaris (palm-wrist) menggunakan jarak yang sama

Pemeriksaan EMG jarum

1. Otot yang diinervasi n.medianus, dista ldari terowongan karpal (m.APB 2. Paling tidak dua otot yang diinervasi n.medianus proksimal dari

terowongan karpal, termasuk m. pronator teres, dan salah satu dari fleksor polisis longus, fleksor karpi radialis dan fleksor digitorum sublimis. Jika m.APB abnormal

3. Periksa paling tidak dua otot non-medianus, trunkus bawah/C8-T1 (misal FDI,EIP) untuk menyingkirkan pleksopati brakial bawah, polineurpati atau radikulopati C8-T1

Jika otot proksimal medianus abnormal

4. Periksa paling tidak satu otot non-medianus C6-C7 dana C7-C8 (misal triseps, esktensor digitorum kpomunis,EIP) untuk menyingkirkan pleksopati brakial lebih proksimal atau radikulopati servikal

APB= abduktor polisis brevis; Adm= abduktor digiti minimi; FDI = first dorsal interossei; EIP = ekstensor indisis proprius

Tabel 8. Protokol pemeriksaan ENMG pada neuropati medianus

Dikutip dari : Poernomo,H., Basuki,M.,Widjaja D. 2003. Petunjuk praktis elektrodiagnostik.Bagian ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airalngga. Airlangga University Press. Surabaya.

Kriteria diagnostik CTS berdasarkan hasil pemeriksaan elektrofisiologi terlihat pada tabel 9.


(32)

Dikutip dari : Hui,A.C.F., Wong,A., Griffith,J. 2005. Carpal tunnel syndrome. Practical neurology Blackwell Publishing Ltd.

Klasifikasi berdasarkan American Association of Electrodiagnostic Medicine (AAEM) yaitu : ringan (jika DL sensoris memanjang dengan penurunan amplitudo sensoris); sedang (DL sensoris dan DL motoris memanjang); berat (DL sensoris dan DL motoris memanjang, disertai berkurang atau hilangnya SNAP atau CMAP); dan sangat berat (hilangnya respon sensoris dan motoris dengan ada atau tidaknya respon lumbrikal). Grade 1 dan 2 termasuk CTS ringan, grade 3 dan 4 termasuk CTS sedang dan grade 5 dan 6 termasuk CTS berat. (Bulut dkk, 2011)

II.1.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CTS dapat diklasifikasikan menjadi bedah dan non-bedah. Metode non-bedah efektif pada pasien dengan CTS ringan-sedang, dan diindikasikan pada pasien tanpa kelemahan otot dan atrofi, tidak ada denervasi (pada pemeriksaan EMG jarum), dan abnormalitas ringan pada pemeriksaan KHS. Berbagai metode non-bedah mencakup : penggunaan bidai pergelangan tangan, terapi ultrasonik, terapi laser, steroid oral, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), vitamin B6 oral, injeksi lokal kortikosteroid dan sebagainya. (Aroori dkk, 2008; Brault dkk, 2007; Preston dkk, 2002; Viera 2003). Efektivitas injeksi kortikosteroid dibandingkan intervensi lain untuk terapi CTS masih dalam penelitian. Suatu studi RCT membandingkan 40 mg metilprednisolon dengan 10 mg lidokain dengan 10 mg lidokain saja yang diinjeksikan 4 cm proksimal dari pergelangan tangan. Setelah 1 bulan, individu yang mendapat injeksi kortikosteroid menunjukkan perbaikan signifikan namun setelah 3 bulan tidak terdapat perbedaan secara statistik pada keparahan klinis antara kedua grup.


(33)

(Brault 2007; Viera 2003). Suatu studi lain membandingkan injeksi dengan OAINS dan bidai. Pada studi ini dilakukan penyuntikan 40 mg prednisolone 4 cm proksimal dari pergelangan tangan, pengukuran outcome nya dilakukan setelah 2 dan 8 minggu dengan symptom severity scale, VAS, tes Tinel’s dan Phalen’s. (Brault 2007) Tindakan dekompresi bedah diindikasikan pada pasien-pasien yang simptomatik dan gagal dengan terapi konservatif. Tindakan bedah diindikasikan pada hampir semua pasien dengan CTS sedang-berat. Dua tipe pendekatan bedah adalah : open dan endoscopic release. (Aroori dkk, 2008; Preston 2002; Viera 2003)

II.2. DIABETES MELLITUS II.2.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011)

II.2.2. Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 10. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011)

Tipe 1 Destruksi sel beta umunya menjurus ke defisiensi insuliln absolut :

 Autoimun  Idiopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek seresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta

 Defek genetik kerja insulin  Penyakit endokrin pankreas


(34)

 Endokrinopati

 Karena obat atau zat kimia  Infeksi

 Sebab imunologi yang jarang

 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes melitus

gestasional

Tabel 10. Klasifikasi Diabetes Melitus

Dikutip dari : Konsensus Pengelolaan dan pencegaha diabetes meliltus tipe 2 di Indonesia. 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

II.2.3. Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,2011)

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

 Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa  126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. Tes toleransi glukosa oral sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.


(35)

Kriteria diagnostik DM dapat dilihat pada tabel berikut ini

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu  200 mgdL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memeprhatikan waktu makan terakhir

Atau

2. Gejala klasik DM + kadar gluosa plasma puasa  126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kaori tambahan sedikitnya 8 jam.

Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO  200 mg/dL (1.1 mmol/L). TTGO yangdilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang diarutkan ke dalam air

Tabel 11. Kriteria diagnostik DM

Dikutip dari : Konsensus Pengelolaan dan pencegaha diabetes meliltus tipe 2 di Indonesia. 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

II.2.4. Kriteria Pengendalian DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 13. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,2011)

Baik Sedang Buruk

KGD puasa (mg/dL) KGD 2 jam (mg/dL)

80 - <100 80 - 144

100-125

145-179 

126  180

A1C (%) < 6.5 6.5-8 >8

Kolesterol Total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL)

< 200 <100 Pria > 40 Wanita> 50 <150 200-239 100-129 150-199 100-129

 240  130  200  130

IMT (kg/m2) 18.5-<23 23-25 >25

Tekanan darah (mmHg)  130/80 >130-140/

80-90

> 140/90

Tabel 13. Kriteria Pengendalian DM

Dikutip dari : Konsensus Pengelolaan dan pencegaha diabetes meliltus tipe 2 di Indonesia. 2006. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.


(36)

II.3. CARPAL TUNNEL SYNDROME PADA DIABETES MELLITUS

Carpal tunnel syndrome dijumpai pada sekitar 20% pasien DM. Hubungan spesifiknya dengan DM diduga akibat entrapment nervus medianus yang disebabkan oleh perubahan jaringan ikat pada penderita DM. Gangguan metabolisme pada DM (termasuk glikosilasi protein; abnormalitas mikrovaskular dengan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf; akumulasi kolagen pada kulit dan struktur periartikular) menyebabkan perubahan pada jaringan ikat. (Kim, 2001). Pasien dengan DM lebih sering terkena CTS. Hal ini mungkin disebabkan oleh saraf yang telah mengalami neuropati menjadi lebih rentan terhadap kompresi dan pada pasien DM juga lebih sering diumpai abnormalitas tendon. Skrining pasien dengan CTS tanpa riwayat DM merupakan suatu rekomendasi. (Hui dkk, 2005)

Ada dua jenis kerusakan, yaitu pertama adalah saraf yang terjepit pada tempat di mana mereka harus melewati suatu terowongan ketat atau di atas suatu tonjolan tulang. Sistem saraf penderita diabetes lebih cenderung terkena lesi kompresi. Focal neuropathies di ekstremitas disebabkan oleh baik entrapment maupun kompresi saraf. Sedang jenis yang kedua adalah kerusakan muncul karena adanya penyakit pembuluh darah yang disebabkan oleh diabetes sehingga timbul iskemi maupun infark jaringan saraf. (Sjahrir,2006)

Mekanisme terjadinya CTS pada populasi DM belum diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa teori yang menjelaskannya. Teori pertama adalah bahwa glikosilasi dari jaringan ikat menyebabkan peningkatan kekakuan dan penebalan dari ligamen karpal transversalis atau jaringan peritendinosa.


(37)

Kemungkinan kedua, adalah bahwa polineuropati yang disebabkan oleh mikrovaskular diabetik menyebabkan peningkatan kerentanan nervus medianus terhadap cedera kompresi. Bukti-buki mendukung keduanya. Satu studi histologi menunjukkan bahwa kedua perubahan jaringan, yaitu penebalan kolagen di lapisan tendon dan arteriosklerosis pembuluh darah kecil berperan terhadap terjadinya CTS. (Fitzgibbons dkk, 2008) Hiperglikemia menyebabkan perubahan reologik, yang meningkatkan resistensi vaskular endotel dan menurunkan aliran darah pada saraf. Hiperglikemia juga menyebabkan deplesi pada myoinositol saraf melalui mekanisme competitive uptake. Gambaran umum dari kerusakan jaringan akibat hiperglikemia terlihat pada gambar 7 (Bansal dkk, 2006; Brownlee,2005; Sjahrir,2006)

Gambar 7. Kerusakan jaringan akibat hiperglikemia

Dikutip dari : Brownlee,M. 2005. The pathobiology of diabetic complications. A unifying mechanism. Diabetes. 54 :1615-1625

1. Teori Vaskular (Hipoksik-Iskemik)

Abnormalitas vaskuler yang terjadi pada pasien dengan neuropati diabetik meliputi penebalan membran basalis dinding pembuluh darah, hiperplasia endotel, disfungsi endotel, peningkatan ekspresi endothelin dan peningkatan


(38)

kadar vascular endothelial growth factor (VEGF). Diabetes secara selektif merusak sel, seperti sel endotel dan mesangial, dimana kecepatan pengangkutan glukosa tidak merosot dengan cepat seperti hal nya hasil peningkatan kadar gula, hal ini mendorong ke arah penumpukan glukosa yang tinggi di dalam sel. Berdasarkan teori ini, terjadi proses iskemia endoneurial yang berkembang karena adanya peningkatan endoneurial vascular resistance terhadap darah hiperglikemia. (Brownlee 2005; Sjahrir,2006)

Neuropati diabetik adalah salah satu penyakit progresif yang paling mungkin disebabkan oleh efek kekurangan prostacyclin dan prostaglandin yang kronis. Prostacyclin (PGI2) adalah suatu vasoprotektif molekul utama dengan berbagai fungsi fisiologis. Oleh karena kadar prostacyclin/prostaglandin yang sangat rendah pada penderita DM, sel darah merah penderita DM cenderung untuk menjadi rapuuh dan tidak mampu untuk diubah bentuk. Kosekuensinya adalah oxygen-carrying blood corpuscles tidak bisa masuk ke pembuluh darah kapiler yang kecil. Dengan demikian, jika pembuuh darah mikro di dalam sistem saraf tidak bisa menerima oksigen, maka kemudian sel saraf akan mati. Secara fisik, inilah persisnya yang terjadi dengan neuropati. Hasilnya adalah endoneural hipoksia. (Sjahrir,2006). Hipoksia menyebabkan kerusakan kapiler lebih lanjut, yang lemudian memperberat gangguan transpor aksonal dan penurunan aktivitas Na-K-ATP-ase yang menyebabkan atrofi aksonal dan gangguan konduksi saraf. (Bansal 2006)


(39)

Ada 2 teori utama berhubungan dengan efek yang berkenaan dengan metabolisme dari hiperglikemia kronis dan efek iskemia dari saraf perifer. Beberapa teori yang paling diterima adalah : (Sjahrir,2006)

1. The polyol pathway

Dalam keadaan normoglikemik, sebagian besar glukosa intraseluler mengalami fosforilasi ke glucose-6-phosphate oleh hexokinase. Dalam kondisi hiperglikemia, enzim hexokinase menjadi saturated, sehingga akan terjadi peningkatan influks glukosa ke dalam polyol pathway. (gambar 8). Aldose reductase, yang mengkatalisasi pengurangan glukosa ke sorbitol, merupakan rate-limiting enzim di dalam jalur ini. Aldose reductase yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun di dalam sel menjadi alkohol non-aktif, tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam sel terlalu tinggi, aldose reductase juga mengurangi glukosa menjadi sorbitol yang kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. Dalam proses mengurangi glukosa intraseluler tinggi menjadi sorbitol, aldose reductase mengkonsumsi co-factor NADPH (nicotinamide adenin dinucleotida phosphat hydrolase), yang juga merupakan co-factor penting untuk memperbaharui antioksidan penting intraseluler, dan pengurangan glutathione. Dengan mengurangi jumlah glutathione, polyol pathway meningkakan kepekaan terhadap stres oksidatif intraseluler. (Bansal 2006; Brownlee 2005; Sjahrir 2006).


(40)

Gambar 8. Jalur Polyol

Dikutip dari : Dikutip dari : Brownlee,M. 2005. The pathobiology of diabetic complications. A unifying mechanism. Diabetes. 54 :1615-1625

2. Aktivasi protein kinase C pathway

Aktivasi protein kinase C telah dihubungkan dengan kerusakan vaskular pada neuropati diabetik. Perubahan ini menyebabkan metabolisme sel Schwann, aksonal dan neuronal abnormal, yang menyebabkan gangguan transpor aksonal. (Bansal 2006). Hiperglikemia di dalam sel meningkatkan sintase suatu molekul yang disebut diacylglycerol (DAG), yaitu suatu critical activating co factor untuk

isoform protein kinase C, β,δ, dan α. Protein kinase C juga diaktifkan oleh stres oksidatif dan advanced glycation end product. Aktivasi protein kinase C menyebabkan berbagai akibat seperti peningkatan permeablitas vaskular, gangguan sintesis nitric oxyde (NOs) dan perubahan aliran darah (gambar 9). Brownlee 2005; Sjahrir 2006).


(41)

Gambar 9. Aktivasi protein kinase C pathway

Dikutip dari : Brownlee,M. 2005. The pathobiology of diabetic complications. A unifying mechanism. Diabetes. 54 :1615-1625

3. The hexosamine pathway

Jika kadar glukosa tinggi di dalam sel, sebagian besar glukosa dimetabolisme melalui glikolisis, menjadi glucose-6 fosfat, kemudian menjadi fructose-6 fosfat dan seterusnya ke akhir dari glycolytic pathway. Namun begitu, beberapa dari fructose-6-phosphate dialihkan ke dalam suatu signaling pathway dimana suatu enzim yang disebut GFAT (glutamine fructose-6-phosphate aminotransferase) mengubah fructose-6-phosphate menjadi glucosamine-6 phosphate dan akhirnya ke UDP (uridine diphosphat) n-acetyl glucosamine. Apa yang terjadi selanjutnya adalah N-acetyl glucosamine diletakkan ke residu serine dan threonin dari faktor transkripsi, seperti halnya proses fosforilasi pada umumnya, dan overmodifikasi oleh glukosamin ini sering menyebabkan perubahan patologis pada ekspresi gen (gambar 10) Peningkatan modifikasi dari transkripsi faktor Sp1 menyebabkan peningkatan ekspresi transforming growth factor-β-1 dan plasminogen activator inhibitor-1, dimana keduanya tidak baik untuk pembuluh darah penderita DM. (Brownlee 2005; Sjahrir 2006).


(42)

.

Gambar 10. Hiperglikemi meningkatkan aliran pada jalur hexosamine

Dikutip dari : Brownlee,M. 2005. The pathobiology of diabetic complications. A unifying mechanism. Diabetes. 54 :1615-1625

Pada studi eksperimental lain, terlihat bahwa jika cedera metabolik transpor aksonal sudah ada, misalnya, pada tikus dengan diabetes yang diinduksi oleh streptozotocin, transpor aksonal terlibat secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa saraf pada hewan dengan diabetes lebih rentan terhadap kompresi dibandingkan dengan saraf pada hewan yang sehat. (Luchetti 2007) Suatu studi yang membandingkan outcome tindakan carpal tunnel release pada pasien diabetik dengan tanpa diabetik menunjukkan bahwa derajat pemulihan lebih buruk dan lebih lambat pada pasien dengan dibetes. Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat faktor penting lain selain kompresi pada entrapment syndromes pada penderita DM dan menduga bahwa akumulasi sorbitol, defisiensi myoinositol dan akumulasi dari advanced glycation end products tampaknya berhubungan dengan lambatnya pemulihan pada pasien DM. (Vinik dkk, 2004)


(43)

Methylcobalamin merupakan salah satu dari dua bentuk koenzim vitamin B12 (yang satu lagi adalah adenosylcobalamin). Methylcobalamin merupakan bentuk aktif vitamin B12 yang memiliki kemampuan untuk memulai regenerasi saraf tanpa efek yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan oleh karena ia memfasilitasi metilasi, suatu proses yang memproduksi dan mempertahankan zat kimia pada jaringan saraf dan otak. Methylcobalamin merupakan kofaktor pada enzim methionin synthase yang berfungsi untuk mentransfer gugus metil untuk regenerasi methionine dari homosistein. (Bachmann,2001; Ide dkk, 1987;Kelly 1997).

Vitamin B12 memiliki fungsi yang berkaitan dengan produksi energi, produksi materi genetik, yaitu DNA dan RNA, fungsi susunan saraf, dalam hal pembentukan myelin, produksi asetilkolin yang berfungsi dalam proses memori dan belajar, memperlambat gangguan kognitif yang berkaitan dengan penuaan, pembentukan sel darah merah, kesehatan kardiovaskular. Vitamin B12 berfungsi

sebagai ‘donor metil’. Suatu donor metil adalah segala zat yang dapat mentransfer

suatu gugus metil (atom karbon yang melekat ke tiga atom hidrogen) ke zat lain. Proses ini dikenal sebagai metilasi dan diperlukan dalam berbagai fungsi biokimia seperti metabolisme energi, fungsi imun, dan fungsi saraf. (Bachmann,2001; Ide dkk, 1987). Methylcobalamin merupakan bentuk vitamin B12 yang memiliki aktivitas neurologi. Organ liver tidak dapat mengubah cyanocobalamin, bentuk vitamin B12 yang paling sering dijumpai,menjadi jumlah methylcobalamin yang adekuat, yang akan digunakan tubuh untuk memperbaiki defisit neurolgis. (Ide dkk, 1987; Kelly 1997)


(44)

Vitamin B12 merupakan istilah untuk sekelompok zat yang mengandung cobalt sebagai ion sentral pada suatu cincin corrin, yang disebut juga sebagai cobalamin. (Aguilar,2008) Vitamin B12 atau cyanocobalamin merupakan suatu koenzim . Suatu bagian dari molekulnya dikenal sebagai inti corrin yang mengikat atom kobalt, analog dengan heme pada hemoglobin yang mengikat atom ferrum. Inti corrin bersama atom lain membentuk cobalamin yang merupakan bagian dari vitamin B12. Terdapat berbagai bentuk cobalamin tergantung gugus yang terikat dengan molekul utamanya. Methylcobalamin adalah cobalamin yang berikatan dengan gugus metil. (Meliala,2008)

Bentuk utama vitamin 12 yang highly crsytallizable dan mengandung cyanide, yaitu cyanocobalamin (CNCbl) merupakan bentuk yang relatif stabil dan tampaknya tidak memiliki fungsi fisiologis sendiri. Derivatif vitamin B12 yang penting adalah bentuk koenzim organometalik yang lebih labil secara kimia, yaitu adenosylcobalamin (2,5’-deoxy-5’-adenosylcobalamin,AdoCbl) dan methylcob(III)alamin (3,MeCbl) begitu pula derivatif yang inorganik yaitu aquocob(III)alamin (dalam bentuk chloride 4+.Cl-,H2Ocbl.Cl) dan hydroxycob(III)alamin (5,HOCbl). (gambar 11) (Kelly,1997; Krautler, 1998; Eisai,Co Ltd,2007).


(45)

Gambar 11. Struktur vitamin B12

Dikutip dari : Aguilar,F., Charrondiere,U., Dusemund,B., Galtier,P., Gilbert,J., Gott,D.M., Grilli,S., Guertler,R., Kass,G.E.N., Koenig,J., Lambré,C. Larsen,J.C., Leblanc,J.C., Mortensen,A., 2008. Scientific opinion. On 5’-deoxyadenosylcobalamin and methylcobalamin as sources for vitamin B12 added as a nutritional substance in food supplements. The EFSA Journal 815: 1-21.

Hanya ada dua cobalamin yang aktif sebagai koenzim, yaitu adenosylcobalamin dan methylcobalamin. Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah cobalamin menjadi salah satu bentuk aktif tadi. Cyanocobalamin (molekul sianida terikat pada B12) adalah bentuk tersering yang dijumpai pada suplemen makanan karena mempunyai struktur yang paling stabil. Dalam tubuh cyanocobalamin akan diubah menjadi salah satu bentuk cobalamin aktif. (Meliala,2008)

II.4.2. Farmakokinetik

Bukti-bukti menunjukkan bahwa methylcobalamin digunakan dengan lebih efisien dibanding cyanocobalamin untuk meningkatkan kadar salah satu bentuk


(46)

koenzim dari vitamin B12. Bukti-bukti juga menunjukkan absorpsi yang serupa dari

methylcobalamin setelah pemberian oral. Jumlah cobalamin yang terdeteksi setelah pemberian methylcobalamin dosis kecil secara oral serupa dengan setelah pemberian cyanocobalamin; namun lebih banyak cobalamin yang terakumulasi di jaringan hepar setelah pemberian methylcobalamin. Ekskresi methylcobalamin melalui urin sekitar sepertiga dibandingkan dengan dosis cyanocobalamin yang sama, menunjukkan retensi jaringan yang lebih besar. Dosis untuk penggunaan klinis adalah 1500-6000 mcg. Tidak dijumpai manfaat terapeutik dengan dosis diatas dosis maksimum ini. Methylcobalamin dapat digunakan secara oral, intramuskular dan intravena. Methylcobalamin menunjukkan tolerabilitas yang tinggi dan tidak ada toksisitas yang diketahui. (Bachmann, 2001;Kelly 1997)

Melalui pemberian secara oral, methylcobalamin diabsorbsi melalui saluran cerna. Setelah pemberian dosis tunggal 1500 mcg kepada seorang dewasa sehat konsentrasi maksimum 255 pg/mL akan dicapai dalam 3,6 jam. Setelah pemberian intravena dengan dosis 500 mcg/hari selama 10 hari, total konsentrasi serum meningkat dari 3,9  1,2 ng/mL setelah 24 jam dan 6,8  1,5 ng/mL setelah 3 hari. Konsentrasi ini cenderung dipertahankan sampai pemberian dosis terakhir. Waktu paruh serum setelah pemberian dosis tunggal 1500 mcg adalah 12,5 jam. (Meliala, 2008)

Setelah pemberian dosis tunggal secara oral pada individu dewasa yang sehat dengan dosis 120 mcg dan 1500 mcg saat puasa, kadar puncak vitamin B12 dalam serum dicapai setelah 3 jam untuk kedua dosis dan ini bersifat dose-dependent. Empat puluh hingga 80 % dari jumlah total vitamin B12 yang dieksresikan di urin dalam 24 jam pertama setelah pemberian terjadi dalam 8 jam


(47)

pertama. Setelah pemberian methylcobalamin dengan dosis 1500 mcg per hari selama 12 minggu berturut-turut dan perubahan pada konsentrasi B12 total pada serum diukur 4 minggu setelah pemberian terakhir. Konsentrasi serum meningkat dalam 4 minggu pertama setelah pemberian hingga dua kali dibanding kadar awal. Konsentrasi serum menurun setelah pemberiaan terakhir (12 minggu), namun tetap lebih tinggi 1.8 kali dibanding 4 minggu setelah pemberian terakhir. (Esai Co LTd, 2007)

Tanaka et al (1981) (cited in Meliala,2008) melakukan penelitian tentang profil farmakokinetik methylcobalamin. Didapatkan data bahwa setelah pemberian oral dosis tunggal 3000 mcg kadar serum cobalamin meningkat 150 sampai 160% setelah 3 jam pemberian dan selanjutnya menurun secara gradual. Tidak ada perbedaan kadar serum yang signifikan antara 4 sediaan cobalamin (cyanocobalamin, hidroxycobalamin, adenocylcobalamin, dan methylcobalamin). Eksresi urin sampai 8 jam setelah pemberian berkisar antara 1,3 sampa 1,9 mcg. Pemberian cobalamin dalam dosis tinggi sebagian akan diabsorbsi dalam bentuk tak terkonjugasi dan sebagian diekskresi dalam urin. Pemberian cobalamin oral 1500 mcg selama 4 minggu menunjukkan peningkatan kadar dalam serum sebanyak dua kali lipat dibanding kontrol. Dua belas minggu setelah pemberian injeksi methylcobalamin intramuskuler 3 kali seminggu kadarnya dalam serum dan urin meningkat dengan jelas. Kadar serum dan urin meningkat 15 kali dalam 4 minggu dan 30 kali dalam 12 minggu. Dari 4 sediaan cobalamin, cyanocobalamin menunjukkan tingkat peningkatan kadar serum yang paling lambat, diikuti methylcobalamin, adenocylcobalamin dan hydroxycobalamin, Di lain pihak


(48)

cyanocobalamin menunjukkan tingkat eksresi urin paling tinggi, diikuti methylcobalamin, hydroxycobalamin dan adenocylcobalamin. (Meliala, 2008).

II.4.3. Farmakodinamik

Vitamin B12 memegang peranan spesifik pada metabolisme asam amino. Koenzim vitamin B12 mengkatalisasi reaksi enzimatis methylmalonyl-coenzyme A menjadi succinyl-coenzyme A, dan methylcobalamin berfungsi sebagai kofaktor enzim yang mengkatalisasi metilasi pada ugus sulfur homosistein menggunakan gugus metil dari N5-methyltetrahydrofolat, yang memproduksi tetrahydrofolate dan methionine. (Aguilar,2008;Krautler,1998)

Methylcobalamin adalah kofaktor enzim methyonine synthase yang berfungsi dalam reaksi transfer metil untuk regenerasi metionin dari homosistein. Methylcobalamin (CH3 –B12) dipakai oleh tubuh lebih efisien daripada

cyanocobalamin (CN-B12). (Meliala, 2008)

Gambar 12. Reaksi enzimatis yang melibatkan methylcobalamin

Dikutip dari : Krautler,B. B12 oenzymes, the central theme. In: Krautler,B., Arigoni,D., Golding,B.T. 1998. Vitamin B12 and B12 proteins. Wiley. New York.


(49)

Methylcobalamin adalah bentuk cobalamin yang aktif secara biologis, artinya methylcobalamin dapat langsung dipakai oleh tubuh dalam reaksi kimiawi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Hepar tidak mengubah cyanocobalamin, bentuk konservatif dari cobalamin, menjadi methylcobalamin dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan tubuh dalam memperbaiki kerusakan neurologis. Beberapa penelitian, walaupun dalma skala kecil, menunjukkan bahwa untuk memperbaiki kerusakan saraf dibutuhkan dosis tinggi, dan belum ditemukan adanya kisaran dosis toksis dari methylcobalamin. Methylcobalamin mengalami transpor lebih baik dalam organel sel saraf dibanding cyanocobalamin. Secara spesifik, methylcobalamin bertindak sebagai donor metil langsung pada reaksi metilasi DNA. Methylcobalamin juga menstabilisasi protein enzim methionine synthetase pada kondisi defisiensi cobalamin. (Meliala,2008).

II.4.4. Methylcobalamin dan Regenerasi Saraf

Yamauchi, et al (1983) (cited in Meliala,2008), melakukan penelitian pada pasien yang menjalani operasi replantasi jari. Peneltian ini membandingkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk timbulnya sensibilitas pada kelompok yang menerima injeksi methylcobalamin dosis 3000 mcg/hari (39 jari), 1500 mcg/hari (28 jari) dan kelompok kontrol tanpa injeksi methylcobalamin B12 (30 jari). Waktu yang dibutuhkan untuk munculnya fungsi sensibilitas lebih pendek kira-kira 3 minggu pada kelompok yang 3000 mcg/hari dibanding kelompok 1500 mcg/hari. Dari data ini disimpulkan bahwa pemberian methylcobalamin menunjukkan efek tergantung dosis yang sangat menguntungkan pada pemulihan fungsi sensibilitas


(50)

dari jari-jari yang direplantasi dengan memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk munculnya fungsi sensibilitas. (Meliala, 2008)

Yamano et al (1989) (cited in Meliala,2008) melakukan penelitian pada nervus peronealis kelinci percobaan yang dipotong dan dijahit kemudian diberi injeksi methylcobalamin 500 mcg/hari selama 30 hari dibanding kelompok kontrol. Penelitian ini menemukan bahwa rerata KHS pada kelompok yang diberi methylcobalamin secara signifikan lebih besar dibanding kontrol. Angka recovery juga lebih signifikan pada kelompok methylcobalamin. Diameter akson sebagai indikator regenerasi selubung mielin juga lebih tebal pada kelompok yang diberi methylcobalamin, demikian juga dengan rerata transpor aksonal yang lebih cepat. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara elektrofisiologis dan histologis regenerasi serabut saraf lebih terlihat jelas pada kelompok methylcobalamin dibanding kontrol. (Meliala, 2008)

Watanabe dkk (1994) meneliti efek methylcobalamin dosis tinggi terhadap tingkat regenerasi saraf pada tikus dengan neuropati akrilamid, dengan mengukur CMAP setelah stimulasi nervus tibialis sebagai indeks jumlah serabut saraf motorik yang beregenerasi. Setelah intoksikasi dengan akrilamid, hewan percobaan menunjukkan penurunan amplitudo CMAP dalam skala yang sama. Hewan percobaan tersebut selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok: tikus yang diterapi dengan methylcobalamin dosis tinggi (500 mcg/kgBB intraperitoneal), dosis rendah (50 mcg/kgBB), dan kelompok yang mendapat salin sebagai kontrol. Tikus-tikus yang mendapat methylcobalamin dosis tinggi menunjukkan perbaikan amplitudo CMAP yang signifikan dibanding kontrol, sementara kelompok yang menerima dosis rendah tidak menunjukkan perbedaan dengankontrol.


(1)

Disimpulkan bahwa methylcobalamin dosis tinggi mungkin bermanfaat pada pasien dengan neuropati perifer. Sato dkk (2005) melakukan penelitian pada 67 pasien CTS dengan stroke yang diberikan methylcobalamin dan 68 pasien CTS

dengan stroke yang tidak diterapi dan 50 kontrol menemukan rerata nilai KHS sensoris medianus pada pasien CTS dengan stroke yang diterapi

methylcobalamin sebesar 54.8  5.4 m/s dan KHS motoris medianus 51.9  4.3 m/s pada sisi yang non paretik. Nilai ini secara signifikan lebih rendah dibanding sisi yang paretik dan kontrol. Nilai DL motoris medianus pada subjek CTS dengan stroke pada sisi yang non paretik sebesar 4.9  1.2 ms dimana nilai ini lebih besar dibanding nilai pada sisi yang non paretik atau pada kontrol.

Mekanisme dimana methylcobalamin memberikan efek positif terhadap saraf belum diketahui dengan pasti. Studi dari Kuwabara dkk (1999) melaporkan bahwa akumulasi methylcobalamin exogen tampaknya dapat membantu regenerasi dan remielinisasi saraf. (Kuwavara dkk, 1999). Serabut sensoris menyusun 94% serabut pada saraf medianus dan merupakan serabut yang paling awal tekena akibat kompresi pada carpal tunnel. Oleh sebab itu, perbaikan pada parameter sensoris seperti KHS sensoris, DL sensoris akan lebih nyata dibandingkan dengan paraeter motoris, seperti KHS motoris, DL motoris. Temuan biokimia menunjukkan bahwa methylcobalamin bekerja langsung sebagai donor metil pada metabolisme DNA dan kadar methylcobalamin yang tinggi dapat meningkatkan transkripsi gen yang dapat meningkatkan sintesis protein untuk regenerasi saraf. (Sato dkk, 2005)

Tidak seperti cyanocobalamin dan hydroxycobalamin yang harus dikonversi menjadi methylcobalamin, methylcobalamin adalah bentuk vitamin B12 yang alami


(2)

dan aktif secara biologis yang ditemukan pada makannan. Methylcobalamin

merupakan kofaktor pada proses transmetilasi dari methylmalonyl-CoA menjadi

succinyl-CoA dan pada regenerasi methionine dari homocysteine oleh methionine synthetase. Methylcobalamin adalah donor gugus metil yang penting pada selubung mielin yang melapisi akson dan untuk metabolisme DNA untuk regenerasi saraf. (Dominguez, dkk 2012)

II.4.5. Methylcobalamin dan Nyeri Neuropatik

Sebagian penderita dengan lesi saraf tepi seperti misalnya pada neuropati diabetika akan menunjukkan gejala positif seperti disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri yang terjadi akibat lesi ini dinamakan nyeri neuropatik. Lesi susunan saraf aferen dapat memacu terjadinya remodelling dan hipereksitabilitas pada membran. Akibat lesi ini akan tumbuh tunas-tunas baru (sprouting) yang berupaya mencapai organ target. Tunas yang tidak dapat mencapai organ target akan membentuk neuroma. Struktur ini akan menjadi tempat berkumulasinya saluran ion natrium dan saluran ion lainnya yang akan menyebabkan munculnya ectopic pacemeker. Selain saluran ion juga akan terlihat adanya molekul-molekul transduser dan reseptor baru yang secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, mekanosensitifitas abnormal, termosensitifitas dan kemosensitifitas. (Meliala, 2008).

Kikkawa dkk (1985) melakukan penelitian terhadap 33 subjek DM yang dibagi menjadi dua kelompok dimana 19 pasien diterapi dengan methylcobalamin

500 μg tiga kali sehari selama 8 minggu dan 14 pasien diterapi dengan multivitamin yang mengandung 25 mg vitamin B1, 25 mg vitamin B6 dan 250 μg


(3)

vitamin B12 (hydroxycobalamin acetate), 3 kapsul sehari selama 8 minggu. Perbaikan signifikan ditemukan pada pasien yang mendapat methylcobalamin

terutama terhadap gangguan sensorik dan hipotensi ortostatik pada akhir masa terapi selama 8 minggu. (Kikkawa, dkk /1985)

Studi oleh Moridera dkk (1990) pada 32 pasien DM dengan neuropati diabetik membagi subjek menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama (10 pasien) diberikan 1500 unit methylcobalamin sekali sehari selama 2 minggu melalui injeksi IV, sedangkan kelompok kedua (22 pasien) diberikan 1500 unit

methylcobalamin per oral dalam tiga dosis terbagi selama 6 bulan. Terdapat perbaikan yang signifikan pada skor keluhan parestesia, nyeri dan skor klinis total pada kedua grup setelah pemberian methylcobalamin. (Moridera dkk, 1990)

Penelitian oleh Li dkk (1999) dilakukan pada 108 pasien DM dimana 62 pasien (24 laki-laki dan 38 perempuan) diberikan terapi methylcobalamin 500 μg

intramuskular tiga kali seminggu selama 4 minggu kemudian diikuti dengan 500 μg

per oral tiga kali sehari selama 8 minggu, dan 46 pasien (23 laki-laki dan 23 perempuan) diberikan terapi vitamin B12 dengan cara yang sama. Setelah terapi 3 bulan, lebih dari separuh pasien pada kelompok yang diberi methylcobalamin

pada kelompok yang diberi methylcobalamin dijumpai amelioration rate sebesar 73%, sedangkan pada kelompok kontrol dijumpai sebesar 36%. (Li, dkk 1999).

Kuwabara dkk (1999) meneliti efektivitas methylcobalamin pada neuropati diabetik dan uremik pada pasien yang menjalani hemodialisis kronik. Sembilan

pasien mendapatkan injeksi methylcobalmain 500 μg tiga kali seminggu selama 6

bulan. Efek diukur dengan menggunakan derajat neyri neuropatik dan pemeriksaan kecepatan hantar saraf. Setelah 6 bulan terapi keluhan subjektif


(4)

berupa nyeri dan parestesai berkurang, dan kecepatan hantar motoris ulnaris dan sensoris medianus menunjukkan perbaikan signifikan. Tidak ditemukan adanya efek samping pada pemberian terapi ini. Disimpulkan bahwa pemberian

methylcobalamin intravena aman dan merupakan bentuk terapi dengan potensi menguntungkan terhadap neuropati pada pasien dengan hemodialisis kronik. (Kuwabara, dkk 1999)

Methylcobalamin efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien dengan postherpetik neuralgia. Koya dkk (1983) (cited in Meliala, 2008) menemukan bahwa methylcobalamin injeksi yang diberikan pada 10 pasien neuralgia postherpetik, pengurangan nyeri terjadi dalam kurun waktu rerata 3.2 minggu setelah pengobatan pada 9 dari 10 pasien. Pada pasien dengan neuralgia oksipital dan trigeminal injeksi tunggal methylcobalamin 500 μg menghilangkan nyeri pada 14 dari 26 pasien (53.8%), neuralgia trigeminal dan 9 dari 14 (64.3%) pasien neuralgia oksipital. (Meliala, 2008)

Fuji dkk (1987) (cited in Meliala, 2008) melakukan penelitian pada 76 kasus nyeri punggung bawah dengan diagnosis LBP, kanalis stenosis lumbarspinal, spondilosis lumbal, neuralgia skiatika radikuler dan HNP. Pasien-pasien ini diberikan kombinasi methylcobalamin 1500 μg/hari dan eperison HCl 150 mg/hari

dan didapatkan bahwa dengan pemberian kombinasi terapi obat tersebut pasien-pasien mengalami perbaikan signifikan secara objektif dari pengukuran nyeri. Nemoto dkk (1987) (cited in Meliala, 2008) melakukan penelitian pada 19 kasus spondilosis servikalis, myeri miofasial dan spondilosis lumbal. Penelitian ini menemukan bahwa pemberian injeksi lokal methylcobalamin500 μg sebanyak 2-3 kali seminggu dapat memperbaiki gejala berupa nyeri spontan, nyeri saat


(5)

pergerakan, nyeri tekan, numbness dan ketegangan otot secara signifikan. (Meliala,2008)

II.5. KERANGKA TEORI

Diabetes Melitus

Non Diabetes

Melitus

Gangguan Metabolisme

Kim,2001, Fitzgibbons,2008 : Glikosilasi jaringan ikat  akumulasi kolagen pada kulit dan struktur periartikuler  Penebalan lig carpal transversal dan jaringan peritendinosa

Mikrovaskular Intraneural

Bansal,2006;Brownlee,2005; Sjahrir,2006:

1.Polyol pathway

2. Protein kinase C pathway 3. Hexosamine pathway

Kompresi nervus medianus

(

Carpal Tunnel Syndrome

)

Peningkatan tekanan pada carpal tunnel

Brownlee,2005;Sjahrir,2006: peningkatan endoneural resistance terhadap hiperglikemia dan penurunan kadar PGI2  hipoksia

Aroori,2008; Luchetti,2007; Viera,2003: kelainan anatomi, inflamasi, metabolik, gerakan/ getaran/ tekanan Gangguan Transpor Aksonal Iskemik/ Stres oksidatif Luchetti,2007”

Perlambatan aliran venula epineurium  Penurunan aliran kapiler endoneurium  Stasis aliran intraneural

Luchetti,2007: Akumulasi protein Blok proksimal terhadap kompresi  Inhibisi transpor aksonal  Blok parsial/total

Cedera Saraf

Luchetti,2007: tahapan cedera saraf kompresif :Blok konduksi  Neuroapraxia 

Axonometsis  Neurotmesis Freeland,2007 : ROIs

 metabolisme AA  PGE2  meningkatkan sensitivitas free nerve ending

Freeland,2007 : ROIs  Il-6  proliferasi fibroblas

scar kerusakan akson Peroksidasi lipid  demielinasi

Gangguan Transmisi Impuls

(Kecepatan Hantar Saraf)

Nyeri

Methylcobalamin

Yamatsu,1976 : inhibisi degenerasi Wallerian, memicu regenerasi neuron Hai-yan,2005; Sato 2005 : perbaikan Leskowicz,1991;


(6)

II.5. KERANGKA KONSEP

Diabetes

Melitus

METHYLCOBALAMIN

CARPAL TUNNEL

SYNDROME

Kecepatan

Hantar Saraf

Intensitas Nyeri

Luchetti,2007: Perlambatan KHS  Blok konduksi sensorik dan motorik  Tidak ada SNAP  Tidak ada MUAP

Diabetes

Melitus

Non Diabetes

Melitus

Non Diabetes