STUDI DESKRIPTIF UPACARA DAN MUSIK PADA PERKAWINAN ADAT JAWA DI MEDAN SELAYANG

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OL

SUGIARDI NIM: 090707005

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014

STUDI DESKRIPTIF UPACARA DAN MUSIK PADA PERKAWINAN ADAT JAWA DI MEDAN SELAYANG SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OL

SUGIARDI NIM: 090707005

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001

NIP 196605271994032010

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014

DISETUJUI OLEH: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, 13 Oktober 2014

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 196512211991031001

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal : 13 Oktober 2014 Hari

: Senin

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian: No

Nama Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. Drs. Fadlin, M.A.

4. Arifni Netrirosa SST,M.A.

5. Drs. Prikuten Tarigan, M.Si.

KATA PENGANTAR

Atas izin dan syukur serta anugrah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik penulisan skripsi ini yang berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan adat Suku Jawa di Medan Selayang.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S1 dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berisikan hasil penelitian mengenai upacara adat perkawinan suku Jawa yang ada di Kota Medan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak dapat pungkiri, bahwa penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang luar biasa banyak dan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. yang juga selaku Dosen Pembimbing I yang sangat banyak memberikan berbagai motivasi serta bimbingan kepada penulis serta memberikan berbagai kemudahan dalam mnyelesaikan berbagai segala urusan perkuliahan yang berdampak positif bagi penulis selama beliau menjabat sebagai ketua Departemen Etnomusikologi, dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang juga sebagai Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang sangat komunkatif terhadap mahasiswanya sehingga memberikan energi yang baik bagi setiap mahasiswanya agar terus bersemangat dalam menyelesaikan studi di Etnomusikologi, Ucapan terima kasih yang teristimewa untuk beliau atas kebaikan beliau dalam membantu

penulis untuk pada akhirnya penulis mendapatkan beasiswa pertama kali nya dalam hidup penulis, yang pada akhirnya penulis alokasikan materi beasiswa tersebut sebagai modal awal penulis menggeluti dunia fotografi, terkesan sangat konyol memang, namun inilah cara satu-satunya penulis untuk mendapatkan dana, semata-mata agar tidak membebankan biaya dari orang tua. Sehingga pada akhirnya dapat mengobati kebimbangan akan jati diri penulis yang selama ini merisaukan skill yang belum ada pada diri penulis selama ini. Kedua Dosen Pembimbing ini yang telah bersedia dan sangat membantu penulis dalam membimbing, mengarahkan, serta menyempurnakan didalam penyusunan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik dan ibadahnya mendapatkan berkah dari Allah SWT.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, serta seluruh Dosen-dosen dan pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., Bapak Prof. Mauly, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Ph.D., Ibu Dra. Frida Deliana Harahap , M.Si., Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. , Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Ibu Arifni Netrirosa SST,M.A., Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Irwansyah M.A., yang telah memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan secara moril kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A. atas sebuah ajaran mata kuliah Metode Penelitian Lapangan dalam Etnomusikologi I, yang beliau ajarkan kepada penulis serta obrolan-obrolan singkat yang beliau tuturkan, sehingga dapat membuat penulis semakin ingin mengenal dunia Fotografi.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Abangda Suryadi Darma Desky yang telah bersedia menjadikan penulis sebagai assisten jasa

Fotografi weddingnnya di Mamipapi Photowork sehingga pada akhirnya penulis menemukan bahan untuk penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Bapak Agus Wayan dkk, yang telah bersedia menjadi informan Kunci disaat penelitian.

Ucapan terima kasih juga kepada keluarga Bapak H. Djumali, SH., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadikan pesta pernikahan putri semata wayangnya menjadi bahan penelitian penulis.

Ucapan terima kasih yang sangat istimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Sugono dan Ibunda Jumariatik. Yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, dan yang telah memberikan dorongan, kesabaran serta iringan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kakak Sugiani beserta suami, Kakak Sugiarsih beserta suami, Adik-adik penulis yang Penulis sayangi Sugiarlis dan Harmika atas doa yang telah diberikan. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan selama proses perkuliahan yaitu stambuk 2019: Nesya Vania S.Sn., Reny Yulyati Lt Toruan S.Sn., Martin Tambunan S.Sn., Tetti Elena Siburian S.Sn., Maruli Purba S.Sn., Syarifah Aini Nasution S.Sn., Fitri Suci Hati Saragih S.Sn., Wahyu Boangmanalu S.Sn., Krisrendi Siregar S.Sn., Giat Sihotang S.Sn., Dicky Silalahi, Herman Simanjuntak S.Sn., Ranto Samuel Manik, Septianta Bangun S.Sn., Verawati Simbolon, Anita R.P Purba. Berbagai kenangan bersama selama lima tahun semoga terus menjadi motivasi penulis dalam menjalani dunia kerja.

Tidak lupa juga penulis ucapkan kepada seluruh rekan Fotografren (yang penting kita teman motret) group fotografer Koko Supri Yanto, Abang Rinaldie Eka Putra Tarigan, Abang Vay Sianipar, Nov Heru W, serta ucapan trimakasih kepada Talent foto model penulis: Astri Novita Sari, Moraulina, Claudia Yoranda Tan, Amaliyah Utami, Kelana Syahputra, Ayu Lestari, Riza S Rizki, Desy Vita Sari Ritonga, Lusi Candani, dan kawan-kawan, serta banyak lagi yang tidak dapat penulis sebut namanya satu persatu yang telah banyak memberikan ilmu dalam berfotografi serta kesempatan waktunya meluangkan ide dan kemampuan, berbagi cerita dan pengalaman lainnya serta memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir yang penulis jalani.

Tidak Lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Alumni Etnomusikologi Kakanda Ananda Mora Ichsan Pulungan S.Sn., dan kepada Kakanda Kiki Alpiansyah S.Sn., yang turut serta memberikan dukungan, semangat serta juga nasehat yang sangat bermanfaat bagi diri penulis.

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada D’Eternity (Team Majalah Honda Region Medan), Boesa Management, Daddy Evelyn, Putri Manda Make Up and Collection, yang senantiasa selalu mendukung penulis dalam berbagai kesempatan dan selalu bekerja sama kepada penulis.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah berusaha menyusun dengan sebaik-baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu penulis mengucapkan beribu-ribu maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari segenap pembaca untuk kesempurnaan selanjutnya.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan fikiran dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca, khususnya dalam budaya masyarakat Jawa dan dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

Sugiardi NIM: 090707005

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan Adat Suku Jawa di Medan Selayang. Penelitian ini membahas masalah mengenai bagaimana prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa yang diselenggarakan oleh keluarga mempelai dalam hal ini ialah Yusrita Arini dengan Boy Budiansyah. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bagaimana prosesi upacara perkawinan adat jawa tersebut yang di adakan di Kecamatan Medan Selayang, yang tiap-tiap prosesinya sangat berbeda dengan upacara perkawinan adat Jawa yang lainnya yang pernah penulis lihat sebelum-sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk dari tiap-tiap symbol-simbol yang terdapat dalam setiap prosesi upacara perkawinan adat jawa yang ada di Kecamatan Medan Selayang .

Teori yang digunakan dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan teori yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:234). Untuk mengkaji struktur musik gendhing gamelan Jawa yang digunakan pada ritual temu temanten (panggih) menggunakan teori wighted scale dari Malm (1977:8). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang dideskripsikan berupa tulisan, rekaman secara lisan, gambar, angka, pertunjukan kesenian dan berbagai bentuk data lain yang bersumber dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan di lanjutkan dengan teknik pilah unsur penentu. Untuk mendukung data-data yang diperoleh di lapangan, penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian. Proses pentranskripsian musiknya dilakukan dengan program sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok serta pentranskripsian juga dilakukan dengan cara sistem notasi kepatihan. Skripsi ini menjelaskan deskripsi upacara adat perkawinan suku jawa dan dituliskan dengan sistematis.

GLOSARIUM ......................................................................................... 190 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

192 DAFTAR INFORMAN .........................................................................

194 LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................

198

Gambar 3.22 Cengkorongan Paes Ageng ................................................. 109 Gambar 3.23 Dua Orang Putri Domas ......................................................

112 Gambar 3.24 Seorang Manggolo yang Membawa Kembar Mayang .........

113 Gambar 3.25 Cucuking Lampa pembawa Jalan pengantin ........................

113 Gambar 3.26 Rombongan Pagar Bagus dan Pagar Ayu ............................

114 Gambar 3.27 Kata Sambutan dari Rombongan Pengantin Pria .................

115 Gambar 3.28 Bapak Cipto, Pemimpin rombongan pengantin Pria ............

117 Gambar 3.29 Bapak Sumardji, Pimpinan Rombongan Pengantin Perempuan ......................................................... 118 Gambar 3.30 Penyerahan Kembar Mayang Kepada Remaja Putra ...........

119 Gambar 3.31 Persiapan untuk prosesi Gantal (Balangan Sirih) ................

120 Gambar 3.32 Perlengkapan Prosesi Ngidak Endhok (Wiji Dadi) ..............

121 Gambar 3.33 Bokor Berisi Air Untuk Mencuci Kaki Pengantin Pria ........

122 Gambar 3.34 Ngidak Endhok (Wiji Dadi) ................................................

122 Gambar 3.35 Prosesi Sindur Binayang Menuju Pelaminan .......................

123 Gambar 3.36 Prosesi Timbangan .............................................................

125 Gambar 3.37 Prosesi Tanem Jero Oleh Ayah Pengantin Perempuan ........

126 Gambar 3.38 Prosesi Kacar Kucur Oleh Pengantin Pria ...........................

128 Gambar 3.39 Prosesi Dahar Klimah ........................................................

129 Gambar 3.40 Prosesi Mapag Besan .........................................................

130 Gambar 3.41 Sungkeman Setelah Mapag Besan di Lakukan ....................

131 Gambar 3.42 Kirab Pengantin dengan busana Kepangeranan ..................

132 Gambar 3.43 Tari Golek Sirih ..................................................................

133 Gambar 3.44 Tarian Gatot Kaca ..............................................................

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1

Daftar Nama Camat yang pernah Memimpin di Kecamatan Medan Selayang ..........................................

32 Tabel 2.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang ..........................................

34

Tabel 2.3

Komposisi Penduduk di Kecamata Medan Selayang Berdasarkan Agama Tahun 2013 ........................................

35 Tabel 4.1 Interval Melodi Gendhing Monggang .................................

174 Tabel 4.2 Interval Melodi Gendhing Ladrang Wilujeng .....................

174 Tabel 4.3 Interval Melodi Gendhing Kodok Ngorek ...........................

175 Tabel 4.4 Interval Melodi Gendhing Ketawang Larasmaya ................

175

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Di Indonesia berbagai bentuk penyajian upacara perkawinan sangat beragam, yang pastinya secara kuantitatif berdasarkan kepada keberadaan suku- suku di Indonesia saat ini. Suku Jawa misalnya, memiliki upacara perkawinan yang sangat khas, di antara berbagai suku-suku yang ada di Indonesia. Ritualisasi upacara perkawinan dikemas dengan berbagai simbol, tata rias, tuturan, pesan, dan nasehat yang sangat istimewa. Sehingga upacara yang dilakukan menjadi sebuah upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan upacara yang dilakukan dan mengikuti aturan atau tata cara serta tradisi yang berlaku secara turun temurun pada suatu lingkungan budaya tersebut.

Dalam tradisi budaya Jawa, perkawinan selalu diwarnai dengan serangkai- an upacara yang mengandung nilai-nilai luhur, yang mengajarkan perlunya keseimbangan, keselarasan serta interaksi dengan alam semesta. Iringan gamelan yang dramatis dan magis mewarnai suasana hingga terasa lebih istimewa. Upacar itu dilakukan baik oleh masyarakat jawa yang ada di pusat peradabannya yaitu pulau Jawa, maupun diasporanya di seluruh Nusantara (termasuk di Sumatera Utara).

Masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, sebahagian besar masih melaksanakan upacara perkawinan menurut adat Jawa. Namun yang menarik dalam konteks adaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan etnik yang ada di Sumarera Utara, beberapa unsur kebudayaan di sekitar orang Jawa di Sumatera Masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, sebahagian besar masih melaksanakan upacara perkawinan menurut adat Jawa. Namun yang menarik dalam konteks adaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan etnik yang ada di Sumarera Utara, beberapa unsur kebudayaan di sekitar orang Jawa di Sumatera

Mandailing, Toba, Karo, Melayu, dan lainnya. 1 Namun pada umumnya upacara dan musik ritual dalam mengiringi upacara perkawinan adat Jawa ini masih

menggunakan tradisi upacara dan tradisi musik (karawitan) Jawa. Pada masa-masa akhir ini, Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh mayoritas orang Jawa, bahkan ada catatan yang menyebutkan lebih dari 50%. Rinciannya adalah suku Melayu 7.63%, Batak (Toba) tercatat 19.44%, Karo 6.64%, Mandailing 6.32%, Simalungun 2.72%, Nias, 0.40%, Pakpak 0.16. Sementara kelompok pendatang selain Jawa adalah Cina 3.63% (kelompok ini pernah mencapai jumlah lebih dari 20% untuk Kota Medan dan sekitarnya), Minangkabau 3.30%, dan Aceh 1.26%. Dengan demikian, berarti Suku Jawa secara keseluruhan meliputi jumlah lebih dari 36% (Siyo, 2008:88).

Perpindahan orang Jawa ke Sumatera pada abad ke-19 dengan tujuan sebagai pekerja kontrak yang menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki upah yang relatif mahal. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda pada masa

1 Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya

leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ahli parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripaa etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba bisa, pemusik, penari, koreografer, pemain teater, dan penulis drama sekaligus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.

itu lebih senang memilih kuli asal India dan juga Jawa yang upahnya relatif lebih murah (Breman, 1997:53). Perpindahan orang Jawa sendiri di perkirakan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, hal ini karena faktor dorongan kemaun sendiri yang didasarkan untuk tujuan pencarian lahan baru untuk pertanian, atau paksaan yang di lakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa berpindah dalam jumlah besar di Semenanjung Malaysia, khususnya di Johor dan Selangor, kemudian sebagai kuli kontrak di kawasan Deli, Sumatera Utara, sehingga lahirlah istilah Pujakesuma yaitu akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera [bukan sebatas Sumatera Utara] (Siyo, 2008:74).

Sebelumnya Orang Jawa pendatang ini dikenal deangan Sebutan Jakon 2 (Jawa Kontrak) ataupun Jadel (Jawa Deli). 3 Sebutan-sebutan itu adalah yang

dahulu identik dengan orang Jawa sebagai pekerja perkebunan di Tanah Deli. Karena pada awal kedatangan orang Jawa ke Sumatera Utara, adalah sebagai kuli kontrak perkebunan. Jakon atau Jadel adalah sebutan yang mungkin sebuah streotip etnik yang diberikan oleh orang yang bukan Jawa. Sekarang untuk lebih halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma (Putra Jawa

2 Jawa Kontrak dalam istilah ini adalah merujuk kepada pengertiannya sebagai kelompok buruh yang didatangkan dari Jawa oleh Belanda (terutama di masa awal pembukaan perkebunan-

perkebunan oleh Nienhuys dan kawan-kawan di paruh akhir abad kesembilan belas). Sistem yang digunakan oleh para maskapai perusahaan Belanda ini adalah sistem kontrak, dan apabila telah habis masa kontraknya, mereka para buruh Jawa ini bisa kembali ke Jawa atau meneruskan kontraknya. Namun dalam catatan sejarah sebahagian besar buruh tersebut terus melanjutkan kontraknya, dan sebahagian yang telah bisa mandiri mendirikan kampung-kampung yang bersifat pertanian (agrikultural) di sleuruh wilayah Sumatera Timur (kini Sumatera Utara). Pengertian historis inilah yang ingin dimaknakan oleh penyebutan Jawa Kontrak.

3 Pengertian Jawa Deli yang diakronimkan menjadi Jadel adalah istilah yang merujuk kepada masyarakat Jawa yang awalnya dating ke wilayah Sumatera Timur atau Deli sebagai buruh

di perkebunan-perkebunan Belanda. Deli itu sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, namun adakalanya pengertian Deli ini meluas, yaitu mewakili keseluruhan wilayah Sumatera Timur, yang terbentang dari daerah Tamiang, Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kedatykan Batubara, Kesultanan Asahan, Kesultanan Bilah, Kesultanan Panai, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Kotapinang, dan berbagai wilayah Sumatera Timur lainnya. Dengan demikian, istilah Jawa Deli merujuk kepada orang Jawa yang hidup dan beradaptasi sosiokultural di wilayah Sumatera Timur.

Kelahiran Sumatera). Sebagian orang yang bukan orang Jawa, atau bahkan mereka sendiri yang masih keturunan Jawa, atau karena lahir di Sumatera, beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status sosial yang rendah.

Jakon atau Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para panguasa pada zaman kolonialisme, mereka di tempatkan di kawasan-kawasan terdalam atau daerah daerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali ke Pulau Jawa, mereka memilih tetap bertahan di perkebunan yang mereka tinggali. Sedangakan istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang dan bekerja sebagai kuli di perkebunan di Tanah Deli (dengan pusatnya di Medan). Mereka bakerja sebagai kuli (koeli) pada perkebunan tembakau di Sumatera Timur atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli. Biasanya, ketika masa kontrak mereka juga habis, mereka mamilih untuk tinggal di pedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang (Siyo, 2008:83),

Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera Utara membentuk kelompok-kelompok yang mencirikan keetnikitasan mereka. Tujuan pembentukan ini didasari dari rasa senasib dan sepenangunggan. Pada dasarnya mereka adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang terdapat di tanah Deli. Perkumpulan-perkumpulan etnik yang muncul yang di dasari oleh berbagai macam latar belakang membuat Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera Utara membentuk kelompok-kelompok yang mencirikan keetnikitasan mereka. Tujuan pembentukan ini didasari dari rasa senasib dan sepenangunggan. Pada dasarnya mereka adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang terdapat di tanah Deli. Perkumpulan-perkumpulan etnik yang muncul yang di dasari oleh berbagai macam latar belakang membuat

Pada tahun 1980-an munculah perkumpulan etnik Jawa yang di kenal dengan Pujakesuma. Istilah ini memiliki pengertian sebagai budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat di katakan sebagai rasa etnikitas agar tetap eksis di tengah- tengah persaingan hidup antar etnik .

Keberadaan perkumpulan atau paguyuban 4 berdasarkan etnik atau kedaerahan di berbagai daerah telah menyebabkan masyarakat di suatu tempat

juga berupaya untuk menunjukkan identitasnya. Dengan kata lain, perkumpulan etnik atau marga menjadi simbol akan keberadaan mereka di tengah masyarakat lain, misalnya saja pada etnik Batak, Minangkabau, dan Melayu. Paguyuban secara khusus mencirikan suku ataupun kedaerahannya. Sehingga fungsi paguyuban memiliki fungsi sosial dan juga budaya, bahkan sebagai tempat berlindung untuk mencari ketenangan dan menjauhkan diri dari rasa kegelisahan serta rasa takut di tempat yang bukan daerah tanah leluhurnya. Bahkan orang Jawa sendiri merasa bahwa tanah Sumetara juga merupakan tanah kelahiran mereka yang patut mereka bangun.

4 Paguyuban adalah kata bentukan dari kata dasar guyub. Istilah guyub dalam bahasa Jawa yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai persatuan yang biasanya

dilatarbelakangi oleh persamaan-persamaan etnik, kelompok profesi, kelompok agama, dan lain- lainnya dalam masyarakat. Paguyuban memiliki makna luhur dalam filsafat Jawa, sebagai sebuah persatuan yang memiliki cita-cita bersama, dan menekankan kepada kerja secara bersama-sama atau gotong royong, yang di dalamnya juga mengandung pengertian akan kewajiban dan hak setiap individu, serta pengertiannya sebagai ekspresi dari solidaritas dan integritas sosial. Dalam masyarakat Sumatera Utara, selain istilah paguyuban ini, terdapat juga istilah-istilah yang berakar dari kearifan lokal seperti parsadaan pada masyarakat Toba dan Mandailing-Angkola. Demikian pula dalam masyarakat Nias dikenal sebagai persatuan ori (yaitu masyarakat yang disatukan wilayah teritorial dengan berbasis pada satu ori yang terdiri dari beberapa desa adat).

Selain Pujakesuma, dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera Utara ini, seterusnya bermunculan pula berbagai perkumpuan yang belatar belakang budaya etnik Jawa juga, seperti: (a) Pajar (Paguyuban Jawa Rembug), paguyuban ini sama seperti Pujakesuma,

hanya saja dalam penyaluran aspirasi politiknya, lebih di arahkan pada PBR (Partai Bintang Reformasi);

(b) PJB (Paguyuban Jawa Bersatu), persyaratan yang harus dipenuhi untuk

menjadi anggota paguyban ini adalah Orang Jawa dan beragama Islam;

(c) FKPPWJ (Forum Komunikasi Putra-Putri Warga Jawi), organisasi ini didirikan sebagai wadah forum komunikasi menyatukan pendapat dan aspirasi warga Jawa, baik yang lahir di Jawa maupun di luar Jawa bahkan di luar negeri. Sedangkan organisasi untuk kaum mudanya adalah Generasi Muda Jawa (Gema Jawa);

(d) Ikatan Keluarga Solo, dan lain-lain. Pada saat ini adanya sebuah faktor yang di latar belakangi oleh nilai politik, maka paguyuban masyarakat Jawa pada saat sekarang yang ada di Sumatera Utara, khususnya di kota Medan telah mengalami peleburan paguyuban menjadi beberapa paguyuban yang di landaskan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi adat dan budaya Jawa tetap di jalankan dan di wariskan kepada anak-anaknya. Orang Jawa pada hakikatnya memiliki watak untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang dan lingkungannya. Orang Jawa yang datang ke Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi yang harus merasa di hormati dan harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan Jawa, untuk menjaga harmoni sosial dimana pun mereka berada. Mereka sebahagian besar adalah (d) Ikatan Keluarga Solo, dan lain-lain. Pada saat ini adanya sebuah faktor yang di latar belakangi oleh nilai politik, maka paguyuban masyarakat Jawa pada saat sekarang yang ada di Sumatera Utara, khususnya di kota Medan telah mengalami peleburan paguyuban menjadi beberapa paguyuban yang di landaskan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi adat dan budaya Jawa tetap di jalankan dan di wariskan kepada anak-anaknya. Orang Jawa pada hakikatnya memiliki watak untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang dan lingkungannya. Orang Jawa yang datang ke Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi yang harus merasa di hormati dan harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan Jawa, untuk menjaga harmoni sosial dimana pun mereka berada. Mereka sebahagian besar adalah

Orang Jawa hampir sebagian menempati daerah Kota Medan, di antaranya adalah Medan Johor, Medan Tembung, Medan Timur, Helvetia, Tanjung Sari, Medan Tuntungan, Medan Marelan, dan sebagian kecamatan lain. Sebagian besar masyarakat Jawa tinggal di kawasan padat, kompleks perumahan dan kumuh di pinggiran kota, serta banyak memilih usaha sebagai buruh, pertukangan, pedagang kecil, pembantu rumah tangga, dan pegawai rendahan. Namun ada sebagian orang Jawa berstatus perantauan yang sementara tinggal di Medan untuk menyelesaikan tugas dinas, sebagai mahasiswa, dan pebisnis.

Di Sumatera Utara, orang Jawa menikahkan anaknya dengan tradisi Jawa yang di wujudkan dalam upacara perkawinan adat Jawa. Dan juga menghitung penanggalan pernikahan berdasarkan penanggalan pasaran suku Jawa sesuai dengan tanggal lahir anak yang akan menikah tersebut. Ini sangat berguna untuk keberlangsungan hidup seseorang yang mengadakan acara ataupun bagi sanak- saudara agar terhindar dari marabahaya, dan penanggalan ini telah di pakai selama bertahun-tahun dalam melangsungkan setiap acara-acara maupun dalam hajatan lainnya sehingga cara penanggalan ini menjadi suatu kepercayaan tersendiri di dalam masyarakat suku Jawa di manapun berada.

Di dalam serangkaian upacara-upacara perkawinan tersebut terdapat ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa yang bermakna nasihat untuk kedua mempelai. Ungkapan tersebut di pakai sebagai media penyampai pesan yang berwujud tutur lisan dan memiliki bentuk ungkapan berupa kata, frasa, klausa, Di dalam serangkaian upacara-upacara perkawinan tersebut terdapat ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa yang bermakna nasihat untuk kedua mempelai. Ungkapan tersebut di pakai sebagai media penyampai pesan yang berwujud tutur lisan dan memiliki bentuk ungkapan berupa kata, frasa, klausa,

Pada suku Jawa, prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling mencintai, meski ada juga perkawinan yang terjadi karena perjodohan oleh kedua orang tua. Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita setelah melalui proses pertimbangan, biasanya dimantapkan dalam sebuah tali ikatan perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara resmi dan halal selaku suami istri dari segi hukum, agama, dan adat.

Dalam masyarakat Jawa kehidupan kekeluargaan masih kuat, sehingga akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang berkasih-kasihan akan memberi tahu kepada keluarga atau sanak saudara masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk di jadikan suami atau istri, dalam membina rumah tangga yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui perkawinan, maka di lakukan langkah-langkah selanjutnya, yang terbagi atas 5 (lima) babak yang dapat dipaparkan. Babak yang pertama, yaitu intinya mencakup tahap pembicaraan pertama sampai tingkat melamar, disebut sebagai pembicaraan, yang didalamnya terdapat beberapa prosesi yang penting dilakukan, di antaranya ialah: nontoni, ngelamar.

Babak kedua terdapat pula beberapa prosesi. Di antaranya prosesi yang pertama dalam babak yang kedua (tahap yang kedua disebut sebagai tahap kesaksian), yaitu adalah: srah-srahan, paningsetan, asok tukon, dan gethok dina.

Babak ketiga disebut sebagai tahap siaga, prosesi yang terdapat pada babak ketiga yaitu pembentukan panitia dan pelaksana kegiatan yang melibatkan para sesepuh atau sanak saudara, prosesinya adalah: sedhahan, kumbakarnan, dan jenggolan atau jonggolan.

Kemudian di lanjutkan dengan babak keempat, yaitu tahapan rangkaian upacara yang biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orang tua mempelai perempuan di hias dengan tarub (dekorasi tumbuhan), yang biasanya terdiri dari pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa, dan daun beringin yang memiliki arti agar pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia di mana saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka. Namun pada kenyataannya pada saat sekarang ini tarub tidak lagi menggunakan bahan-bahan tersebut melainkan menggunakan kain gorden yang memiliki berbagai warna sesuai selera serta rangkaian bunga-bungan tiruan yang di rangkai menjadi satu menggambarkan atau membentuk pintu gerbang. Dekorasi yang lain yang di siapkan adalah kembar mayang, yaitu suatu karangan bunga yang terdiri dari sebatang pohong pisang raja dan dauh pohon kelapa yang masih muda (masih kuncup), yang biasa disebut janur kuning. Prosesi yang terdapat pada babak keempat ialah mencakup: Pasang tratag lan tarub, kembar mayang , siraman, adol dhawet (jual dawet/cendol), paes, midodareni, selametan, dan nyantri atau nyatrik.

Masuk pada babak terkahir upacara perkawinan yaitu babak kelima, yaitu prosesi upacara pertama pada puncak acara. Prosesi yang dilakukan adalah ijab yang melibatkan pihak tuan kadi dari KUA (Kantor Urusan Agama), setelah acara ini berjalan dengan lancar dan dianggap sah maka kedua mempelai resmi menjadi Masuk pada babak terkahir upacara perkawinan yaitu babak kelima, yaitu prosesi upacara pertama pada puncak acara. Prosesi yang dilakukan adalah ijab yang melibatkan pihak tuan kadi dari KUA (Kantor Urusan Agama), setelah acara ini berjalan dengan lancar dan dianggap sah maka kedua mempelai resmi menjadi

Masuk prosesi yang ketiga adalah: timbangan, tanem, kacar-kucur, dan dhahar kembul (dulangan). Prosesi keempat mapag besan (menerima besan). Prosesi kelima disebut sungkeman, dan yang terkahir adalah prosesi kirab. Dari penjabaran singkat upacara adat perkawinan suku Jawa (termasuk di Sumatera Utara) di atas akan dijelaskan lebih rinci mengenai simbol, bahasa, dan musik pada skripsi ini dalam bab tiga.

Musik yang di gunakan untuk mengiringi upacara perkawinan di atas yaitu pada prosesi ketiga yakni pada saat upacara panggih. Sejauh pengamatan penulis di Kota Medan umumnya menggunakan musik rekaman, yang di putar dengan tape recorder atau VCD/MP3 player, atau lainnya. Biasaya di perkuat dengan loudspeaker. Ini merupakan fenomena yang menarik dalam kebudayaan suku Jawa di Sumatera Utara. Kalau di Jawa menurut pendapat para informan, musik yang di sajikan cenderung live (langsung) dan menggunakan perangkat gamelan (baik slendro atau pelog) secara lengkap, apalagi yang mengadakan adalah keluarga dengan kemampuan ekonomi yang baik. Sementara di Sumatera Utara,

Gendhing rekaman yang berjudul Monggang, Ladrang Wilujeng, Kodok Ngorek, dan Ketawang Larasmaya ini di beli dari Solo melalui rekan dari Bapak Agus Wayan (informan kunci sekaligus pembawa acara panggih) yang kebetulan bepergian ke daerah Solo. Ini jugalah fenomena yang menarik musik dalam upacara perkawinan adat Jawa di Kota Medan dan Sumatera Utara secara umum yang telah berubah dalam penyajian musik dalam mengiringi upacara perkawinan adat suku Jawa.

Perlengkapan busana dalam upacara perkawinan adat suku Jawa juga menjadi bagian penting. Sebagian besar kalangan masyarakat Jawa, umum diluar lingkungan kraton menggunakan busana pengantin Solo putri dan ada juga yang mengenakan busana dodot, sesuai selera masing-masing pihak. Pengantin perempuan mengenakan kebaya panjang, yang panjangnya bisa di bawah lutut, sesuai selera, perhiasan berupa bros tiga susun dipasang di dada, giwang, serta kalung. Kain batik untuk pengantin perempuan maupun pria menggunakan motif khusus yang bermakna mulia, yakni sidomukti, sido mulyo, atau sidoasih yang di

Perlengkapan lain yang di perlukan adalah selop (sandal) warna yang di anggap serasi dengan kebayanya. Pada busana mempelai pria Solo putri berupa jas beskap Jawa lengkap yang disebut baju sikepan warna hitam, merah maron, biru, atau hijau daun sesuai selera yang terbuat dari kain beludru dengan bordir benang atau mote warna kuning keemasan, serasi dengan mempelai perempuan. Bagian dalam di lapis dengan rompi berwarna putih. Perhiasan mempelai pria berupa kalung ulur atau kalung karset yang ditahan dengan bros. Pada kepala memakai blangkon warna hitam atau senada dengan warna busana. Sebagai penyempurna, mempelai pria menggunakan keris berhias bunga kolong keris.

Yang menjadi objek penelitian penulis dalam rangka penulisan skripsi ini, adalah upacara perkawinan adat Jawa di Jalan Sei Batu Gingging, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Medan. Segala deskripsi dan analisis baik itu musikal, upacara, hiburan, dan lainnya adalah berdasarkan observasi penulis pada tanggal 4 sampai 5 Mei 2013, dimana penulis melakukan penelitian dalam status penulis sebagai asisten penyedia jasa foto wedding yang tergabung dalam Mamipapi Photowork.

Ketertarikan penulis akan upacara perkawinan adat Jawa tersebut adalah dimana dalam setiap prosesi ritual yang dilakukan di kediaman Bapak Djumali, S.H., orang tua mempelai wanita Yurista Arini, S.H. oleh para informan adalah

12

dipandang lengkap (untuk ukuran orang Jawa di Sumatera Utara), mulai dari perlengkapan, prosesi sesuai adat perkawinan Jawa yang semestinya telah dijalankan turun-temurun dari generasi ke generasi dan berbeda dari apa yang pernah penulis lihat pada upacara perkawinan adat suku Jawa sebelum- sebelumnya yang hanya terkesan singkat dan dalam melaksanakan beberapa prosesi banyak yang telah ditingggalkan. Artinya pada setiap prosesi upacara perkawinan Jawa yang ada di Jalan Sei Gingging pada tanggal 4 sampai5 Mei 2013 yang dilakukan mulai dari tahap upacara sebelum pernikahan sampai upacara setelah pernikahan mulai dari simbol, keperluan upacara, perlengkapan upacara ritual, dan lain sebagainya sangat memenuhi syarat dari sebuah upacara perkawinan adat Jawa seperti yang telah dijelaskan babak demi babak secara ringkas di atas. Hal ini salah satu faktornya adalah disebabkan oleh adanya faktor maupun tingkatan ekonomi yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam masyarakat Jawa.

Pada konteks penggunaan upacara perkawinan adat suku Jawa yang ada di Sumatera Utara, sejauh penelitian penulis memiliki dua bentuk, yakni upacara

perkawinan adat Yogyakarta dan upacara perkawinan adat Solo (Surakarta). 5 Hasil wawancara penulis dengan salah seorang informan yakni Bapak Agus

5 Masyarakat Jawa pada masa kini, orientasi kebudayaannya adalah pada dua keraton besar di Jawa Tengah. Yang pertama adalah Kasunanan Surakarta yang pusatnya ada di kota Solo

atau Surakarta, dengan sebutan rajanya Paku Buwana. Yang kedua adalah Kasultanan Yogyakarta yang berpusat di Kota Yogyakarta, dengan sebutan rajanya Hamengku Buwana. Kedua kesultanan Jawa Islam ini adalah peninggalan dan kontinuitas dari Kesultanan Mataram (Islam) Jawa Tengah. Keduanya berpisah dalam proses politik kekuasaan di Tanah Jawa di abad ke-17, terutama kartena politik adu domba (divide et impera) yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dengan tujuan menguasai Nusantara ini. Kedua kerajaan ini sepakat membagi wilayah mereka dalam Perjanjian Giyanti. Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Wayan, yaitu beliau sebagai pembawa acara panggih temanten (pembawa upacara pada perkawinan adat Jawa yang mempertemukan kedua mempelai pengantin) serta pemilik Sanggar Cipto Budoyo di Jalan Istiqomah, Helvetia, Medan, pada acara resepsi pernikahan Yusrita Arini, S.H. dengan Boy Budiansyah, S.H., menjelaskan bahwa upacara perkawinan adat Jawa yang di selenggarakan pada tanggal 5 Mei 2013 tersebut dimana acara resepsinya sendiri di adakan di Hotel Danau Toba Internasional Medan adalah menggunakan tata upacara perkawinan adat Solo. Hal yang membedakan antara tata upacara perkawinan adat Yogyakarta dengan tata upacara perkawinan adat Solo yang terdapat pada ritual pecah telur dan busana yang di kenakan oleh kedua mempelai pengantin.

Telur yang di maksud adalah telur ayam kampung yang putih dan bersih yang melambangkan kesucian dalam membangun rumah tangga baru. Hal ini dapat di lihat pada adat Jogja yang ritual pecah telurnya di lakukan oleh mempelai wanita yang kemudian telur tersebut di usapkan ke kening mempelai pria kemudian di pecahkan di lantai. Sedangkan perkawinan adat Solo di kenal dengan istilah ngidhak endhok (wiji dadi) dimana ritual pecah telur tersebut di pecahkan dengan cara diinjak dengan kaki kanan oleh mempelai pria tanpa menggunakan alas kaki dan kemudian kaki mempelai pria di basuh dengan air yang telah di campur dengan bunga setaman oleh mempelai perempuan (hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan 15 Mei 2013).

Berbagai hal baru bagi diri pribadi penulis lihat dalam upacara perkawinan adat Jawa pada pernikahan tersebut di antaranya adalah menampilkan dua bentuk tarian sebagai hiburan setelah terselenggaranya upacara adat perkawinan dalam

Musik gendhing gamelan yang di gunakan dalam prosesi temu temanten merupakan bagian yang cukup penting dari upacara perkawinan adat Jawa yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat ditinggalkan meski penggunaannya pada saat ini sangat praktis hanya dengan menggunakan rekaman maupun format mp3 yang telah menjadi data digital yang bisa di perbanyak secara praktis pula melalui komputer. Hal ini di sebabkan yang paling utama karena dari segi biaya yang sangat bisa di jangkau oleh masyarakat Jawa yang ada di Sumatera pada umumnya, apabila secara langsung menyediakan musik gamelan maka akan membutuhkan biaya yang besar. Musik gamelan tidak dapat di tinggalkan dalam upacara prosesi temu temanten maupun dalam acara upacara secara keseluruhan, karena apabila musik tersebut tidak di sertakan, dalam jiwa Jawa merasa adanya kekurangan, yang membuat suasana terasa kurang sakral dan kurang semarak (hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan). Gendhing-gendhing yang mengiringi selama upacara sudah di atur secara kronologis sesuai dengan makna bagian- bagian upacara tersebut.

Adapun gendhing-gendhing tersebut akan di jelaskan pada bab selanjutnya, namun gending yang menjadi kajian penulis disini adalah:

1. Gendhing Monggang, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat datangnya

pengantin pria beserta rombongan untuk melaksanakan upacara panggih.

2. Ladrang Wilujeng, yaitu gendhing untuk mengiringi pengantin putra masuk kerumah pengantin putri untuk dipertemukan dengan pengantin putri.

3. Gendhing Kodok Ngorek, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat prosesi upacara panggih berlangsung, kemudian dilanjutkan dengan gendhing,

4. Ketawang Laramaya, dimana gendhing ini dipergunakan pada saat pengantin sindur binayang sampai didudukkan di pelamin oleh ayah pengantin perempuan.

Gending-gendhing tersebut di hasilkan oleh beberapa instrumen di antaranya ialah Kendang (membranofon), Kendang (membranofon), Gong, dan Saron (idiofon) dan lain-lainnya. Namun penulis mengalami kendala dalam mendengarkan gending-gendhng tersebut pada saat upacara berlangsung, dimana ada beberapa suara yang bersumber pada pengeras suara yang lebih dari suara musik yang terdengar, yaitu suara pembawa acara yang intensitasnya melebihi suara musik gendhing-gendhing yang diputar pada saat upacara panggih. Pada Akhirnya penulis tertarik untuk memutuskan lebih mendengarkan suara melodi musik gendhing yang dominan terdengar yang dihasilkan oleh dua atau tiga instruments musik seperti kendang, gong dan saron. Musik berfungsi sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara, pada saat prosesi upacara temu temanten musik di percaya sebagai penambah khidmatnya upacara adat tersebut.

Di sini yang menjadi objek penelitian penulis adalah proses jalannya upacara perkawinan adat suku Jawa serta musik iringan upacara dimaksud yang paling dominan terdengar pada saat prosesi temu temanten yang mendukung suasana upacara menjadi sangat khidmat. Sehingga pada akhirnya penulis ingin mengetahui dan meneliti berbagai aspek yang terkandung dalam upacara adat perkawinan suku Jawa di Medan khususnya, dengan pendekatan-pendekatan etnomusikologis.

Etnomusikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan fusi dari musikologi dan antropologi (etnologi). Secara eksplisit apa itu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan manusia, didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of

a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-

Apa yang di kemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfungsikan kedua disiplin ini, akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan

6 Dalam aplikasi disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar

dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis.

Etnomusikologi seperti yang di uraikan oleh Merriam tersebut menekankan perhatian pada dua aspek. Yang pertama adalah fungsi musik dalam kebudayaan manusia yang mendukungnya. Ini berkaitan dengan konteks musik tersebut digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kontribusi tersebut dalam masyarakat pendukungnya. Yang kedua adalah struktur musik itu sendiri, yang memiliki hukum-hukum internalnya, yang bisa saja berbeda antara satu musik dengan musik lain, antara budaya musik etnik yang satu dengan yang lainnya.