Hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKITIF PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma

David Kuncoro Putro

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada pegawai negeri sipil Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada pegawai negeri sipil. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 246 orang pegawai negeri sipil yang berusia 28 tahun hingga 58 tahun. Alat pengumpulan data yang digunakan ialah skala kecerdasan emosional dan skala perilaku kerja kontraproduktif yang disusun oleh peneliti. Skala kecerdasan emosional memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,961 dan skala perilaku kerja kontraproduktif memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,859. Rentang korelasi item total (rix) kecerdasan emosional adalah 0,318 sampai 0,891 dan korelasi item total (rix) perilaku kerja kontraproduktif adalah 0,275 sampai 0,790. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi Spearman’s rho dikarenakan sebaran data pada kedua variabel bersifat tidak normal. Hasil penelitian ini menghasilkan r sebesar - 0,534 dan nilai p sebesar 0,000<0,05. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku kerja kontraproduktif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki PNS, maka semakin rendah perilaku kerja kontraproduktifnya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional, maka semakin tinggi perilaku kerja kontraproduktif yang dimiliki oleh PNS.


(2)

THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND COUNTERPRODUCTIVE WORK BEHAVIOR ON GOVERNMENT

EMPLOYEES

IN BANTUL REGENCY, YOGYAKARTA

Study in Psychology in Sanata Dharma University

David Kuncoro Putro

ABSTRACT

This research aimed to investigate the correlation between emotional intelligence and counterproductive work behavior on government employees in Bantul regency, Yogyakarta. The hypothesis was that there was negative relationship between emotional intelligence and counterproductive work behavior of government employees. Subject in this research were 246 government employees aged 28 to 58 years old. Data instruments be used were the scale of emotional intelligence and counterproductive work behavior. The alpha reliability coefficient of emotional intelligence scale was 0,961 and the coefficient of counterproductive work behavior scale was 0,859. Range of item-total correlation (rix) of emotional intelligence was 0,318 to 0,891. Range of item-total correlation (rix) of counterproductive work behavior was 0,275 to 0,790. The technique of data analysis being used was Spearman’s rho correlation test because data on both variables are not normal. This research showed that the value of r was - 0,534 with p 0.000 < 0.05. The results indicated a negative corelation between the emotional intelligence and the counterproductive work behavior. It was means that the higher level of emotional intelligence of the government employees, the lower level of counterproductive work behavior. On the contrary, the lower level of the emotional intelligence, therefore the higher level of the counterproductive work behavior of the government employees.


(3)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKTIF PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

DI BANTUL, YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: David Kuncoro Putro

NIM : 119114101

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

One way to boost our will power and focus is to

mange our distraction instead or letting them

manage us.

~ Daniel Goleman ~

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya,

bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati

mereka. Tetapi manusia tidak dapat meyelami

pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai

akhir

~ Pengkhotbah 3: 11~

Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak

putus-putusnya dipukul ombak. Ia tidak saja tetap

berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah

ombak dan gelombang


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kekuatan

Orangtua yang selalu memberikan kasih sayangnya Nenek tersayang

Kakak, Peni Andari Putri

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah menjadi rumah kedua dan telah memberikan keluarga kedua di kehidupan saya.


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagai mana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Penulis,


(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKITIF PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma

David Kuncoro Putro

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada pegawai negeri sipil Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada pegawai negeri sipil. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 246 orang pegawai negeri sipil yang berusia 28 tahun hingga 58 tahun. Alat pengumpulan data yang digunakan ialah skala kecerdasan emosional dan skala perilaku kerja kontraproduktif yang disusun oleh peneliti. Skala kecerdasan emosional memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,961 dan skala perilaku kerja kontraproduktif memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,859. Rentang korelasi item total (rix) kecerdasan emosional adalah 0,318 sampai 0,891 dan korelasi item total (rix) perilaku kerja kontraproduktif adalah 0,275 sampai 0,790. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi

Spearman’s rho dikarenakan sebaran data pada kedua variabel bersifat tidak normal. Hasil penelitian ini menghasilkan r sebesar - 0,534 dan nilai p sebesar 0,000<0,05. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku kerja kontraproduktif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki PNS, maka semakin rendah perilaku kerja kontraproduktifnya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional, maka semakin tinggi perilaku kerja kontraproduktif yang dimiliki oleh PNS.


(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND COUNTERPRODUCTIVE WORK BEHAVIOR ON GOVERNMENT

EMPLOYEES

IN BANTUL REGENCY, YOGYAKARTA

Study in Psychology in Sanata Dharma University

David Kuncoro Putro

ABSTRACT

This research aimed to investigate the correlation between emotional intelligence and counterproductive work behavior on government employees in Bantul regency, Yogyakarta. The hypothesis was that there was negative relationship between emotional intelligence and counterproductive work behavior of government employees. Subject in this research were 246 government employees aged 28 to 58 years old. Data instruments be used were the scale of emotional intelligence and counterproductive work behavior. The alpha reliability coefficient of emotional intelligence scale was 0,961 and the coefficient of counterproductive work behavior scale was 0,859. Range of item-total correlation (rix) of emotional intelligence was 0,318 to 0,891. Range of item-total correlation (rix) of counterproductive work behavior was 0,275 to 0,790. The technique of data analysis being used was Spearman’s rho correlation test because data on both variables are not normal. This research showed that the value of r was - 0,534 with p 0.000 < 0.05. The results indicated a negative corelation between the emotional intelligence and the counterproductive work behavior. It was means that the higher level of emotional intelligence of the government employees, the lower level of counterproductive work behavior. On the contrary, the lower level of the emotional intelligence, therefore the higher level of the counterproductive work behavior of the government employees.


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : David Kuncoro Putro Nomor Mahasiswa : 119114101

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKITIF PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal, 16 Juli 2016

Yang menyatakan,


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, karunia dan kasih-Nya, yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Perilaku Kerja Kontraproduktif Pada Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi pada Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung, membantu, dan membimbing penulis dalam proses menyelesaikan skripsi. Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si selaku Kepala Program Studi Pssikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu P. Henrietta P. D. A. D. S., S. Psi, M. A., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing selama proses penyusunan skripsi. Terimakasih mbak atas semua bantuan, bimbingan, waktunya, saran, serta kesabaran yang telah diberikan. Maaf jika selama proses penyusunan skripsi ini terkadang mengecewakan mbak Etta. Terimakasih mbak, Tuhan Yesus memberkati.


(13)

xi

4. Ibu Debri Prisinela, M. Si., selaku dosen pembimbing akademik 2011 yang selalu memberikan saran, dukungan dan bantuan selama penulis menempuh studi. Terimakasih Bu Deb. Tuhan memberkati.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu dan memberikan semangat.

6. Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak Nanik, dan juga Pak Gik yang telah membantu dan memberi semangat untuk penulis. Terimakasih, tetap semangat. Tuhan memberkati.

7. Kepada Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dan Pemerintah Daerah Bantul yang sudah memberikan ijin penelitian sehingga pengambilan data dapat berjalan dengan lancar. Selain itu terimaksih kepada Pegawai Negeri Sipil yang sudah berkenan dan meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

8. Kepada orangtua saya, terimakasih atas perhatian dan kasih sayangnya yang tidak pernah berhenti. Terimakasih atas doa, semangat, kesabaran, dan juga bantuannya sehingga anakmu bisa menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga kepada Nenek atas perhatian dan kesetiaannya menemani penulis mengerjakan skripsi di malam hari. Terimakasih juga untuk kakak saya, atas saran dan bantuannya. Tuhan memberkati kita. Amin.

9. Kepada sahabatku. Arum, Repex, Yusup, dan Komeng. Terimakasih untuk dukungan dan semangat kalian. Sampai tua ya broth.


(14)

xii

10.Kepada Elisabeth Novi. Terimakasih atas perhatian dan semangatnya. Terimakasih atas waktunya untuk selalu memberikan semangat. Terimakasih juga atas kasih sayangnya yang tulus. Sukses. Tuhan memberkati.

11.Kepada sahabat saru yang jauh disana (saru hloo), Yustina Ratnaningsih. Terimakasih untuk dukungan dan perhatiannya selama ini. Jangan lupa pulang Jogja.

12.Kepada saudara-saudaraku yang dulu bernaung satu atap di KONTRAKAN LAWAS. Kunto, Awang, Ian Sonyol, Mas Yoyok, Widek. Terimakasih sudah menjadi keluarga selama hidup bersama. Terimakasih untuk pengalaman hidup bersama kalian. Terimakasih untuk susah dan senangnya. Terimakasih juga untuk canda tawa dan penghiburannya. Terimakasih untuk perhatian dan pengertiannya. Terimakasih untuk menjadi tempat pelarian ketika ada masalah. Terimakasih untuk telinga, hati dan kebersamaan sampai sekarang ini. Sampai tua ya, jangan lupa reuni di Gilitrawangan. Salam satu botol!

13.Kepada keluarga besar Psychology Adventure Team (PAT), terimakasih atas pengalaman dan petualangan yang luar biasa. Terimakasih sudah mengajakku bermain ke tempat-tempat tinggi dan indah tentunya. Terimakasih telah menjadikanku pribadi yang lebih kuat. Sukses untuk kedepannya. Jangan berhenti bermain dan jangan lelah untuk melangkahkan kaki.


(15)

xiii

14.Kepada sahabat dan teman sepermainan. Bayu, Gunam, Boncel, Ateng, Gencet, Ajik, Anoy, Widek, Bram, Vander, Vico, Danil, Yuda, Gempol, Grego, Kiplek, Boni, Haha, David, Thole, Made, Cakra, Suci, Pamela, Della, Ema, Intan, MariaQu, Martha dan sahabat yang lain. Terimakasih untuk kebersamaan dan pertemanan selama ini. Terimakasih untuk canda tawa yang kalian ciptakan. Terimakasih juga untuk dukungan, bantuan, perhatian dan kasih sayang kalian yang tulus. Bersyukur mempunyai kalian semua. Tuhan memberkati kalian.

15.Kepada teman-teman bimbingan di Padepokannya Mbak Etta. Ajik, Anoy, Awang, Elis, Natia, Iga, Rara, Ika, Yosi, Yunis, Lia, Aik, dan teman bimbingan lain yang tidak dapat saya sebut satu persatu. Terimakasih untuk dukungan, semangat, dan bantuan kalian. Akan ada saatnya kita keluar padepokan satu persatu. Tetap semangat, Tuhan menyertai perjuangan kita.

16.Kepada teman-teman angkatan 2011, tidak terasa kita sudah mulai meninggalkan kampus tercinta. Sukses untuk kedepannya. Senang bisa mengenal kalian. Tuhan memberkati.

17.Kepada teman-teman kakak angkatan, terimakasih untuk dukungan, bantuan, dan bimbingan kalian. Sukses buat kakak-kakak. Kakak hloo kak. 18.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih

untuk doa, bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.

Penulis yakin bahwa Tuhan selalu memberkati semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama penyusunan skripsi ini. Penulis juga menyadari


(16)

xiv

bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, untuk itu penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang dapat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Yogyakarta, penulis,


(17)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II DASAR TEORI ... 13

A. Perilaku Kerja Kontraproduktif... 114

1. Definisi Perilaku Kerja Kontraproduktif ... 114


(18)

xvi

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kerja Kontraproduktif ... 20

B. Kecerdasan Emosional ... 21

1. Definisi Kecerdasan Emosional ... 21

2. Aspek Kecerdasan Emosional ... 223

3. Dampak Kecerdasan Emosional ... 25

C. Pegawai Negeri Sipil ... 27

D. Dinamika Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Kerja Kontraproduktif ... 29

E. Skema Penelitian ... 333

F. Hipotesis ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional... 35

1. Kecerdasan Emosional ... 36

2. Perilaku Kerja Kontraproduktif ... 36

D. Subjek Penelitian ... 37

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 37

1. Skala Kecerdasan Emosional ... 38

2. Skala Perilaku Kerja Kontraproduktif ... 39

F. Validitas dan Reliabilitas ... 40

1. Validitas ... 40

2. Seleksi Item ... 41

3. Reliabilitas ... 45

G. Metode Analisis Data ... 46

1. Uji Asumsi ... 46


(19)

xvii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Pelaksanaan Penelitian ... 48

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 49

C. Deskripsi Data Penelitian ... 50

D. Hasil Penelitian ... 53

E. PEMBAHASAN ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pemberian Skor ... 38

Tabel 2. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba ... 39

Tabel 3. Distribusi Item CWB Sebelum Uji Coba ... 40

Tabel 4. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Setelah Seleksi Item...42

Tabel 5. Distribusi Item Skala CWB Setelah Seleksi Item. ... 44

Tabel 6. Sebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Wilayah ... 49

Tabel 7. Sebaran Subjek Berdasarkan Rentang Usia ... 49

Tabel 8. Data Empirik dan Data Teoritik ... 50

Tabel 9. Norma Kategorisasi Skor ... 51

Tabel 10. Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosional ... 52

Tabel 11. Kategorisasi Skor Perilaku Kerja Kontraproduktif ... 52

Tabel 12. Hasil uji normalitas ... 53

Tabel 13. Hasil uji linearitas ... 54

Tabel 14. Hasil uji hipotesis ... 55

Tabel 15. Uji linearitas aspek-aspek Kecerdasan emosional ... 56

Tabel 16. Uji normalitas aspek-aspek Kecerdasan emosional ... 57


(21)

(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama beberapa dekade, penelitian yang berfokus pada perilaku karyawan yang mempengaruhi kesejahteraan organisasi mengalami peningkatan perhatian dari para peneliti. Namun sayangnya, masih banyak peneliti yang pada umumnya hanya menekankan penelitiannya pada perilaku kerja positif karyawan, sehingga penelitian yang berfokus pada perilaku kerja negatif karyawan relatif kurang mendapatkan perhatian (Vardi dan Weitz, 2004 dalam Syaebeni dan Sobri, 2011). Padahal, penelitian yang menekankan mengenai perilaku kerja negatif juga perlu mendapatkan perhatian yang lebih, seperti perilaku kerja kontraproduktif. Hal tersebut dikarenakan perilaku kerja kontraproduktif merupakan suatu masalah yang serius dan juga mahal bagi organisasi dan anggota organisasi (Fox, Spector, Bauer, 2010). Hal ini senada dengan Penney dan Spector (2005) yang mengemukakan bahwa penelitian mengenai perilaku kerja kontraproduktif akan menjadi topik yang sangat menarik bagi organisasi dan para peneliti karena terkait dengan besarnya biaya yang disebabkan oleh perilaku ini.

Perilaku kerja kontraproduktif didefinisikan sebagai perilaku yang secara aktif mengganggu atau merusak keamanan organisasi (Robbins dan Judge (2013). Rotundo (dalam Locke 2009) mendefinisikan perilaku kerja


(23)

kontraproduktif sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja yang merugikan organisasi atau anggota organisasi. Perilaku kerja kontraproduktif juga didefinisikan sebagai "disfungsional", karena hampir selalu melanggar norma-norma utama dalam organisasi dan melakukan perbuatan yang tidak relevan dengan tujuan organisasi, menyalahi prosedur, menurunkan produktivitas dan profitabilitas organisasi (Vardi & Weitz, 2004, dalam Klotz & Buckley, 2013). Perilaku kerja kontraproduktif tersebut seperti pencurian, perusakan properti, penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu dan sumberdaya organisasi/perusahaan, perilaku yang membahayakan organisasi/ perusahaan, kehadiran rendah, kualitas kerja rendah, penggunaan alkohol, pengunaan obat-obatan terlarang, tindakan verbal yang tidak pantas dan tindakan fisik yang tidak pantas (Sacket dan DeVore, dalam Anderson 2005).

Para peneliti sebelumnya (Aquino, Lewis, dan Bradfield, 1999; Jones, 2009; Peterson, 2002) secara konsisten telah menyebutkan bahwa perilaku kerja kontraproduktif dinilai dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang dapat merugikan organisasi. Konsekuensi negatif tersebut dapat berupa kerugian ekonomi dan dampak sosial maupun psikologis bagi organisasi maupun karyawan yang ada di dalam organisasi itu sendiri. Coffin, Steers, dan Rhodes (1984, dalam Christian dan Ellis 2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa estimasi kerugian di Amerika Serikat yang disebabkan oleh pencurian yang dilakukan karyawan dalam


(24)

setahunnya dapat mencapai lebih dari $40 miliar, dan kerugian yang disebabkan oleh ketidakhadiran karyawan diperkirakan dapat mencapai sekitar $30 miliar. Selanjutnya, pada penelitian lainnya juga dilaporkan bahwa secara agregat kerugian ekonomi setiap tahunnya yang disebabkan oleh perilaku kerja kontraproduktif diperkirakan mencapai sebesar $200 miliar di Amerika Serikat (Govoni, 1992 dalam Penney dan Spector, 2002), dan sekitar $600 miliar di Inggris (Taylor, 2007 dalam Ferris, Brown, dan Heller, 2009).

Perilaku kerja kontraproduktif tidak hanya mempengaruhi organisasi secara keseluruhan karena implikasi keuangan, tetapi juga dapat mempengaruhi pelanggan, pemasok dan karyawan. Perilaku kerja kontraproduktif dapat menyebabkan sumber daya manusia atau karyawan lainnya mempunyai perasaan tidak puas, stres dan akhirnya mungkin mengarah pada niat untuk meninggalkan organisasi, memiliki rasa percaya diri yang rendah dan mengalami rasa sakit, baik secara fisik dan psikologis

(Griffin, O’Leary, dan Collins, 1998, dalam Chernyak-hai & Tziner, 2014).

Berdasarkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh terlibatnya karyawan dalam perilaku kerja kontraproduktif membuat organisasi berusaha untuk menghindarinya (Hafidz, 2012). Namun, perilaku kerja kontraproduktif tersebut dapat terjadi di seluruh sektor organisasi (Vardi dan Wiener, 1996). Meskipun perilaku kerja kontraproduktif dapat terjadi di seluruh sektor organisasi, beberapa peneliti berpendapat bahwa perilaku


(25)

kerja kontraproduktif lebih sering terjadi pada organisasi sektor publik dibandingkan dengan organisasi sektor swasta (Aquino, Galperin, dan Bennet, 2006; Mayhew dan McCharty, 2005 dalam Alias et al., 2012). Pendapat ini kemudian didukung oleh hasil penelitian Dick dan Rayner (2013); Knott dan Hayday (2010); Wooden (1990) dalam Lokke Nielsen (2009) yang menunjukkan bahwa adanya indikasi perilaku kerja kontraproduktif, seperti ketidakhadiran karyawan tanpa izin, intimidasi di tempat kerja, meningkatnya kasus korupsi dan suap, seringnya terjadi tindakan arogan dan lain sebagainya, cenderung lebih tinggi terjadi pada karyawan yang bekerja di organisasi sektor publik dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di organisasi sektor swasta.

Keban (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa sistem manajemen dalam sektor publik memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Salah satunya adalah kurangnya dukungan sistem informasi kepegawaian yang memadai sehingga berpengaruh negatif pada proses pengambilan keputusan dalam menajemen kepegawaian dan tidak mengakomodasikan dengan baik klasifikasi jabatan dan standar kompetensi. Hal ini berarti bahwa terkadang pada pelaksanaannya seringkali individu dengan kompetensi tertentu mendapat posisi jabatan yang tidak berhubungan dengan bidang pendidikan yang sebelumnya ditekuni. Menurut Keban (2004), penempatan individu yang tidak tepat ini memicu pengaruh negatif terhadap pencapaian kinerja organisasi dan individu sehingga tidak jarang


(26)

ditemui masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku kerja kontraproduktif di organisasi sektor publik.

Perilaku kerja kontraproduktif yang terjadi di organisasi sektor publik tersebut juga terjadi di kalangan Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Seperti yang dimuat pada harian Tempo edisi Juni 2014 yang memberitakan bahwa sekitar 42 guru SD dan SMP yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil dari sejumlah sekolah di kawasan Pleret dan Bantul melakukan kegiatan pelesir ke Lombok. Hal tersebut mendapatkan protes dari Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang menuding bahwa kegiatan tersebut hanya untuk wisata para guru pada saat hari aktif kerja dan meninggalkan jam wajib mengajarnya. Kegiatan tersebut jelas melanggar PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (http://nasional.tempo.co).

Berita yang dimuat Republika edisi Februari 2013 memberitakan bahwa Bupati Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Surya Widati akan mengkaji peraturan pemberian sanksi berupa pemberhentian jabatan terhadap Supriyono pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah setempat, karena kasus indisipliner berat atau terlibat dalam kepengurusan anggota salah satu partai politik (parpol). Selain itu, Supriyono juga dilaporkan sering tidak masuk kerja selama 140 hari tanpa keterangan. Perilaku yang dilakukan Supriyono tersebut jelas melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 2 yang mengatur tentang


(27)

PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus salah satu parpol tertentu dan juga melanggar PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (http://www.republika.co.id/berita/nasional).

Selanjutnya berita yang dimuat di Harian Jogja edisi Oktober 2014 memberitakan bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul memecat dua pegawai negeri sipil (PNS) dalam enam bulan terakhir. Kedua PNS tersebut terlibat sejumlah pelanggaran. Pertama terlibat pidana penipuan dan ke dua melanggar disiplin PNS. Akibat terlibat penipuan, keduanya diganjar sanksi pidana. Sejak terlibat penipuan tersebut, ke duanya juga tidak masuk bekerja lebih dari tiga bulan sehingga melanggar Peraturan Pemerintah (PP) mengenai disiplin PNS. Pemecatan ke dua PNS itu diikuti juga dengan pemberhentian gaji mereka (http://www.soloposfm.com). Kasus lainnya yang dimuat pada Harian Jogja edisi 24 Juli 2014 menyebutkan bahwa menurut data yang dihimpun Inspektorat Kabupaten Bantul, pada hari kedua masuk kerja setelah libur Lebaran, tercatat ada dua PNS yang tidak masuk tanpa keterangan, yakni PNS di Badan Kesejahteraan Keluarga Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BKK PP KB) serta seorang PNS di Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) (http://www.harianjogja.com). Berdasarkan beberapa berita tersebut jelas bahwa perilaku yang dilakukan merupakan contoh dari keterlibatan PNS dengan perilaku kerja kontraproduktif di lingkungan kerja.


(28)

Vardi and Weitz (2002) menyatakan bahwa ada dua faktor penyebab terjadinya perilaku kerja kontraproduktif, yaitu faktor yang terkait dengan organisasi (organizational-related factor) dan faktor yang terkait dengan individu (individual-related factor). Vardi and Weitz (2002) menyatakan bahwa faktor yang terkait dengan organisasi antara lain; keadilan, dukungan, tekanan sosial, sikap manajer/koordinator, pekerjaan yang ambigu, gaya manejemen dan iklim organisasi. Sedangkan faktor yang terkait dengan individu mencakup kemampuan mendengarkan kata hati, perilaku negatif, perasaan senang, moral, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, senioritas, status perkawinan dan kecerdasan emosional.

Dari faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku kerja kontraproduktif tersebut, peneliti tertarik untuk mendalami faktor yang terkait dengan individu (individual-related factor), yaitu kecerdasan emosional. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, pertama, kecerdasan emosional yang termasuk faktor individu yang menyebabkan perilaku kerja kontraproduktif merupakan variabel yang belum mendapatkan perhatian oleh para peneliti. Penelitian-penelitian sebelumnya cenderung terfokus pada faktor organisasi, seperti iklim organisasi (Kanten dan Er Ulker, 2013), karakteristik pekerjaan (Rahman, 2012), keadilan organisasi (Priesemanth, Arnaud dan Schminke, 2013), keamanan organisasi (Liping Shi, Qiang Liu dan Kangjun, 2013), OCB (Ariani, 2013), dukungan organisasi (Sarah N. Monnastes, 2010) dan budaya organisasi (Ramshida A.P dan Manikandan, 2013).


(29)

Kedua, pemilihan faktor individual, yaitu kecerdasan emosional didasarkan pada pernyataan Bar-On (dalam Cooper, 2002) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu untuk dapat beradaptasi dalam pekerjaannya.

Melianawati (2001) menambahkan bahwa kecerdasan emosional tersebut akan mempengaruhi perilaku setiap individu di dalam pekerjaan atau tempat kerja. Goleman (1998) dalam bukunya yang berjudul Working with

Emotional Intelligence, menyatakan bahwa 20% kesuksesan seseorang

ditentukan oleh IQ (Intelligence Quotient), tetapi 80% kesuksesannya ditentukan oleh EI ( Emotional Intelligence) atau kecerdasan emosional. Selanjutnya, Goleman (2007) menyatakan bahwa orang-orang yang murni memiliki IQ tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Jika didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Jika seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa ketika mengalami stress. Berdasarkan pernyataan tersebut, penting bahwa selain faktor organisasi, faktor individu yang merupakan penyebab terjadinya


(30)

perilaku kerja kontraproduktif juga perlu mendapatkan perhatian, khususnya kecerdasan emosional.

Konsep kecerdasan emosional bersumber dari kajian psikologi yang mendalam sejak puluhan tahun yang lalu. Kajian ini berawal dari

Thorndike pada tahun 1920 yang memperkenalkan konsep “social

intelligence” dan mendefinisikannya sebagai kemampuan memahami dan mengelola orang lain untuk bertindak dengan bijak dalam hubungan dengan orang lain (Steven & Howard, 2004).

Gagasan tentang kecerdasan emosional kemudian muncul pada tahun 1990-an. Solovey dan Mayer (1990, dalam Steven & Howard, 2004) memberikan definisi pertama mereka tentang kecerdasan emosional yaitu

“bagian kecil dari social intelligence yang meliputi kemampuan untuk

mengamati emosi dan perasaan diri dan orang lain. Goleman (1999) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional meliputi keterampilan-keterampilan seperti kemampuan memahami keadaan diri sendiri; kemampuan mengelola dorongan emosi; kemampuan memotivasi diri; kemampuan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, serta kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Karyawan yang “cerdas” emosinya akan lebih efisien dan efektif dalam

mengelola diri dan berinteraksi dengan lingkungan atau rekan kerjanya (Law et al., 2004).

Ciarrochi et al. (2000) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional penting bagi kehidupan. Secara rasional, orang yang kurang


(31)

mampu menangani emosinya akan memiliki masalah dalam hubungan interpersonal, kesehatan mental buruk, dan kesuksesan karir yang rendah. Hal yang sama juga berlaku ketika seseorang tidak mampu mengenali berbagai perasaan seseorang, maka ia bisa gagal dalam membangun interaksi sosial yang bermakna, membangun hubungan, atau menjaga persahabatan.

Penelitian yang dilakukan Goleman (1999) menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan faktor penting dalam menentukan prestasi dalam pekerjaan. Kecerdasan emosi bisa berkontribusi pada kinerja dengan memungkinkan seseorang untuk memelihara hubungan yang positif di dunia kerja (Seibert et al., 2004 dalam Afolabi, 2010). Kemudian, kemampuan dalam mengelola emosi dapat membantu seseorang memelihara perasaan positif, menghindari luapan perasaan negatif dan mengatasi stres (Afolabi 2004, dalam Afolabi 2010).

Kecerdasan emosional mulai dipertimbangkan dalam sebuah organisasi atau perusahaan karena dipercaya dapat memberikan dampak positif bagi kinerja. Kinerja karyawan cenderung mengalami peningkatan dengan semakin tingginya kecerdasan emosi yang dimiliki (Melianawati, dkk. 2001). Seseorang dengan kecerdasan emosi yang tinggi dapat dengan baik membawa dirinya dalam berbagai situasi kerja. Kemudian, seseorang dengan kecerdasan emosi yang baik juga dapat mengontrol diri dan mampu berhubungan dengan baik dengan rekan kerjanya. Individu dengan


(32)

pengendalian diri yang baik akan mampu pula dalam mengatur tanggung jawab termasuk mengatur waktu dan semangatnya dalam bekerja.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat terlihat bahwa peran kecerdasan emosional sangatlah penting dan sangat dibutuhkan individu untuk dapat berprestasi dalam pekerjaan. Peran kecerdasan emosional yang penting tersebut sayangnya belum mendapatkan perhatian oleh para peneliti. Hal ini dibuktikan dengan masih sedikitnya penelitian tentang kecerdasan emosional yang dilakukan di Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Bantul. Satu penelitian di Yogyakarta pernah dilakukan oleh Antonius Septian Nugroho (2007) dengan tujuan untuk melihat hubungan kecerdasan emosional dan etos kerja PNS di Kota Yogyakarta. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif PNS di kota Bantul, Yogyakarta karena banyaknya kasus perilaku kerja kontraproduktif yang dilakukan PNS di Kabupaten Bantul seperti yang sudah di jelaskan di atas.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta?


(33)

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO), khususnya mengenai perilaku kerja kontraproduktif dan kecerdasan emosional pegawai negeri sipil (PNS).

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pegawai Negeri Sipil

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar evaluasi bagi pegawai negeri sipil (PNS) untuk menentukan apakah pegawai negeri sipil akan mempertahankan, meningkatkan atau memperbaiki perilakunya dalam bekerja, khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan emosional.

b. Bagi Perusahaan/organisasi/instansi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan dalam proses pengembangan sumber daya manusia bagi


(34)

perusahaan/organisasi/instansi, khususnya proses pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan kecerdasan emosional.


(35)

14 BAB II

DASAR TEORI

A. Perilaku Kerja Kontraproduktif

1. Definisi Perilaku Kerja Kontraproduktif

Secara teoritis perilaku kerja kontraproduktif (CWB) mengacu pada kehendak bertindak yang merugikan organisasi dan anggotanya (Spector dan Fox, 2005). Menurut Spector dan Fox (2005), perilaku kerja kontraproduktif (CWB) yang dilakukan tersebut mempunyai dua target, yaitu perilaku kerja kontraproduktif yang ditargetkan pada organisasi seperti tindakan mengambil atau mencuri properti milik organisasi tanpa ijin dan tindakan orang-orang yang ditargetkan untuk individu-individu tertentu, seperti tindakan mengutuk dan bullying. Selanjutnya, Spector et al (2006) mendefinisikan perilaku kerja kontraproduktif sebagai perilaku yang bertentangan dengan tujuan dan sasaran organisasi. Perilaku kerja kontraproduktif ini merupakan perilaku disengaja yang melanggar norma organisasi dan mengancam kesejahteraan organisasi, anggota ataupun keduanya (Yen dan Teng, 2012). Perilaku kerja kontraproduktif juga didefinisikan sebagai aktivitas yang merugikan dan membahayakan organisasi yang dilakukan karyawan dan akan mengurangi keefektifitasan (Man et all., 2012; Klotz and Buckley, 2013). Menurut Rotundo (dalam Locke 2009) perilaku kerja kontraproduktif ini dapat juga disebut dengan


(36)

penyimpangan. Perilaku yang termasuk dalam jenis ini adalah pencurian, perusakan properti, penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu dan sumberdaya organisasi/perusahaan, kehadiran rendah, kualitas kerja rendah, penggunaan alkohol dan penggunaan obat-obat terlarang.

Sacket dan DeVore (dalam Anderson 2005) menyatakan bahwa ruang lingkup dari perilaku kontraproduktif yang dimaksud adalah segala bentuk perilaku kerja yang merugikan organisasi/perusahaan apabila dilihat dari sudut pandang organisasi/perusahaan. Sacket dan DeVore (dalam Anderson 2005) menyatakan juga bahwa perilaku ini dilakukan oleh karyawan yang bersangkutan sebagai hasil dari rendahnya motivasi bekerja individu.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa definisi dari perilaku kerja kontraproduktif adalah segala macam perilaku yang dilakukan individu dengan sengaja yang bertentangan dan menghambat organisasi/perusahaan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan.

2. Dimensi Perilaku Kerja Kontraproduktif

Pada awalnya, perilaku kerja kontraproduktif dipelajari sebagai konstruksi terisolasi (absensi, pencurian, dll). Selanjutnya, penelitian telah berubah semakin ke arah menemukan sebuah konstruksi global yang dirancang untuk menyertakan perilaku yang lebih spesifik dan mengelompokkan serangkaian perilaku yang sama kedalam


(37)

dimensi-dimensi perilaku kerja kontraproduktif. Selanjutnya, Robinson dan Bennet (1995) menyatakan bahwa perilaku kerja kontraproduktif merupakan jenis perilaku menyimpang dalam organisasi yang dikonseptualisasikan sebagai bentuk penyimpangan yang menggabungkan perilaku yang berbeda-beda dan disusun berdasarkan sifat dari target (individu-organisasi) dan tingkat keseriusan dari perilaku (minor-mayor). Sifat dari target (individu-organisasi) adalah apakah perilaku kerja kontraproduktif yang dilakukan tersebut ditujukan untuk organisasi/perusahaan atau untuk anggota organisasi/perusahaan. Sedangkan yang dimaksud dengan tingkat keseriusan dari perilaku (minor-mayor) adalah tingkat perilaku kerja kontraproduktif yang kurang membahayakan sampai perilaku kerja kontraproduktif yang membahayakan organisasi/perusahaan.

Robinson dan Bennet (2000, dalam Chernyak & Tziner, 2014) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi dari perilaku kerja kontraproduktif berdasarkan sifat dari target, yaitu:

a. Dimensi Organisasional

Dimensi organisasional merupakan semua perilaku kerja kontraproduktif yang ditargetkan untuk organisasi, yang mencakup perilaku-perilaku sebagai berikut:

1. Penyimpangan Properti (property deviance)

Penyimpangan properti adalah penyalahgunaan barang atau properti milik perusahaan untuk kepentingan pribadi. Perilaku


(38)

yang termasuk dalam dimensi ini adalah mencuri barang milik organisasi dan merusak barang milik organisasi/perusahaan serta berbohong mengenai jam kerja yang telah dilaksanakan. Robinson dan Bennet (dalam Idiakheua & Obetoh 2012) menambahkan bahwa menggunakan barang/properti milik organisasi/perusahaan untuk kepentingan pribadi juga termasuk ke dalam kategori penyimpangan properti.

2. Penyimpangan Produksi (production deviance)

Penyimpangan produksi adalah perilaku yang melanggar norma-norma organisasi yang telah ditentukan oleh organisasi terkait dengan kualitas minimal dan kuantitas pekerjaan yang harus diselesaikan sebagai tanggungjawab individu. Perilaku yang termasuk dalam dimensi ini antara lain tidak melaksanakan tugas yang sudah menjadi kewajiban individu, ketidakhadiran/mangkir, keterlambatan, beristirahat lebih lama dari waktu yang diberikan, pulang lebih awal, dan menggunakan fasilitas internet organisasi untuk kepentingan pribadi.

b. Dimensi Interpersonal

Dimensi interpersonal merupakan semua perilaku kerja kontraproduktif yang ditargetkan untuk orang lain dalam organisasi, yang mencakup perilaku-perilaku sebagai berikut:


(39)

Perilaku yang termasuk dalam kategori penyimpangan politik antara lain memperlihatkan kesukaan terhadap pegawai atau anggota tertentu di dalam organisasi/perusahaan secara tidak adil, menggosip, memperlihatkan ketidaksopanan, mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih, dan menyalahkan atau menuduh karyawan lain atas kesalahan yang tidak diperbuat.

2. Agresif individu

Perilaku yang termasuk dalam aspek agresi individu antara lain bullying, berperilaku tidak menyenangkan terhadap individu atau karyawan lain secara verbal maupun fisik, dan mencuri barang milik individu atau karyawan lain.

Robinson dan Bennet (dalam Idiakheua & Obetoh 2012) menggambarkan dengan lebih sederhana (dalam gambar 1) mengenai pengelompokan masing-masing jenis perilaku kerja kontraproduktif berdasarkan sifat dari target (individu-organisasi) dan tingkat keseriusan perilaku kerja kontraproduktif (minor-mayor). sifat dari target (individu-organisasi) adalah apakah perilaku kerja kontraproduktif yang dilakukan tersebut ditujukan untuk organisasi/perusahaan atau untuk anggota organisasi/perusahaan. Sedangkan yang dimaksud dengan tingkat keseriusan dari perilaku (minor-mayor) adalah tingkat perilaku kerja kontraproduktif yang


(40)

kurang membahayakan sampai perilaku kerja kontraproduktif yang membahayakan organisasi/perusahaan.

Organisasi

Penyimpangan Produksi: Penyimpangan Properti:

Minor Major

Penyimpangan Politik: Agresi Individu:

Individu

Gambar 1.

Robinson dan Bennet (dalam Idiakheua & Obetoh, 2012)

Robinson dan Bennet (2000, dalam Chernyak & Tziner (2014) menyatakan bahwa perilaku kerja kontraproduktif dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu dimensi organisasional dan interpersonal. Lebih lanjut Robinson dan Bennet (2000) juga menyatakan bahwa ke dua dimensi tersebut memiliki korelasi yang kuat, r = 0,86. Hal tersebut juga didukung oleh Lee dan Allen (2002) yang menyatakan bahwa ke dua dimensi tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat, yaitu r = 0,96, sehingga tidak membedakan pengukuran antara dimensi organisasional dan interpersonal. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan yang dilakukan oleh

Melanggar norma yang berlaku, kualitas kerja rendah

Menggunakan barang/properti milik organisasi tanpa ijin, berbohong mengenai jam kerja

Menunjukkan kesukaan pada karyawan secara tidak adil, menggosip, berperilaku tidak sopan

Bullying, mencuri barang milik karyawan lain, berperilaku tidak menyenangkan secara fisik maupun verbal target

Tingkat


(41)

Chernyak dan Tziner (2014) yang tidak membedakan dua dimensi dan melakukan penskoran total terhadap dua dimensi perilaku kerja kontraproduktif tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kerja Kontraproduktif Faktor-faktor yang dianggap melatarbelakangi perilaku kerja kontraproduktif menurut Vardi and Weitz (2002) adalah:

a. Faktor yang terkait dengan organisasi (Organizational - related

factor)

Faktor ini mencakup keadilan, dukungan, tekanan sosial (konformitas), sikap manajer/koordinator (ketidakpercayaan pada pemimpin), perkerjaan yang ambigu, gaya manejemen dan iklim organisasi. Menurut Vardi and Weitz (2002), faktor yang terkait dengan organisasi tersebut akan mempengaruhi individu dalam menampilkan perilakunya disaat melakukan pekerjaan.

b. Faktor yang terkait dengan individu (Individual - related

factor)

Faktor ini mencakup sifat mendengarkan kata hati, perilaku negatif, perasaan senang, moral, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, senioritas, status perkawinan dan kecerdasan emosional (EQ). Faktor yang terkait dengan individu ini juga sama dengan faktor yang terkait dengan organisasi yang sama-sama mempengaruhi perilaku karyawan/individu itu sendiri dalam melakukan pekerjaan. Faktor yang terkait dengan


(42)

individu ini juga akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam menghadapi tekanan-tekanan yang terjadi disaat malakukan pekerjaan.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku kerja kontraproduktif dapat terjadi karena dua hal yaitu kondisi dari organisasi dan dari diri individu atau karyawan itu sendiri.

B. Kecerdasan Emosional

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire Amerika untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas itu antara lain adalah: empati (kepedulian), mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, bisa memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat (Shapiro 2003).

Menurut Goleman (2005), kecerdasan emosional adalah kemampuan yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini saling berbeda dan melengkapi dengan


(43)

kemampuan akademik murni, yaitu kognitif murni yang diukur dengan IQ.

Mayer and Salovey (1997) memberikan definisi kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk merasakan emosi, mengintegrasikan emosi untuk memudahkan dalam berpikir, memahami emosi, dan mengatur emosi untuk meningkatkan pertumbuhan pribadi. Pernyataan tersebut juga didukung oleh M Dileep Kumar (2006) yang memberikan definisi kecerdasan emosional sebagai suatu kumpulan atau set kompetensi yang mengatur dan mengontrol perasaan seseorang untuk bekerja dan menampilkan suatu kinerja. Kompetensi tersebut adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengatur suasana hati dan dorongan dari hati yang sangat berkontribusi untuk menentukan sikap.

Menurut Cooper dan Sawaf (1999), kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia adalah wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri tersembunyi, dan sensasi emosi. Lebih lanjut, He in (dalam Yadav, 2011) memberikan definisi kecerdasan emosional sebagai kemampuan emosi yang merupakan bawaan lahir untuk merasakan, menggunakan, berpikir, mengingat, mengidentifikasi, menggambarkan, belajar, mengatur, memahami, menjelaskan dan berkomunikasi.


(44)

Dari beberapa pengertian kecerdasan emosional tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa inti kecerdasan emosional adalah kemampuan atau kompetensi dalam diri untuk mengenali emosi, mengelola emosi dan memotivasi diri, serta merupakan kemampuan sosial dalam mengenali dan memahami emosi orang lain dan juga kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. 2. Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (1997) menyatakan ada lima aspek dari kecerdasan emosi, antara lain:

a. Self awareness atau kesadaran diri adalah kemampuan individu

dalam mengenali emosi dirinya. orang yang memiliki kemampuan ini mengenali emosi yang sedang mereka rasakan, kemudian menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan apa yang mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Orang yang memiliki kemampuan ini juga akan tahu bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja mereka.

b. Self Control adalah kemampuan individu dalam mengendalikan,

mengontrol dan mengelola emosi. Orang yang mempu menampilkan self control dengan baik mampu mengelola dengan baik perasaan dan emosi mereka. Selain itu, mereka juga mampu bersikap positif dalam menghadapi situasi-situasi yang berat. Mereka mampu tetap berpikir jernih dan tetap fokus meskipun sedang dalam tekanan.


(45)

c. Self Motivation adalah kemampuan individu dalam memotivasi

dirinya. Orang yang memiliki kemampuan ini memiliki daya juang yang tinggi untuk dapat meraih tujuan dan memenuhi standar. Orang yang memiliki kemampuan ini juga terkandung rasa optimisme dalam dirinya.

d. Emphaty adalah kemampuan individu dalam mengenali dan

memahami emosi orang lain. Orang yang memiliki kecakapan ini akan mampu menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain.

e. Social Skill adalah kemampuan individu dalam membangun dan

memelihara hubungan dengan orang lain. Aspek ini berkaitan dengan kemampuan interpersonal yang merupakan kemampuan sosial dalam membangun dan menjaga hubungan yang bermakna, dekat secara emosional dan memuaskan. Keterampilan sosial di dunia kerja dapat dilihat dengan ciri memiliki kemampuan dalam melakukan persuasi; memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik, yaitu mampu menyampaikan pesan dengan jelas; memiliki kemampuan dalam bernegosiasi dan memiliki menejemen konflik yang baik; kemampuan menjaga dan memilihara hubungan dengan orang lain; dan kemampuan berkerja sama atau bekerja dalam tim. (Goleman, 1999).

Dari beberapa aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional mempunyai lima aspek, yaitu: self awareness atau


(46)

kesadaran diri, self control atau pengendalian diri, self motivation atau kemampuan memotivasi diri, emphaty atau kemampuan mengenali dan memahami emosi orang lain dan social skill atau kemampuan membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain.

3. Dampak Kecerdasan Emosional

Cary Cherniss (2001) melalui tulisannya dalam buku “The Emotionally Intelligent Workplace” mengatakan bahwa kecerdasan

emosional memainkan peran yang penting dalam menjawab setiap permasalahan dalam organisasi khususnya di tempat kerja. Dijelaskan juga bahwa kecerdasan emosi di tempat kerja berdampak pada efektivitas organisasi yang tampak dalam beberapa hal antara lain :

Teamwork, Employee Comitment, Innovation, Productivity, dan Quality of Service. Hal ini juga didukung oleh penjelasan Druskat dan

Wolff (2001) dan Paul (2006) yang menjelaskan bahwa kecerdasan emosional pada individu memberikan konstribusi bermakna untuk membangun sebuah organisasi yang memiliki kecerdasan emosi. Setiap orang bertanggungjawab sendiri untuk meningkatkan kecerdasan emosinya untuk digunakan dalam berhubungan dengan orang lain, dan untuk menerapkan keterampilan kecerdasan emosi terhadap organisasi secara keseluruhan. Nasser (2011) juga menambahkan bahwa kecerdasan emosi memiliki dampak yang positif pada kinerja kelompok/organisasi.


(47)

Riana Mashar (2011) melalui tulisannya dalam buku “Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya” mengatakan bahwa

kecerdasan emosional mempunyai peran dalam aspek pekerjaan, yaitu meningkatkan performa kerja, meningkatkan kemampuan kooperatif dan negosiasi yang lebih baik, dan juga meningkatkan efektivitas,

altruism, dan compliance dalam bekerja.

Secara khusus, Goleman (1998), menjelaskan bahwa kemampuan kecerdasan emosional memiliki dampak kepada individu itu sendiri, antara lain :

1. Individu lebih bertanggung jawab pada tugasnya.

2. Individu dapat lebih memahami keadaan orang lain, karena memiliki tenggang rasa dan perhatian dengan lingkungannya. 3. Individu juga lebih pintar untuk membuat strategi dan terampil

dalam menyelesaikan konflik atau masalah antar pribadi.

4. Saat individu memahami keadaan orang lain, individu tersebut lebih bersifat sosial, suka menolong, dan mampu mengurangi perilaku kasar yang ditujukan terhadap orang lain.

5. Individu lebih memahami akibat-akibat dari tindakan mereka, sehingga individu tersebut akan berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.

6. Individu juga mampu mengatasi kecemasan yang ada dalam dirinya.


(48)

7. Individu dapat dijadikan tempat bergantung oleh rekan-rekan sebayanya.

8. Individu mampu bekerja sama dengan orang lain.

9. Individu mudah bergaul dengan orang lain sehingga mempunyai teman yang banyak.

10.Individu mampu membawa suasana yang positif di lingkungannya.

C. Pegawai Negeri Sipil

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang dilansir dari situs resmi kepegawaian pemerintah (www.korpri.or.id) pengertian Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabbatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan peraturan undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan rumusan ini maka ada 4 pokok pengertian Pegawai Negeri, yaitu:

a. Mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini mengandung pengertian bahwa siapa saja dalam hal ini Warga Negara Indonesia (WNI) dapat menjadi Pegawai Negeri asal memenuhi syarat-syarat tertentu.

b. Diangkat oleh pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan untuk


(49)

mengangkat dan atau memberhentikan pegawai negeri. Tidak semua pejabat mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan atau memberhentikan pegawai negeri.

c. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau tugas negara lainnya. Jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif (pemerintah). Tugas negara adalah tugas-tugas lain untuk kepentingan negara yang ditetapkan dengan ketentuan tersendiri misal bupati, gubernur, menteri.

d. Digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gaji adalah imbalan jasa atas pretasi seorang pegawai negeri. Pegawai Negeri terdiri dari (1) PNS, (2) Anggota TNI, (3) Anggota Kepolisian. PNS dalam hal ini dibedakan menjadi 2 macam: 1) PNS Pusat, 2) PNS Daerah. Yang dimaksud PNS Pusat adalah PNS yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi vertikal, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara. 2) PNS Daerah adalah PNS daerah/Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran dan Belanja Daerah (APBD) dan bekerja pada Pemda, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.


(50)

D. Dinamika Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Kerja Kontraproduktif

Peter Salovey dan Jack Mayer, pencipta istilah “kecerdasan emosional”, menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan

kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Dengan kata lain, kecerdasan emosional adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit yang mencakup aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat, serta kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari (Peter Salovey dan Jack Mayer dalam Steven J. Stein, 2004).

Dalam penelitiannya, Goleman (1999) menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan faktor penting dalam menentukan prestasi didalam pekerjaan. Kecerdasan emosi bisa berkontribusi pada kinerja dengan memungkinkan seseorang untuk memilihara hubungan yang positif di dunia kerja (Seibert et al., 2004 dalam Afolabi, 2010). Karyawan yang cerdas emosinya juga akan lebih efisien dan efektif dalam mengelola diri dan berinteraksi dengan lingkungan atau rekan kerjanya (Law et al., 2007).

Druskat dan Wolff (2001) dan Paul (2006) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional pada individu memberikan kontribusi bermakna untuk membangun sebuah organisasi. Individu yang memiliki kecerdasan


(51)

emosi tinggi akan mampu mengenali emosi diri. Hal ini berarti ia memiliki kasadaran diri sehingga mampu mengetahui dan memahami apa yang sedang ia rasakan. Ia akan waspada akan pikiran dan perasaannya sehingga tidak mudah larut dan dikuasai oleh emosi. Kemampuan dalam mengenali emosi diri ini menjadi dasar yang kuat bagi seseorang untuk dapat mengelola dan mengungkapkan emosi yang sedang dirasakan secara wajar. Pengelolaan emosi ini meliputi kemampuan untuk menghibur diri, menghindari kecemasan, dan bangkit dari perasaan yang menekan. Dalam konteks penelitian ini, seseorang atau pegawai yang mempunyai kemampuan yang baik dalam mengenali emosi diri dan mengelola emosi tidak akan melakukan perusakan properti milik organisasi/perusahaan, melakukan tindakan verbal dan tindakan fisik yang tidak pantas pada rekan kerjanya.

Kemampuan dalam memotivasi diri dapat dilihat sebagai respon dorongan dari dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi diri merupakan bentuk pengungkapan emosi positif. Kemampuan dalam memotivasi diri sendiri ini mendorong seseorang untuk tetap tekun dalam bekerja sehingga mampu mencapai hasil yang diinginkan. Dalam konteks penelitian ini, seseorang atau pegawai yang memiliki kemampuan dalam memotivasi diri akan membuat pegawai mempunyai semangat dan antusias dalam bekerja sehingga tidak akan melakukan mangkir atau bolos kerja.


(52)

Goleman (1997) mengungkapkan bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi berarti juga pandai dalam mengenali emosi orang lain. Seseorang yang pandai dalam mengenali emosi orang lain ini berarti mempunyai rasa empati. Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Seseorang yang mempunyai rasa empati biasanya lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain (Surya, 2011). Orang yang mempunyai rasa empati ini juga biasanya adalah orang yang berhasil dalam pergaulannya.

Berbeda halnya dengan seseorang atau pegawai yang mempunyai kecerdasan emosional rendah. Ketidakmampuan dalam mengenali emosi diri membuat seseorang atau pegawai tidak mampu mengetahui dan memahami apa yang sedang ia rasakan dan akan membuat seseorang atau pegawai mudah larut dan dikuasai oleh emosi. Ketidakmampuan dalam mengenali emosi diri ini juga akan mempengaruhi seseorang atau pegawai sulit untuk mengelola emosinya sehingga dapat melakukan pengungkapan emosi diri yang kurang tepat. Pengungkapan emosi diri yang kurang tepat tersebut seperti malakukan perusakan properti milik perusahaan/organisasi, tindakan verbal dan tindakan fisik yang tidak pantas pada rekan kerjanya.

Seseorang atau pegawai yang kecerdasan emosional rendah juga tidak mempunyai dorongan dalam diri untuk mencapai tujuan tertentu. Dorongan dalam diri atau motivasi akan membuat seseorang atau pegawai


(53)

mempunyai semangat dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya, motivasi yang rendah dalam diri akan membuat seseorang atau pegawai tidak mempunyai semangat dalam bekerja sehingga akan menurunkan perasaan antusias dalam bekerja dan juga tingginya tingkat absensi pegawai dalam daftar kehadiran di tempat kerja.

Selanjutnya, seseorang atau pegawai yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah juga tidak mempunyai kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Hal tersebut akan membuat seseorang atau pegawai tidak mempunyai rasa empati dalam dirinya. Ketidakmampuan dalam memahami perasaan orang lain dan rasa empati yang rendah ini akan membuat seseorang atau pegawai gagal dalam menjalin hubungan dengan orang lain atau rekan kerja.


(54)

E. Skema Penelitian

Gambar 2. Skema Hubungan Kecerdasan Emosional dan Perilaku Kerja Kontraproduktif Pegawai Negeri Sipil

Pegawai Negeri Sipil

Kecerdasan Emosi Tinggi Kecerdasan Emosi Rendah

-Memiliki kemampuan mengenali emosi diri (mampu mengetahui dan memahami apa yang sedang dirasakan, tidak mudah larut dan dikuasai oleh emosi)

-Memiliki kemampuan mengelola dan mengungkapkan emosi secara wajar/tepat (mampu menghibur diri, menghindari kecemasan, dan bangkit dari perasaan yang menekan

-Memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri (tekun dan semangat dalam bekerja) -Memiliki rasa empati (peka dan memahami

persperktif orang lain)

-Kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (komunikasi dengan baik dan bekerja sama)

- Tidak memiliki kemampuan mengenali emosi diri sehingga mudah dikuasai emosi - Tidak memiliki kemampuan mengelola

dan mengungkapkan emosi sehingga pengungkapan emosi yang dilakukan kurang tepat (melakukanperusakan properti, tindakan verbal dan fisik yang tidak tepat)

- Tidak memiliki motivasi di dalam diri sehingga tidak bersemangat dalam bekerja dan tingkat absensi tinggi

-Tidak memiliki rasa empati (tidak mempunyai kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain).

-Gagal dalam menjalin hubungan atau pertemanan dengan orang lain atau rekan kerja (tidak mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik)

Perilaku Kerja Kontraproduktif Rendah Perilaku Kerja Kontraproduktif Tinggi -Tetap fokus pada pekerjaan

-Menjaga properti milik organisasi -Semangat dalam bekerja

-Memahami perspektif rekan kerja

-Mampu bekerja sama dalam tim dan memiliki banyak teman

-Bekerja dengan dikuasi emosi

-Melakukan perusakan properti organisasi -Tidak memiliki semangat dalam bekerja -Tidak bisa menerima pendapat rekan kerja -Tidak suka bekerja sama dengan rekan


(55)

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis

sebagai berikut: “Ada hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pegawai negeri sipil. Semakin tinggi kecerdasan emosional pegawai negeri sipil maka semakin rendah perilaku kerja kontraproduktif pegawai negeri sipil dan sebaliknya.


(56)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan melihat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif pada pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pendekatan kuantitatif menekankan analisis data numerikal yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2012). Studi korelasional mempelajari hubungan antara dua variabel atau lebih yang memiliki tujuan untuk melihat variasi antara satu variabel dengan variabel lainnya (Azwar, 2009).

B. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

Variabel bebas : kecerdasan emosional

Variabel tergantung : perilaku kerja kontraproduktif C. Definisi Operasional

Berikut ini definisi operasional dari kecerdasan emosional dan perilaku kerja kontraproduktif:


(57)

1. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan atau kompetensi dalam diri pegawai negeri sipil (PNS) untuk mengenali emosi, mengelola emosi dan memotivasi diri, serta merupakan kemampuan sosial dalam mengenali dan memahami emosi orang lain dan juga kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Kecerdasan emosional diukur dengan skala kecerdasan emosional yang terdiri dari lima aspek yaitu kesadaran diri (self awareness), mengontrol emosi (self control), motivasi diri (self motivation),empati (emphaty), dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (social skill). Hasil dari pengukuran kecerdasan emosional ditunjukkan dari perolehan skor skala kecerdasan emosional. Semakin tinggi skor berarti semakin tinggi kecerdasan emosional, sebaliknya semakin rendah skor semakin rendah kecerdasan emosionalnya.

2. Perilaku Kerja Kontraproduktif

Perilaku kerja kontraproduktif adalah segala macam perilaku yang dilakukan pegawai negeri sipil dengan sengaja yang bertentangan dan menghambat organisasi/perusahaan/instansi untuk mencapai tujuan. Perilaku kerja kontraproduktif diukur dengan skala perilaku kerja kontraproduktif yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi perilaku kerja kontraproduktif yaitu dimensi organisasional yang mencakup penyimpangan properti (property deviance) dan penyimpangan


(58)

produksi (production deviance), serta dimensi interpersonal yang mencakup penyimpangan politik (political deviance), dan agresi individu. Hasil dari pengukuran perilaku kerja kontraproduktif ditunjukkan dari skor total skala perilaku kerja kontraproduktif. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek akan mengidentifikasikan perilaku kerja kontraproduktif yang juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh subjek akan mengidentifikasikan semakin rendah perilaku kerja kontraproduktif yang dimiliki subjek.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil. Kriteria subjek yang dimaksud adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti menggunakan convinience sampling. Model tersebut berarti pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas pertimbangan khusus sesuai dengan kriteria penelitian (Noor, 2011).

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah penyebaran skala. Skala adalah pertanyaan yang disusun untuk mengungkap atribut-atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan yang diberikan (Azwar, 2012). Jenis skala yang digunakan adalah dengan


(59)

menggunakan skala Likert. Dalam skala Likert ini dimodifikasi menjadi tipe skala dengan menyajikan hanya empat alternatif jawaban. Modifikasi ini berdasarkan pendapat Hadi (2004) bahwa alternatif ketiga bisa diartikan netral, kadang-kadang tidak, jarang sekali, ragu-ragu. Selain itu, jawaban tengah dapat menimbulkan central tendency effect. Oleh sebab itu, pada skala ini terdiri dari pernyataan-pernyataan favorabel dan

unfavorabel dengan alternatif jawaban seperti “Sangat Sesuai”, “Sesuai”,

“Tidak Sesuai”, dan “Sangat Tidak Sesuai”. Pemberian skor pada

pernyataan favorabel dan unfavorabel dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1.

Pemberian Nilai Skor

Skor Item Sangat Sesuai Tidak Sesuai Sangat Tidak

Sesuai Sesuai

Favorabel 4 3 2 1

Unfavorabel 1 2 3 4

Pada penelitian ini digunakan dua skala, yaitu skala kecerdasan emosional dan skala perilaku kerja kontraproduktif. Skala dari masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Skala Kecerdasan Emosional

Skala kecerdasan emosional disusun berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman, yaitu:

a. Kesadaran diri (Self Awareness) b. Pengelolaan emosi (Self Control)


(60)

c. Motivasi diri (Self Motivation) d. Empati (Emphaty)

e. Menjalin hubungan (Social Skill)

Kelima aspek tersebut menjadi dasar dalam penyusunan skala kecerdasan emosional yang disusun oleh peneliti dengan jumlah total 60 item pernyataan.

Tabel 2.

Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba Aspek Item Total Prosentase Kecerdasan Emosi Favorabel Unfavorabel Item

Kesadaran Diri 6 6 12 20% Pengelolan Emosi 6 6 12 20% Motivasi Diri 6 6 12 20% Empati 6 6 12 20% Menjalin Hubungan 6 6 12 20% Total Item 30 30 60 100%

2. Skala Perilaku Kerja Kontraproduktif

Skala perilaku kerja kontraproduktif disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Robinson dan Bennet, yaitu:

a. Dimensi Organisasional : penyimpangan properti (property

deviance) dan penyimpangan produksi (production

deviance)

b. Dimensi Interpersonal : Penyimpangan Politik (political


(61)

Dimensi-dimensi tersebut menjadi dasar dalam penyusunan skala perilaku kerja kontraproduktif yang disusun oleh peneliti dengan jumlah total 24 item pernyataan.

Tabel 3.

Distribusi Item Perilaku Kerja Kontraproduktif Sebelum Uji Coba Aspek Item Total Prosentase CWB Favorabel Unfavorabel Item

Penyimpangan 3 3 6 25% Properti

Penyimpangan 3 3 6 25% Produksi

Penyimpangan 3 3 6 25% Politik

Agresi Individu 3 3 6 25% Total Item 12 12 24 100%

F. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas merupakan ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi dari pengukuran tersebut. Setiap alat ukur memiliki tujuan pengukuran yang berbeda-beda. Maka sebuah alat ukur biasanya hanya dikatakan valid untuk mengukur satu ubahan yang spesifik. Suatu alat ukur dikatakan memiliki validitas tinggi apabila alat ukur tersebut dapat memberikan hasil sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut dan sebaliknya (Azwar, 2011).


(62)

Untuk mengetahui apakah skala tersebut memiliki data yang akurat dan sesuai dengan tujuan ukurnya, maka diperlukan proses pengujian validitas (Azwar, 2013). Salah satu jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Relevansi item dengan indikator perilaku dan dengan tujuan ukur dapat dievaluasi lewat nalar dan akal sehat yang mampu menilai apakah isi skala ini benar-benar mendukung konstrak teoritik yang diukur (Azwar, 2013). Validitas isi dari skala ini diselidiki melalui analisis rasional terhadap isi tes atau melalui profesional judgement. Analisis rasional atau profesional

judgement dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkonsultasikan

item-item tersebut kepada ahli yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana item-item dalam alat ukur ini mencakup keseluruhan isi objek yang hendak diukur (Azwar, 2011).

2. Seleksi Item

Seleksi aitem dilakukan dengan parameter daya diskriminasi item. Diskriminasi item adalah kemampuan item dalam membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2009). Seleksi item dilakukan dengan uji coba (try out) skala penelitian dan kemudian menghitung korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala dengan program SPPSS for Windows versi 16.0 yang manghasilkan koefisien korelasi item total (rix) (Azwar, 2009). Kriteria pemilihan item


(63)

berdasarkan korelasi item total menggunakan batasan rix ≥ 0,3. Jika

jumlah item yang lolos masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka batasan tersebut dapat dipertimbangkan untuk diturunkan menjadi rix ≥ 0,25 (Azwar, 2009).

Uji coba (try out) dilakukan pada tanggal 10 Desember 2015 – 5 Januari 2016. Peneliti menggunakan 50 subjek untuk mengisi skala. Subjek yang terlibat dalam uji coba merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah Bantul. Berikut ini merupakan hasil seleksi item kedua variabel.

a. Skala Kecerdasan Emosional

Pada skala kecerdasan emosional didapatkan beberapa item yang gugur dengan koefisien korelasi > 0,30 sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.

Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional Setelah Seleksi Item Aspek Favorabel Unfavorabel Total Item

Penelitian Kemampuan (1),11, (21), 6, 16 ,26 , 8 mengenali emosi 31, 41, 51* 36*, 46, 56

Kemampuan 7, 17, 27, 2*, 12*, 22*, 8 mengelola emosi 37,47, 57 32, 42*, 52

Kemampuan 3*, 13, 23, 8*, 18, 28*, 8 memotivasi diri 33, 43, 53* 38, 48, 58 Kemampuan 9, 19, 29*, 4*, 14, 24, 8 berempati 39, 49*, 59 34, 44, (54)

Kemampuan 5, 15*, 25, 10*, (20), 30, 8 membina hubungan 35, 45, 55 40, 50, 60*


(64)

Total item 22 18 40 Keterangan : * : item yang gugur ( ) : item yang digugurkan

Berdasarkan hasil seleksi item dari 60 item skala kecerdasan emosional terdapat 44 item valid dan 16 item gugur. Item pada setiap aspek diselaraskan menjadi 8 item sehingga total item yang digugurkan adalah 4 item. Item pada skala kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 40 item. Pengguguran manual dilakukan dengan cara memilih item yang memiliki nilai koefisien korelasi total yang paling kecil diantara item lainnya dalam satu aspek yang sama. Item yang memiliki nilai koefisien korelasi total yang paling kecil tersebut dinyatakan gugur dan tidak diikutsertakan dalam skala kecerdasan emosional.

b. Skala Perilaku Kerja Kontraproduktif

Pada skala perilaku kerja kontraproduktif didapatkan beberapa item yang gugur dengan koefisien korelasi > 0,25 sehingga didapatkan hasil sebagai berikut:


(65)

Tabel 5.

Distribusi Item Skala Perilaku Kerja Kontraproduktif Setelah Seleksi Item

Aspek Favorabel Unfavorabel Total Item penelitian Penyimpangan 8, 9*, (13) 1*, 20, 24 3 properti

Penyimpangan (2), 19, (21) 7, (10), 14 3 produksi

Penyimpangan 6, 11*, 15* 3, 18, 22* 3 politik

Agresi 4, 17, 23* (5), 12*, 16 3

Total 5 7 12

Keterangan :

* : item yang gugur ( ) : item yang digugurkan

Berdasarkan hasil seleksi item dari 24 item skala perilaku kerja kontraproduktif, terdapat 17 item valid dan 7 item yang gugur. Untuk menjaga komposisi, maka dilakukan pengguguran manual. Pengguguran manual dilakukan dengan cara memilih item yang memiliki nilai koefisien korelasi total yang paling kecil diantara item lainnya dalam satu aspek yang sama. Item yang memiliki nilai koefisien korelasi total yang paling kecil tersebut dinyatakan gugur. Item pada setiap aspek kemudian diselaraskan menjadi 3 item, sehingga total item yang sengaja digugurkan adalah 5 item. Item yang digunakan dalam skala perilaku kerja kontraproduktif berjumlah 12 item.


(66)

3. Reliabilitas

Reliabilitas mengandung arti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran yang dapat dipercaya akan memperoleh hasil yang konsisten jika digunakan beberapa kali terhadap kelompok subjek yang sama. Sedangkan pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi lebih dikarenakan error of

measurement. Pengukuran yang tidak reliabel akan memperoleh hasil

yang tidak konsisten dari waktu ke waktu (Azwar, 2011).

Reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik analisis Alpha

Cronbach. Teknik ini memiliki nilai praktis dan efisiensi yang tinggi,

karena hanya satu kali percobaan pada satu kelompok subjek (Azwar, 2013). Koefisien reliabilitas menunjukkan nilai < 0,6 maka reliabilitas dikatakan kurang baik. Koefisien reliabilitas dapat diterima jika bernilai 0,6 – 0,8. Sedangkan reliabilitas yang paling baik jika koefisien bernilai > 0,8.

a. Skala Kecerdasan Emosional

Koefisien Cronbach’s Alpha skala kecerdasan emosional

setelah seleksi aitem dilakukan melalui SPSS for Windows versi 16.0 menghasilkan α = 0,961. Hal tersebut menunjukkan bahwa item pengukuran pada skala kecerdasan emosional tergolong reliabel.


(67)

b. Skala Perilaku Kerjakontraproduktif

Koefisien Cronbach’s Alpha skala perilaku kerja

kontraproduktif setelah seleksi aiem dilakukan melalui SPSS

for Windows versi 16.0 menghasilkan α = 0,859. Hal tersebut

menunjukkan bahwa item pengukuran pada skala perilaku kerja kontraproduktif tergolong reliabel.

G. Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Uji normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normalitas data atau sebaran data penelitian yang dilakukan (Noor, 2013). Uji normalitas dilakukan dengan teknik Kolmogorov-Smirnov SPSS for

Windows vers 16.0. Normalitas dipenuhi jika hasil uji signifikan

untuk suatu taraf signifikan 0,05. Jika signifikan (p) yang diperoleh lebih besar dari 0,05, maka data tersebut dikatakan terdistribusi secara normal dan jika signifikan (p) kurang dari 0,05 maka data terdistribusi secara tidak normal.

b. Uji linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengatahui pengaruh satu variabel terhadap variabel lain dan mengetahui pola hubungan linear (Noor, 2013). Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan


(68)

Data dikatakan linear apabila kedua variabel yang diteliti memiliki signifikan kurang dari 0,05 (p<0,05)

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan perilaku kerjakontraproduktif pegawai negeri sipil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment pada SPSS

for Windows versi 16.0 jika data terdistribusi dengan normal. Jika

dalam uji asumsi, data tidak berdistribusi normal, maka peneliti akan menggunakan uji hipotesis korelasi Spearman (Sutrisno, 2004). Apabila koefisien korelasi memiliki taraf signifikansi p < 0,05 maka terdapat korelasi yang signifikan.


(69)

48 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 sampai dengan 23 Januari 2016. Peneliti melakukan pengambilan data ke beberapa daerah yang sudah ditentukan berdasarkan pemetaan yang di buat oleh peneliti. Peneliti membagi atau memetakan Kabupaten Bantul menjadi 3 wilayah, yaitu; wilayah A (Bantul Selatan), wilayah B (Bantul Tengah, dan wilayah C (Bantul Utara). Disetiap wilayah atau daerah, peneliti mengunjungi instansi pemerintah dan beberapa sekolah untuk menitipkan skala agar dibagikan dan akan peneliti ambil pada waktu yang sudah disepakati bersama. Secara keseluruhan peneliti membagikan 300 lembar skala penelitian. Dari jumlah tersebut, skala yang kembali dan dapat dianalisis berjumlah 246 lembar skala. Tidak kembalinya skala penelitian yang berjumlah 54 lembar dikarenakan beberapa alasan, antara lain; lupa mengisi, tertinggal di rumah, hilang, dan subjek membutuhkan waktu lama untuk mengisi sehingga peneliti memutuskan untuk tidak menunggu dan mengambil skala penelitian tersebut.


(1)

ANOVA Table

Sum

of Squares

df

Mean

Square

F

Sig.

CWB *

K.E

Between Groups (Combined)

1671.728

47

35.569

3.877

.000

Linearity

1129.938

1 1129.938 123.151

.000

Deviation from

Linearity

541.790

46

11.778

1.284

.125

Within Groups

1816.699

198

9.175


(2)

109

LAMPIRAN 7


(3)

Correlations

K.E

CWB

Spearman's rho K.E

Correlation Coefficient

1.000

-.534

**

Sig. (1-tailed)

.

.000

N

246

246

CWB Correlation Coefficient

-.534

**

1.000

Sig. (1-tailed)

.000

.

N

246

246

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Korelasi Antara Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku

Kerja Kontraproduktif

Correlations

Kesadaran

diri Kontrol diri motivasi empati Social skill CWB Spearma

n's rho

Kesadaran diri

Correlation Coefficient 1.000 .407** .649** .472** .582** -.444’’

Sig. (1-tailed) . .000 .000 .000 .000 .000

N 246 246 246 246 246 246

Kontrol diri Correlation Coefficient .407** 1.000 .384** .412** .432** -.316**

Sig. (1-tailed) .000 . .000 .000 .000 .000

N 246 246 246 246 246 246

Motivasi Correlation Coefficient .649** .384** 1.000 .451** .506** -.462**

Sig. (1-tailed) .000 .000 . .000 .000 .000

N 246 246 246 246 246 246

Empati Correlation Coefficient .472** .412** .451** 1.000 .364** -.446**

Sig. (1-tailed) .000 .000 .000 . .000 .000

N 246 246 246 246 246 246

Social skill Correlation Coefficient .582** .432** .506** .364** 1.000 -.354**

Sig. (1-tailed) .000 .000 .000 .000 . .000

N 246 246 246 246 246 246

CWB Correlation Coefficient -.444** -.316** -.462** -.446** -.354** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .

N 246 246 246 246 246 246

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).


(4)

(5)

(6)