TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK.

(1)

TESIS

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT

MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN,

PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK

A N W A R I NIM 1390161008

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT

MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN,

PROBOLINGGO: KAJIAN PRAGMATIK

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

A N W A R I NIM 1390161008

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 14 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. 1643/UN14.4/HK/2016 Tanggal 14 April 2016

Ketua : Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. Anggota :

1. Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. 2. Dr. Putu Sutama, M.S.

3. Dr. I Ketut Jirnaya, M.S. 4. Dr. I Made Rajeg, M.Hum.


(5)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : A N W A R I, S.S. NIM : 1390161008

Prog. Studi : Magister (S2) Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 14 April 2016


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

،ميحه لا نمح ه لا هَ مس ل

ه نه ر

نلعجاهو نيعأ ه ق نت هيرذو نجاو أ نم نل

م ما ني ه ملل

.

نه ر

اهوه لا تنا كهنا نيلع تو ،ميلعلا عيمهسلا تنا كُنا ه نم له ت

ميحه لا

.

Bismillahirrahmanirrahiym, rabbanaa hablanaa min azwajinaa

wadlurriyaatinaa qurrata a’yuniwwaj’alnaa lilmuttaqiyna imaamaa. Rabbanaa taqabbal minnaa innaka antassamiy’ul aliym, watub alainaa innaka

antattawwaburrahiym.

Pertama, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Maulana Azzawajallah Allah Swt (subhanahu wataala) karena atas karunia dan limpahan rahmat-Nya penulis masih diberi umur panjang, kesehatan yang berkah sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis lemah tanpa keagungan-Mu dan penulis tidak akan sempurna tanpa kekuasaan-Mu ya Rabb. Tidak ada kata lain selain penulis haturkan sujud, iman, dan takwa hanya kepada Engkaulah ya Rabb.

Kedua, selawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW (Sallallahu Alaihi Wasallam) sebagai utusan Allah yang telah membawa umat Islam dari alam kegelapan menuju alam yang terang-menderang. Berkat taufiq dan hidayah-Nya pula penulis dapat membedakan yang baik dan yang buruk, serta yang hak dan yang batil.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Linguistik di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Sudewi, Sp. S (K)., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, yakni Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A., atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis


(7)

juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., dan Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., selaku Ketua Program dan Sekretaris Program Studi Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan motivasi selama proses pembelajaran, baik dalam kelas maupun di luar kelas. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama mengikuti kuliah Program Magister Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. selaku Pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran kepada penulis selama bimbingan tesis. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. selaku Pembimbing II yang juga dengan penuh perhatian, kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi, dan saran kepada penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para penguji tesis, yakni Dr. Putu Sutama, M.S., Dr. I Ketut Jirnaya, M.S., Dr. I Made Rajeg, M.Hum., yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud. Berkat masukan dan saran yang diberikan, penulis lebih memahami penulisan karya ilmiah secara mendalam.

Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua guru yang telah mendidik penulis sejak penulis masih duduk di Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Berkat ilmu yang kalian ajarkan, penulis dapat menjalani pendidikan sampai saat ini.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada staf pengajar pada Program Magister Linguistik, yakni 1) Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., 2) Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., 3) Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., 4) Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., 5) Prof. Dr. Aron Meko Mbete, 6) Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., 7) Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., 8) Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, M.A., 9) Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A., 10) Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum., 11) Prof. Dr. I Nengah Sudipa,


(8)

M.A., 12) Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., 13) Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U., 14) Prof. Dr. I Made Suastra, Ph.D., 15) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., 16) Dr. A.A Putu Putra, M.Hum., 17) Dr. Made Sri Satyawati, M.Hum, 18) Dr. I Wayan Arka, M.A., M.Phil., 19) Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, TEFL., M.A., 20) Dr. Putu Sutama, M.S., 21) Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum., 22) Dr. Ni Wayan Sukarini, M.Hum., 23) Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., 24) Dr. Ni Made Suryati, M.Hum., 25) Dr. I Nyoman Sedeng, M.Hum., 26) Dr. Ni Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum., atas ilmu dan pengalaman yang diberikan kepada penulis sehingga dapat membuka cakrawala baru bagi penulis ke depannya.

Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh staf administrasi dan perpustakaan Program Magister Linguistik Universitas Udayana, yakni I Nyoman Sadra, S.S., I Ketut Ebuh, S.Sos., I Gusti Agung Ayu Supadmini, Ni Nyoman Adi Triani, S.E., Ida Bagus Suanda, S.Sos., Ni Nyoman Sumerti, dan Ni Nyoman Sukartini atas pelayanan prima yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Universitas Udayana.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada teman-teman sejawat dan seperjuangan angkatan 2013, yakni Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma, S.S., Antonio Constantino Soares, S.S., Arif Rahman Hadi, S.S., Dewanto, S.S., Dwi Lina Sari Tanjung, S.S., Eunike Ade Rolike, S.S., Gede Doddi Raditya Diputra, S.S., Gek Wulan Novi Utami, S.S., I Gusti Ngurah Ariesta, S.Pd., Ni Luh Ernawati, S.S., Ni Luh Yuniarti, S.S., Ni Made Sri Ramayanti, S.S., Nissa Puspitaning Adni, S.S., Ni Putu Candra Lestari, S.S., Ni Wayan Prilyasinta, S.S., Ni Wayan Sri Darmayani, S.S., Putu Eka Guna Yasa, S.S., Setyarti, S.S., Wiwik Marlia, S.Pd., atas kebersamaan, kekompakan, dan masukan lewat diskusi baik di dalam maupun di luar kelas berkaitan dengan persoalan kelinguistikan yang penulis hadapi. Berkat variasi ilmu yang kalian tekuni, penulis dapat belajar dan memahami kajian ilmu kelinguistikan satu demi satu.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan Eka Yusriansyah, S.Pd., Rahmat Said, S.Pd., Sarifudin Detikoa, S.Pd., Herfan Sukardi, S.S., dan Maria Imaculada Sarmento, S.S., atas kebersamaan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di


(9)

Denpasar. Kebersamaan dan kebaikan kalian akan selalu menjadi pelajaran berharga bagi penulis.

Penulis ucapkan terima kasih juga kepada sahabat penulis yang turut membantu dan menemani penulis selama proses pengambilan data, yakni Muhammad Hosen, S.Kom., dan Babur Rahman, S.Pd.I. atas bantuan kalian semua data dapat terkumpul. Terima kasih pula kepada saudara penulis, Muhibbatuzzakiyah, S.Pd.I., yang turut membantu dalam proses pengumpulan data hingga semuanya berjalan dengan baik.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga yang telah menganggap penulis anak, yakni Ibu I Gusti Agung Ayu Supadmini dan Bapak I Nyoman Sundra atas kebaikan yang diberikan kepada penulis selama tinggal di Denpasar. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada keluarga besar I Nyoman Sudarsana, Ni Ketut Nurini, Komang Denni Suarsana, A.P.Par., Ni Wayan Sri Darmayani, S.S., atas kebaikan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Denpasar, serta menjadikan penulis bagian keluarga. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Mujiono (Pak Dina) dan Ibu Eris Farlina (Ibu Dina) yang telah menjadikan penulis bagian keluarga, memberi kebaikan, dan memotivasi, serta membantu penulis dengan setulus hati selama penulis tinggal di Denpasar. Kebaikan kalian semua sangat berharga dan penulis kenang selamanya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar di Bali, yakni, Dewo, Lisiyati, Dedy Julian, Gede, Bli Bagus, Ibu Asma dan Pak Mat, Buk Lis, Buk Umi, Buk Vero, Mas Ali dan Mbak Ani, Om Makruf, Eva Fitriah, Mas Yono, Mbok Ngah, Mas Yoto, Mas Vian, Mas Slamet, Suud, Yusuf, Dicky, Buk Ana Rambo, Buk Putri, Pak Bambang, Hilda Ilham, Mama Lia (Mama Alan), Mbak Hanif dan Mas Mislar, atas bantuan dan kebaikannya selama penulis menjalani kehidupan dan pendidikan di Denpasar. Kebaikan kalian akan selalu penulis kenang selamanya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Trawi dan Abdurrahman, S.H., selaku Kepala Desa Kalidandan dan Sekretaris Desa Kalidandan yang telah memberikan izin kepada penulis selama pengambilan data. Tak lupa pula penulis


(10)

ucapkan terima kasih kepada informan kunci, Pak Budianto, S.Pd.I., Pak Abdurrahman, S.H., Pak Karto (Busmin), dan Buk Saniti (Sumardi) atas segala kerjasama dalam memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan selama proses pengumpulan data.

Pada kesempatan ini, rasa ta’dzim dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Kusno dan Ibu Misnari (Kusniati) yang telah merawat, mendidik, memberi kasih sayang, dan usaha yang gigih demi kelancaran penulis dalam menuntut ilmu dari Sekolah Dasar hingga pada Pendidikan Magister, serta doa dalam setiap sujud yang selalu dipanjatkan agar penulis selalu diberikan kesehatan oleh Allah dalam menjalani segala kewajiban dan aktivitas. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada saudara kandung penulis, yakni Siti Zulaiha (Buk Ayun), ipar penulis, yakni Suradi (Pak Ayun), ponakan penulis, yakni Siti Nur Ayuni, nenek penulis, yakni Nyai Biro yang telah mendoakan penulis agar selalu diberikan keselamatan dan kelancaran selama menempuh pendidikan di Denpasar. Tak lupa pula ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada tanteku Ibu Samiya yang telah memberikan kebaikan dan merawat penulis dari kecil hingga dewasa ini.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada tunangan penulis, yakni Nurul Lailatul Chotimah, S.Kep. Ners., yang telah mendukung dan memotivasi penulis hingga tesis ini terwujud. Berkat dorongan dan dukungan yang diberikan dapat menguatkan penulis dalam menjalankan kewajiban akademik.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu hingga tesis ini dapat diselesaikan. Semoga Allah Yang Mahakuasa selalu memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kalian semua. Amin Allahumma Amin.

Denpasar, 14 April 2016


(11)

ABSTRAK

TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT MADURA DI DESA KALIDANDAN, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO:

KAJIAN PRAGMATIK

Penelitian tuturan upacara pernikahan ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode simak (metode obeservasi). Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori pragmatik, teori bahasa, konteks, dan teks.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan ditemukan jenis tindak tutur, yaitu (1) tindak tutur langsung (24 data), (2) tindak tutur tidak langsung (2 data), (3) tindak tutur literal (6 data), (4) tindak tutur tidak literal (3 data), (5) tindak tutur langsung literal (3 data), (6) tindak tutur tidak langsung literal (1 data), (7) tindak tutur langsung tidak literal (2 data), dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal (2 data). Dalam tuturan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo penutur cenderung menggunakan tindak tutur langsung.

Tindak ilokusi yang ditemukan ialah (1) atanyah ‘bertanya’, (2) mintah

‘melamar’, (3) erestoeh ‘restu’, (4) jenjih ‘janji’, (5) nyuon se sanget ‘memohon

dengan sangat’, (6) rakerah ‘prediksi’, (7) dekgik ‘menyusul’, (8) dua’ ‘salam’,

(9) ngormat ‘penghormatan’, (10) nyupreh ridha ‘memohon doa’, (11) saksek’en

‘saksikan’, (12) nukol/maceplos ‘memukul’, (13) pesa/talak ‘cerai’, (14)

istiqomah delem bejeng ‘istikomah dalam salat’, (15) awasiat ‘berwasiat’, (16)

anikah’agin ‘menikahkan’, (17) neremah ‘menerima’, (18) nyirenagin

‘menyerahkan’, (19) songkan ‘segan-segan’, (20) ambu ‘berhenti’, (21) bentoh

‘membantu’, (22) niroan ‘mencontoh’, (23) jek apermainagin perkabinan ‘jangan

main-main dalam menikah’, (24) permintaan ‘permintaan’, (25) pasra

‘memasrahkan’, (26) kasok’on ‘berterima kasih’, (27) ngambhul ‘minggat’, (28)

tak rukun ‘tidak harmonis’, (29) tak kenal ‘tidak kenal’, (30) taoh kadek ‘kenal

lebih dulu’, (31) ende’en ‘gampangan’, (32) nyesel ‘penyesalan’, (33)

kekecewaan ‘kecewa’, (34) mintah pendapat ‘minta pendapat’, (35) sabbher

‘sabar’, (36) tak inmainan ‘tidak main-main’, (37) laep ‘paceklik’, (38) nispah

‘penyesalan yang mendalam', (39) ngandung kade’ ‘hamil lebih dulu/hamil di luar

nikah’, (40) kalak ‘mengambil’, (41) pemberitaoan ‘mengumumkan’, dan (42)

menegaskan ‘menegaskan’,

Ideologi yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura yang dibangun oleh tuturan tradisi ialah (1) keberkahan keturunan, (2) keberkahan umur, (3) keberkahan rezeki, (4) kekuatan, dan (5) penyucian diri. Ideologi ini juga didukung oleh nilai, yakni (1) kesucian, (2) keselamatan, (3) perlindungan, (4) pertanggungjawaban secara jasmani dan rohani, (5) kesungguhan, (6) penghormatan, (7) permohonan, dan (8) kemudahan dalam mencari rezeki.


(12)

ABSTRACT

WEDDING CEREMONY DISCOURSE OF MADURESE AT KALIDANDAN VILLAGE, PAKUNIRAN, PROBOLINGGO:

PRAGMATIC PERSPECTIVE

This research used qualitative descriptive approach with listening method (observation method). Theories used in this research are the theory of pragmatics and the theory of language, context, and text.

The results of the analysis show that there are eight types of speech act found. They are (1) direct speech act (24 data), (2) indirect speech act (2 data), (3) literal speech act (6 data), (4) nonliteral speech act (3 data), (5) direct literal speech act (3 data), (6) indirect literal speech act (1 data), (7) direct nonliteral speech act (2 data), and (8) indirect nonliteral speech act (2 data). In wedding ceremony discourse done by Madurese at Kalidandan village, Pakuniran, Probolinggo, the speakers of BMd tend to use direct speech act.

In terms of illocutionary act, there are fourty two illocutionary force found. They are (1) questioning, (2) propose marriage to, (3) blessing, (4) promise, (5) forces of imploring, (6) predicting, (7) later, (8) praying, (9) respectful, (10) looking for blessing, (11) testify, (12) hit, (13) divorce, (14) stay in pray, (15) give exhortation, (16) take in marriage, (17) receiving, (18) pass in, (19) willingly, (20) stop, (21) helping, (22) imitate, (23) do not play around in marriage, (24) requesting, (25) fate, (26) grateful, (27) getting out of house, (28) not harmonious, (29) not to know, (30) knowing at first, (31) easy in hand, (32) regret, (33) disappointed, (34) asking for opinion, (35) patient, (36) serious, (37) scarcity before harvesting time, (38) deep regret, (39) pregnant under married, (40) taking, (41) announcement, and (42) asserting/clarifying.

Ideology in wedding ceremony discourse of Madurese that is constracted by traditional discourse, the following ideologies were (1) blessing descent, (2) blessing age, (3) blessing sustenance, (4) power, and (5) ablutions. Ideology also supported by values, those are (1) purity, (2) safety/rescuer, (3) protection, (4) responsibility in physic and spiritual, (5) truth, (6) homage, (7) requesting, and (8) easy in looking for some gifts.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL LUAR ...i

SAMPUL DALAM ...i

PRASYARAT GELAR ...ii

LEMBAR PENGESAHAN ...iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...v

UCAPAN TERIMA KASIH ...vi

ABSTRAK ...xi

ABSTRACT ...xii

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ...xvii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL………xviii

DAFTAR LAMPIRAN ...xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...7

1.3 Tujuan ...8

1.3.1 Tujuan Umum ...8

1.3.2 Tujuan Khusus ...8

1.4 Manfaat Penelitian ...9

1.4.1 Manfaat Teoretis ...9

1.4.2 Manfaat Praktis ...9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ...10

2.2 Konsep ...16

2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan ...16

2.2.2 Konteks dalam Pragmatik ...18

2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan ...21

2.3 Landasan Teori ...22

2.3.1 Tindak Tutur...22


(14)

1. Tindak Lokusi ...27

2. Tindak Ilokusi ...27

3. Tindak Perlokusi ...28

2.3.1.2 Jenis Tindak Tutur...29

1. Tindak Tutur Langsung ...29

2. Tindak Tutur Tidak Langsung ...30

3. Tindak Tutur Literal ...32

4. Tindak Tutur Tidak Literal...32

5. Tindak Tutur Langsung Literal ...33

6. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...34

7. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...35

8. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...36

2.3.1.3 Fungsi Tindak Tutur ...37

2.3.2 Teori Bahasa, Konteks, dan Teks ...39

2.4 Model Penelitian ...40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ...42

3.2 Lokasi Penelitian ...43

3.3 Jenis dan Sumber Data ...43

3.4 Instrumen Penelitian...45

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...45

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ...47

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ...47

BAB IV LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DAN BAHASA MASYARAKAT KALIDANDAN 4.1 Sejarah Desa Kalidandan ...48

4.1.1 Sejarah Pemerintahan Desa Kalidandan ...49

4.1.2 Sejarah Pembangunan Desa Kalidandan ...49

4.2 Letak Geografis Desa Kalidandan ...50

4.3 Jumlah Penduduk Desa Kalidandan ...51

4.4 Mata Pencaharian Masyarakat Kalidandan ...51

4.5 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kalidandan ...52

4.6 Sistem Kepercayaan Masyarakat Kalidandan ...52

4.7 Sistem Pernikahan Masyarakat Kalidandan ...52

4.7.1 Tunangan (Bekalan) ...53

4.7.2 Pernikahan (Kabin) ...54

4.8 Bahasa Asli Masyarakat Kalidandan ...54


(15)

BAB V TINDAK TUTUR DALAM TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN

5.1 Pengantar ...56

5.2 Jenis Tindak Tutur...56

5.2.1 Tindak Tutur Langsung ...60

5.2.2 Tindak Tutur Tidak Langsung ...77

5.2.3 Tindak Tutur Literal ...78

5.2.4 Tindak Tutur Tidak Literal ...83

5.2.5 Tindak Tutur Langsung Literal ...85

5.2.6 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...88

5.2.7 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...89

5.2.8 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...90

5.3 Tuturan Upacara PernikahanMasyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...92

BAB VI TINDAK ILOKUSI TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN 6.1 Pengantar ...96

6.2 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura ...97

6.2.1 Ilokusi Tindak Tutur Langsung ...97

6.2.2 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung ...113

6.2.3 Ilokusi Tindak Tutur Literal ...115

6.2.4 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Literal ...120

6.2.5 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Literal ...122

6.2.6 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...124

6.2.7 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...125

6.2.8 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...127

6.3 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...130

BAB VII IDEOLOGI TUTURAN UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT KALIDANDAN 7.1 Pengantar ...133

7.2 Tradisi Siraman (Pandebeen) ...134

7.3 Ideologi Pernikahan ...135

7.3.1 Nilai Bulan Baik Pernikahan ...136

7.3.2 Nilai Tradisi Siraman (Pandebeen) ...137

7.4 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...137


(16)

7.4.2 Nilai Sarana pada Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura ...163

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan ...177

8.2 Saran ...179

DAFTAR PUSTAKA ...180

Lampiran 1 Korpus Data Tuturan Peminangan (bekalan) ...184

Lampiran 2 Korpus Data Tuturan Prapernikahan ...186

Lampiran 3 Korpus Data Tuturan Pernikahan ...189

Lampiran 4 Korpus Data Tuturan Siraman ...195

Lampiran 5 Korpus Data Pascapernikahan ...202

Lampiran 6 Bulan Masehi, Hijriyah, dan Pengucapan Bahasa Madura ....206

Lampiran 7 Data Tuturan Upacara dan Tuturan Tradisi ...207

Lampiran 8 Identitas Informan ...220

Lampiran 9 Daftar Tanyaan Wawancara (Panduan) ...222

Lampiran 10 Peta Kecamatan Pakuniran, Desa Kalidandan ...223

Lampiran 11 Foto Penelitian...224

Lampiran 12 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...245


(17)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang dan Singkatan Arti/Keterangan

# Kalimat

‘…’ Arti

Memiliki hubungan bawahan Memiliki hubungan timbal balik

BMd Bahasa Madura

TT Tindak Tutur

TL Tindak Tutur Langsung

TTL Tindak Tutur Tidak Langsung

TLit Tindak Tutur Literal

TTLit Tindak Tutur Tidak Literal

TLLit Tindak Tutur Langsung Literal

TTLLit Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

TLTLit Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

TTLTLit Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

AT Aspek Tradisi

DR Data Rekam

PN Penutur

PT Petutur/Mitra Tutur

PM Peminangan

PRP Prapernikahan

P Pernikahan

PSCP Pascapernikahan

SR Siraman

PS Prinsip Santun

DT Daftar Tanyaan


(18)

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Halaman

1. Bagan 1 Model Penelitian ...40

2. Tabel 1 Modus Tuturan Langsung ...30

3. Tabel 2 Modus Tuturan Tidak Langsung ...31

4. Tabel 3 Jenis Tindak Tutur ...37

5. Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Kalidandan ...51

6. Tabel 1 Tindak Tutur Langsung ...60

7. Tabel 2 Tindak Tutur Tidak Langsung ...77

8. Tabel 3 Tindak Tutur Literal ...79

9. Tabel 4 Tindak Tutur Tidak Literal ...83

10. Tabel 5 Tindak Tutur Langsung Literal ...86

11. Tabel 6 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...88

12. Tabel 7 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...89

13. Tabel 8 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...91

14. Tabel 9 Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...93

15. Tabel 1 Ilokusi Tindak Tutur Langsung ...98

16. Tabel 2 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung ...114

17. Tabel 3 Ilokusi Tindak Tutur Literal ...115

18. Tabel 4 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Literal ...120

19. Tabel 5 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Literal ...123

20. Tabel 6 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ...125

21. Tabel 7 Ilokusi Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ...126

22. Tabel 8 Ilokusi Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ...128

23. Tabel 9 Tindak Ilokusi Tuturan Upacara Pernikahan Masyarakat Madura yang Dibangun oleh Tuturan Tradisi ...130

24. Tabel 1 Ideologi Medan pada Tuturan Upacara Pernikahan ...138

25. Tabel 2 Ideologi Pelibat pada Tuturan Upacara Pernikahan ...150


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Korpus Data Tuturan Peminangan (bekalan) ...184

Lampiran 2 Korpus Data Tuturan Prapernikahan ...186

Lampiran 3 Korpus Data Tuturan Pernikahan ...189

Lampiran 4 Korpus Data Tuturan Siraman ...195

Lampiran 5 Korpus Data Pascapernikahan ...202

Lampiran 6 Bulan Masehi, Hijriyah, dan Pengucapan Bahasa Madura ...206

Lampiran 7 Data Tuturan Upacara dan Tuturan Tradisi ...207

Lampiran 8 Identitas Informan...220

Lampiran 9 Daftar Tanyaan Wawancara (Panduan) ...222

Lampiran 10 Peta Kecamatan Pakuniran, Desa Kalidandan ...223

Lampiran 11 Foto Penelitian ...224

Lampiran 12 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...245


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi itu kemudian diringkas dan dikonseptualisasi sedemikian rupa menjadi tiga jenis fungsi di dalam bahasa, yaitu fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Tiga fungsi ini dikenal dengan metafungsi bahasa (Sinar, 2012:22).

Metafungsi bahasa hadir pada setiap penggunaan bahasa dalam konteks-konteks sosial. Fungsi-fungsi ini, yaitu ideasional (logika dan eksperensial), interpersonal, dan tekstual mempresentasikan organisasi bahasa. Di dalamnya ada sistem semantik, sistem pragmatik, sistem leksikogramatika, dan sistem fonologi. Sistem semantik terdiri atas makna dalam teks, sistem pragmatik terdiri atas makna dalam konteks, sistem leksikogramatika terdiri atas sintaksis, morfologi, dan leksis, sedangkan sistem fonologi terdiri atas bunyi dalam fonem. Berbicara tentang gramatika, fungsi logika manusia direalisasikan melalui sistem kompleksitas klausa, fungsi eksperensial direalisasikan melalui sistem transitivitas, fungsi interpersonal direalisasikan melalui sistem modus, dan fungsi tekstual direalisasikan melalui sistem tema bahasa (Halliday, 1978:129). Secara semiotis, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem dari sistem-sistem yang mencakup dan mempekerjakan tiga metafungsi utama di atas sehingga bahasa menjadi relevan dengan konteks.

Fungsi ideasional adalah bahasa sebagai representasi atau refleksi, tempat penutur sebagai pemerhati realitas menerangkan sifat realitas. Fungsi


(21)

interpersonal adalah bahasa sebagai alat memberi dan menerima maklumat atau kegiatan, yaitu penutur sebagai penyusup realitas menerangkan tafsiran realitas intersubjektif. Fungsi tekstual adalah bahasa sebagai pesan atau relevan dengan penutur menerjemahkan realitas semiotik dengan menghubungkan realitas konteks tempat pembuatan makna bahasa (Martin, 1993:145).

Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang yang berbeda dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang dimiliki oleh individu didapatkan dari masyarakat tempat mereka tinggal atau hidup. Setiap bangsa memiliki bahasa tersendiri dengan dialek, aturan, logat, dan pola masing-masing. Oleh karena itu, pada saat orang bicara, dialek, aturan, logat, dan pola yang digunakan akan dibangun oleh masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa juga merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Masyarakat penutur suatu bahasa akan memperlihatkan latar belakang budaya pada saat berbahasa atau berkomunikasi dengan orang lain.

Sapir dan Whorf (1956:34) menyatakan bahwa bahasa dan masyarakat memiliki hubungan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dunia nyata manusia dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Hal ini membuktikan bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat berada dalam suatu keadaan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa membawa karakteristik budaya dan pikiran penuturnya.


(22)

Bahasa merupakan alat ekspresi yang dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan psikomotorik penutur suatu bahasa. Pikiran, perasaan, dan psikomotorik manusia menghasilkan produk kebudayaan (Bawa, 2004:4). Kebudayaan itu sendiri termasuk konvensi atau tradisi penggunaan unsur-unsur linguistik secara relatif membuat suatu kelompok dapat berbicara, berperilaku dalam konteks atau situasi sosial antara kelompok satu dan yang lainnya (Foley, 1977:250).

Bahasa digunakan dalam konteks tempat penutur menggunakan bahasa. Mereka dapat berkomunikasi karena memahami teks, konteks, dan pola atau struktur teks (Yule, 1996:1). Dalam hal ini, dipahami adanya suatu asumsi yang mengarah pada suatu generalisasi, yaitu setiap bahasa memiliki tuturan yang terikat dengan konteks situasi.

Tidak ada tuturan atau pembicaraan yang terlepas atau terjadi tanpa konteks situasi. Oleh karena itu, setiap maksud dapat dituturkan atau diungkapkan dengan berbagai bentuk atau modus tertentu. Artinya, setiap fungsi bahasa atau maksud tertentu, apakah memerintah, meminta, menawarkan, menolak, menginformasikan, dan sejenisnya dapat diungkapkan dengan berbagai modus tuturan.

Dalam penggunaan bahasa, diyakini bahwa makna sangat erat berhubungan dengan bentuk. Namun, setiap bahasa memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Demikian pula halnya bahasa Madura memiliki kekhasan dan keunikan. Salah satu keunikan tersebut diwujudkan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.


(23)

Tuturan terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu peminangan (bekalan),

prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Dalam upacara pernikahan BMd, ditemukan adanya tuturan oleh pihak pembicara laki-laki dan pihak perempuan. Tiap-tiap tuturan dapat mengandung maksud yang berbeda-beda, bergantung pada konteks situasinya. Adanya variasi bentuk, fungsi, dan makna ditentukan berdasarkan penggunaan bahasa menurut konteks situasi penutur, tradisi, dan budaya setempat.

Masyarakat di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo merupakan masyarakat Madura yang tinggal di Jawa. Pada umumnya masyarakat Madura yang tinggal di sekitar Pulau Madura masih mempertahankan BMd sampai saat ini. BMd menempati posisi keempat pada tiga belas besar bahasa daerah terbesar di Indonesia setelah Jawa, Sunda, dan Melayu. Adapun jumlah penuturnya mencapai kurang lebih 13,7 juta jiwa (Soegianto dkk., 1986:1). Selain di Pulau Madura, BMd juga digunakan di kepulauan kecil di sekitarnya, seperti di Pulau Raas, Kangean, Spudi, Sapeken, Gayam, Masalembu, dan kepulauan kecil lainnya di sebelah timur Pulau Madura. Dari Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, hingga Banyuwangi Jawa Timur juga masih merupakan wilayah tutur BMd.

Adapun penutur BMd di Desa Kalidandan, Kecamatan Pakuniran, Kabupaten Probolinggo berjumlah 979 penutur. Mereka berkomunikasi dengan BMd dalam kehidupan sehari-hari. BMd digunakan sebagai bahasa ibu untuk berinteraksi antara masyarakat satu dan yang lainnya. Selain itu, BMd banyak dijumpai pada kegiatan-kegiatan sosial, seperti dalam bidang pendidikan,


(24)

kesenian, adat istiadat dan ritual keagamaan, baik secara aktif maupun pasif. Penggunaan BMd sebagai sarana dapat dipahami bahwa penutur (Pn) dan petutur (Pt) memiliki hubungan langsung yang dapat memberikan gambaran, situasi, nilai-nilai, tradisi, dan budaya.

Hodge dan Kress (1988:74) mengatakan bahwa banyak ritual yang melahirkan teks dan konteks dalam masyarakat tutur. Ada dua ritual yang secara umum terdapat pada hampir setiap budaya, yaitu perkawinan dan kematian (penguburan). Masyarakat Probolinggo, khususnya di Desa Kalidandan, Kecamatan Pakuniran memiliki beberapa ritual, antara lain kelahiran, pernikahan, kematian, pembuatan rumah baru (rokat), dan ritual hasil panen. Secara umum,

tuturan upacara pernikahan yang ada di Probolinggo, di kota dan di desa khususnya, di Desa Kalidandan dan di Madura itu sendiri hampir sama, yaitu adanya tahapan tuturan peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan

pascapernikahan. Di balik kesamaan yang ada, terdapat beberapa perbedaan secara lintas tutur, yaitu tuturan terjadi dalam aspek tradisi. Adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh budaya dan lingkungan penutur (ethnography and

echology of speaking).

Dalam susunan tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo terdapat hubungan antarbagian sehingga membentuk satu kesatuan teks dan konteks. Struktur tuturan upacara pernikahan di atas adalah adanya kesatuan (unity) yang menunjuk pada struktur global untuk

mengetahui bentuk dan isi pesannya. Perspektif wacana pernikahan adalah sebuah wacana yang memiliki struktur teks atau organisme yang terdiri atas struktur


(25)

pembuka (opening), isi (body), dan penutup (closing) yang secara simultan ketiga

struktur tersebut membentuk suatu organisme makna untuk mencapai fungsi dan tujuan sosial. Tuturan upacara pernikahan BMd merupakan objek kajian yang kompleks karena memiliki beberapa tahapan, yaitu peminangan (bekalan),

prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Objek penelitian pernikahan ini adalah pernikahan standar yang bersifat saling merujuk dan saling menentukan untuk pemahaman secara utuh. Berikut ini adalah fenomena kebahasaan tuturan prapernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

(1) Dekremah hubungnah Adek‟en Li, wak lah rukun ben sering ekonik‟in perna roma berek ben roma temor?

‘Bagaimanakah hubungan Adikmu Li, sudah serasi dan sering dijemput

menginap di rumah barat dan rumah timur?’

(2) Ye ruah An, ngko‟ lah ngabele ka epak ben emak, can ngko‟ lah soro

pakabin kade‟, lah slameten cak ocaan nasek spereng, mun gun parlonah pagik dibudih. Gutsekgut abereng tak nyaman cacanah oreng ben pole

tako‟ bedeh budinah, jek nyamanah „pereng ben sendok pasteh aklettek‟ ben cak-ocak konanah „tekginah gunung gik tekgien rebbenah‟.

‘Ya itu An, saya sudah katakan sama bapak dan ibu, suruh nikahkan dulu

diselameti walaupun nasi sepiring, resepsinya nanti menyusul. Sering bersama tidak enak omongan orang dan lagi takut ada belakangnya, namanya ‘piring dan sendok pasti terjadi gesekan bunyi’ dan kata sesepuh

kita ‘tingginya gunung masih tinggian rumputnya’.

Dari parameter tuturan di atas, tuturan (1) dan (2) dapat dihubungkan dengan konteks situasi sehingga makna tersebut sangat dinamis pada konteks situasi penggunaan BMd, yaitu keadaan penutur (Pn), petutur (Pt), dan latar belakang atau setting-nya. Dalam konteks ini tuturan (1) tidak hanya bertanya, tetapi juga mengandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat bertanya.


(26)

Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo menarik dan urgen untuk diteliti dengan alasan berikut. Pertama, di samping belum ada penelitian dengan topik ini juga terdapat sejumlah hal yang menarik, yaitu tuturan upacara pernikahan BMd memiliki tahapan dari peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan. Selain

itu, tuturan tradisi yang menimbulkan nilai ideologi. Kedua, tuturan upacara pernikahan BMd mengandung banyak unsur pragmatik yang menarik untuk dikaji. Ketiga, BMd yang digunakan oleh penutur (Pn) masih natural. Artinya, BMd yang digunakan masih belum tersentuh bahasa yang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas, beberapa permasalahan dapat diformulasikan sebagai berikut.

1. Tindak tutur apa sajakah yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?

2. Tindak ilokusi apakah yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Maduradi Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?

3. Ideologi apakah yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo?


(27)

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang diformulasikan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu pragmatik BMd dalam kegiatan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

2. Mengembangkan keuniversalan teori pragmatik untuk menganalisis tindak tutur dalam upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Di samping itu, juga menggunakan teori bahasa, konteks, dan teks untuk menganalisis ideologi yang tercermin dalam kegiatan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan dan menganalisis jenis tindak tutur BMd yang dibangun dalam kegiatan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

2. Menemukan dan mendeskripsikan tindak ilokusi dalam kegiatan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.


(28)

3. Menemukan dan menganalisis ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diarahkan kepada dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

1. Memperkaya khazanah linguistik, khususnya linguistik makro dalam usaha memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan pragmatik BMd.

2. Memperkokoh teori pragmatik dan teori bahasa, konteks, dan teks terhadap penggunaan bahasa Austronesia. Hasil penelitian ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan fenomena khas, baik tradisi maupun budaya yang ada pada bahasa Madura (BMd), khususnya BMd dalam tuturan upacara pernikahanmasyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data dan informasi tentang karakteristik tindak tutur yang berupa tindak tutur literal dan kontekstual BMd. Selanjutnya dapat menjadi sarana dokumentasi BMd, keabsahan untuk mengembangkan BMd sehingga BMd dapat dijaga dan dilestarikan keberadaannya.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini.

Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual

kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob

menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan

tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi

waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob,


(30)

Handayani menunjukkan bahwa bentuk kayob memiliki beberapa ciri, yakni

terdapat pola-pola formula dalam baris-baris kayob, jenis-jenis formula tersebut

adalah formula satu baris, setengah baris, dan satu kata. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam wacana kayob yang ditelitinya ditemukan adanya tema, gaya bahasa,

dan estetika bunyi kayob. Fungsi yang terdapat dalam kayob meliputi fungsi

religius, fungsi sosiologis, fungsi ekonomis, dan fungsi apresiatif reflektif. Analisis makna dalam syair kayob memiliki makna kepercayaan, makna sosial,

dan makna didaktis. Penelitian tersebut belum lengkap karena tidak dibahas secara tuntas terutama nilai-nilai yang tercermin di balik wacana tersebut. Hal tersebut perlu tinjauan lagi karena penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi bentuk, fungsi, dan makna.

Netra (2005) menyusun tesis berjudul “Eksplikasi Makna Ilokusional Tuturan Upacara Memadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik

Alami (MSA)”. Aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah jenis tindak tutur, makna ilokusional, dan eksplikasi makna ilokusional dengan teori tindak tutur dan MSA. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa tuturan upacara memadik di Denpasar dibangun oleh jenis tindak tutur dan

cultural scripts. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah (1) TT langsung (TL),

(2) TT tidak langsung (TTL), (3) TT literal (TLit), (4) TT tidak literal (TTLit), (5) TT langsung literal (TLLit), (6) TT tidak langsung literal (TTLLit), (7) TT langsung tidak literal (TLTLit), dan (8) TT tidak langsung tidak literal (TTLTLit). Tuturan juga dibangun oleh cultural scripts pada tataran leksikon dan tata bahasa


(31)

MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, MERASAKAN, MENGINGINKAN, MELIHAT, dan MENDENGAR. Di pihak lain tipe tindakan dibangun oleh MELAKUKAN dan MENGATAKAN. Penelitian tersebut perlu kelanjutan karena sejauh ini belum dikaji ideologi tuturan upacara memadik di Denpasar.

Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hal yang sangat bermanfaat bagi peneliti, terutama dalam menganalisis tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang dibahas dalam penelitian tersebut. Walaupun objek penelitian tersebut berbeda dengan objek yang dikaji oleh peneliti, penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberikan sumbangan bagi peneliti untuk dijadikan bahan pembanding.

Sastriadi (2006) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Tawur pada Masyarakat Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah: Sebuah Kajian Wacana”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TRT memiliki sejumlah dimensi struktur tekstual pada tataran superstruktur, yaitu struktur makro dan struktur mikro. Pada tataran struktur makro TRT mengandung tema tentang permohonan kepada roh beras untuk menyampaikan permohonan manusia kepada sahur

parapah „dewa‟. Pada tataran struktur mikro TRT ditemukan adanya paralelisme leksikogramatikal pada unsur perangkat diad yang berpasangan berjumlah

maksimal sepuluh kata dalam klausa dan terdapat perangkat diad tunggal (tidak

memiliki pasangan). Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam TRT yang ditelitinya ditemukan adanya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna yang berkenaan dengan ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Penelitian


(32)

tersebut belum mengkaji konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin dari TRT tersebut sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal mengetahui struktur teks ritual TRT.

Sutama (2010) menyusun disertasi berjudul “Teks Ritual „Pawiwahan‟ Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional”. Ia mengkaji keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan

awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan). Struktur dikaji

secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa bagian yang satu dengan yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki

sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b) struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang berkaitan dengan alur pesan dan informasi, dan (d) struktur makna. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitian tersebut memberikan

kontribusi kepada peneliti dalam hal mengetahui struktur ritual „pawiwahan

masyarakat adat Bali sehingga dapat dijadikan pembanding dan rujukan.

Lanny (2013) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Kelahiran Orang Boti di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Suku Boti menganut agama yang disebut Halaika. Hasil penelitian Lanny menunjukkan


(33)

bahwa tuturan kelahiran orang Boti memiliki tujuh tahapan ritual, yaitu Onen toit

li‟ana, Na‟aup, Lef usaf, Onen na‟po li ana usan, Kanaf, Tapoitan li‟ana, Eu‟nak

funu. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam tuturan kelahiran orang Boti yang

ditelitinya ditemukan adanya (a) gaya bahasa, (b) fungi, (c) makna, dan (d) nilai. Gaya bahasa meliputi metafora dan paralelisme. Fungsi meliputi fungsi magis, fungsi emotif, dan fungsi konatif. Makna meliputi makna didaktis, makna religi, dan makna sosiologis. Nilai meliputi nilai pendidikan, nilai hidup, dan nilai budaya. Penelitian tersebut tidak membahas konteks situasi seperti medan (field),

pelibat (tenor), sarana (mode), dan konteks ideologi yang tercermin di balik

tuturan ritual kelahiran orang Boti sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal mengetahui tahapan tuturan ritual kelahiran orang Boti.

Magdalena (2013) menulis disertasi berjudul “Teks Kette Katonga Weri Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: Analisis Linguistik

Sistemik Fungsional”. Data lisan diperoleh melalui metode observasi dan wawancara dengan teknik perekaman empat acara KKWK pada masyarakat adat Weweha di dua kecamatan dan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif tepatnya metode padan. Hasil analisis disajikan dalam bentuk formal, informal, dan gabungan dari keduanya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa leksikogramatika teks dalam KKWK mencakup transitivitas, modus, dan tema. Transitivitas memiliki tiga unsur pokok, yaitu (a) partisipan direalisasikan oleh kelompok nomina dan pronomina persona, (b) sirkumstan seperti waktu, (3) proses material, proses


(34)

verbal, proses relasional, proses wujud, proses mental, dan perilaku. Modus meliputi indikatif dan imperatif. Di pihak lain tema meliputi topik, interpersonal, dan tekstual. KKWK juga memiliki konteks situasi yang meliputi medan, pelibat, dan sarana. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya ideologi teks yang mencerminkan nilai-nilai penghormatan, persatuan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesepakatan. Dalam penelitian tersebut permasalahan dibahas secara lengkap. Penelitian tersebut memberikan kontribusi bagi peneliti dalam hal menentukan ideologi sehingga dapat dijadikan rujukan dan pembanding.

Suwendi (2013) menyusun tesis berjudul “Wacana Ritual Caru Eka Sata Ayam Brumbun: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. Ritual caru eka sata ayam brumbun termasuk ritual bhuta yadnya. Caru ini menggunakan seekor ayam

brumbun sebagai sarana persembahan. Teks wacana ritual CES AB disusun dalam

bahasa Bali Kawi, yakni bahasa Bali yang banyak menyerap kosakata dan afiks bahasa Jawa Kuno (Kawi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa CES AB

memiliki beberapa struktur, seperti struktur skematik teks yang meliputi tiga bagian, yaitu (a) bagian pendahuluan yang terdiri atas teks durmanggala, teks

biakaon, teks prayascita, dan teks pangulapan, yang semuanya disebut

pangresikan; (b) bagian isi yang merupakan bagian utama teks, yang juga disebut

inti caru; (c) bagian penutup yang disebut panyineb puja. Ia juga mendeskripsikan

bahwa dalam teks wacana ritual CES AB yang ditelitinya ditemukan beberapa

fungsi dan nilai, yaitu (1) fungsi magis yang mencerminkan adanya kekuatan positif para dewa dan kekuatan negatif para bhuta kala, (2) fungsi informatif, dan


(35)

(3) fungsi emotif. Di pihak lain nilai yang terkandung di dalam teks CES AB

meliputi nilai religius, nilai permohonan, nilai ekonomi, dan nilai keharmonisan. Penelitian tersebut hanya mengkaji struktur dasar, yaitu struktur teks, fungsi, dan nilai. Penelitian tersebut belum memberikan deskripsi konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin di balik CES AB.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep operasional yang dipaparkan berdasarkan objek dalam penelitian ini. Konsep dipaparkan dengan tujuan dapat menyatukan persepsi untuk memberikan kemudahan dan gambaran yang jelas tentang arah penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kridalaksana (2008:132) bahwa konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau bahasa yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya.

2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan

Tuturan merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai alat komunikasi yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu sehingga dapat dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis bahasa itu sendiri. Hal ini merupakan kebebasan untuk melakukan interpretasi dari apa yang akan dikatakannya, seperti tuturan upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa


(36)

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan.

Penggunaan tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengacu pada peristiwa tutur tertentu. Dengan demikian, dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis.

Tuturan diartikan sebagai ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya dalam konteks tertentu, sedangkan kalimat merupakan ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya yang tidak terikat konteks tertentu. Artinya, tuturan mencari maksud, sedangkan kalimat mencari makna (Matthew, 1997:393). Van Dijk (1943:1) mengatakan sebagai berikut.

speech acts usually do not come alone. They may occur in ordered sequences of speech acts accomplished by one speaker or by subsequent speaker, e.g. in the course of a vonversation. Much in the same way as sentences may occur in sequences which should satisfy a number of constraints, e.g. those of semantic coherence, in order to be acceptable as discourse, we should expect that speech act sequences are not arbitrary. They must also satisfy a number of constraints. One of the obvious tasks for an extension of a theory of speech acts within linguistic pragmatics. Then, is the formulation of these constraints.

Tuturan biasanya tidak hadir sendirian. Tuturan dapat terjadi dalam urutan pesan yang disempurnakan oleh penutur dan petutur berikutnya dalam rangkaian percakapan. Banyak cara dalam sebuah kalimat yang dapat terjadi secara berurutan dan dapat memenuhi angka ketidakleluasaan, seperti dalam semantik sebagai wacana yang menghasilkan tindak tutur yang berurutan dan tidak berubah-ubah.


(37)

2.2.2 Konteks dalam Pragmatik

Sebelum dijelaskan makna tindak tutur, dipandang perlu dipahami makna semantik dan pragmatik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini Leech (1983:5--6) memaparkan makna sebagai berikut.

semantics and pragmatics in practice, the problem of distinguishing

„language‟ (langue) and „language use‟ (parole) has centred on a

boundary dispute between semantics and pragmatics. Both fields are concerned with meaning, but the difference between them can be traced to two different users of the verb to mean:

[1] what does X mean? [2] what did you mean by X? Semantics traditionally deals with meaning as a dyadic relation, as in

[1], while pragmatics deals with meaning as a triadic relation. As in [2], thus meaning in pragmatics as defined relative to a speaker or user of the language. Whereas meaning in semantics is defined purely as a property of expression in a given language, in abstraction from particular situation, speakers, or hearer.

Berdasarkan paparan Leech di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi „diadik‟ seperti pada „apa

maksudnya X‟. Di pihak lain pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi „triadik‟ seperti pada „apa maksudnya dengan

↓‟. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberikan definisi dalam

hubungannya dengan penutur atau pengguna bahasa. Di pihak lain dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, artinya terpisah dari situasi penutur dan lawan tuturnya.

Kiefer (1980:9) menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way

in which the interpretation of syntactically defined expressions depends on the


(38)

interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu. Cara menginterpretasikan ungkapan tersebut bergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.

Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatics is the study of those

relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in

the structure of language. Artinya, pragmatik merupakan kajian hubungan antara

bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Mey (1993:42) menekankan konteks dan mengatakan bahwa pragmatics is

the study of conditions of human language uses as these are determined by the

context of society. Artinya, pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan

bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.

Parker (1986:11) mengatakan bahwa: pragmatics is the study of how

language is used for communication. Pragmatik adalahkajian tentang bagaimana

bahasa digunakan untuk berkomunikasi dan menegaskan bahwa pragmatik tidak menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, tetapi menelaah secara eksternal.

Konteks menurut Preston (1984) adalah segenap informasi yang berada di sekitar penggunaan bahasa, bahkan termasuk juga penggunaan bahasa yang ada di sekitarnya (yang mendahahului ataupun sesudahnya). Dengan demikian, konteks dapat dibedakan menjadi konteks bahasa dan konteks non-bahasa. Konteks nonbahasa dapat dibedakan menjadi (1) konteks dialektal, di antaranya meliputi usia, jenis kelamin, dan spesialisasi (menunjuk kepada profesi), (2) konteks


(39)

diatipik meliputi setting (tempat dan jarak interaksi), topik pembicaraan dan

fungsi, (3) konteks realisasi meliputi cara dan saluran yang digunakan orang untuk menyampaikan pesan, yaitu pesan tertulis dan lisan, sedangkan saluran berupa telepon, telegram, ataupun bersemuka.

Suyono (1990:20) mengatakan bahwa konteks meliputi konteks fisik dan konteks sosial psikologis. Konteks fisik, misalnya berupa tempat, waktu, dan hal-hal fisik lain yang dapat diindra. Di pihak lain konteks sosial psikologis, misalnya berupa hubungan antarpesan, keadaan batin para pemeran, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38) sebagai berikut.

The surroundings in the widest sense that enable the participants in the communication process to interact and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible.

Situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur berkomunikasi, dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Artinya, situasi yang dapat menimbulkan seseorang berujar karena situasi tersebut tidak mendukung keadaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa untuk menyampaikan suatu maksud atau fungsi sebuah makna kepada orang lain, bukan hanya dengan satu modus tuturan, melainkan dengan banyak modus tuturan, bergantung pada konteks situasi di mana bahasa itu digunakan atau dituturkan. Hymes (1972:10--14) mengemukakan unsur-unsur yang dapat membentuk konteks, yaitu sebagai berikut.


(40)

a) The form and content of the message (bentuk dan isi pesan).

b) The setting (perangkat lingkungan khas, misalnya waktu dan tempat).

c) The intent and effect of the communication (maksud dan dampak komunikasi).

d) The key (kunci atau petunjuk).

e) The medium (perantara).

f) The genre (genre).

g) The norm of interaction (norma interaksi).

2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan

Konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tuturan dan tindakan. Di samping itu, juga dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-temurun.

Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis ideologi sangat erat berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna (pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain, bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi penggunaan bahasa.

Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1997:237) bahwa ideologi merujuk pada posisi kekuatan dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi sosial membawa mereka dalam keyakinan.


(41)

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini dikerangkai oleh dua teori, yaitu (1) teori pragmatik dan (2) teori bahasa, konteks, dan teks. Teori pragmatik (Leech, 1983; Wijana, 1996) digunakan untuk menganalisis dua permasalahan. Pertama, tindak tutur yang ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua, tindak tutur yang memperlihatkan tindak ilokusi dalam tuturan pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks (Halliday, 1985) untuk menganalisis permasalahan yang ketiga, yaitu ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua teori ini saling melengkapi sebagai teori utama dan teori pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian bahasa Madura (BMd). Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan jelas tentang kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara terperinci di bawah ini.

2.3.1 Tindak Tutur

Berkaitan dengan bahasa dan konteks penggunaannya, Austin (1962) dalam bukunya yang berjudul How to do things with Words mengatakan bahwa

suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk mengatakan sesuatu. Dalam hal ini lebih lanjut dia berpendapat bahwa suatu ekspresi tutur yang secara gramatika digolongkan sebagai tuturan yang eksklamasi


(42)

atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, tetapi juga dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1962:98--99).

Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise), dia sebenarnya tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar, 2009:11). Tuturan ini disebut tuturan performatif dan kata kerja yang digunakan dalam tuturan ini juga disebut kata kerja performatif (Austin, 1962; Searle, 1977; Cummings, 2007; Leech, 1983; Levinson, 1983:229--232).

Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur sering, tetapi tidak selalu merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin dari penutur asli, penutur, dan penulis nonasli yang secara pragmatik dianggap berkompeten walaupun dengan berbagai versi dialeknya menggunakan bahasa tersebut dengan fungsi-fungsi bahasanya, seperti mengucapkan terima kasih, memuji, meminta, menolak, dan mengeluh. Menurutnya, selama ini pendekatan tradisional sudah sering digunakan dalam menganalisis tindak tutur yang dalam implementasinya jauh dari interaksi situasional.

Terkait dengan pendapat Cohen, Searle (1977:22) juga mengatakan hal yang senada, yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu bentuk tindakan atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan. Ujaran seperti (a) Sam smokes habitually, (b) Does Sam smoke habitually, (c)

Sam, smoke habitually, dan (d) Would that Sam smoke habitually merupakan


(43)

suatu penegasan (assertion), (b) bertanya, (c) memberikan perintah (giving an

order), dan (d) menyatakan harapan atau keinginan.

Pendekatan baru yang diajukan oleh Kasper (2006) dalam menganalisis tindak tutur adalah discursive pragmatics, yaitu suatu pendekatan pragmatik yang

melibatkan analisis percakapan. Pendekatan ini tidak hanya menyokong kajian tindak tutur dalam wacana atau dalam interaksi, tetapi juga melalui wacana dengan menggunakan pendekatan conversations analysis (CA) terhadap tindakan,

arti, dan konteks dalam mempelajari tindak tutur.

Austin (1962), Searle (1977), Leech (1983), dan (Nadar, 2011:11--12) mengatakan bahwa ada tiga syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi agar suatu tindakan dapat berlaku atau terlaksana. Ahli linguistik menyebutnya dengan istilah felicity conditions. Kondisi tersebut diformulasikan menjadi tiga bagian,

yaitu seperti berikut.

1. The person and circumtances must be appropriate, yaitu adanya kesesuaian

antara pelaku dan situasi. Tuturan untuk pengantin pada saat perkawinan atau pria dan wanita yang sedang menikah “saya nyatakan Anda berdua sebagai suami istri” hanya dapat berlaku jika yang mengucapkan adalah seorang yang memegang wewenang untuk mengucapkan tuturan tersebut, misalnya pendeta atau pastor.

2. The act must be executed completely and correctly by all participants, yaitu

tindakan tersebut harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku. “Anda betul-betul bersalah” kepada bawahannya, tetapi tidak mampu


(44)

menunjukkan kesalahnnya ataupun peraturan yang menggariskan bahwa dia bersalah dianggap tidak valid.

3. The participants must have the appropriate intentions, yaitu pelaku harus

mempunyai maksud yang sesuai. Tuturan “Saya akan menemui Anda di kantor

pukul tiga” dianggap tidak valid jika penutur tidak bisa datang karena sudah membuat janji dengan pihak lain.

Searle (1977:23--24) di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The

Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya

ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act).

Leech (1983:198--199) di dalam bukunya Principles of Pragmatics juga

mengatakan hal yang senada bahwa cara yang tepat untuk mengawali suatu kajian mengenai verba tindak tutur adalah dengan menyajikan pembagian tindak tutur, yaitu lokusi (locutionary), ilokusi (illocutionary), dan perlokusi (perlocutionary).

Nababan (1987:4) juga membedakan tindak bahasa secara analitis yang terjadi secara serentak menjadi tiga macam, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.

Levinson (1983:236) states that “but if this notion that, in uttering sentences, one is also doing things, is to be clear, we must first clarify in what ways in uttering a sentence one might be said to be performing actions. Austin isolates three basic senses in which in saying something one is doing something, and hence three kinds of acts that are simultaneously performed: locutionary act,


(45)

Levinson (1983:236) menyatakan bahwa jika seseorang bertindak tutur dalam suatu kalimat, seseorang juga melakukan sesuatu sebagai tindakan. Kita harus menjelaskan cara yang tepat untuk mengawali suatu ujaran yang dapat dikatakan tindakan. Austin (1962:148--149) membagi tiga pengertian dasar mengenai tindak tutur yang disebut seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian, tiga jenis tindakan yang secara bersamaan disebut, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.

Posisi setiap tindak tutur ini diperjelas oleh Cohen (2008:214) dengan memberikan contoh ujaran “Do you have a watch?” secara literal ujaran ini menanyakan apakah seseorang memiliki sebuah jam tangan. Makna ini disebut dengan makna sesungguhnya atau “makna proposisional”, yaitu meminta (request). Di pihak lain ada suatu maksud oleh penutur (intended illocutionary

meaning), yaitu meminta agar lawan tutur memberi tahu penutur pukul berapa

sekarang. Hal yang menarik dari tindak tutur adalah efek yang ditimbulkan (perlocutionary effect) atau juga disebut actual illocutionary force of speech act,

yaitu lawan tutur diminta untuk mengatakan pukul berapa sekarang.

2.3.1.1 Komponen Tindak Tutur

Secara umum tindak tutur (TT) dibagi menjadi tiga, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act) (Austin, 1962; Searle, 1977; Leech, 1983:199). Berdasarkan


(46)

pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo, dibedakan menjadi tiga. Ketiga tindak tutur tersebut dapat diuraikan berikut ini.

1. Tindak Lokusi

Tindak lokusi merupakan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something (Wijana, 2011:21). Leech

(1983:199) menyatakan sebagai tindakan menyatakan sesuatu yang berarti bahwa tindak tutur ini mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu ungkapan, serupa dengan hubungan “pokok” dengan “predikat” atau “topik” dengan “penjelasan” dalam sintaksis atau subject-predicate dan topic-comment

(Nababan, 1987:18) atau propositional act (Searle, 1977:29).

2. Tindak Ilokusi

Tindak tutur ini berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of

doing something (Wijana, 2011:23). Tindak ilokusi ini juga dikatakan sebagai

suatu ungkapan untuk menyatakan pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, dan sebagainya.

Yule (1996:48) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan suatu bentuk ujaran yang mempunyai fungsi-fungsi, seperti pernyataan, penawaran, janji, dalam mengujarkan sebuah kalimat dengan parafrasa performatif yang eksplisit. Apabila kita membuat ujaran ilokusi atau ujaran lainnya, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya verba dalam ujaran tersebut atau ungkapan yang mirip


(47)

verba (Leech, 1983:202). Hal ini merupakan kunci pokok yang digunakan untuk menentukan bentu-bentuk tindak ilokusi tersebut. Beberapa verba yang dikelompokkan ke dalam ilokusi oleh Leech (1983:203) adalah report (melapor),

announce (mengumumkan), predict (meramalkan), admit (mengakui), opine

(berpendapat), ask (meminta), reprimand (menegur), request (memohon), suggest

(menganjurkan), order (menyuruh), propose (mengusulkan), express

(mengungkapkan), congratulate (mengucapkan selamat), promise (berjanji), thank

(mengucapkan terima kasih),dan exhort (mendesak).

Searle (1979:44) membagi TT ilokusi menjadi lima bagian, yaitu

representative, directive, commissive, expressive, dan declarative. Di pihak lain

Fraser (1975:112) membedakan TT ilokusi menjadi delapan bagian, yaitu act of

asserting, act of evaluating, act of reflecting speaker attitude, act of stipulating,

act of requesting, act of suggesting, act of exercising authority, dan act of

commiting.

3. Tindak Perlokusi

Tindak tutur ini mempunyai pengaruh atau perlocutionary force atau efek

bagi yang mendengarkan. Efek ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dibuat oleh penuturnya. Tindak tutur ini dimaksudkan untuk memengaruhi lawan tuturnya sehingga sering disebut the act of affecting someone (Wijana, 2011:24).

Leech (1983:203) mengemukakan beberapa formula yang mampu menjelaskan tindak perlokusi, di antaranya bring h to learn that (membuat lawan tutur tahu


(48)

think about (membuat lawan tutur berpikir tentang sesuatu). Ketiga verba formatif

(learn, do, think) bisa dijabarkan menjadi beberapa verba performatif untuk tindak

tutur perlokusi, di antaranya persuade (membujuk), deceive (menipu), encourage

(mendorong), irritate (menjengkelkan), frighten (menakuti), amuse

(menyenangkan), inspire (mengilhami), impress (mengesankan), distract

(mengalihkan perhatian), relieve tension (melegakan), embarrass

(mempermalukan), attact attention (menarik perhatian),dan bore (menjemukan).

2.3.1.2 Jenis Tindak Tutur

Pembahasan tentang jenis tindak tutur (TT) sangat erat kaitannya dengan modusnya. Pengklasifikasian tindak tutur dapat dilihat berdasarkan kalimat atau kata-kata yang menyusunnya. Wijana (1996:36) mengembangkan pendapat Austin (1962), Searle (1979), Leech (1983), Levinson (1983), Yule (1996), dan Bach (1999). Wijana membagi tindak tutur secara terperinci ke dalam bahasa Indonesia menjadi delapan, yaitu (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak langsung, (3) tindak tutur literal, (4) tindak tutur tidak literal, (5) tindak tutur langsung literal, (6) tindak tutur tidak langsung literal, (7) tindak tutur langsung tidak literal, dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal.

1. Tindak Tutur Langsung

Tindak tutur langsung sering disebut dengan direct speech act adalah

tindak tutur berupa sebuah ujaran yang memiliki fungsi yang sama dengan modus tuturannya, seperti modus interogatif untuk bertanya, modus deklaratif untuk


(49)

menginformasikan atau memberitahukan sesuatu, dan modus imperatif untuk memerintah (Wijana, 1996:30), seperti tuturan berikut ini.

(1) + Kamu tinggal di mana? - Di Bali.

(2) Walaupun dia pemalas, tetapi dia pintar.

Tuturan yang disampaikan penutur kepada petutur pada kalimat (1) termasuk ke dalam modus interogatif yang melahirkan makna bertanya. tuturan itu berfungsi untuk menanyakan sesuatu tanpa ada unsur menyuruh atau membujuk lawan bicaranya. Di pihak lain kalimat (2) merupakan modus tuturan deklaratif yang berfungsi untuk memberikan informasi tanpa unsur memengaruhi lawan bicaranya. Jika diuraikan dalam bagan, modus tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan unsur sintaksis dengan makna yang berbeda-beda, seperti terlihat pada skema di bawah ini.

Tabel 1 Modus Tuturan

No Modus Makna

1. Deklaratif (berita) Memberitahukan 2. Interogatif (tanya) Bertanya

3. Imperatif (perintah) Perintah

2. Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) adalah tindak tutur yang


(50)

perintah diujarakan dengan lebih sopan dalam modus tuturan berita atau tanya. Dengan demikian, petutur yang diperintah oleh penutur tidak merasa dirinya diperintah (Wijana, 2011:28--29), seperti tuturan berikut ini.

(3) Rambutmu sudah panjang

Kalimat (3) termasuk ke dalam jenis TT tidak langsung yang diujarkan dengan kalimat berita. Apabila tuturan (3) dituturkan oleh orang tua kepada anaknya atau guru kepada muridnya dalam aktivitas sekolah, maka tuturan itu dimaksudkan untuk menyuruh muridnya atau anaknya memotong rambutnya.

Dari uraian di atas, skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya dengan kelangsungan tindak tutur dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 2 Modus Tuturan

No Modus Tindak Tutur

Langsung Tidak langsung 1. Deklaratif (berita) Memberitakan Menyuruh

2. Interogatif (tanya) Bertanya Menyuruh 3. Imperatif (perintah) Memerintah ---

Skema di atas menunjukkan bahwa kalimat perintah tidak dapat digunakan untuk mengutarakan tuturan secara tidak langsung.


(51)

3. Tindak Tutur Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang

maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 2011:30). Perhatikan contoh berikut ini.

(4) Pulau Bali pemandangannya indah (5) Penyanyi itu suaranya bagus

Kalimat (4) dan (5) termasuk ke dalam jenis TT literal yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Kalimat (4) mengandung makna bahwa penutur benar-benar mengagumi keindahan pemandangan Pulau Bali, sedangkan kalimat (5) memang benar dimaksudkan untuk mengagumi kemerduan suara seorang penyanyi.

4. Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang

maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 2011:31), seperti tuturan berikut ini.

(6) Suaramu bagus, tapi tak usah nyanyi saja

(7) Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku ingin belajar Kalimat (6) termasuk ke dalam jenis TT tidak literal karena maksud tuturannya berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Di awal kalimat terkesan memuji atau mengagumi suaranya, padahal secara tidak langsung menyarankan secara sopan agar petutur diam dan sebaiknya tidak perlu bernyanyi. Kalimat (7) juga terkesan berlawanan dengan maksud leksikalnya. Sebenarnya


(52)

makna kalimat yang disampaikan penutur kepada petutur adalah untuk mengecilkan volume suara radionya karena pada situasi saat itu penutur ingin belajar.

5. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) merupakan

kombinasi tindak tutur langsung dan tindak tutur literal. Tindak tutur langsung literal adalah TT yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya, dsb (Wijana, 2011:32), seperti tuturan berikut ini.

(8) Jam berapa sekarang? (9) Orang itu sangat pandai (10) Buka mulutmu

TT langsung literal pada kalimat (8) merupakan TT langsung dengan modus interogatif yang dituturkan penutur kepada petutur untuk menanyakan waktu. Kalimat (9) termasuk TT dengan modus tuturan deklaratif yang berfungsi memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan penutur kepada petutur sangat pandai, sedangkan kalimat (10) termasuk TT dengan modus tuturan imperatif yang berfungsi menyuruh petutur membuka mulutnya, misalnya pada situasi saat itu penutur sebagai dokter akan memeriksa pasien yang sedang sakit gigi atau situasi petutur ingin membersihkan karang giginya.


(1)

adiknya untuk tidak berbicara sewaktu makan agar terlihat sopan. Data (17) dan (18) menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang dikatakan yang penting, melainkan bagaimana cara mengatakannya.

8. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah TT yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (Wijana, 2011:34), seperti tuturan berikut ini.

(19) Lantainya bersih sekali

(20) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran

(21) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kaudengar?

Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (19). Demikian pula untuk menyuruh seorang tetangga mematikan atau mengecilkan volume radionya penutur dapat mengutarakan kalimat berita (20) dan kalimat tanya (21).

Di samping ketidaksesuaian modus, makna kata-kata yang menyusunnya juga berbeda dengan maksud tuturannya. Jenis tindak tutur dapat digambarkan sebagai berikut.


(2)

Tabel 3 Jenis Tindak Tutur

No Modus Unit Leksikal Tindak Tutur Langsung Tindak Tutur Tidak Langsung Tindak Tutur Literal Tindak Tutur Tidak Literal 1. Deklaratif

(berita)

Memberitakan Menyuruh --- --- 2. Interogatif

(tanya)

Bertanya Menyuruh --- --- 3. Imperatif

(perintah)

Memerintah --- --- --- 4. Unit Leksikal --- --- Sesuai Tidak Sesuai

Dari tabel di atas tampak bahwa TT langsung sesuai dengan modus tuturan secara sintaksis, dibuktikan pada modus interogatif bermakna tanya, modus deklaratif bermakna memberitahukan atau menginformasikan, dan modus imperatif bermakna perintah secara langsung. Berbeda dengan makna TT tidak langsung yang tidak sesuai dengan modus tuturan secara sintaksis, tetapi lebih bersifat pragmatis dan semantis, seperti pada modus interogatif bermakna menyuruh, modus perintah tidak bermakna secara langsung, dan modus deklaratif bermakna menyuruh. TT literal bermakna sama dengan makna kata-kata yang ada dalam tuturan, sedangkan TT tidak literal bermakna berbeda dengan makna kata-kata yang ada dalam tuturan.

2.3.1.3 Fungsi Tindak Tutur

Kajian tindak tutur merupakan sebuah kajian pemaknaan berdasarkan konteks dan situasi bahasa yang digunakan. Tindak tutur merupakan alat komunikasi untuk mengungkapkan, baik identitas sosial penutur maupun budaya


(3)

penutur. Fungsi tindak tutur berhubungan langsung dengan situasi kontekstual sehingga sifatnya sangat komunikatif.

Berdasarkan tindak komunikatif seorang penutur, Searle (1979:44--45) membagi tindak tutur menjadi lima. Kelima tindak tutur tersebut, yaitu (1) fungsi representatif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi ekspresif, (4) fungsi komisif, dan (5) fungsi deklarasi. Kelima fungsi tindak tutur ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Fungsi Representatif

Fungsi representatif ialah fungsi TT yang mengikat penutur kepada kebenaran atas apa yang dikatakan, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.

2. Fungsi Direktif

Fungsi direktif ialah fungsi TT yang dilakukan penutur dengan maksud agar pendengar atau mitra tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan tersebut, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.

3. Fungsi Ekspresif

Fungsi ekspresif ialah fungsi TT yang dilakukan penutur dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan tersebut, misalnya meminta maaf, berterima kasih, mengkritik, dan mengeluh.


(4)

4. Fungsi Komisif

Fungsi komisif ialah fungsi TT yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan bersumpah.

5. Fungsi Deklarasi

Fungsi deklarasi ialah fungsi TT yang dilakukan oleh penutur dengan maksud untuk menciptakan status sosial, misalnya memutuskan, membaptis, membatalkan, melarang, mengizinkan, memberikan maaf.

2.3.2 Teori Bahasa, Konteks, dan Teks

Dilihat dari bentuknya, teks dapat berupa kata, grup, frasa, klausa, paragraf, dan naskah atau buku. Dari bentuknya itu dapat diklasifikasikan adanya teks kecil (small texts), teks menengah (medium texts), dan teks besar (large texts). Dalam teks menengah dan teks besar terdapat konteks linguistik atau ko-teks, yaitu hubungan antara satu teks dan teks sebelumnya dan sesudahnya. Hubungan tersebut terjadi melalui kohesi. Teks memiliki hubungan yang sangat erat dengan konteks eksternal atau disebut juga konteks sosial.

Konteks sosial meliputi konteks-konteks berikut.

(a) Konteks situasi, yaitu segala sesuatu yang melingkupi atau mendampingi teks. Konteks situasi terdiri atas hal-hal di bawah ini.

 Medan (field), seperti aktivitas, tempat, dan waktu.


(5)

 Sarana (mode), seperti bahasa yang digunakan.

(b) Konteks budaya, yaitu budaya penggunaan bahasa, misalnya apa yang boleh dilakukan, kata-kata apa yang boleh diucapkan atau digunakan, dan tahap-tahap yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.

(c) Konteks ideologi, yaitu pemahaman atas nilai-nilai dalam bentuk simbolik yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat, sudut pandang yang dianut, bentuk-bentuk perilaku, dan lain-lain (Halliday, 1985:12).

2.4 Model Penelitian

Penelitian tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo dimulai dari pengumpulan data lisan BMd yang berbentuk tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Analisis dibagi menjadi dua, yaitu teori pragmatik (Leech, 1983) dan (Wijana, 1996) digunakan untuk menganalisis tindak tutur dan mengklasifikasikannya ke dalam jenis tindak tutur. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks digunakan untuk menganalisis ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Ideologi ini ialah ideologi dalam tuturan tradisi yang dituturkan oleh masyarakat madura secara turun-temurun.


(6)

Keterangan:

memiliki hubungan bawahan memiliki hubungan timbal balik

Bahasa Madura

Tindak Tutur (Leech, 1983)

Tuturan Tradisi BMd

Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Jenis Tindak Tutur (Wijana, 1996)

Tindak Ilokusi

Bahasa, Konteks, dan Teks (Halliday, 1985)

Ideologi

Temuan/Hasil Pendekatan Deskriptif

Kualitatif

Tuturan Pernikahan BMd

Analisis Data Lisan BMd Pragmatik