Uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi.

(1)

xvii INTISARI

Daun salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) merupakan tanaman obat yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional dan digunakan sebagai bumbu masak untuk penyedap makanan. Kandungan kimia yang terdapat dalam daun salam yaitu tanin, flavonoid, dan minyak atsiri yang terdiri dari sitral dan eugenol yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui daya antibakteri pada berbagai variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri penyebab karies gigi

Streptococcus mutans. Diameter zona hambat pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menggunakan metode difusi sumuran dan penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dilakukan dengan metode dilusi padat.

Penelitian uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Data berupa diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dianalisis secara statistik menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji Kruskal-Wallis yang selanjutnya harus dilakukan analisis Wilcoxon, lalu pada metode dilusi padat dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanolik daun salam memiliki daya antibakteri terhadap Streptococcus mutans, dan memiliki nilai KHM yaitu 15 mg/mL serta KBM yaitu 18 mg/mL.

Kata kunci: daun salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.), Streptococcus mutans, daya antibakteri, Kadar Hambat Minimum (KHM), Kadar Bunuh Minimum (KBM).


(2)

xviii ABSTRACT

Bay leaf (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) is a medicinal plant used in traditional medicine and food seasoning. Profile chemical constituents present in these leaf are tannins, flavonoids, and essential oil (citral and eugenol) that known have antibacterial activity. This study was aimed to determine antibacterial activity of the Bay leaf ethanolic extract at various concentrations againts

Streptococcus mutans that causes dental caries. Diameter of inhibitory zone of bacterial growth was determined by using diffusion method and determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) is done with solid dilution method.

This study purely experimental study used randomized study design complete unidirectional pattern. Inhibition zone diameter data on the growth of bacteria Streptococcus mutans were statistically analyzed using the Shapiro-Wilk

test and the Kruskal-Wallis test to do next Wilcoxon test, and the dillution test were analyzed descriptively.

The results showed that the Bay leaf ethanolic extract had antibacterial activities against Streptococcus mutans, and the MIC value is 15 mg / mL and MBC value is 18 mg / mL.

Keywords: bay leaf (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.), Streptococcus mutans, antibacterial activity, Minimum Inhibitory Concentration (MIC), Minimum Bactericidal Concentration (MBC).


(3)

UJI DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOLIK DAUN SALAM (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.)TERHADAP BAKTERI Streptococcus

mutans PENYEBAB KARIES GIGI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Wanda Indriani Wibowo 098114003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv


(7)

(8)

(9)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, tuntunan serta penyertaan dan kasih karunia yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

skripsi yang berjudul “Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun Salam

(Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) terhadap Bakteri Streptococcus mutans

Penyebab Karies Gigi” dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Kesarjanaan Strata Satu (S1) Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung baik berupa moral, materiil maupun spiritual. Oleh sebab itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Agustina Setiawati, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Utama yang dengan sabar membimbing dan memberikan arahan, saran, kritikan serta dukungan kepada penulis selama proses penelitian dan penulisan skripsi. 3. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji yang memberikan saran

dan kritikan serta dukungan kepada penulis dalam proses menyempurnakan naskah skripsi.


(10)

viii

4. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji yang memberikan saran dan kritikan serta dukungan kepada penulis dalam proses menyempurnakan naskah skripsi.

5. Segenap dosen Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang telah mengajar dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

6. Teman-teman kelompok penelitian, Johanes Putra Wicaksono, Hermawan Deny Prasetyo, dan Bernadetta Arum Wijayanti yang telah saling menguatkan, memberikan semangat dan bantuan kepada penulis serta bersama-sama menjalani suka dan duka selama menjalankan penelitian ini.

7. PMK Apostolos yang sudah seperti keluarga dan selalu memberikan dukungan doa, kekuatan, dan semangat bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dengan baik.

8. Sahabat-sahabatku A.A.S Suari Dewi, Intan Yunita Sari, Dharmesti Wijaya, A.A Nara Kusuma, Yudha Wijaya, Ida Bagus Dwi Indrawan, Christiana Lambang Christanti, Yosin Guruh Herawati, dan Bertha Trifina Mardhani yang selalu memberikan dukungan semangat, dan doa.

9. Pak Wagiran, Pak Mukmin, Pak Heru, dan Pak Parlan dan seluruh staf laboran yang telah bersedia memberikan bantuan bagi penulis dalam mengerjakan penelitian.

10.Teman-teman kelas FST A 2009, kelompok praktikum A FST, dan seluruh teman-teman angkatan 2009 terima kasih atas 4 tahun kebersamaannya dan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan selama menjalani kuliah dan


(11)

ix

praktikum serta dorongan semangat dan doa yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini hingga dapat terselesaikan dengan baik. 11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan, terutama untuk kemajuan pengetahuan dalam bidang ilmu Farmasi.


(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat teoritis ... 4

2. Manfaat praktis ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5


(13)

xi

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. ... 6

B. Karies Gigi ... 7

1. Peran karbohidrat makanan ... 10

2. Lingkungan gigi ... 11

3. Waktu ... 12

C. Streptococcus mutans ... 13

D. Uji Daya Antibakteri ... 16

1. Metode dilusi ... 16

2. Metode difusi ... 16

E. Kromatografi Lapis Tipis... 17

F. Landasan Teori ... 18

G. Hipotesis ... 19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 20

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20

B. Variabel Penelitian ... 20

1. Variabel utama ... 20

2. Variabel pengacau ... 20

C. Definisi Operasional ... 21

D. Bahan Penelitian ... 22

E. Alat Penelitian ... 23

F. Tata Cara Penelitian ... 23

1. Pengumpulan bahan daun salam ... 23

2. Pembuatan serbuk daun salam ... 23


(14)

xii

4. Skrining fitokimia serbuk daun salam ... 24

5. Analisis flavonoid dan tanin serbuk daun salam dengan KLT ... 24

6. Uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans ... 25

a. Pembuatan konsentrasi ekstrak etanolik daun salam ... 25

b.Pembuatan stok bakteri Streptococcus mutans ... 25

c. Pembuatan suspensi bakteri Streptococcus mutans ... 26

d.Pembuatan kontrol kontaminasi media ... 26

e. Pembuatan kontrol pertumbuhan bakteri uji Streptococcus mutans ... 26

f. Uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans dengan metode difusi sumuran ... 26

g.Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans dengan metode dilusi padat ... 27

G. Analisis Data ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Pengumpulan Bahan Daun Salam ... 30

B. Pembuatan Serbuk Daun Salam ... 30

C. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Salam ... 31

D. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanolik Daun Salam ... 33

1. Uji flavonoid ... 34

2. Uji tanin ... 35

E. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun Salam Terhadap Streptococcus mutans dengan metode Difusi Sumuran ... 37

F. Penentuan KHM dan KBM Ekstrak Etanolik Daun Salam dengan Metode Dilusi Padat ... 49


(15)

xiii

G. Uji Penegasan Daya Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun Salam dengan

Metode Streak Plate ... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Kesimpulan ... 52

B. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 57


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Hasil skrining fitokimia serbuk daun salam ... 33 Tabel II. Rata-rata diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Streptococcus

mutans yang dihasilkan pada uji daya antibakteri ekstrak etanolik

daun salam ... 42 Tabel III. Hasil uji statistik keberbedabermaknaan antara diameter zona

hambat dengan berbagai variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans dengan metode Kruskal-Wallis ... 47

Tabel IV. Data hasil uji Wilcoxon ... 48 Tabel V. Hasil pengamatan penentuan nilai KHM dan KBM ... 49


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Syzygium polyanthum ... 6

Gambar 2. Proses terjadinya karies gigi ... 7

Gambar 3. Empat lingkaran yang menggambarkan paduan faktor penyebab karies gigi ... 10

Gambar 4. Streptococcus mutans. ... 13

Gambar 5. Hasil skrining fitokimia serbuk daun salam ... 33

Gambar 6. Penampakan bercak flavonoid sesudah diuapi amoniak. ... 35

Gambar 7. Penampakan bercak tanin setelah disemprot dengan FeCl3. ... 37

Gambar 8. Zona hambat yang terbentuk pada difusi sumuran ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans. ... 43

Gambar 9. Hasil dilusi padat pada konsentrasi 15 dan 18 mg/mL... 50


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat pengesahan determinasi ... 57

Lampiran 2. Surat keterangan sertifikasi hasil uji Streptococcus mutans ... 58

Lampiran 3. Hasil pengeringan dan penyerbukan daun salam ... 59

Lampiran 4. Hasil uji tabung dari skrining fitokimia serbuk daun salam ... 60

Lampiran 5. Identifikasi flavonoid dan tanin dengan KLT ... 62

Lampiran 6. Hasil ekstraksi daun salam menggunakan pelarut etanol 96% ... 65

Lampiran 7. Konsentrasi larutan uji pada metode difusi sumuran dan dilusi padat ... 67

Lampiran 8. Hasil uji kelarutan ekstrak etanol daun salam ... 68

Lampiran 9. Hasil pengamatan zona hambat pada metode difusi sumuran ... 70

Lampiran 10. Uji normalitas Shapiro-Wilk ... 74

Lampiran 11. Analisa data dengan uji Wilcoxon ... 76

Lampiran 12. Hasil pengamatan dilusi padat ... 87

Lampiran 13. Hasil uji penegasan dengan metode streak plate untuk menentukan nilai KHM dan KBM... 89


(19)

xvii

INTISARI

Daun salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) merupakan tanaman obat yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional dan digunakan sebagai bumbu masak untuk penyedap makanan. Kandungan kimia yang terdapat dalam daun salam yaitu tanin, flavonoid, dan minyak atsiri yang terdiri dari sitral dan eugenol yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui daya antibakteri pada berbagai variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri penyebab karies gigi Streptococcus mutans. Diameter zona hambat pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menggunakan metode difusi sumuran dan penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dilakukan dengan metode dilusi padat.

Penelitian uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Data berupa diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dianalisis secara statistik menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji Kruskal-Wallis yang selanjutnya harus dilakukan analisis Wilcoxon, lalu pada metode dilusi padat dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanolik daun salam memiliki daya antibakteri terhadap Streptococcus mutans, dan memiliki nilai KHM yaitu 15 mg/mL serta KBM yaitu 18 mg/mL.

Kata kunci: daun salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.), Streptococcus mutans, daya antibakteri, Kadar Hambat Minimum (KHM), Kadar Bunuh Minimum (KBM).


(20)

xviii

ABSTRACT

Bay leaf (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) is a medicinal plant used in traditional medicine and food seasoning. Profile chemical constituents present in these leaf are tannins, flavonoids, and essential oil (citral and eugenol) that known have antibacterial activity. This study was aimed to determine antibacterial activity of the Bay leaf ethanolic extract at various concentrations againts Streptococcus mutans that causes dental caries. Diameter of inhibitory zone of bacterial growth was determined by using diffusion method and determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) is done with solid dilution method.

This study purely experimental study used randomized study design complete unidirectional pattern. Inhibition zone diameter data on the growth of bacteria Streptococcus mutans were statistically analyzed using the Shapiro-Wilk test and the Kruskal-Wallis test to do next Wilcoxon test, and the dillution test were analyzed descriptively.

The results showed that the Bay leaf ethanolic extract had antibacterial activities against Streptococcus mutans, and the MIC value is 15 mg / mL and MBC value is 18 mg / mL.

Keywords: bay leaf (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.), Streptococcus mutans, antibacterial activity, Minimum Inhibitory Concentration (MIC), Minimum Bactericidal Concentration (MBC).


(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Menurut Ardani, Pratiwi, dan Hertiani (2010) karies gigi merupakan masalah yang sering terjadi karena kesadaran masyarakat yang rendah dalam menjaga kesehatan mulut. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukkan bahwa prevalensi nasional karies gigi aktif adalah sebesar 43,4% dimana D.I. Yogyakarta termasuk diantara 14 provinsi yang memiliki prevalensi karies aktif diatas prevalensi nasional. Selain itu, untuk penduduk usia 12 tahun keatas sebesar 72,1% penduduk pernah memiliki pengalaman karies dan sebesar 46,5% diantaranya merupakan karies aktif yang belum dirawat. Menurut Astoeti (2011) apabila karies gigi tidak ditangani dengan baik maka dapat menurunkan produktivitas, menjadi sumber infeksi, bahkan bisa mengakibatkan atau memperparah beberapa penyakit sistemik diantaranya stroke, diabetes, dan penyakit jantung.

Menurut Alcamo (1996) bakteri berperan penting dalam proses terjadinya karies gigi. Salah satu spesies bakteri yang dominan dalam mulut yaitu Streptococcus mutans. Streptococcus mutans adalah bakteri gram positif fakultatif

anaerob yang merupakan bakteri penyebab karies gigi.

Streptococcus mutans bersifat kariogenik dan memiliki suatu enzim pada


(22)

(GTF) yang dapat menyebabkan polimerisasi glukosa pada sukrosa dengan pelepasan dari fruktosa, sehingga mampu mensintesis polisakarida ekstraseluler

(EPS) glukan ikatan α (1-3) yang tidak larut dalam air dan sangat lengket. Glukan

bersama dengan bakteri melekat dengan erat pada enamel gigi sehingga akan terbentuk biofilm pada permukaan gigi dan lebih bersifat asidogenik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya demineralisasi pada gigi yang selanjutnya mengarah pada pembentukan karies (Smith, 2003). Oleh karena itu, bakteri ini menjadi target utama dalam upaya mencegah terjadinya karies gigi.

Penggunaan antibiotika dalam pemberantasan plak seperti penisilin, vankomisin, dan klorheksidin secara rutin dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri dan efek samping seperti diskolorisasi gigi (Schuurs, 1993). Jika suatu bakteri resisten terhadap antibakterial, maka organisme itu akan terus bertumbuh walaupun telah dilakukan pemberian obat antibakterial (Kee and Hayes, 1994). Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah resistensi bakteri, yaitu dengan memanfaatkan bahan alam. Pada saat ini, banyak orang yang kembali menggunakan bahan alam untuk mengobati berbagai penyakit. Pemanfaatan bahan alam sebagai antibakteri banyak dikembangkan karena efek samping yang dihasilkan tidak merugikan dibandingkan dengan obat yang dibuat dari bahan sintetis (Kardinan dan Kusuma, 2004).

Tanaman asli Indonesia, yaitu daun salam banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bumbu masak untuk penyedap makanan. Selain itu, daun salam digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati hipertensi,


(23)

diabetes, dan diare. Daun salam kaya akan kandungan, tanin, flavonoid, dan minyak atsiri 0,05% yang terdiri dari eugenol dan sitral (Winarto, 2003).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai manfaat daun salam sebagai antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans untuk salah satu terapi alternatif penyakit karies gigi dan

dapat dikembangkan dalam bentuk sediaan farmasi sehingga lebih praktis dan mudah dalam pemakaiannya.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Apakah ekstrak etanolik daun salam memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi?

2. Berapakah Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi?

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka dan jurnal yang dilakukan, penelitian mengenai daya antibakteri ekstrak etanol daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi belum pernah dilakukan.

Penelitian terkait yang pernah dilakukan adalah Daya Antibakteri Minyak Atsiri Daun Salam (Eugenia polyantha Wight.) terhadap Bakteri Shigella dysenteriae (Widyastuti, 2002), Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun


(24)

Salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp.) terhadap Bakteri Penyebab Diare (Hustani, 2009), dan Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 secara in vitro (Sari, 2012).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai khasiat antibakteri dari daun salam dan konsentrasi yang paling efektif dari ekstrak etanolik daun salam untuk menghambat bakteri Streptococcus mutans penyakit karies gigi.

2. Manfaat praktis

Penelitian mengenai daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans penyebab karies gigi diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai manfaat daun salam sebagai antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans untuk salah satu terapi alternatif penyakit karies gigi, serta dapat dikembangkan dalam formulasi bahan alam menjadi sediaan farmasi dengan dosis terapi ekstrak etanolik daun salam yang dapat digunakan secara mudah oleh masyarakat sehingga prevalensi karies gigi di Indonesia dapat diturunkan.


(25)

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui manfaat daun salam sebagai antibakteri terhadap bakteri Sterptococcus mutans penyebab karies gigi akibat infeksi bakteri untuk

meningkatkan status kesehatan masyarakat dan menjadi terapi alternatif penyakit karies gigi di masyarakat.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi.

b. Menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi.


(26)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.

Klasifikasi dari tanaman salam menurut Backer and Van Den Brink (1963) yaitu :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Eugenia

Jenis : Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Gambar 1. Syzygium polyanthum

Sinonim : Eugenia polyantha Wight. (Morad, 2011). Pohon salam pada umumnya tumbuh di hutan maupun rimba belantara, namun dapat juga tumbuh di kebun. Pohon ini dapat ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Pohon salam merupakan tumbuhan berbatang besar, bertanjuk rimbun, dengan tinggi mencapai 25 m, akar lurus dan besar. Daunnya apabila diremas berbau harum, berbentuk lonjong sampai elips atau bundar telur sungsang, pangkalnya lancip sedangkan ujungnya lancip sampai tumpul, panjangnya 5 cm sampai 15 cm, lebar


(27)

35 mm sampai 65 mm; terdapat 6 sampai 10 urat daun lateral, panjang tangkai daun 5 mm sampai 12 mm. Perbungaan berupa malai, keluar dari ranting, dan berbau harum. Kelopak bunga berbentuk cangkir yang lebar, ukuran lebih kurang 1 mm. Mahkota bunga berwarna putih, panjang 2,5 mm sampai 3,5 mm. Benang sari terbagi dalam 4 kelompok, panjang lebih kurang 3 mm berwarna kuning lembayung. Buah buni, berwarna merah gelap, bentuk bulat dengan garis tengah 8 mm sampai 9 mm, pada bagian tepi berakar lembaga yang sangat pendek (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980).

Tanaman ini mengandung tanin, flavonoid, minyak atsiri (0,05%) yang terdiri dari sitrat dan eugenol (Winarto, 2003). Kandungan dari daun salam merupakan bahan aktif yang diduga mempunyai efek farmakologis. Menurut Robinson, 1995 cit Sumono dan Wulan, 2009 tanin dan flavonoid memiliki efek antiinflamasi dan antimikroba. Khasiat dari daun salam yaitu untuk mengobati diabetes melitus, sakit maag, katarak, gatal-gatal, kudis, dan diare (Kurniawati, 2010).

B. Karies Gigi


(28)

Karies gigi adalah suatu penyakit jaringan keras gigi yang diakibatkan oleh mikroorganisme pada karbohidrat yang dapat difermentasikan sehingga akan terbentuk asam dan menurunkan pH di bawah pH kritis (5,2-5,5). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya demineralisasi jaringan keras gigi (Sumawinata, 2002).

Menurut Kidd and Bechal (1992) karies merupakan penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Penyakit ini ditandai dengan adanya demineralisasi pada jaringan keras gigi sehingga menyebabkan kerusakan bahan organiknya. Bakteri yang menyebabkan terjadinya karies gigi, yaitu Streptococcus sp, diantaranya adalah Streptococcus mutans, Streptococcus salivarius, Streptococcus sanguis, dan Streptococcus mitis (Alcamo, 1996).

Beberapa jenis karbohidrat makanan misalnya sukrosa dan glukosa, dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam waktu 1-3 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies terjadi (Kidd and Bechal, 1992).

Menurut Anggraeni et al., 2000, cit Yunilawati 2002 komposisi plak terdiri dari 80% air dan 20% materi organik, yaitu 40-50% protein, 13-18% karbohidrat dan 10-14 lipid serta materi anorganik sebagai materi tambahan seperti kalsium dan fosfor. Plak mengandung 70-80% bakteri yang di dalamnya terdapat lebih kurang 200-400 spesies yang berbeda. Setiap 1 mm plak seberat 1 mg mengandung lebih dari 108 bakteri.


(29)

Adanya akumulasi plak gigi memegang peranan penting dalam proses terjadinya karies gigi. Plak merupakan massa yang lengket berisi bakteri beserta produk-produknya yang terbentuk pada semua permukaan gigi. Akumulasi bakteri ini tidak terjadi secara kebetulan melainkan terbentuk melalui serangkaian tahapan. Jika email yang bersih terpapar dalam rongga mulut maka akan ditutupi oleh lapisan organik yang amorf yang disebut pelikel. Pelikel ini terutama terdiri atas glikoprotein yang diendapkan dari saliva dan terbentuk segera setelah penyikatan gigi tanpa adanya bakteri. Sifatnya sangat lengket dan mampu membantu melekatkan bakteri-bakteri tertentu pada permukaan gigi. Pada awal pembentukan plak, kokus gram positif merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, Streptococcus mitis dan Streptococcus salivarius serta beberapa strain lainnya. Walaupun

demikian, Streptococcus mutans yang diakui sebagai penyebab utama karies oleh karena Streptococcus mutans mempunyai sifat asidogenik dan asidurik (resisten terhadap asam). Karies gigi dapat terjadi jika terdapat empat faktor yang digambarkan dalam empat lingkaran yang bersitumpang (Kidd and Bechal, 1992).


(30)

Gambar 3. Empat lingkaran yang menggambarkan paduan faktor penyebab karies gigi (Kidd and Bechal, 1992)

Akumulasi bakteri ini terjadi melalui serangkaian tahap, yaitu :

1. Peran karbohidrat makanan

Dibutuhkan waktu tertentu untuk plak dan karbohidrat menempel pada gigi untuk dapat membentuk asam dan mengakibatkan demineralisasi email. Karbohidrat menyediakan substrat untuk pembuatan asam bagi bakteri dan sintesa polisakarida ekstra sel. Karbohidrat dengan berat molekul yang rendah seperti gula dimetabolisme dengan cepat oleh bakteri. Dengan demikian, makanan dan minuman yang mengandung gula menurunkan pH plak dengan cepat sampai level yang menyebabkan demineralisasi email. Plak tetap bersifat asam selama beberapa waktu. Untuk kembali ke pH normal sekitar 7, diperlukan waktu 30-60 menit. Oleh karena itu, konsumsi gula yang sering dan berulang-ulang tetap menahan pH plak di bawah normal dan menyebabkan demineralisasi email (Kidd and Bechal, 1992).


(31)

2. Lingkungan gigi

Dalam keadaan normal, gigi selalu dibasahi oleh saliva. Karena kerentanan gigi terhadap karies banyak tergantung kepada lingkungannya, maka peran saliva sangat besar. Saliva dapat mempengaruhi proses karies dalam berbagai cara, yaitu :

a. Aliran saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut.

b. Difusi komponen saliva seperti kalsium, fosfat, ion OH dan F ke dalam plak dapat menurunkan kelarutan email dan meningkatkan reminalisasi karies dini. c. Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat, serta kandungan amonia dan urea

dalam saliva dapat menyangga dan menetralkan penurunan pH yang terjadi saat bakteri plak sedang memetabolisme gula. Kapasitas penyangga dan pH saliva erat hubungannya dengan kecepatan sekresinya.

d. Beberapa komponen saliva yang termasuk dalam komponen non imunologi seperti lysozyme, lactoperoxydase, dan lactofrein mempunyai daya antibakteri yang langsung terhadap mikroflora tersebut sehingga derajat asidogeniknya berkurang.

e. Molekul imunoglobulin (IgA) disekresi oleh sel-sel plasma yang terdapat di dalam kelenjar liur, sedangkan komponen protein lainnya diproduksi di lapisan epitel luar yang menutup kelenjar. Kadar IgA di saliva berbanding terbalik dengan timbulnya karies.

f. Protein saliva dapat meningkatkan ketebalan acquired pellicle sehingga dapat membantu menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium dari email.


(32)

Saliva mampu meremineralisasikan karies yang masih awal terbentuk karena banyak mengandung ion kalsium dan fosfat. Kemampuan saliva dalam melakukan remineralisasi meningkat jika ada ion fluor. Keberadaan fluor dalam konsentrasi optimum pada jaringan gigi dan lingkungannya dapat merangsang efek anti karies. Kadar fluor yang bergabung dengan email selama proses pertumbuhan gigi bergantung pada ketersediaan fluor tersebut dalam air minum atau makanan lain yang mengandung fluor. Keberadaan fluor di sekitar gigi selama proses pelarutan email akan mempengaruhi proses remineralisasi (Kidd and Bechal, 1992).

3. Waktu

Kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali mineral selama berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa proses karies terdiri dari periode perusakan dan perbaikan yang silih berganti sehingga jika saliva ada di dalam lingkungan gigi, maka karies tidak menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun (Kidd and Bechal, 1992).


(33)

C. Streptococcus mutans

Klasifikasi dari Streptococcus mutans menurut Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology (2009) yaitu :

Kerajaan : Monera

Gambar 4. Streptococcus mutans dengan menggunakan scanning electron micrograph

(SEM) pada perbesaran 8000x dengan ukuran 6x7 cm

(Anonim, 2011). Divisi : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Lactobacilalles Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies : Streptococcus mutans

Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat yang mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Bakteri ini tersebar di alam, dimana beberapa diantaranya merupakan flora normal pada manusia (Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, 2005).

Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positif, nonmotil, anaerob

fakultatif, bentuk kokus tersusun dalam rantai, tumbuh optimal pada suhu sekitar 180-400C. Streptococcus mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik, mampu tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket disebut dextran. Oleh karena itu, Streptococcus mutans bisa menyebabkan lengket sehingga mendukung bakteri lain menuju ke email gigi, dan menghasilkan asam yang dapat melarutkan email gigi (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000).


(34)

Streptococcus mutans merupakan bakteri yang kariogenik karena mampu

membuat asam dari karbohidrat yang dapat diragikan. Bakteri tersebut dapat tumbuh subur dalam suasana asam dan dapat menempel pada permukaan gigi karena kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel yang sangat lengket dari karbohidrat makanan. Polisakarida ini terdiri dari polimer glukosa yang menyebabkan matriks plak gigi mempunyai konsistensi seperti gelatin sehingga bakteri tersebut akan terbantu untuk melekat pada gigi serta saling melekat satu sama lain. Dan karena plak semakin tebal maka akan menghambat fungsi saliva dalam menetralkan plak (Kidd and Bechal, 1992).

Koloni Streptococcus mutans ditutupi oleh glukan yang dapat mengurangi perlindungan dan aktivitas antibakteri pada saliva terhadap plak gigi. Plak dapat menghambat difusi asam keluar dalam saliva sehingga konsentrasi asam pada permukaan enamel akan meningkat. Hal ini akan membuat produksi asam meningkat dan reaksi dalam rongga mulut menjadi asam dan kondisi ini akan membuat produksi asam meningkat dan reaksi dalam rongga mulut menjadi asam dan kondisi ini akan membuat deminerasilasi gigi terus menerus yang merupakan proses awal terjadinya karies (Smith, 2003).

Proses perlekatan Streptococcus mutans dimulai dari adanya interaksi antara bakteri dengan pelikel. Mekanisme interaksi tersebut dipengaruhi oleh kekuatan elektrostatik, hidrofobik, komponen organik dan multiple binding sites. Bakteri yang melekat pada permukaan bahan restorasi karena adanya interaksi elektrostatik atau melalui calcium bridging, yaitu ion Ca2+ dalam saliva akan menjembatani dan mengikat permukaan sel bakteri dan pelikel gigi yang


(35)

bermuatan negatif. Interaksi hidrofobik didasari oleh kontak yang rapat antara molekul pada pelikel dengan permukaan bakteri. Komponen organik Streptococcus mutans dengan menggunakan enzim glucosyltransferase (GTF) dan

non-enzym glucan binding protein untuk mensintesis polisakarida ekstraseluler

dan membentuk suatu glukan yang bersifat lengket. Glukan merupakan tempat perlekatan, sehingga keduanya dapat membantu perlekatan Streptococcus mutans pada permukaan gigi, sedangkan perlekatan bakteri melalui multiple binding site karena adanya interaksi lectinlike, yaitu protein yang terdapat pada permukaan Streptococcus mutans bereaksi dengan high molecular weight salivary glycoproteins dan mengadsorpsi hidroksiapatit enamel sehingga terjadi interaksi antara bakteri dengan pelikel gigi (Ferracane, Berge, and Condon, 1994, cit Anggraeni, Yuliati, dan Nirwana, 2005).

Mekanisme terbentuknya karies gigi dimulai dari perlekatan Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Adhesin pada Streptococcus mutans

yaitu antigen I/II berinteraksi dengan α-galaktosida pada senyawa glikoprotein

turunan saliva pada pelikel gigi. Streptococcus mutans yang terakumulasi pada permukaan gigi dapat terbentuk apabila mendapat bantuan dari glukosa. Glukosa diubah oleh enzim glukosiltransferase (GTF) pada bakteri menjadi glukan ekstraselular. Glukan yang tidak larut ini melekat pada permukaan gigi dan disebut dengan plak gigi. Streptococcus mutans memiliki glucan binding protein (GBP) yang dapat berikatan dengan glukan secara spesifik. Selain berikatan dengan GBP, glukan dapat berikatan dengan GTF yang memiliki glucan binding domain yang berfungsi sebagai reseptor glukan. Dengan demikian Streptococcus


(36)

mutans dapat terakumulasi pada permukaan gigi. Proses perubahan glukosa menjadi glukan menghasilkan asam laktat. Adanya asam menurunkan pH saliva menjadi 5,5 sehingga dapat melarutkan jaringan keras pada permukaan gigi (Taubman and Nash, 2006).

D. Uji Daya Antibakteri

Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui kemampuan suatu agen dalam menghambat maupun membunuh bakteri. Ada beberapa metode yang digunakan untuk pengujian daya antibakteri, yaitu :

1. Metode dilusi

Metode ini digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM), yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan menentukan Kadar Bunuh Minimal (KBM), yaitu konsentrasi terendah yang dapat membunuh bakteri. Prinsip dari metode dilusi, yaitu pengenceran senyawa antibakteri dalam beberapa konsentrasi dalam media cair yang ditambahkan bakteri uji hingga didapatkan larutan uji agen antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antibakteri. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

2. Metode difusi

Metode difusi digunakan untuk mengukur aktivitas antibakteri berdasarkan pengamatan dari diameter zona jernih yang dihasilkan pada media karena adanya agen antibakteri yang berdifusi dari tempat awal pemberian.


(37)

Metode ini dilakukan dengan menempatkan agen antibakteri pada media padat yang telah diinokulasikan biakan bakteri (Pratiwi, 2008).

Ada beberapa metode difusi, yaitu :

a. Cara sumuran. Cara ini dilakukan dengan mengiinokulasikan bakteri ke media kemudian setelah memadat dibuat sumuran dengan diameter tertentu tegak lurus dengan permukaan media. Agen antibakteri kemudian dimasukkan ke dalam sumuran tersebut. Daya antibakteri yang diukur adalah diameter zona jernih yang dihasilkan di sekitar sumuran (Pratiwi, 2008).

b. Cara paper disc. Cara ini dilakukan dengan menginokulasikan bakteri dalam media lalu setelah memadat, paper disc diletakkan di atas media dan ditetesi dengan agen antibakteri, sehingga agen antibakteri akan meresap ke dalam paper disc. Daya antibakteri yang diukur adalah diameter zona jernih yang dihasilkan di sekitar paper disc (Pratiwi, 2008).

E. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode kromatografi cair paling sederhana untuk memisahkan komponen kimia. Prinsip KLT, yaitu terjadinya pemisahan komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam terhadap fase gerak. Terdapat dua fase dalam KLT, yaitu fase diam (lapisan) dan fase gerak (campuran pelarut pengembang). Fase diam berfungsi sebagai penyerap yang berupa serbuk halus. Penyerap yang sering digunakan dalam KLT adalah silika gel, alumina, dan selulosa (Mulja dan Suharman, 1995).


(38)

Fase gerak berfungsi untuk pengelusi yang terbuat dari berbagai macam campuran pelarut (Gritter, 1991).

Kromatogram pada KLT berupa noda-noda yang terpisah. Untuk mengetahui noda-noda yang terpisah dapat digunakan dua cara, yaitu dengan pereaksi warna (secara kimia) dan diletakkan di bawah sinar UV 254 nm dan 365 nm (secara fisika) (Mulja dan Suharman, 1995).

Pada kromatogram KLT terdapat faktor retardasi dinyatakan dengan :

Rf = jarak titik pusat bercak dari awal jarak yang ditempuh fase gerak

Angka Rf memiliki rentang dari 0,00 – 1,00. Nilai Rf adalah angka Rf dikalikan faktor 100(h), menghasilkan nilai dengan rentang antara 0 hingga 100 (Stahl, 1985). Keuntungan dari KLT yaitu pemisahan senyawa dapat dilakukan dalam waktu singkat dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal, pelarut dan cuplikan yang digunakan jumlahnya relatif sedikit (Gritter, 1991).

F. Landasan Teori

Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus mutans yang menempel pada permukaan gigi karena kemampuan membuat polisakarida yang lengket dari karbohidrat dan dapat difermentasikan sehingga akan terbentuk asam dan menurunkan pH di bawah pH kritis. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu menyebabkan demineralisasi permukaan gigi dan proses karies pun dimulai. Streptococcus mutans memiliki suatu enzim, yaitu glukosiltransferase (GTF) yang akan


(39)

lengket sehingga akan terbentuk plak gigi. Akumulasi plak gigi memegang peranan yang sangat penting dalam proses terjadinya karies gigi. Oleh karena itu, untuk mencegah karies gigi dilakukan dengan meminimalisasi pertumbuhan Streptococcus mutans dengan menggunakan agen antibakteri. Daun salam

memiliki kandungan tanin dan flavonoid yang bersifat sebagai antibakteri sehingga memiliki potensi untuk dilakukan penelitian mengenai daya antibakteri terhadap Streptococcus mutans penyebab karies gigi.

Daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam ditunjukkan dengan metode difusi sumuran berdasarkan diameter zona hambat yang dihasilkan dan metode dilusi untuk menentukan nilai KHM dan KBM. Prinsip metode difusi, yaitu pengukuran daya antibakteri berdasarkan pengamatan luas zona hambat pertumbuhan bakteri karena berdifusinya obat dari tempat awal pemberian ke daerah difusi.

G. Hipotesis

Ekstrak etanolik daun salam (Syzygium polyanthum) memiliki daya antibakteri terhadap bakteri penyebab karies gigi Streptococcus mutans.


(40)

20

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam (uji daya antibakteri: 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL; konsentrasi penentuan nilai KHM dan KBM: 15, 18, 20, 22, 24, 26, 28, dan 30 mg/mL).

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung yang digunakan dalam penelitian ini yaitu diameter zona hambat ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans, nilai KHM, dan nilai KBM.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali yang digunakan dalam penelitian ini yaitu asal tanaman dari daerah Kaliurang, umur


(41)

tanaman, waktu pengambilan tanaman, waktu inkubasi (24 jam), suhu inkubasi (370C), volume suspensi bakteri uji yang diinokulasikan dalam media (1 mL), konsentrasi suspensi bakteri uji yang setara dengan kepadatan standar 0,5 Mc Farland II (diperkirakan 1,5x108 sel bakteri/mL).

b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali yang digunakan dalam penelitian ini yaitu suhu pengeringan di bawah sinar matahari, kelembaban ruangan, suhu penyimpanan serbuk, dan lingkungan tempat tumbuh tanaman.

C. Definisi Operasional

1. Ekstrak etanolik daun salam adalah hasil maserasi dari serbuk daun salam menggunakan penyari etanol 96%.

2. Ekstrak etanolik daun salam kental yaitu hasil maserasi yang dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 15-20 menit pada suhu 500-600C sampai didapatkan ekstrak kental.

3. Zona hambat adalah zona jernih di sekitar sumuran yang ditambahkan ekstrak etanolik daun salam dimana tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dilihat dari kejernihan media yang dibandingkan dengan

kontrol negatif (aquadest steril).

4. Daya antibakteri adalah kemampuan ekstrak etanolik daun salam untuk menghambat atau membunuh bakteri yang dibandingkan dengan kontrol negatif melalui uji difusi sumuran dan penentuan KHM dan KBM.


(42)

5. Metode difusi sumuran adalah metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans dengan cara mengukur diameter zona hambat di sekitar sumuran.

6. Metode dilusi padat adalah metode pengukuran aktivitas ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans dengan menentukan KHM dan KBM. 7. Kadar Hambat Minimal (KHM) adalah konsentrasi terendah ekstrak etanolik

daun salam yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dilihat dari uji penegasan penentuan KHM dan KBM dengan metode streak plate yang masih menunjukkan pertumbuhan bakteri.

8. Kadar Bunuh Minimal (KBM) adalah konsentrasi terendah ekstrak etanolik daun salam yang mampu membunuh bakteri Streptococcus mutans dilihat dari uji penegasan penentuan KHM dan KBM dengan metode streak plate yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri.

D. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu bakteri uji Streptococcus mutans (asal dari Prof. Yosihara Prev. Dent Dept Kyushu Univ

Japan) yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta (Lampiran

2), daun salam yang diperoleh dari daerah Kaliurang, etanol 96% sebagai pelarut untuk maserasi, silika gel GF254, Klorheksidin 0,2% (Minosep®) sebagai kontrol positif, media Mueller Hinton Agar (Merck), NaCl 0,9%, dan aquadest steril sebagai kontrol negatif.


(43)

E. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat gelas (Pyrex), jarum ose, mikropipet, inkubator (Heraeus), autoclave tipe KT-40 (ALP), Densichek (Vitek), neraca analitik (Mettler Toledo GB 3002), shaker (Innova

2100), oven (Memmert), Microbiological Safety Cabinet, jangka sorong, alat

pembuat sumuran No. 3 (diameter 6 mm), cawan petri (Pyrex), vortex, corong Buchner, pompa vacuum, rotary vacuum evaporator (IKAVAC®), dan kamera digital (Samsung).

F. Tata Cara Penelitian

1. Pengumpulan bahan daun salam

Daun salam yang diperoleh dari pohon salam berasal dari daerah Kaliurang dikumpulkan pada bulan Agustus dan September 2012. Daun salam yang diambil berwarna hijau tua mulai dari daun ketiga dari ujung dan kedua dari pangkal dan diambil dalam keadaan segar.

2. Pembuatan serbuk daun salam

Daun salam dicuci bersih dari kotoran dan bagian tumbuhan yang lain dengan menggunakan air mengalir. Dikeringkan di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam. Pengeringan dihentikan jika daun saat diremas mudah remuk lalu diserbuk dengan menggunakan blender hingga halus. Serbuk daun diayak menggunakan pengayak No.40. Disimpan di dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.


(44)

3. Pembuatan ekstrak etanolik daun salam

Maserasi dilakukan pada 50 g serbuk daun salam/ 500 mL pelarut etanol 96% dengan kecepatan 120 rpm selama 5 hari. Disaring dengan kertas saring dengan bantuan pompa vacuum lalu dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator sampai terbentuk cairan kental. Dilanjutkan dengan menggunakan

penangas air selama 15-20 menit dengan suhu antara 500-600C sampai diperoleh ekstrak kental.

4. Skrining fitokimia serbuk daun salam

a. Uji flavonoid. Sebanyak 1 g serbuk daun salam ditambahkan dengan 5 mL aquadest, lalu dipanaskan selama 10 menit. Selanjutnya disaring, filtrat ditambahkan dengan NaOH LP kemudian ditambahkan dengan HCl. Adanya perubahan warna merah menjadi kurang pekat menunjukkan adanya flavonoid.

b. Uji tanin. Sebanyak 2 g serbuk daun salam ditambahkan dengan 10 mL aquadest, lalu dipanaskan selama 30 menit dalam penangas air hingga mendidih. Selanjutnya disaring, filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan larutan natrium klorida 2% sebanyak 1 mL. Apabila terbentuk suspensi atau endapan disaring dengan kertas saring kemudian filtrat ditambahkan larutan gelatin 1% sebanyak 5 mL. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya tanin. Selain itu dapat juga dengan menambahkan 5 tetes FeCl3 pada filtrat. Dikatakan positif tanin jika terjadi perubahan warna menjadi biru kehitaman.

5. Analisis flavonoid dan tanin serbuk daun salam dengan KLT

a. Flavonoid. Sebanyak 1 g daun salam ditimbang dan ditambahkan dalam 10 mL metanol, selanjutnya dipanaskan selama 5 menit pada suhu 600C.


(45)

Filtrat jernih ditotolkan pada lempeng KLT sebanyak 25-30 µL. Dibuat standar rutin dengan konsentrasi 0,05% dilarutkan dengan metanol. Fase diam yang digunakan adalah selulosa dengan fase gerak n-butanol:asam asetat glasial:air (40:10:50). Deteksi bercak hasil elusi diamati pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 dan 365 nm. Bercak yang muncul ditandai untuk dihitung nilai Rfnya. Plat KLT kemudian dimasukkan dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan amoniak. Hasil positif ditunjukkan dengan penampakan bercak yang berwarna merah kekuningan.

b. Tanin. Sebanyak 1 g daun salam ditimbang dan ditambahkan dalam 10 mL metanol, selanjutnya dipanaskan selama 5 menit pada suhu 600C. Filtrat jernih ditotolkan pada lempeng KLT sebanyak 25-30 µL. Standar tanin dibuat dengan membuat larutan asam tanat 0,05% dalam etanol. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 dengan fase gerak kloroform:metanol:air (14:6:0,8). Penampak noda yang digunakan adalah FeCl3. Apabila timbul warna biru kehitaman sampai hitam menunjukkan adanya senyawa tanin.

6. Uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans

a. Pembuatan konsentrasi ekstrak etanolik daun salam. Dibuat dalam beberapa konsentrasi (5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL) menggunakan pelarut aquadest steril dengan suhu pemanasan 400-500C.

b. Pembuatan stok bakteri Streptococcus mutans. Diambil 1-3 ose bakteri dari biakan murni Streptococcus mutans, lalu diinokulasikan secara streak plate pada media MHA miring, diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C. Hasil inokulan digunakan sebagai stok untuk tahap penelitian selanjutnya.


(46)

c. Pembuatan suspensi bakteri Streptococcus mutans. Diambil 1-3 ose dari stok bakteri Streptococcus mutans, lalu diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang berisi NaCl 0,9% dan divortex agar tercampur rata, diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C. Kekeruhan suspensi bakteri Streptococcus mutans disetarakan dengan standar 0,5 Mc Farland II (diperkirakan 1,5x108 sel bakteri/mL) dengan menggunakan Densicheck.

d. Pembuatan kontrol kontaminasi media. Media MHA steril dituang ke dalam cawan petri, dibiarkan memadat, diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 370C. Setelah diinkubasi, diamati, dan dibandingkan dengan perlakuan.

e. Pembuatan kontrol pertumbuhan bakteri uji Streptococcus mutans. Media MHA steril dengan suhu 400-500C, diinokulasikan suspensi bakteri uji, lalu dituang ke cawan petri steril dan digoyang sehingga pertumbuhan bakteri merata. Cawan petri lalu diinkubasi 24 jam dengan suhu 370C. Diamati pertumbuhan bakteri uji melalui kekeruhan media yang dibandingkan dengan perlakuan.

f. Uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans dengan metode difusi sumuran. Diambil 1 mL dari suspensi

bakteri uji yang sudah disetarakan dengan standar 0,5 Mc Farland II (diperkirakan 1,5x108 sel bakteri/mL) menggunakan Densicheck, diinokulasikan ke media MHA cair secara pour plate, kemudian dituang ke dalam cawan petri steril. Dibuat 7 lubang sumuran dengan diameter 6 mm pada cawan petri yang berisi media MHA yang telah padat selanjutnya diisi dengan 30 µL media MHA. Ditambahkan dengan 50 µL ekstrak etanolik daun salam dengan konsentrasi (5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL), aquadest steril sebagai kontrol negatif, dan klorheksidin 0,2%


(47)

sebagai kontrol positif. Cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C, kemudian diamati serta diukur diameter zona hambat yang dihasilkan dengan menggunakan jangka sorong.

g. Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans dengan metode dilusi padat. Diambil 1 ose bakteri uji, kemudian disuspensikan ke dalam 10 mL NaCl 0,9%, dicampur sampai rata. Hasil suspensi dibandingkan dengan standar 0,5 Mc Farland II (diperkirakan 1,5x108 sel bakteri/mL) menggunakan Densicheck, lalu diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam media MHA cair. Ekstrak dengan konsentrasi 15, 18, 20, 22, 24, 26, 28, 30 mg/mL masing-masing ditambahkan sebanyak 1 mL ke dalam 30 mL MHA dengan suhu 400-500C. Dituang ke dalam cawan petri secara pour plate. Cawan petri diinkubasikan selama 24 jam dalam suhu 370C, dan dilakukan pengamatan. Pertumbuhan bakteri ditunjukkan dengan kekeruhan media. Semakin subur pertumbuhan bakteri pada media, maka semakin keruh media tersebut. KHM dan KBM dapat diketahui dengan cara membandingkan kejernihan media yang diinokulasikan larutan uji dengan kontrol negatif dan kontrol positif.

Pada setiap media pertumbuhan yang jernih, dilakukan pengujian berikutnya dengan melakukan pemindahan bakteri secara streak ke media MHA yang baru. KHM adalah konsentrasi terkecil dimana ekstrak mampu menghambat pertumbuhan bakteri, ditunjukkan dengan media pertumbuhan yang jernih, namun masih menunjukkan adanya pertumbuhan pada hasil streak. KBM adalah konsentrasi terkecil yang dapat membunuh bakteri, ditandai dengan tidak adanya


(48)

pertumbuhan pada hasil streak plate yang menandakan bakteri uji mati karena larutan uji dengan konsentrasi tersebut.

Uji ini menggunakan dua macam kontrol, yaitu kontrol negatif dan kontrol positif. Kontrol negatif dibuat dengan menambahkan sebanyak 1 mL bakteri uji dan 1 mL aquadest ke dalam media MHA pada cawan petri steril secara pour plate. Kontrol positif dibuat dengan menambahkan sebanyak 1 mL bakteri uji dan 1 mL klorheksidin pada media MHA secara pour plate pada cawan petri. Penentuan rentang konsentrasi uji yang digunakan dalam uji ini mengacu pada hasil uji sebelumnya di mana pada konsentrasi terendah ekstrak etanolik daun salam masih menunjukkan adanya zona hambat yang terbentuk.

G. Analisis Data

Daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam dengan berbagai variasi konsentrasi dengan metode difusi sumuran dianalisis berdasarkan besarnya diameter zona hambat yang dihasilkan pada perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol negatif dan positif. Data berupa diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dianalisis secara statistik menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji Kruskal-Wallis. Pemilihan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui

apakah data yang didapatkan terdistribusi normal atau tidak dengan syarat jumlah sampel data yang ada berjumlah kurang dari 50 data. Data yang didapatkan dinyatakan terdistribusi normal jika nilai p>0,05. Selanjutnya dilakukan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui paling tidak terdapat dua kelompok data yang mempunyai perbedaan yang bermakna dengan nilai p<0,05 yang selanjutnya


(49)

harus dilakukan analisis Wilcoxon untuk mengetahui pada variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam berapakah terdapat perbedaan yang bermakna dengan kontrol negatif (aquadest) dan kontrol positif.

Penentuan nilai KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi padat berdasarkan tingkat kekeruhan pertumbuhan bakteri yang dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Data berupa nilai KHM dan KBM ditegaskan dengan metode streak plate lalu dianalisis secara deskriptif dengan disertai data pendukung berupa foto-foto dan disajikan dalam bentuk tabel.


(50)

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengumpulan Bahan Daun Salam

Daun salam yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari daerah Kaliurang, Yogyakarta yang dikumpulkan pada bulan Agustus dan September 2012. Daun salam yang berwarna hijau dan dalam keadaan segar diambil mulai dari daun ketiga dari ujung dan kedua dari pangkal. Tidak diambil daun salam yang masih muda dikarenakan kandungan senyawa didalamnya masih belum optimal, sedangkan pada daun yang sudah tua kandungan senyawanya sudah berkurang. Oleh karena itu, diambil daun ketiga dari ujung dan kedua dari pangkal yang diperkirakan kandungan senyawanya optimal. Daun salam diambil dalam keadaan segar dimana tidak ada jamur dan bekas gigitan serangga karena adanya kemungkinan dihasilkannya metabolit sekunder yang bersifat toksik. Jika dihasilkan metabolit tersebut maka dapat berpengaruh terhadap hasil uji yang didapat pada penelitian ini.

B. Pembuatan Serbuk Daun Salam

Daun salam yang telah dikumpulkan dicuci bersih dibawah air mengalir dengan tujuan untuk membersihkan daun dari kotoran-kotoran yang menempel. Penggunaan air mengalir untuk mencegah menempelnya kembali kotoran pada daun salam. Setelah dicuci daun dikeringkan di bawah sinar matahari dengan


(51)

ditutup kain hitam. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air yang ada dalam simplisia dan dihentikan jika daun saat diremas mudah remuk. Pengurangan kadar air ini bertujuan untuk menghindari tumbuhnya jamur, kapang, atau bakteri yang dapat merusak simplisia, selain itu dapat menekan terjadinya peruraian senyawa kimia akibat adanya reaksi enzimatis yang bisa menimbulkan perubahan senyawa aktif.

Setelah dikeringkan, daun salam lalu diserbuk dengan menggunakan blender hingga halus. Serbuk daun selanjutnya diayak menggunakan pengayak No.40. Penyerbukan dan pengayakan dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel bahan karena dengan ukuran partikel yang kecil maka akan memperluas permukaan partikel yang kontak dengan cairan penyari, sehingga diharapkan selama proses penyarian kandungan kimia yang dapat terlarut lebih banyak. Daun salam yang sudah diserbuk disimpan di dalam wadah yang kering dan tertutup rapat (Lampiran 3).

C. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Salam

Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etanol 96%. Ekstraksi serbuk daun salam dilakukan untuk menarik senyawa yang terkandung dalam bahan. Selama proses maserasi, sel daun salam mengalami kondisi jenuh sehingga sel-selnya akan mengeluarkan senyawa-senyawa aktif. Pelarut etanol akan mengikat berbagai senyawa aktif seperti polifenol, flavonoid, terpenoid, sterol dan alkaloid. Selain itu, pelarut metanol diketahui lebih bersifat toksik bila dibandingkan dengan etanol. Beberapa keuntungan metode maserasi


(52)

adalah caranya yang sederhana, peralatan yang digunakan sederhana, dan juga mudah dilakukan. Prinsip maserasi adalah perbedaan konsentrasi antara larutan senyawa aktif di dalam sel dengan pelarut ekstraksi, yang menyebabkan terjadinya difusi sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Semakin lama waktu ekstraksi, maka kesempatan untuk kontak antara serbuk daun salam dengan pelarut akan semakin besar sehingga hasil ekstraksi semakin bertambah banyak. Tidak digunakan metode soxhlet pada proses ekstraksi karena dikhawatirkan senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak tidak tahan panas selain itu, senyawa flavonoid mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi.

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak 500 mL untuk setiap 50 gram serbuk. Sejumlah simplisia kering beserta pelarut dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup dan dilakukan di atas shaker dengan kecepatan 120 rpm selama 5 hari. Penggunaan shaker bertujuan untuk meratakan konsentrasi senyawa aktif dalam pelarut ekstraksi, sehingga perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel tetap terjaga.

Hasil ekstraksi kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang diletakkan di atas corong Buchner dengan bantuan pompa vacuum, lalu dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator untuk mempermudah proses penguapan pelarut dan dihentikan sampai terbentuk cairan kental. Ekstrak selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan penangas air pada suhu antara 500 -600C sampai pelarut penyari hilang yang ditandai dengan ekstrak menjadi kering (Lampiran 6).


(53)

D. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanolik Daun Salam

Pada penelitian ini dilakukan skrining fitokimia daun salam yang bertujuan untuk mengetahui senyawa yang terkandung di dalam daun salam. Bahan yang digunakan dalam skrining fitokimia adalah serbuk daun salam. Menurut Winarto (2003), kandungan daun salam yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri yaitu flavonoid dan tanin. Dilakukan uji kualitatif yang bertujuan untuk memastikan keberadaan flavonoid dan tanin di daun salam dengan menggunakan uji tabung reaksi dan uji KLT. Berdasarkan skrining fitokimia yang telah dilakukan terhadap keberadaan flavonoid dan tanin, diperoleh hasil yang dapat diamati pada tabel I.

Tabel I. Hasil skrining fitokimia serbuk daun salam

Uji Hasil uji tabung Penafsiran Hasil

Flavonoid Terjadi perubahan warna dari warna merah menjadi

merah pudar (+)

Tanin Terbentuk endapan dan terjadi perubahan warna

menjadi biru kehitaman (+)

Gambar 5. Hasil skrining fitokimia serbuk daun salam

Flavonoid


(54)

Tanin

1. Uji flavonoid

Pada penelitian ini, uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak mengandung senyawa flavonoid. Hasil uji menunjukkan bahwa dari sampel yang ada, terkandung senyawa flavonoid dimana terjadi perubahan warna menjadi merah kurang pekat. Identifikasi flavonoid dengan menggunakan fase gerak n-butanol:asam asetat glasial:air (40:10:50) dan fase diam selulosa diamati pada sinar UV 254 nm tidak menunjukkan adanya bercak sedangkan pada 365 nm dapat teramati adanya bercak. Plat selulosa yang sudah diuapi dengan amoniak terbentuk bercak yang berwarna kuning menunjukkan adanya flavonoid (Lampiran 5). Nilai Rf untuk standar rutin sebesar 0,58, sedangkan untuk sampel 1 (penotoloan pertama), yaitu 0,68 dan sampel 2 (penotolan kedua), yaitu 0,69.


(55)

Gambar 6. Penampakan bercak flavonoid sesudah diuapi amoniak Keterangan :

Fase diam : Selulosa

Fase gerak : n-butanol- asam asetat glasial:air (40:10:50)

A : Standar rutin

B : Sampel penotoloan 1

C : Sampel penotolan 2

2. Uji tanin

Tanin diketahui memiliki aktivitas antivirus, antibakteri, dan antitumor. Tanin merupakan senyawa fenol. Pereaksi yang sering digunakan untuk identifikasi senyawa fenol adalah FeCl3. Warna biru kehitaman yang ditimbulkan dari reaksi FeCl3 menunjukkan adanya kandungan tanin terhidrolisis. Uji lain yang dilakukan yaitu dengan menggunakan gelatin 1% dengan mengamati

A B C

5,8


(56)

terbentuknya endapan saat direaksikan dengan gelatin. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa daun salam mengandung tanin.

Tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Warna ini terbentuk karena adanya kompleks antara logam Fe dari FeCl3 dengan gugus hidroksil dari tanin sehingga menghasilkan warna yang spesifik karena gugus hidroksil berkonyugasi dengan ikatan rangkap (Winarno, 2002). Menurut Lemmens dan Soetjipto, 1991 cit Mukhlisoh, 2010, terbentuknya endapan putih dengan menggunakan larutan gelatin dikarenakan adanya ikatan hidrogen antara tanin dan protein pada gelatin. Ikatan hidrogen antara gugus karbonil dari ikatan peptida dengan gugus hidroksil dari tanin merupakan ikatan yang paling dominan di dalam kompleks tanin-protein.

Hasil elusi menggunakan fase gerak kloroform:metanol:air (14:6:0,8) menunjukkan adanya bercak berwarna kuning. Identifikasi tanin dengan menggunakan plat silika gel 60 GF254 yang diamati pada sinar UV 254 nm dan 365 nm menunjukkan adanya bercak berwarna hitam (Lampiran 5). Nilai Rf untuk standar tanin sebesar 0,1 sedangkan untuk sampel 1 (penotolan pertama), yaitu 0,13 dan sampel 2 (penotolan kedua) yaitu 0,15. Plat selanjutnya disemprot dengan menggunakan FeCl3 dan terjadi perubahan warna menjadi hitam yang menunjukkan bahwa sampel mengandung tanin.


(57)

Gambar 7. Penampakan bercak tanin setelah disemprot dengan FeCl3

Keterangan :

Fase diam : Silika gel

Fase gerak : kloroform:metanol:air (14:6:0,8)

A : Standar tanin

B : Sampel penotoloan 1

C : Sampel penotolan 2

E. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun Salam Terhadap Streptococcus mutans dengan metode Difusi Sumuran

Pengujian daya antibakteri ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aktivitas suatu bakteri terhadap agen antibakteri. Uji daya antibakteri dengan menggunakan metode difusi sumuran dilakukan untuk menentukan rentang konsentrasi yang akan digunakan dalam penentuan nilai KHM dan KBM. Prinsip

A B C


(58)

metode difusi yaitu pengukuran daya antibakteri berdasarkan pengamatan luas zona hambat pertumbuhan bakteri karena berdifusinya obat dari tempat awal pemberian ke daerah difusi. Pada pengujian difusi sumuran ekstrak daun salam dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL dengan menggunakan pelarut aquadest steril (Lampiran 7). Penentuan konsentrasi ini berdasarkan orientasi yang telah dilakukan peneliti. Berdasarkan hasil orientasi, konsentrasi tertinggi yang dapat larut sempurna adalah konsentrasi 50 mg/mL, sedangkan diatas konsentrasi 50 mg/mL ekstrak tidak dapat larut sempurna sehingga akan berpengaruh pada hasil yang akan didapat.

Pada penelitian ini digunakan kontrol negatif aquadest steril dan kontrol positif adalah klorheksidin 0,2%. Klorheksidin efektif dalam menghambat akumulasi plak gigi terutama karena sifatnya sebagai antibakteri dengan spektrum luas dan poten dalam mempengaruhi pertumbuhan dari Streptococcus mutans (Koo, Hayacibara, Schobel, Cury, Rosalen, Park, Vacca-Smith, and Bowen, 2003). Aquadest digunakan sebagai pelarut ekstrak dan kontrol negatif karena berdasarkan hasil orientasi yang telah dilakukan ekstrak dapat larut sempurna. Selain itu, jika dibandingkan dengan pelarut lainnya seperti DMSO, etanol, CMC-Na maka aquadest merupakan pelarut yang paling aman dan dapat melarutkan ekstrak dengan lebih baik (Lampiran 8). Kontrol negatif digunakan untuk mengetahui apakah pelarut ekstrak yang digunakan memiliki pengaruh terhadap zona hambat yang terbentuk. Kontrol positif digunakan sebagai perbandingan daya antibakteri antara klorheksidin dengan ekstrak etanolik daun salam dengan mengamati diameter zona hambat yang dihasilkan. Apabila zona hambat yang


(59)

terbentuk pada ekstrak daun salam lebih besar dibandingkan dengan klorheksidin, maka ekstrak daun salam memiliki potensi yang kuat sebagai antibakteri dan dapat dikembangkan dalam formulasi bahan alam menjadi sediaan farmasi dengan dosis terapi ekstrak etanolik daun salam yang dapat digunakan secara mudah oleh masyarakat.

Pengujian aktivitas antibakteri pada ekstrak etanolik daun salam dilakukan dengan metode difusi sumuran menggunakan media MHA dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL terhadap bakteri Streptococcus mutans. Kultur bakteri Streptococcus mutans yang digunakan pada penelitian ini merupakan bakteri yang berasal dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta. Perlu dilakukan sterilisasi media dan alat-alat yang akan digunakan dengan menggunakan autoklaf. Prinsip kerja dari autoklaf adalah sterilisasi dengan menggunakan uap panas bertekanan tinggi yaitu 1210C, 1 atm selama 15 menit. Sterilisasi dengan autoklaf akan mendenaturasi protein sel bakteri dan mengkoagulasi protoplasma. Pada saat akan disterilisasi, tutup tabung tidak boleh ditutup terlalu kencang karena digunakannya tekanan tinggi. Tabung yang ditutup terlalu kencang dikhawatirkan akan pecah karena tekanan yang tinggi.

Pemilihan media Mueller Hinton Agar (MHA) pada penelitian ini karena media ini telah direkomendasikan oleh FDA dan WHO untuk uji antibakeri terutama untuk bakteri aerob dan fakultatif anaerob. Media agar ini juga telah terbukti memberikan hasil yang baik dan reprodusibel dengan kandungan sulfonamida, trimethoprim, dan inhibitor tetrasiklin yang rendah sehingga memberikan pertumbuhan bakteri yang memuaskan. Kandungan dari MHA, yaitu


(60)

ekstrak daging sapi (2 g), asam hidroksilat dari kasein (17,5 g), pati (1,5 g), dan agar (17 g). Ekstrak daging sapi dan asam hidroksilat dari kasein menyediakan nitrogen, vitamin, karbon, dan asam amino. Pati ditambahkan untuk menyerap metabolit beracun yang dihasilkan, dan agar berfungsi untuk memadatkan media (Acumedia, 2011). Media MHA dibuat dengan cara melarutkan 38 gram bubuk media MHA dalam aquadest sampai volume 1 L. Larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan sampai larutan menjadi jernih dengan bantuan stearer. Pengujian ini dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali replikasi dimana setiap replikasi dilakukan 3 kali repetisi. Sebanyak 1-2 ose Streptococcus mutans dimasukkan ke dalam natrium klorida 0,9% dimana jumlah suspensi

bakteri yang digunakan disetarakan dengan standar 0,5 Mc Farland II (diperkirakan 1,5x108 sel bakteri/mL) dengan menggunakan Densicheck. Penggunaan natrium klorida 0,9% berfungsi untuk menjaga sel bakteri dalam keadaan isotonis, karena jika bakteri dalam keadaan hipotonis atau hipertonis maka selnya akan pecah sehingga bakteri akan mati. Selain itu, natrium klorida 0,9% merupakan sumber mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Pada setiap petri yang berisi media MHA dibuat sebanyak 7 lubang dengan menggunakan pelubang berdiameter 6 mm. Sumuran yang terbentuk kemudian ditambal dengan media MHA cair sebanyak 30 µL, dan dibiarkan memadat. Selanjutnya masing-masing lubang ditambahkan sebanyak 50 µL yang berisi 5 konsentrasi larutan uji, 1 kontrol positif, dan 1 kontrol negatif.

Pada pengujian digunakan kontrol kontaminasi media, dan kontrol pertumbuhan bakteri. Kontrol kontaminasi media yang berfungsi untuk


(61)

mengetahui apakah proses pengujian yang dilakukan aseptis atau tidak dan juga untuk mengetahui apakah media yang digunakan terkontaminasi atau tidak. Kontrol pertumbuhan bakteri berfungsi untuk mengetahui pertumbuhan Streptococcus mutans tanpa pemberian agen antibakteri. Dari hasil pengamatan

untuk kontrol media tidak menunjukkan adanya kontaminasi, hal ini berarti media yang digunakan adalah media steril dan pengerjaan dilakukan secara aseptis. Pada kontrol negatif tidak terbentuk zona hambat, hal ini berarti pelarut yang digunakan tidak memberikan pengaruh terhadap zona hambat yang terbentuk pada perlakuan. Apabila pelarut memiliki kemampuan untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji maka akan mempengaruhi hasil uji karena zona hambat yang dihasilkan tidak hanya dari larutan uji, tetapi juga dari pelarut yang digunakan. Pada kontrol pertumbuhan menunjukkan adanya pertumbuhan Streptococcus mutans dilihat dari koloni bakteri yang seragam dan tidak terdapat kontaminasi

dari kapang, khamir, dan bakteri lain. Kontrol positif menunjukkan adanya zona hambat yang berarti bahwa klorheksidin memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans. Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama 24 jam dan saat inkubasi petri tidak diinkubasi terbalik karena jika diinkubasi terbalik maka ekstrak yang telah dimasukkan ke dalam sumuran akan keluar sehingga tidak akan berdifusi ke dalam media agar.


(62)

Tabel II. Rata-rata diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans yang dihasilkan pada uji daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam

Konsentrasi ekstrak (mg/mL)

Diameter zona hambat (mm)

Rata-rata

I II III

Kontrol negatif 0 0 0 0

Kontrol positif 11 12 12 12

5 6 6 5 6

10 8 8 7 7

20 9 9 8 8

30 10 10 10 10

50 12 11 12 11

Keterangan : Diameter zona hambat sudah dikurangi dengan diameter sumuran sebesar 6 mm Hasil pengamatan dengan metode difusi sumuran, pada kontrol negatif tidak terbentuk zona hambat. Hal ini menunjukkan bahwa zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 5, 10, 20, 30, dan 50 mg/mL berasal dari kemampuan ekstrak etanolik daun salam bukan karena pengaruh pelarut ekstrak (Lampiran 9). Penghambatan di sekitar pertumbuhan ditunjukkan dengan luasnya diameter zona hambat sumuran. Semakin besar zona hambat yang terbentuk, maka aktivitasnya sebagai antibakteri semakin baik. Zona hambat diukur menggunakan jangka sorong secara vertikal, horizontal, dan diagonal. Pada konsentrasi 5 mg/mL masih terbentuk zona hambat, maka konsentrasi ini digunakan sebagai acuan konsentrasi terendah untuk penentuan nilai KHM dan KBM.


(63)

Gambar 8. Zona hambat yang terbentuk pada difusi sumuran ekstrak etanolik daun salam terhadap bakteri Streptococcus mutans

Keterangan :

A : Kontrol Negatif (aquadest) B : Kontrol Positif (klorheksidin) C : Konsentrasi 5 mg/mL D : Konsentrasi 10 mg/mL E : Konsentrasi 20 mg/mL F : Konsentrasi 30 mg/mL G : Konsentrasi 50 mg/mL

Menurut Davis Stout cit Moerfiah dan Supomo (2011), menyatakan bahwa ketentuan antibakteri adalah sebagai berikut :

1. Sangat kuat (diameter zona hambat 20 mm atau lebih) 2. Kuat (diameter zona hambat 10-20 mm)

3. Sedang (diameter zona hambat 5-10 mm) 4. Lemah (diameter zona hambat < 5 mm)

Berdasarkan ketentuan diatas dapat dikatakan bahwa klorheksidin memiliki kekuatan kuat karena lebar daerah hambat yang dihasilkan sebesar 12 mm dan ekstrak etanolik daun salam memiliki kekuatan yang sedang hingga kuat karena diameter zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 5 mg/mL yaitu 6 mm hingga 11 mm pada konsentrasi 50 mg/mL.


(64)

Adanya zona hambat di sekitar sumuran karena adanya flavonoid dan tanin berdasarkan analisis fitokimia yang merupakan senyawa golongan fenol yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi dan koagulasi protein sel bakteri. Turunan fenol dapat berinteraksi dengan membran sitoplasma, enzim, dan lipid pada bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Menurut Siswandono dan Soekardjo (2008) fenol pada konsentrasi rendah akan membentuk kompleks protein fenol dengan ikatan lemah dan segera menyebabkan penguraian diikuti penetrasi fenol ke dalam sel bakteri dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein, sedangkan pada konsentrasi tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein membran sehingga membran sel bakteri menjadi lisis dan mengalami kematian. Protein merupakan komponen enzim sehingga jika terjadi kerusakan pada enzim akan mengakibatkan metabolisme menurun yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri dan selanjutnya menyebabkan kematian sel.

Pada bakteri, ion H+ dari senyawa fenol akan menyerang gugus polar (gugus fosfat) pada molekul fosfolipid sehingga akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat, dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan fosfolipid tidak mampu mempertahankan bentuk membran sitoplasma, sehingga membran sitoplasma akan bocor dan menyebabkan zat-zat yang seharusnya digunakan untuk metabolisme sel bakteri keluar dan menyebabkan kematian bakteri (Parwata dan Dewi, 2008). Selain itu, adanya interaksi hidrofobik antara gugus alkil pada fenol dengan lipid menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas membran sehingga


(65)

bakteri mengalami kematian sel (McKarns, Hansch, Caldwell, Morgan, Moore, Doolittle, 1997; Hunt, 1975).

Tanin merupakan senyawa fenol maka mempunyai target pada polipeptida dinding sel yang akan menyebabkan kerusakan pada membran sel yaitu hilangnya sifat permeabilitas membran sel, sehingga keluar masuknya zat-zat antara lain air, nutrisi, dan enzim tidak terseleksi. Apabila enzim keluar dari dalam sel, maka akan mengakibatkan terhambatnya pembentukan ATP yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel bakteri sehingga akan terjadi kematian sel. Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri berhubungan dengan kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan karbohidrat dan protein melalui ikatan hidrogen, hidrofobik, dan kovalen. Dengan demikian, tanin dapat menonaktifkan adhesin sel mikroba (molekul yang menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel, enzim yang terikat pada membran sel, sel protein transport, dan mineral. Apabila terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein bakteri kemungkinan yang terjadi adalah denaturasi protein. Protein pada bakteri merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel dan membran plasma. Jika protein bakteri terdenaturasi, maka enzim akan menjadi inaktif sehingga metabolisme bakteri terganggu yang berakibat pada kerusakan sel bakteri (Min, Pinchak, Anderson, and Callaway 2007). Selain itu, tanin juga dapat menghambat pembentukan alfa amilase pada saliva yang mengkatalis hidrolisis pati menjadi oligosakarida yang membantu Streptococcus mutans menempel pada enamel gigi sehingga memberikan sumber makanan asidogenik untuk bakteri kariogenik pada permukaan gigi (Petti and Scully, 2009).


(66)

Sebagai antibakteri, flavonoid dapat membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan dinding sel bakteri. Selain itu, flavonoid yang bersifat lipofilik dapat merusak membran bakteri (Cowan, 1999). Menurut Cushnie and Lamb (2005), pada golongan flavonoid, termasuk flavon, flavanon, isoflavon, dan isoflavanon menunjukan aktivitas antibakteri yang berbeda pada metode difusi agar paper disc. Pada 5-hidroksiflavanon dan 5-hidroksiisoflavanon dengan adanya penambahan satu, dua, atau tiga golongan hidroksil pada posisi 7, 2’ dan

4’ menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan Streptococcus mutans.

Selain itu, chalcone 2,4,2’-trihydroxy-5’-methylchalcone dapat menginduksi terjadinya kebocoran substansi Streptococcus mutans seperti nukleotida dengan mengubah permeabilitas membran selular dan menyebabkan kerusakan fungsi membran sitoplasma yang teramati pada panjang gelombang 260 nm.

Analisis secara statistik dilakukan untuk melihat perbedaan bermakna antara variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Menurut Dahlan (2011), analisis diawali dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk yang dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis terlebih dahulu. Pemilihan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data yang didapatkan terdistribusi normal atau tidak dengan syarat jumlah sampel data yang ada berjumlah kurang dari 50 data. Data yang didapatkan dinyatakan terdistribusi normal jika nilai p>0,05 (Dahlan, 2011). Berdasarkan analisis data yang dilakukan didapatkan bahwa data terdistribusi tidak normal karena pada kelompok data kontrol negatif didapatkan data yang tidak normal (Lampiran 10). Karena data terdistribusi tidak normal maka dilakukan uji nonparametrik dengan


(67)

menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui paling tidak terdapat dua kelompok data yang mempunyai perbedaan yang bermakna dengan nilai p<0,05 yang selanjutnya harus dilakukan analisis Wilcoxon (Dahlan, 2011). Hasil uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p=0,005328 (Tabel III).

Tabel III. Hasil uji statistik keberbedabermaknaan antara diameter zona hambat dengan berbagai variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans

dengan metode Kruskal-Wallis

Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon (Lampiran 11) untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara bermakna. Data hasil uji Wilcoxon dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05 (Dahlan, 2011). Analisa data yang dilakukan menunjukkan bahwa antara variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam dengan kontrol positif dan antar variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam berbeda bermakna dengan nilai p=0,04953, kecuali antara konsentrasi 50 mg/mL dengan kontrol positif tidak berbeda bermakna karena nilai p>0,05 yaitu p=0,2752, antara variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam dengan kontrol negatif dan antara kontrol positif dan negatif berbeda bermakna dengan nilai p=0,0369.


(68)

Tabel IV. Data hasil uji Wilcoxon

K.+ K.- 5 10 20 30 50

K.+ - b.b b.b b.b b.b b.b b.b

K.- b.b - b.b b.b b.b b.b b.b

5 b.b b.b - b.b b.b b.b b.b

10 b.b b.b b.b - b.b b.b b.b

20 b.b b.b b.b b.b - b.b b.b

30 b.b b.b b.b b.b b.b - b.b

50 tb.b b.b b.b b.b b.b b.b -

Keterangan :

tb.b p=0,2752 b.b p=0,0369 b.b p=0,04953

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon tersebut, berarti semakin besar konsentrasi ekstrak etanolik memberikan aktivitas daya antibakteri yang berbeda bermakna. Pada perbandingan yang dilakukan, antara konsentrasi 50 mg/mL dengan kontrol positif didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna, hal ini berarti konsentrasi 50 mg/mL memiliki kemampuan yang sama dengan klorheksidin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Perbandingan antar variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam memiliki perbedaan yang bermakna dan ekstrak etanolik daun salam memiliki perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan kontrol negatif. Artinya bahwa variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun salam memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi, namun daya antibakteri yang dimiliki tidak sekuat daya antibakteri kontrol positif. Hal ini dimungkinkan karena ekstrak etanolik daun salam masih merupakan campuran dari banyak senyawa yang belum seluruhnya teridentifikasi, sehingga mungkin terbentuk interaksi antar senyawa tersebut yang saling antagonis sehingga menghambat kemampuan antibakteri dari ekstrak etanol daun salam.


(1)

(2)

Konsentrasi 15 mg/mL Konsentrasi 18 mg/mL

Konsentrasi 20 mg/mL Konsentrasi 22 mg/mL

Konsentrasi 24 mg/mL Konsentrasi 26 mg/mL A A A A A A B B B B B B C C C C


(3)

Konsentrasi 28 mg/mL Konsentrasi 30 mg/mL

Pada semua larutan uji dengan konsentrasi 15, 18, 20, 22, 24, 26, 28, dan 30 mg/mL menghasilkan kejernihan

Keterangan :

A : Kontrol Negatif (aquadest) B : Kontrol Positif (klorheksidin)

C : Larutan uji ekstrak etanolik daun salam

A B A B


(4)

Konsentrasi 15 mg/mL Konsentrasi 18 mg/mL

Konsentrasi 20 mg/mL Konsentrasi 22 mg/mL


(5)

(6)

91

Karies Gigi” ini memiliki nama lengkap Wanda Indriani Wibowo. Penulis lahir di Mataram pada tanggal 11 Juni 1991. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara pasangan R. Herman Wibowo (Alm.) dan Noortje Christiana Loesi mengawali masa studinya di TK Teladan pada tahun 1996 hingga tahun 1997, SD Aletheia pada tahun 1997 hingga tahun 2000 dan melanjutkan ke SDN Kartika Udayana I/IX pada tahun 2000 hingga 2003, SMP Negeri 1 Denpasar pada tahun 2003 hingga tahun 2006, SMA Negeri 1 Denpasar pada tahun 2006 hingga 2009, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta mulai tahun 2009 hingga tahun 2013. Selama kuliah, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan dalam bidang organisasi dan kepanitiaan, diantaranya menjadi anggota Konsumsi dan Dana dan Usaha dalam Hari Anti Tembakau, menjadi Koordinator Dana dan Usaha PMK Apostolos periode 2010-2011, Bendahara PMK Apostolos periode 2011-2012, dan Bendahara Retreat PMK Apostolos 2012.