PENDAHULUAN Stereotipe Terhadap Institusi Kepolisian Dalam Media (Analisis Semiotik Simbol-Simbol dan Pemaknaan Stereotipe Terhadap Institusi Kepolisian yang Direpresentasikan Oleh Sampul Depan Majalah Tempo Tahun 2010).

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia, secara normatif konstitusional, adalah negara berdasarkan hukum, atau yang sering juga disebut sebagai negara hukum. Di tengah-tengah itu polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karena badan tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan (Rahardjo, 2007: xxv). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, menangkap orang yang melanggar undang-undang. Pada hakekatnya tugas pokok polri adalah menegakkan hukum dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat atau Kamtibnas (Kunarto, 1997: 111).

Institusi berlambang Tri Brata ini belakangan memang terus diuji citranya akibat diterpa berbagai persoalan yang terus bermunculan seperti tidak ada habisnya. Belum tuntas satu kasus, muncul kasus baru. Apalagi di era kesenjangan ini membuat segalanya sangat transparan dan menjadikan rakyat sangat kritis dan berani melawan kemapanan semu. Bila diarifi beragam fenomena kerakyatan menuntut kasus Marsinah, kasus Udin, kasus Priok dan kasus-kasus lain yang memiliki derajad keseriusan sangat tinggi justru tidak terungkap. Masyarakat juga memprediksi kasus Andi Arif, sebagai contoh


(2)

loyalitas Polri terhadap kekuasaan tertentu secara hierarki komando. Kasus Trisakti dipertanyakan kalangan intelektual sebagai rekayasa pengalihan perhatian aksi reformasi dengan mengorbankan Polri (Tabah, 1998: 2).

Selanjutnya dari kajian di Indonesian Police Watch (IPW) yang mengungkapkan tentang terjadinya aksi pungli atau pungutan liar, pemerasan, suap-menyuap di lembaga kepolisian. Dari kasus tersebut justru yang paling mengerikan terjadi di lembaga pendidikan kepolisian. Kejahatan tersebut telah meracuni dunia kepolisian dari tingkat bawah hingga atas (Suwarni, 2009: 2).

Contoh lebih aktual di tahun 2010 kasus kepolisian yang ramai diperbincangkan adalah adanya Markus atau makelar kasus di tubuh Polri. Dalam situs berita online berita.liputan6.com tanggal 22 Maret 2010 diceritakan bahwa kasus bermula saat mantan Kabareskrim Komjen Polisi Susno Duadji yang terang-terangan membuka aib institusinya sendiri dengan mengungkap adanya jenderal yang berperan sebagai makelar kasus di Institusi Kepolisian. Adanya jenderal Markus tersebut dikaitkan dengan kasus korupsi dan pencucian uang senilai Rp. 25 miliar dengan tersangka pegawai pajak Gayus T. Tambunan. Diduga, kasus ini sempat ditutup akibat ulah dari jenderal Markus. Persoalan yang menimpa kepolisian ini berbuntut panjang hingga tudingan Susno ini membuat Brigjen Radja Erizman dan Brigjen Edmon Ilyas merasa dirugikan dan merekapun akhirnya saling menjatuhkan (http://berita. liputan6.com, 24/4/2011).

Kasus lain yang tidak kalah menghebohkan adalah persoalan rekening gendut sejumlah perwira di lembaga Kepolisian Republik Indonesia,


(3)

tampaknya, belum mendapatkan jawaban pasti. Hal ini disebabkan pengumuman hasil penyelidikan terhadap rekening yang mengundang kecurigaan publik itu tidak memuaskan. Dari 23 rekening yang mencurigakan, 17 diantaranya dianggap wajar. Polisi pun tidak berani menyebutkan nama serta inisial pemiliknya. Alasannya, jika hasil penyelidikan itu dibeberkan secara detail, maka justru pihak kepolisian telah melanggar undang-undang (majalah.tempointeraktif. com, 24/4/2011). Kasus tersebut menambah daftar panjang kasus di tubuh Polri.

Gambaran-gambaran citra negatif Institusi Kepolisian tersebut akan membentuk stereotipe tertentu di masyarakat. Stereotipe merupakan bentuk kontroversial pengelompokan karakterisasi. Stereotipe mendorong pembacaan karakter dari sudut pandang nilai baku, yang ditentukan sebelumnya oleh konvensi sosial. Perepresentasian identitas sosial dari sudut pandang stereotipe merupakan praktik yang sangat umum dalam media. Penstereotipean sebuah mediasi yang menerjemahkan kompleksitas karakter individu kedalam sejumlah pengkhasan (distinctions) sederhana yang didefinisikan secara sosial (Thwaites, Davis dan Mules, 2002: 227). Sedangkan menurut Jhonson dalam Liliweri (2005: 208) mengemukakan, stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Keyakinan itu membuat orang untuk memperkirakan perbedaan antar kelompok yang mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah sebagai ciri khas individu atau kelompok sasaran.


(4)

Menurut Sarlito W. Sarwono dan Eko A Meinarno (2009:226), stereotipe adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, sehingga stereotipe merupakan faktor penyebab adanya prasangka dan diskriminasi. Prasangka sendiri adalah suatu penilaian terhadap suatu kelompok atau individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu, pengamat menilai orang lain tidak berdasarkan kategori sosial atau kategori rasial mereka dan tidak berdasarkan informasi atau fakta tentang diri mereka sebagai individu (Sears, Freedman dan Peplau, 1994: 149).

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lepore & Brown (dalam Baron dan Byrne, 2006), bahwa stereotipe berhubungan dengan prasangka, yaitu prasangka mengaktifkan stereotipe dan stereotipe menguatkan prasangka. Faktor penyebab yang mempengaruhi prasangka sendiri adalah pertama, sikap etnosentrisme yang cenderung menganggap baik kelompok sendiri dan menganggap buruk kelompok luar. Kedua, adanya kenyataan sederhana bahwa setiap hari seseorang selalu melakukan penilaian terhadap orang yang tidak dikenal. Ketiga, berdasarkan pengalaman tentang beberapa individu dari kelompok lain, seseorang bisa membuat generalisasi mengenai kelompok itu. Keempat, seseorang cenderung menentukan stereotipe yang menunjang anggapan tentang bagaimana seharusnya hubungan dan hak-hak istimewa dari kelompok-kelompok yang berbeda. Terakhir, seseorang cenderung melakukan prasangka terhadap orang yang bersaing dengannya (Horton dan Hunt, 1992, 65).


(5)

Berikutnya, stereotipe merupakan faktor penyebab adanya diskriminasi. Stereotipe secara umum diartikan pelabelan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu. Akibat dari stereotipe ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan (Nugroho, 2008: 12). Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpanan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau pengunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya (Rumadi, 2006: 270).

Dari data-data di atas, stereotipe dapat dikaitkan dari tingkatan penyebab munculnya penilaian stereotipe terhadap Institusi Kepolisian yaitu pertama, karakteristik prilaku individu polisi sendiri. Berbagai contoh prilaku individu polisi yang menyimpang dari sosok polisi yang seharusnya seperti yang diutarakan di awal-awal paragraf adanya pengunaan kekerasan seorang polisi dalam penyelidikan, persekongkolan polisi dengan penjahat dalam kasus kasus kriminal, seorang polisi yang melakukan pungutan liar, seorang polisi yang melakukan korupsi dan beberapa prilaku polisi yang tidak menunjukan mentalitas sebagai aparat dan penegak hukum.

Kedua, peran kepolisian dalam masyarakat. Polisi pada dasarnya memiliki peran sebagai pengayom masyarakat sekaligus menjaga ketertiban masyarakat


(6)

(Kamtibmas). Meskipun begitu berat peran yang diemban polisi, tapi citra polisi dimata masyarakat belum dapat disebut menggembirakan. Acapkali terdengar nada-nada sumbang yang di alamatkan kepada polisi, bahkan citra tersebut telah mengkristal membentuk stigma yang cenderung miror. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kredibilitas Institusi Kepolisian, disamping merugikan masyarakat sendiri dalam rangka menciptakan keamanan dan ketentraman (Tabah, 1998: 137). Dalam filsafat liberal, polisi menjadi tokoh antagonis, yaitu yang ditakdirkan untuk berhadapan dan “bermusuhan” dengan rakyat. Polisi sudah menjadi simbol kekuasaan publik dan karena itu “jahat”. Sebutan yang paling simpatik yang masih tersisa bagi polisi adalah sebagai “penjaga status quo”, yaitu aparat yang menjaga agar kondisi hukum yang ada dipertahankan (Rahardjo, 2007: 198).

Salah satu jenis media massa yang mengkontruksi realitas tentang Institusi Kepolisian adalah sampul majalah Tempo. Sampul sendiri menurut George Gerbner (1958) sampul majalah yaitu identitas perusahaan dan penghimpun isi pemberitaan yang memegang peran utama dalam memasarkan sebuah majalah yang bertujuan untuk membentuk karakter budayanya. George Gerbner menyatakan salut pada majalah percintaan, desain dan isi sampulnya menggambarkan syarat yang harus dipenuhi dan bagaimana hubungan pasar dengan majalah itu (Baehr dan Gray, 1997 : 97).

Majalah Tempo dipilih oleh peneliti sebagai objek peneliti karena selama tahun 2010 banyak menyajikan berita utama bertemakan kepolisian. Selain itu majalah Tempo saat memberitakan Institusi Kepolisian berusaha


(7)

mengkontruksi realitas dalam masyarakat menjadi realitas media. Sebanyak sembilan edisi dari lima puluh dua edisi atau sekitar 17% yang bergambar sampul depan tentang Institusi Kepolisian. Sehingga perhatian majalah Tempo tentang Kepolisian pada waktu itu cukup tinggi. Berikut adalah tabel kesembilan sampul Tempo yang mengulas tentang Institusi Kepolisian.

Tabel 1.1

Sampul majalah Tempo yang merepresentasikan tentang Institusi Kepolisian selama periode 2010

No. Edisi Tanggal terbit Gambar Sampul

1. 05/39 29 Maret 2010


(8)

3. 07/30 12 April 2010

4. 08/39 19 April 2010

5. 10/39 03 Mei 2010


(9)

7. 21/39 19 Juli 2010

8. 26/39 23 Agustus 2010

9. 33/39 11 Oktober 2010

Peneliti memilih sampul majalah Tempo karena secara umum majalah ini sendiri banyak menuai kritikan karena gambar sampulnya yang terlalu berani. Seperti sampul majalah Tempo edisi 18/39, saat itu Polri mengajukan protes atas sampul majalah Tempo yang menggambarkan pria berseragam polisi tengah menggiring celengan babi. Polri menilai gambar itu tidak beretika. "Ketika ada gambar polisi yang menggiring celengan babi rasanya etikanya kurang. Mungkin siapapun akan risih melihat itu," kata Wakadiv Humas


(10)

Mabes Polri Brigjen Pol Zainuri Lubis di Mabes Polri, Jl Trunojoyo. Zainuri menilai, Tempo tidak memakai bahasa etik yang tepat, tidak memakai kedewasaan dan pertimbangan pikiran, dan kelihatannya cenderung emosional (www.detiknews.com, 27/09/2011).

Selain itu jauh hari, masih ada sampul yang mengalami kecaman habis-habisan oleh orang Kristen (tidak semua) atas covernya yang dianggap sensasional. Cover edisi 4-10 Februari 2008 itu sendiri diakui oleh perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci “The Last Supper”, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridNya sebelum Dia disalibkan. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan The Last Supper (rumametmet.com, 07/02/12).

Dalam dunia jurnalistik, majalah Tempo telah menjelma menjadi barometer majalah berita di Indonesia. Simbol kebebasan berekspresi ini menyajikan porsi berita baik berskala regional maupun internasional dalam bentuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, seni dan olahraga. “Dalam hal bahasa, Tempo memainkan peranan yang unik. Tempo menggunakan kata-kata yang biasanya dipakai untuk sajak, tanpa terasa berat atau sok pintar. Cara ini terasa segar dan belum pernah dipakai oleh majalah atau koran Indonesia lainnya” (Janet Steele, 2007:62).

Dalam ilmu komunikasi, peneliti memilih objek penelitian ini karena fenomena tentang Kepolisian yang direpresentasikan oleh majalah Tempo


(11)

sangat menarik. penelitian sampul majalah Tempo akan lebih difokuskan pada pesan sebagai elemen komunikasi. Dalam studi pesan sampul majalah Tempo tidak semata-mata berfungsi sebagai daya tarik penjualan. Ilustrasi dalam sampul tersebut membawa pesan-pesan secara simbolik, baik secara aspek visual ataupun aspek verbal untuk dikomunikasikan ke pembaca.

Ketepatan komunikasi menunjukkan kepada kemampuan orang untuk mereproduksi atau menciptakan suatu pesan dengan tepat. Dalam komunikasi, istilah ketepatan digunakan untuk menguraikan tingkat persesuaian diantara pesan yang diciptakan oleh komunikator dan reproduksi dari komunikan mengenai pesan tersebut, atau dengan kata lain tingkat penyesuaian arti pesan yang dimaksudkan oleh komunikator sama dengan arti yang diinterpretasi oleh komunikan. Kekurangan ketepanan atau perbedaan arti diantara yang dimaksudkan oleh komunikator dengan interpretasi komunikan dinamakan distorsi. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa informasi dan arti pesan berubah dari apa yang dimaksudkan, ketika pesan itu melewati individu-individu dalam jaringan komunikasi. Proses komunikasi kebawah, keatas, horizontal dan berbagai arah ada yang terjadi dengan cara yang simultan, secara seri atau berantai. Pesan yang didistribusikan dengan cara yang simultan mudah kena perubahan dan distorsikan bila dibandingkan dengan komunikasi interpersonal (Muhammad, 2007: 206-207).

Dengan demikian perlu untuk dikaji secara mendalam agar dapat menelaah makna pesan dibalik kata-kata dan gambar visual di dalam sampul majalah Tempo. Maka dari itu, diperlukan kajian tentang pesan untuk


(12)

menggalinya. Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika (Fiske, 2010: 60). Semiotika dari Charles Sanders Pierce merupakan analisis yang tepat sebagai alternatif untuk mengungkapkan pesan yang direpresentasikan sampul depan majalah Tempo, karena ilustrasi pesan berupa visual seperti gambar kartun, foto dan karikatur yang mana merupakan paduan kompleks dari ikon, indeks dan simbol, selain itu Charles Sanders Pierce lebih menekankan pada cara tanda dikaitkan dengan objeknya. Dari interpretasi tersebut, maka dapat diungkapkan muatan pesan yang terkandung dalam ilustrasi sampul depan majalah Tempo selama 2010 tentang konstruksi realitas Institusi Kepolisian di mata majalah Tempo.

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang diatas tersebut maka secara umum penelitian ini ingin melihat bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan tentang stereotipe terhadap Institusi Kepolisian yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010. Secara khusus lebih jauh penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe tentang karakteristik individu polisi yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010?

2. Bagaimana simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe tentang peran polisi yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010?


(13)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe berdasarkan karakteristik individu polisi yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010.

2. Mengetahui simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe tentang peran polisi yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi majalah Tempo

Sebagai acuan bahwasanya setiap simbol-simbol pesan yang dibawa sampul majalah Tempo tidak semuanya dapat diterima oleh khalayak karena sifat penyampaiannya yang satu arah sehingga dapat menimbulkan distorsi pesan.

2. Bagi Institusi Kepolisian

Sebagai acuan bahwasanya saat ini media-media seperti sampul majalah Tempo sering mengkonstruksi berita-berita tentang Institusi Kepolisian. 3. Bagi masyarakat

Masyarakat secara umum, dapat memberikan pengetahuan mengenai simbol-simbol sosial yang direpresentasikan sampul majalah Tempo, sehingga masyarakat akan jeli dalam menyimak isi pesan sebenarnya dari sampul majalah tersebut. Diharapkan masyarakat untuk tidak melihat media yang memberitakan Institusi Kepolisian dari satu sisi saja. Masyarakat tidak punya gambaran asli tentang polri .


(14)

4. Bagi Program Studi

Memberikan sumbangan pemikiran atau referensi penelitian yang dapat digunakan sebagai referensi semua pihak baik dosen maupun mahasiswa akan perkembangan penelitian dalam Ilmu Komunikasi khususnya penelitian yang menggunakan analisis semiotika.

5. Bagi Peneliti

Memberikan pengetahuan bahwa sampul majalah ternyata mempunyai pesan yang terkandung di balik pesan visual dan verbalnya.

E. Kajian Teori

1. Definisi Komunikasi

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa perlu berkomunikasi. Oleh sebab itu, menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, “komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas” (Cangara, 2006:1). Sepanjang manusia hidup, ia perlu berkomunikasi. Komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia untuk berhubungan dengan sesamanya.

Dedy Mulyana (2005:41) menuturkan bahwa istilah “komunikasi” atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communicatio


(15)

dan berasal dari kata communis yang berarti “sama”. Sama di sini diartikan sebagai sama makna.

Para ahli mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang mereka masing-masing. Karena dalam sejarah ilmu komunikasi itu dikembangkan dari ilmuwan yang berasal dari berbagai disiplin. “Sarah Trenholm dan Arthur Jensen mendefisikan komunikasi adalah: “A process by which a source transmits a message to a reciever through some channel” (komunikasi adalah suatu proses di mana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran)” (Wiryanto, 2006:6).

Stoner dan Wankel komunikasi adalah: “Communication as the process by which people attempt to share meaning via the transmission of symbolic messages (Komunikasi sebagai proses dengan mana orang-orang berusaha memberikan pengertian melalui penyampaian pesanpesan berupa lambang)” (Moekijat, 1993:2). Raymond S. Ross mendefinisikan “komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator” (Wiryanto, 2006:6).

Bernard Berelson dan Gary A. Steiner “komunikasi adalah “transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol⎯kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya” (Mulyana, 2005:62).


(16)

Secara umum komunikasi didefinisikan sebagai proses pengiriman pesan secara disengaja atau kebetulan antara orang pertama dengan orang lain (Gamble dan Gamble, 2005:7). Menurut Mulyana (2005: 68), komunikasi adalah suatu proses yang dinamis yang secara sinambungan mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan.

Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat (Cangara, 2006:1). Harold D. Laswell dalam Cangara menuturkan tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab manusia perlu berkomunikasi, pertama, adalah hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara, dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Kedua, upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Ketiga, upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya pun dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan (Cangara, 2006:2).


(17)

Dari situ komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat (Cangara, 2006:3). Jadi pada dasarnya komunikasi merupakan suatu proses yang tertanam dalam kehidupan kita sehari-hari yang menginformasikan cara kita dalam menerima, memahami, dan mengkonstruksi pandangan kita tentang realitas dan dunia.

2. Mazhab Komunikasi

Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. Kedua mazdab itu adalah komunikasi sebagai proses transmisi pesan dan komunikasi sebagai pembangkitan makna.

a. Komunikasi sebagai Proses Transmisi Pesan

Menurut Onong Uchjana Efendy dalam Jamaludin (2010: 9), komunikasi sebagai proses adalah proses di mana seseorang individu (komunikator) mengoperkan perangsang (biasanya berupa lambang bahasa) untuk merubah tingkah laku individu-individu yang lain. Sedangkan menurut Cangara (2006: 49), suatu proses kegiatan yang berlangsung secara dinamis.

Menurut John Fiske (2010: 9), model kerja proses ini dititkberatkan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi


(18)

pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab ini tertarik dengan dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi.

Cara pandang komunikasi sebagai suatu proses ini melihat seorang pribadi memengaruhi perilaku atau state of mind pribadi lain. Melihat dari sisi lain, kecenderungan komunikasi sebagai proses berbicara tentang kegagalan komunikasi. Dalam mazhab ini pula, melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Jadi mazhab pertama ini mempercayai bahwa tujuan merupakan suatu faktor krusial dalam memutuskan apa yang membentuk pesan (Fiske, 2010:9). Berikut adalah gambar dari komunikasi sebagai proses.

Skema 1.1

Model Proses Komunikasi Shannon dan Weaver

(Sumber: Fiske, 2010:14)

b. Komunikasi sebagai Pembangkitan Makna

Menurut Fiske dalam model komunikasi sebagai pembangkitan makna, mencoba untuk mengakrabkan dengan sejumlah istilah baru. Seperti halnya tanda, pertandaan, ikon, indeks, denotasi, konotasi yang


(19)

semuanya mengacu pada berbagai cara menciptakan makna. Model ini tidak mengandung anak panah yang menunjukan arus pesan. Model ini adalah model struktural dan setiap anak panah menunjukan relasi di antara unsur-unsur dalam penciptaan makna. Model struktural ini tidak mengasumsikan adanya serangkaian tahapan atau langkah yang dilalui pesan. Melainkan, lebih memusatkan perhatiannya pada analisis serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan sebuah pesan menandai sesuatu.

Dengan kata lain, model ini memusatkan perhatian pada apa yang membuat tulisan di atas kertas atau suara di udara menjadi pesan. Studi komunikasi dalam hal ini menekankan pada studi tentang teks dan kebudayaan. Di mana studi ini tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi. Hal itu, mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Maka dari itu, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Untuk mengkaji hal ini, metode utamanya adalah semiotika (Fiske, 2010:59-60).

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya lebih memfokuskan pada model komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning). Sebab penelitian ini menitikberatkan kepada makna yang dibuat oleh pembacanya.


(20)

3. Elemen Komunikasi

Sebagaimana diketahui bahwa semua interaksi dalam komunikasi mempunyai berbagai elemen untuk mendukung terjadinya proses komunikasi. Sebagaimana juga diutarakan oleh Onong Uchjana Effendy, seluruh interaksi dalam komunikasi mempunyai berbagai elemen di dalamnya. Di antaranya:

a. Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah kelompok.

b. Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran kedalam bentuk lambang.

c. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

d. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.

e. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

f. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi atau efek pada komunikan setelah diterpa pesan.

g. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tercapaikannya pesan dari komunikator.

h. Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya (Uchjana, 2001: 18-19).


(21)

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya akan lebih difokuskan pada sisi pesan atau message sebagai elemen komunikasi. Sebab kajian yang akan dilakukan adalah kajian tentang pesan. Menurut Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss (2009: 80) pesan adalah teks atau seperangkat tanda yang terorganisir dan memiliki makna dalam komunikasi. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Cangara (2006: 23), pesan merupakan sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Menengok dari sisi lain, pesan dibangun lebih dari sekedar menyampaikan informasi, melainkan pesan memberitahukan kepada orang lain tentang diri sendiri, masa lalu, kebudayaan, dan harapan (Litlejohn dan Foss, 2009:204).

Littlejohn menguraikan bahwa teori pembuatan pesan (message production) dan penerimaan pesan (message reception) menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis, yaitu:

a. Trait explanations

Tipe ini lebih memfokuskan pada pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik berasosiasi dengan sifat-sifat variabel lain, memfokuskan pada hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis pesan-pesan tertentu. Teori-teori ini memprediksikan bahwa ketika seseorang memiliki sifat-sifat personalitas tertentu, akan cenderung berkomunikasi dengan cara-cara tertentu pula dalam menyampaikan atau menerima pesan.


(22)

b. Behavioral Explanations

Tipe ini lebih memfokuskan pada sisi perilaku. Bagaimana perilaku berkembang, bagaimana perilaku menentukan dalam berhubungan, merasakan, memikirkan dan mencirikan atau membedakan dengan yang lain.

c. Cognitive Explanation

Tipe ini lebih memfokuskan pada sisi pikiran, yang mana berusaha menangkap mekanisme-mekanisme yang ada dalam pikiran saat informasi diperoleh dan diorganisir. Mekanisme tersebut seperti bagaimana memori dipakai, bagaimana seseorang mencurahkan pikirannya dalam seni, bagaimana pesan didesain untuk menyempurnakan tujuan dan kepentingan yang sama (Littlejohn, 1995:94).

Berdasarkan penelitian data di atas penelitian yang akan dilakukan nantinya lebih berfokus pada penerimaan pesan (message reception) karena sifat dari komunikasi massa pada sisi komunikan sendiri yang heterogen, anonim dan tersebar. Ketepatan komunikasi menunjukkan kepada kemampuan orang untuk mereproduksi atau menciptakan suatu pesan dengan tepat. Dalam komunikasi, istilah ketepatan digunakan untuk menguraikan tingkat persesuaian diantara pesan yang diciptakan oleh komunikator dan reproduksi dari komunikan mengenai pesan tersebut, atau dengan kata lain tingkat penyesuaian arti pesan yang dimaksudkan oleh komunikator sama dengan arti yang diinterpretasi oleh komunikan.


(23)

Kekurangan ketepanan atau perbedaan arti diantara yang dimaksudkan oleh komunikator dengan interpretasi komunikan dinamakan distorsi. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa informasi dan arti pesan berubah dari apa yang di maksudkan, ketika pesan itu melewati individu-individu dalam jaringan komunikasi. Proses komunikasi kebawah, keatas, horizontal dan berbagai arah ada yang terjadi dengan cara yang simultan, secara seri atau berantai. Pesan yang didistribusikan dengan cara yang simultan mudah kena perubahan dan distorsikan bila dibandingkan dengan komunikasi interpersonal (Muhammad, 2007: 206-207).

Menurut Fiske, studi tentang teks dan kebudayaan mempunyai pemahaman atas apa yang membentuk pesan. Studi ini mempunyai pandangan bahwa pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan komunikan menghasilkan makna. Komunikator, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca’. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negoisasi ini terjadi karena komunikan membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Negoisasi juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Maka komunikan dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama (Fiske, 2010:10).


(24)

4. Level Komunikasi

Komunikasi mempunyai berbagai tingkatan, sebagaimana dituturkan oleh Stephen W. Littlejohn secara umum kegiatan atau proses komuikasi kedalam empat tingkatan sebagai berikut:

a. Interpersonal communications

Proses komunikasi yang terjadi secara langsung antara seseorang dengan orang yang lainnya, biasanya bersifat privasi.

b. Group communications

Kegiatan komunikasi yang berlangsung didalam suatu kelompok. Pada tingkatan ini, setiap individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam kelompok. Biasanya dalam keputusan dilakukan secara musyawarah. c. Organizational communications

Komunikasi organisasi mencangkup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi antar organisasi. Perbedaan dengan komunikasi kelompok bahwa sifat organisasi lebih formal dan mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam melakukan kegiatan komunikasi.

d. Mass communications

Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat luas. Biasanya komunikasi ini dilakukan dengan mengunakan media perantara. (Littlejohn, 1995: 14).


(25)

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya berada pada tingkatan komunikasi yang akan dikaji adalah komunikasi pada tingkatan komunikasi massa. Mursito BM dalam Nur Heni Widyastuti (2009: 18) mengatakana bahwa media massa memiliki enam karakteristik khusus yang bersifat umum, pertama, penyampaian pesan ditujukan ke khalayak luas, heterogen, anonim, tersebar, sertatak, serta tidak mengenal batas geografis-kultural. Kedua, bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Ketiga, pola penyampaiannya cenderung berjalan satu arah. Keempat, komunikasi massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir, dengan manajemen modern. Kelima, penyampaian pesan dilakukan secara berkala, tidak bersifat temporer. Keenam, isi pesan yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat informatif, edukatif, maupun hiburan.

Media massa memang secara teoritis memiliki fungsi sebagai informatif, edukatif, maupun hiburan, namun kenyataannya media massa mampu memberikan efek lain. Efek media massa tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun dapat pula mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataan yang lebih jauh dapat mempengaruhi sistem sosial maupun budaya di masyarakat (Indico, 2010: 202).

Nurudin (2007: 2), pada dasarnya komunikasi massa sendiri adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca/pendengar/penonton yang akan coba diraihnya, dan efeknya


(26)

terhadap mereka. Menurut Deddy Mulyana (2005:75), komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Begitu juga dengan pendapat Gerbner dalam Sunarjo dan Sunarjo dalam Jamaludin (2010:15), komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.

Semua tingkatan dalam komunikasi tentunya mempunyai fungsi masing-masing. Begitu juga dengan komunikasi massa yang mempunyai fungsi. Menurut Dominick, fungsi komunikasi massa adalah:

a. Pengawasan

Pada fungsi media yang satu ini mungkin lebih jelas atau nyata. Pengawasan merujuk pada peraturan yang lebih cenderung pada berita dan informasi dari media.

b. Penafsiran (interpretan)

Media massa tidak hanya memberikan fakta-fakta dan data-data. Media juga menyediakan informasi pokok penjelasan dan arti pada moment tersebut.


(27)

c. Hubungan

Media massa dapat bekerjasama dengan elemen-elemen dari masyarakat secara langsung untuk menyambung hubungan komunikasi antarpersonal.

d. Pengiriman Nilai-nilai

Pengiriman nilai-nilai ini merupakan salah satu fungsi komunikasi massa yang paling luas, meskipun paling sedikit dibicarakan. Pengiriman nilai-nilai ini tidak dapat dihindari, karena selalu hadir dalam berbagai bentuk komunikasi yang mempunyai dampak pada penerimaan individu.

e. Hiburan

Dalam fungsi-fungsi media yang menduduki posisi terlaris adalah hiburan. Terutama televisi sebagai hiburan dengan kira-kira tigaperempat dari acara yang disuguhkan oleh media (Dominick dalam Jamaludin, 2010: 15).

Dari fungsi komunikasi di atas sudah barang tentu komunikasi massa menduduki posisi teratas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diungkapkan oleh Nurudin, suatu kenyataan yang tidak bisa terbantahkan dan sangat memengaruhi proses komunikasi dalam masyarakat modern sekarang ini adalah keberadaan media massa (cetak ataupun elektronik). Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi dewasa ini. Bahkan ketergantungan manusia terhadap media sudah sedemikian besar.ketergantungan tinggi pada media massa tersebut akan


(28)

mendudukkan media sebagai alat yang akan ikut membentuk apa dan bagaimana masyarakat (Nurudin, 2007:33). Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini menandakan bahwa komunikasi massa mempunyai andil yang cukup besar dalam membentuk sikap khalayak.

5. Majalah

Berbicara mengenai media yang digunakan dalam komunikasi memang bermacam-macam, namun yang bisa menjangkau khalayak lebih luas adalah media massa, salah satunya majalah. Majalah merupakan salah satu media yang digunakan dalam proses komunikasi massa. Majalah identik dengan suatu media yang dicetak dan dikemas secara khusus dan biasanya tersegmentasi. Klapper mengkarakteristikan majalah dalam 3 aspek meliputi:

a. Majalah lebih beragam dan tersegmentasi; b. Majalah lebih personal penggunaannya;

c. Tema majalah lebih bersifat mendalam, memungkinkan pembacanya untuk menganalisis kembali pesan yang disampaikan (Klapper, 1960:16).

Majalah sendiri mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dari sekedar menyampaikan dan menyebarkan informasi. Karena majalah juga merupakan refleksi dari masyarakat atau keadaan zamannya, maka dari situ pula pembaca diharapkan akan mendapatkan gambaran utuh mengenai segala sesuatu. Menurut Kurniawan Junaedhi, majalah adalah (sebuah) penerbitan berkala yang terbit secara teratur dan sifat isinya tak


(29)

menampilkan pemberitaan atau sari berita, melainkan berupa artikel atau bersifat pembahasan yang menyeluruh dan mendalam (Junaedhie, 1995:xiii)

Melihat dari sejarahnya, majalah mulai dikenal oleh masyarakat luas sekitar tahun 1941 oleh Benjamin Frankin dan Andre Bradford. Mereka berdua menerbitkan dan memperkenalkan majalah pertama di Amerika kala itu. Benjamin Frankin mendirikan General Magazine dan Andre Bradford mendirikan American Magazine. Pada tahun 1821 The Saturday Evening Post menjadi majalah pertama yang menyebar di seluruh penjuru Amerika. Berselang sembilan tahun Louis A. Godey memperkerjakan Sarah Josepha sebagai editor wanita pertama untuk majalah wanita Godeys Lady Book. Majalah pertama yang mengedepankan investigasi jurnalistik adalah McClure’s Magazine yang didirikan oleh Samuel A. McClure pada tahun 1893. Sedangkan majalah pertama yang berisi berita umum adalah majalah Time yang didirikan oleh Henry Luce pada tahun 1923, kemudian disusul terbitnya majalah Fortune, Life, Sports Illustrated, The New Yorkers pada tahun 1925, Ebony dan Jet pada tahun 1945. Pada tahun 1993 majalah mulai merambah ke dunia maya yakni internet. Newsweek adalah majalah yang menerbitkan edisinya melalui internet. Pada tahun 1997 Dennis Publishing, pemilik majalah Rolling Stone meluncurkan majalah Maxim yang sukses dalam satu dekade. Di era tahun 2000 Oprah Winref meluncurkan majalah gaya hidup bernama O (Biagi, 2010: 92).


(30)

Salah satu majalah Indonesia yang terkenal adalah majalah Tempo. Secara visual bila melihat dari segi desain sampul majalah Tempo merupakan bentuk dari komunikasi yang pesan-pesannya ditransfer dan disampaikan melalui desain dalam bentuk tanda-tanda visual untuk mewakili suatu maksud tertentu didalam pesannya. Maksud pesannya terkemas dalam bentuk visual yang sarat akan lambang, tanda, kode, dan makna. Jadi berbagai macam gambaran akan termuat berbagai hal didalamnya dan maknanya-pun tidak dapat disebutkan secara definitif melalui tampilannya. Pada proses ini kultur dan berbagai konvensi masyarakat sangat berpengaruh pada pemahaman pesan.

Desain visual sampul majalah Tempo sebagai bentuk konstruksi tanda, merepresentasikan ide kepada publik.

Sampul majalah sendiri menurut George Gerbner (1958) sampul majalah yaitu identitas perusahaan dan penghimpun isi pemberitaan yang memegang peran utama dalam memasarkan sebuah majalah yang bertujuan untuk membentuk karakter budayanya. George Gerbner menyatakan salut pada majalah percintaan, desain dan isi sampulnya menggambarkan syarat yang harus dipenuhi dan bagaimana hubungan pasar dengan majalah itu. Ellen McCracken menjelaskan bagaimana peran sampul depan majalah ini dalam tulisannya The Cover : window to the future self dalam buku Turning It On, A Reader in Women and Media. Ia menulis bahwa sampul majalah menjadi sebuah nilai tambah serta menjadi iklan yang paling penting yang dilakukan oleh sebuah majalah, karena


(31)

inilah salah satu alat yang bisa membedakan majalah satu dengan yang lain. Gaya dan aliran suatu majalah adalah elemen terpenting dalam memposisikan sebuah majalah dimana majalah tersebut akan menawarkan dan membentuk pembaca melalui sebuah proses pemahaman (Baehr dan Gray, 1997 : 97).

McCracken menjelaskan tentang fungsi dari sampul majalah yaitu untuk membantu apa yang dibangun majalah tersebut dengan melekatkan definisi awal melalui judul majalah, berita utama, dan foto. Kalimat, penekanan, warna, gambar visual dari keindahan yang ideal dan keberhasilan, gambaran tersembunyi dari karya yang dinikmati sampai pada posisi pada isi sebuah majalah. Pembaca tidak harus melihat sebuah isi majalah dari sampulnya, tapi model interpretasi yang diberikan adalah bagian dari simbol yang ada pada sampul yang mempunyai pengaruh yang kuat. Sampul adalah hal yang paling penting dalam pemasaran di dunia majalah, dan melalui perannya sebagai identitas gaya, sistem semiotik, dan kerangka. Hubungan saling mempengaruhi dari fotografi, kata verbal, dan teks yang berwarna dalam tiap sampul majalah menciptakan nilai yang dimuat dalam pengertian kebudayaan tetapi bermaksud untuk menarik meningkatkan penjualan. Sampul majalah menjalankan peran sebagai pengenal aliran, sistem tanda, dan kerangka untuk meraih hasil. Setiap peran yang dimainkan sangat dekat hubungannya dengan struktur komersial dari industri majalah dan akan menjadi berbeda dengan tujuan


(32)

majalah lain yaitu untuk melakukan perubahan (Baehr dan Gray, 1997 : 100).

Desain dari sampul majalah sendiri tidak sekedar menjadi konsumsi desainernya, namun membawa orang-orang “pemakainya atau pembacanya” untuk membentuk makna. Pada desain sampul majalah Tempo, perhatian audiens atas sesuatu (makna dibalik tanda dalam desain) akan terbangun. Pilihan visual, penggunaan kata, dan simbol yang tepat membuat khalayak segera membentuk pemaknaan ataupun mengenali maksud desain sampul tersebut. Pada dasarnya komunikasi merupakan suatu bentuk transfer informasi pesan dari sumber ke penerima. Dalam pertukaran ini dibutuhkan media. Terdapat tiga kategori utama media yakni:

a. Media presentasional; berupa tubuh, wajah, dan suara. Media ini menggunakan bahasa natural untuk kata-kata yang diucapkan, ekspresi, bahasa tubuh, dan seterusnya. Media ini membutuhkan kehadiran komunikator sebagai medium. Media jenis ini dibatasi oleh ruang dan waktu (disini-sekarang) dan menghasilkan tindakan komunikasi.

b. Media representasional; berupa buku, foto, lukisan, tulisan, arsitektur, dekorasi interior, dan lain-lain. Terdapat beberapa media yang menggunakan konvensi-konvensi keindahan dan kebudayaan untuk menciptakan teks dari beberapa jenis. Media ini bersifat representasional dan kreatif. Media jenis ini membuat teks yang dapat


(33)

merekam media dari kategori satu dan dapat eksist secara independent dari komunikator.

c. Media mekanis; yaitu telepon, radio, dan televisi. Media ini adalah transmiter media dari kategori satu dan dua. Perbedaan utama antara kategori dua dan ketiga, bahwa media kategori ketiga menggunakan channel (Fiske, 2010:29-30).

Disini desain sampul majalah Tempo yang kebanyakan berupa karikatur dan foto masuk dalam kategori kedua (representasional), karena dalam desain sampul majalah Tempo tidak dibutuhkan kehadiran komunikator secara langsung. Komunikator ada ketika sampul majalah Tempo tersebut dibuat. Transfer informasi pesan yang dibuat sampul majalah Tempo berupa tanda-tanda yang sarat akan makna.

6. Semiotika

Banyak hal yang dapat dikomunikasikan di dunia ini. Proses komunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan sesamanya yakni melalui perantara tanda-tanda. Karena tanda-tanda (signs) itu sendiri merupakan basis dari seluruh komunikasi. Menurut Littlejohn dan Foss (2009: 80) sejatinya ada beberapa tradisi yang memberikan kontribusi bagaimana pesan itu disusun dan disampaikan serta bagaimana pesan tersebut diartikan, diantaranya melalui semiotika, fenomenologis, sosiopsikologis, dan sosiokultural. Dalam pembahasan ini, akan memfokuskan untuk mengkaji tentang bagaimana pesan dibuat dan pesan dimaknai lewat semiotika.


(34)

“Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan dengan semiotika” (Fiske, 2010:60). Sementara itu, menurut Yasraf Amir Piliang (2003:21) semiotika (semiotics) adalah “ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat”. Sedangkan menurut Riyadi Santoso (2003:1) “Ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan lain sebagainya” adalah semiotika.

Semiotik pada dasarnya lebih merunjuk pada “doktrin formal tentang tanda-tanda” (Sobur, 2004:13). Yang menjadi dasar dari studi ilmu semiotika adalah “konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan dapat menjalin hubungannya dengan realitas” (Sobur, 2004:13).

Semiotik adalah topik baru dan tidak mudah untuk dilakukan, karena didalam teori tersebut terdapat suatu teori yang menjelaskan sebuah filosofi tentang teori logika yang sulit untuk dimengerti. Pada awal kemunculannya, teori semiotika telah diajarkan di sekolah Peirce. Teori semiotika yang diajarkan oleh Peirce, dapat diaplikasikan untuk komunikasi pada skala tim, namun cukup sulit untuk dimengerti karena memilki vocabulary yang rumit. Semiotik sebagai bagian dari desain grafis sejak beberapa abad yang lalu, telah diberikan secara kontiyu sebagai dasar untuk mengkritisi teori sosial, dekonstruksi, dan hubungan interaktif pada humanitas (Storkerson, 2010:2). Jika dilihat secara


(35)

eksplisit, semiotika adalah jantung dari teori desain, yang mana hanya sebagai mesin implicit (subconscious) pada praktek desain grafis (Storkerson, 2010:6).

Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Istilah semiotika atau semiotika itu sendiri, dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce. Charles Sanders Peirce (1839-1914) adalah seorang ahli matematika, ilmu kimia, ilmuan, dan seorang filosofer analisis kurva (Storkerson, 2010:6). Semiotik Charles Sanders Peirce adalah sebuah cara yang digunakan untuk memahami bagaimana memberikan arti, ditinjau dari semua aspek, yang membutuhkan pemikiran (Storkerson, 2010:6). Terutama yang merunjuk pada doktrin formal tentang tanda-tanda. Tanda-tanda adalah “perangkat yang kita pakai dalam upaya memaknai makna yang terkandung didalamnya” (Suprapto, 2006:113). Sehingga dalam semiotika hendak mempelajari bagaimana manusia memaknai hal-hal. “Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda” (Sobur, 2004:15).

Maka, yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, tidak hanya pada bahasa dan sistem komunikasi yang telah tersusun oleh tanda-tanda, melainkan pada dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan


(36)

pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak demikian manusia tidak akan dapat menjalin hubungannya dengan realitas. Dunia semiotika modern memiliki dua tokoh penting, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Sobur, istilah semiotika ini dipopulerkan oleh Charles Sanders Pierce yang berasal dari Amerika. Kendatipun demikian, ada yang menyebutnya sebagai semiologi yang diprakarsai oleh Ferdinand De Saussure dari Prancis. Dari kedua istilah itu, pada dasarnya samasama mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Yang membedakan adalah menunjukan pemikir pemakainya (Sobur, 2005:11).

a. Ferdinand de Saussure

Tokoh semiotika pertama adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli lingustik dari Swiss. Menurut Saussure sistem tanda disebut dengan semiologi, tanda tersebut mempunyai dua entitas yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) (Sudjiman dan Zoest, 1992:42).

Secara implisit tanda dianggap sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia secara disengaja dan bertujuan menyatakan maksud. Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa, sedangkan bahasa merupakan suatu kesatuan sistem tanda yang mampu mengungkapkan ide-ide. Jadi, tanda dapat mengekspresikan ide-ide yang ada pada benak manusia sehingga mampu diterjemahkan atau dimaknai. Tanda menurut Saussure selalu mempunyai tiga wajah, yaitu :


(37)

1) Tanda itu sendiri (sign)

2) Aspek material (entah berupa suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier) Aspek mental atau konseptual yang ditunjuk oleh aspek material (signified). (Sunardi, 2002:48)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental. Lebih jelas berikut peta model semiotika dari Ferdinand de Saussure:

Skema 1.2

Model semiotika Ferdinand de Saussure

(Sumber: Fiske, 2010:66)

Berdasarkan model pemaknaan ini, petanda lebih banyak merupakan produk kultur tertentu seperti halnya juga penanda. Petanda-penanda tersebut merupakan konsep mental yang digunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga bisa memahami realitas tersebut (Fiske, 2010: 66-67).


(38)

Salah satu pengikut Ferdinand de Saussure yaitu Roland Barthes, membuat suatu model sistematis dalam menganalisa tanda-tanda. Kajian Barthes lebih terfokus pada signifikasi dua tahap, yaitu signifikasi tahap pertama(denotasi) dan signifikasi tahap kedua (konotasi). Berikut ini adalah pemaknaan tanda menurut Roland Barthes :

Skema 1.3

Model Peta Tanda Roland Barthes

(Sumber : Cobley & Jansz, 1999: 69).

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa menurut Barthes, tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota kebudayaan. Pada saat yang bersamaan pula, tanda denotatif dapat menjadi penanda konotatif(4). Penanda konotatif yang dihubungkan dengan petanda konotatif (5), akan


(39)

membentuk tanda konotatif (6). Pada signifikasi tingkat dua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004:71).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem signifikasi dari tanda, Barthes dalam jurnal internasional Muslikh Madiyant (2009) yang berjudul SINEMASASTRA: Mencari Bahasa Di DalamTeks Visual mengatakan:

“semiologi have the object of research as any sign system, both in substantial and nonsubstansial form such as images, behaviour, melodius sounds, objects, and the complex substance that can be found in rituals, protocols or


(40)

performance. As a matter of fact, all of that build the marking system”.

Semiologi memiliki objek penelitian berupa sistem tanda apa saja, baik dalam wujud substansial dan nonsubstansial seperti gambar, tindaktanduk, bunyi melodius, benda-benda, dan substansi kompleks yang dapat ditemukan dalam ritus-ritus, protocol-protokol atau pertunjukan. Pada hakikatnya, semua itu membangun sistem penandaan.

Roland Barthes identik dengan penggunaan istilah mitos(myth). Mitos menurut Barthes adalah sistem semiologis tingkat kedua atau metabahasa. Mitos merupakan bahasa kedua yang berbicara mengenai sebuah bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem yang pertama (penanda dan petanda) yang memunculkan makna-makna denotatif menjadi sebuah penanda bagi suatu makna mitologis konotatif tingkat kedua. Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi hegemonis atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang ”normal” dan ”alamiah”, mereka akan berfungsi sebagai peta-peta makna yang menunjukkan bagaimana memahami dunia. Konotasi-konotasi hegemonis inilah yang disebut mitos (Barker, 2005: 93).

Semiotika digunakan pada analisis media dengan asumsi media dikomunikasikan oleh seperangkat tanda. Dengan mempertanyakan bagaimana tanda tersebut bekerja, adalah tugas semiotika untuk menganalisisnya. Teks media tersusun atas seperangkat tanda (yang


(41)

terbentuk bahasa) tidak pernah membawa makna tunggal didalamnya. Kenyataanya teks media selalu memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Ini berarti teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu yang luas dan kompleks (Sobur, 2004: 138)

b. Charles Sanders Peirce

Semiotika model Charles Sanders Peirce lebih memfokuskan perhatiannya pada tanda yang dikaitkan dengan objeknya. “Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant)” (Piliang, 2003:266). Tanda,

menurut pandangan Peirce adalah “....something which stands to somebody for something in some respect or capacity” dari definisi Peirce ini tampak peran subjek (somebody) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika (Piliang, 2003:266).

Dengan semiotika, maka dalam perjalanannya tidak lepas dari suatu tanda yang menandakan sesuatu selain dirinya dan makna (meaning) yang merupakan hubungan suatu objek atau idea dan suatu tanda. Tanda pada dasarnya akan mengisyaratkan suatu makna yang hanya dapat dipahami oleh manusia yang menggunakannya. Bagaimana manusia dapat menangkap sebuah makna tergantung pada bagaimana manusia dapat mengasosiasikan objek atau idea dengan


(42)

tanda. Dimana hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce bahwa semiotika sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna)” (Sobur, 2004:16).

Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, dapat dipersepsi oleh indra kita; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya sehingga dapat disebut sebagai tanda. “Peirce melihat tanda, acuannya, dan penggunaannya sebagai tiga titik dalam segitiga” (Fiske, 2010:62). Model yang dikeluarkan oleh Peirce ini sangatlah sederhana, berikut penjelasan yang dikeluarkan oleh Peirce:

“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya” (Fiske, 2010:63).


(43)

Skema 1.4

Unsur Makna Dari Peirce

(Sumber: John Fiske, 2010:63)

Menurut Peirce, salah satu bentuk dari tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk dari tanda. Sementara interpretant adalah tanda yang ada di dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Dimana ketiga istilah tersebut, menunjukkan panah dua arah yang menekankan bahwa masing-masing istilah yang dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. “Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri⎯objek, dan ini dipahami oleh seseorang: dan ini memiliki efek di benak penggunanya⎯interpretant” (John Fiske, 2010:63). Apabila ketiga elemen makna itu saling berinteraksi di dalam benak-benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda-tanda tersebut. Jadi makna akan lebih baik dirumuskan melalui relasi satu tanda dengan tanda yang lain. Karena makna merupakan suatu hasil yang dinamis antar tanda, interpretant, dan objek.

Sementara itu, dalam ranah ilmu semiotika sebuah teks yang terdapat pada suatu gambar dapat terlihat adanya aktivitas penanda:


(44)

yakni, suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungan objek dan interpretasi. Tanda, menurut pandangan Peirce, adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated) serta hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Hal ini terlihat bahwa sistem panandaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mendesain suatu gambar.

Untuk menjelaskan cara dalam menyampaikan makna dalam gambar, Peirce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menunjukkan hubungan yang berbeda di antara tanda dan objeknya yakni sebagai berikut:

1) Ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, Foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Sultan, peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam bentuk peta itu.

2) Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Misalnya, asap dan api menunjukkan adanya api, jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat tersebut.


(45)

3) Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya, Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang kaya makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, misalnya orang Inggris, Garuda Pancasila dipandang sebagai burung elang biasa (Tinarbuko, 2009:16-17).

Ketiga kategori tipe tanda, ikon, indeks, dan simbol dapat dimodelkan ke dalam sebuah segitiga. “Peirce merasa bahwa ini merupakan model yang sangat bermanfaat dan fundamental” (Suprapto, 2006:120-121).

Skema 1.5

Unsur Makna Dari Peirce dalam Ikon, Indeks dan Simbol

(Sumber: Fiske, 2010:70)

Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui analisis semiotika dapat menjelaskan mengenai jalinan tanda atau ilmu tentang tanda secara


(46)

sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya. Oleh sebab itu, belakangan ini semiotika menunjukan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat dan budaya yang salah satunya tercemin pada desain sampul majalah Tempo yang merepresentasikan Institusi Kepolisian yang sarat akan simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe di dalamnya.

Model semiotika Charles Sanders Peirce dipilih oleh peneliti karena merupakan analisis yang tepat sebagai alternatif untuk mengungkapkan pesan yang direpresentasikan sampul depan majalah Tempo, karena ilustrasi pesan berupa visual seperti gambar kartun, foto dan karikatur yang mana merupakan paduan kompleks dari ikon, indeks dan simbol, selain itu Charles Sanders Pierce lebih menekankan pada cara tanda dikaitkan dengan objeknya. Dari interpretasi tersebut, maka dapat diungkapkan muatan pesan yang terkandung dalam ilustrasi sampul depan majalah Tempo selama 2010 tentang konstruksi realitas Institusi Kepolisian di mata majalah Tempo.

7. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang membahas tentang kajian semiotika pada sampul majalah Tempo pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu: Aji Widodo (2010) berupa skripsi berjudul Pemaknaan Karikatur ”Ancang -Ancang Cicak Vs Buaya”: Studi Semiotik tentang Pemaknaan Karikatur


(47)

Agustus 2009). Lebih jauh penelitian ini membahas tentang penggambaran dari sampul majalah Tempo saat peristiwa yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia, dimana dalam pertengahan tahun 2009 terjadi ketegangan hubungan antara aparat penegak hukum di Indonesia yaitu Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perseteruan dua Institusi ini digambarkan karikatur dua ekor hewan yang didentifikasikan sebagai cicak dan buaya yang berperawakan layaknya manusia yang sedang bertarung di arena mirip pertarungan gladiator guna memperebutkan gelar sebagai pemenang sedangkan diatasnya adalah penonton yang melihat pertarungan itu yaitu sekumpulan hewan tikus yang kelihatan senang dan antusias melihat pertarungan antara kedua hewan tersebut.

Kemunculan gambar karikatur tersebut disebabkan karena pada pertengahan tahun ini masyarakat dikejutkan oleh perseteruan yang terjadi antara aparat penegak hukum di negeri ini yang sebenarya tugas mereka membasmi korupsi malah terlibat perselisihan. Perseteruan yang membuat malu aparat penegak hukum dan membuat tertawa para koruptor yang awalnya takut akan Polri dan KPK, justru dengan keadaan tersebut membuat mereka semakin tenang karena aparat yang akan mengusut kasus mereka justru sibuk dengan perselisihan mereka.

Istilah "Cicak versus Buaya" diawali statemen Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duadji yang merasa tersinggung dengan aksi penyadapan terhadap handphone pribadinya. Ketika itu, Susno


(48)

mengistilahkan cicak untuk lembaga anti korupsi (KPK) yang menyadap telepon pribadinya. "Masak cicak kok berani lawan buaya". Ternyata ketegangan cicak dan buaya tak berhenti sampai di situ. Kini ada tindakan kejut lanjutan yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri yang melakukan pemeriksaan terhadap delapan pejabat KPK sekaligus. Kabiro Hukum KPK, Chaidir Ramli menjelaskan pemeriksaan pimpinan dan staf KPK oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri terkait dengan dugaan penyalahgunaan kewenangan KPK.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah saat ini bangsa Indonesia mengalami hal yang saat kritis dimana dua institusi penegak hukum yang dipercaya masyarakat sedang berselisih paham atas tindakan yang dilakukan kedua belah pihak, dari sisi Polri mereka sudah berani memenjarakan dua pimpinan KPK yang saat itu sangat gencar melawan ketidakadilan yang sudah diterima masyarakat, permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.

Penelitian lain yang lebih menonjolkan stereotipe yaitu oleh Dida Aruming Dyah (2010) berupa thesis berjudul The Stereotypes of Cuban-American as Reflected in Bad Boys II, Directed by Michael Bay. Penelitian ini menganalisa bagaimana dua karakter polisi menggambarkan stereotipe-stereotipe orang Kuba-Amerika. Keduanya diperankan oleh dua aktor Hollywood berkulit hitam yaitu Martin Lawrence dan Will Smith.


(49)

Berdasarkan hasil analisa peneliti, didapati bahwa sterotipe orang Kuba-Amerika adalah; mereka penjual narkoba, kejam, dan punya hubungan yang kuat pada keluarga inti. Mereka juga berbicara menggunakan bahasa Spanglish untuk berkomunikasi dengan sesama. Salah satu stereotipe yang baik adalah dilihat dari segi kesehatan orang Kuba-Amerika yang lebih baik jika dibandingkan dengan masyarakat Hispanic-Amerika.

Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti ingin melengkapi dua penelitian di atas. Dari skripsi Aji Widodo (2010) berupa skripsi berjudul Pemaknaan Karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Vs Buaya”: Studi Semiotik tentang Pemaknaan Karikatur ”Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009), peneliti berusaha melengkapi pemaknaan sampul-sampul majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian dari penelitian terdahulunya. Sedangkan dari tesis milik Dida Aruming Dyah (2010) berjudul The Stereotypes of Cuban-American as Reflected in Bad Boys II, Directed by Michael Bay, peneliti berusaha melengkapi tentang stereotipe dari kepolisian yang ada di Indonesia khususnya.


(50)

F. Definisi Konsep

1. Sampul majalah Tempo

Salah satu ciri khas dari majalah berita adalah desain sampulnya atau halaman satu. Ukuran publikasinya biasanya berukuran tabloid atau 8,5 x 11 inci. Dari ukuran tersebut menyebabkan berita mana yang harus fokus dipilih menjadi berita utama dan tergambar di sampulnya, sebab jika dimuati tiga atau empat berita maka halaman sampul akan penuh dan padat. Sampul biasanya berupa foto atau gambar lainnya. Sampul biasanya berupa foto atau gambar lainnya. Sampul sering juga dilengkapi dengan teater headline atau berita lain yang ada dalam publikasi. Sering sekali berita sampul (cover story) diletakkan di halaman tengah atau dalam beberapa halaman khusus yang tidak berada dihalaman awal (Rolnicki, Tate dan Taylor, 2008: 301-302).

Desain sampul majalah Tempo yang diusungnya lebih banyak digambarkan melalui gambar kartun karikatur yang sarat akan simbol-simbol kritikan sosial di dalamnya. Dibandingkan dengan majalah-majalah sejenis lainnya, desain sampul majalah Tempo memiliki karakteristik kuat dan memiliki ciri khas majalah yang independent. Pengambaran tokoh sebagai berita utama yang terpampang di sampul majalah dikemas secara unik dan artistik dengan tujuan supaya pesan yang akan disampaikan menarik dan tidak terlihat monoton sehingga desain sampul majalah Tempo mampu menjadi magnet para khalayak luas saat melihatnya dalam menyampaikan pesannya.


(51)

Selama tahun 2010 sampul majalah Tempo telah menerbitkan sembilan sampul yang menggambar tentang Institusi Kepolisian. Secara kasat mata gambaran dari sampul majalah tersebut delapan diantaranya digambarkan dalam bentuk karikatur. Karikatur sendiri adalah sebuah kritik dalam bentuk gambar yang sarat pesan moral (Waluyanto, 2000: 129). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) karikatur diartikan sebagai gambar olok-olok yang mengandung pesan, sindiran dan sebagainya. Merupakan gambaran yang diadaptasi dari realitas, tokoh-tokoh yang digambarkan adalah tokoh-tokoh-tokoh-tokoh bukan fiktif yang ditiru untuk memberikan persepsi tertentu terhadap pembaca.

Hanya satu sampul dari sampul majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian yang berupa foto jurnalistik. Sebuah foto mampu berdiri sendiri dan memiliki nilai berita, atau yang biasa disebut single picture. Namun foto juga dapat sebagai pelengkap atau penegas dari sebuah berita. Sebuah foto dapat mewakili ribuan kata atau kalimat. Nilai sebuah foto sama halnya dengan sebuah informasi atau berita (tulisan). Foto jurnalistik adalah foto dengan kriteria yang mengungkapkan dan memaparkan semua aspek dari semua kenyataan dengan menyiratkan rumus 5W+H (Alwi, 2004:7).

Foto jurnalistik menurut Oscar I. Motuloh, adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual atas beberapa kejadian pada masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak di balik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Motuloh, 2003:1).


(52)

Sedangkan menurut Hermanus Prihatna, foto berita atau foto jurnalistik adalah sebuah berita visual yang disampaikan pada masyarakat luas dan tentunya mempunyai nilai berita tinggi bahkan sampai kejadian secepat mungkin. Syarat utama yang paling mendasar dari sebuah berita haruslah ingin diketahui orang banyak dan dari sudut pandang itulah kita bisa menilai kekuatan foto yang dapat disebut sebagai foto berita (Prihatna, 2003:1).

Melihat dari perbandingan sampul majalah yang lebih menonjolkan sisi karikatur yang merupakan gambar sindiran tentunya hal ini akan berdampak pada khalayak yang melihatnya. Setiap khalayak, membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media yang digunakan yakni dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun pelaksana makna sosial atau pesan sosial yang akan dikomunikasikan sepertihalnya majalah Tempo. Seharusnya makna sosial atau pesan sosial harus disesuaikan dengan maksud dari pihak komunikator dan ditangkap dengan baik oleh para pembaca yang melihatnya. Media alternatif yang membawa simbol-simbol sosial yang didalamnya terkandung suatu pesan-pesan tersirat yang dapat ditemukan pada desain sampul majalah Tempo. Sampul-sampul tersebut yang menerpa pembaca atau komunikan secara satu arah tentunya akan ditafsirkan dalam berbagai makna. Makna-makna pesan dalam sampul majalah Tempo tersebut bukan tidak mungkin akan menciptakan distorsi pesan seperti penstereotipean terhadap Institusi Kepolisian.


(53)

2. Stereotipe terhadap Institusi Kepolisian Dalam Sampul Majalah Tempo

Sampul majalah Tempo yang akan menjadi objek penelitian ini adalah kesembilan sampul majalah yang merepresentasikan tentang Institusi Kepolisian yang terbit di tahun 2010. Pada dasarnya gambaran-gambaran Institusi Kepolisian oleh majalah Tempo hampir kesemuanya berupa kritikan atau sindiran. Tentu saja gambar-gambar sampul Institusi Kepolisian dengan demikian akan membentuk citra negatif berupa stereotipe tertentu di masyarakat. Stereotipe merupakan bentuk kontroversial pengelompokan karakterisasi. Stereotipe mendorong pembacaan karakter dari sudut pandang nilai baku, yang ditentukan sebelumnya oleh konvensi sosial. Perepresentasian identitas sosial dari sudut pandang stereotipe merupakan praktik yang sangat umum dalam media. Penstereotipean sebuah mediasi yang menerjemahkan kompleksitas karakter individu kedalam sejumlah pengkhasan (distinctions) sederhana yang didefinisikan secara sosial (Thwaites, Davis dan Mules, 2002: 227).

Menurut Jhonson (1986) mengemukakan, stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Keyakinan itu membuat orang untuk memperkirakan perbedaan antarkelompok yang mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah sebagai ciri khas individu atau kelompok sasaran (Liliweri, 2005: 208).


(54)

Menurut Sarlito W. Sarwono dan Eko A Meinarno (2009:226), stereotipe adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, sehingga stereotipe merupakan faktor penyebab adanya prasangka dan diskriminasi. Prasangka sendiri adalah suatu penilaian terhadap suatu kelompok atau individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu, pengamat menilai orang lain tidak berdasarkan kategori sosial atau kategori rasial mereka dan tidak berdasarkan informasi atau fakta tentang diri mereka sebagai individu (Sears, Freedman dan Peplau, 1994: 149).

Sedangkan menurut David O. Sears (1994: 148) stereotipe merupakan suatu keyakinan tentang sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok atau kategori sosial tertentu. Stereotipe biasanya meliputi pemberian ciri negatif kepada orang yang berbeda dengannya.

Dalam melihat stereotipe Institusi Kepolisian yang direpresentasikan oleh majalah Tempo peneliti mengelompokkan sampul majalah kedalam prasangka sosial dilihat dari karakteristik dan peran negatif polisi. Secara harfiah karakteristik dapat diartikan sebagai kualitas moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (1998), karakteristik adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Sedang berkarakter berarti mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa 1997:281). Dorland’s Pocket Medical Dictionary dalam M. Furqon Hidayatullah (2008:11) menyatakan bahwa karakteristik adalah sifat nyata


(55)

yang menjadi pembeda yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang diamati pada individu.

Peran sendiri menurut Horton dan chester (1992:118), mengartikan peran sebagai perilaku yang dimainkan dari seseorang (lembaga) yang mempunyai status tertentu. Institusi Kepolisian memegang peran yang sangat besar dalam menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat.

Dari segi sosiologi, peran (role) selalu ditinjau dalam hubungan dengan kelompok. Sebagaimana manusia satu sama lain mengadakan interaksi dan mengadakan pengaruh timbal balik, demikian pula kelompok dan lembaga-lembaga sosial mengadakan interaksi satu sama lain dan mempengaruhi lingkunganya. Sebaliknya setiap lembaga sosial peka sekali terhadap perubahan lingkunganya, terhadap nilai-nilai kelompoknya serta penilaian orang terhadap lembaga sosial tadi (Susanto, 1999:231).

Secara umum peran merupakan seperangkat patokan yang membatasi apa prilaku yang mesti dilakukan seseorang yang menduduki suatu posisi (Suhardono, 1994: 15).

Dengan menganalisis sampul majalah Tempo melalui gambaran karakteristik dan peran negatif maka akan mengetahui makna tersirat dari simbol-simbol yang dibawa oleh gambar-gambar sampul majalah Tempo. 3. Semiotika Model Charles Sanders Peirce

Berkenaan dengan gambar yang berada dalam sampul majalah Tempo yang berupa delapan gambar karikatur dan satu gambar foto, untuk


(56)

mengkaji semua gambar tersebut dalam perspektif semiotika, dapat membedahnya lewat sistem tanda. Gambar-gambar tersebut menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun yang berupa ikon. Sobur berpendapat bahwa pada dasarnya lambang yang digunakan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang dikenal. Sedangkan lambang non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon di sini digunakan sebagai lambang ataupun simbol (Sobur, 2005:116).

“Secara etimologis, lambang ataupun simbol sendiri berasal dari kata Yunani “symballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide” (Sobur, 2004:155). Selain itu, ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2001:10).

Melalui simbol, manusia dapat berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu proses komunikasi. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi dan bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia sangatlah ditunjang dengan simbol-simbol yang mereka gunakan, karena melalui simbol manusia dapat mengungkapkan suatu pendapat berupa pesan-pesan sosial. Konsep dari pesan-pesan sosial itu sendiri yakni tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Hubungan antara manusia dengan kebudayaan sangatlah erat dan tidak dapat terpisahkan,


(57)

bahkan disebut sebagai makhluk budaya. Kebudayaan terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia, sehingga terdapat ungkapan, “Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan simbol-simbol; manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis” (Sobur, 2004:177).

Dalam konsep Charles Sanders Peirce, simbol diartikan sebagai “tanda yang megacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri” (Sobur, 2004:156). Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvesi itu, maka masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu serta dapat menafsirkan maknanya. Dalam arti demikian, kata misalnya, merupakan suatu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah bahasanya. Dimana kaidah kebahasaan itu secara artifisial ditentukan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya. Simbol memiliki kesatuan bentuk dan makna. Simbol merupakan “kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya” (Sobur, 2004:156).

Dari situ, untuk melihat dan menemukan makna dalam sampul majalah Tempo maka peneliti mengunakan semiotika model Charles


(58)

Sanders Peirce yang lebih memfokuskan perhatiannya pada tanda yang dikaitkan dengan objeknya. “Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant)” (Piliang, 2003:266). Tanda, menurut pandangan Peirce adalah “....something which stands to somebody for something in some respect or capacity” dari definisi Peirce ini tampak peran subjek (somebody) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika (Piliang, 2003:266).

Untuk menjelaskan cara dalam menyampaikan makna dalam gambar, Peirce membuat tiga kategori yaitu ikon, indeks dan simbol (Tinarbuko, 2009:16-17).

Dengan analisis semiotika model Charles Sanders Peirce penulis akan mengungkap simbol-simbol pemaknaan stereotipe terhadap Institusi Kepolisian yang direpresentasikan oleh sampul depan majalah tempo selama tahun 2010.


(59)

G. Kerangka Berpikir

Kerangka pikir sebagaimana digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Skema 1.6 Kerangka berfikir


(1)

a. Triangulasi data

Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, buku pustaka, artikel, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda

b. Triangulasi pengamat

Adanya pengamat di luar peneliti sebagi pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data dan turut memeriksa hasil pengumpulan data

c. Triangulasi teori

Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada telaah pustaka untuk dipergunakan dalam menganalisis penelitian.

d. Triangulasi metode

Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi (Sutopo, 2002: 78-85). Untuk menjamin validitas data dan kredibilitas yang diperoleh dalam penelitian ini, digunakan teknik triangulasi data. Triangulasi data dilakukan oleh penulis dengan menggunakan perspektif lebih dari satu data seperti dokumen, arsip, buku pustaka, dan artikel dalam membahas permasalahan yang dikaji.


(2)

Prosedur ini dipilih karena disesuaikan dengan fokus penelitian kualitatif yang dilakukan, yang berdasarkan analisis semiotika sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010 di mana peneliti merupakan instrument riset utama. Triangulasi data adalah upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data yang berkenaan dengan persoalan yang sama (Pawito, 2007: 99).

5. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, teori yang digunakan adalah stereotipe yang kemudian dijabarkan melalui pelabelan dengan karakteristik dan peran negatif Institusi Kepolisian dari masing-masing sampul majalah Tempo.

Dari tehnik triangulasi, berikut langkah langkah yang akan diterapkan peneliti dalam menganalisis data, pertama, mengkroscekan data sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010 yang terbit di media cetak. Kedua, menggali informasi terkait dengan penelitian tentang stereotipe Institusi Kepolisian saat ini. Ketiga, mengaitkan data penelitian tentang stereotipe Institusi Kepolisian dengan penelitian yang diteliti dari karakteristik dan peran negatif yang muncul dalam sampul majalah Tempo.

Dari langkah-langkah yang akan diterapkan diatas, untuk melakukan penelitian peneliti menangkap, mencatat, menginterpretasikan, dan menyajikan informasi yang terkait dengan sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010. Maka dari itu, terdapat


(3)

tiga hal yang yang menjadi pusat perhatian peneliti di antaranya adalah penyajian data (data display), reduksi data, dan penarikan dan pengujian kesimpulan (Pawito, 2008:104).

a. Penyajian Data (Data Display)

Pawito berpendapat bahwa penyajian data melibatkan langkah-langkah mengoraganisasikan data, menjalin data yang satu dengan yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan karena dalam penelitian kualitatif data biasanya beranekaragam dimensi dan terasa bertumpuk makan penyajian data pada umumnya diyakini sangat membantu dalam proses analisis (Pawito, 2008:105-106).

Dalam peneiltian ini, peneliti mencari dan mengamati keseluruhan sampel yakni sembilan sampul Majalah Tempo. Berdasarkan dari data-data sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010, kebanyakan sampul-sampul tersebut dalam kurun waktu satu tahun, lebih menitikberatkan pada segi visualnya yang berupa gambar kartun karikatur karena dari sembilan sampul hanya satu yang berupa gambar foto.

b. Reduksi Data

Menurut Pawito, reduksi data bukan asal membuang data yang tidak diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data. Langkah reduksi data melibatkan beberapa tahap. Tahap pertama, melibatkan langkah-langkah editing,


(4)

pengelompokan, dan meringkas data (Pawito, 2008:104). Pada tahap ini peneliti berusaha mengelompokan data dan meringkas data. Dalam hal ini adalah meliputi data penelitian yang diperoleh tentang stereotipe Institusi Kepolisian yang masih “mentah” akan dipilih sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan sekiranya dapat dikaitkan dengan sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010.

Tahap kedua, peneliti menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo) mengenai berbagai hal, termasuk berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok-kelompok, dan pola-pola data (Pawito, 2008:104). Terkait dengan penelitian ini adalah data yang telah diproses dari langkah pertama akan diberikan tanda ataupun catatan yang diperkirakan sesuai dengan sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010.

Tahap ketiga, peneliti menyusun rancangan konsep-konsep serta penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau kelompok-kelompok data bersangkutan (Pawito, 2008:105). Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, tahap ketiga ini mencoba untuk menyusun konsep data dari catatan-catatan yang telah dibuat ditahap kedua.

Berdasarkan tujuan penelitian, peneliti melihat serta mengamati stereotipe Institusi Kepolisian melalui karakteristik dan peran negatif yang tergambarkan dalam sampul majalah Tempo.


(5)

c. Penarikan dan Pengujian Kesimpulan

Pada komponen terakhir ini, peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan kecenderungan dari display data (Pawito, 2008:106).

Dalam hal ini, dari data display peneliti melakukan pemaknaan menggunakan metode penganalisaan unsur-unsur tanda yang ada dalam sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010 dengan menggunakan analisis semiotika. Penelitian ini meminjam pisau analisis semiotika milik Charles Sander Peirce. Untuk menjelaskan cara dalam menyampaikan makna dalam gambar, peneliti membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menunjukkan hubungan yang berbeda di antara tanda dan objeknya yaitu ikon, indeks dan simbol dalam setiap karakteristik dan peran negatif dari sampul majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data atau sumber data dalam penelitian ini mencangkup dua hal primer dan skunder, yaitu:

a. Sumber Primer

Data primer pada penelitian ini adalah desain sampul majalah Tempo yang merepresentasikan Institusi Kepolisian selama tahun 2010.


(6)

b. Sumber Sekunder

Teknik ini merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Peneliti berusaha menjelajahi cakrawala disiplin ilmu lewat sumber-sumber yang dipercaya meliputi artikel-artikel, situs internet dan buku-buku yang dipercaya, guna untuk memperkuat pendapat peneliti dalam memaknai tanda dan simbol yang ada di dalam sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010.


Dokumen yang terkait

Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah(Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)

5 66 97

Analisis Semiotik Korupsi Terhadap Sampul Majalah Tempo pada Kasus Simulator Sim

1 12 113

SIMBOL SIMBOL SOSIAL KEBUDAYAAN JAWA, HINDU DAN ISLAM YANG DIREPRESENTASIKAN DALAM ARTEFAK MASJID AGUNG SURAKARTA

0 15 110

STEREOTIPE TERHADAP INSTITUSI KEPOLISIAN DALAM MEDIA Stereotipe Terhadap Institusi Kepolisian Dalam Media (Analisis Semiotik Simbol-Simbol dan Pemaknaan Stereotipe Terhadap Institusi Kepolisian yang Direpresentasikan Oleh Sampul Depan Majalah Tempo Tahun

0 0 17

Daftar Pustaka Stereotipe Terhadap Institusi Kepolisian Dalam Media (Analisis Semiotik Simbol-Simbol dan Pemaknaan Stereotipe Terhadap Institusi Kepolisian yang Direpresentasikan Oleh Sampul Depan Majalah Tempo Tahun 2010).

1 3 10

Pemaknaan karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover Majalah Tempo (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari 2010). SKRIPSI.

2 9 79

Pemaknaan Cover Majalah TEMPO (Studi Semiotik Pemaknaan Redenominasi Pada Cover Majalah TEMPO Edisi 9 – 15 Agustus 2010).

2 4 79

PEMAKNAAN ILUSTRASI SAMPUL DEPAN MAJALAH TEMPO (Analisis Semiotik Ilustrasi Sampul Depan Majalah Tempo Edisi 22 Maret Sampai 28 Maret 2010 Yang Berjudul Angkatan Baru Penebar Teror).

1 4 93

Revitalisasi Institusi Kepolisian

0 1 1

PEMAKNAAN ILUSTRASI SAMPUL DEPAN MAJALAH TEMPO (Analisis Semiotik Ilustrasi Sampul Depan Majalah Tempo Edisi 22 Maret Sampai 28 Maret 2010 Yang Berjudul Angkatan Baru Penebar Teror)

0 0 19