Pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Dosis 1,25 g/kg BB sebagai analgetika pada mencit betina Galur Swiss.

(1)

ABSTRACT

This study was conducted to investigate the effect of roselle (Hibiscus sabdariffa L.) calyx infusion administration length at dose of 1.25 g / kg as an analgesic. The research used chemical stimuli where the pain was induced by acetic acid administration by intraperitoneal injection in Swiss strain female mice.

This research includes pure experimental research with a completely randomized design unidirectional pattern types. The study was conducted by randomly dividing the 25 female mice Swiss strain into 5 large groups. Group I (negative control) were given distilled water, group II (positive control) were given ibuprofen dose of 0.026 g / kg and group III (1 day administration), group IV (3 days administration) and group V (6 days administration) were given infusion of roselle calyx then given orally distilled water and acetic acid by intraperitoneal injection. Data obtained in the form of cumulative stretching mice for 1 hour after administration of acetic acid.

The study found effect of roselle calyx infusion administration length in the form of % protection increase in the 1, 3 and 6 days administration. Protection percentage of roselle calyx infusion administration for 1, 3 and 6 days length were 41.54; 57.44; 84.62%. Administration length of roselle calyx infusion for 3 days can be used as an analgesic.

Keywords: administration length, roselle calyx infusion, stretching, % protection, infusion, analgesic, ibuprofen


(2)

INTISARI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dosis 1,25 g/kg BB sebagai analgetika. Penelitian menggunakan metode rangsang kimia dimana nyeri diinduksi dengan pemberian asam asetat secara intra peritoneal pada hewan mencit betina galur Swiss.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian dilakukan dengan membagi acak 25 ekor mencit betina galur Swiss menjadi 5 kelompok besar. Kelompok I (kontrol negatif) diberi aquades, kelompok II (kontrol positif) diberi ibuprofen dosis 0,026 g/kgBB dan kelompok III (praperlakuan selama 1 hari), kelompok IV (praperlakuan selama 3 hari) dan kelompok V (praperlakuan selama 6 hari) diberi infusa kelopak bunga rosela yang kemudian diberi aquades secara oral dan asam asetat secara i.p. Data yang diperoleh berupa kumulatif geliat mencit selama 1 jam setelah pemberian asam asetat.

Dari penelitian diketahui ada pengaruh lama prapraperlakuan infusa kelopak bunga rosela berupa peningkatan % proteksi pada praperlakuan selama 1, 3 dan 6 hari. Besar % proteksi praperlakuan infusa kelopak bunga rosela selama 1, 3 dan 6 hari sebesar 41,54; 57,44; 84,62%. Lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela selama 3 hari dapat digunakan sebagai analgetika.

Kata Kunci: lama praperlakuan infusa, kelopak bunga rosela, geliat, % proteksi, infusa, analgetika, ibuprofen


(3)

PENGARUH LAMA PRAPERLAKUAN INFUSA KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DOSIS 1,25 g/kg BB SEBAGAI

ANALGETIKA PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Yosefina Noviana Seran NIM: 118114168

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

PENGARUH LAMA PRAPERLAKUAN INFUSA KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DOSIS 1,25 g/kg BB SEBAGAI

ANALGETIKA PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Yosefina Noviana Seran NIM: 118114168

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus atas segala hal yang kuperoleh dalam kehidupanku, Bapa Thomas, Mama Nela, K Jefri, K Okto, K Lius, K Lenny, Fanny dan Vionna Sahabat dan teman-temanku, serta Almamater tercinta.


(8)

(9)

(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Pengaruh Lama Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa

L.) Dosis 1,25 g/kg BB sebagai Analgetika pada Mencit Betina Galur Swiss” ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat banyak bantuan dan dukungan dari banyak pihak secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua Bapak Thomas Seran dan Ibu Petronela Bete yang selalu mendoakan, memotivasi dan mendukung dengan berbagai hal dan materi untuk mendanai pengerjaan skripsi ini.

2. Bapak Ipang Djurnarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Penguji skripsi ini atas kesabaran, bantuan, bimbingan, serta motivasi dan masukan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Ibu Phebe Hendra, M. Si., Apt., Ph.D. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberi perhatian, masukan dan saran kepada penulis. 4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si selaku Dosen Penguji skripsi dan dosen

pembimbing akademik yang telah banyak memberi perhatian, masukan dan saran kepada penulis dan segala dukungan dan dampingan selama 4 tahun pendidikan di Universitas Sanata Dharma


(11)

viii

5. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt.

6. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt, selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian skripsi ini.

7. Pak Heru, Pak Kayatno, Pak Wagiran, Pak Suparjiman, Pak Parlan, Pak Kunto, selaku Laboran Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian.

8. Rekan tunggal skripsi rosela Pascalis Nika Putri Winahyu atas segala kerjasama, bantuan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.

9. Kakak Jefriadi Zaverius Seran, kakak Oktovianus Susar, kakak Yulius Seran, kakak Maria Magdalena Seran untuk semua motivasi dan bantuan. 10.Frater Wempirius Mauk, HHK., kakak Januarius Fahik, Adik Anisia

Fahik, Diakon Paulus Halek, SSCC., dan Adik Maria Yunita Leto yang selalu memberi dukungan dalam bentuk apapun selama pengerjaan skripsi. 11.Sahabat-sahabatku Maria Theresia Ghea, Inggrid Roswita Tokan, Vera Juniarta, Hermina Aprilita Ajum, Baptissa Dela Miranti, Giacinta Puspananda Christara, Rambu Roku Sowi, Alfonsa Liquori Seran, Gregoria Novalia Ambarani, Wirna Niki Suprobo, atas motivasi, doa, kebersamaan dan persahabatan.

12.Teman-teman UKM Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus Universitas Sanata Dharma yang memberi dukungan dalam berbagai cara.


(12)

(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... vi

PRAKATA………. vii

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR GAMBAR………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvi

INTISARI………... xvii

ABSTRACT………. xviii

BAB I PENGANTAR……… 1

A. Latar Belakang……….. 1

1. Perumusan masalah……… 4

2. Keaslian penelitian………. 4

3. Manfaat penelitian……….. 6

B. Tujuan Penelitian……….. 6


(14)

xi

A. Hibiscus sabdariffa L. .……….... 8

B. Nyeri………... 13

C. Analgetika………... 18

D. Ibuprofen……….. 19

E. Asam Asetat……….. 20

F. Akumulasi Obat……… 21

G. Infusa……… 22

H. Metode rangsang kimia……… 23

I. Landasan Teori………. 24

J. Hipotesis………... 25

BAB III METODE PENELITIAN………. 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 26

B. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional……….. 26

C. Subjek dan Bahan Penelitian………... 28

D. Alat Penelitian……….. 29

E. Tata Cara Penelitian……….. 29

F. Tata Cara Analisis Hasil………... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….………... 35

A. Identifikasi Tanaman……… 35

B. Pembuatan Serbuk Kelopak Bunga Rosela……….. 35

C. Penetapan Kadar Air dan Pembuatan Infusa Kelopak Bunga Rosela………... 36


(15)

xii

E. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat……….. 38

F. Uji Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela……….. 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 48

A. Kesimpulan………... 48

B. Saran………. 48

DAFTAR PUSTAKA………. 49

LAMPIRAN………... 54


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Komponen fisikokimia kelopak bunga dan daun Hibiscus

sabdariffa L. segar dalam 100 mg sampel……….. 11 Tabel II. Mean kumulatif geliat dan uji Scheffe pada penentuan selang

waktu pemberian asam asetat………. 38

Tabel III. Mean kumulatif geliat, % proteksi dan daya analgesik……….. 41 Tabel IV. Hasil Uji Scheffe antar kelompok berdasarkan % proteksi …… 42


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tanaman dan bunga rosela ………... 8

Gambar 2 Klasifikasi Hibiscus sabdariffa L. ..……….... 9

Gambar 3 Senyawa organik dalam kelopak bunga rosela.……….. 12

Gambar 4 Biosintesis prostaglandin …………...………... 15

Gambar 5 Skema terjadinya nyeri nosiseptif ……….. 16

Gambar 6 Struktur ibuprofen………... 19

Gambar 7 Struktur asam asetat……… 20

Gambar 8 Skema level plasma pada pemberian berulang………... 21

Gambar 9 Skema Perlakuan………. 33

Gambar 10 Histogram perbandingan rata-rata kumulatif geliat mencit pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat………. 36

Gambar 11 Histogram perbandingan rata-rata % proteksi antar kelompok perlakuan……… 43

Gambar 12 Kelopak bunga rosela kering………...… 55

Gambar 13 Infusa kelopak bunga rosela……… 55

Gambar 14 Suspensi Ibuprofen ………. 55

Gambar 15 Asam Asetat ………... 55

Gambar 16 Mencit Uji ……...………... 55

Gambar 17 Kandang Mencit ………. 55

Gambar 18 Mencit yang dipuasakan ……….……… 56


(18)

xv

Gambar 20 Timbangan digital ………..……… 56

Gambar 21 Timbangan elektrik ……… 56

Gambar 22 Alat-alat kaca ………..……… 56

Gambar 23 Spuit Oral dan injeksi intraperitoneal ………. 57

Gambar 24 Sieving Shaker………... 57

Gambar 25 Panci Pembuatan Infusa……….. 57

Gambar 26 Penampung Infusa………... 57

Gambar 27 Geliat Mencit ………..……… 57

Gambar 28 Geliat yang tidak memenuhi kriteria ……….. 57

Gambar 29 Pemberian peroral ………...………... 58


(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bahan penelitian………. 55

Lampiran 2 Subjek uji……….... 55

Lampiran 3 Peralatan penelitian………. 56

Lampiran 4 Peralatan Pembuatan Infusa dan Kriteria Geliat ……… 57

Lampiran 5 Cara Pemberian Perlakuan pada Mencit………. 58

Lampiran 6 Surat Keterangan Identitas Tanaman ..………... 59

Lampiran 7 Ethichal Clearance..………... 60

Lampiran 8 Hasil analisis data penentuan selang waktu pemberian asam asetat ……….. 61

Lampiran 9 Hasil analisis data berdasarkan kumulatif geliat semua kelompok perlakuan ………... 63

Lampiran 10 Hasil analisis data berdasarkan % proteksi semua kelompok perlakuan ……… 65

Lampiran 11 Hasil analisis data berdasarkan daya analgesik semua kelompok perlakuan ………... 67

Lampiran 12 Perhitungan Dosis Ibuprofen untuk Mencit……… 69

Lampiran 13 Dosis Asam Asetat untuk Mencit ……….. 69

Lampiran 14 Perhitungan Dosis Infusa Kelopak Bunga untuk Manusia … 69 Lampiran 15 Konversi Waktu Mencit ke Manusia……….. 70


(20)

xvii

INTISARI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dosis 1,25 g/kgBB sebagai analgetika. Penelitian menggunakan metode rangsang kimia dimana nyeri diinduksi dengan pemberian asam asetat secara intra peritoneal pada hewan mencit betina galur Swiss.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian dilakukan dengan membagi acak 25 ekor mencit betina galur Swiss menjadi 5 kelompok besar. Kelompok I (kontrol negatif) diberi aquades, kelompok II (kontrol positif) diberi ibuprofen dosis 0,026 g/kgBB dan kelompok III (praperlakuan selama 1 hari), kelompok IV (praperlakuan selama 3 hari) dan kelompok V (praperlakuan selama 6 hari) diberi infusa kelopak bunga rosela yang kemudian diberi aquades secara oral dan asam asetat secara i.p. Data yang diperoleh berupa kumulatif geliat mencit selama 1 jam setelah pemberian asam asetat.

Dari penelitian diketahui ada pengaruh lama prapraperlakuan infusa kelopak bunga rosela berupa peningkatan % proteksi pada praperlakuan selama 1, 3 dan 6 hari. Besar % proteksi praperlakuan infusa kelopak bunga rosela selama 1, 3 dan 6 hari sebesar 41,54; 57,44; 84,62%. Lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela selama 3 hari dapat digunakan sebagai analgetika.

Kata Kunci: lama praperlakuan infusa, kelopak bunga rosela, geliat, % proteksi, infusa, analgetika, ibuprofen


(21)

xviii

ABSTRACT

This study was conducted to investigate the effect of roselle (Hibiscus sabdariffa L.) calyx infusion administration length at dose of 1.25 g / kg as an analgesic. The research used chemical stimuli where the pain was induced by acetic acid administration by intraperitoneal injection in Swiss strain female mice.

This research includes pure experimental research with a completely randomized design unidirectional pattern types. The study was conducted by randomly dividing the 25 female mice Swiss strain into 5 large groups. Group I (negative control) were given distilled water, group II (positive control) were given ibuprofen dose of 0.026 g / kg and group III (1 day administration), group IV (3 days administration) and group V (6 days administration) were given infusion of roselle calyx then given orally distilled water and acetic acid by intraperitoneal injection. Data obtained in the form of cumulative stretching mice for 1 hour after administration of acetic acid.

The study found effect of roselle calyx infusion administration length in the form of % protection increase in the 1, 3 and 6 days administration. Protection percentage of roselle calyx infusion administration for 1, 3 and 6 days length were 41.54; 57.44; 84.62%. Administration length of roselle calyx infusion for 3 days can be used as an analgesic.

Keywords: administration length, roselle calyx infusion, stretching, % protection, infusion, analgesic, ibuprofen


(22)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sebagian besar penduduk Indonesia cenderung menyembuhkan sendiri penyakitnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, pada tahun 2012 sekitar 91,6% masyarakat Indonesia melakukan pengobatan mandiri menggunakan obat modern, dan 24,54% menggunakan obat tradisional (BPS, 2014). Konsumsi beragam tanaman diyakini memberikan kontribusi yang cukup besar pada perbaikan kesehatan manusia, dan atau untuk pengobatan suatu penyakit karena tanaman dapat digunakan dalam waktu yang lama dan memiliki agen terapetik (Robert and Tyler, 1999). Pengobatan mandiri umumnya dilakukan untuk mengatasi nyeri.

Nyeri merupakan perasaan sensori dan emosional tidak menyenangkan yang menggambarkan adanya kerusakan jaringan dan merupakan pengalaman subjektif (Berry, Covington, Dahl, Katz and Miaskowski, 2006). Ambang nyeri setiap orang berbeda-beda (Roach, 2004). Penggunaan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) secara luas digunakan sebagai analgetika dan anti inflamasi, namun dapat menyebabkan radang dan pendarahan pada saluran gastrointestinal (Schoenfed, Kimmey, Scheiman, Bjorkman, and Laine, 1999). Hal ini mendorong masyarakat mulai menggunakan obat-obat tradisional dalam mengatasi berbagai penyakit karena dipercaya memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat-obat modern.


(23)

Baru-baru ini, banyak obat-obatan yang berasal dari tanaman digunakan karena keamanan pada penggunaannya. Tanaman obat dipertimbangkan sebagai sumber utama senyawa kimia baru. Berbagai penelitian terhadap tanaman obat untuk menemukan senyawa baru terus dilakukan karena merupakan pilihan obat dengan harga murah dan bersifat nontoksik.

Minuman herba yang mulai populer adalah teh kelopak bunga rosela. Minuman herba ini sering digunakan di Nigeria dan beberapa tempat di dunia dengan memanfaatkan bagian kelopak bunga. Rosela juga digunakan pencahar dan diuretik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rosela dapat digunakan sebagai antihipertensi pada pria karena memiliki efek yang dapat dibandingkan dengan captopril. Antosianin yang terdapat pada rosela dapat memberikan efek sebagai antioksidan, hipokolesteroemik dan memiliki aktivitas hepatoprotektif. Ekstrak etanol kelopak bunga rosela diklasifikasikan sebagai inhibitor lemah pada sembilan isoform enzim sitokrom P450 yaitu CYP1A2, CYP2C8, CYP2D6, CYP2E1, CYP2C19, CYP3A4, CYP2C9 dan CYP2A6. Enzim-enzim ini bertanggung jawab dalam metabolisme obat (Johnson, Oyelola, Ari and Juho, 2013). Bila enzim-enzim tersebut dihambat, maka metabolisme obat akan terhambat pula sehingga mempengaruhi jumlah obat dalam tubuh.

Dalam penelitian Ali, Mohamed and Mohammed (2014), diketahui bahwa ekstrak petroleum eter biji rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mampu mengurangi secara signifikan konstriksi perut yang diinduksi nyeri dengan injeksi asam asetat. Ekstrak petroleum eter biji rosela mengandung flavonoid, karotenoid, steroid, asam lemak dan senyawa fenolik. Dengan demikian diketahui ada


(24)

beberapa persamaan senyawa yang terkandung pada biji dan kelopak bunga rosela.

Apabila suatu obat diberikan berulang dalam interval yang lebih pendek dari waktu paro eliminasi obat, maka akan terjadi akumulasi obat dalam tubuh (Hakim, 2011). Sama halnya pada pemberian berulang obat herbal, pemberian berulang dapat mengakibatkan akumulasi dalam tubuh. Informasi mengenai waktu paro obat herbal lebih terbatas daripada obat-obat modern, sehingga penentuan interval pemberian lebih rumit. Akumulasi obat dalam tubuh dapat meningkatkan konsentrasi obat dalam tubuh. Pada obat dengan indeks terapi sempit, akumulasi obat dapat meningkatkan resiko toksik suatu obat. Meskipun obat herbal lebih aman dari obat modern, namun perlu diketahui batas aman konsumsi obat herbal, karena obat herbal memiliki zat aktif yang lebih bervariasi daripada obat modern.

Penelitian Winahyu (2015) menggunakan metode rangsang kimia untuk mengetahui dosis efektif infusa kelopak bunga rosela 20% yang mampu memberikan efek analgesik. Metode rangsang kimia merupakan metode yang sederhana dan reprodusibel. Senyawa kimia yang digunakan untuk menginduksi nyeri adalah asam asetat yang akan diberikan secara intraperitoneal.

Dalam penelitian tersebut, infusa kelopak bunga rosela memberikan efek analgesik dengan besar % proteksi lebih dari 50% pada dosis 2,5 dan 5 g/kg BB mencit. Dosis terendah infusa kelopak bunga rosela yaitu 1,25 g/kg BB belum mampu memberikan efek analgesik dengan % proteksi kurang dari 50%. Penggunaan dosis 1,25 g/kg BB dalam penelitian didasarkan pada prinsip akumulasi. Diduga bahwa pada pemberian berulang dengan interval tertentu


(25)

menggunakan dosis 1,25 g/kg BB dapat memberikan efek analgesik karena pemberian berulang dapat meningkatkan kadar senyawa dalam tubuh. Bila digunakan dosis yang lebih besar yaitu 2,5 atau 5 g/kg BB yang memiliki % proteksi lebih dari 50%, dikhawatirkan respon nyeri tidak dapat dihitung.

Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui waktu praperlakuan efektif infusa kelopak bunga rosela dalam penggunaannya sebagai analgetika. Pada penelitian ini digunakan infusa kelopak bunga rosela yang akan dipejankan padamencit betina.

1. Perumusan masalah

a. Apakah lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 g/kg BB mempengaruhi % proteksi?

b. Berapa % proteksi yang dihasilkan dengan praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 g/kg BB selama 1, 3 dan 6 hari?

c. Berapa lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 g/kg BB yang dapat digunakan sebagai analgetika?

2. Keaslian penelitian

Penelitian tentang rosela telah banyak dilakukan, diantaranya:

a. Phytochemical and Antioxidant Activity of Roselle (Hibiscus Sabdariffa L.)

Petal Extracts (Pacôme, et al, 2014), dan disimpulkan senyawa yang terkandung pada daun bunga Hibiscus sabdariffa L. adalah antosianin, flavonoid dan phenolic acid yang berperan dalam aktivitas antioksidan.


(26)

b. Uji Antidiabetik Infusa Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) Pada Tikus Putih Betina Galur Wistar Yang Diinduksi Glukosa (Atiqoh, Wardani, Meikawati, 2014) dan disimpulkan ada pengaruh yang bermakna berbagai konsentrasi infusa kelopak bunga rosela terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus putih betina galur Wistar.

c. Fatty acid composition, anti-inflammatory and analgesic activities of Hibiscus sabdariffa Linn. seeds (Ali, et al, 2014) dan disimpulkan bahwa ekstrak petroleum eter tumbuhan Hibiscus sabdariffa Linn. memiliki akivitas antiinflamasi dan analgesik yang signifikan pada model antiinflamasi akut dan kronis melalui penghambatan sintesis siklooksigenase dan prostaglandin. d. Effect of zobo drink (Hibiscus sabdariffa water extract) on the

pharmacokinetics of acetaminophen in human volunteers (Kolawole and Madeunyi, 2004) dan disimpulkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan (p>0,05) pada parameter absorpsi t1/2, Ka, Tmax, Cmax dan AUC

0- pada subjek yang diberi zobo sebelum pemberian parasetamol,

sedangkan pada subjek yang diberi parasetamol sebelum pemberian zobo

terdapat perbedaan statistik secara signifikan (p>0,05) pada K dan t1/2

dan terjadi peningkatan ClT sebesar 11,69%.

e. Pemanfaatan Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus Sabdriffa. L) Asal Kabupaten Bandung Barat Sebagai Antiinfeksi Terhadap Beberapa Genus Bakteri Staphylococcus (Zuhrotun, Hendriani, Kusuma, 2009) dan disimpulkan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosela memiliki aktivitas


(27)

antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus 11748, S. aureus 1135, S. epidermidis, S. warneri dan S. xylosus.

Dari penelusuran peneliti, uji ‘Pengaruh Lama Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Dosis 1,25 g/kg BB sebagai Analgetika

pada Mencit Betina Galur Swiss’ belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini sebagai informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang farmasi mengenai penggunaan obat tradisional yaitu infusa kelopak bunga rosela sebagai analgetika.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini memberikan informasi bagi masyarakat tentang pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela sebagai analgetika yang digunakan secara berkala.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi terkait lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela sebagai analgetika.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 mg/kg BB terhadap % proteksi.


(28)

b. Mengetahui besarnya % proteksi akibat praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 mg/kg BB selama 1, 3 dan 6 hari

c. Mengetahui lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 mg/kg BB yang dapat digunakan sebagai analgetika.


(29)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hibiscus sabdariffa L.

Gambar 1. Tanaman dan bunga rosela (Ismail, Ikram and Nazri, 2008) Rosela merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 0,5-3 m dengan batang berwarna merah atau hijau dan dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis (gambar 1) (Ismail, et al, 2008). Hibiscus sabdariffa L. dikenal umum dengan nama rosela (Indonesia), bissap (Senegal), roselle (Inggris), oseille de guinea (Perancis), dan karkadeh (Arab) (Pacôme, et al, 2014). Rosela merupakan famili Malvaceae (gambar 2). Bunga rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal dengan 8-11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkal saling berlekatan dan berwarna merah. Kelopak bunga ini yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman (Maryani dan Kristiana, 2005).

Teh kelopak bunga Hibiscus sabdariffa L. merupakan minuman berasa aromatik yang menyegarkan dan dapat berfungsi sebagai pencahar ringan. Kelopak bunga Hibiscus sabdariffa L. yang kering, besar dan berwarna merah rubi dididihkan pada air untuk memperoleh teh hibiscus. Konsentrasi yang cukup


(30)

besar pada kelopak adalah oksalat, malat, sitrat, tartrat, dan asam hibiscus (Bruneton, 2008).

Gambar 2. Klasifikasi Hibiscus sabdariffa L. (Dorr, 2011)

Hibiscus sabdariffa L. biasa digunakan sebagai diuretik, pencegahan ansietas, laksatif, penyakit jantung, inflamasi pada kulit dan mukosa, pilek dan sebagai antihipertensi (Rotblatt and Ziment, 2002). Hibiscus sabdariffa L. juga digunakan sebagai agen antiseptik, astringen, afrodisiaka, sakit perut, penenang dan tonik (obat kuat). Selain itu, dapat digunakan pada penyakit hati, demam, luka, nanah dan anemia. Terdapat banyak penelitian mengenai efek farmakologi ekstrak dari berbagai bagian tumbuhan rosela seperti aktivitas hepatoprotektif, antimutagenik, antispasmodik, antikanker, sitotoksik dan antibakteri, imunomodulator, antinosiseptif, antiinflamasi dan antidiare (Ali, et al, 2014).

Penelitian Ali, et al (2014) menyatakan ekstrak petroleum eter biji

Hibiscus sabdariffa L. menghambat secara signifikan fase I dan II inflamasi. Diduga terjadi penghambatan pada enzim siklooksigenase yang berperan dalam sintesis prostaglandin. Dalam uji lainnya disebutkan injeksi asam asetat 0,6% menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas vascular. Efek ini diperantarai oleh mediator inflamasi berbeda seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Hasil penelitian menunjukkan pemberian oral


(31)

ekstrak petroleum eter biji Hibiscus sabdariffa L. mengurangi inflamasi peritoneal yang diduga karena kemampuannya menghambat permeabilitas pembuluh darah selama inflamasi akut.

Berbagai senyawa kimia pada tanaman rosela memiliki aktivitas berbeda-beda. Kelopak bunga rosela kaya akan asam sitrat dan pektin. Senyawa fenolik dan flavonoid memiliki aktivitas antiviral, antiinflamasi, antioksidan, sitotoksik, antihipertensi, digunakan untuk diabetes, rematik dan demam. Senyawa fenolik dapat mengobati masalah ginjal dan perut dengan aktivitas antiinflamasi. Steroid memiliki efek antiinflamasi. Saponin mampu menurunkan risiko kanker pada manusia. Tanin mampu menurunkan aktivitas proliferasi bakteri dengan memblok enzim yang berperan dalam metabolisme bakteri. Tanin berperan sebagai antioksidan. Antosianin memiliki efek kardioprotektif, hipokolesterolemia, antioksidatif dan hepatoprotektif (Mungole and Chaturvedi, 2011).

Kelopak bunga rosela kaya akan asam dan pektin. Analisis terhadap kelopak menunjukkan keberadaan protein sederhana dan mineral seperti besi, fosfor, kalsium, mangan, aluminium, magnesium, natrium dan kalium. Getah, kalsium sitrat, asam askorbat dan hibiscin klorida juga terdapat pada kelopak (tabel I) (Mahadevan, Shivali and Kamboj, 2008).

Kandungan konstituen kimia organik rosela yang dilaporkan sebelum 2003 dimasukkan dalam kompendium tanaman obat dunia. Senyawa yang terdapat pada kelopak bunga rosela (gambar 3) adalah senyawa fenolik sederhana (protocatechuic acid [PCA] dan eugenol), senyawa flavonid tipe polifenol (antosianin 3-glukosida, antosianidin; flavonol kuersetin), asam organik dan


(32)

turunannya, vitamin C (asam askorbat), B1 (tiamin) dan B2 (riboflavin), dan

karoten (-karoten) (Carvajal-Zarrabal, et al, 2012).

Tabel I. Komponen fisikokimia kelopak bunga dan daun Hibiscus sabdariffa L. segar dalam 100 g sampel (Mahadevan, et al, 2008)

Komponen Kelopak bunga segar Daun segar (%)

Kelembaban 9,2 g 86,2

Protein 1,145 g 1,7-3,2

Lemak 2,61 g 1,1

Serat 12,0 g 10

Abu 6,90 g 1

Kalsium 12,63 mg 0,18

Fosfor 273,2 mg 0,04

Besi 8,98 mg 0,0054

Karoten 0,029 mg -

Tiamin 0,117 mg -

Riboflavin 0,277 mg -

Niasin 3,765 mg -

Asam askorbat 6,7 mg -

Senyawa kimia yang utama dalam aktivitas fisiologis kelopak bunga rosela adalah antosianin dan polifenol (Carvajal-Zarrabal, et al, 2012). Antosianin banyak ditemukan pada pangan nabati yang berwarna merah, ungu, merah gelap seperti rosela. Antosianin memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Kemampuan antioksidatif antosianin timbul dari reaktifitasnya yang tinggi sebagai pendonor hidrogen atau elektron, dan kemampuan radikal turunan polifenol untuk menstabilkan dan mendelokalisasi elektron tidak berpasangan, serta kemampuannya mengkhelat ion logam. pH suatu sistem akan sangat mempengaruhi aktivitas antioksidan antosianin. Kemampuan mendonorkan hidrogen dari antosianin meningkat pada kondisi yang semakin asam. pH mempengaruhi warna dan stabilitas antosianin. Antosianin lebih stabil pada pH asam dibanding dalam pH netral atau basa (Ariviani, 2010).


(33)

Gambar 3. Senyawa organik yang terkandung dalam kelopak bunga rosela (Carvajal-Zarrabal, et al, 2012)

Dalam dunia farmasi, daun dan bunga tanaman ini dapat disiapkan dalam bentuk infusa dan dekoksi. Kelopak digunakan sebagai pewarna dan perasa pada teh herbal. Hibiscus sabdariffa L. berasal dari daerah tropis. Konstituen utama pada Hibiscus sabdariffa L. adalah sitrat, malat, asam tartarat, asam kembang


(34)

sepatu, gossypetin, antosianin, asam miristat, asam palmitat dan tiamin (Li, 2000), flavonoid seperti sabdaretin, dan hibiscetin, saponin dan alkaloid (Johnson, et al, 2013). LD50 ekstrak kelopak Hibiscus sabdariffa L. pada tikus adalah di atas 5000

mg/kg (Ali, Wabel and Blunden, 2005).

Ekstrak etanol kelopak Hibiscus sabdariffa L. menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap sembilan isoform dengan konsentrasi ekstrak yang dihasilkan 50% penghambatan isoform CYP dan tingkat penghambatan terbesar berurutan pada enzim CYP1A2, CYP2C8, CYP2D6, CYP2E1, CYP2C19, CYP3A4, CYP2C9 dan CYP2A6. Enzim-enzim ini bertanggung jawab dalam metabolisme obat. Ekstrak ini menghambat isoform enzim CYP yang berperan dalam metabolisme obat fase pertama. Kumarin, saponin, flavonoid dan antosianin memiliki aktivitas penghambatan pada aktivitas isoform CYP (Johnson, et al, 2013).

B. Nyeri

Berdasarkan International Association for the Study of Pain, nyeri didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sekitar 9 dari 10 orang Amerika secara teratur mengalami nyeri, dan nyeri merupakan alasan paling umum seseorang melakukan perawatan kesehatan. Setiap tahun, sekitar 25 juta orang Amerika mengalami rasa sakit akut karena cedera atau pembedahan dan 50 juta menderita sakit kronis (National Pharmaceutical Council, 2005).


(35)

Analgesik meredakan nyeri dengan menghambat secara langsung dan selektif pada enzim-enzim sistem saraf pusat yang yang mengkatalisis biosintesis prostaglandin seperti siklooksigenase, sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator nyeri seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-ion kalium dan hidrogen, yang dapat merangsang nyeri secara mekanik atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Nyeri diklasifikasi menjadi nyeri akut, nyeri kronik, nyeri kanker dan nyeri kronik non kanker. Nyeri akut berdurasi singkat, muncul dalam bentuk nosiseptif maupun neuropatik. Sumber nyeri akut dari trauma, operasi, kerja berat, prosedur medis dan keberadaan penyakit akut. Nyeri kronik terjadi terus-menerus melebihi periode penyembuhan, yang mengganggu tidur, dan aktivitas normal. Nyeri kronik muncul dalam bentuk nosiseptif, neuropati maupun keduanya dan dapat disebabkan karena luka (misalnya trauma, operasi), penyakit menular atau penyakit kronik lain (misalnya artritis, fibromialgia, neuropati). Nyeri kanker terjadi karena adanya kanker (seperti invasi tumor pada jaringan, tekanan atau pembesaran pada saraf atau pembuluh darah, obstruksi organ, infeksi dan inflamasi), dan akibat prosedur diagnosis (misalnya biopsi, pasca operasi, toksisitas dari kemoterapi atau radiasi). Nyeri kanker berbeda dari rasa sakit kronis nonkanker dalam beberapa cara yang signifikan (misalnya durasi, tingkat patologi, strategi pengobatan) (Berry, et al, 2006).

Pembentukan prostalglandin dikatalis oleh enzim prostalglandin sintase. Prostalglandin sintase lebih sering disebut siklooksigenase (COX). Terdapat 2 gen siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2. Keduanya mengkatalis reaksi yang


(36)

sama, meskipun COX-2 bekerja pada substrat yang lebih luas. COX-1 secara konstitutif diekspresikan pada jaringan, sedangkan COX-2 hanya teraktivasi pada saat terjadi stimuli inflamasi (Brandt, 2004).

Hormon, autakoid, dan zat-zat lain memperbesar biosintesis eukosanoid (prostaglandin, leukotrien, dan senyawa sejenis) dengan reseptor yang terikat pada membran plasma. Interaksi ini menghasilkan aktivasi langsung fosfolipase atau peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosolik yang juga dapat mengaktifkan enzim tersebut. Rangsangan fisik mengakibatkan influks Ca2+ dengan mengganggu membran sel dan dengan mengaktifkan fosfolipase A2 disertai dengan pelepasan

asam arakidonat. Begitu dilepaskan (gambar 4), sebagian arakidonat dimetabolisme dengan cepat menjadi produk teroksigenasi oleh beberapa enzim berbeda, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase (Hardman, Limbird and Gilman, 2001).


(37)

COX-1 dan COX-2 mendorong penyerapan dua molekul oksigen melalui siklasi asam arakidonat menghasilkan endoperoksida. Produk ini cepat dimodifikasi oleh gugus peroksidase enzim COX menghasilkan prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin). Metabolisme asam arakidonat oleh lipooksigenase menghasilkan asam hidroperoksieikosatetraetanoat (HPETE) yang cepat berubah menjadi turunan hidroksi (HETE) dan leukotrien. Prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin dan leukotrien merupakan mediator nyeri (Katzung, Masters and Trevor, 2012).

Gambar 5. Skema terjadinya nyeri nosiseptif (DiPiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells and Posey, 2008)

Terjadinya nyeri nosiseptif dibagi menjadi somatik (kulit, tulang, sendi, otot, atau jaringan penghubung) dan viseral (organ dalam seperti usus besar atau


(38)

pankreas. Mekanisme terjadinya nyeri dan respon nyeri dibagi dalam 4 fase yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri dan modulasi.

1. Stimulasi merupakan tahap pertama dalam proses terjadinya nyeri. Rangsangan/stimulus ditangkap oleh ujung saraf bebas (nosiseptor). Reseptor-reseptor ini pada terdapat struktur somatik dan viseral yang akan membedakan stimulus berbahaya dan tidak berbahaya. Reseptor ini kemudian diaktifkan dan disensitasi oleh impuls mekanik, panas dan kimia. Adanya rangsangan tersebut akan menyebabkan lepasnya bradikinin, ion kalium (K+), prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P yang mengaktifkan nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan potensial aksi yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sum-sum tulang belakang (gambar 5).

2. Transmisi nosiseptif melibatkan serabut saraf A dan C aferen. Serabut Aδ bermyelin menghantarkan respon dengan cepat dan menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Serabut C tidak bermyelin sehingga penghantarannya lambat, menghasilkan sensasi nyeri tumpul, nyeri panas. Setelah penghantaran impuls, ujung serabut saraf aferen yang membentuk sinaps dengan bagian tanduk dorsal sumsum tulang belakang melepaskan mediator glutamat, substansi P dan calcitonin generelated peptide (CGRP). 3. Persepsi nyeri terjadi ketika otak mengartikan sinyal nyeri dengan batas

tertentu dan fungsi kognitif dan tingkah laku akan memodifikasi nyeri. Relaksasi, pengalihan, meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri dengan membatasi jumlah sinyal nyeri yang diproses. Sebaliknya perubahan


(39)

biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat memperparah nyeri.

4. Modulasi terjadi dimana opioid endogen berikatan dengan reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri. Tubuh memodulasi nyeri melalui beberapa proses. Sistem opioid endogen, yang terdiri dari neurotransmitter

(enkefalin, dinorfin, β-endorfin) dan reseptor opioid (, , κ) yang terdapat menyeluruh di sistem saraf pusat. Opioid endogen ini berinteraksi dengan reseptor opioid dan mengatur transmisi impuls nyeri. Selain itu, sistem saraf pusat memiliki sistem pengatur transmisi nyeri yaitu descending control system yang dapat menghambat transmisi nyeri pada sinaptik tanduk dorsal dan yang berasal dari otak. Neurotransmiter penting yang termasuk opioid endogen adalah serotonin, norepinefrin, γ-aminobutyric acid (GABA) dan neurotensin.

(DiPiro, et al, 2008)

C. Analgetika

Obat-obatan yang mengubah sensitivitas atau menghapus rasa sakit disebut sebagai obat penghilang rasa sakit atau analgetika (Mishra, Ghosh, Kumar and Panda, 2011). Analgetika dibagi menjadi analgetika kuat yang bekerja pada pusat (hipoanalgetika, opiat) dan analgetika lemah yang bekerja pada perifer dengan sifat antipiretik, antiinflamasi dan antireumatik (Mutschler, 1999).

Senyawa analgesik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia dan fisis yang


(40)

melampaui nilai ambang batas tertentu (ambang nyeri). Senyawa analgesik non narkotik mempengaruhi proses pertama nyeri dengan mempertinggi ambang batas nyeri, sedangkan narkotik dengan menekan reaksi-reaksi psikis yang diakibatkan oleh rangsangan nyeri (Anief, 2000). Analgetika non-narkotik meringankan nyeri ringan hingga sedang tanpa menurunkan kesadaran dan tidak menyebabkan ketergantungan. Contoh obat golongan ini adalah senyawa golongan salisilat, non-salisilat misalnya parasetamol, dan NSAIDs (nonsteroidal anti-inflammatory drugs) (Roach, 2004). Analgetika narkotik atau analgetika opioid merupakan analgetika kuat yang digunakan untuk penanganan nyeri sedang hingga berat seperti kanker, persalinan obstetrik, nyeri akut dan parah pada kolik ginjal dan empedu (Katzung, et al, 2012).

D. Ibuprofen

Gambar 6. Struktur ibuprofen (Direktorat Jenderal POM RI, 2014)

Ibuprofen mengandung 97,0-103,0% C12H18O2 dihitung tehadap zat

anhidrat (gambar 6). Pemerian ibuprofen berupa serbuk hablur, berwarna putih hingga hampir putih dan berbau khas lemah (Direktorat Jenderal POM RI, 2014). Ibuprofen adalah obat golongan NSAID (Non-steroid anti-inflamatory Drugs) yang paling banyak digunakan sebagai analgesik. Penggunaan obat ini biasanya untuk sakit kepala, nyeri otot dan nyeri haid (Koffeman et al, 2014). Ibuprofen memiliki efikasi yang lebih tinggi daripada asetaminofen untuk pengobatan nyeri


(41)

dan demam pada orang dewasa dan pediatrik dengan tingkat keamanan yang sama (Pierce and Voss, 2010).

Ibuprofen telah terbukti memberikan efek analgesik paling efektif untuk nyeri akut selama 24 sampai 48 jam. Beberapa percobaan merekomendasikan penggunaan ibuprofen harus dipertimbangkan sebagai lini pertama NSAID untuk alasan keamanan, khasiat, dan biaya. Pasien biasanya menggunakan NSAID untuk nyeri yang terkait dengan prosedur gigi (terapi saluran akar, pencabutan gigi), nyeri muskuloskeletal, dismenore, dan nyeri kepala akut (Simon, 2009). Ibuprofen relatif aman berkaitan dengan toksisitas pada gastrointestinal di antara obat NSAID lainnya (Kunnamo, 2005). Pada penelitian lainnya, disebutkan bahwa ibuprofen mampu meredakan nyeri laparotomi pada kelinci dengan dosis 15 mg/kg dan 30 mg/kg (Udegbunam, Alaeto, Udegbunam, and Offor, 2008).

E. Asam Asetat

Gambar 7. Struktur asam asetat (Direktorat Jenderal POM RI, 2014)

Asam asetat mengandung 99,5-100,5 % b/b C2H4O2 (gambar 7) berupa

cairan jernih tidak berwarna, berbau khas menusuk dan berasa asam bila

diencerkan dengan air. Asam asetat memiliki titik didih kurang lebih 118C dan beku pada suhu tidak lebih rendah dari 15,6C. Asam asetat dapat bercampur dengan air, etanol dan gliserol (Direktorat Jenderal POM RI, 2014). Asam asetat digunakan sebagai iritan yang dapat merusak jaringan secara lokal. Setelah


(42)

pemberian asam asetat secara intraperitoneal, terjadi perubahan pH di dalam rongga perut akibat pelepasan ion H+ dari asam asetat sehingga menyebabkan luka pada membran sel. Fosfolipid membran sel akan melepaskan asam arakidonat yang pada akhirnya akan membentuk prostaglandin dan menimbulkan nyeri (Wilmana, 1995)

F. Akumulasi Obat

Saat suatu obat diberikan berulang dengan interval yang lebih pendek dari waktu paro eliminasi obat, maka akan terjadi akumulasi obat di dalam tubuh. Semakin pendek intervalnya, relatif terhadap waktu paro eliminasi, semakin besar pula akumulasinya. Sebaliknya, jika pemberian obat dilakukan dengan interval waktu yang lebih panjang dari waktu paro eliminasinya, karena obat diberikan sebelumnya telah hilang, maka obat tidak terakumulasi didalam tubuh (Hakim, 2011).

Gambar 8. Skema level plasma pada pemberian berulang (Shargel, Susanna, dan Andrew, 2005)


(43)

Jika obat diberikan pada dosis dan interval tertentu pada multiple-dose regimen, jumlah obat dalam tubuh akan meningkat dan terjadi peningkatan rata-rata level plasma yang lebih tinggi dari puncak pada dosis awal (gambar 8). Pada pemberian obat berikutnya dengan interval yang lebih pendek dari waktu eliminasi dosis sebelumnya, maka dapat terjadi akumulasi obat dimana konsentrasi plasma akan lebih tinggi dari puncak konsentrasi plasma dosis sebelumnya (Shargel, et al, 2005).

G. Infusa

Pembuatan infusa merupakan cara paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga yang dapat diminum panas atau dingin. Sediaan herbal yang mengandung minyak atsiri akan berkurang khasiatnya apabila tidak menggunakan penutup pada pembuatan infusa. Infusa simplisia yang mengandung minyak atsiri diserkai setelah dingin. Infusa simplisia yang mengandung lendir tidak boleh diperas. Infusa simplisia yang mengandung glikosida antarkinon, ditambah larutan natrium karbonat P 10% dari bobot simplisia. Infusa yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia, kecuali dinyatakan lain (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010).

Metode infudasi digunakan untuk menyari kandungan aktif dari simplisia yang larut dalam air panas. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan jamur sehingga sari yang diperoleh dengan cara ini harus segera diproses sebelum 24 jam. Cara ini sangat


(44)

sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional. Pada umumnya proses dimulai dengan membasahi simplisia sengan air dua kali bobot bahan, untuk bunga empat kali bobot bahan dan karagen sepuluh kali bobot bahan. Bahan baku ditambah dengan air, pada umumnya jika tidak dinyatakan lain diperlukan 100 bagian air untuk 10 bagian bahan kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90C untuk infusa atau 30 menit untuk dekokta. Penyarian dilakukan pada saat cairan masih panas, kecuali bahan yang mengandung minyak atsiri (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2013).

H. Metode Rangsang Kimia

Dalam metode ini, rasa nyeri ditimbulkan oleh rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yang diinjeksikan secara intraperitoneal pada hewan uji. Zat yang sering digunakan adalah asam asetat dan fenilkuinon. Metode ini cukup sederhana dan reprodusibel untuk pengujian senyawa dengan yang bersifat analgesik lemah. Pemberian senyawa analgesik akan mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri hingga geliat berkurang sampai tidak terjadi sama sekali tergantung dari daya analgesik senyawa yang digunakan (Nitasari, 2010).

Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai

Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test (Wuryaningsih, Rarome dan Windono, 1996).


(45)

I. Landasan Teori

Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Ambang nyeri pada setiap individu berbeda-beda. Nyeri timbul dengan adanya rangsangan tertentu yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan sehingga dilepaskan mediator nyeri dan merangsang nyeri. Analgetika merupakan senyawa yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan nyeri. Senyawa analgesik dapat berasal obat modern maupun bahan alam. Ibuprofen merupakan senyawa golongan NSAID yang banyak digunakan sebagai senyawa analgesik dan memiliki efikasi yang lebih baik daripada parasetamol.

Rosela telah banyak digunakan masyarakat untuk mengatasi hipertensi dan terapi lainnya, serta dikonsumsi harian sebagai minuman herbal. Senyawa yang terkandung dalam kelopak bunga rosela di antaranya antosianin, asam tartat, asam askorbat, riboflavin, tiamin, asam sitrat, asam malat asam hidrositrat dan asam malat. Ekstrak petroleum eter biji Hibiscus sabdariffa L. menghambat secara signifikan fase I dan II inflamasi. Diduga terjadi penghambatan pada enzim siklooksigenase yang berperan dalam sintesis prostaglandin, yang bertanggung jawab dalam proses terjadinya nyeri.

Dalam penelitian Winahyu (2015), infusa kelopak bunga rosela dengan konsentrasi 20% memberikan efek analgesik dengan % proteksi terhadap geliat mencit lebih dari 50% pada dosis 2,5 g/kg BB mencit, sedangkan dosis 1,25 g/kg BB belum memberikan efek analgesik. Umumnya penggunaan berulang suatu obat dapat menyebabkan akumulasi atau penumpukan senyawa dalam tubuh


(46)

sehingga dapat meningkatkan efek farmakologis atau bahkan meningkatkan risiko toksisitas. Demikian juga pada pemberian berulang infusa kelopak bunga rosela 20% dosis 1,25 g/kg diduga dapat terjadi peningkatkan efek analgesik.

Infusa kelopak bunga rosela dibuat dengan mengekstraksi simplisia

nabati dengan air pada suhu 90C selama 15 menit. Infusa kelopak bunga rosela dapat diberikan pada subjek dalam keadaan dingin maupun panas. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode rangsang kimia. Metode ini cukup peka, sederhana, reprodusibel dan mudah dilakukan untuk uji daya analgesik. Dalam metode ini, nyeri diinduksi dengan pemberian zat kimia yaitu asam asetat.

J. Hipotesis

Lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dosis 1,25 g/kg BB mempengaruhi % proteksi dengan peningkatan % proteksi dan dapat berfungsi sebagai analgetika.


(47)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni yang dilakukan dengan memberi perlakuan pada subjek uji dan diamati pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga Hibiscus sabdariffa L. terhadap efek analgesik.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah. Acak, di mana mencit dipilih secara random sehingga berpeluang sama dalam memperoleh suatu perlakuan. Lengkap, di mana semua hewan uji memperolehperlakuan yang sama dari awal hingga akhir penelitian. Pola searah, di mana hanya terdapat satu variabel bebas yaitu variasi lama praperlakuan.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas: variasi lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dosis 1,25 g/kg BB yaitu 1, 3 dan 6 hari.

b. Variabel tergantung: jumlah geliat mencit setiap lima menit selama satu jam

c. Variabel pengacau terkendali: galur spesies subjek uji berupa mencit galur Swiss, jenis kelamin mencit betina, berat badan mencit 20-30 g, umur mencit 2-3 bulan, sumber kelopak bunga rosela


(48)

d. Variabel pengacau tidak terkendali: kondisi patologis mencit. 2. Definisi operasional

a. Nyeri adalah sensori tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dalam penelitian ini diinduksi dengan pemberian asam asetat yang ditunjukkan dengan respon geliat pada mencit.

b. Metode rangsang kimia adalah metode uji efek analgesik yang dilakukan dengan mengukur jumlah geliat subjek uji setiap lima menit selama 60 menit, setelah subjek uji diinjeksi dengan senyawa kimia penginduksi nyeri yaitu asam asetat secara intraperitoneal.

c. Geliat adalah ketika mencit meregangkan kaki belakangnya hingga batas maksimal atau hingga lurus dan perut hewan uji bagian bawah menyentuh alas tempat perlakuan.

d. Lama praperlakuan adalah lamanya pemberian infusa kelopak bunga rosela selama 1, 3 dan 6 hari berturut-turut sebelum pemberian asam asetat perangsang nyeri.

e. Analgetika adalah senyawa yang mampu menekan nyeri, yang dalam penelitian ini berarti dapat mengurangi rasa nyeri dengan mengurangi geliat yang dialami akibat adanya rangsang nyeri.

f. Infusa kelopak bunga rosela diperoleh dengan membasahi 20 gram serbuk kelopak rosela kering dengan 100 mL aquadest, dipanaskan dalam suhu 90o C selama 15 menit dan diperas hingga diperoleh 100 mL infusa. Infusa kelopak bunga rosela dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 20%.


(49)

g. Selang waktu pemberian rosela-asam asetat adalah 80 menit yang diselingi pemberian aquades pada menit ke-60. Selang waktu ini disesuaikan dengan rancangan penelitian yang diadopsi dari penelitian Winahyu (2015) tentang interaksi rosela dan ibuprofen, dimana pemberian rosela-asam asetat adalah 80 menit yang diselingi dengan pemberian CMC 1% pada menit ke-60.

C. Subjek dan Bahan Penelitian

1. Subjek penelitian

Subjek uji yang digunakan adalah mencit betina galur Swiss dengan berat badan 20-30 gram sebanyak 25 ekor yang diperoleh dari Lembaga Pusat Penelitian dan Teknologi (LPPT) unit IV Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2. Bahan

a. Kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang telah dikeringkan yang diperoleh dari CV. Merapi Farma Herbal.

b. Aquades kualitas teknis yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Organik Universitas Sanata Dharma

c. Asam asetat kualitas proanalisis yang diperoleh dari Laboratorium Anatomi-Fisiologi Universitas Sanata Dharma

d. Ibuprofen generik yang diperoleh dari apotek Kimia Farma e. Etanol kualitas teknis yang diperoleh dari General Labora


(50)

D. Alat Penelitian

Alat dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan mencit, timbangan analitik, alat suntik oral, alat suntik parenteral, alat-alat gelas (gelas beker, kaca pengaduk, labu takar, mortir, stamper, gelas ukur, pipet ukur, pipet tetes), heater, blender, sieving shaker, stopwatch dan moisture balance. Alat dan instrumen yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Toksikologi, Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Laboratorium Anatomi-Fisiologi dan Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

E. Tata Cara Penelitian

1. Identifikasi tanaman

Identifikasi tanaman dilakukan untuk mengetahui bahwa tanaman yang digunakan merupakan tanaman yang dituju. Tanaman yang digunakan merupakan kelopak bunga rosela kering yang diperoleh dari CV. Merapi Farma Herbal pada 5 Februari 2015 dan ditunjukkan dengan surat keterangan. 2. Pembuatan serbuk kelopak bunga rosela

Pembuatan serbuk kelopak bunga rosela dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia. Kelopak bunga rosela kering disortir kemudian dihaluskan menggunakan blender dan diayak menggunakan shieving shaker


(51)

3. Penetapan kadar air serbuk kelopak bunga rosela

Serbuk kelopak bunga rosela dimasukkan sebanyak 5 g dalam plat

moisture balance yang sebelumnya telah ditara. Serbuk kelopak bunga rosela diratakan hingga menutup semua bagian plat dan dipanaskan pada moisture balance selama 15 menit dengan suhu 105C. Berat sebelum dan sesudah dimasukkan ke dalam moisture balance akan digunakan dalam perhitungan kadar air. Kadar air diperoleh dari selisih berat sebelum dan sesudah pemanasan dibandingkan dengan berat sebelum.

4. Pembuatan sediaan infusa kelopak bunga rosela 20%

Serbuk kering kelopak rosela ditimbang sebanyak 20 gram, ditambahkan 100 mL pelarut, lalu dipanaskan pada penangas air selama 15 menit pada suhu 90o C sambil sekali-sekali diaduk. Campuran diambil dan diperas dengan kain flanel kemudian perasan tersebut ditambahkan dengan aquadest panas pada ampas hasil perasan hingga diperoleh volume infusa kelopak bunga rosela 100 ml.

5. Pembuatan larutan uji a. Larutan asam asetat 1%

Larutan asam asetat 1% dibuat dengan melarutkan 0,25 mL asam asetat 100% dengan aquades secukupnya, kemudian ditambahkan aquades hingga diperoleh volume 25 ml.

b. Suspensi ibuprofen 1%

Suspensi ibuprofen 1% dibuat dengan melarutkan tablet ibuprofen 400 mg dengan 25 mL CMC 1% sehingga diperoleh konsentrasi 1,6%. Selanjutnya


(52)

6,25 mL ibuprofen 1,6% ditambahkan dengan CMC 1% hingga volume 10 mL sehingga diperoleh suspensi ibuprofen konsentrasi 1%.

6. Penetapan dosis a. Dosis asam asetat

Dosis yang digunakan untuk mampu menginduksi nyeri pada mencit yaitu 50 mg/kg BB atau setara dengan 0,05 mg/g BB. Dosis 50 mg/kg BB diacu berdasarkan penelitian Sidebang (2011) sebagai dosis optimum asam asetat yang mampu memberi rangsang nyeri pada mencit.

b. Dosis ibuprofen

Dosis terapi analgesik lazim ibuprofen manusia sebesar 200 mg/ 70 kg BB manusia yang dikonversikan pada mencit menjadi 0,026 g/kg BB mencit (lampiran 12).

c. Dosis infusa kelopak bunga rosela

Dosis infusa kelopak bunga rosela yang digunakan adalah dosis terendah dari variasi dosis pada penelitian Winahyu (2015) yaitu 1,25 g/kg BB mencit. Alasan dipilih dosis ini karena pada dosis ini memberikan respon persen proteksi kurang dari 50%.

7. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat

Penentuan selang waktu menggunakan kontrol positif ibuprofen dengan variasi selang waktu pemberian ibuprofen dan asam asetat 10, 15 dan 20 menit. Selang waktu yang dipilih adalah selang waktu yang memberikan geliat tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak namun memiliki perbedaan yang bermakna dengan selang waktu lainnya. Penentuan selang waktu


(53)

dilakukan dengan memberikan ibuprofen secara oral pada mencit. Kemudian diberi asam asetat secara intraperitoneal setelah selang waktu 10, 15 dan 20 menit. Selanjutnya dihitung jumlah geliat.

8. Uji Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela

Mencit dibagi dalam lima kelompok perlakuan dengan setiap kelompok berjumlah lima mencit:

a. Kontrol negatif dengan praperlakuan aquades 6 hari dan asam asetat 1%. b. Kontrol positif dengan praperlakuan ibuprofen dan asam asetat 1%.

c. Praperlakuan infusa kelopak bunga rosela satu hari, dengan pemberian aquades dan asam asetat 1%

d. Praperlakuan infusa kelopak bunga rosela tiga hari, dengan pemberian aquades dan asam asetat 1%

e. Praperlakuan infusa kelopak bunga rosela enam hari, dengan pemberian aquades dan asam asetat 1%


(54)

Gambar 9. Skema perlakuan

Selang waktu pemberian kontrol negatif dan rosela 1 jam adalah bentuk penyesuaian rancangan metode dengan penelitian Winahyu (2015). CMC 1 % dalam penelitian tersebut diganti dengan aquades yang merupakan pelarut dalam sediaan infusa kelopak bunga rosela.

9. Pendataan jumlah geliat dan penghitungan daya analgesik infusa kelopak bunga rosela

Pendataan jumlah geliat dilakukan dengan menghitung jumlah geliat setiap mencit setiap lima menit selama satu jam setelah pemberian asam asetat. Data yang diperoleh berupa jumlah kumulatif geliat setiap mencit.

Perhitungan daya analgesik dilakukan dengan membandingkan % proteksi geliat dari kelompok perlakuan terhadap kontrol positif ibuprofen dosis 0,026 g/kg BB.


(55)

Penghambatan jumlah geliat dihitung berdasarkan persamaan

Hendeshot-Forshait.

Keterangan:

P = jumlah kumulatif geliat mencit perlakuan K = jumlah kumulatif geliat mencit kontrol

Daya analgesik dihitung dengan rumus berikut.

Keterangan:

P = % Proteksi geliat pada tiap kelompok perlakuan Kp = rata-rata % proteksi geliat pada kontrol positif

(Sinaga, 2013)

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang diperoleh berupa jumlah geliat mencit pada kelompok kontrol positif, kontrol negatif, kontrol infusa rosela, praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 1 hari, praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 3 hari dan praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 6 hari, dimana masing-masing terdapat lima replikasi. Dari data tersebut dihitung % proteksi dan daya analgesik pada masing-masing mencit.

Distribusi data dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat mengetahui distribusi data. Analisis dilanjutkan dengan uji ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan antar kelompok dan uji Scheffe

untuk mengetahui bermakna atau tidak perbedaan tersebut. Daya Analgesik =

100%


(56)

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap geliat mencit yang diberi rangsang nyeri serta mengetahui lama praperlakuan efektif yang dapat mengurangi nyeri.

A. Identifikasi Tanaman

Identifikasi tanaman bertujuan untuk membuktikan bahwa bagian tanaman yang digunakan benar berasal dari tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa

L.). Kelopak bunga rosela diperoleh dari CV. Merapi Farma Herbal. Determinasi tidak dilakukan karena telah terdapat surat keterangan dari CV. Merapi Farma Herbal (lampiran 6) yang menyatakan bahwa bahwa simpisia yang diperoleh benar-benar merupakan kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Bunga rosela yang diperoleh berasal dari daerah Jawa Timur dan dikeringkan selama 4 hari menggunakan oven sinar matahari.

B. Pembuatan Serbuk Kelopak Bunga Rosela

Tujuan pembuatan serbuk kelopak bunga rosela agar diperoleh ukuran sampel yang lebih kecil sehingga lebih memperluas kontak antara penyari dengan permukaan serbuk dan mempermudah proses penyarian senyawa aktif. Serbuk kelopak bunga rosela dibuat dengan cara dihaluskan dengan menggunakan


(57)

blender dan diayak menggunakan sieving shaker. Serbuk yang digunakan adalah serbuk dengan ukuran maksimal 40 mesh. Serbuk yang dibuat berwarna coklat gelap, memiliki rasa masam dan berbau khas aromatik.

C. Penetapan Kadar Air dan Pembuatan Infusa Kelopak Bunga Rosela

Penetapan kadar air serbuk kelopak bunga rosela dilakukan di Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Tujuan penetapan kadar air adalah untuk menguji serbuk yang digunakan apakah telah memenuhi persyaratan serbuk yang baik. Serbuk yang baik memiliki kadar air kurang dari 10 persen. Penetapan kadar air menggunakan alat moisture balance. Hasil penetapan kadar dari tiga replikasi menunjukkan rata-rata kadar air serbuk kelopak bunga rosela adalah 6,975 %. Menurut Kepmenkes Tahun 1994 Nomor 661 tentang Persyaratan Obat Tradisional, kadar air dalam sediaan serbuk tidak boleh melebihi 10 %. Pada serbuk dengan kadar air lebih dari 10% masih terjadi reaksi enzimatik sehingga memungkinkan kandungan metabolit aktif dalam rosela berubah (Katno, Kusumadewi, dan Sutjipto, 2008).

Pemilihan penggunaan sediaan infusa dalam penelitian untuk menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi kelopak bunga rosela berupa air rebusan. Selain itu, pemilihan sediaan ini dikarenakan pembuatannya cukup sederhana dan mudah. Konsentrasi infusa kelopak bunga rosela yang digunakan adalah 20%. Konsentrasi ini dipilih berdasarkan optimasi konsentrasi yang dilakukan pada penelitian Winahyu (2015). Hasil pembuatan


(58)

infusa kelopak bunga rosela berbentuk cairan, berwarna merah gelap, berbau khas dengan rasa yang masam.

D. Penetapan Dosis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rangsang kimia yaitu menggunakan senyawa kimia sebagai penginduksi nyeri pada hewan uji. Senyawa penginduksi nyeri pada mencit yang digunakan adalah asam asetat. Dosis asam asetat yang digunakan adalah 50 mg/kg BB diacu berdasarkan penelitian Sidebang (2011) sebagai dosis optimum asam asetat yang memberi rangsang nyeri pada mencit.

Dosis ibuprofen yang digunakan adalah dosis lazim yang sering digunakan di masyarakat yaitu 200 mg/ 70 kg BB manusia yang kemudian dikonversikan ke dosis mencit menjadi 0,026 g/kg BB mencit. Dalam penelitian ini, ibuprofen digunakan sebagai kontrol positif yang sudah diketahui memiliki efek analgesik. Kontrol positif sebagai senyawa analgesik standar sehingga dapat diketahui daya analgesik perlakuan dengan infusa kelopak bunga rosela.

Dosis infusa kelopak bunga rosela yang digunakan adalah 1,25 g/kg BB mencit yang diacu dari variasi dosis pada penelitian Winahyu (2015). Dosis ini merupakan dosis terendah yang memberikan hasil % proteksi kurang dari 50%. Dengan penggunaan dosis terendah ini, diharapkan respon nyeri dapat dihitung pada semua variasi lama praperakuan infusa kelopak bunga rosela. Bila digunakan dosis tengah dan dosis tertinggi yang memiliki % proteksi lebih dari 50%,


(59)

dikhawatirkan respon nyeri tidak dapat dihitung pada semua variasi lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela.

E. Penentuan Selang Waktu Pemberian Asam Asetat

Penetapan selang waktu pemberian asam asetat untuk mengetahui selang waktu yang paling baik antara pemberian senyawa uji dan pemberian asam asetat. Pemberian asam asetat secara intraperitoneal akan menginduksi nyeri pada mencit dengan cepat sehingga langsung bisa diamati sesaat setelah pemberian asam asetat. Setelah rangsang nyeri menimbulkan reaksi pada mediator nyeri, akan timbul geliat pada hewan uji (Tjay dan Rahardja, 2007). Penentuan selang waktu pemberian asam asetat menggunakan ibuprofen yang merupakan kontrol positif dalam penelitian ini (tabel II).

Tabel II. Rata-rata kumulatif geliat dan uji Scheffe pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat (lampiran 8)

Keterangan: X : rata-rata SE : standart error

I : kontrol negatif (CMC)

II : selang waktu pemberian asam asetat 10 menit III : selang waktu pemberian asam asetat 15 menit IV : selang waktu pemberian asam asetat 20 menit

Kelompok Perlakuan Kumulatif Geliat (X ± SE) I II III IV

I 42,67 ± 0,88 - B B B

II 25,33 ± 3,18 B - TB B

III 28,00 ± 1,00 B TB - B


(60)

Gambar 10. Histogram perbandingan rata-rata kumulatif geliat mencit pada penentuan selang waktu pemberian asam asetat

Data geliat pada penentuan selang waktu dianalisis menggunakan uji

Shapiro-Wilk dengan hasil distribusi data tidak normal. Oleh karena itu dilakukan analisis menggunakan nonparametrik dengan Kolmogorov-Smirnov dan dilanjutkan dengan analisis ANOVA satu arah.

Dari tabel II, diketahui bahwa rata-rata kumulatif geliat paling banyak pada mencit kelompok kontrol yaitu sebesar 42,67. Rata-rata kumulatif geliat kelompok selang waktu 10 menit adalah 25,33 lebih kecil dari kelompok selang waktu 15 menit yaitu 28,00, namun lebih besar dari kelompok selang waktu 20 menit yaitu 11,00. Berdasarkan uji Scheffe, diketahui bahwa kelompok kontrol negatif berbeda bermakna dengan kelompok selang waktu 10, 15 dan 20 menit, dimana kumulatif geliat dari kelompok kontrol negatif berbeda dengan kelompok selang waktu 10, 15 dan 20 menit. Kumulatif geliat kelompok selang waktu 10 menit berbeda tidak bermakna dengan kelompok selang waktu 15 menit dimana


(61)

kumulatif geliat dari kelompok selang waktu 10 dan 15 menit hampir sama, dan berbeda bermakna dengan kelompok selang waktu 20 menit. Kelompok selang waktu 15 menit berbeda bermakna dengan kelompok selang waktu 20 menit. Oleh karena itu, selang waktu yang dipilih adalah 20 menit karena memberikan perbedaan yang bermakna dengan semua kelompok.

F. Uji Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela

Uji aktivitas analgesik ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan infusa kelopak bunga rosela dalam menghambat nyeri yang diinduksi oleh pemberian asam asetat. Hewan uji yang digunakan adalah mencit betina galur Swiss. Digunakan mencit betina karena lebih sensitif terhadap nyeri dibandingkan dengan mencit jantan sehingga responnya lebih mudah diamati. Pemberian aquades, ibuprofen dan infusa kelopak bunga rosela secara oral, sedangkan pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Pemberian asam asetat dilakukan secara intraperitoneal untuk memperoleh onset nyeri yang lebih cepat daripada secara oral. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah geliat hewan uji. Dari hasil geliat yang terukur, akan diketahui persen proteksi dan daya analgesik senyawa uji.

Mencit dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu kontrol negatif dengan pemberian aquades selama 6 hari, kontrol positif dengan pemberian ibuprofen dosis 0,026 g/kg BB, praperlakuan infusa kelopak bunga rosela dosis 1,25 g/kg BB 1 hari, 3 hari dan 6 hari. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit yang dipuasakan sehari sebelum perlakuan. Mencit kelompok kontrol negatif


(62)

diberi aquades selama 6 hari berturut-turut pada waktu yang sama. Dosis aquades yang diberikan adalah 0,5 mL/20 g BB mencit. Mencit kelompok kontrol positif diberi suspensi ibuprofen dengan dosis 0,026 g/kg BB. Mencit kelompok praperlakuan diberi infusa kelopak bunga rosela selama 1, 3 dan 6 hari dengan dosis 1,25 g/kg BB.

Data yang diperoleh berupa kumulatif geliat mencit yang kemudian digunakan untuk mengetahui % proteksi dan daya analgesik. Persen proteksi menyatakan persen penghambatan nyeri oleh senyawa terhadap kontrol negatif. Daya analgesik menyatakan perbandingan % proteksi oleh senyawa uji terhadap kontrol positif (tabel III).

Berdasarkan hasil pada tabel III diketahui bahwa kumulatif geliat kelompok praperlakuan berbanding terbalik dengan % proteksi dan daya analgesik. Semakin besar kumulatif geliat maka % proteksi dan daya analgesik semakin kecil. Sebaliknya semakin kecil kumulatif geliat maka % proteksi dan daya analgesik semakin besar.

Tabel III. Mean kumulatif geliat, % proteksi dan daya analgesik (lampiran 8, 9, 10)

Keterangan: X : rata-rata SE : standart error

I : kontrol negatif (aquades)

II : kontrol positif (ibuprofen 0,026 g/kg BB) III : praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 1 hari IV : praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 3 hari V : praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 6 hari

Kelompok Perlakuan

Kumulatif Geliat (X ± SE)

% Proteksi (X ± SE)

% Daya analgesik (X ± SE)

I 39 ± 0,89 0,00 ± 2,29 0,00 ± 3,31

II 12 ± 1,05 69,23 ± 2,69 100,00 ± 3,88

III 22 ± 0,73 41,54 ± 1,88 59,99 ± 2,72

IV 16 ± 0,68 57,44 ± 1,74 82,96 ± 2,51


(63)

Data yang diperoleh diuji dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi hasil penelitian. Hasil uji menunjukkan bahwa distribusi semua data normal sehingga dilanjutkan dengan analisis ANOVA satu arah. Analisis dengan

ANOVA satu arah bertujuan untuk melihat adanya perbedaan antar kelompok perlakuan. Selanjutnya dilakukan uji Scheffe (tabel IV) dengan tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok perlakuan.

Tabel IV. Hasil Uji Scheffe antar kelompok berdasarkan % proteksi (lampiran 9)

Kelompok I II III IV V

I - B B B B

II B - B B B

III B B - B B

IV B B B - B

V B B B B -

Keterangan:

B : berbeda bermakna (p<0,05) TB : berbeda tidak bermakna (p<0,05) I : kontrol negatif (aquades)

II : kontrol positif (ibuprofen 0,026 g/kg BB) III : praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 1 hari IV : praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 3 hari V : praperlakuan infusa kelopak bunga rosela 6 hari


(64)

Gambar 11. Histogram perbandingan rata-rata % proteksi kelompok perlakuan Dari tabel IV, diketahui bahwa data setiap kelompok memiliki perbedaan bermakna terhadap kelompok lainnya. Dengan demikian dapat dilakukan perbandingan antar kelompok data. Perbedaan bermakna ini kemudian akan memudahkan dalam pengambilan kesimpulan. Praperlakuan ibuprofen, infusa kelopak bunga rosela selama 1, 3 dan 6 hari menunjukkan adanya perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif. Perbedaan ini dapat diartikan bahwa keempat kelompok ini memiliki proteksi (penghambatan) terhadap nyeri. Apabila dibandingkan antar kelompok terdapat perbedaan signifikan dengan % proteksi dan daya analgesik kelompok kontrol positif lebih besar dari kelompok praperlakuan selama 1 hari, praperlakuan selama 3 hari dan kelompok kontrol, namun lebih kecil dari praperlakuan selama 6 hari. Praperlakuan selama 6 hari dengan infusa kelopak bunga rosela mampu memberikan % proteksi dan daya analgesik yang lebih besar baik dari praperlakuan selama 1 hari, 3 hari dan perlakuan kontrol positif (ibuprofen 0,026 g/kg BB).

Daya analgesik yang dilihat dalam tabel III menunjukkan peningkatan dari praperlakuan selama 1, 3 dan 6 hari, masing-masing 59,99, 82,96 dan 122,22%, sedangkan kontrol negatif (aquades) tidak memberikan nilai daya analgesik sama sekali yaitu 0%. Daya analgesik diketahui dengan membandingkan % proteksi terhadap rata-rata kontrol positif. Praperlakuan selama 1 hari mampu memberikan daya analgesik sebesar 59,99% dari daya analgesik ibuprofen dosis 0,026 g/kg BB. Praperlakuan selama 3 hari mampu memberikan daya analgesik sebesar 82,96% dari daya analgesik ibuprofen dosis


(65)

0,026 g/kg BB. Praperlakuan selama 6 hari mampu memberikan daya analgesik lebih besar dari daya analgesik ibuprofen dosis 0,026 g/kg BB yaitu 122,22%.

Peningkatan % proteksi dan daya analgesik pada praperlakuan 1 hari, 3 hari dan 6 hari dikarenakan adanya peningkatan jumlah infusa kelopak bunga rosela dalam tubuh. Pada praperlakuan 1 hari, jumlah infusa kelopak bunga rosela yang masuk sesuai dengan jumlah yang diberikan. Pada praperlakuan 3 hari, jumlah infusa kelopak bunga rosela yang masuk hingga hari ketiga mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena adanya akumulasi infusa kelopak bunga rosela pada hari pertama dan kedua. Akumulasi dapat terjadi karena adanya pemberian berulang senyawa yang belum habis dieliminasi. Begitu pun pada praperlakuan 6 hari. Persen proteksi dan daya analgesik lebih besar daripada praperlakuan selama 1 hari dan 3 hari dikarenakan adanya akumulasi senyawa dalam tubuh. Jumlah senyawa menjadi lebih banyak daripada jumlah yang diberikan pada hari keenam sehingga meningkatkan efek analgesik yang dihasilkan.

Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993), adanya aktivitas analgesik pada metode rangsang kimia ditunjukkan adanya kemampuan menghambat geliat >50% dibandingkan dengan kontrol negatif, dimana dalam penelitian ini ditunjukkan dari nilai % proteksi. Hasil dalam tabel III menunjukkan bahwa infusa kelopak bunga rosela memiliki aktivitas analgesik pada praperlakuan selama 3 hari dan 6 hari, sedangkan praperlakuan selama 1 hari belum dapat dikatakan memiliki aktivitas analgesik karena memiliki rata-rata % proteksi 41,54%.


(66)

Adanya efek analgesik infusa kelopak bunga rosela diduga karena kandungannya. Beberapa alasan yang dapat dikemukan diantaranya sebagai berikut. Pertama, kandungan antosianin dalam kelopak bunga rosela yang merupakan golongan flavonoid. Flavonoid memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan menghambat terbentuknya oksigen reaktif dan prostaglandin (Rullah, et al, 2014). Prostaglandin yang dilepas dapat merangsang nyeri. Penghambatan sintesis prostaglandin akan mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator nyeri seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-ion kalium dan hidrogen, sehingga tidak terjadi nyeri. Kedua, kandungan asam askorbat (vitamin C). Vitamin C diketahui dapat menekan sintesis prostaglandin (ElAttar and Lin, 1992). Vitamin C membantu membangun dan memperbaiki jaringan tubuh dan mempercepat penyembuhan luka. Ketiga, injeksi asam asetat 0,6% menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas vaskular. Efek ini diperantarai oleh mediator inflamasi berbeda seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Diduga kelopak bunga Hibiscus sabdariffa L. mampu mengurangi inflamasi peritoneal yang diduga karena kemampuannya menghambat permeabilitas pembuluh darah selama inflamasi akut. Hibiscus sabdariffa L. menghambat secara signifikan fase I dan II inflamasi. Diduga terjadi penghambatan pada enzim siklooksigenase yang berperan dalam sintesis prostaglandin. Hal ini mengakibatkan rasa sakit akibat pemberian asam asetat berkurang (Ali, et al, 2014). Namun dalam alasan ini, tidak dikemukan senyawa spesifik yang bertanggung jawab dalam aktivitas tersebut. Keempat, kandungan 3,4-hydroxybenzoic acid atau PCA. PCA mampu menginduksi


(1)

Post Hoc Test

Multiple Comparisons % Proteksi

Scheffe

(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kontrol Negatif Kontrol Positif -69.231* 2.809 .000 -78.74 -59.72

Rosela 1 Hari -41.539* 2.809 .000 -51.05 -32.03 Rosela 3 Hari -57.436* 2.809 .000 -66.95 -47.93 Rosela 6 Hari -84.615* 2.809 .000 -94.13 -75.10 Kontrol Positif Kontrol Negatif 69.231* 2.809 .000 59.72 78.74 Rosela 1 Hari 27.692* 2.809 .000 18.18 37.20 Rosela 3 Hari 11.795* 2.809 .010 2.29 21.31 Rosela 6 Hari -15.384* 2.809 .001 -24.89 -5.87 Rosela 1 Hari Kontrol Negatif 41.539* 2.809 .000 32.03 51.05 Kontrol Positif -27.692* 2.809 .000 -37.20 -18.18 Rosela 3 Hari -15.897* 2.809 .001 -25.41 -6.39

Rosela 6 Hari -43.076* 2.809 .000 -52.59 -33.57 Rosela 3 Hari Kontrol Negatif 57.436* 2.809 .000 47.93 66.95 Kontrol Positif -11.795* 2.809 .010 -21.31 -2.29 Rosela 1 Hari 15.897* 2.809 .001 6.39 25.41 Rosela 6 Hari -27.179* 2.809 .000 -36.69 -17.67 Rosela 6 Hari Kontrol Negatif 84.615* 2.809 .000 75.10 94.13 Kontrol Positif 15.384* 2.809 .001 5.87 24.89 Rosela 1 Hari 43.076* 2.809 .000 33.57 52.59 Rosela 3 Hari 27.179* 2.809 .000 17.67 36.69 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(2)

Lampiran 11. Hasil analisis data berdasarkan daya analgesik semua

kelompok perlakuan

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Daya Analgesik Kontrol Negatif .291 5 .191 .905 5 .440

Kontrol Positif .300 5 .161 .813 5 .103 Rosela 1 Hari .287 5 .200* .914 5 .490

Rosela 3 Hari .254 5 .200* .914 5 .493

Rosela 6 Hari .300 5 .161 .883 5 .325 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig. Daya Analgesik Based on Mean 1.370 4 20 .280

Based on Median .406 4 20 .802

Based on Median and with adjusted df .406 4 14.241 .802 Based on trimmed mean 1.280 4 20 .311

Descriptives Daya Analgesik

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol Negatif 5 .0000 7.40738 3.31268 -9.1975 9.1975 -7.41 11.11 Kontrol Positif 5 99.9996 8.68580 3.88441 89.2148 110.7844 92.59 114.81 Rosela 1 Hari 5 59.9998 6.08568 2.72160 52.4434 67.5562 51.85 66.67 Rosela 3 Hari 5 82.9628 5.61700 2.51200 75.9884 89.9372 74.07 88.89 Rosela 6 Hari 5 1.2222E2 2.61912 1.17131 118.9699 125.4741 118.52 125.93 Total 25 73.0368 43.09303 8.61861 55.2489 90.8248 -7.41 125.93

ANOVA Daya Analgesik

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups (Combined) 43745.197 4 10936.299 265.756 .000

Linear Term Contrast 25857.017 1 25857.017 628.335 .000 Deviation 17888.180 3 5962.727 144.896 .000

Within Groups 823.033 20 41.152


(3)

Post Hoc

Multiple Comparisons Daya Analgesik Scheffe

(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kontrol Negatif Kontrol Positif -99.99960* 4.05717 .000 -113.7368 -86.2624

Rosela 1 Hari -59.99980* 4.05717 .000 -73.7370 -46.2626

Rosela 3 Hari -82.96280* 4.05717 .000 -96.7000 -69.2256 Rosela 6 Hari -122.22200* 4.05717 .000 -135.9592 -108.4848 Kontrol Positif Kontrol Negatif 99.99960* 4.05717 .000 86.2624 113.7368 Rosela 1 Hari 39.99980* 4.05717 .000 26.2626 53.7370 Rosela 3 Hari 17.03680* 4.05717 .010 3.2996 30.7740 Rosela 6 Hari -22.22240* 4.05717 .001 -35.9596 -8.4852 Rosela 1 Hari Kontrol Negatif 59.99980* 4.05717 .000 46.2626 73.7370 Kontrol Positif -39.99980* 4.05717 .000 -53.7370 -26.2626 Rosela 3 Hari -22.96300* 4.05717 .001 -36.7002 -9.2258 Rosela 6 Hari -62.22220* 4.05717 .000 -75.9594 -48.4850 Rosela 3 Hari Kontrol Negatif 82.96280* 4.05717 .000 69.2256 96.7000 Kontrol Positif -17.03680* 4.05717 .010 -30.7740 -3.2996 Rosela 1 Hari 22.96300* 4.05717 .001 9.2258 36.7002 Rosela 6 Hari -39.25920* 4.05717 .000 -52.9964 -25.5220 Rosela 6 Hari Kontrol Negatif 122.22200* 4.05717 .000 108.4848 135.9592

Kontrol Positif 22.22240* 4.05717 .001 8.4852 35.9596 Rosela 1 Hari 62.22220* 4.05717 .000 48.4850 75.9594

Rosela 3 Hari 39.25920* 4.05717 .000 25.5220 52.9964 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(4)

Lampiran 12. Perhitungan Dosis Ibuprofen untuk Mencit

Dosis ibuprofen untuk manusia 70 kg = 200 mg

Angka konversi manusia 70 kg ke mencit 20 gram adalah 0,0026

Dosis untuk mencit = dosis manusia x angka konversi ke mencit

= 200 mg x 0,0026

= 0,52 mg/20 gram

= 0,026 mg/gram BB mencit

= 0,026 g/kg BB mencit

Lampiran 13. Dosis Asam Asetat untuk Mencit

Berdasarkan penelitian Siebang (2011), dosis asam asetat yang digunakan adalah

50 mg/kg BB mencit

Lampiran 14. Perhitungan Dosis Infusa Kelopak Bunga untuk Manusia

Dosis infusa kelopak bunga rosela untuk mencit = 1,25 g/kg BB

= 25 mg/ 20 g BB

Angka konversi mencit 20 gram ke manusia 70 kg adalah 387,9

Dosis untuk manusia = dosis mencit x angka konversi ke manusia

= 25 mg x 387,9

= 9.697,5 mg/70 kg

= 138,54 mg/kg BB manusia

= 0,138 g /kg BB manusia


(5)

Lampiran 15. Konversi Waktu Mencit ke Manusia

Perhitungan konversi waktu dari mencit ke manusia diadopsi dari perhitungan

konversi waktu tikus ke manusia oleh Sengupta (2011).

Masa hidup mencit adalah 2 tahun sedangkan masa hidup manusia adalah 78

tahun (Hartwell and Siver, 2011).

Waktu manusia : waktu mencit = (78

365 hari) : (2

365 hari)

= 28.470 hari manusia : 730 hari mencit

= 39 hari manusia : 1 hari mencit

Praperlakuan 3 hari mencit = 3

39 hari manusia = 117 hari ≈ 4 bulan

Praperlakuan 6 hari mencit = 6

39 hari manusia = 234 hari ≈ 8 bulan


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis Skripsi dengan judul “

Pengaruh Lama

Praperlakuan Infusa Kelopak Bunga Rosela (

Hibiscus

sabdariffa

L.) Dosis 1,25 g/kg BB Sebagai Analgetika

Pada Mencit Betina Galur Swiss” bernama lengkap

Yosefina Noviana Seran, merupakan anak keempat dari

empat bersaudara pasangan Thomas Seran dan

Petronela Bete. Penulis dilahirkan di Oburo, pada

tanggal 25 November 1991. Penulis menempuh

pendidikan formal di TK St. Laurensius Wemasa

(1995-1997), Sekolah Dasar di SDK St. Laurensius Wemasa

(1997-1999) dan SDK Don Bosko 1 Kupang

(2000-2004), Sekolah Menengah Pertama di SMPK Hati

Tersuci Maria Halilulik (2004-2007), Sekolah Menengah Atas di SMAK

Syuradikara-Ende NTT (2007-2010). Pada tahun 2011, penulis melanjutkan

Pendidikan Sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Semasa menempuh Pendidikan Sarjana, penulis aktif sebagai panitia dalam acara

Pengambilan Sumpah/Janji Apoteker Angkatan XXV sebagai sie keamanan,

Panitia Pengambilan Sumpah/Janji Apoteker Angkatan XXVI sebagai sie

dekorasi, Desa Mitra 3 dan 4 2013 sebagai sie perlengkapan, dan kegiatan Desa

Mitra 1 dan 2 2013 sebagai volunter. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan

keorganisasian kemahasiswaan sebagai anggota UKF Voli periode 2012/2013,

divisi Marketing & Promotion redaksi majalah Pharmaholic periode 2013/2014,

peserta dalam Latihan Kepemimpinan I 2013 dan anggota aktif Paduan Suara

Mahasiswa Cantus Firmus (2011-sekarang). Penulis juga meraih juara II dalam

Lomba Paduan Suara bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta Se Kopertis

wilayah V Yogyakarta 20-21 November 2013 dan memperoleh 2 medali emas dan

1 medali perak dalam Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Mahasiswa

Tingkat Nasional XIII di Jakarta, 29 September-4 Oktober 2014.