Potensi ekstrak lidah mertua (sansevieria trifasciata var hahnii medio picta) untuk mengendalikan pertumbuhan jamur (collectotrichum capsici) penyebab antraknosa pada cabai merah.

(1)

ABSTRAK

POTENSI EKSTRAK LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) UNTUK MENGENDALIKAN PERTUMBUHAN JAMUR

(Collectotrichum capsici) PENYEBAB ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH

Fransiska Apriyani Universitas Sanata Dharma

2015

Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Upaya peningkatan produksi tanaman cabai tidak selalu berjalan lancar karena adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penyakit yang disebabkan oleh jamur, salah satunya jamur

Collectotrichum capsici penyebab antraknosa. Penggunaan fungisida sintetik

harus dikurangi dan digantikan dengan memanfaatkan ekstrak tanaman menjadi fungisida nabati yang lebih aman penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak lidah mertua dalam mengendalikan pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada cabai merah serta mengetahui konsentrasi ekstrak lidah mertua yang efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada cabai merah.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2015 di Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma. Tanaman lidah mertua diperoleh di sekitar kampus III Universitas Sanata Dharma. Jamur Collectotrichum capsici diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman UGM. Pengujian yang dilakukan yaitu uji fitokimia ekstrak lidah mertua, pengujian ekstrak secara in vitro dan pengujian secara in vivo. Data pengujian ekstrak diolah dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji DNMRT 5%.

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak lidah mertua mengandung senyawa saponin dan tanin yang berpotensi dalam mengendalikan pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici. Ekstrak lidah mertua konsentrasi 100% paling efektif dalam menghambat pertumbuhan diameter koloni jamur dengan daya hambat sebesar 37%. Perendaman cabai merah pada ekstrak lidah mertua 100% juga menunjukkan intensitas serangan jamur yang rendah, yaitu sebesar 31%. Kata kunci : ekstrak lidah mertua, cabai merah, Collectotrichum capsici, daya hambat, intensitas serangan


(2)

ABSTRACT

THE POTENTIAL OF LIDAH MERTUA EXTRACT (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) TO CONTROL THE GROWTH OF FUNGI (Collectotrichum capsici) WHICH CAUSES ANTRACHNOSE ON RED CHILI

Fransiska Apriyani

Sanata Dharma University

2015

Chili is one of the important vegetable commodities and has high economic value in Indonesia. Some efforts to increase the production of chili plants do not always go smoothly because of the attack of plant pests (OPT) and diseases caused by fungus. One of the fungus which causes anthracnose is Collectotrichum capsici. The use of synthetic fungicides has to be reduced and should be replaced by utilizing plant extracts to be vegetable fungicide which is safer. This research aims to determine the potential of lidah mertua extract in controlling the growth of Collectotrichum capsici fungi which causes anthracnose on red chili and to determine the effective concentration of lidah mertua extract in inhibiting the growth of Collectotrichum capsici fungi which causes anthracnose on red chili.

This research is a pure experimental research with a Completely Randomized Design (CRD). This research was conducted from March until May 2015 in Biologi Education Laboratory Sanata Dharma University. Lidah mertua plant was acquired in Sanata Dharma University. Collectotrichum capsici fungus are obtained from the Laboratory of Plant Pests and Diseases UGM. Tests were done of the phytochemical test of lidah mertua extracts, in vitro and in vivo testing. Extract test data was processed by Anova and was continued with DNMRT 5%.

The results of Phytochemical test show that lidah mertua extract contains saponins and tannins which are potential to control the growth of Collectotrichum capsici fungi. One hundred precent (100%) concentration of lidah mertua extract is the most effective in inhibiting the growth of the diameter of fungal colonies with 37% inhibition power. The soaking red chili in 100% lidah mertua extract also shows low intensity of fungal attack, which is amounted to 31%.

Key words : lidah mertua extracts, red chili, Collectotrichum capsici, inhibition, intensity of fungal attack


(3)

POTENSI EKSTRAK LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) UNTUK MENGENDALIKAN PERTUMBUHAN JAMUR

(Collectotrichum capsici) PENYEBAB ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh : Fransiska Apriyani

NIM : 111434013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

POTENSI EKSTRAK LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) UNTUK MENGENDALIKAN PERTUMBUHAN JAMUR

(Collectotrichum capsici) PENYEBAB ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh : Fransiska Apriyani

NIM : 111434013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan

janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan

meluruskan jalanmu.

(Ams 3 : 5 -6)

Kupersembahkan karyaku ini untuk :

Bapak dan ibu, sebagai ungkapan hormat dan terimakasih

Keluarga besar Virion 11 dan Pendidikan Biologi


(8)

(9)

(10)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul“Potensi Ekstrak Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) untuk Mengendalikan Pertumbuhan Jamur (Collectotrichum capsici) Penyebab Antraknosa pada Cabai Merah”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat berjalan lancar dengan bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beberapa pihak khususnya kepada:

1. Ibu Catarina Retno Herrani, M.Biotech selaku dosen pembimbing, yang telah membimbing, meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi dengan penuh kesabaran.

2. Ibu Luisa Diana Handoyo, M.Si. dan ibu Ika Yuli Listyarini, M.Pd, selaku dosen penguji yang memberikan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan naskah skripsi ini.

3. Segenap dosen Pendidikan Biologi yang memberi dukungan dan saran selama proses penelitian skripsi ini, serta bimbingannya selama pendidikan.

4. Kedua orangtua, Bapak Fransiskus Suparno dan Ibu Bernadeta Prihartini yang memberikan dukungan dalam bentuk apapun, terlebih dalam doa, adik Stefanus Prasetyo serta keluarga besar yang memberikan doa dan dukungan.


(11)

(12)

ix ABSTRAK

POTENSI EKSTRAK LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) UNTUK MENGENDALIKAN PERTUMBUHAN JAMUR

(Collectotrichum capsici) PENYEBAB ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH

Fransiska Apriyani Universitas Sanata Dharma

2015

Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Upaya peningkatan produksi tanaman cabai tidak selalu berjalan lancar karena adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penyakit yang disebabkan oleh jamur, salah satunya jamur

Collectotrichum capsici penyebab antraknosa. Penggunaan fungisida sintetik

harus dikurangi dan digantikan dengan memanfaatkan ekstrak tanaman menjadi fungisida nabati yang lebih aman penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak lidah mertua dalam mengendalikan pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada cabai merah serta mengetahui konsentrasi ekstrak lidah mertua yang efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada cabai merah.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2015 di Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma. Tanaman lidah mertua diperoleh di sekitar kampus III Universitas Sanata Dharma. Jamur Collectotrichum capsici diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman UGM. Pengujian yang dilakukan yaitu uji fitokimia ekstrak lidah mertua, pengujian ekstrak secara in vitro dan pengujian secara in vivo. Data pengujian ekstrak diolah dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji DNMRT 5%.

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak lidah mertua mengandung senyawa saponin dan tanin yang berpotensi dalam mengendalikan pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici. Ekstrak lidah mertua konsentrasi 100% paling efektif dalam menghambat pertumbuhan diameter koloni jamur dengan daya hambat sebesar 37%. Perendaman cabai merah pada ekstrak lidah mertua 100% juga menunjukkan intensitas serangan jamur yang rendah, yaitu sebesar 31%. Kata kunci : ekstrak lidah mertua, cabai merah, Collectotrichum capsici, daya hambat, intensitas serangan


(13)

x ABSTRACT

THE POTENTIAL OF LIDAH MERTUA EXTRACT (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) TO CONTROL THE GROWTH OF FUNGI (Collectotrichum capsici) WHICH CAUSES ANTRACHNOSE ON RED CHILI

Fransiska Apriyani

Sanata Dharma University

2015

Chili is one of the important vegetable commodities and has high economic value in Indonesia. Some efforts to increase the production of chili plants do not always go smoothly because of the attack of plant pests (OPT) and diseases caused by fungus. One of the fungus which causes anthracnose is Collectotrichum capsici. The use of synthetic fungicides has to be reduced and should be replaced by utilizing plant extracts to be vegetable fungicide which is safer. This research aims to determine the potential of lidah mertua extract in controlling the growth of Collectotrichum capsici fungi which causes anthracnose on red chili and to determine the effective concentration of lidah mertua extract in inhibiting the growth of Collectotrichum capsici fungi which causes anthracnose on red chili.

This research is a pure experimental research with a Completely Randomized Design (CRD). This research was conducted from March until May 2015 in Biologi Education Laboratory Sanata Dharma University. Lidah mertua plant was acquired in Sanata Dharma University. Collectotrichum capsici fungus are obtained from the Laboratory of Plant Pests and Diseases UGM. Tests were done of the phytochemical test of lidah mertua extracts, in vitro and in vivo testing. Extract test data was processed by Anova and was continued with DNMRT 5%.

The results of Phytochemical test show that lidah mertua extract contains saponins and tannins which are potential to control the growth of Collectotrichum capsici fungi. One hundred precent (100%) concentration of lidah mertua extract is the most effective in inhibiting the growth of the diameter of fungal colonies with 37% inhibition power. The soaking red chili in 100% lidah mertua extract also shows low intensity of fungal attack, which is amounted to 31%.

Key words : lidah mertua extracts, red chili, Collectotrichum capsici, inhibition, intensity of fungal attack


(14)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Batasan Masalah... 5

C. Tujuan ... 5

D. Manfaat ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Cabai Merah (Capsicum annuum L.) ... 7

1. Klasifikasi dan Morfologi ... 7

2. Kandungan Gizi dan Manfaat ... 9

3. Hama dan Penyakit ... 10

B. Penyakit Antraknosa ... 12


(15)

xii

D. Antifungi ... 15

E. Upaya Pengendalian Antraknosa dengan Fungisida ... 16

F. Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata) ... 18

1. Klasifikasi dan Morfologi ... 18

2. Potensi Daun Lidah Mertua ... 21

G. Hasil Penelitian yang Relevan ... 23

H. Kerangka Berpikir ... 24

I. Hipotesis ... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 26

B. Variabel Penelitian ... 26

C. Definisi Operasional... 26

D. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

E. Alat dan Bahan ... 27

F. Langkah Kerja ... 28

1. Observasi Lapangan ... 28

2. Persiapan Alat dan Bahan ... 28

3. Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar) ... 29

4. Identifikasi Jamur Collectotrichum capsici ... 29

5. Pembuatan Ekstrak Lidah Mertua ... 29

6. Uji Fitokimia (Saponin dan Tanin) ... 30

7. Pengujian Ekstrak Lidah Mertua ... 31

G. Metode Analisis Data ... 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Daun Lidah Mertua ... 35

B. Pembuatan Ekstrak Lidah Mertua ... 36

C. Identifikasi Karakter Morfologi Jamur Uji ... 37


(16)

xiii

E. Pertumbuhan Koloni dan Presentase Penghambatan C. capsici pada Uji

in vitro ... 40

F. Presentase Intensitas Serangan Antraknosa pada Cabai Merah pada Uji in vivo ... 45

G. Keterbatasan Penelitian ... 48

BAB V. KAITAN HASIL PENELITIAN DALAM PEMBELAJARAN ...49

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 50

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(17)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Segar per 100 gram ... 10

Tabel 2.2. Hama-hama Penting Tanaman Cabai Merah ... 11

Tabel 2.3. Kadar Tanin (%) 6 Varietas Sansevieria trifasciata ... 22

Tabel 4.1. Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Jamur C. capsici ... ...37

Tabel 4.2. Diameter Pertumbuhan Koloni Jamur C. capsici ... 40


(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Cabai merah keriting ... 7

Gambar 2.2. Cabai yang terkena antraknosa ... 12

Gambar 2.3. Karakteristik mikroskopis Collectotrichum capsisci ... 14

Gambar 2.4. Fungisida sintetik ... 16

Gambar 2.5. Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta ... 21

Gambar 4.1. S. trifasciata var Hahnii medio picta yang digunakan ... 36

Gambar 4.2. Kultur murni Collectotrichum capsisci ... 38

Gambar 4.3. Karakteristik mikroskopis C. capsisci ... 38

Gambar 4.4. Hasil pengujian ekstrak ... 39

Gambar 4.5. Pertumbuhan koloni ... 42

Gambar 4.6. Presentase daya hambat ekstrak lidah mertua terhadap pertumbuhan C. capsici ... 43


(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Statistik Pertumbuhan Jamur C. capsici ... 55

Lampiran 2. Perhitungan Presentase Daya Hambat Ekstrak Lidah Mertua terhadap Pertumbuhan C. capsici ... 60

Lampiran 3. Perhitungan Intensitas Serangan Jamur C. capsici pada Cabai Merah ... 61

Lampiran 4. Uji Anova One Factor within Subject Design Intensitas Serangan pada Cabai Merah ... 65

Lampiran 5. Dokumentasi Pembuatan Ekstrak Lidah Mertua ... 67

Lampiran 6. Dokumentasi Pengujian secara in vitro ... 68

Lampiran 7. Dokumentasi Pengujian secara in vivo ... 69

Lampiran 8. Silabus ... 70

Lampiran 9. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 75

Lampiran 10.Lembar Kerja Siswa ... 83

Lampiran 11 Penilaian Siswa ... 88

Lampiran 12. Kisi-Kisi Soal, Soal dan Kunci Jawaban ... 95


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cabai merah merupakan salah satu komoditas utama hortikultura yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropika dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007-2011 dalam Beranda Inovasi (2013), beberapa komoditas holtikultura yang paling banyak dikonsumsi adalah bawang merah (23.621/ons/kapita/tahun), cabai merah (14.965/ons/kapita/tahun), bawang putih (13.505/ons/kapita/tahun) dan cabai rawit (12.097/ons/kapita/tahun). Produktivitas cabai besar (cabai merah besar, cabai hijau besar, cabai merah keriting dan cabai hijau keriting) menurut Kementerian Pertanian (2015) yaitu sebagai berikut :

No. Tahun Produktivitas (ton)

1 2010 807.160

2 2011 888.852

3 2012 954.310

4 2013 1.013.000

5 2014 926.000

Adanya penurunan produktivitas pada cabai yang disebabkan karena luas panen berkurang mengakibatkan inflasi pada tahun 2014. Kendala pasokan akibat pergeseran masa panen dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi mengakibatkan kenaikan harga cabai merah dan beras di sejumlah daerah (Adiwilaga, 2015).


(21)

Upaya peningkatan produksi tanaman cabai tidak selalu berjalan lancar, banyak mengalami hambatan dan kendala. Beberapa kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai adalah faktor varietas dengan daya hasil rendah, adanya penyakit yang umumnya disebabkan karena serangan bakteri, virus atau jamur dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yaitu hama dan gulma (Ripangi, 2012). Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta (2007) melaporkan bahwa hama pada tanaman cabai antara lain trips, kutu, tungau, ulat, lalat buah, dan wereng kapas. Sedangkan penyakit utamanya adalah rebah kecambah, bercak daun (Cercospora sp.), antraknosa (Collectotrichum sp.), layu fusarium (Fusarium oxysporum), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), dan embun tepung (Leveillula taurica).

Indonesia memiliki diversitas jamur yang sangat tinggi karena iklim yang lembab dan suhu tropis yang mendukung pertumbuhan jamur (Gandjar et al., 2006) dan diperkirakan lebih dari 8.000 jenis jamur dapat menyebabkan penyakit pada tumbuhan (Semangun, 2001). Salah satu penyakit pada tumbuhan yang disebabkan oleh jamur adalah penyakit antraknosa (patek) yang ditandai dengan bintik-bintik kehitaman dalam cincin yang konsentris. Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Collectotrichum sp. dapat menurunkan produksi dan kualitas cabai merah sebesar 45 – 60 % (Hidayat et al., 2004). Serangan jamur patogen ini dimulai pada buah yang masih muda, selanjutnya berkembang selama proses penyimpanan (pascapanen), terutama pada kondisi yang panas dan lembab. Hal ini mengakibatkan buah cabai menjadi busuk hingga mengering dan sangat menurunkan produktivitas dari buah cabai tersebut.


(22)

Upaya pengendalian penyakit antraknosa yang sering dijumpai sampai saat ini yaitu penggunaan fungisida sintetik, karena lebih praktis bila dibandingkan dengan cara pengendalian lain. Fungisida sintetik banyak digunakan oleh petani karena memiliki periode pengendalian panjang, cepat menurunkan penyakit, mudah dan praktis untuk digunakan dan disimpan, serta mudah untuk mendapatkannya (Syamsuddin, 2003). Namun demikian, pemakaian fungisida sintetik yang kurang bijaksana, mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sangat membahayakan kesehatan manusia. Efek residu fungisida dapat mematikan organisme lain bukan sasaran yang bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem di alam. Manusia sebagai konsumen juga tidak lepas dari pengaruh negatif residu fungisida pada buah cabai yang dapat mengganggu kesehatan manusia, misalnya dapat merangsang pertumbuhan sel-sel kanker. Penggunaan fungisida sintetik sebagai pengendali penyakit tanaman harus ditekan sekecil mungkin untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Tindakan pengendalian penyakit antraknosa yang efektif dan aman sangat diperlukan untuk mengendalikan berkembangnya jamur Collectotrichum capsici (C. capsici) pada cabai merah. Dalam usaha meminimalkan pemakaian fungisida sintetik, perlu dicari suatu bahan yang bersifat alami yang bertindak sebagai fungisida tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan maupun manusia. Salah satu cara untuk mendapatkan fungisida alternatif yaitu dengan memanfaatkan ekstrak tanaman menjadi fungisida nabati yang lebih aman penggunaannya. Indonesia memiliki lebih dari 350.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menghasilkan berbagai produk yang salah satunya adalah


(23)

metabolit sekunder dengan jumlah 100.000 dari 1.000.000 senyawa kimia (Surjadi, 2005).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fungisida nabati cukup efektif dalam mengendalikan berbagai jenis patogen yang terbawa benih secara in-vitro. Senyawa fenolik memiliki sifat antimikrobia, sedangkan tanin mampu menekan perkembangan jamur patogen (Christian et al., 2011). Menurut Afolayan et al. (2008) dalam Ulya (2012), lidah mertua mengandung senyawa fenol, proantosianidin, dan flavonoid yang berpotensi terhadap antibakteri dan antioksidan. Penelitian Aprilia (2014) menunjukkan bahawa perasan daun lidah mertua memiliki daya anti bakteri pada Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeuroginosa. Lidah mertua juga mengandung suatu senyawa saponin tipe steroid serta tanin yang memiliki efek antijamur (Pradipta, 2011).

Berdasarkan hal di atas, perlu dilakukan penelitian tentang uji beberapa konsentrasi dari ekstrak lidah mertua (Sansevieria trifasciata) untuk pengendalian pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada buah cabai merah. Konsentrasi ekstrak lidah mertua yang mampu untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah cabai dapat digunakan sebagai biofungisida yang aman, efektif, dan ramah lingkungan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak lidah mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) berpotensi dalam mengendalikan pertumbuhan jamur


(24)

2. Berapakah konsentrasi ekstrak lidah mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) yang efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur

Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada cabai merah ?

C. Batasan Masalah

1. Tanaman lidah mertua yang digunakan dalam pembuatan ekstrak yaitu bagian daunnya yang sudah tua. Lokasi pemilihan daun lidah mertua tidak banyak terpapar polusi udara agar lebih efektif sebagai antijamur.

2. Pengujian senyawa saponin dan tanin yang terdapat pada tanaman lidah mertua dilakukan dengan uji fitokimia (secara kualitatif).

3. Pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici pada uji in vitro diamati selama 5 hari dengan melakukan pengukuran diameter koloni jamur, sedangkan pada uji in vivo dilakukan pengamatan intensitas serangan jamur pada buah cabai merah sampai kategori serangan antraknosa 50 %. 4. Penyakit antraknosa dalam penelitian ini yaitu penyakit yang memiliki

gejala awal berupa bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk, dan menyerang bagian buah pada cabai merah.

D. Tujuan

1. Mengetahui potensi ekstrak lidah mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) dalam mengendalikan pertumbuhan jamur


(25)

2. Mengetahui konsentrasi ekstrak lidah mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) yang efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur

Collectotrichum capsici penyebab antraknosa pada cabai merah.

E. Manfaat

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui potensi tanaman lidah mertua untuk mengendalikan jamur Collectotrichum capsici. Hasil penelitian ini selanjutnya dapat digunakan masyarakat dalam pengembangan ekstrak menjadi suatu biofungisida yang aman untuk mengendalikan antraknosa pada cabai merah, sebagai pengganti fungisida sintetik.

2. Bagi Peneliti

Peneliti dapat mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu Biologi dalam pemanfaatan lidah mertua untuk mengendalikan jamur Collectotrichum

capsici penyebab antraknosa pada cabai merah.

3. Bagi Guru Biologi dan Siswa

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran maupun acuan sumber belajar yang berkaitan dengan materi jamur, baik struktur, ciri-ciri maupun peranannya. Siswa dapat mengetahui pula upaya pengendalian penyakit yang disebabkan jamur, khusunya antraknosa pada tumbuhan. Dengan demikian diharapkan dapat memotivasi dalam membuat suatu penelitian sederhana.


(26)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cabai Merah ( Capsicum annuum L.) 1. Klasifikasi dan Morfologi

Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Cabai merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi di Indonesia. Cabai merah mempunyai berbagai jenis kultivar, yaitu: cabai merah biasa, cabai merah keriting, cabai merah bandung dan cabai merah cakra (Miskun, 2013).

Gambar 2.1. Cabai merah keriting

Menurut Poulos (1994), klasifikasi tanaman cabai merah adalah sebagai berikut :


(27)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Class : Angiospermae Ordo : Dicotyledonae Family : Solanaceae Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

Cabai adalah tanaman semusim yang berbentuk perdu dengan akar tunggang. Sistem perakaran tanaman cabai agak menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. Akar ini berfungsi antara lain menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Harpenas, 2010). Batang utama cabai tegak dan pangkalnya berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5 cm. Batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm, diameter batang percabangan mencapai 0,5-1 cm. Percabangan bersifat dikotomi atau menggarpu, tumbuhnya cabang beraturan secara berkesinambungan (Hewindati, 2006).

Daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing (oblongus acutus), tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing,


(28)

tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5 - 12 cm, lebar 1 - 5 cm, berwarna hijau (Hewindati, 2006).

Bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil, umumnya bunga cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu. Cabai berbunga sempurna karena terdiri atas tangkai bunga, dasar bunga, kelopak bunga, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina (Hewindati, 2006). Buah cabai merah umumnya berbentuk memanjang berkisar antara 5 – 25 cm. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi merah cerah. Bijinya berwarna kuning kecokelatan, dan berbentuk pipih. Cabai yang banyak bijinya akan semakin pedas rasanya. Cabai merah keriting rasanya relatif lebih pedas daripada cabai merah besar (Tjahjadi, 1991)

2. Kandungan Gizi dan Manfaat

Cabai mengandung kapsaisin, dihidrokapsaisin, vitamin (A dan C), zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin, zeasantin, kriptosantin, clan lutein. Selain itu, juga mengandung mineral, seperti zat besi, kalium, kalsium, fosfor, dan niasin. Zat aktif kapsaisin berkhasiat sebagai stimulan. Jika seseorang mengonsumsi kapsaisin terlalu banyak akan mengakibatkan rasa terbakar di mulut dan keluarnya air mata (Priyadi, 2015). Cabai merah juga mengandung gizi dan vitamin yang berguna bagi tubuh, seperti yang terlihat pada tabel 2.1 (Agromedia, 2011).


(29)

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Segar per 100 gram

No Kandungan Gizi Satuan

1 Air 90,9 %

2 Kalori 31,0 kal

3 Protein 1,0 g

4 Lemak 0,3 g

5 Karbohidrat 7,3 g

6 Serat 1,6 g

7 Vitamin A 470 IU

8 Thiamin 0,05 mg

9 Riboflavin 0,06 mg

10 Niasin 0,9 mg

11 Vitamin C 18,0 mg

12 Kalsium 29,0 mg

13 Fosfor 24,0 mg

14 Besi 0,5 mg

Buah cabai dapat dimanfaatkan untuk banyak keperluan, baik untuk masak memasak maupun ramuan obat tradisional. Manfaat cabai merah antara lain : mengobati rematik, mengobati bisul, mencegah stroke, mengatasi katarak, mengobati sariawan, dan menambah nafsu makan. Cabai menghasilkan vitamin C (lebih banyak daripada jeruk) dan provitamin A (lebih banyak daripada wortel) yang sangat diperlukan bagi tubuh.

3. Hama dan Penyakit

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai antara lain: iklim, tanah, air, dan faktor biotik


(30)

seperti gangguan hama dan penyakit, serta tumbuhan pengganggu. Salah satu kendala rendahnya hasil produksi cabai adalah adanya gangguan dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT), khususnya hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit tersebut dapat mengakibatkan penurunan produksi bahkan sampai mengakibatkan gagal panen.

Menurut Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta (2007), banyak jenis hama yang menyerang tanaman cabai merah sejak dari persemaian sampai panen. Beberapa jenis hama utama tanaman cabai merah yaitu :

Tabel 2.2. Hama-Hama Penting Tanaman Cabai Merah Fase

Pertumbuhan Nama Umum Nama Ilmiah

Persemaian atau sebelum tanam

1. Trips

2. Kutu daun persik 3. Tungau teh kuning

1. Trips parvispinus

2. Myzus persicae

3. P. latus

Fase vegetatif 1. Ulat tanah 2. Gangsir 3. Uret

1. Agrotis ipsilon

2. B. portentotus

3. Phylophaga spp.

Fase vegetatif dan fase generatif

1. Ulat grayak 2. Ulat bawang 3. Kutu daun persik 4. Trips

5. Tungau teh kuning 6. Kutu kebul

7. Wereng kapas

8. Lalat penggorok daun

1. Spodoptera litura

2. S. exigua

3. M. persicae

4. T. parvispinus

5. P. latus

6. Bemisia tabaci

7. E. lybica

8. Lhuidobrensis

Fase generatif 1. Ulat buah tomat 2. Lalat buah

1. Helicoverpa armigera

2. Bactrocera dorsalis


(31)

Sedangkan penyakit utama pada cabai merah adalah rebah kecambah (Phytium spp.), bercak daun (Cercospora sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), layu fusarium (Fusarium oxysporum), layu bakteri (Pseudomonas

solanacearum), busuk daun (Phytopthora capsici), dan embun tepung (Leveillula taurica).

B. Penyakit Antraknosa

Indonesia memiliki diversitas jamur yang sangat tinggi karena iklim yang lembab dan suhu tropik yang mendukung pertumbuhan jamur (Gandjar et al., 2006). Di antara 100.000 jenis jamur, sekitar 50 jenis menyebabkan penyakit pada manusia, sekitar 50 jenis menyebabkan penyakit pada pada hewan dan diperkirakan lebih dari 8.000 jenis jamur dapat menyebabkan penyakit pada tumbuhan (Semangun, 2001). Salah satu di antaranya menyebabkan penyakit antraknosa. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman cabai karena dapat dapat menurunkan produksi dan kualitas cabai merah sebesar 45 – 60 % (Hidayat et al., 2004).


(32)

Penyakit antraknosa disebut juga patek atau busuk buah. Serangan lebih sering terjadi pada musim hujan. Bagian utama yang diserang adalah buah cabai, sehingga mengakibatkan buah busuk. Gejala serangan mula-mula terdapat bercak tak beraturan pada buah. Massa spora jamur berwarna merah jambu ke orange terbentuk dalam cincin yang konsentris pada permukaan bercak. Bercak ini agak terbenam dan berair. Busuk akan melebar dan kemudian muncul bisul-bisul atau titik-titik hitam (Rusli et al, 1997).

C. Jamur Penyebab Antraknosa (Collectotrichum capsici)

Serangan antraknosa disebabkan oleh jamur dari marga Coletotrichum. Jamur ini mempunyai empat jenis utama yaitu C. gloeosporioides, C. acutatum,

C. dematium dan C. capsici. Namun, lebih dari 90% antraknosa yang menginfeksi

cabai diakibatkan oleh jamur Coletotrichum capsici (Syukur, 2007). Menurut Singh (1998), klasifikasi Collectotrichum spp. sebagai berikut :

Divisio : Ascomycota Classis : Pyrenomycetes Ordo : Sphaeriales Familia : Polystigmataceae Genus : Collectotrichum

Spesies : Collectotrichum capsici

Miselium terdiri dari beberapa septa, inter dan intraseluler hifa. Aservulus berbentuk hemispirakel dengan ukuran 70-120 μm. Seta menyebar, berwarna coklat gelap sampai coklat muda, terdiri dari beberapa septa. Konidiofor tidak


(33)

bercabang, massa konidia nampak berwarna kemerah-merahan. Konidia berada pada ujung konidiofor. Konidia berbentuk hialin, uniseluler, ukuran 17-18 x 3-4 μm. Konidia dapat berkecambah pada permukaan buah yang hijau atau merah tua. Tabung kecambah akan segera membentuk apresorium (Singh, 1998).

(a) (b)

Gambar 2.3. Karakteristik mikroskopis Collectotrichum capsisci : (a) sketsa (b) pengamatan mikroskop

Pertumbuhan awal jamur Colletotrichum capsici membentuk koloni miselium yang berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus ditutupi oleh warna merah muda sampai coklat muda yang sebetulnya adalah massa konidia (Rusli et al, 1997).


(34)

D. Antifungi

Salah satu upaya untuk melawan fungi adalah dengan menggunakan senyawa yang bersifat antagonis (antifungi) sebagai pengganggu atau penghambat. Antifungi merupakan senyawa yang digunakan untuk membasmi fungi. Istilah antifungi mempunyai dua pengertian, yaitu fungisida dan fungistatik. Fungisida didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi, sedangan fungistatik merupakan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan fungi tanpa mematikannya. Mekanisme kerja antifungi dibagi menjadi 4 cara, antara lain :

1. penghambatan sintesis dinding sel 2. penghambatan fungsi selaput sel 3. penghambatan sintesis protein 4. penghambatan sintesis asam nukleat

Uji potensi antifungi adalah menguji suatu zat yang diduga mempunyai daya antifungi dengan memanfaatkan fungi sebagai indikator pengujian. Kegunaan uji antifungi adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas antifungi dalam menghambat atau membunuh fungi secara in vitro, diantaranya : pH lingkungan, besarnya inokulum, masa inkubasi, aktivitas metabolit mikroorganisme, stabilitas obat dan komponen pembenihan (Kristhana, 2001).


(35)

E. Upaya Pengendalian Antraknos\a dengan Fungisida

Pengendalian penyakit terutama yang disebabkan oleh jamur selama ini dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan fungisida. Cara pengendalian penyakit antraknosa dengan menggunakan fungisida memang lebih praktis bila dibandingkan dengan cara pengendalian lain. Fungisida sintetik banyak digunakan oleh petani karena memiliki periode pengendalian panjang, cepat menurunkan penyakit, mudah dan praktis untuk digunakan, mudah dan praktis disimpan, dan mudah untuk mendapatkannya (Syamsuddin, 2003).

Gambar 2.4. Fungisida sintetik

Prabawati (1991) dan Prajnanta (2004) melaporkan fungisida prockloraz dan kombinasi benomyl dan mancozeb efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici. Fungisida “Petronil 75 WP” dengan bahan aktif klorotalonil 75% merupakan fungisida protektif berbentuk tepung yang dapat disuspensikan, berwarna putih, bekerja secara preventif dan kuratif untuk melindungi tanaman terhadap penyakit yang disebabkan oleh jamur. Fungisida ini dapat digunakan untuk mengatasi antraknosa pada cabai. Bahan aktif klorotalonil berperan sebagai fungisida inhibitor multi situs yang


(36)

mempengaruhi berbagai enzim dan proses metabolisme lainnya dalam jamur, menghambat perkecambahan spora, dan racun bagi sel membran jamur (Hikmah, 2012).

Penggunaan fungisida sintetik yang berlebihan dan ketergantungan terhadapnya tidak memecahkan masalah penyakit tanaman tetapi menimbulkan masalah baru dan dampak negatif. Penggunaan fungisida sintetik yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia, polusi lingkungan dan berkembangnya jamur patogen yang resisten terhadap fungisida. Untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan, dikembangkan fungisida bahan nabati yang diperoleh dari senyawa yang dihasilkan oleh tanaman. Fungisida nabati sudah dikenal dan digunakan masyarakat sejak dulu (Syukur, 2009).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki biodiversity yang tinggi. Indonesia memiliki lebih dari 350.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menghasilkan berbagai produk yang salah satunya adalah metabolit sekunder dengan jumlah 100.000 dari 1.000.000 senyawa kimia. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan biokatifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan tersebut atau lingkungan. Senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, golongan fenol, feromon, saponin, tanin, kuinon, dan sebagainya digunakan sebagai zat warna, racun, aroma makanan,dan obat tradisional pada kehidupan sehari-hari (Zahara, 2011).


(37)

Penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan fungisida sintetik yang sering disebut fungisida nabati atau biofungisida yang ramah lingkungan karena mudah terdegradasi sehingga tidak menimbulkan residu (Kardinan, 2002). Agens hayati maupun bahan alami yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti fungisida sintetik yang disebut fungisida nabati. Salah satu sifat fungisida nabati yaitu daya urai cepat dan tidak ada residu pada produk pertanian sehingga lebih aman dikonsumsi. Namun karena penurunan daya racun cepat, maka perlu diaplikasikan secara berulang-ulang.

F. Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata) 1. Klasifikasi dan Morfologi

Lidah mertua berasal dari Benua Afrika yang menyebar dari Somalia, Zimbabwe, Kenya, Afrika Selatan, hingga Madagaskar. Semua jenis lidah mertua umumnya didatangkan ke Indonesia melalui jalur perdagangan, serta eksplorasi para ahli botani dan para pecinta tanaman hias. Tanaman ini merupakan tanaman yang sangat toleran terhadap kekurangan air dan udara kering. Hal ini dikarenakan daunnya yang berdaging tebal mampu menyimpan banyak kandungan air (Tahir dan Sitanggang, 2008). Daun dari tanaman ini mengandung serat yang mempunyai sifat kenyal dan kuat yang disebut sebagai bowstringhemp dan banyak digunakan sebagai bahan membuat kain (Heyne, 1987).


(38)

Klasifikasi tanaman lidah mertua menurut Lingga (2009) dalam Pradipta (2011), yaitu :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Bangsa : Liliales Suku : Agavaceae Marga : Sansevieria

Jenis : Sansevieria trifasciata Prain

Tanaman lidah mertua merupakan sejenis herba tidak berbatang dan mempunyai rimpang yang kuat dan tegak. Daunnya memiliki beberapa kategori yaitu silinder atau membulat penuh (S. cylindrica), setengah silinder (S. suffructicosa), segitiga tebal (S. ehrenberghii) dan bulat telur memanjang atau pendek (lanceolate) (S. masoniana, S. trifasciata, S. hahnii). Sansevieria merupakan tanaman monokotil sehingga memiliki akar serabut. Rhizome tumbuh menjalar di atas permukaan tanah atau tumbuh di dalam tanah. Bunga berumah dua dan biasanya berwarna putih atau sedikit keunguan (Tahir dan Sitanggang, 2008).

Keragaman jenis Sansevieria cukup besar, dimana anggota genus ini mencapai 130-140 spesies. Di Indonesia, lidah mertua hampir dijumpai hingga pelosok daerah, hal ini karena tanaman mudah tumbuh dan jarang mati meskipun tidak dipelihara (Purwanto, 2006). Sansevieria memiliki keistimewaan yang jarang ditemukan pada tanaman lain, diantaranya mampu


(39)

bertahan hidup pada rentang suhu dan cahaya yang luas, sangat resisten terhadap gas udara yang berbahaya (polutan), bahkan mampu menyerap 107 jenis sebagai penyerap polutan di daerah yang padat lalu lintas dan di dalam ruangan yang penuh asap rokok (Tahir dan Sitanggang, 2008).

Beberapa varietas Sansevieria trifasciata yang ditemukan di Yogyakarta sebagai tanaman budidaya dan dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu Sansevieria trifasciata var Moonshine, Sansevieria trifasciata var Golden hahnii, Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta, Sansevieria

trifasciata var Tiger stripe, Sansevieria trifasciata var Laurentii, dan

Sansevieria trifasciata var Green tiger (Renny, 2011). Penelitian ini

menggunakan salah satu varietas Sansevieria yaitu Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta.

Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta merupakan kelompok

herba berdaun pendek seperti bentuk roset. Akar serabut dan berwarna kecoklatan. Rhizome memanjang dan berwarna hijau muda, memiliki pangkal pelepah daun yang berwarna putih kehjauan, serta percabangan simpodial. Daun berbentuk oblongus, bentuk tepi daun rata dengan warna tepi hijau tua, ujung helaian daun berekor, warna dasar helaian daun hijau tua dengan perpaduan warna motif hijau muda. Permukaan atas dan bawah helaian daun halus, kenampakan permukaan atas helaian daun mengkilap sedangkan kenampakan permukaan bawah helaian daun tidak mengkilap, berupa alur tidak teratur dengan motif alur zigzag. Bunga berumah dua, berbau harum


(40)

pada malam hari dan mampu bertahan sampai 7 hari. Biji masak setelah berumur 2-5 bulan dan bersifat diploid.

Gambar 2.5. Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta

2. Potensi Daun Lidah Mertua

Banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman Sansevieria

trifasciata mengungkapkan bahwa tanaman ini memiliki banyak senyawa

metabolit sekunder. Bagian tanaman yang sering digunakan sebagai obat adalah daun dan rimpangnya. Kandungan kimia daun dan rimpang S.

trifasciata yang telah dilaporkan adalah vitamin C, tanin, glukogalin, asam

galat, asam elegat, korilagin, terchebin chebulagic acid, chebulinic acid, 3,6-digaloilglukosa, mucid acid, abamagenin, phylembic acid dan emblikol (Hariana, 2008). Ekstrak daun S. trifasciata memiliki kandungan flavonoid, steroid dan alkaloid (Gitasari, 2011). Selain itu, mengandung senyawa saponin, kardenolin dan tanin (Dewitasari, 2009).

Pada penelitian Sunilson (2009) dalam Aprilia (2014), ekstrak etanol dan air daun lidah mertua mengandung senyawa alkaloid, favonoid, saponin,


(41)

terpenoid, tanin, protein dan karbohidrat. Ekstrak tersebut memiliki khasiat analgesik dan antipiretik yang tidak terlalu tinggi, sehingga dapat dijadikan alternatif pengobatan untuk mengatasi demam dan inflamasi. Kandungan zat aktif tanaman lidah mertua adalah saponin yang memiliki efek antijamur, minyak esensial (Polifenol) dan flavonoid (Pradipta, 2011).

Tanin merupakan suatu polifenol yang merupakan senyawa antara suatu metabolisme pada tanaman tingkat tinggi. Efek farmakologi tanin yaitu sebagai anti bakteri, anti virus dan anti jamur. Tanin mampu menghambat kerja enzim katalase yaitu enzim C-14 demethylase yang berfungsi memacu pembentukan ergosterol yang merupakan komponen utama membran plasma jamur. Jika fungsi enzim C-14 demethylase terganggu maka jamur tidak dapat mensintesis ergosterol, sehingga membran plasma tidak terbentuk dengan baik dan metabolismenya terganggu, akhirnya jamur mengalami kematian (Christian et al, 2011). Berdasarkan hasil pengujian Renny (2011), diperoleh informasi bahwa Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta mempunyai kadar tanin paling tinggi yaitu sebesar 0,1131 %. Kadar tanin dari enam varietas Sansevieria trifasciata adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3. Kadar Tanin(%) 6 Varietas Sansevieria trifasciata Kadar Tanin (%)

Var Moonshin

Var Golden

hahnii

Var Hahnii medio picta

Var Tiger stripe

Var Laurentii

Var Green tiger 0,0063 0,0177 0,1131 0,0173 0,0086 0,0063


(42)

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian dalam upaya mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai merah banyak dilakukan dengan memanfaatkan ekstrak suatu tanaman. Hasil penelitian Nurhayati (2011) menyimpulkan bahwa perendaman buah cabai dengan ekstrak daun sirih selama 20 menit merupakan perlakuan terbaik dalam menekan jamur patogen antraknosa. Penelitian Ali (2009) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak daun mimba 15% dan 20% memberikan pengaruh dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah cabai merah pasca panen. Konsentrasi ekstrak daun mimba 20% memiliki kandungan senyawa antifungi yang lebih banyak sehingga lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan koloni jamur C. capsici.

Penelitian Aprilia (2014) menyebutkan bahwa perasan daun lidah mertua memiliki daya anti bakteri pada Staphylococcus aureus dan Pseudomonas

aeuroginosa. Hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menunjukkan

bahwa perasan daun lidah mertua mengandung flavonoid yang diperkirakan memberikan aktivitas antibakteri. Berdasarkan penelitian Gitasari (2011), daun lidah mertua dapat menghambat aktivitas antibakteri pada Staphylococcus aureus. Penelitian tersebut menunjukkan kandungan lidah mertua yaitu flavonoid, steroid dan alkaloid. Sedangkan penelitian Ulya (2012) menyebutkan bahwa lidah mertua mengandung senyawa-senyawa kimia penting seperti asam galat, steroid, flavonoid, tanin dan saponin yang berpotensi terhadap antibakteri dan antioksidan. Kandungan zat aktif tanaman lidah mertua yaitu saponin memiliki efek antijamur dan tanin mampu menekan perkembangan jamur patogen (Christian et al, 2011).


(43)

H. Kerangka Berpikir

Cabai merah merupakan tanaman hortikultura penting yang sudah dibudidayakan dan tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari dalam konsumsi rumah tangga. Selain sebagai penyedap masakan, cabai merah mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Budidaya cabai merah tidak lepas dari adanya kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai merah. Beberapa kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai merah adalah faktor varietas dengan daya hasil rendah, adanya penyakit dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu penyakit pada cabai merah adalah antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici. Bagian utama yang diserang adalah buah cabai, sehingga mengakibatkan buah busuk (Haryoto, 2009).

Upaya pengendalian penyakit antraknosa yang sering dijumpai sampai saat ini yaitu penggunaan fungisida sintetik. Namun demikian, pemakaian fungisida sintetik yang kurang bijaksana, mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sangat membahayakan kesehatan manusia. Oleh sebab itu, perlu adanya fungisida nabati yang dapat mengendalikan antraknosa dan aman bagi tanaman cabai merah. Penelitian Nurhayati (2011) dan Ali (2009) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak tanaman seperti ekstrak daun sirih dan daun mimba pada cabai merah mampu mengendalikan penyakit antraknosa.

Beberapa jenis tumbuhan mengandung senyawa aktif yang berfungsi sebagai anti jamur, misalnya senyawa saponin dan tanin. Senyawa saponin memiliki efek anti jamur dan senyawa tanin mampu menekan pertumbuhan jamur


(44)

patogen (Christian et al., 2011). Senyawa saponin dan tanin dapat diperoleh dari tanaman lidah mertua (Ulya, 2012). Senyawa dalam tanaman lidah mertua tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan pertumbuhan jamur

Colletotrichum capsici.

Penelitian dilakukan dengan membuat ekstrak dari tanaman lidah mertua dan menguji adanya senyawa saponin dan tanin. Ekstrak lidah mertua tersebut selanjutnya diujikan untuk mengetahui daya hambat ekstrak terhadap pertumbuhan diameter koloni jamur Colletotrichum capsici pada media PDA (in

vitro) dan intensitas serangan pada buah cabai merah merah (in vivo). Konsentrasi

terbaik ekstrak lidah mertua yang mampu untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah cabai merah merah dapat digunakan sebagai biofungisida yang aman, efektif, dan ramah lingkungan.

I. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ekstrak lidah mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) memiliki potensi dalam mengendalikan pertumbuhan jamur Collectotrichum

capsici penyebab antraknosa pada cabai merah karena mengandung senyawa

metabolit sekunder.

2. Konsentrasi ekstak lidah mertua (Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) yang efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur Collectotrichum


(45)

26 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian tentang uji potensi antifungi ekstrak lidah mertua terhadap

Collectotrichum capsici ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni

dengan rancangan acak lengkap (RAL).

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : konsentrasi ekstrak lidah mertua

2. Variabel terikat : persentase daya hambat dan intensitas serangan 3. Variabel kontrol : media PDA, waktu inkubasi, daun lidah mertua,

cara pembuatan ekstrak, buah cabai merah.

C. Definisi Operasional

1. Collectotrichum capsici adalah jamur uji yang memiliki miselium

berwarna putih keabuan sampai hitam, dengan struktur miselium kasar yang diperoleh dari aboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, UGM. 2. Ekstrak lidah mertua adalah ekstrak yang terbuat dari daun lidah mertua

(Sansevieria trifasciata var Hahnii medio picta) yang dihaluskan dengan penambahan aquades yang terdiri dari 5 konsentrasi perlakuan, yaitu 100%, 75%, 50%, 25% dan 5%.


(46)

3. Daya hambat adalah kemampuan ekstrak lidah mertua untuk menghambat pertumbuhan jamur Collectotrichum capsici.

4. Intensitas serangan adalah tingkat perkembangan keparahan penyakit terhadap inang, dalam hal ini yaitu penyakit antraknosa pada buah cabai merah.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Maret hingga Mei 2015. Pembuatan media, identifikasi jamur, pembuatan ekstrak dan pengujian ekstrak dilakukan di Laboratorium Pasteur Pendidikan Biologi, Universitas Sanata Dharma.

E. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : cawan petri, baki plastik, pinset, mikropipet, pipet tip, cork borer, jarum enten, jarum ose, gelas ukur, gelas beker, erlenmeyer, tabung reaksi, lampu spritus, autoklaf, hotplate,

stirrer magnetic, vortex mixer, blender, penyaring, laminar air flow cabinet,

inkubator, gelas benda, gelas penutup, mikroskop, dan timbangan analitik.

Bahan yang digunakan yaitu : kultur murni Collectotrichum capsici yang diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman UGM Yogyakarta, daun lidah mertua yang diperoleh di daerah kampus III USD, Paingan, Maguwoharjo Yogyakarta, buah cabai merah, fungisida sintetik sebagai kontrol positif, PDA (Potato Dextrose Agar), aquades steril, alkohol 70%, alumunium


(47)

foil, NaCl 1%, FeCl 1%, natrium hipoklorit, kertas saring, pewarna methylen blue, plastik transparan, dan kertas payung.

F. Langkah Kerja

1. Observasi Lapangan

Meliputi kegiatan mengamati secara langsung buah cabai yang menunjukkan gejala antraknosa, untuk memperoleh beberapa informasi mengenai penyakit antraknosa pada cabai. Selanjutnya mengambil beberapa sampel cabai yang terkena antraknosa untuk dilakukan pengujian. Selain itu melakukan pengamatan tanaman lidah mertua yang akan digunakan.

2. Persiapan Alat dan Bahan

Meliputi persiapan alat dan bahan yang digunakan. Alat yang akan digunakan untuk media tumbuh jamur disterilisasi terlebih dahulu yaitu dengan cara disemprot dengan alkohol 70%, dipanaskan di atas bunsen atau dilakukan sterilisasi dengan autoklaf selama ± 15 menit, tekanan 1 atm pada 121ºC.

Bahan pembuatan ekstrak yaitu tanaman lidah mertua diperoleh di Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan dipilih yang memiliki kondisi baik. Bagian tanaman yang digunakan yaitu bagian daunnya yang segar.


(48)

3. Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar)

PDA sebanyak 39 gr dilarutkan dalam 1 liter aquades dan dipanaskan sampai semua terlarut secara homogen menggunakan hotplate dan stirrer magnetic. Media selanjutnya dituangkan dalam erlenmeyer dan disterilkan menggunakan autoklaf pada tekanan 1atm dengan suhu 1210C selama 10 menit.

4. Identifikasi Jamur Collectotrichum capsici

Identifikasi jamur berupa identifikasi morfologi jamur dan identifikasi mikroskopis melalui pengecatan. Identifikasi morfologi melalui pengamatan kenampakan dari kultur yang diperoleh. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan mengambil 1 ose jamur, diletakkan di tengah-tengah gelas benda dan dicampurkan dengan 1 tetes larutan methylen blue, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Diamati dengan mikroskop dan didokumentasikan. Hasil pengamatan selanjutnya dicocokan dengan pustaka identifikasi jamur.

5. Pembuatan Ekstrak Lidah Mertua

Daun lidah mertua yang sudah disortir (dipisahkan antara tanaman yang baik dan yang rusak) ditimbang sebanyak 100 gr, dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Daun disterilisasi dengan merendam dalam campuran 10 ml Natrium hipoklorit dan 3 liter aquades selama 15 menit. Daun kemudian dibilas, dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan


(49)

penambahan 100 ml aquades. Dilakukan penyaringan sehingga diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 100%, kemudian dilakukan pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi 75%, 50%, 25% dan 5%. Ekstrak yang ditampung dalam erlenmeyer tersebut selanjutnya direbus dengan hotplate.

6. Uji Fitokimia (Saponin dan Tanin)

Uji fitokimia yang dilakukan yaitu pengujian saponin dan tanin yang memiliki sifat sebagai antifungi.

a) Uji saponin

Ekstrak lidah mertua diambil sebanyak 1 ml, ditambahkan dengan 5 ml aquades dan dikocok selama 5 menit dalam tabung reaksi. Terbentuknya layer berupa busa setebal 1 cm pada bagian atas menunjukkan adanya saponin.

b) Uji tanin

Ekstrak lidah mertua diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan dalam tabung reaksi. Ditambahkan dengan 5 tetes larutan NaCl 1% dan 3 tetes pereaksi FeCl 1%. Tanin yang terhidrolisis memberikan warna biru tua atau hijau kehitaman.

7. Pengujian Ekstrak Lidah Mertua a) Pengujian in-vitro

Pengujian dilakukan dengan menumbuhkan C. capsici pada media PDA yang telah dicampur dengan ekstrak lidah mertua sesuai konsentrasi


(50)

perlakuan. PDA cair sebanyak 10 ml dengan suhu ± 40ºC dituang ke dalam cawan petri, kemudian ditambahkan ekstrak lidah mertua sebanyak 0,5 ml. Cawan petri selanjutnya digoyang secara memutar (membentuk angka 8) agar tercampur merata. Campuran media dan ekstrak didiamkan hingga padat. Konsentrasi ekstrak yang digunakan yaitu 100%, 75%, 50%, 25% dan 5%. Pada kontrol positif, media PDA dicampur dengan fungisida sintetik, sedangkan pada kontrol negatif tanpa penambahan ekstrak maupun fungisida.

Miselium C. capsici diambil dengan cara memotong PDA yang ditumbuhi biakan murni C. capsici dengan pemotong media (cork borer) berdiameter 5 mm. Jamur tersebut diinokulasikan pada medium di bagian tengah cawan petri, kemudian diinkubasi pada suhu ruang. Tiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari dengan mengukur pertumbuhan diameter C. capsici dan menghitung persentase daya hambat. Pengukuran diameter koloni dilakukan dengan membuat garis vertikal dan horizontal yang berpotongan tepat pada titik tengah koloni jamur pada cawan petri. Rumus pengukuran diameter yaitu :

Keterangan : D = diameter jamur C. capsici

v = diameter vertikal koloni jamur C. capsici

h = diameter horizontal koloni jamur C. capsici ∅v


(51)

Sedangkan rumus persentase daya hambat terhadap pertumbuhan C.capsici menurut Marhaenis (2011), yaitu :

Daya hambat =

Keterangan :

∅k = diameter koloni pada media kontrol

∅p = diameter koloni pada media perlakuan

b) Pengujian in-vivo

Pengujian dilakukan dengan menginokulasikan jamur C.capsici pada buah cabai. Sebelum inokuasi jamur, pemukaan cabai disterilisasi dengan aquades steril dan dicelupkan dalam alkohol 70% selama 3 menit. Selanjutnya dibilas dengan aquades steril sebanyak 2 kali. Inokulasi dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 ml suspensi jamur. Suspensi jamur diperoleh dengan mencampur miselium jamur dengan 10 ml aquades steril pada tabung reaksi, lalu diaduk dengan vortex mixer selama 5 menit agar spora menyebar dalam suspensi.

Buah cabai yang telah diinokulasi dan dikeringanginkan selanjutnya direndam dalam ekstrak lidah mertua sesuai dengan konsentrasi perlakuan selama 5 menit. Pada kontrol positif, cabai direndam fungisida sintetik, sedangkan kontrol negatif tidak diberi perlakuan perendaman. Buah cabai selanjutnya diletakkan dalam baki plastik yang telah diberi alas kertas saring steril yang lembab, kemudian ditutup dengan plastik transparan


(52)

yang diberi lubang. Tiap baki plastik perlakuan berisi 8 buah cabai yang disusun terpisah. Untuk menjaga kelembaban dalam baki, dilakukan penyemprotan dengan aquades. Baki-baki plastik disusun dan diinkubasi pada suhu ruang.

Pengamatan dilakukan setiap hari setelah tiap perlakuan menunjukkan gejala awal antraknosa. Penghitungan intensitas serangan dilakukan mulai saat pertama muncul gejala sampai didapat niai persentase serangan >50% pada perlakuan dengan interval pengamatan 2 hari. Rumus intensitas serangan yaitu :

IS =

Keterangan :

IS = Intensitas serangan

n = jumlah buah dari tiap kategori serangan yang sama V = skor tiap kategori serangan

N = jumlah buah yang diamati Z = skor serangan tertinggi

Kategori serangan antraknosa pada cabai ditetapkan melalui skoring sebagai berikut :

0 = tidak ada bercak atau gejala

1 = luas bercak 0 – 10 % 2 = luas bercak 10 – 20 %

3 = luas bercak 20 – 30 % 4 = luas bercak 30 – 40 % 5 = luas bercak 40 – 50 % 6 = luas bercak > 50 %


(53)

G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan beberapa metode. Data identifikasi jamur penyebab antraknosa pada cabai disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data pengujian kandungan saponin dan tanin dalam ekstrak lidah mertua dianalisis secara kualitatif berdasarkan perubahan warna. Data pengujian dihitung menggunakan rumus, dianalisis secara statistik dengan uji anova dan diuji lanjut dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%.


(54)

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Daun Lidah Mertua

Tanaman lidah mertua (Sanseviera trifasciata var Hahnii medio picta) yang digunakan diperoleh di Kampus III Paingan Universitas Sanata Dharma. Lokasi ini dipilih karena tanaman sedikit terpapar oleh polusi udara. Hal ini perlu diperhatikan karena tanaman lidah mertua memiliki fungsi sebagai antipolutan yang menyerap racun, sehingga kurang baik apabila diolah menjadi alternatif fungisida.

Identifikasi tanaman berdasarkan referensi dalam tinjauan pustaka dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah Sanseviera

trifasciata var Hahnii medio picta. Tanaman lidah mertua yang digunakan

memiliki daun pendek tebal dengan ujung meruncing, tepi daun rata dengan warna hijau tua, warna dasar helaian daun hijau tua dengan perpaduan warna motif hijau muda, dalam satu tanaman memiiki 6-9 daun. Permukaan atas dan bawah helaian daun halus, kenampakan permukaan atas helaian daun mengkilap sedangkan kenampakan permukaan bawah helaian daun tidak mengkilap, berupa alur tidak teratur dengan motif alur zigzag. Daun memiliki panjang 8-12 cm dan lebar 4-7 cm. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan pada penelitian ini benar Sanseviera trifasciata var Hahnii medio picta (gambar 4.1). Tanaman Sanseviera segar kemudian diambil dan dikumpulkan untuk pembuatan ekstrak.


(55)

Gambar 4.1. S. trifasciata var Hahnii medio picta yang digunakan

B. Pembuatan Ekstrak Lidah Mertua

Daun lidah mertua yang digunakan merupakan daun segar dan tidak melalui tahap pengeringan. Hal ini bertujuan agar kandungan senyawa yang terdapat dalam daun tidak berkurang akibat pengeringan. Daun lidah mertua yang sudah disortir (dipisahkan antara tanaman yang baik dan yang rusak) sebanyak 100 gr, dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan debu yang menempel. Daun disterilisasi dengan merendam dalam campuran Natrium hipoklorit dan aquades selama 15 menit. Hal ini bertujuan agar agen kontaminan yang terdapat di daun tidak mengganggu proses pengerjaan yang steril dalam penelitian.

Daun yang sudah bersih, dipotong kecil-kecil dan dihaluskan menggunakan blender dengan penambahan 100 ml aquades. Daun lidah mertua memiliki banyak serat, sehingga penghalusan daun menjadi partikel kecil akan mengoptimalkan tersarinya senyawa dari daun. Selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 100%, kemudian


(56)

dilakukan pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi 75%, 50%, 25% dan 5%. Ekstrak yang ditampung dalam erlenmeyer tersebut selanjutnya direbus dengan hotplate sampai mendidih. Perebusan bertujuan agar agen kontaminan yang masih terdapat di daun benar-benar mati. Gambar pembuatan ekstrak terdapat pada lampiran 5.

C. Identifikasi Karakter Morfologi Jamur Uji

Kultur murni Collectotrichum capsici yang diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman UGM diidentifikasi kenampakan morfologi dan mikroskopisnya. Hal ini bertujuan untuk memperkuat bahwa jamur uji yang digunakan adalah Collectotrichum capsici. Karakteristik Collectotrichum capsici menurut Agrios (2005) adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1. Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Jamur C. capsici Karakteristik

Morfologi

Hasil Pengamatan

Makroskopis Mikroskopis

Warna miselium Putih keabu-abuan sampai hitam

- Arah

pertumbuhan

Ke samping -

Struktur miselium Kasar, timbul di permukaan -

Hifa - Hifa berwarna agak gelap

dan tidak bersekat

Konidiofor - Tidak bercabang

Konidia - Berbentuk bulan sabit,

bersel satu, tidak bersekat

Kultur murni Collectotrichum capsici yang digunakan pada awalnya memiliki warna miselium putih yang timbul di permukaan. Selanjutnya miselium jamur mulai berwarna keabuan sampai hitam, dengan struktur miselium kasar


(57)

seperti kapas (gambar 4.2). Arah pertumbuhan jamur pada media PDA yaitu ke samping. Hasil subkultur Collectotrichum capsici pada media PDA di cawan petri menunjukkan karakteristik yaitu miselium berwarna putih seperti kapas, bentuk koloni bulat dengan tepi tidak rata dan warna balik koloni berwarna kecoklatan atau sedikit orange. Menurut Agrios (2005), jamur akan menjadi berwarna coklat kemerahan karena mengalami sporulasi setelah 5-7 hari.

Gambar 4.2. Kultur murni Collectotrichum capsici

Kenampakan mikroskopis jamur diamati menggunakan mikroskop dengan pewarna methylen blue. Karakteristik mikroskopis jamur Collectotrichum capsici yaitu memiliki hifa berwarna agak gelap dan tidak bersekat, seta berwarna cokelat gelap, serta konidia berbentuk bulan sabit (gambar 4.3).

Gambar 4.3. Karakteristik mikroskopik C. capsici (a) seta (b) konidia bulan sabit


(58)

D. Uji Fitokimia Ekstrak Lidah Mertua

Daun lidah mertua memiliki kandungan senyawa antara lain alkaloid, favonoid, saponin, terpenoid, tanin, protein dan karbohidrat (Sunilson, 2009 dalam Aprilia, 2014). Senyawa yang bersifat fungistatik yaitu tanin dan saponin. Saponin adalah salah satu golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur steroid dan triterpenoid mempunyai sifat-sifat khas dapat membentuk larutan koloid dalam air dan membuih bila dikocok (Najib, 2011). Sedangkan tanin merupakan suatu polifenol yang merupakan senyawa antara suatu metabolisme pada tanaman tingkat tinggi

Ekstrak lidah mertua cair memiliki warna hijau kekuningan. Pada pengujian saponin, terbentuk lapisan berupa busa setebal 1 cm pada bagian atas ekstrak (gambar 4.4a). Hal ini menunjukkan adanya kandungan saponin dalam ekstrak lidah mertua. Demikian pula hasil pengujian tanin pada gambar 4.4b, terlihat bahwa terdapat perubahan warna dari hijau kekuningan menjadi hijau pekat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak lidah mertua mengandung senyawa tanin.

Gambar 4.4 : Hasil pengujian ekstrak : (a) Hasil uji saponin (b) Hasil uji tanin


(59)

Adanya kandungan senyawa saponin dan tanin dari hasil uji fitokimia, secara kualitatif menunjukkan bahwa lidah mertua berpotensi dalam mengendalikan pertumbuhan jamur C. capsici karena memiliki sifat antifungi .

E. Pertumbuhan Koloni dan Persentase Penghambatan C. capsici pada Uji in vitro

Pada uji in vitro dilakukan pengamatan pertumbuhan dan persentase daya hambat jamur C. capsici. Pengamatan pertumbuhan C. capsici dilakukan dengan mengukur diameter koloni pada media PDA selama 5 hari (gambar 4.5), selanjutnya menghitung persentase daya hambat. Perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak lidah mertua memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan jamur. Hasil uji lanjut DNMRT 5% (lampiran 1) pada diameter pertumbuhan koloni jamur C.

capsici ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2. Diameter Pertumbuhan Koloni Jamur C. capsici Perlakuan Diameter Jamur (cm) pada Hari ke -

1 2 3 4 5

ELM 100% 0,53 a 0,60 a 0,70 a 0,80 a 0,97 a ELM 75% 0,58 ab 0,68 ab 0,85 ab 1,03 a 1,20 a ELM 50% 0,62 ab 0,73 ab 0,90 ab 1,07 a 1,25 a ELM 25% 0,63 b 0,78 b 0,93 b 1,15 a 1,35 a ELM 5% 0,67 b 0,82 b 0,95 b 1,25 b 1,43 b Kontrol (+) 0,65 b 0,77 b 0,88 ab 0,93 a 1,07 a Kontrol (-) 0,72 c 0,92 c 1,12 c 1,37 b 1,60 b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji Duncan (α=5%)


(60)

Hasil yang diperoleh (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa pada hari pertama sampai dengan hari ketiga setelah inokulasi, pertumbuhan diameter koloni

Collectotrichum capsici pada ekstrak daun lidah mertua konsentrasi 100%, 75%,

50%, 25% dan 5%, serta kontrol positif (fungisida 75WP) berbeda nyata dengan kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa pemberian perlakuan ekstrak lidah mertua dan fungisida sintetik dapat menekan pertumbuhan diameter jamur C. capsici. Hasil perhitungan diameter koloni C. capsici menunjukkan bahwa diameter C.

capsici pada perlakuan ekstrak lidah mertua konsentrasi 100% dan 75% lebih

rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, pada konsentrasi 50%, 25% dan 5% diameternya lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif (fungisida sintetik).

Pada hari pertama dan kedua, terlihat bahwa aplikasi ekstrak lidah mertua (ELM) 75% dan 50% tidak berbeda nyata dengan ELM 100% maupun dengan ELM 25%, 5%, dan kontrol positif , tetapi berbeda nyata dengan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ELM 75% dan 50% memiliki kemampuan penghambatan jamur yang hampir sama dengan perlakuan lainnya, yaitu dapat setara dengan ELM 100% atau dengan ELM 25%, 5%, dan kontrol positif yang tidak berbeda nyata. Demikian pula pada hari ketiga, dimana aplikasi ELM 75% 50% dan kontrol positif yang tidak berbeda nyata dengan ELM 100% maupun dengan ELM 25% dan 5%, tetapi berbeda nyata dengan kontrol negatif.

Pada hari keempat dan kelima, ELM 100%, 75%, 50%, 25% dan kontrol positif tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan ELM 5% dan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ELM 100%, 75%, 50%, 25% dan kontrol


(61)

positif memiliki kemampuan yang sama dalam menekan petumbuhan koloni jamur C. capsici. Namun, terjadi penurunan kemampuan penghambatan ekstrak terutama pada ELM 5%, dimana tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif.

Ekstrak lidah mertua 5% merupakan ekstrak dengan konsentrasi paling rendah, dengan campuran aquades yang lebih banyak dibandingkan perlakuan ekstrak yang lainnya. Daun lidah mertua mengandung kadar air dan serat yang sangat tinggi. Konsentrasi ekstrak yang rendah lebih banyak mengandung air dan sedikit mengandung senyawa antimikrobia mempengaruhi potensi ekstrak dalam menghambat pertumbuhan jamur.

Gambar 4.5. Pertumbuhan koloni (A) ELM 100% (B) ELM 75% (C) ELM 50% (D) ELM 25% (E) ELM 5% (F) Kontrol positif (G) Kontrol negatif

Penghitungan persentase daya hambat selanjutnya dilakukan berdasarkan hasil pertumbuhan diameter koloni C. capsici (lampiran 2). Penghitungan persentase daya hambat bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penghambatan ekstrak lidah mertua terhadap pertumbuhan diameter koloni C.

A B C D


(62)

capsici. Hasil penghitungan persentase daya hambat pada gambar 4.6

menunjukkan bahwa persentase daya hambat ekstrak lidah mertua terhadap

C.capsici yaitu antara 10% sampai 37%, sedangkan pada kontrol positif yaitu

25%. 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%

ELM 100% ELM 75 % ELM 50 % ELM 25 % ELM 5% K+

P re se n ta se d a y a h a m b a t

Gambar 4.6. Persentase daya hambat ekstrak lidah mertua terhadap pertumbuhan

C. capsici.

Menurut Pelzcar dan Chan (1988), suatu antimikroba dapat bersifat fungistatis atau fungitoksik. Fungistatis merupakan keadaan yang menggambarkan kerja suatu bahan (fungisida) yang menghambat pertumbuhan fungi. Hal tersebut mungkin terjadi karena konsentrasi antimikroba yang diberikan terlalu rendah, sedangkan fungitoksik merupakan keadaan yang menggambarkan kerja suatu bahan yang menghentikan pertumbuhan fungi. Fungistatik dapat diubah menjadi fungitoksik dengan cara menaikkan konsentrasi suatu antimikroba sampai titik kritis, dimana fungi tersebut dapat dibunuh oleh


(63)

fungisida tersebut, demikian sebaliknya. Kondisi serupa terjadi pada pemberian ekstrak lidah mertua terhadap C. capsici, semakin tinggi konsentrasi ekstrak lidah mertua yang diberikan maka pertumbuhan C. capsici akan semakin lambat.

Berdasarkan analisis statistik (lampiran 2), pemberian ELM 100% memiliki daya hambat paling tinggi sebesar 37% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan ELM 75%, 50% dan kontrol positif memiliki pengaruh yang sama dalam penghambatan jamur. Penghambatan pertumbuhan C.

capsici oleh ekstrak lidah mertua dipengaruhi adanya senyawa saponin dan tanin

yang bersifat sebagai antifungi. Tanin merupakan turunan polifenol. Mekanisme kerja turunan fenol adalah dengan mendenaturasi dan mengkoagulasi protein sel mikroba (Siswandono dan Soekardjo, 1995 dalam Komala, 2012). Aktifitas antimikroba dari saponin disebabkan sifatnya yang memiliki gugus polar (gula) dan non polar (terpenoid) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dinding sel mikroba dan mengganggu permeabilitas sel (Jawetz dkk., 1996 dalam Komala, 2012). Aktivitas senyawa antifungi yaitu tanin dan saponin dalam ekstrak lidah mertua mempengaruhi pertumbuhan diameter dari koloni jamur

C.capsici, dimana jamur menjadi terganggu pertumbuhannya yang ditunjukkan

dari diameter koloni yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasil pengujian secara in-vitro ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lidah mertua 100% memberikan efek daya hambat yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Ekstrak lidah mertua 100% mengandung lebih banyak senyawa antifungi, karena merupakan konsentrasi tertinggi dari ekstrak sehingga paling efektif dalam menekan pertumbuhan jamur C.capsici.


(1)

Lampiran 12 101

3. Jamur hidup sebagai saprofit yang memperoleh makanan dari organisme yang sudah mati. Pepohonan yang sudah mati merupakan salah satu makanan bagi jamur. Senyawa organik kompleks pada pohon akan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mengembalikan zat hara ke tanah. Dalam hal ini jamur saprofit sangat berperan penting dalam mendaur ulang unsur hara dan meningkatkan kesuburan tanah. Dengan adanya proses penguraian ini, maka hutan tidak penuh dengan sisa tubuh pohon.

4. Liken adalah simbiosis mutualisme antara jamur dengan organisme fotosintetik (alga atau cyanobacteria). Liken dapat hidup pada substrat yang miskin zat organik, misalnya di atas batuan, batang pohon, dan tanah tidak subur. Aktivitas liken ini menyebabkan batu menjadi lapuk dan menghasilkan zat-zat organik yang akan membentuk komponen dasar tanah. Dengan demikian liken disebut sebagai organisme perintis.

Skoring Uraian

No Kriteria Jawaban

Skor 5 Skor 4 Skor 3 Skor 2 Skor 1

1 Menyebut-kan 8 bagian jamur dengan benar

Menyebut-kan 6-7 bagian jamur dengan benar

Menyebut-kan 4-5 bagian jamur dengan benar

Menyebut-kan 2-3 bagian jamur dengan benar

Menyebut-kan 1 bagian jamur dengan benar

2 Menyebut-kan 5 nama divisi dan ciri-ciri reproduksi dengan benar dan sesuai

Menyebut-kan 4 nama divisi dan ciri-ciri reproduksi dengan benar dan sesuai

Menyebut-kan 3 nama divisi dan ciri-ciri reproduksi dengan benar dan sesuai

Menyebut-kan 2 nama divisi dan ciri-ciri reproduksi dengan benar dan sesuai

Menyebut-kan 1 nama divisi dan ciri-ciri reproduksi dengan benar dan sesuai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

No Kriteria Jawaban

Skor 5 Skor 4 Skor 3 Skor 2 Skor 1

3 Menjelaskan peranan jamur berdasarkan cara hidup jamur sebagai saprofit dengan penjelasan yang sesuai dan tepat sampai terjadi penguraian senyawa organik dari pepohonan Menjelaskan peranan jamur pada proses

penguraian senyawa organik, namun tidak menyebutkan cara hidupnya sebagai saprofit Menjelaskan peranan jamur berdasarkan cara hidup jamur sebagai saprofit dengan sesuai dan tepat, namun tidak menjelaskan proses penguraian senyawa organik Menjelaskan peranan jamur berdasarkan cara hidup jamur sebagai saprofit namun

kurang sesuai dan kurang tepat

Menjelaskan peranan jamur tidak berdasarkan cara hidup jamur sebagai saprofit dan kurang tepat.

4 Menjelaskan pengertian liken, kemudian menguraikan aktivitas pelapukan oleh liken yang menghasilkan zat-zat organik pembentuk komponen dasar tanah Menjelaskan aktivitas pelapukan oleh liken yang menghasilkan zat-zat organik pembentuk komponen dasar tanah, namun tidak menyebutkan pengertian liken Menjelaskan pengertian liken, kemudian menguraikan aktivitas pelapukan oleh liken, namun kurang menjelaskan pembentuk komponen dasar tanah Menjelaskan pengertian liken, kemudian menguraikan aktivitas pelapukan oleh liken namun

kurang

lengkap dan kurang

sesuai.

Menjelaskan pengertian liken, namun tidak

menguraikan aktivitas pelapukan oleh liken.

 Penilaian :


(3)

Bahan Ajar

Jamur A. Struktur Jamur

Tubuh jamur disusun oleh sel tunggal (uniselular) atau banyak sel (multiselular). Tubuh jamur multiselular disusun oleh hifa, yaitu benang-benang halus (filamen) yang mengandung membran sel dan sitoplasma. Biasanya hifa dilpisi oleh dinding sel dari kitin. Kumpulan hifa disebut miselium. Ada dua macam miselium, yaitu :

1. Miselium vegetatif, merupakan miselium yang berfungsi menyerap nutrisi dari lingkungan.

2. Miselium fertil, merupakan miselium yang berfungsil dalam reproduksi.

Sel-sel penyusun hifa dipisahkan oleh sekat yang disebut septa. Jamur yang memiliki hifa bersekat disebut hifa septat, sedangkan yang tidak bersepta disebut aseptat (hifa senositik) dan mengandung banyak nukleus.

B. Cara Hidup dan Reproduksi Jamur 1. Cara Hidup Jamur

Jamur dapat hidup pada berbagai substrat dan mendapatkan makanan melalui penyerapan nutrisi dari lingkungan sekitarnya. Jamur hidup sebagai saprofit, parasit atau melakukan simbiosis dengan tumbuhan, hewan dan protista. Jamur saprofit memperoleh makanan dari organisme mati, jamur parasit memperoleh makanan dengan cara menyerap sari makanan dari organisme hidup lain.

2. Reproduksi Jamur

Jamur bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual melibatkan penyatuan gamet jantan dan betina (isogami, anisogami, oogami) dan pembentukan spora seksual (askospora, basidiospora,

Gambar 1. (a) hifa senositik dan (b) hifa septat


(4)

zigospora). Ada tiga cara utama reproduksi aseksual jamur, yaitu fragmentasi, pembentukan tunas dan pembentukan spora aseksual.

C. Klasifikasi Jamur

Jamur diklasifikasikan menjadi 5 divisi berdasarkan ciri reproduksinya, yaitu divisi Chytridiomycota, Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan Deuteromycota.

Tabel 1. Klasifikasi Jamur

Nama Divisi Ciri Reproduksi Ciri Lainnya Contoh

Chytridiomycota Spora motil berflagela

Merupakan jamur terkecil dan paling sederhana; habitat di lautan, sungai, danau dan tanah lembab; memakan bangkai organisme atau yang masih hidup dan dekomposer penting dalam ekosistem perairan.

Allomyces, Chytridium

Zygomycota Spora seksual berupa zigospora yang berdinding tebal

Jamur darat; kebanyakan hidup di tanah dan menguraikan tumbuhan dan hewan yang telah mati; meliputi jamur roti hitam dan parasit beberapa hewan.

Rhizopus stolonifer,R. oryzae, R. nigricans, Mucor mucedo,

Ascomycota Spora seksual yang terbentuk di dalam kantong yag disebut askus

Grup fungi terbesar; meliputi khamir, morel, dan jamur; warna hijau kebiru-biruan, cokelat dan merah; dapat merusak makanan; menyebabkan banyak penyakit pada tumbuhan.

Saccharomy-ces

cerevisiae, Aspergillus wentii, Penicillium notatum, Neurospora, Morchella


(5)

Nama Divisi Ciri Reproduksi Ciri Lainnya Contoh Basidiomycota Spora seksual

dalam struktur berbentuk tongkat yang disebut basidium

Meliputi jamur yang dapat dimakan; banyak spesies merupakan parasit tumbuhan dan dekomposer

Volvariella volvacea, Auricularia polytricha, Amanita sp.

Deuteromycota (jamur

imperfekti)

Tahapan seksual tidak ada atau belum diketahui

Meliputi jamur penyebab penyakit ( kadas, kurap, sariawan)

Arthrobotrys, Aspergillus

D. Bentuk Asosiasi Jamur 1. Liken

Liken merupakan bentuk simbiosis mutualisme antara organismefotosintetik (alga) dan jamur. Jamur memperoleh makanan dan O2 dari alga yang dihasilkan melalui fotosintesis, sedangkan alga terjaga dan terlindungi kelembabannya oleh jamur serta memperolehl CO2 dan mineral. Ada 3 jenis bentuk liken, yaitu :

a. Krustose, berupa lapisan tipis yang menutupi substrat

b. Fruktikose, berupa anyaman dari cabang-cabang pipih atau melingkar c. Foliose, berbentuk seperti daun

Liken dapat hidup pada substrat yang miskin zat organik, misalnya di atas batuan, batang pohon, dan tanah tidak subur. Aktivitas liken menyebabkan batu menjadi lapuk, pada akhirnya zat-zat organik yang dihasilkan liken akan membentuk komponen dasar tanah, sehingga disebut juga organisme perintis. Liken sangat peka terhadap polutan udara, sehingga dapat digunakan sebagai indikator pencemaran udara.

2. Mikoriza

Bentuk simbiosis antara akar tumbuhan dan jamur disebut mikoriza. Jamur dengan luas permukaannya membantu tumbuhan dalam penyerapan zat

Gambar 2. Liken


(6)

mineral dari tanah serta melindungi tumbuhan terhadap kekeringan dan serangan jamur lain. Sebaliknya, tumbuhan memberi zat makanan yang terbentuk melalui fotosintesis. Tipe mikoriza ada 2, yaitu :

a. Endomikoriza, merupakan hif yang berada di antara sel-sel akar dan menembus sampai di jaringan korteks.

b. Ektomikoriza, merupakan hifa yang menembus hingga jaringan epidermis akar saja.

E. Peranan Jamur dalam Kehidupan 1. Peran yang Menguntungkan

a.Sumber makanan : Beberapa jenis jamur dapat dimakan, seperti jamur merang, dan jamur shitake. Jamur kaya akan protein dan gizi yang tinggi. b.Bidang kedokteran : Sejumlah antibiotik diperoleh dari spesies jamur,

seperti Penicillium notatum yang menghasilkan penisilin.

c.Bidang pertanian : Beberapa jamur saprofit dan jamur mikoriza dapat meningkatkan kesuburan tanah.

d.Bidang industri : Jamur digunakan dalam industri makanan, minuman beralkohol, keju, maupun industri kimia

e.Sebagai pengurai : Jamur saprofit dapat menguraikan senyawa organik kompleks menjadi senyawa sederhana, sehingga mengembalikan zat hara yang terdapat dalam organisme mati ke tanah (biodegradasi).

2. Peran yang Merugikan

a.Penyakit pada manusia : Penyakit kulit disebabkan oleh beberapa spesies jamur, seperti jamur Mallasezia penyebab panu.

b.Penyakit pada tumbuhan dan hewan : Penyakit antraknosa pada tumbuhan dan penyakit pada ikan disebakan oleh jamur.

c.Pembusukan makanan : Aspergillus dan kapang seperti Mucor dan Rhizophus dapat menyebabkan pembusukan makanan.