Hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau

(1)

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PERANTAU

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Disusun oleh:

Zelda Annisa Pricianee Hary 129114154

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

TAKUT AKAN TUHAN ADALAH PERMULAAN PENGETAHUAN,

TETAPI ORANG BODOH MENGHINA HIKMAT DAN DIDIKAN.

AMSAL 1 : 7

JANGAN SEORANGPUN MENGGANGAP ENGKAU RENDAH

KARENA ENGKAU

MUDA

. JADILAH TELADAN BAGI

ORANG-ORANG PERCAYA, DALAM PERKATAANMU,

DALAM TINGKAH LAKUMU, DALAM KASIHMU, DALAM

KESETIAANMU DAN DALAM KESUCIANMU.

1 TIMOTIUS 4 : 12

DREAM ,

BELIEVE,

AND MAKE IT HAPPEN.


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

My Lord Jesus, My Savior, My Provider, My Prince of

Peace. Hasil karya ini merupakan salah bukti dari

penyertaanMu dalam hidupku. Sekiranya dapat bermanfaat

bagi siapapun yang membaca. Amin

The love of my life:

Papaku, Hary Tresna Priana Wibisono

Mamaku, Rency Kalsum Latjeno

Kakakku, Luigie Enry Rheinan Hary

Adikku, Biaggi Rakhmat Rheinan Hary

Tidak lupa juga, kepada orang

-

orang yang selalu

mendorongku untuk cepat lulus.


(6)

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PERANTAU

Zelda Annisa Pricianee Hary ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode korelasional. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 258 mahasiswa perantau yang tidak tinggal bersama dengan orang tua, khususnya ibu. Dalam penelitian ini, tingkat stres diukur dengan tiga skala yang telah diadaptasi, yakni skala Symptoms of Stress (SOS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.83); skala The Inventory of

Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.93); dan skala Perceived Stress Scale (PSS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.81). Kelekatan terhadap ibu diukur dengan adaptasi skala Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba ( = 0.86). Hasil uji korelasi product moment secara berturut-turut antara kelekatan terhadap ibu dengan SOS, ICSRLE, dan PSS adalah r = -0.192 (p= 0.01), r = -0.356 (p = 0.00), dan r = -0.140 (p = 0.12)., sehingga hipotesis diterima. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau.


(8)

viii

CORRELATION BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHERS AND STRESS LEVEL ON SOJOURNER COLLEGE STUDENTS

Zelda Annisa Pricianee Hary ABSTRACT

This research aimed to know the correlation between attachment to mothers and stress level on sojourner college students. Hypothesis that proposed in this research, there is a negative correlation between attachment to mothers and stress level on sojourner college students. This

research was quantitative study using a correlation method. Participants were 258 sojourner who are currently not living with their parents, more specifically their mother. In this

research, stress level measured using three adapted scale which were The Symptoms of Stress (SOS) with a reliability coefficient of ( = 0.83) through try-outs; The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) with a reliability coefficient of ( = 0.93) through try-outs; and The Perceived Stress Scale (PSS) with a reliability coefficient of ( = 0.81) through try-outs. The mother-child attachment was measured with Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) scale, with a ( = 0.86) reliability coefficient through try-outs. The results of a product moment correlation method that were tested on the mother-child attachment wit SOS, ICSRLE, and PSS, were r = -.192 (p = 0.01), r = -0.356 (p = 0.00), and r = -0.140 (p = 0.12) so the hypothesis in this research was accepted. The conclusion, there is a negative correlation between attachment to mothers and stress level on sojourner college students.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur aku panjatkan to The One and Only My Lord Jesus. Berkat penyertaanMu aku berhasil menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih karena Engkau telah memperlancar dan mempermudah segala sesuatunya, sehingga aku bisa sampai saat ini. Biarlah ini bukan untuk kesombonganku, melainkan hanya untuk kemuliaan namaMu saja Tuhan. Sertailah aku menuju tahap selanjutnya, dan biarlah apapun yang aku lakukan selalu Engkau buat berhasil dan beruntung. Amin.

Terkhusus ucapan terima kasih kepada keluargaku tercinta, my core support system. Papaku, Hary Tresna Priana Wibisono. Terima kasih karena papa selalu memberikan nasehat dan ajaran-ajaran yang berguna untuk kehidupanku. Mamaku, Rency Kalsum Latjeno. Role model-ku, wanita terkuat yang pernah aku ketahui, and The Best Mom in The World. Kakakku, Luigie Enry Rheinan Hary. Makasi ya mas selalu bareng aku dari TK sampe kuliah. Adikku, Biaggi Rakhmat Rheinan Hary. Gendutnya aku yang selalu nyebelin tapi ngangenin. Terima kasih atas cinta kalian semua. I LOVE YOU ALL! Ohana means family, family means nobody gets left behind or forgotten.

Terima kasih kepada seluruh jajaran dekanat, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si, selaku dekan Fakultas Psikologi. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi.

Terima kasih kepada Dosem Pembimbing Akademik saya selama ini, Ibu Maria Magdalena Nimas Eki Suprawati M.Si.,Psi. dan Bapak Dr. Hadrianus


(11)

xi

Wahyudi M.Si. Terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh jajaran dosen pengajar di Fakultas Psikologi Univesitas Sanata Dharma.

Terima kasih kepada Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi yang telah bersedia menjadi dosen pembimbing skripsi ini. Terima kasih juga karena selalu bisa menghilangkan perasaan cemas saya terhadap penelitian saya pak. Saya selalu mengingat nasehat bapak “Lakukanlah apapun yang kamu mau, selama langkah yang kamu pilih tidak menyesatkan (penelitian) dirimu”

Terima kasih kepada para dosen penguji saya, Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si dan Bapak Edward Theodorus, M. App. Psy. Terima kasih karena sudah memberikan banyak masukan untuk skrispi saya menjadi lebih baik dan bermanfaat.

Rasa terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Yohanes Babtista Cahya Widiyanto M.Psi selaku Kepala Laboratorium Psikologi tahun 2015, Mas Muji selaku laboran dan teman-teman student staff, yang telah memberiku banyak pelajaran selama aku menjadi student staff di Laboratorium Psikologi. Terima kasih atas kenangan bersama selama satu tahun.

Terima kasih kuucapkan untuk sosok lelaki dalam hidupku, Richard Alexander. Terima kasih karena selalu menguatkanku disaat aku lelah menghadapi tantangan-tantangan dalam hidupku. Terima kasih karena telah mengajariku banyak hal untuk mencintai dan dicintai. Terima kasih karena selalu sabar denganku. Terima kasih untuk canda, tawa, kesal, sedih, senang, dan kegilaan yang telah kita lalui bersama. I’m everything I am, because you loved me.


(12)

xii

Terima kasih juga kuucapkan kepada sahabat-sahabatku “HELIKOPTER”. Erlin Sanjaya S. Psi, a half of me. Makasi ya lin karena selalu bareng dan saling mendukung dimanapun dan kapanpun. Claudia Kartika Panutan S. Psi, The independent woman. Thank you for our madness moments we made, and “the talk” together. Priscilla Fanifati Zebua S. Psi, The Brain. Makasi ya fan udah mau selalu membagi kepintaranmu untuk aku. Angger Aprie Wibawa S. Psi, The Man. Makasi ya prek udah mau jadi yang paling ganteng sendiri diantara kita semua. Sekali lagi terima kasih atas persahabatan, dukungan, kegilaan, tawa, canda, kebodohan, dan semua momen yang udah kita lewatin bareng. Aku berharap persahabatan kita selalu seperti “helikopter” yang sejauh manapun atau setinggi apapun ia terbang, ia pasti selalu mendarat. Begitu pula dengan kita, sejauh manapun kita pergi untuk meraih kesuksesan masing-masing, kita akan selalu kembali “pulang”  Terima kasih karena sudah menjadi rumah bagiku. Stay together, always forever ya guys. God Bless you all <3

Terima kasih untuk my unbiological sisters, Ni Luh Made Utari Praharsini S. Psi dan Valeria Satwika Anindita S. Psi. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Thank you for sharing and caring each other. GBU always sissy

Terima kasih untuk keluarga Psychology Basketball USD. Ko Ching, Abang Martin, Kak Ochy, Mas Moundri, Kak Yatim, Ko Albert, Mas Parto, Ko Akeng, Mbak Tina, Mbak Ruthi, Mbak Angga, Mbak Novi, Cicik Stephanie, Mbak Sita, Kak Monic, Kak Randy, Kak Ayik, Kak Yoan, Mbak Betrik, Radit, Yosua, Nia, Gorbi, Gera, Yuka, Sinta, Novi, Asti, Deva, Foury, Cindy, dan yang mungkin


(13)

xiii

belum aku sebut. Terima kasih karena sudah menghiasi kehidupan perkuliahanku selama 4 tahun ini.

Terima kasih untuk orang-orang yang telah membantuku dan bertukar pikiran Ko Akeng, Ko Natan, Mas Igna. Kepada seluruh orang-orang yang telah mengisi kehidupan kuliahku, Anggota Keamanan AKSI 2013, 2014, dan 2016, terima kasih sudah menjadikan aku sebagai keamanan sejati. “geng kobra” tetep edan ya kalian semua! , “geng crocodile drugs” tetep solid ya kalian!, “trah 2010” terima kasih mas-mas dan mbak-mbak!, “teman-teman bimbingan dengan Pak Siswa” semangat ya guys! “kelas D 2012” terima kasih karena sudah mempercayakan aku sebagai menteri olahraga buat kalian. “geng Bali” terima kasih karena selalu membuat saya merasa seperti di Bali. Tidak lupa juga untuk teman pertamaku saat pertama kuliah, Tiara Luwita Assa S. Psi. Walaupun sekelas deng ngana cuma satu semester, tapi ngana akan selalu kita ingat!

The last but not least, untuk semua teman-teman angkatan 2012 “PSY012” terima kasih untuk semua kebersaman dan kenangan-kenangan yang udah kita lewatin bareng selama empat tahun. Suatu saat nanti kalian akan menjadi bagian dari rangakain cerita kepada anak dan cucuku. Sukses untuk kita semua! *cheers* tidak lupa juga kepada teman-teman yang telah hadir untuk memberi dukungan pada saat proses pendadaran atau sidang skripsi. Terima kasih untuk makanan-makanan yang enak dan bunga-bunga yang indah-indah. That means so much for me 

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya meminta maaf atas kesalahan dan kelalaian yang telah diperbuat baik sikap,


(14)

(15)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12


(16)

xvi

BAB II. LANDASAN TOERI ... 14

A. Stres... 14

1. Definisi Stres ... 14

2. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Stres ... 16

B. Stres Sebagai Respon ... 18

C. Stres Sebagai Stimulus ... 20

D. Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 21

E. Kelekatan Terhadap Ibu ... 23

1. Definisi Kelekatan ... 23

2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan Terhadap Ibu ... 25

3. Aspek Kelekatan Terhadap Ibu ... 26

4. Dampak dari Kelekatan Terhadap Ibu ... 28

5. Jenis Kelekatan ... 30

F. Mahasiswa Perantau... 31

1. Definisi Mahasiswa Perantau ... 31

2. Faktor-Faktor Perubahan pada Mahasiswa Perantau ... 31

G. Hubungan Antara Kelekatan Terhadap Ibu dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Perantau ... 33

E. Skema Penelitian ... 38

F. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III. METODE PENELITIAN ... 40

A.Jenis Penelitian... 40


(17)

xvii

C. Definisi Operasional ... 40

1. Stres... 41

2. Kelekatan Terhadap Ibu ... 42

D. Subjek Penelitian ... 43

E. Prosedur Penelitian ... 44

F. Uji Coba Alat Pengumpulan Data... 44

G. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 45

1. Metode ... 45

2. Alat Pengumpulan Data ... 45

a. Symptoms of Stress Scale (SOS) ... 46

b. The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) ... 48

c. Perceived of Stress Scale (PSS) ... 49

d. The Inventory of Parent and Peer Attachment-Mother Version (IPPA-M) ... 50

H. Validitas Dan Reliabilitas Skala Penelitian... 51

1. Validitas dan Reliabilitas Skala SOS ... 51

2. Validitas dan Reliabilitas Skala ICSRLE... 52

3. Validitas dan Reliabilitas Skala PSS ... 53

4. Validitas dan Reliabilitas Skala IPPA-M ... 54

I. Metode Analisis Data ... 55

1. Uji Asumsi ... 55


(18)

xviii

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

A.Persiapan Penelitian ... 57

B.Pelaksanaan Penelitian ... 57

C.Deskripsi Subjek Penelitian ... 58

D.Deskripsi Data Penelitian ... 60

E. Hasil Penelitian ... 62

1. Uji Normalitas ... 63

2. Uji Linearitas ... 64

3. Uji Hipotesis ... 66

F. Analisis Tambahan ... 68

G. Pembahasan ... 74

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Keterbatasan Penelitian ... 84

C. Saran... 84

1. Bagi Ibu (figur lekat) ... 84

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(19)

xix

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Usia Subjek Penelitian ... 58

TABEL 2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 59

TABEL 3. Semester Subjek Penelitian ... 59

TABEL 4. Daerah Asal dan Tempat Tinggal di Perantauan ... 59

TABEL 5. Deskripsi Data Penelitian ... 60

TABEL 6. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov ... 63

TABEL 7. Uji Linearitas Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Respon ... 64

TABEL 8. Uji Linearitas Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus ... 64

TABEL 9. Uji Linearitas Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 65

TABEL 10. Hasil Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Respon ... 66

TABEL 11. Hasil Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus ... 67

TABEL 12. Hasil Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 67

TABEL 13. Hasil Korelasi Aspek Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Respon ... 69


(20)

xx

TABEL 14. Hasil Korelasi Aspek Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus ... 69 TABEL 15. Hasil Korelasi Aspek Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Terkait Cognitive Appraisal ... 70 TABEL 16. Sumbangan Kelekatan Terhadap Ibu pada Stres Sebagai Respon. ... 71 TABEL 17. Sumbangan Kelekatan Terhadap Ibu pada Stres Sebagai Stimulus ... 72

TABEL 18. Sumbangan Kelekatan Terhadap Ibu pada Stres Terkait Cognitive


(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Skala Penelitian ... 92

LAMPIRAN 2. Reliabilitas Skala ... 105

LAMPIRAN 3. Uji One Sample T-test ... 106

LAMPIRAN 4. Uji Nomalitas Data ... 108

LAMPIRAN 5. Uji Linearitas ... 109

LAMPIRAN 6. Uji Hipotesis ... 110


(22)

xxii

DAFTAR GAMBAR


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stres tidak dapat dipisahkan dari setiap aspek kehidupan. Stres dapat dialami oleh siapa saja dan memiliki implikasi negatif jika berakumulasi dalam kehidupan individu tanpa solusi yang tepat. Akumulasi stres merupakan akibat dari ketidakmampuan individu dalam mengatasi dan mengendalikan stres yang dialami (Rasmun, 2004). Stres merupakan keadaan yang dialami ketika terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya (Lazarus, 1976). Stres juga dapat diartikan sebagai respon terhadap kejadian yang mengancam atau menantang (Feldman, 2012). Stres merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak dapat dihindari dan dialami oleh setiap orang (Kumar & Bhukar, 2013). Menurut jenisnya, stres dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu eustress yang merupakan hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, dan kemampuan adaptasi. Sedangkan, jenis stres kedua adalah distress yang merupakan hasil dari respon yang bersifat tidak sehat, negatif, destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian (Li, Cao, & Li, 2016). Pada penelitian ini, jenis stres yang digunakan adalah distress karena pada umumnya orang


(24)

menggangap stres sebagai sesuatu yang negatif (Li, Cao, & Li, 2016). Selain itu, skala stres yang dipakai dalam penelitian ini juga berfokus pada stres yang bersifat negatif.

Masa remaja juga tidak terlepas dari stres. Santrock (1989/2011) menyatakan masa remaja identik dengan strom-and-stress atau masa bergejolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana hati. Meskipun banyak variasi pada tahap remaja, umumnya remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami perkembangan fisik dan mental menuju kedewasaan seutuhnya (Kai-Wen, 2009). Sejalan dengan yang dikemukan Santrock (1989/2011) remaja merupakan periode transisi perkembangan masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pada tahap ini, tugas perkembangan remaja harus menerima keadaan fisiknya, mengurangi ketergantungan dengan orang tua, menjadi mandiri, menyesuaikan diri dengan masyarakat, dan menjalankan peran yang telah ditentunkan (Santrock, 1989/2011). Salah satu peran sebagai remaja adalah menjadi mahasiswa. Umur mahasiswa berada pada rentang 18 sampai dengan 24 tahun (Camenius, dalam Sarwono 2008).

Beberapa studi melaporkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara mahasiswa dan stres (Schafer, 1996; Fisher, 1994; Altmaier, 1983; Greenberg & Valletutti, 1980 dalam Pfeiffer, 2001). Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa hanya beberapa mahasiswa yang lebih sensitif terhadap suatu stresor. Hal ini tergantung dari karakter dan pola perilaku akan


(25)

kerentanan mereka terhadap stres. Lebih lengkap Potter dan Perry (2005) menyatakan bahwa respon stres dari setiap mahasiswa tergantung dari kondisi kesehatan, kepribadian, pengalaman sebelumnya terhadap stres, mekanisme koping, jenis kelamin, usia, besarnya stresor, dan kemampuan regulasi emosi. Mahasiswa mengalami stres karena tuntutan terkait dengan perubahan; meninggalkan rumah, menjadi pengambil keputusan yang independen, dan bersaing dengan dunia luar (Altmaier, dalam Pfeiffer, 2001). Di sisi lain, beberapa mahasiswa melihat transisi ini sebagai pengalaman positif yang menarik. Tapi beberapa mahasiswa tampaknya merasa terancam dengan perubahan ini. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, mahasiswa akan dihadapkan dengan tuntutan baru, harapan, dan stres (Nelson,

Dell’Oliver, Koch, & Buckler, 2001).

Prevalensi stres pada mahasiswa pernah dilakukan di beberapa universitas dan lebih sering dijumpai pada fakultas kedokteran. Penelitian yang dilakukan Firth (2004) pada salah satu universitas di Inggris, melibatkan 165 mahasiswa menunjukkan prevalensi stres sebesar 31.2%. Sementara itu penelitian yang dilakukan di Asia, misalnya di Pakistan dengan 161 mahaiswa, prevalensi stres mahasiswa adalah 30.84% (Shah, Hasan, Malik, & Sreeramareddy, 2010). Di Indonesia sendiri terdapat penelitian dengan 240 mahasiswa, dan menghasilkan prevalensi stres 50.8% (Legiran, Azis, & Bellinawati, 2015). Sedangkan penelitian tentang faktor stres pada mahasiswa, ditemukan bahwa 38% masalah interpersonal, 28% masalah lingkungan, dan 15% masalah akademik (Ross, Niebling, & Heckert, 1999).


(26)

Hasil yang sama ditunjukkan dalam beberapa penelitian, penyebab stres pada mahasiswa dapat bersumber bermacam bidang seperti, akademik, hubungan atau masalah interpersonal, dan perubahan hidup. Lebih lanjut, disebutkan tuntutan eksternal bersumber dari tugas-tugas kuliah, penyesuaian sosial di lingkungan kampus dengan karakteristik dan latar belakang teman yang berbeda, mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan non akademis, dan bekerja untuk menambah uang saku (Kai-Wen, 2009; Govaerst & Gregoire, 2004).

Stres yang tidak mampu dikendalikan dan diatasi akan memunculkan dampak negatif. Pada mahasiswa, dampak negatif secara kognitif antara lain sulit berkonsentrasi, sulit mengingat materi, dan sulit memahami materi. Dampak negatif secara emosional antara lain sulit memotivasi diri, munculnya perasaan cemas, sedih, kemarahan, frustasi, dan efek negatif lainnya. Dampak negatif secara fisiologis antara lain gangguan kesehatan karena daya tahan tubuh yang menurun, badan terasa lesu, dan insomnia. Dampak perilaku yang muncul antara lain menunda-nunda penyelesaian tugas, malas kuliah, penyalahgunaan obat dan alkohol, terlibat dalam kegiatan mencari kesenangan yang berlebihan serta berisiko tinggi (Spagenberg & Theron, 1999; Heiman & Kariv, 2005; Pariat, Rynjah, Joplin, & Kharjana, 2014; Widianti, 2007).

Dalam kehidupan mahasiswa, waktu bersama yang dihabiskan dengan teman sebaya akan meningkat secara signifikan. Tetapi, orangtua tetap memegang peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan masa


(27)

remajanya (Moretti & Pelled, 2004). Salah satu isu penting yang berkaitan dengan peran orangtua dalam perkembangan remaja adalah kelekatan yang dibentuk sejak masa awal perkembangan. Istilah kelekatan (attachment) pertama kali dikemukakan oleh John Bowlby yang merupakan suatu ikatan emosional yang terbentuk dengan adanya kedekatan dan terkandung rasa aman baik fisik maupun psikologis (Bowlby, 1969). Hubungan ini terbentuk sejak bayi dan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (Ervika, 2005). Bowlby (1982) mengatakan bahwa hubungan kelekatan seseorang di awal kehidupan akan berdampak pada perkembangan sosial dan emosional di tahapan usia mereka selanjutnya.

Menurut Bowlby (1982), kelekatan secara umum terbagi menjadi dua jenis yaitu kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure attachment). Kelekatan aman terbentuk melalui kedekatan, keamanan, dan perlindungan yang diberikan oleh ibu kepada anaknya (Nickerson & Nagle, 2005; Schnyders, 2012). Sedangkan, kelekatan tidak aman terbentuk ketika pengasuh kurang memberikan rasa aman sehingga bayi mungkin menghindari atau menunjukkan penolakan atau sikap ambivalen terhadap pengasuh (Santrock, 1984/2007).

Setelah John Bowlby menciptakan teori kelekatan, salah satu muridnya yaitu Mary Ainsworth pada tahun 1969 melakukan penelitian untuk melihat reaksi anak saat dipisahkan dari pengasuhnya dalam eksperimen yang dikenal dengan strange situation. Dari eksperimen ini, Ainsworth menggolongkan


(28)

tiga pola kelekatan, yaitu secure attachment, dan mengembangkan pola

insecure attachment menjadi dua yaitu, insecure-ambivalent/resistance attachment, dan insecure-avoidant attachment (Papalia, Olds, & Feldman, 1978/2008). Anak dengan kelekatan aman (secure attachment) menjadikan orang tuanya sebagai basis keamanan (secure base) sehingga mereka dapat meninggalkan orang tuanya untuk berekspolarsi dan kembali ke orang tuanya untuk mecari keamanan.

Anak dengan insecure-ambivalent/resistance attachment cenderung cemas meskipun belum ditinggalkan oleh figur lekat dan menjadi sangat kecewa saat ditinggalkan sehingga mereka sangat sulit ditenangkan dan hanya sedikit melakukan eksplorasi. Sedangkan, anak dengan insecure-avoidant attachment jarang menangis bila ditinggalkan oleh figur lekat, tetapi cenderung menghindar saat figur lekatnya kembali (Papalia, Olds, & Feldman, 1978/2008).

Kelekatan pada masa awal perkembangan akan terus berlanjut dan digeneralisasikan pada tahap perkembangan berikutnya, misalnya pada masa remaja yaitu saat menjadi mahasiswa. Kelekatan terhadap ibu pada masa remaja, terdiri dari tiga aspek yaitu komunikasi (communication), kepercayaan (trust), dan keterasingan (alienation). Teori kelekatan pada masa remaja ini dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (1987) dengan tidak membedakan jenis kelekatan secure attachment dan insecure attachment, akan tetapi hanya melihat kualitas kelekatan remaja terhadap ibu berdasarkan kelekatan aman tinggi dan kelekatan aman rendah.


(29)

Beberapa penelitian menujukkan hubungan yang signifikan antara kelekatan dengan stres pada mahasiswa (Li, 2008; Davis, 2012; Petroff, 2008). Ditemukan juga penelitian lain, di mana individu dengan kelekatan aman lebih mampu membangun dan mengelola hubungan positif, dan lebih mampu menghadapi situasi yang penuh tekanan (Armsden & Greenberg, 1987). Beberapa peneliti mengindikasikan remaja dengan kelekatan aman cenderung mengalami stres yang dirasakan lebih rendah (Dogan, Gur, Sener, & Cetindag, 2012; Terzi, 2013). Dilaporkan juga mahasiswa yang memiliki kualitas kelekatan aman tinggi, kurang memiliki tingkat stres yang tinggi (Dorin, 2014).

Orangtua merupakan sosok yang penting dalam membentuk perkembangan remaja. Kelekatan antara orang tua dan anak akan berdampak yang mendalam pada penalaran, sosial, dan regulasi emosi pada remaja (Rabbani, Kasmaienezhadfard, & Pourrajab, 2014). Kelekatan aman terkait dengan keterlibatan perilaku ancaman yang rendah, kesehatan psikologis, peningkatan keterampilan sosial, dan peningkatan strategi koping (Moretti & Pelled, 2004). Kelekatan telah diteliti dalam berbagai konteks dan spektrum rentang usia. Kelekatan aman berhubungan dengan kepercayaan diri, penyesuaian yang baik, dan transisi yang positif (Allen, Moore, Kuperminc, & Bell, 1998; Paterson, Pryor, & Field, 1995). Sedangkan, kelekatan tidak aman berhubungan dengan kecemasan, stres, depresi, gangguan kepribadian, dan pikiran atau tindakan untuk bunuh diri (DiFilippo & Overholser, 2000).


(30)

Penelitian tentang kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa masih jarang ditemukan di Indonesia. Hal ini yang menjadi ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian serupa namun pada subjek yang lebih khusus yaitu mahasiswa perantau. Mahasiswa perantau merupakan individu yang tinggal di daerah lain untuk menuntut ilmu dan mempersiapkan diri dalam pencapaian suatu keahlian jenjang perguruan tinggi diploma, sarjana, magister atau spesialis disebut sebagai mahasiswa perantau (Poerwadarminta, 2005). Fenomena ini terjadi karena persebaran kualitas pendidikan yang tidak merata di Indonesia, sehingga pelajar setelah lulus SMA memutuskan untuk meninggalkan daerah asalnya (merantau) dan melanjutkan pendidikan yang lebih berkualitas di daerah lain (Sitorus, 2013). Fenomena ini juga dianggap sebagai usaha pembuktian kualitas diri sebagai seorang remaja yang akan dewasa untuk mandiri dan bertanggung jawab dalam membuat keputusan (Santrock, 1989/2002).

Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) Dikti tahun 2016 melaporkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta sejak tahun 2010 hingga 2016. Data dikti tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah 3098, lalu pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi 4446 perguruan tinggi (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, 2016). Akan tetapi, peningkatan perguruan tinggi yang pesat ini sangat disayangkan karena tidak bersamaan dengan pemerataaan jumlahnya di setiap kota atau daerah. Masih ada kota atau daerah yang memiliki sedikit perguruan tinggi atau bahkan tidak ada.


(31)

Dari 4446 perguruan tinggi di Indonesia, terdapat 2136 atau hampir 50% berada di Pulau Jawa. Selain itu, perguruan tinggi berkualitas di Indonesia juga masih didominasi oleh perguruan tinggi di Pulau Jawa. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh 4 International Colleges and Universities (4ICU)

pada tahun 2016 dari 50 universitas terbaik di Indonesia, 36 berada di Pulau Jawa (4 International Colleges & Universities, 2016).

Dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tantangan yang dihadapi mahasiswa perantau lebih beragam dibandingkan mahasiswa yang bukan perantau. Mahasiswa yang berasal dari luar daerah harus beradaptasi dengan kebudayaan, nilai atau norma-norma, dan lingkungan sosial yang baru (Lee, Koeske, Sales, 2004). Perasaan kesepian, kurangnya dukungan, dan kerinduan atau homesick juga akan dialami oleh mahasiswa perantau (Wei, Heppner, Mallen, Liao, Ku, & Wu, 2007). Kerinduan atau homesick

dianggap sebagai “duka-mini” karena terpisah dari orangtua, dapat membuat mahasiswa perantau menjadi stres (Strobe, Vliet, Hewstone, Willis, 2002). Terlihat bahwa ketidakhadiran orang tua di perantauan merupakan salah satu perubahan situasi yang cukup berpengaruh bagi mahasiswa perantau. Hal ini dapat terjadi karena intensitas komunikasi antara anak dan orang tua cenderung berkurang setelah merantau dibandingkan pada saat masih tinggal bersama (Borg & Cefai, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (1997) menyatakan bahwa perpindahan mahasiswa ke daerah perantauan menyebabkan perubahan kondisi-kondisi yang meliputi perubahan dalam lingkungan fisik, biologis,


(32)

budaya, psikologis, dan ekonomi sehingga dapat memicu stres. Kenny (1987) menyebutkan bahwa dunia kampus dapat disamakan dengan strange situation

seperti yang dikatakan Mary Ainsworth, di mana individu dengan kualitas kelekatan yang tinggi (secure attachment) menganggap proses meninggalkan rumah untuk memasuki dunia kampus sebagai tempat untuk mengeksplorasi dan menguasai lingkungan serta mengembangkan kompetensi sosial. Di sisi lain, individu dengan kualitas kelekatan yang rendah (insecure attachment) merasa terancam dengan perubahan dan lingkungan barunya (Kenny, 1987).

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik menjadikan mahasiswa perantau sebagai subjek penelitian karena mahasiswa perantau merupakan populasi yang harus lebih diperhatikan. Mengingat tantangan yang dimiliki oleh mahasiswa perantau lebih beragam, sehingga memungkinkan mahasiswa perantau memiliki tingkat stres yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Ghozali dan Aisyah (2014) menyatakan bahwa adanya perbedaan tingkat stres antara mahasiwa yang tinggal sendiri (perantau) dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Mahasiswa yang tinggal sendiri menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan terhadap 92 subjek, menghasilkan 72% mahasiswa yang tinggal sendiri mengalami stres, sedangkan mahasiwa yang tinggal dengan orang tua hanya 24.4% yang mengalami stres.

Selain itu, ditemukan juga penelitian bahwa adanya perbedaan tingkat depresi antara mahasiswa yang tinggal sendiri (perantau) dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Tingkat depresi mahasiswa yang tinggal


(33)

sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 54 subjek, disebutkan mahasiswa yang tinggal sendiri 81.4% mengalami depresi, dengan rincian depresi ringan 48.1% dan depresi sedang 33.3%. Sedangkan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua hanya 25.9% yang mengalami depresi, dengan rincian depresi ringan 22.2% dan depresi sedang 3.7% (Amelia, 2016).

Walaupun depresi berbeda dengan stres, akan tetapi depresi merupakan manifetasi dari stres yang berlebihan. Depresi adalah reaksi psikologis dari stres, sehingga orang yang depresi pasti sudah mengalami stres (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1996/2010). Alasan lain mahasiswa perantau penting untuk diteliti karena di Indonesia kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa di tempat perantauan cukup banyak, sedikitnya 6 kasus ditemukan dalam tahun 2016 (tribunews.com, 2016). Sebuah penelitian menyatakan bahwa stres yang berlebihan menyebabkan depresi yang memicu pikiran atau tindakan bunuh diri (Cole, Wingate, Tucker, Kerswill, O’Keefe, dan Hollingsworth, 2015).

Dalam lingkup penelitian ini, hal yang menjadi kebaruan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah variabel stres yang dilihat sebagai konstruk yang luas. Di mana stres sebagai respons, stres sebagai stimulus, dan stres terkait cognitive appraisal diukur, sehingga setiap aspek-aspek dalam variabel stres dapat tercangkup dan terukur dengan maksimal. Hal ini dilakukan karena pada penelitian-penelitian sebelumnya, stres yang diukur


(34)

hanya sebatas aspek stres sebagai stimulus (Li, 2008; Davis, 2012; Petroff, 2008).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang merumuskan masalah dari penelitian ini yaitu: apakah ada hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang psikologi perkembangan dan sosial bahwa kelekatan anak dengan ibu memiliki kaitan yang penting dengan tingkat stres pada masa perkembangan selanjutnya. Terkhusus pada saat menjadi mahasiswa dan harus merantau sehingga jauh dari figur lekat. Kelekatan dapat membentuk karakter dan kepribadian seseorang menjadi adaptif atau tidak.


(35)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa Perantau

Penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa hubungan dengan figur orangtua dapat menjaga kesejahteraan mahasiswa di tempat perantauan.

b. Bagi Pengasuh (Ibu atau figur pengganti Ibu)

Penelitian ini dapat memberikan informasi atau pengetahuan tambahan tentang pentingnya peran pengasuh dalam pembentukan kelekatan karena akan berdampak pada perilaku, dan kemampuan sosial anak di masa mendatang. Maka dari itu saat remaja dipersiapakan sebagai mahasiswa dan merantau, kelekatan yang terhadap ibu akan membentuk karakter anak yang kuat atau rentan terhadap stres.


(36)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES

1. Definisi Stres

Menurut Lazarus & Folkman (1984) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga merupakan suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chapplin, 1998/2006). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada di atas ambang batas kekuatan adaptifnya (Arend, & Gerard, 1997).

Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Definisi lainnya mengatakan bahwa stres merupakan suatu tuntutan yang mendorong organisme untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri (Nevid, Rathus, & Greene, 1999/2005).


(37)

Selain definisi di atas, masih banyak definisi stres lainnya dari berbagai ahli. Namun, berikut merupakan penjelasan stres yang berkaitan dengan penelitian ini:

a. Stres Sebagai Respons

Stres sebagai respons merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respons yang muncul dapat secara fisiologis, seperti: jantung berdebar, pusing, dan gemetar. Sedangkan respons psikologis seperti: takut, cemas, dan mudah tersingung (Lazarus & Folkman, 1984).

b. Stres Sebagai Stimulus

Stres sebagai stimulus fokus kepada kejadian-kejadian atau stresor yang menimbulkan stres. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa situasi tertentu yang penuh tekanan (stressful) tetapi tidak

memperhatikan perbedaan individual dalam menilai situasi tersebut (Lazarus & Folkman, 1984).

c. Stres Terkait Cognitive Appraisal

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) cognitive appraisal atau

peniliain kognitif merupakan interpretasi atau evaluasi kognitif terhadap stresor. Penilaian kognitif menentukan mengapa dan sampai sejauh mana transaksi yang spesifik atau serangkaian transaksi antar individu dengan lingkungan yang menimbulkan stres. Konsep ini akan lebih mudah dipahami dengan cara mengamatinya sebagai suatu


(38)

proses pemberian kategori terhadap pengalaman serta memperhatikan pula pengaruhnya terhadap kesejahteraan individu. Proses ini terjadi secara terus-menerus sepanjang kehidupan.

Stres sebagai suatu konstruk yang memiliki definisi sangat luas, sehingga peneliti berusaha tidak terbatas pada salah satu definisi stres. Pada penelitian ini, akan mengukur stres sebagai respons, stres sebagai stimulus, dan stres terkait dengan cognitive appraisal. Dengan demikian,

pengukuran stres yang dilakukan menjadi lebih luas. 2. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Stres

Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi stres adalah (Nevid, Rathus, & Greene, 1999/2005):

a. Cara koping stres

Terdapat dua cara coping stres, yaitu coping yang berfokus pada

emosi (emotion-focused coping) dan coping yang berfokus pada

masalah (problem-focused coping). Bentuk coping yang berfokus pada

emosi ini mencangkup pengurangan stres dengan strategi seperti menghindar, meminimalisir, membuat jarak, atau menilai positif mengenai kejadian yang dialami. Namun, coping yang berfokus pada

emosi ini tidak menghilangkan stresor. Sebaliknya pada coping yang

berfokus pada masalah, individu menilai stresor yang dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi untuk meringkan efek dari stresor tersebut. Cara coping yang berfokus


(39)

b. Harapan akan efikasi diri

Harapan akan efikasi diri berkenan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantang yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk menghasilkan perubahan hidup yang positif. Individu dapat mengelola stres dengan lebih baik, apabila memiliki kepercayaan diri dan keyakinan untuk mengatasi stres.

c. Ketahanan psikologis

Ketahan psikologis merupakan kumpulan trait yang berfungsi

sebagai sumber daya untuk menghadapi persitiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres, dan merupakan hal yang sangat penting dalam perlawanan terhadap stres tersebut. Terdapat tiga trait yang

membentuk ketahanan psikologis : komtimen yang tinggi, tantangan yang tinggi, dan pengendalian yang kuat terhadap hidup. Individu dengan ketahanan psikologis yang tinggi menunjukkan gejala fisik yang lebih sedikit dan tingkat depresi yang lebih rendah dalam menghadapi stres.

d. Optimisme

Optimisme merupakan keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan, atau sikap selalu mempunyai harapan baik. Sikap optimis menjadikan individu keluar dengan cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan


(40)

memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Banyak penelitian yang ditemukan berkaitan dengan optimisme. Misalnya penelitian tentang optimisme dan penyakit, individu optimis cenderung lebih cepat sembuh dibandingkan dengan individu yang pesimis.

e. Dukungan sosial

Dukungan sosial berperan untuk memperkecil tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu. Dengan adanya orang-orang di sekitar akan membantu individu menemukan alternatif cara coping dalam

menghadapi stresor atau sekedar memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan selama masa-masa sulit.

f. Identitas etnik

Kebanggan terhadap identitas ras tau identitas etnik dapat membantu indvidu menghadapi stres yang disebabkan oleh rasisme dan intoleransi.

B. STRES SEBAGAI RESPONS

Pada tahun 1929 Walter Cannon merupakan orang pertama yang menjelaskan reaksi tubuh terhadap stres. Identifikasinya tentang reaksi stres

sebagai ‘fight-or-fight response’. Respons ini merupakan reaksi stres di dalam tubuh yang mencakup meningkatnya detak jantung, pernapasan, tekanan

darah, dan ketegangan otot. Arti dari ‘fight-or-flight response’ ini adalah saat

berhadapan dengan suatu ancaman, tubuh mempersiapkan dirinya untuk; apakah akan tetap berada di tempat dan menghadapi ancaman tersebut fight,


(41)

ataukah akan kabur/lari menjauhi ancaman tersebut flight (Santrock,

1989/2002).

Selanjutnya pada tahun 1974, Hans Selye yang berasal dari Austria melakukan penelitian tentang stres. Berdasarkan hasil penelitiannya, perubahan-perubahan fisiologis tubuh berhasil dispesifikasi dan disimpulkan bahwa apapun bentuk stresor, tubuh tetap berekasi dengan cara yang sama. Selye juga menjelaskan bahwa tubuh memiliki tingkat resistensi normal, yaitu tingkat resitensi ketika tubuh dalam kondisi biasa (tidak menghadapi stres). Pada saat menghadapi stres, tingkat resistensi ini mengalami perubahan dengan tujuan agar mampu beradaptasi dengan stres yang dialami. Munculnya sebuah konsep yang dikenal dengan General Adaptation

Syndrome (GAS).

Konsep ini terdiri dari tiga fase (fase bagaimana seseorang beradaptasi dengan stres): Fase pertama merupakan alarm, fase peringatan bahwa ada stresor yang perlu ditangani. Pada tahap ini bila stresor terlalu kuat (seperti kebakaran hebat, temperatur yang ekstrim) kematian dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena tingkat resistensi individu memang sedang menurun. Fase kedua disebut resistance, bila stres berlangsung terus menerus maka tingkat resistensi tubuh akan mengalami peningkatan diatas tingkat normal dengan tujuan untuk melakukan adaptasi terhadap stresor sehingga individu bisa berfungsi dengan optimal.

Individu sudah merasa normal kembali meskipun stres sebenarnya masih ada, namun energi yang dikeluarkan lebih tinggi dari biasanya sehingga tubuh


(42)

sebenarnya bekerja lebih keras. Bila stres masih terus berlanjut, tubuh akan terus menyesuaikan diri dengan stresornya. Pada saat ini tingkat resistensi tubuh akhirnya menurun sampai di bawah normal karena kelelahan. Fase ketiga ini disebut exhaustion, tanda-tanda pada fase alarm muncul kembali, tetapi karena energi yang digunakan sudah habis, tubuh tidak dapat lagi melakukan adaptasi. Hal ini membuat berbagai macam gangguan baik secara fisik maupun psikologis terjadi (Siswanto, 2007).

C. STRES SEBAGAI STIMULUS

Ketika seseorang mengatakan “saya memiliki kehidupan pernikahan yang stres” pernyataan tersebut mengacu pada situasi, bukan mengacu

respons terhadap situasi. Pendekatan ini lebih memperhatikan karakteristik tertentu dari stresor. Menurut Feldman (1987/2012) terdapat empat karakteristik stresor, yaitu sebagai berikut :

1. Cataclysmic events

Stresor ini mengacu pada perubahan besar atau kejadian yang berdampak pada beberapa orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama, serta di luar kendali siapapun. Contohnya bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, dan sebagainya. Stresor yang berdampak pada banyak orang ini, tidak terlalu signifikan karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan.

2. Personal Stressor

Stresor ini mengacu pada peristiwa yang mempengaruhi individual. Stresor ini dapat atau tidak dapat diprediksi, akan tetapi memberikan


(43)

pengaruh yang kuat karena membutuhkan upaya coping yang cukup

besar. Peristiwa dalam kategori ini seperti: kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, kegagalan besar, menderita penyakit mematikan, dan sebagainya.

3. Background Stresor

Stresor ini dapat disebut sebagai “daily hassles” atau masalah sehari -hari dalam kehidupan. Stresor ini memiliki pengaruh yang kecil namun berlangsung terus-menerus sehingga dapat menganggu dan menyebabkan stres negatif pada individu. Contoh stresor dalam kategori ini misalnya mempunyai banyak tanggung jawab, merasa kesepian, berdebat dengan teman, dan sebagainya. Walaupun masalah sehari-hari tidak seberat perubahan besar dalam hidup seperti perceraian, kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan masalah sehari-hari sangat penting.

D. STRES TERKAIT COGNITIVE APPRAISAL

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) teori appraisal terdiri dari

penilaian primer (primary appraisal), penilian sekunder (secondary

appraisal), dan penilaian kembali (reappraisal). Ketiga hal ini tidak dapat

dipandang sebagi proses yang terpisah karena mereka saling berinteraksi satu sama lain untuk membentuk derajat stres.

1. Primary appraisal (penilaian primer)

Penilaian primer merupakan suatu proses mental yang berhubungan dengan aktivitas evaluasi terhadap situasi yang dihadapi. Proses ini terjadi unutk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi yang dihadapi


(44)

individu berada dalam kategori tertentu. penilaian ini terdiri dari tiga kategori, yaitu: Irrelevant (tidak relevan), situsi yang terjadi tidak berpengaruh pada kesejahteraan individu, situasi tersebut dianggap tidak bermakna sehingga dapat diabaikan.

Benign positive appraisal (penilaian positif), situasi yang terjadi dirasakan dan dihayati sebagai hal yang positif dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Appraisal ini ditandai oleh emosi yang menyenangkan seperti kegembiraan, cinta, kebahagiaan, keriangan atau ketentraman.

Stress appraisal (penilaian yang menimbulkan stres), situasi yang terjadi menimbulkan makna gangguan, kehilangan, ancaman, dan tantangan bagi individu.

2. Secondary appraisal (penilaian sekunder)

Penilaian sekunder merupakan proses yang digunakan untuk menentukan apa yang dapat atau harus dilakukan untuk meredakan stres yang sedang dihadapi. Pada tahap inilah individu akan memilih cara yang menurutnya efektif untuk meredakan stres. Proses ini mencakup: evaluasi mengenai coping stress yang digunakan dengan mempertimbangkan

konsekuensi yang muncul sehubungan dengan coping tersebut. Selain itu,

evaluasi terhadap potensi-potensi yang dimiliki individu yang dapat mendukung upaya coping stress. Proses ini berusaha mempertimbangkan

berbagai sumber yang dimiliki individu dengan memperhitungkan tuntutan yang ada dalam menentukan coping stress yang digunakan.


(45)

3. Reappraisal (penilaian kembali)

Penilaian kembali merupakan perubahan yang terjadi karena adanya infromasi yang baru, baik yang bersumber dari lingkungan yang dapat menahan atau memperkuat tekanan bagi individu, maupun informasi dari rekasi individu itu sendiri. Melalui tahap penilaian tersebut, seseorang mempertimbangkan makna dan pengaruh situasi terhadap kesejahteraan dirinya. Dengan demikian, selain karakteristik dari suatu situasi yang dapat menimbulkan stres, proses penilaian kognitif sangat berpengaruh bagi seseorang dalam menghayati tingkat stres.

E. KELEKATAN TERHADAP IBU 1. Definisi Kelekatan

Istilah kelekatan (attachment) pertama kali dikemukakan oleh seorang

psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Menurutnya, kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya. Hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (Bowlby, 1969, 1979). Kelekatan yang bersifat kontimun ini, relatif stabil sepanjang rentang kehidupan manusia dan dapat berdampak pada hubungan romantis, sikap interpersonal, dan kejiwaan individu (Brennan & Shaver, 1995; Hazan & Shaver, 1990).

Dalam membentuk kelekatan tersebut ada beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain mencari kesamaan dan kedekatan dengan figur kelekatan, menggunakannya sebagai tempat berlindung saat tertekan,


(46)

menggunakannya sebagai dasar rasa aman, mempunyai ikatan emosional pada sosok tersebut baik secara negatif ataupun positif, adanya rasa kehilangan terhadap ketidakhadiran orang tersebut (Bowlby, 1988; Hazan & Shaver, 1994). Kelekatan lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud, dalam Santrock 1989/2002). Kelekatan yang terbentuk sejak bayi membentuk kelekatan aman dan kelekatan tidak aman (Santrock, 1984/2007). Kelekatan aman terbentuk ketika bayi menggunakan pengasuhnya (biasanya ibu) sebagai dasar akan rasa aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Sedangkan kelekatan tidak aman terbentuk ketika bayi mungkin menghindari pengasuh atau menunjukkan penolakan atau sikap ambivalen terhadap pengasuh (Santrock, 1984/2007).

Kelekatan sendiri bersifat berkelanjutan karena secara primer terus menerus membentuk model mental diri dan sebagai komponen kepribadian (Bowlby, 1980). Kelekatan akan menjadi kepenuhan diri karena tindakan yang didasari kelekatan tersebut akan menghasilkan konsekuensi yang menguatkan tindakan tersebut (Bowlby, 1980). Contohnya, ketika individu baru memiliki kontak sosial yang baru, ia akan bertindak defensive maka akan meningkatkan penolakan sosial,

sehingga ini akan menjadi penguat perasaaan tidak aman individu tersebut (Douglas & Atwel, 1988).


(47)

2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan Terhadap Ibu

Asumsi dasar dari teori kelekatan adalah akibat dari ketidakmatangan yang ekstrim ketika bayi dilahirkan, bayi dapat bertahan hanya apabila ibu mau menyediakan keamanan dan perhatian. Oleh karena itu, kelekatan dengan ibu di tahun pertama menjadi dasar yang penting bagi perkembangan seseorang di kemudian hari. Ketersediaan figur ibu saat bayi mengalami tekanan menyebabkan bayi mulai mengembangkan diri dan mencari kedekatan dengan ibu. Pengasuhan yang dilakukan tersebut diregulasikan dengan memberikan timbal balik. Ketika bayi tersenyum, ibu juga akan memberikan senyuman yang akan memberikan kepuasan bagi bayi. Ketika bayi menangis, maka ibu akan mencari cara untuk menenangkan bayi. Ketika ibu pergi, maka bayi akan mengikutinya baik secara visual maupun fisik.

Sistem tersebut membentuk relasi yang mendorong kelangsungan hidup bayi (Hazan & Shaver, 1994). Ibu yang responsif, akan segera memberikan perlindungan atau kebutuhan bagi bayinya. Berdasarkan interaksi yang terus berulang ini, anak dan ibu mengembangkan hubungan kelakatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment) dan

memunculkan tingkah laku lekat di antara keduanya. Tingkah laku lekat merupakan bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit, atau terancam (Eliasa, 2011).


(48)

Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak sehingga anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya dalam mekanisme yang disebut internal working model. Internal working model ini yang

mendasari anak untuk berelasi dengan orang lain, menghadapi orang lain, dan kemampuan untuk meregulasi emosi. Oleh karenanya kelekatan ini relatif akan stabil sepanjang hidupnya (Blount-Matthew & Hertenstein, 2006). Internal working model selanjutnya akan menggiring anak untuk

menentukan perilaku dan perasaan dalam berinterkasi di masa depan. Anak yang memiliki ibu yang mencintai, dapat memenuhi kebutuhan, dan memberikan perlindungam akan mengembangkan model hubungan positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Tetapi, anak yang memiliki ibu

tidak tanggap, dan kurang perhatian akan mengembangkan model hubungan yang negatif dan penuh kecurigaan (mistrust) sehingga

membuat anak menjadi pencemas serta kurang mampu menjalin hubungan sosial.

3. Aspek Kelekatan Terhadap Ibu

Aspek kelekatan anak terhadap ibu terbagi menjadi tiga yaitu kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan (Greenberg, 2009).

a. Kepercayaan (trust)

Rasa percaya ini terbentuk ketika ibu sensitif, bertanggung jawab dan mau menerima perilaku anak, sehingga anak merasa aman untuk berinteraksi dengan ibunya (Bowlby, 1988; Feeney & Noller, 1996).


(49)

Oleh karena rasa percaya tersebut, anak menjadi yakin bahwa figur lekat akan selalu ada dan menjaga mereka ketika mereka membutuhkan. Kepercayaan yang terbentuk pada anak ini akan membuatnya melihat dunia sebagai suatu tempat yang aman, baik dan menyenangkan untuk dihuni (Erickson, dalam Santrock 1989/2002).

Pada perkembangannya, seseorang yang memiliki rasa percaya ini akan lebih menghormati orang lain, mudah untuk berkomunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat menggunakan strategi yang efektif dalam menyelesaikan masalahnya (Hazan & Shaver, 1994; Vivona, 2000).

b. Komunikasi (communication)

Komunikasi yang terjadi antara anak dan ibu pada dapat membentuk tingkatan aman seorang individu (Bowlby, 1988). Komunikasi kaitannya dengan kelekatan ini merupakan interaksi antara anak dengan orang tua yang melibatkan sentuhan kasih sayang dan perhatian serta mendengarkan cerita anak secara penuh (Zolten & Long, 2006). Komunikasi juga membantu individu dalam proses perkembangan intelektual dan sosial, pembentukan identitas diri dan jati diri, dan penentu kesehatan mental (Supratiknya, 1995).

c. Keterasingan (alienation)

Keterasingan merupakan suatu perasaan tidak aman atau terabaikan dari figur kelekatan (Armsden & Greenberg, 1987). Perasaan ini pada anak akan muncul karena orang tua bercerai,


(50)

mengabaikan anak maupun menolak anak (Lowenstein, 2008). Pengalaman alienasi ini membuat anak merasa kehilangan orang tua mereka, sehingga anak tidak mampu untuk menceritakan pengalaman mereka dan berusaha untuk menolak apapun yang mereka rasakan, termasuk diri mereka sendiri (Baker, 2005). Maka dari itu hal ini membuat anak akan meminimalkan kemarahan atau melakukan penghindaran, sehingga kemampuan sosial yang dimiliki anak cenderung kurang baik (Vivona, 2000).

4. Dampak dari Kelekatan Terhadap Ibu

Setiap aspek dari kelekatan terhadap ibu memiliki dampak bagi kehidupun anak, antara lain :

a. Dampak dari rasa percaya yang dibentuk akan membuat anak lebih berani dalam menghadapi dunia, dapat meregulasi emosi secara lebih baik, dan memiliki kemampuan untuk berempati (Malekpour, 2007). Anak juga mampu mengeksplorasi lingkungan secara optimal, sehingga perkembangan perilaku, emosi, sosial, kognitif, dan kepribadian anak juga akan menjadi optimal (Stams, Juffer, & Ijzendoorn, 2002). Pada perkembangannya individu akan mudah percaya dengan orang lain, percaya diri, merasa diri berharga, dan mudah untuk beradaptasi (Feeney & Noller, 1996)

b. Dampak dari komunikasi antar anak dengan ibu yang dibangun dengan penuh kehangatan dan efektif dapat membuat anak lebih mudah menceritakan segala hal sehingga menjadi lebih terbuka


(51)

(Aspy, Vesely, Oman, Rodine, Marshall, & McLeroy, 2007). Pada perkembangannya individu akan memiliki kemampuan komunikasi dengan orang lain dengan baik, sehingga kemampuan sosial yang dimiliki juga baik.

c. Dampak dari alienasi atau keterasingan akan mudah mengalami stres depresi karena merasa sendiri, kehilangan rasa kepercayaan karena tidak mempunyai pedoman yang stabil serta kurang dapat melihat intensi baik orang lain, memiliki harga diri yang rendah dan sulit untuk mempertahankan suatu hubungan (Baker, 2005). Ketidakmampuan mempertahankan hubungan yang dimiliki timbul karena adanya rasa percaya yang rendah sehingga mudah menyerah dan kurang mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Selain itu, perasaan terasing juga menimbulkan kebingungan identitas maupun merasa tidak menjadi milik siapapun. Pada perkembangannya, individu akan cenderung mandiri karena tidak membutuhkan orang lain dan tidak menerima persahabatan, sehingga cenderung tidak hangat dan tidak disenangi orang lain. Menolak dukungan, menolak simpati, menolak cinta, dan respons positif lainnya dari orang sekitar. Selain itu juga merasa khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya (Eliasa, 2011).


(52)

5. Jenis Kelekatan Terhadap Ibu

Jenis kelekatan ini berdasarkan aspek-aspek kelekatan terhadap ibu yaitu kepercayaan, komunikasi, dan alienasi (Armsden & Greenberg, 1987):

a. Kelekatan aman yang tinggi

Kelekatan aman tinggi terhadap ibu terbentuk bila tingkat alineasi dari ibu rendah, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu tinggi atau sedang (Armsden & Greenberg, 1987).

b. Kelekatan aman yang rendah

Kelekatan aman yang rendah terhadap ibu terbentuk bila tingkat keterasingan dari ibu tinggi, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu tinggi atau sedang. Selain itu, kelekatan aman rendah juga terbentuk jika tingkat alienasi tinggi, dan salah satu antara tingkat kepercayaan atau komunikasi rendah juga (Armsden & Greenberg, 1987).

Dapat disimpulkan bahwa hal yang membedakan keduanya adalah tingkat alienasi. Pada kelekatan aman tinggi, tingkat alienasi cenderung lebih rendah dibandingkan kedua aspek lainnya. Sebaliknya pada kelekatan aman rendah, tingkat alienasi akan cenderung tinggi dibandingkan kedua aspek lainnya.


(53)

F. MAHASISWA PERANTAU 1. Definisi Mahasiswa Perantau

Mahasiswa dalam masa perkembanganya termasuk ke dalam periode remaja lanjut (Camenius dalam Sarwono, 2008) dengan rentang umur 18 sampai dengan 24 tahun. Cakupan kategori mahasiswa sangat luas sampai jenjang S-3, sehingga peneliti membatasi hanya terhadap mahasiswa jenjang S-1 yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Menurut Poewadarminta (2005) mahasiswa merupakan individu yang belajar dan terdaftar di perguruan tinggi, baik di lingkup universitas, institut, sekolah tinggi ataupun akademi.

Perantau merupakan individu yang mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya di daerah lain yang bukan merupakan daerah/tempat asalnya (Kato, 2005). Berdasarkan kedua definisi tersebut, mahasiswa perantau merupakan individu yang meninggalkan daerah asalnya untuk mencari ilmu dan terdaftar dalam lingkup universitas, institut, sekolah tinggi ataupun akademi.

2. Faktor-Faktor Perubahan pada Mahasiswa Perantau

Mahasiswa yang berasal dari daerah lain atau mahasiswa perantau, harus lebih berupaya untuk menghadapi tantangan yang cukup besar untuk menanggulangi stres yang akan mereka alami. Merantau bagi mahasiswa dapat dikatakan sebagai perpisahan dengan lingkungan utama yaitu keluarga. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000) faktor-faktor yang akan mengalami perubahan dan menjadi perbedaan dengan mahasiswa


(54)

yang bukan perantau, antara lain: perubahan pada lingkungan fisik, terlihat pada mahasiswa perantau yang tinggal di daerah yang padat penghuni, seperti kos atau asrama. Hal tersebut membatasi ruang gerak mereka, penggunaaan sarana juga harus bergiliran, dan juga harus bertoleransi dengan penghuni lain. Selain itu, mahasiswa perantau juga akan mengalami perubahan sarana transportasi. Terkhusus bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi harus menggunakan sarana transportasi umum (Nasution, 1997; Gunarsa & Gunarsa, 2000).

Perubahan biologis yang dihadapi oleh mahasiswa perantau adalah perubahan gizi, menu makanan harus menyesuaikan dengan keadaan keuangan yang dimiliki, perubahan waktu makan yang pada saat tinggal bersama orang tua lebih teratur. Selain itu, perubahan suhu udara yang lebih panas atau dingin dari tempat asalnya juga akan dialami oleh mahasiswa perantau. Perubahan kondisi budaya meliputi, perubahan bahasa, tata cara berbicara dan bergaul, cara berpikir, norma sosial yang berlaku. Kondisi psikologis, mahasiswa perantau akan mengalami perubahan kemandirian karena terpisah dari orang tua, bertanggungjawab terhadap diri sendiri, lebih berinisiatif, dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain (Nasution, 1997; Gunarsa & Gunarsa, 2000).

Berdasarkan segi ekonomi terjadi perubahan biaya hidup, misalnya harus mengatur uang sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Gunarsa & Gunarsa, 2000). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wenhua dan Zhe (2013) disebutkan bahwa permasalahan


(55)

yang akan dialami oleh mahasiswa perantau meliput faktor kehidupan sehari-hari (kesulitan akomodasi, permasalahan keuangan, makanan sehat dan bergizi), faktor sosial budaya (diskriminasi, penyesuaian dengan budaya dan normal yang baru, masalah dalam hubungan sosial), faktor psikologis (homesickness atau kerinduan terhadap kampung halaman dan

kesepian karena jauh dari keluarga).

G. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PERANTAU

Interaksi awal antara anak dan pengasuh adalah inti dari teori kelekatan. Ikatan afektif yang terbentuk antara anak dan pengasuh ini juga merupakan inti dari perkembangan identitas diri, regulasi diri, dan sikap seseorang (Bowlby, 1973). Kelekatan lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud, dalam Santrock 1989/2002). Bowlby menggambarkan kelekatan sebagai sistem kontrol motivasi yang memiliki tujuan untuk mengusahakan keselamatan dan perasaan aman pada masa bayi dan kanak-kanak melalui hubungan anak dengan ibu (Bowlby, 1969).

Dalam mengusahakan keselamatan dan perasaan aman, bayi akan menunjukkan perilaku seperti menangis, memanggil, menempel, mencari, dan perilaku lainnya. Perilaku tersebut muncul pada saat terjadi bahaya atau saat bayi merasa stres. Ibu yang rensponsif, akan selalu ada untuk melindungi dan menghibur ketika ancaman atau stresor itu datang. Hal tersebut akan menghasilkan kedekatan serta kontak dengan ibu. Anak yang memiliki orang


(56)

tua, terutama ibu yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan positif dengan kelekatan yang didasarkan pada rasa percaya (trust).

Kebutuhan anak yang terpenuhi secara intensif dan konsisten, membentuk kelekatan aman dengan ibu dan juga akan menjadi dasar untuk anak mengembangkan internal working model yang postif di mana anak

merasa bahwa dirinya berharga dan diterima (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990).

Menurut Bowlby (1973), seorang anak yang tumbuh dengan kelekatan aman memiliki internal working model yang positif sehingga anak memiliki

konsep diri, keyakinan, dan kepercayaan dalam dirinya bahwa dia adalah pribadi yang dicintai dan dapat mencintai. Anak dengan pribadi seperti ini cenderung mudah beradaptasi, percaya diri, dan memiliki kemampuan sosial yang baik beranjak dewasa. Secara terus-menerus anak akan mengembangkan model yang serupa dengan dirinya. Oleh karena itu, model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua kepada orang lain, misalnya pada teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa teman adalah orang yang dapat dipercaya (Eliasa, 2011).

Sebaliknya jika kebutuhan anak tidak terpenuhi dan mendapat penolakan dari orang tua, maka anak akan mengembangkan perasaan curiga (mistrust),

cemas, sedih, dan rasa marah (Bowlby 1969, 1973, 1980). Hal ini akan menjadi dasar terbentuknya internal working model yang negatif dan dapat


(57)

oleh sekitarnya (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Anak yang tumbuh dengan kecurigaan akan menjadi pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial (Eliasa, 2011).

Anak yang tumbuh dengan penuh kecemasan seperti ini tidak memiliki konsep diri yang baik, merasa tertolak, cenderung sulit beradaptasi, dan kurang memiliki kemampuan sosial yang baik saat beranjak dewasa. Akibatnya saat anak memasuki tahap baru dalam kehidupan yaitu sebagai remaja yang harus merantau dan terpisah dari keluarga khususnya figur lekat (ibu) maka remaja cenderung rentan terhadap stres.

Proses perpindah remaja sehingga terpisah dengan orang tua dan menjadi mahasiswa perantau, merupakan hal yang serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Mary Ainsworth yaitu strange situation (dalam Papaplia,

Old, & Feldmen, 2008). Remaja dengan kualitas kelekatan aman tinggi menganggap proses meninggalkan rumah dan memasuki dunia kampus sebagai tempat untuk mengeskplorasi dan menguasai lingkungan serta mengembangkan potensi sosial. Sementara itu, remaja dengan kualitas kelekatan aman rendah akan merasa terancam dengan lingkungan barunya (Kenny, 1987).

Mahasiswa perantau juga akan dihadapkan dengan banyak tantangan yang dapat menjadi stresor yaitu perubahan dari berbagai faktor, meliputi: faktor fisik, biologis, sosial-budaya, psikologis, dan ekonomi (Gunarsa, Gunarsa, 2000; Wenhua, Zhe, 2013). Mahasiswa perantau dengan kelekatan aman tinggi dapat beradaptasi dengan baik karena mampu mengeksplorasi


(58)

daerah baru secara maksimal sehingga memiliki stres yang cenderung rendah (Mattanah, Lopez, & Govern, 2011; Power, 2004). Kemampuan sosial yang baik dapat menjadi dasar mahasiswa perantau untuk membangun relasi pertemanan atau persahabatan (Armsden & Greenberg, 1987). Oleh karena itu, walaupun jauh dari orangtua, tingkat stres yang dimiliki mahasiswa perantau cenderung rendah karena di tempat perantauan tidak merasa sendiri saat menghadapi masalah (Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004). Hal ini didukung oleh kepercayaan (trust) yang terbentuk dari kelekatan aman tinggi,

sehingga remaja memiliki keyakinan bahwa akan selalu ada orang lain saat dia membutuhkan bantuan atau dukungan.

Sementara itu, mahasiswa perantau dengan kelekatan aman rendah cenderung menolak respons positif yang diberikan oleh orang lain, sehingga dalam menghadapi masalah selalu sendirian. Hal ini juga didukung dengan perilaku yang tidak hangat dimunculkan oleh anak pada masa remaja dengan kelekatan aman rendah, sehingga terkesan mandiri dan menolak pertemanan (Eliasa, 2011). Kemandirian ini merupakan bentuk penghindaran yang dilakukan oleh remaja karena ketidakmampuan berhubungan sosial yang kurang baik. Hal ini terjadi karena perasaan keterasingan (alienation) yang

dirasakan remaja akibat dari kelekatan aman rendah (Vivona, 2000). Padahal dalam kehidupan kuliah yang penuh tekanan, mahasiswa perantau yang memiliki banyak teman cenderung merasakan stres rendah. Hal ini sesuai dengan teori stres yang mengungkapkan bahwa adanya perasaan senasib dan


(59)

sepenanggungan membuat stres yang dirasakan cenderung rendah (Feldman, 2012).

Kehidupan mahasiswa perantau yang terpisah dari orangtua khususnya figur lekat menyebabkan proses pemantauan tidak dapat dilakukan secara langsung melainkan hanya melalui alat komunikasi. Komunikasi (communication) merupakan salah satu aspek yang penting dalam kelekatan

(Armsden & Greenberg, 1987). Oleh karena itu dalam masa perantauan, jika komunikasi yang dibangun dengan figur lekat kurang baik, maka mahasiswa perantau akan rentan terhadap stres. Hal ini didukung dengan penelitian yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal dengan orang tua dapat menurunkan tingkat stres pada remaja (Kamumu, 2013).


(60)

Tanda panah dua arah = stres berlangsung belakangan, didukung oleh kelekatan pada masa awal perkembangan yang membentuk karakter tertentu pada seseorang dan berlanjut dengan kualitas aspek-aspek kelekatan terhadap ibu pada masa remaja.

Mudah beradaptasi

Percaya diri

Memiliki kemampuan sosial yang baik

Menerima persahabatan

Merasa diri berharga

Sulit beradaptasi

Minder

Memiliki kemampuan sosial yang kurang baik

Menolak dukungan, cinta, dan respons positif dari orang lain

Merasa tertolak INTERNAL WORKING

MODEL ( + )

INTERNAL WORKING MODEL ( – )

STRES TINGGI STRES

RENDAH

BASIC TRUST BASIC MISTRUST

Kelekatan aman tinggi: Komunikasi tinggi, kepercayaan tinggi, keterasingan rendah

Kelekatan aman rendah: komunikasi atau

kepercayaan rendah, keterasingan tinggi KELEKATAN


(61)

Berdasarkan dinamika penelitian yang telah dijelaskan, maka dapat dikemukakan hipotesis dari penelitian sebagai berikut: ada hubungan negatif antara kelekatan terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau. Hipotesis ini mengartikan, semakin tinggi kelekatan aman terhadap ibu dalam diri mahasiswa perantau, semakin rendah tingkat stres yang dimiliki. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kelekatan aman terhadap ibu dalam diri mahasiswa perantau, semakin tinggi tingkat stres yang dimiliki.


(62)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif, yaitu mengumpulkan data yang dapat dianalisis dan disimpulkan dengan perhitungan statistik (Azwar, 2015). Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional, yaitu penelitian yang memiliki karakteristik berupa hubungan antara dua variabel atau lebih (Supratiknya, 2014). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan negatif antara dua variabel, yaitu kelekatan terhadap ibu dan tingkat stres pada mahasiswa perantau.

B. Identifikasi Varibel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel independen : Kelekatan terhadap ibu

2. Variabel dependen : Tingkat Stres

C. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi yang digunakan untuk memberikan gambaran bagaimana suatu variabel akan diukur (Mustafa, 2009). Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(63)

1. Stres

a. Stres Sebagai Respons

Stres yang dimaksud adalah respon-respon yang muncul akibat suatu keadaan yang penuh tekanan. Respons ini dapat secara fisiologis, seperti: jantung berdebar, pusing, dan gemetar. Sedangkan respons psikologis seperti: takut, cemas, dan mudah tersingung. Stres sebagai respons diukur dengan skala Symptoms of Stress (McCarthy & Matheny, 2000).

Penilaian stres sebagai respons dilihat dari total skor perolehan pada skala ini. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai respons yang tinggi. Sedangkan, skor yang rendah menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai respons yang rendah.

b. Stres Sebagai Stimulus

Stres yang dimaksud adalah kejadian-kejadian atau stresor yang menimbulkan stres. Stres sebagai stimulus diukur dengan skala The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (Kohn, Lafreniere, & Gurevich, 1990). Skala ini berisikan kejadian-kejadian atau stresor-stresor yang sesuai dengan kehidupan mahasiswa.

Penilaian stres sebagai stimulus dilihat dari total skor perolehan pada skala ini. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai stimulus yang tinggi.


(64)

Sedangkan, skor yang rendah menunjukkan kecenderungan tingkat stres sebagai stimulus yang rendah.

c. Stres Terkait Cognitive Appraisal

Stres yang dimaksud adalah penilaian kognitif atau evaluasi terhadap suatu stresor. Dengan kata lain, stres terkait cognitive appraisal berfokus pada persepsi seseorang terhadap suatu keadaan yang penuh tekanan. Stres terkait cognitive appraisal diukur

dengan skala Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck,

Mermelstein 1983).

Penilaian stres terkait cognitive appraisal dilihat dari total skor perolehan pada skala ini. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan tingkat stres terkait cognitive appraisal yang tinggi. Sedangkan, skor yang rendah menunjukkan kecenderungan tingkat stres terkait cognitive appraisal yang rendah.

2. Kelakatan Terhadap Ibu

Kelakatan terhadap ibu merupakan ikatan emosional yang terbentuk ketika bayi antara anak dan ibu. Kelekatan diukur dengan Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) (Greenberg & Armsden, 2009). IPPA-M adalah alat ukur yang dikembangkan untuk melihat persepsi remaja baik positif dan negatif terhadap dimensi afektif dan kognitif dari hubungan mereka dengan orang tuanya, terutama sejauh mana figur ibu menjadi sumber rasa aman secara psikologis. IPPA-M terdiri dari 3 dimensi yaitu rasa percaya,


(65)

kualitas komunikasi, dan aleniasi (keterasingan) (Greenberg & Armsden, 2009).

Penilaian kelekatan dilihat dari total skor perolehan pada skala tersebut. Skor total yang tinggi menunjukkan kecenderungan kelekatan aman yang tinggi. Apabila skor rendah, maka kecenderungan individu memiliki kelekatan aman yang rendah.

D. Subjek Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian (Mustafidah, 2011). Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa perantau. Populasi mahasiwa perantau sedemikian besar, sehingga tidak memungkinkan peneliti untuk mengamati secara keseluruhan, maka dari itu bagian dari keseluruhan populasi yang akan diamati harus ditarik untuk dijadikan sampel penelitian.

Sampel dapat diartikan sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti, yang dianggap mewakili terhadap seluruh populasi dan diambil dengan menggunakan teknik tertentu (Mustafidah, 2011). Selanjutnya teknik pemilihan subjek dalam penelitian ini adalah random sampling dimana pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi (Sugiyono, 2010). Metode ini dipilih karena memudahkan peneliti untuk mendapatkan subjek penelitian. Selanjutnya mahasiwa perantau harus memenuhi kriteria; tinggal di asrama, kos, atau rumah tetapi tidak tinggal dengan orang tua khususnya ibu.


(66)

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan skala yang disebarkan kepada mahasiswa perantau berupa angket. Penyebaran dilakukan di kampus peneliti, dengan cara memasuki beberapa kelas yang sebelumnya sudah meminta izin dosen pengajar untuk menyediakan waktu pada akhir jam perkuliahan. Saat masuk ke dalam kelas, peneliti menjelaskan kriteria subjek sehingga yang tidak sesuai dengan kriteria boleh meninggalkan ruang kelas.

Penelitian ini dilakukan secara klasikal, setelah skala dibagikan subjek langsung diminta untuk mengerjakan dan mengumpulkan. Sementara itu untuk menjangkau mahasiswa perantau lain di luar kampus peneliti, skala juga disebarkan secara online melalui media sosial seperti facebook, path, twitter.

F. Uji Coba Alat Pengumpulan Data

Uji coba untuk ketiga skala yang mengukur stres dan satu skala yang mengukur kelekatan terhadap ibu dilakukan pada mahasiswa perantau yang mengikuti karakteristik subjek penelitian. Skala penelitian uji coba disebar sebanyak 100 eksemplar. Namun tidak semua skala yang disebar dapat digunakan karena ketidaklengkapan pengisian. Jumlah data uji coba yang diperoleh setelah pengurangan tersebut adalah 80.


(67)

G. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Metode

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan angket kepada subjek penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti. Skala adalah alat ukur psikologis dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menangkap respon seseorang terhadap konsep yang diukur sehingga dapat diberi penilaian atau skor dan dapat diinterpretasikan (Azwar, 1999). Penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan angket dan online.

2. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, stres diukur dengan beberapa alat ukur yaitu: Symptoms of Stress Scale, The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences, dan Perceived Stress Scale. Sementara itu, varibel kelekatan terhadap ibu akan diukur dengan skala IPPA-M (Inventory of Parent and Peer Attachment - Mother Version).

Peneliti menggunakan adaptasi skala stres dan skala kelekatan yang sudah digunakan dalam penelitian sebelumnya (Marthadewi, 2010; Purwanto, 2015) dan telah diuji secara empiris terbukti dapat digunakan pada remaja di Indonesia. Proses pertama yang dilakukan adalah menghubungi kedua peneliti sebelumnya dan meminta izin untuk memakai skala yang telah diadaptasi pada penelitian masing-masing.


(68)

Setelah mendapatkan izin dari kedua peneliti tersebut, berikut ini penjelasan secara garis besar proses adaptasi skala pada penelitian terdahulu; penerjemahan dilakukan melalui tiga proses, oleh peneliti dan dua orang yang berkompetensi dalam bahasa inggris. Pertama peneliti menerjemahkan ketiga skala ke dalam bahasa Indonesia. Proses kedua, salah satu orang yang berkompetensi dalam bahasa inggris menerjemahkan kembali terjemahan peneliti ke dalam bahasa inggris.

Proses terakhir, skala berbahasa inggris yang dihasilkan pada proses kedua dibandingkan dengan skala yang asli. Dari situ dilihat apakah keduanya memiiki makna yang sama. Proses pembandingan ini dilakukan oleh satu orang lainnya.

Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing skala penelitian: a. Symptoms of Stress Scale (SOS)

Skala yang dikembangkan oleh McCarthy dan Matheny (2000) terdiri dari 10 item, mengukur frekuensi seseorang mengalami permasalahan baik fisik maupun psikologis yang merupakan simtom-simtom stres yang biasa terjadi.

Simtom-simtom tersebut akan diukur dengan frekuensi sebagai berikut, tidak pernah (skor = 0), sekali sebulan (skor = 1), sekali seminggu (skor = 2), dua sampai tiga kali seminggu (skor = 3), setiap malam atau setiap pagi (skor = 4), sekali atau dua kali


(1)

c.

Uji One Sample T-test Skala Stres terkait cognitive appraisal (PSS)

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

PSS 258 18.33 3.422 .213

One-Sample Test

Test Value = 20

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

PSS 10.935 257 .000 2.329 1.91 2.75

d.

Uji One Sample T-test Skala Kelekatan terhadap ibu (IPPA-M)

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

IPPAM 258 93.67 14.755 .919

One-Sample Test

Test Value = 75

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper


(2)

Lampiran 4 :

Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

SOS ICSRLE PSS IPPAM

N 258 258 258 258

Normal Parametersa Mean 21.99 52.13 22.33 93.67

Std. Deviation 9.810 17.419 3.422 14.755

Most Extreme Differences Absolute .067 .075 .082 .075

Positive .067 .075 .058 .034

Negative -.038 -.041 -.082 -.075

Kolmogorov-Smirnov Z 1.083 1.203 1.314 1.200

Asymp. Sig. (2-tailed) .192 .110 .063 .112


(3)

Lampiran 5:

Uji Linearitas

a.

Uji Linearitas kelekatan terhadap ibu dengan stres sebagai respon

b.

Uji Linearitas kelekatan terhadap ibu dengan stres sebagai stimulus

ANOVA TABLE Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

ICSRLE * IPPAM

Between Groups

(Combined) 28153.160 61 461.527 1.815 .001

Linearity 9867.021 1 9867.021 38.814 .000

Deviation from

Linearity 18286.139 60 304.769 1.199 .179

Within Groups 49826.359 196 254.216

Total 77979.519 257

c.

Uji Linearitas kelekatan terhadap ibu dengan stres terkait cognitive appraisal

ANOVA TABLE Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

PSS * IPPAM

Between Groups

(Combined) 771.470 61 12.647 1.108 .297

Linearity 59.349 1 59.349 5.199 .024

Deviation from

Linearity 712.121 60 11.869 1.040 .412

Within Groups 2237.526 196 11.416

Total 3008.996 257

ANOVA TABLE Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

SOS * IPPAM

Between Groups

(Combined) 6572.962 61 107.753 1.163 .220

Linearity 908.958 1 908.958 9.811 .002

Deviation from

Linearity 5664.004 60 94.400 1.019 .450

Within Groups 18159.023 196 92.648


(4)

Lampiran 6

Uji Hipotesis

a.

Uji Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Respon

b.

Uji Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres Sebagai Stimulus

Correlations

IPPAM SOS

IPPAM Pearson Correlation 1 -.192**

Sig. (1-tailed) .001

N 258 258

SOS Pearson Correlation -.192 1

Sig. (1-tailed) .001

N 258 258

Correlations

IPPAM ICSRLE

IPPAM Pearson Correlation 1 -.356**

Sig. (1-tailed) .000

N 258 258

ICSRLE Pearson Correlation -.356** 1

Sig. (1-tailed) .000


(5)

c.

Uji Korelasi Kelekatan Terhadap Ibu dengan Stres terkait cognitive appraisal

Correlations

IPPAM PSS

IPPAM Pearson Correlation 1 -.140*

Sig. (1-tailed) .012

N 258 258

PSS Pearson Correlation -.140* 1 Sig. (1-tailed) .012


(6)

Lampiran 7

Skala Survey

Online