Pengaruh metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai terhadap peningkatan kecepatan lari Agus Subardan TESIS

(1)

PENGARUH METODE LATIHAN INTERVAL ANAEROB DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PENINGKATAN KECEPATAN LARI

(Studi Eksperimen pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Keolahragaan

Oleh :

AGUS SUBARDAN A. 120908002

PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

PENGESAHAN PEMBIMBING

PENGARUH METODE LATIHAN INTERVAL ANAEROB DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PENINGKATAN KECEPATAN LARI

(Studi Eksperimen pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010)

Disusun oleh: AGUS SUBARDAN

A. 120908002

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd

NIP. 130 205 394 ……….. ………

Pembimbing II Dr. Diffah Hanim, Dra,. M.Si

NIP. 19640220 199003 2 001 ……….. ………

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan

Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd NIP. 130 205 394


(3)

PENGARUH METODE LATIHAN INTERVAL ANAEROB DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PENINGKATAN KECEPATAN LARI

(Studi Eksperimen pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010)

Disusun oleh: AGUS SUBARDAN

A. 120908002

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Sekretaris Anggota Penguji

Prof. Dr. H. M. Furqon H, MPd Dr. dr. Muchsin Doewes, AIFO 1. Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd 2. Dr. Diffah Hanim, Dra, M.Si

………... ………... ………... ………... ……….. ……….. ……….. ……….. Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan Direktur Program Pascasarjana

Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd NIP. 130 205 394

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D NIP. 131 472 192

………...

………...

………..


(4)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Agus Subardan

NIM : A. 120908002

Program/Jurusan : Ilmu Keolahragaan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Pengaruh Metode Latihan Interval Anaerob Dan Power Otot Tungkai Terhadap Peningkatan Kecepatan Lari (Studi Eksperimen pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010)” adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan pada daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Maret 2010 Pembuat Pernyataan,


(5)

MOTTO

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.

(Q.S. Al 'Ankabuut:43)

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”.


(6)

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini dipersembahkan kepada:

 Bapak dan Ibu saya yang telah mendidik dengan penuh kesederhanaan, kasih

sayang dengan toleransi dan kesabaran atas semua do’a serta pengorbanan tiada batasnya yang senantiasa beliau berikan kepada penulis.

 Bapak dan ibu mertua saya atas segala pengertian, bimbingan dan arahannya

dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

 Istriku yang selalu memberikan dukungan dengan tulus dan penuh kesabaran

dalam menunggu proses studi ini dan selalu memberikan semangat dengan penuh kesetiaan.

 Anak-anakku tersayang yang selalu memberikan kehangatan, motivasi dengan

segala canda tawanya, membuat hidupku lebih indah.

 Kakak-kakakku atas semua toleransi, keikhlasan serta bantuan yang tiada batasnya.

 Adik-adikku atas semua toleransi, keikhlasan serta bantuan yang tiada batasnya.

 Saudara-saudaraku mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu

Keolahragaan Universitas Sebelas Maret yang telah bersama-sama berbagi suka dan duka selama kuliah.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas karunia Allah Yang Maha Kuasa,

karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Metode Latihan Interval Anaerob Dan Power Otot Tungkai Terhadap Peningkatan Kecepatan Lari (Studi Eksperimen pada Siswa Putra Kelas

VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010)”.

Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada pembimbing yaitu yang terhormat Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd dan Dr. Diffah Hanim, Dra, M.Si yang telah berkenan memberikan motivasi, arahan, bimbingan, ilmu, masukan dan koreksi hingga tesis ini bisa terselesaikan. Kepada seluruh bapak dan ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. KJ (K), selaku Rektor Universitas

Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dalam rangka memenuhi tugas akhir.


(8)

3. Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, sekaligus sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan, serta bimbingan dalam penyusunan tesis.

4. Dr. dr. Muchsin Doewes, AIFO, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Keolahragaan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan arahan, serta bimbingan dalam penyusunan tesis.

5. Dr. Diffah Hanim, Dra, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan arahan, serta bimbingan dalam penyusunan tesis.

6. Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta yang memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Guru Olahraga Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta

yang membantu penulis untuk melakukan penelitian.

8. Semua pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini dan tidak dapat penulis paparkan satu persatu.

Semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan diberikan balasan yang setimpal oleh Allah Yang Maha Kuasa serta menjadi amal dan kemuliaan bagi kita semua. Amin

Surakarta, Maret 2010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II. KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS ... 13


(10)

1. Metode Latihan Interval Anaerob ... 13 a. ... Inte

rval Kerja Pada Latihan Interval ... 14 b. ... Inte rval Istirahat Pada Latihan Interval ... 15 c. ... Rasi

o Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat ... 17 d. ... Lati

han Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu

Istirahat 1:5 ... 18 e. ... Lati

han Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu

Istirahat 1:10 ... 20 2. Power Otot Tungkai ... 22 a. ... Pow

er ... 22 b. ... Otot

Tungkai ... 24 c. ... Fakt

or-Faktor Yang Mempengaruhi Power Otot Tungkai ... 26 d. ... Pera

nan Power Otot Tungkai Dalam Kecepatan Lari ... 28 3. Peningkatan Kecepatan Lari ... 29 a. ... Mac

am-Macam Kecepatan ... 34 b. ... Ana

lisis Kecepatan Lari ... 37 c. ... Fakt

or-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Lari ... 43 B. Penelitian Yang Relevan ... 48


(11)

C. Kerangka Berpikir ... 50

D. Pengajuan Hipotesis ... 54

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 55

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 55

B. Metode Penelitian ... 55

1. Jenis Penelitian ... 56

2. Desain Penelitian ... 56

C. Variabel Penelitian ... 57

D. Definisi Operasional ... 58

E. Populasi dan Sampel ... 59

F. Teknik Pengumpulan Data ... 61

G. Teknik Analisis Data ... 63

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69

A. Deskripsi Data ... 69

B. Uji Reliabilitas ... 73

C. Pengujian Persyaratan Analisis Varians ... 74

1. Uji Normalitas ... 74

2. Uji Homogenitas ... 75

D. Pengujian Hipotesis ... 75

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 79

F. Keterbatasan Penelitian ... 83

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 85

A. Simpulan ... 85

B. Implikasi ... 86


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 90

DAFTAR TABEL

Halaman 1. ... Keran

gka Desain Penelitian ... 56 2. ... Range

Kategori Reliabilitas ... 63 3. ... Ringk

asan Anava 2 x 2 ... 66 4. ... Deskr

ipsi Data Hasil Tes Kecepatan Lari Tiap Kelompok Berdasarkan

Penggunaan Metode Interval Anaerob dan Tingkat Power Otot Tungkai ... 69 5. ... Range

Kategori Reliabilitas ... 73 6. ... Hasil

Uji Reliabilitas Data Kecepatan Lari ... 73 7. ... Hasil

Uji Normalitas Sampel Dengan Menggunakan Uji Lilliefors Dengan

Taraf Signifikan α = 0.05 ... 74 8. ... Nilai


(13)

Waktu Istirahat Pada Latihan Interval Anaerob dan Tingkat

Power Otot Tungkai ... 76 9. ... Hasil

Analisis Varians Dua Faktor ... 76 10. ... Hasil

Uji Rentang Newman-Keuls Setelah Analisis Varians ... 77 11. ... Pengaru

h Sederhana, Pengaruh Utama dan Interaksi Faktor A dan B


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Lari ... 44

2. Histogram Nilai Rata-Rata Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kecepatan Lari

Tiap Kelompok Berdasarkan Penggunaan Metode Latihan Interval Anaerob dan Tingkat Power Otot Tungkai ... 71

3. Histogram Nilai Rata-Rata Peningkatan Kecepatan Lari Pada Tiap

Kelompok Perlakuan ... 72 4. Bentuk Interaksi Perubahan Besarnya Peningkatan Kecepatan Lari ... 82


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 90 2. Petunjuk Pelaksanaan Tes Power Otot Tungkai ... 92

3. Program Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu

Istirahat 1:5 ... 94

4. Deskripsi Pelaksanaan Program Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio

Waktu Kerja dan Waktu Istirahat 1:5 ... 95

5. Program Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu

Istirahat 1:10 ... 97

6. Deskripsi Pelaksanaan Program Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio

Waktu Kerja dan Waktu Istirahat 1:10 ... 98 7. Petunjuk Pelaksanaan Tes Kecepatan Lari ... 100 8. Rekapitulasi Data Hasil Tes Power Otot Tungkai ... 102

9. Rekapitulasi Data Hasil Tes Power Otot Tungkai Berdasarkan Rangking

104

10. Rekapitulasi Data Hasil Tes Power Otot Tungkai dan Kategorinya ... 106 11. Data Tes Awal Kecepatan Lari ... 108 12. Data Tes Akhir Kecepatan Lari ... 109

13. Rekapitulasi Data Hasil Tes Power Otot Tungkai dan Pengklasifikasian

Kategorinya ... 110


(16)

Klasifikasi Power Otot Tungkai Beserta Pembagian Sampel Ke Sel-Sel ... 111

15. Uji Reliabilitas Dengan Anava ... 112

16. Rekapitulasi Data Tes Awal dan Tes Akhir Kecepatan Lari pada Kelompok 1 (Kelompok Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu Istirahat 1:5) ... 121

17. Rekapitulasi Data Tes Awal dan Tes Akhir Kecepatan Lari pada Kelompok 2 (Kelompok Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu Istirahat 1 :10) ... 122

18. Tabel Kerja Untuk Menghitung Nilai Homogenitas dan Analisis Varians 123 19. Hasil Penghitungan Data Untuk Uji Homogenitas dan Analisis Varians 124

20. Uji Normalitas Data Dengan Metode Lilliefors ... 125

21. Uji Homogenitas Dengan Uji Bartlett ... 129

22. Analisis Varians ... 130


(17)

ABSTRAK

AGUS SUBARDAN. A. 120908002. Pengaruh Metode Latihan Interval Anaerob

Dan Power Otot Tungkai Terhadap Peningkatan Kecepatan Lari (Studi Eksperimen pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010). Tesis. Surakarta. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan pengaruh metode latihan interval anaerob dengan rasio kerja dan istirahat 1:5 dan 1:10 terhadap peningkatan kecepatan lari, (2) perbedaan peningkatan kecepatan lari antara siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan rendah, (3) pengaruh interaksi antara metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai terhadap peningkatan kecepatan lari.

Penelitian ini menggunakan metode ekperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa putra kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Yogyakarta Sleman yang berjumlah 74 siswa. Sampel dalam penelitian ini adalah 40 siswa yang diambil dengan teknik Purposive Random Sampling. Instrumen penelitian terdiri dari 1) vertical power jumps test, 2) tes lari 50 yard. Teknik analisis data menggunakan anava dua jalur dengan taraf signifikansi α = 0,05.

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) ada perbedaan pengaruh antara latihan interval anaerob dengan rasio kerja-istirahat 1 : 5 dan rasio 1 : 10 dalam meningkatkan kecepatan lari (Fhitung = 5.861 > Ftabel = 4.11), (2) ada perbedaan

peningkatan kecepatan lari antara siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan rendah (Fhitung = 4.967 > Ftabel = 4.11), (3) Tidak terdapat pengaruh interaksi antara

metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai terhadap peningkatan kecepatan lari (Fhitung = 1.771 < Ftabel = 4.11).


(18)

ABSTRACT

AGUS SUBARDAN. A. 120908002. The Effect of Anaerobic Interval Training

Method and Leg Muscle Power On Increased Run Speed (Experimental Study To Male Students 8th Of SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta). Thesis. Surakarta. Postgraduate Program of Surakarta Sebelas Maret University, January 2010.

This research aims to find out: (1) the effect difference of anaerobic interval training method with the work-rest ratios of 1:5 and 1:10 on increased run speed, (2) the difference of increased run speed between the students with high and low leg muscle power, (3) the effect of interaction between anaerob interval training methods and leg muscle power on the increased run speed.

This method was an experimental with 2 x 2 factorial design. The population of this research are the students 8th of SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta, as many as 74 students. The population of the research is. The sample used in this research are 40 students taken with purposive random sampling technique. The research instruments are consist of: 1) vertical power jumps test, 2) 50 yard running test. The research uses two line anava analysis data technique with significansi standard α = 0,05.

The conclusions of the research are: (1) there was effect difference of anaerobic interval training with the work-rest ratios of 1:5 and 1:10 on increased run speed (Fstat

= 5.861 > Ftable = 4.11), (2) there was effect difference of increased run speed

between the students with high and low leg muscle power (Fstat = 4.967 > Ftable =

4.11), (3) there was no effect interaction between anaerobic interval training methods and the leg muscle power on the increased run speed (Fstat = 1.771 < Ftable = 4.11).


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Melihat prestasi olahraga hasil pertandingan-pertandingan khususnya pada pekan olahraga pelajar, prestasinya kurang menggembirakan khususnya pada lomba cabang olahraga atletik nomor lari jarak pendek prestasinya kurang menggembirakan. Nomor lari jarak pendek merupakan nomor yang bergengsi dan cukup banyak peminatnya. Nomor lari jarak pendek adalah merupakan jenis lari yang didalam pelaksanaannya membutuhkan tenaga yang besar dan membutuhkan kecepatan tinggi sepanjang jarak yang harus ditempuhnya. Pada pekan olahraga pelajar nomor lari jarak pendek meliputi lari jarak 60 meter, 200 meter dan 400 meter. Untuk meraih prestasi dalam lari jarak pendek perlu didukung peredaran darah, sitem syaraf, dan sifat-sifat dasar fisik serta kecepatan, kemudahan gerak, kecekatan, dan ketangkasan yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan dasar tersebut itu semua diperlukan latihan yang terprogram dan sistematis. Sehingga akan dapat berimplikasi terhadap kualitas hasil pelaksanaan proses latihan. Berdasarkan pengamatan dilapangan, khususnya di Sekolah Menengah Pertama rata-rata kualitas latihan peningkatan kecepatan lari masih memprihatinkan. Ada beberapa faktor penyebab dari lemahnya kualitas tersebut adalah antara lain terbatasnya pengetahuan dan kemampuan guru


(20)

atau pelatih dalam bidang kepelatihan. Keterbatasan akan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung proses latihan. Keterbatasan pengetahuan maupun kemampuan guru atau pelatih apalagi sarana dan prasarana yang kurang mendukung, sehingga berdampak guru didalam melatih siswa tidak berdasarkan ilmiah. Guru sebagai pelatih selalu dihadapkan pada masalah pengetahuan kepelatihan yang kurang memadai sehingga mereka kurang mampu dalam melaksanakan profesinya secara kompeten, mereka belum berhasil melaksanakan tanggung jawab untuk melatih siswa secara sistematis

Metode latihan yang dilakukan oleh guru-guru SMP di Sleman dalam praktek latihan peningkatan kecepatan lari, cenderung sekedar melakukan gerakan dimana para siswa atau atlit melakukan latihan fisik atau latihan peningkatan kecepatan lari berdasarkan gerakan yang telah diketahui sebelumnya tanpa kontrol yang jelas dalam melakukan gerakan. Masih banyak pelatih lari yang melatih mempergunakan metode metode tradisional yang paling disenangi pelatih dalam palaksanaan proses latihan peningkatan kecepatan lari. Proses latihan secara tradisional sering mengabaikan tugas-tugas latihan dan tidak sesuai dengan taraf perkembangan pemain (Cholik Mutohir, 2002:18).

Latihan adalah sejumlah rangsangan yang dilaksanakan pada jarak waktu tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi. Karena itu, latihan tidak hanya menyajikan pengulangan secara mekanis saja, tetapi proses pengulangan yang dilakukan secara sadar dan terarah sesuai dengan kemampuan siswa. Dengan


(21)

demikian, maka untuk mencapai prestasi siswa yang maksimal dalam nomor lari jarak pendek pun dibutuhkan latihan yang cukup dan penguasaan teknik yang benar.

Setelah penulis menerima kuliah kepelatihan ternyata ada ada Metode latihan yang bisa digunakan dalam latihan lari jarak pendek diantaranya adalah metode interval training anaerob. Metode interval training ini merupakan bentuk latihan yang diselingi oleh periode istirahat. Interval training ada dua unsur pokok yang harus diperhitungkan yaitu interval kerja (work interval) dan interval istirahat (relief interval). Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pelatih lari jarak pendek adalah bagaimana menentukan rasio antara interval kerja dan interval istirahat yang tepat. Penentuan rasio antara waktu waktu kerja dan waktu istirahat pada latihan interval sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Jika penentuan besarnya rasio antara waktu waktu kerja dan waktu istirahat tersebut tidak tepat, maka tidak akan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Untuk mengetahui pengaruh rasio waktu kerja dan waktu istirahat terhadap kecepatan lari, perlu diadakan penelitian. Oleh karena itulah, maka perlu diadakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk mengkaji mengenai latihan interval dengan rasio perbandingan waktu kerja dan waktu istirahat 1:5 dan 1:10 terhadap peningkatan kecepatan lari.

Kecepatan lari juga ditentukan antara lain Frekuensi langkah dan panjang langkah, sehingga hal ini merupakan peran dari power otot tungkai. Power otot


(22)

tungkai yang dimaksudkan disini adalah kemampuan otot tungkai untuk melakukan kerja atau melawan beban. Power otot tungkai tidak hanya dibutuhkan atau berperan dalam kecepatan lari saja, tetapi pada hampir semua cabang olahraga, terutama untuk gerakan lari, melompat, meloncat, menendang dan gerakan-gerakan lain yang melibatkan kerja otot tungkai secara maksimal dalam waktu yang singkat. Power otot tungkai yang dimiliki seseorang akan menentukan frekuensi langkah (stride rate) dan panjang langkah (stride length) pada saat berlari sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan.

Untuk mencapai prestasi yang maksimal tersebut para guru atau pelatih dan siswa harus memahami fase-fase pada lari jarak pendek. Jarver (1974:59) menjelaskan bahwa ada empat fase yang mempengaruhi prestasi lari jarak pendek yaitu (1) fase star yaitu kecepatan reaksi, (2) fase percepatan positif yang menentukan adalah kekuatan tungkai, (3) fase lari dengan kecepatan maksimal adalah panjang langkah, frekuensi langkah, teknik dan koordinasi, (4) dan fase daya tahan kecepatan.

Kecepatan adalah faktor yang paling penting dalam latihan dan sulit atau berat dalam proses melatihnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nossek (1982:63) bahwa kemungkinan meningkatnya kekuatan dan daya tahan melalui latihan yang dispesialisasi sangat tinggi, sampai 100 %. Sebaliknya peningkatan kecepatan sangat terbatas, misalnya peningkatan kecepatan kecepatan lari hanya 20-30 %.


(23)

SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta merupakan salah satu satuan pendidikan yang memiliki kelebihan dan kekurangan dibanding dengan sekolah SMP negeri yang lain di Sleman. Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya adalah memiliki siswa yang rata-rata kompetensi akademiknya baik, fasilitas olahraga cukup, banyak prestasi-prestasi baik bidang non akademik terutama bidang olahraga. tetapi prestasi cabang atletik khususnya lari jarak pendek rendah/belum pernah menjadi juara padahal setiap even perlombaan selalu mengikutinya. Guru olahraga masih relatif muda dan pendidikan terkhir adalah sarjana.

Bertitik tolak dari uraian tersebut diatas perlu dilakukan penelitian eksperimen guna meningkatkan prestasi pada cabang olahraga atletik nomor lari jarak pendek. Sebagai obyek adalah siswa kelas VIII (delapan) yaitu tentang “Pengaruh Metode Latihan Interval Anaerob Dan Power Otot Tungkai Terhadap Peningkatan Kecepatan Lari (Studi Eksperimen Perbedaan Pengaruh Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Kerja dan Istirahat 1:5 dan 1:10 pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :


(24)

1. Proses pembinaan olahraga pada satuan pendidikan SMP di Sleman belum maksimal.

2. Guru-guru olahraga pada satuan pendidikan SMP di Sleman umumnya belum mengetahui tentang ilmu kepelatihan.

3. Umumnya latihan lari jarak pendek yang dilakukan belum berpedoman pada ilmu

kepelatihan.

4. Latihan lari 60 m yang diterapkan di SMP Negeri 3 Ngaglik baru sebatas pemenasan dan mengulang-ulang lari tanpa adanya program latihan yang jelas.

5. Sarana dan prasarana olahraga di Sleman rata-rata kurang memadahi.

6. Sebagian besar guru dalam memilih atlit lari jarak pendek belum

mempertimbangkan power otot tungkai

7. Prestasi lari jarak pendek di SMP Negeri 3 Ngaglik belum memenuhi harapan.

8. Di SMP Negeri 3 Ngaglik dalam pelaksanaan latihan lari jarak pendek untuk peningkatan kecepatan lari belum pernah menerapkan metode latihan interval anaerob.


(25)

C. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan tidak meluas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka hanya dibahas pada masalah metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai. Tidak semua metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai dibahas disini. Metode yang dibahas pada penelitian ini adalah latihan interval anaerob dengan rasio perbandingan kerja dan istirahat 1:5 dan 1:10, serta power otot tungkai. Tidak semua masalah dibahas dalam penelitian ini, melainkan hanya membahas masalah tentang bagaimana pengaruh metode latihan interval anaerob (masa istirahat latihan interval anaerob dengan rasio perbandingan kerja dan istirahat 1:5 dan 1:10) dan power otot tungkai terhadap peningkatkan kecepatan lari pada siswa putra kelas VII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Adakah perbedaan pengaruh latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1:5 dan 1:10 terhadap peningkatan kecepatan lari?

2. Adakah perbedaan peningkatan kecepatan lari antara siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan rendah?


(26)

3. Adakah pengaruh interaksi antara metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai terhadap peningkatan kecepatan lari?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Umum

Untuk meningkatkan prestasi lari jarak pendek di SMP Negeri 3 Ngaglik. Latihan dengan menggunakan metode latihan interval anaerob apakah dapat meningkatkan kecepatan lari jarak pendek, dan untuk mengetahui latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja waktu istirahat 1 : 5 dan 1 : 10 mana yang cocok atau baik untuk dijadikan acuan latihan di sekolah tersebut.

2. Tujuan Khusus

a. Perkembangan Peningkatan Kecepatan Lari

1) Untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari pada kelompok siswa yang

memiliki power otot tungkai tinggi dan rendah yang dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5.

2) Untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari pada kelompok siswa yang


(27)

latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 10.

3) Untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari siswa yang dilatih

menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dan 1 : 10.

4) Untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari siswa yang memiliki power

otot tungkai tinggi dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dengan siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 10.

5) Untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari siswa yang memiliki power

otot tungkai rendah dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dengan siswa yang memiliki power otot tungkai rendah dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 10.

b. Perbedaan Peningkatan Kecepatan Lari

1) Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan peningkatan kecepatan lari pada kelompok siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan rendah yang dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5.


(28)

2) Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan peningkatan kecepatan lari pada kelompok siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan rendah yang dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 10.

3) Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan peningkatan kecepatan lari siswa yang dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dan 1 : 10.

4) Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan peningkatan kecepatan lari siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dengan siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 10.

5) Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan peningkatan kecepatan lari siswa yang memiliki power otot tungkai rendah dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dengan siswa yang memiliki power otot tungkai rendah dilatih menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 10.


(29)

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini, dapat dibagi menjadi sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu keolahragaan pada khususnya, yang dikaitkan dengan informasi ilmiah tentang pengaruh metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai terhadap peningkatan kecepatan lari (studi eksperimen perbedaan pengaruh latihan interval anaerob dengan rasio kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dan 1 : 10 pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010). Selanjutnya dapat memberikan informasi ilmiah mengenai perbedaan pengaruh metode latihan interval anaerob dan power otot tungkai terhadap peningkatan kecepatan lari (studi eksperimen perbedaan pengaruh latihan interval anaerob dengan rasio kerja dan waktu istirahat 1 : 5 dan 1 : 10 pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010).

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi ilmiah kepada pembina, pelatih, guru pendidikan jasmani, atlet dan masyarakat secara umum. Yang nantinya, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam


(30)

meningkatkan prestasi olahraga yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan lari.

b. Sebagai salah satu bukti ilmiah dan dapat dijadikan bahan informasi ilmiah untuk mencari dan memudahkan untuk membina atlet-atlet muda dalam pemanduaan bakat yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan lari sehingga berprestasi bisa diraih secara maximal pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 3 Ngaglik Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010. c. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu bentuk informasi ilmiah,

sehingga penelitian ini bisa dijadikan acuan atau patokan untuk kepentingan penelitian berikutnya, khususnya yang berhubungan dengan dengan peningkatan kecepatan lari atau penelitain secara umum yang berhubungan dengan bidang ilmu yang ditekuni yakni ilmu keolahragaan.


(31)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori 1. Metode Latihan Interval Anaerob

Latihan interval adalah latihan yang di antara seri pengulangannya diselingi dengan periode istirahat (Mathews & Fox, 1988:247). Sesuai dengan namanya, latihan interval merupakan serangkaian kerja (latihan) yang diulang-ulang yang diselingi dengan periode istirahat. Tipe kerja latihan interval adalah intermitten, yaitu kerja sebentar dan istirahat yang dilakukan berselang-seling.

Latihan interval dewasa ini makin banyak dikembangkan dan banyak diterapkan untuk berbagai penampilan olahraga. Latihan interval memberikan keuntungan yang cukup besar untuk menunjang penampilan atlet. Ada dua keuntungan utama dalam menggunakan program latihan interval yaitu (1) program latihan interval membuat para coach atau pelatih untuk lebih mengkhususkan program latihan yang lebih teliti bagi setiap atlet, yang khusus untuk sistem energi predominan untuk olahraga yang diberikan dan dilaksanakan pada tingkat atau tahap tegangan fisiologis yang mengoptimalkan keberhasilan dalam penampilan. (2) program latihan interval bisa sama dari hari ke hari (sehingga atlet bisa mengamati kemajuannya) atau fleksibel pelaksanaanya (Fos & Keteyian, 1998:285).


(32)

Keberhasilan progam latihan interval diantaranya tergantung pada kecermatan dalam menentukan work interval, relief interval, work-relief ratio, penentuan jumlah set dan jumlah repetisi. Ciri khas utama dalam latihan interval adalah adanya periode waktu tertentu untuk beristirahat setelah menjalankan kerja (latihan). Dalam latihan interval terdapat dua komponen utama yang harus diperhitungkan dengan cermat yaitu work interval (interval kerja) dan relief interval (interval istirahat).

a. Interval Kerja Pada Latihan Interval

Work interval (interval kerja) merupakan bagian latihan interval yang menyatakan ketinggian intensitas latihan (Fos & Keteyian, 1998:281). Work interval merupakan bagian dari latihan interval yang dilakukan dengan intensitas tinggi. Pada dasarnya tipe dari work interval dari latihan terdiri dari dua kategori yaitu (1) latihan yang dilakukan dengan jangka waktu yang singkat namun memerlukan kerja atau usaha maksimal dan (2) latihan yang relatif dilakukan dengan jangka waktu yang lama tetapi memerlukan usaha yang submaksimal (Fox, Bowers & Fos, 1992:31). Tipe kerja latihan yang dilakukan dengan jangka waktu yang singkat dan memerlukan kerja atau usaha maksimal dapat disebut latihan anaerobik. Latihan yang dilakukan dengan jangka waktu yang lama tetapi memerlukan usaha yang submaksimal dapat disebut latihan aerobik.

Tipe kerja latihan interval anaerobik adalah dilakukan dengan intensitas maksimal dalam waktu yang pendek atau singkat. Tujuan latihan interval


(33)

anaerob adalah meningkatkan kecepatan dengan penggunaan energi ATP-PC (anaerob).

Prinsip latihan anaerob adalah dengan memberikan beban maksimal yang dikerjakan untuk waktu yang pendek dan diulang-ulang beberapa kali. Rushall & Pyke (1992:270) mengemukakan bahwa latihan interval untuk kecepatan yaitu dengan waktu kerja 5-15 detik dengan intensitas maksimal. Selanjutnya menurut Fos & Keteyian (1998:285), latihan anaerobic-alactid acid yaitu dengan waktu kerja kurang dari 10 detik. Berikutnya menurut Robert dalam Pyke (1991:43) bahwa sistem energi ATP-PC dapat memberikan energi yang cukup untuk usaha yang maksimal yang dilakukan dalam waktu 5-10 detik.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa interval kerja untuk latihan anaerob yaitu dengan intensitas maksimal dalam waktu yang relatif pendek yaitu 5-15 detik. Mengenai jarak yang ditempuh ditetapkan 30 sampai 80 meter, oleh karena diperkirakan untuk menempuh jarak tersebut dengan kecepatan maksimal diperlukan waktu kerja selama 5-15 detik.

b. Interval Istirahat Pada Latihan Interval

Relief interval (interval istirahat) merupakan waktu di antara interval kerja atau set (Fos & Keteyian, 1998:281). Tujuan interval istirahat adalah untuk pemulihan setelah melakukan kerja. Dengan pulih asal yang cukup, tubuh akan siap kembali untuk melaksanakan aktivitas latihan selanjutnya.


(34)

Tujuan istirahat pada latihan interval yaitu untuk pemulihan yang meliputi pemulihan oksigen dan pemulihan energi. Selama periode interval kerja pada latihan interval anaerobik terjadi pengurasan energi ATP dan PC untuk kerja otot. Dalam hal ini terjadi hutang oksigen (oksigen debt) dan hutang alactacid (alactacid debt) (Davis, Kimmet & Auty, 1992:79). Pada periode istirahat atau pemulihan maka kekurangan oksigen dan pengurasan energi di otot harus segera diisi kembali. Selama relief interval pada kerja intermittent, satu bagian dari cadangan ATP dan PC otot yang dihabiskan selama interval kerja sebelumnya akan diisi lagi melalui sistem aerobik (Fos & Keteyian, 1998:281).

Pada periode awal, pemulihan ATP dan PC di dalam otot berlangsung dengan cepat. Berdasarkan beberapa basil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ATP dan PC yang dikosongkan di dalam otot pada waktu exercise dengan sangat cepat diisi kembali dalam beberapa menit setelah exercise (Fos & Keteyian, 1998:52).

Sebagian besar ATP dan PC yang digunakan selama kerja dalam latihan diisi kembali ke dalam otot selama 2-3 menit. Setengah ATP dan PC dapat terisi pada periode ± 30 detik. Menurut Robert dalam Pyke (1991:45) bahwa subtansi ATP-PC segera dibentuk kembali setelah 30 detik yaitu sebesar 50%. Untuk mencapai 100% diperlukan waktu 2-3 menit. Pendapat lain dari Fox, Bowers (1992:46) menyatakan bahwa sistem ATP-PC berguna untuk kontraksi otot dengan durasi waktu antara 3 sampai 8 detik. Secara lebih rinci Fos & Keteyian


(35)

(1998:54) menyatakan bahwa ATP-PC terbentuk kembali setelah istirahat 30 detik sebesar 1/2, selama 1 menit sebesar 3/4, selama 1,5 menit sebesar 7/8, dan selama 3 menit sebesar 63/64. ATP-PC dalam tubuh terbentuk kembali sebesar 50% setelah istirahat selama 30 detik dan pulih 100% setelah istirahat 3 menit.

Lamanya waktu yang diperlukan periode istirahat pada latihan lari interval bervariasi, tergantung pada jarak dan waktu tempuh tiap repetisi. Lamanya waktu yang diperlukan periode istirahat dalam latihan lari interval juga tergantung pada jenis kegiatan dan sistem energi yang digunakan selama latihan.

c. Rasio Waktu Kerja dan Waktu Istirahat

Perbandingan (rasio) antara periode kerja dan periode istirahat dalam latihan interval ikut menentukan hasil latihan. Untuk meningkatkan kecepatan harus diperhitungkan dengan cermat, besarnya rasio antara periode kerja dan periode istirahatnya. Rasio yang keliru dapat mengubah tujuan latihan. Latihan kecepatan dapat berubah menjadi latihan daya tahan jika rasio antara periode kerja dan periode istirahatnya salah. Dari berbagai pendapat diperoleh kesimpulan bahwa para ahli mengemukakan mengenai besarnya rasio antara periode kerja dan periode istirahat yang bervariasi yaitu 1:3, 1:5 dan 1:10. Untuk meningkatkan kecepatan diperlukan interval istirahat yang lebih panjang, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemulihan yang cukup terhadap tubuh. Latihan anaerobik untuk pengembangan kecepatan murni, harus dilakukan dengan


(36)

intensitas maksimal. Pelaksanaannya harus menghindari adanya pengembangan asam laktat. Keletihan harus dihindari agar intensitas maksimal dalam pelaksanaan latihan dapat dipertahankan. Dalam hal ini diperlukan waktu pemulihan yang sempurna (Fos & Keteyian, 1998:285). Latihan anaerobik masih dianggap cocok untuk meningkatkan kecepatan lari yaitu dengan rasio 1:5 dan 1:10. Karena dengan rasio 1:5 dan 1:10 memberikan periode pemulihan yang lebih sempurna.

d. Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu Istirahat 1:5

Latihan interval dengan rasio kerja-istirahat yaitu perbandingan 1 untuk waktu kerja dan 5 untuk waktu istirahat. Latihan interval dengan rasio 1:5 yaitu perbandingan 1 untuk waktu kerja dan 5 untuk waktu istirahat. Suatu misal, waktu kerja dalam menempuh jarak 50 meter 7 detik, maka periode istirahatnya adalah 35 detik. Latihan yang akan diterapkan dalam penelitian ini yaitu sprint pendek menempuh jarak 50 meter, dengan waktu kerja antara 5-15 detik. Dengan demikian periode istirahatnya yaitu 25-75 detik.

Pada latihan ini setiap ulangan dilakukan dengan kecepatan maksimal (intensitas maksimal). Setiap akhir ulangan segera dihitung waktu rekaverinya, apabila waktu rekaveri hampir habis siswa segera disiapkan untuk melakukan ulangan (repetisi) berikutnya.


(37)

Kelebihan dan kekurangan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat yaitu dengan periode istirahat 25-75 detik, energi ATP-PC pelari baru pulih sebesar ± 50 - 80%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya maka energi yang digunakan tidak 100% ATP-PC, karena ATP-PCnya belum pulih 100%. Belum sempurnanya pemulihan dan pengisian kembali ATP_PC di dalam otot, maka untuk aktivitas berikutnya ATP-PC tidak cukup untuk mensuplai energi ke dalam otot yang bekerja secara maksimal. Hal ini memungkinkan timbulnya akumulasi LA, apabila dilakukan dengan berulangkali.

Apabila usaha fisik maksimal dilakukan terus menerus diluar sistem energi phosphat (ATP-PC), energi akan dipenuhi melalui persediaan glikogen yang ada di dalam otot-otot yang aktif. Energi anaerobik yang dihasilkan dari glikogen ini memproduksi asam laktat (LA). LA ini mengakibatkan rasa lelah (Robert dalam Pyke, 1991:45).

Latihan interval dengan rasio 1 : 5 lebih banyak meningkatkan daya tahan anaerobik. Latihan interval dengan rasio 1 : 5 yang dilakukan secara berulang-ulang, maka daya tahan aerobik siswa meningkat. Latihan interval dengan rasio 1 : 5 sangat cocok untuk pengembangan yang membutuhkan daya tahan anaerobik, seperti lari jarak 1500 meter dan 3000 meter. Cabang olahraga yang memerlukan daya tahan anaerobik seperti sepak bola, bola basket, tenis lapangan


(38)

cocok menggunakan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 : 5.

e. Latihan Interval Anaerob Dengan Rasio Waktu Kerja dan Waktu Istirahat 1:10

Latihan interval dengan rasio 1:10 adalah perbandingan 1 untuk waktu kerja dan 10 untuk waktu istirahat. Latihan yang akan diterapkan dalam penelitian ini yaitu sprint pendek dengan waktu kerja antara 5-15 detik. Dengan demikian periode istirahatnya yaitu 50-150 detik.

Kelebihan dan kekurangan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat yaitu dengan periode istirahat 50-150 detik, maka energi ATP-PC pelari telah pulih sebesar ± 70-95%. Dengan demikian pemulihan dalam latihan interval dengan rasio 1:10 ini cukup panjang, hampir 100%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya maka energi yang digunakan sudah hampir 100%. Hal ini menghindari adanya akumulasi LA. Latihan ini merupakan latihan kecepatan murni, karena unsur daya tahan dihindari. Rushall & Pyke (1992: 258) mengemukakan bahwa untuk latihan kecepatan murni, latihan harus dibatasi untuk menghindari pengembangan asam laktat, dengan pemulihan yang cukup diperbolehkan pada saat pengulangan. Latihan kecepatan harus berhenti bila perubahan teknik mengarah ke keletihan.


(39)

Intensitas dari semua aktivitas latihan sprint haruslah maksimum. Jika kurang, hal ini tidak akan dapat membantu peningkatan kecepatan. Pengulangan lari dengan jarak yang lebih pendek cocok untuk pengembangan kecepatan. Sumber energi utama pada kecepatan adalah anaerobik alactacid. Rushall & Pyke (1992:264) menyatakan bahwa durasi latihan haruslah dalam keadaan tidak terjadi akumulasi asam laktat dan sumber energi utama adalah sistem energi alactacid. Latihan lari dengan jarak pendek dan istirahat yang cukup lama dapat meminimalkan timbulnya LA dan keletihan saat aktivitas.

Latihan interval anaerob dengan rasio 1 : 10 memungkinkan pelari untuk bekerja dengan sistem energi anaerobik, dengan sistem energi ATP-PC. Kerja fisik secara anaerob dengan sistem energi ATP-PC yang dilakukan secara teratur dan kontinyu dapat merangsang kerja enzim di dalam tubuh dan merangsang pertumbuhan sel (hipermetropi) otot rangka. Fos & Keteyian (1998:288) mengemukakan bahwa latihan anaerobik dapat meningkatkan kemampuan otot rangka. Perubahan yang terjadi pada otot-otot ini sebagai hasil latihan anaerobik mengarah ke meningkatnya kapasitas sistem ATP-PC dan glikolisis anaerobik untuk membangkitkan ATP.

Latihan tidak hanya meningkatkan cadangan ATP dan PC saja, tetapi juga mempertinggi kecepatan pengisian kembali ATP-PC di otot. Menurut Fos & Keteyian (1998:289), latihan tidak hanya meningkatkan cadangan ATP dan PC


(40)

tetapi juga mempertinggi kecepatan pengisian kembali. Kecepatan pelepasan energi oleh sel otot bisa diubah melalui program latihan terutama anaerobik.

Latihan interval dengan rasio 1 : 10 merupakan latihan interval dengan istirahat yang lebih lama. Istirahat yang relatif lama memberikan pemulihan yang mendekati sempurna sehingga kualitas kecepatan pada tiap ulangan dapat dipertahankan. Peningkatan kecepatan merupakan adaptasi syaraf, maka penting untuk memberikan percobaan sebanyak mungkin dengan menggunakan susunan neuromuscular yang nyata dari penampilan dengan kecepatan maksimal. Penampilan dengan kecepatan maksimal yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus menimbulkan superkompensasi otot dan syaraf untuk dapat melaksanakan tugas kecepatan dengan lebih baik.

2. Power Otot Tungkai a. Power

Setiap beraktifitas atau melakukan kegiatan olahraga otot merupakan komponen tubuh yang dominan dan tidak dapat dipisahkan. Semua gerakan yang dilakukan oleh manusia karena adanya otot, tulang, persendian, ligamen serta tendon, sehingga gerakan dapat terjadi melalui gerakan tarikan otot serta jumlah serabut otot yang diaktifkan. Berkaitan dengan power, Harsono

(1988:200) menyatakan bahwa “Power adalah kemampuan otot untuk


(41)

dideskribsikan sebagai suatu fungsi dari kekuatan dan kecepatan dari gerakan (Rushall & Pyke, 1992:252). Sedangkan menurut Suharno (1993:59), yang menyatakan bahwa “Power adalah kemampuan otot atlet untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan maksimal dalam satu gerak yang utuh”.

Berdasarkan batasan-batasan power diatas dapat disimpulkan bahwa power adalah kemampuan untuk mengerahkan kekuatan dan kecepatan otot dalam waktu yang relatif singkat. Power merupakan perpaduan dua unsur komponen kondisi fisik yaitu kekuatan dan kecepatan dalam hal ini kekuatan dan kecepatan otot. Kualitas power akan tercermin dari unsur kekuatan dan kecepatan otot yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan eksplosif dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Menurut Bompa (1999:385), power dibedakan dalam dua bentuk yaitu: power asiklik dan siklik. Perbedaan jenis power ini dilihat dari segi kesesuaian jenis latihan atau ketrampilan gerak yang dilakukan. Dalam kegiatan olahraga power asiklik dan siklik dapat dikenali dari peranannya pada suatu cabang olahraga. Cabang-cabang olahraga yang memerlukan power asiklik secara dominan adalah melempar, menolak, dan melompat pada atletik dan unsur-unsur gerakan pada senam, beladiri, anggar, loncat indah dan olahraga permainan seperti bola voli. Sedangkan cabang-cabang olahraga


(42)

yang menggunakan power siklik adalah: lari, dayung, renang, bersepeda dan jenis olahraga yang memerlukan kecepatan dalam pelaksanaannya.

b. Otot Tungkai

Otot ialah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu berkontraksi, gerakan akan terjadi apabila otot-otot pada tubuh berkontraksi sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Yang dimaksud dengan tungkai adalah anggota gerak tubuh bagian bawah yang terdiri dari tulang anggota gerak bawah bebas (sceleton extremitas inferior liberae), yang terdiri dari :

1) Femur (tulang paha).

2) Crus/crural (tungkai bawah) : a) Tibia

b) Fibula 3) Ossa pedis :

a) Ossa tarsalea :

Tulang-tulang pergelangan kaki yang terdiri dari 7 buah tulang.

b) Ossa metatarsalea :


(43)

c) Ossa palangea digitorum pedis :

Tiap-tiap jari terdiri dari tiga ruas tulang kecuali ibu jari hanya terdiri dari dua ruas tulang.

Sebagai tulang anggota gerak bawah bebas (skeleton extremitas inferior liberae) tungkai bawah mempunyai tugas yang sangat penting untuk melakukan gerak. Namun untuk dapat melakukan gerak tersebut secara sistematis, harus merupakan hasil dari gerak yang dilakukan oleh adanya suatu sistem penggerak, yang meliputi: otot, tulang, sendi dan saraf.

Ada tiga otot penggerak tungkai, dimana masing-masing otot penggerak terdiri dari beberapa otot, yaitu :

1) Otot penggerak paha: iliopsoae, rectus femoris, gluteus maximus, gluteus medius, gluteus minimus, tensor fascilatae, piriformis, adductor brevis, adductor longus, adductor magnus, gracilis.

2) Otot penggerak kaki bawah: rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, vastus intermedius, sartorius, bicep femoris, semitendinisus, semi membranosus.

3) Otot penggerak telapak kaki: tibialis anterios, gastrocnemius, soleus, peroneus longus, peroneus brevis, tibialis posterior, peroneus tertius.

Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan diatas mengenai power dan otot tungkai, dapat didefinisikan pengertian power otot tungkai adalah


(44)

kemampuan otot atau sekelompok otot-otot tungkai untuk melakukan kerja atau melawan beban atau tahanan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Power otot tungkai dibutuhkan hampir pada semua cabang olahraga, terutama untuk gerakan lari, melompat, meloncat, menendang dan gerakan-gerakan lain yang melibatkan kerja otot tungkai yang dikerahkan secara maksimal dalam waktu yang singkat.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Power Otot Tungkai

Power otot tungkai adalah kualitas yang memungkinkan otot atau sekelompok otot-otot tungkai untuk menghasilkan kerja fisik secara eksplosif. Penentu power otot tungkai adalah intensitas kontraksi otot-otot tungkai, intensitas kontraksi yang tinggi merupakan kecepatan pengerutan otot-otot tungkai setelah mendapat rangsangan dari saraf, Intensitas kontraksi tergantung pada rekruitmen sebanyak mungkin jumlah otot-otot tungkai yang bekerja. Kecuali itu produksi kerja otot-otot secara eksplosif menambah suatu unsur baru yakni terciptanya hubungan antara otot dan sistem saraf. Bertolak dari pengertian power otot tungkai diatas menunjukkan bahwa unsur utama terbentuknya power otot tungkai adalah kekuatan dan kecepatan dari otot-otot tungkai.

Unsur–unsur penentu power otot tungkai adalah kekuatan otot tungkai dan kecepatan kontraksi otot-otot tungkai yang dimiliki seseorang, kecepatan


(45)

rangsang syaraf, produksi energi secara biokimia dan pertimbangan gerak mekanik. Selain itu menurut Suharno (1993:59–60), baik tidaknya power (eksplosif power) yang dimiliki seseorang ditentukan oleh :

1) Banyak sedikitnya macam fibril otot putih (phasic) dari atlet. 2) Kekuatan otot dan kecepatan otot atlet.

3) Waktu rangsang.

4) Koordinasi gerakan yang harmonis antara kekuatan dan kecepatan. 5) Banyak sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP).

6) Penguasaan teknik gerak yang benar.

Pada dasarnya penentu baik dan tidaknya power otot tungkai yang dimiliki seseorang bergantung pada intensitas kontraksi dan kemampuan otot-otot tungkainya untuk berkontraksi secara maksimal dalam waktu yang singkat setelah menerima rangsangan serta produksi energi biokimia dalam otot-otot tungkainya yang sangat menentukan power otot tungkai yang dihasilkan. Jika unsur–unsur seperti diatas dimiliki seseorang, maka ia akan memiliki power otot tungkai yang baik, namun sebaliknya jika unsur–unsur tersebut kurang baik maka power otot tungkai yang dihasilkan pun juga tidak baik.


(46)

d. Peranan Power Otot Tungkai Dalam Kecepatan lari

Power otot tungkai memiliki peranan yang sangat penting hampir pada semua cabang olahraga. Mulai dari atletik sampai dengan berbagai cabang olahraga permainan, baik olahraga individu maupun beregu power otot tungkai mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap tercapainya sebuah prestasi.

Besarnya power otot tungkai yang diperlukan pada masing-masing cabang tentunya berbeda-beda, tergantung seberapa besar keterlibatan power otot tungkai dalam cabang olahraga tersebut. Power otot tungkai yang diperlukan untuk cabang olahraga bola voli, tentunya berbeda dengan yang diperlukan untuk cabang olahraga sepak bola dan akan berbeda pula dengan cabang olahraga atletik dan sebagainya.

Kecepatan lari adalah serangkaian tolakan, melayang dan pendaratan yang dilakukan secara otomatis yang komponen dasarnya adalah kecepatan dan kekuatan (power) otot tungkai. Meningkatnya kecepatan dan kekuatan (power) otot tungkai akan menyebabkan koordinasi kerja neuromuskuler menjadi lebih baik, sehingga peningkatan frekuensi langkah dalam segi waktu yang disebabkan oleh meningkatnya kecepatan dan peningkatan panjang langkah dalam segi ruang yang disebabkan oleh meningkatnya kekuatan otot tungkai akan menghasilkan kecepatan lari. Kecepatan lari pada hakekatnya


(47)

merupakan penampilan kecepatan dan kekuatan (power) dari otot tungkai, keadaan power otot tungkai dalam hal ini sangat tergantung pada kemampuan seorang atlet untuk memperhitungkan dan membina kondisi fisiknya dengan cara yang kuat dan cepat melalui gerakan pergantian tungkainya.

3. Peningkatan Kecepatan Lari

Kecepatan merupakan komponen kondisi fisik yang sangat esensial dalam berbagai cabang olahraga, karena kecepatan termasuk dalam unsur-unsur kondisi fisik dasar selain kekuatan (strength) dan daya tahan (endurance). Dalam kegiatan olahraga, kecepatan didefinisikan sebagai kemampuan untuk bergerak dengan kemungkinan kecepatan yang paling cepat. Kecepatan ini secara meyakinkan menyumbang dalam prestasi kecepatan lari (sprint) dan loncat horisontal (Jarver, 1974:52).

Sedangkan Schmolinsky (1978:39) mendefinisikan “kecepatan sebagai kemampuan pada dasar-dasar mobilitas sistem saraf pusat dan perangkat otot untuk menampilkan gerakan-gerakan pada kecepatan tertentu”. Secara fisika kecepatan digambarkan dengan rumus :

Kecepatan = (V =

)


(48)

Kecepatan rata-rata (V) dan gaya (F) dihitung jika kecepatan rata-rata dalam enam langkah-langkah maksimal. Sebagai tambahan terhadap treadmill lari, subjek melakukan lari jarak pendek maksimal 60 m (Hiroyasu Tsuchie, et al, 2008). Menurut Nossek (1982:62) menyatakan bahwa kecepatan merupakan kualitas kondisional yang memungkinkan seorang atlet untuk bereaksi secara cepat bila dirangsang dan untuk melakukan gerakan secepat mungkin. Gerakan-gerakan kecepatan dilakukan melawan tahanan yang berbeda (berat badan, berat peralatan, air, dsb) dengan efek bahwa pengaruh kekuatan juga menjadi faktor yang menentukan. Karena gerakan-gerakan kecepatan dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin, maka kecepatan secara langsung tergantung pada waktu yang ada dan pengaruh kekuatan.

Menurut Jonath & Krempel (1987:19-20) “kecepatan didefinisikan sebagai hasil kerja suatu tenaga pada suatu massa”. Didalam dasar gerakan manusia, massa adalah tubuh atau salah satu anggota tubuh dan tenaga merupakan kekuatan otot yang digunakan seseorang menurut massa yang digerakkan. Secara fisika, kecepatan didefinisikan sebagai jarak per satuan waktu, misalnya 100 km/jam. Sedangkan secara psikologis, kecepatan diartikan sebagai kemampuan berdasarkan kemudahan gerak, proses sistem syaraf dan perangkat otot untuk melakukan gerak dalam satuan waktu. Selain itu menurut Harsono (1988:216) “kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan yang sejenis secara berturut-turut dalam waktu sesingkat mungkin atau kemampuan untuk


(49)

menempuh suatu jarak dalam waktu yang sesingkat mungkin”. Adapun menurut Suharno (1993:47) bahwa kecepatan adalah kemampuan atlet untuk melakukan gerakan-gerakan yang sejenis secara berturut-turut dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.

Lari adalah gerakan berpindah tempat dengan maju kedepan yang dilakukan lebih cepat dari berjalan. Gerakan lari dan gerakan berjalan hampir sama, perbedaannya adalah jika pada berjalan kedua kaki selalu kontak atau berhubungan dengan tanah, sedangkan pada lari, ada saat badan melayang diudara (Syaifudin, 1985:57). Kecepatan lari maksimum dibatasi oleh kecepatan di mana anggota tubuh dapat diayunkan ke depan dan memutar kembali, dan oleh kekuatan dapat withstand yang berhubungan dengan landasan (James & Wilson, 2005).

Lari tidak hanya merupakan nomor yang dipertandingkan dalam cabang atletik saja, tetapi juga merupakan bagian yang penting hampir pada semua cabang olahraga. Pada dasarnya gerakan lari itu sendiri untuk semua jenis lari adalah sama, akan tetapi berhubung adanya pembagian jarak yang ditempuh dan penggunaan sistem energi yang berbeda, maka dalam pelaksanaan teknik larinya menjadi berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Kecepatan lari sebagai suatu rangkaian tolakan atau loncatan, komponen dasarnya adalah kecepatan dan power otot tungkai. Meningkatnya kecepatan dan


(50)

power otot tungkai akan menyebabkan kerja neuromuskuler menjadi lebih baik, sehingga peningkatan panjang langkah dalam segi ruang dan frekuensi langkah dalam segi waktu akan menghasilkan kecepatan lari.

Menurut Nossek (1982:64), fase kecepatan lari dibagi kedalam empat fase kecepatan, yaitu :

1) Waktu reaksi dan kecepatan reaksi. 2) Akselerasi (percepatan).

3) Kecepatan dasar dan kecepatan lari 4) Daya tahan kecepatan.

Fase kecepatan lari secara lebih rinci dapat dianalisis dan diuraikan sebagai berikut :

1) Waktu reaksi dan kecepatan reaksi.

Waktu reaksi merupakan selang atau jarak waktu diantara rangsangan (yang berhubungan dengan mata, akustik, atau sentuhan) dan permulaan gerakan. Waktu reaksi yang diukur pada atlet yang maju bervariasi antara 0,15 dan 0,25 detik (Nossek, 1982:64).

Waktu reaksi dalam kecepatan lari terjadi pada saat jatuhnya rangsangan dan permulaan lari atau yang biasa disebut reaksi start. Seorang pekecepatan lari harus memiliki reaksi start yang singkat artinya ia harus mempu menjawab rangsangan (bunyi “pistol” atau aba “ya”) dengan menolak secara


(51)

kuat dan cepat ke start block. Pemberian respons ini, unsur power sudah mulai berperan. Penampilan power terutama tercermin dalam percepatan start yang tinggi dan kapasitas frekuensi langkah.

Kecepatan reaksi sangat sukar untuk didefinisikan, seperti unsur-unsur fisik yang lain, misalnya kekuatan eksplosif, kemampuan akselerasi atau keterampilan gerak (Nossek, 1982:66).

2) Akselerasi (percepatan).

Untuk mencapai kecepatan maksimal seorang pelari harus mampu mengembangkan kecepatan awalnya secepat mungkin. Kemampuan

melakukan percepatan, mempertahankan kecepatan maksimal dan

memperlambat kecepatan maksimal untuk setiap pelari berbeda-beda. Pelari yang terlatih atau berpengalaman akan mencapai kecepatan maksimalnya lebih cepat, mempertahankan kecepatan maksimalnya pada jarak yang lebih panjang, dan kecepatan maksimalnya turun lebih lambat daripada rata-rata pakecepatan lari yang tidak terlatih. Dalam mencapai kecepatan maksimal ini terjadi proses “pick up acceleration” yaitu jarak yang diperlukan pelari sesudah tahap percepatan awal mencapai kecepatan maksimalnya.

3) Kecepatan dasar dan kecepatan lari.

Kecepatan dasar sebagai kecepatan maksimum yang dapat dicapai gerak siklis ialah produk maksimum yang dapat dicapai dari frekuensi gerak


(52)

(frekuensi langkah) dan amplitudo gerak (panjang langkah). Frekuensi dan panjang langkah merupakan faktor yang menentukan kecepatan maksimal. Pada atlet yang terlatih, untuk mencapai kecepatan maksimumnya memerlukan kira-kira 30-40 meter untuk tahap kaselerasi (Nossek, 1982:64).

4) Daya tahan kecepatan

Setelah kecepatan maksimalnya tercapai, kemampuan pelari untuk mempertahankan kecepatan maksimalnya merupakan kunci utama dalam menyelesaikan larinya. Tahap berikutnya daya tahan kecepatan menentukan

seberapa lama seorang atlet mampu mempertahankan kecepatan

maksimalnya. Kemampuan ini menunjukkan tingkat kapasitas anaerobik atau daya tahan kecepatan seorang pekecepatan lari. Daya tahan kecepatan mengendalikan tingkat kelambatan di dalam bagian akhir dari kecepatan lari.

Berdasarkan pendapat dari beberapa penulis seperti yang telah disebutkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kecepatan lari adalah suatu kemampuan tubuh untuk melakukan gerakan lari dalam waktu yang singkat, atau kemampuan untuk menempuh suatu jarak dengan berlari dalam waktu yang secepat-cepatnya.

a. Macam-Macam Kecepatan

Kecepatan dibagai menjadi beberapa macam, dalam hal ini menurut Nossek (1982:65), kualitas kecepatan dibagi menjadi tiga macam yaitu :


(53)

1) Kecepatan reaksi (reaction speed).

adalah kecepatan untuk merespon suatu rangsangan.

2) Kecepatan bergerak (speed of movement).

adalah kemampuan kecepatan kontraksi secara maksimal otot dalam suatu gerakan yang terputus (gerakan non siklik atau gerak eksplosif).

3) Kecepatan kecepatan lari (sprinting speed).

adalah kemampuan untuk bergerak maju kedepan dengan kekuatan dan kecepatan maksimal.

Sedangkan menurut Bompa (1999:368), kecepatan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni kecepatan umum dan kecepatan khusus.

1) Kecepatan umum

Kecepatan umum adalah kapasitas untuk melakukan beberapa macam gerakan (reaksi motorik) dengan cara yang cepat. Persiapan fisik secara umum maupun khusus dapat memperbaiki kecepatan umum.

2) Kecepatan khusus

Kecepatan khusus adalah kapasitas untuk melakukan suatu latihan atau keterampilan pada kecepatan tertentu. Kecepatan khusus adalah khusus untuk tiap-tiap cabang olahraga dan sebagian besar tidak dapat


(54)

ditransferkan. Kecepatan khusus hanya mungkin dikembangkan melalui metode khusus, namun demikian perlu dicari bentuk latihan alternatifnya. Seseorang tidak bisa berharap akan terjadi transfer yang positif, kecuali

jika memperbaiki struktur gerakan yang mirip dengan pola

keterampilannya.

Sesuai dengan klasifikasi latihan dan keterampilan gerak, kecepatan pada lari oleh Jonath & Krempel (1987:20), dibedakan menjadi:

a) Kecepatan asiklis

Kecepatan ini mengenai kecepatan gerak yang dibatasi oleh faktor-faktor yang terletak pada otot yaitu kekuatan statis dan kecepatan kontraksi otot. Kedua faktor ini sangat tergantung pada viskositas dan tonus otot. Faktor pembatas selain faktor kekuatan statis dan kecepatan kontraksi otot adalah faktor kerja antagonis otot, panjang pengungkit dan massa yang digerakkan. Sedangkan faktor-faktor yang menentukan prestasinya adalah tenaga dinamis (perbandingan tubuh-pengungkit) dan massa (perbandingan beban-tenaga).

b) Kecepatan siklis

Kecepatan ini adalah produk yang dihitung dari frekuensi gerak (frekuensi langkah) dan amplitudo gerak (panjang langkah). Bila gerak siklis mulai dengan kecepatan nol pada pemberian isyarat atau tanda


(55)

mulai, dan jika waktunya dihitung dari pemberian isyarat, maka kecepatannya dapat dibedakan menjadi empat faktor, yakni kecepatan reaksi (pada saat start), percepatan gerak (pada beberapa meter pertama), kecepatan dasar (sebagai kecepatan maksimal) dan stamina kecepatan (daya tahan kecepatan).

c) Kecepatan dasar

Kecepatan dasar sebagai kecepatan maksimal yang dapat dicapai dalam gerak siklis adalah produk maksimal yang dapat dicapai dari frekuensi gerak dan amplitudo gerak. Kecepatan ini tidak dapat dibedakan menurut kecepatan gerak maju dan kecepatan gerak. Kecepatan dasar pada wanita dicapai pada usia antara 17–22 tahun, pada pria antara 19–23 tahun. Faktor-faktor yang membatasi kecepatan dasar adalah tenaga otot, viskositas otot, kecepatan kontraksi, ukuran antropometris, koordinasi, waktu reaksi pada permulaan lari (start) dan stamina dinamis anaerob umum.

b. Analisis Kecepatan Lari

Gerak lari merupakan gerakan mengais (pawing movement). Badan bergerak maju karena akibat dari dorongan kaki kebelakang terhadap tanah. Gaya maju ini dan efisiensi penggunaannya merupakan kunci kecepatan yang dapat dikembangkan oleh pelari. Gaya yang dihimpun untuk berlari bagi


(56)

seseorang itu tetap yaitu sekitar 0,5 sampai 1,1 kali berat badan. Rata-rata adalah 0,8 untuk pelari yang berpengalaman (Soedarminto, 1991:249).

Semakin cepat seseorang berlari, semakin panjang langkahnya. Bila seorang pelari yang menambah kecepatan lari biasanya ia akan melakukan dengan cara memperpanjang langkahnya, bukan dengan menambah frekuensi langkahnya. Dengan cara begitu telapak kaki harus mendorong kebelakang lebih kuat. Badan dicondongkan kedepan kira-kira 20 derajat dari garis vertikal. Sikap ini dapat mengatasi hambatan udara dan cenderung dapat memelihara letak titik berat badan selalu berada didepan telapak kaki depan pada waktu menyentuh tanah sehingga akan menimbulkan daya dorong kedepan yang lebih dan menyebabkan kecepatan lari bertambah. Tetapi jika titik berat badan berada dibelakang telapak kaki pada waktu menyentuh tanah, akan timbul momen gaya ke arah belakang sebesar berat badan kali jarak antara titik berat badan yang berada dibelakang telapak kaki tumpu dan telapak kaki depan. Hal ini menyebabkan kehilangan gaya yang semestinya bisa digunakan untuk gerak maju (Soedarminto, 1991:250).

Seorang pekecepatan lari harus menyentuh tanah pada ujung kakinya pada saat berlari, gerakan ini menyerap goncangan kaki pada saat menapak dan juga memungkinkan otot-otot betis memanjang sebelum berkontraksi untuk meluruskan saat mendorong ke belakang berikutnya. Dorongan kebelakang ini dilakukan dengan jari-jari kaki pada saat telapak kaki


(57)

diluruskan agar mendapatkan tolakan sebesar-besarnya, kaki benar-benar lurus tegang pada saat mendorong agar gaya dorong kebelakang seluruhnya dapat menjadi gerak kedepan.

Pada saat telapak kaki terangkat dari tanah menolak dengan kuat, kaki segera bersiap untuk melangkah berikutnya. Untuk melaksanakan ini dengan usaha sekecil dan secepat mungkin, maka lutut harus ditekuk. Makin cepat seseorang bergerak, makin tinggi lutut harus diangkat ke depan, lutut makin menekuk, dan makin tinggi telapak kaki diangkat. Dengan gerak ini lutut bergerak kedepan dan kecepatan sudut lebih besar, sebab kaki yang berputar mulai dari panggul mempunyai jari-jari yang jauh lebih pendek. Gerakan ini menunda menapaknya telapak kaki ke tanah untuk langkah berikutnya dan memungkinkan kaki pendorong dapat terentang sepenuhnya. Keadaan ini memperkecil sudut antara kaki dan permukaan tanah, dan dengan demikian menambah gaya efektif dari dorongan kaki.

Gerakan lengan berlawanan dengan gerakan tungkai, lengan yang bergerak menyilang di depan badan berfungsi mengimbangi putaran pinggul. Seorang pelari yang mempunyai pinggul dan tungkai yang lebih berat tetapi ia mempunyai bahu dan lengan yang ringan, ia harus mengayunkan lengannya lebih jauh ke belakang dibandingkan jika ia mempunyai pinggul dan tungkai yang lebih ringan. Lengan juga melengkapi dan membantu gerakan tungkai. Ayunan lengan ke belakang yang kuat menyebabkan tungkai melangkah lebih


(58)

jauh. Jika tungkai lelah, gerakan lengan dapat membantu mempertahankan atau menambah kecepatan.

Pada saat melangkah, titik berat badan naik turun, namun diusahakan naik turunnya titik berat badan ini tidak terlalu besar, dan dipertahankan agar gerakan ini tetap ajeg. Makin tinggi titik berat badan naik, maka makin lama badan melayang di atas tanah, kecepatan lari akan mengalami perlambatan selama badan melayang di atas tanah.

Gerakan keterampilan merupakan salah satu kategori gerakan yang didalam melakukannya diperlukan koordinasi dan kontrol tubuh secara keseluruhan atau sebagian tubuh. Tingkat koordinasi dan kontrol tubuh dalam melakukannya cukup kompleks. Koordinasi dan kontrol tubuh yang baik akan meningkatkan keterampilan dalam melakukan gerakan.

Keterampilan gerak bisa diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas gerak tertentu dengan baik. Semakin baik penguasaan gerak keterampilan, maka pelaksanaanya akan semakin efisien. Dengan kata lain bahwa efisiensi pelaksanaan diperlukan untuk melakukan gerakan keterampilan, efisiensi pelaksanaan bisa dicapai apabila secara mekanis gerakan dilakukan dengan benar. Apabila gerakan keterampilan bisa dikuasai, maka yang menguasai dikatakan terampil.


(59)

Keterampilan dapat dipahami dari dua aspek. Pertama, keterampilan sebagai tugas gerak, sehingga terampil diartikan sebagai respons terhadap stimulus yang dapat dijabarkan secara kuantitatif maupun kualitatif. Orang yang terampil akan memperlihatkan kualitas gerak yang tinggi, dan gerakan yang mantap. Aspek yang kedua adalah, keterampilan dianggap sebagai indikator dari tingkat penguasaan atau kemahiran.

Pengklasifikasian keterampilan gerak bisa dibuat berdasarkan beberapa sudut pandang (berdasarkan kecermatan gerakan, perbedaan titik awal dan titik akhir, dan berdasarkan stabilitas lingkungan) dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

a) Keterampilan kasar dan halus (gross and fine skills).

b) Keterampilan diskrit, serial dan kontinyu (discrete, serial and continuous skills).

c) Keterampilan terbuka dan tertutup (open and close skills) (Sugiyanto, 2003:8.11–8.15).

Keterampilan kasar dan halus suatu klasifikasi yang dibuat atas dasar jumlah otot yang terlibat kadar energi yang dikerahkan atau usaha untuk menampilkan gerak itu sendiri. Semakin banyak otot-otot besar yang dilibatkan, semakin banyak energi dan usaha yang dikerahkan, keterampilan semacam itu tergolong keterampilan kasar. Begitu juga sebaliknya, jika


(60)

otot-otot halus yang banyak terlibat didalam suatu keterampilan, maka keterampilan semacam itu tergolong keterampilan halus.

Keterampilan diskrit, serial dan kontinyu yang diklasifikasikan atas dasar rangkaian dari elemen gerak yang dilakukan seseorang sebagai pedoman jika jelas kapan saat mulai dan berakhirnya maka keterampilan semacam ini disebut keterampilan diskrit. Dan sebaliknya, jika tidak jelas kapan saat mulai dan berakhirnya, maka keterampilan semacam ini disebut keterampilan

kontinyu. Sedangkan keterampilan serial mencerminkan perpaduan

karakteristik kedua keterampilan tersebut baik diskrit maupun kontinyu.

Keterampilan terbuka dan tertutup, suatu kategori berdasarkan pengaruh lingkungan sekitar terhadap penampilan gerak itu sendiri. Semakin mampu diprediksi pangaruh lingkungan, gerakan yang bersangkutan semakin menggeser ke arah jenis keterampilan tertutup. Kedua jenis keterampilan ini berada pada garis kontinum, bukan sebagai dikotomi yang terpisah secara absolut.

Berdasarkan klasifikasi keterampilan yang telah dikemukakan, maka kecepatan lari dapat diklasifikasikan sebagai keterampilan kasar, keterampilan serial dan keterampilan tertutup. Kecepatan lari termasuk dalam klasifikasi jenis keterampilan motorik kasar, karena pada keterampilan kecepatan lari membutuhkan pengorganisasian otot-otot besar disertai pengerahan tenaga


(61)

yang banyak. Kecepatan lari juga termasuk dalam klasifikasi jenis keterampilan motorik serial karena struktur keterampilan kecepatan lari merupakan perpaduan karakteristik antara keterampilan diskrit dan kontinyu.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Lari

Kecepatan adalah salah satu komponen biomotorik yang sangat penting dalam aktivitas olahraga dan merupakan kemampuan untuk bergerak dengan kemungkinan kecepatan yang paling cepat, kemampuan pada dasar-dasar mobilitas sistem saraf pusat dan perangkat otot untuk menampilkan gerakan-gerakan pada kecepatan tertentu, serta merupakan hasil kerja suatu tenaga pada suatu massa. Menurut pendapat beberapa ahli banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan lari seseorang, diantaranya seperti diuraikan dibawah ini.

Menurut Jarver (1974:45) bahwa faktor yang mempengaruhi kecepatan lari adalah (a) koordinasi neuromuskuler, (b) power, (c) elastisitas otot, (d) mobilitas dan kualitas teknik, serta (g) produksi energi secara biokimia.

Koordinasi neuromuskuler menentukan frekuensi gerakan pada suatu aplikasi kekuatan yang maksimal menurut respon kerja terhadap sinyal-sinyal saraf. Hal ini akan terjadi lebih efektif bila ditunjang oleh adanya power, elastisitas otot, mobilitas dan teknik lari dengan ruang gerak yang luas dan adanya relaksasi dari otot-otot antagonis. Dari segi biokimia, kecepatan


(62)

sebagian besar tergantung pada pelayanan energi yang diperoleh dengan segera dari ATP dan PC dalam otot, oleh karena itu pada saat intensitas maksimal akan mencakup prestasi anaerobik secara keseluruhan juga tergantung pada kecepatan sumber energi kimia yang dapat dikerahkan (Jarver, 1974:52).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan lari adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Lari (Nossek, 1982:62)

Kecepatan lari seseorang tergantung pada kecepatan kontraksi otot, struktur otot dan mobilitas proses-proses saraf yang tinggi yang merupakan

KEKUATAN ,KECEPATAN DAN DAYA TAHAN

KECEPATAN MOBILITAS PROSES-PROSES

SARAF

STIMULASI PENGHENTIAN

KONTRAKSI RELAKSASI

ELASTISITAS OTOT

KAPASITAS PEREGANGAN DAN KONTRAKSI OTOT

KOORDINASI OTOT DIANTARA YANG SINERGIS DAN

ANTAGONIS

KECEPATAN TEKNIK OLAHRAGA


(63)

pembawaan sejak lahir. Seorang atlet yang otot-ototnya terutama terdiri dari serabut-serabut otot merah tidak bisa berkembang menjadi pekecepatan lari kelas atas. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kecepatan lari dapat dikembangkan. Langkah awal yang mungkin dilakukan adalah meningkatkan koordinasi otot antara yang sinergis dan antagonis (koordinasi intramuskuler) di dalam berbagai gerakan. Adanya koordinasi antara otot yang sinergis dan antagonis menghemat gerakan-gerakan, karena kontraksi otot-otot sinergis berpengaruh terhadap relaksasi pada kontraksi antagonis dan sebaliknya. Proses ini disebabkan oleh rangsangan-rangsangan dan penghentian-penghentian melalui saraf-saraf yang tepat.

Pada sisi yang lain, interaksi yang lebih baik adalah diantara sistem saraf pusat dan otot-otot yang sesuai (koordinasi intramuskuler) dengan menggunakan latihan kecepatan yang berulang-ulang juga memberikan sumbangan pada peningkatan kecepatan. Sinyal yang kuat dan cepat yang berasal dari sistem saraf pusat merangsang otot-otot (dan sebanyak mungkin serabut-serabut otot) yang menyebabkan kontraksi lebih kuat dan cepat. Kontraksi gerakan-gerakan yang diwujudkan merupakan pergantian secara cepat antara kontraksi-kontraksi dan relaksasi-relaksasi dalam otot-otot yang diaktifkan. Hal ini dicapai melalui proses latihan jangka panjang.

Relaksasi atau pengendoran otot-otot yang tak mencukupi akan berpengaruh terhadap frekuensi gerakan yang rendah dan amplitudo gerakan


(64)

(lebar ayunan) seseorang menjadi sangat terbatas. Relaksasi dalam hal ini mungkin dapat ditemukan di dalam standar keterampilan gerak yang rendah. Karena teknik-teknik olahraganya belum dikuasai, seseorang harus mengembangkan kecepatannya secara berhati-hati bersamaan dengan kemajuan keterampilan geraknya. Gerakan ini pertama-tama dikuasai dengan menggunakan kekuatan yang rendah pada frekuensi yang rendah, kemudian kekuatan dan frekuensi itu secara bertahap ditingkatkan. Frekuensi yang tinggi dan amplitudo gerakan yang optimal memainkan peranan yang menentukan dalam gerakan-gerakan kecepatan.

Sedangkan menurut Bompa (1999:268–270) bahwa kecepatan lari dipengaruhi oleh faktor-faktor (a) heriditas, (b) waktu reaksi (c) kecepatan mengatasi hambatan eksternal, (d) teknik, (e) konsentrasi dan kemauan yang keras, serta (f) elastisitas otot. Selain itu Suharno (1993:48) mengatakan bahwa faktor-faktor penentu kecepatan kecepatan lari adalah (1) tergantung pada kekuatan otot yang bekerja, (2) panjang tungkai atas, (3) frekuensi gerak (4) teknik lari yang sempurna.

Dipandang dari sudut kesehatan olahraga disebutkan oleh Jonath & Krempel (1987:56–58) bahwa yang menjadi parameter prestasi kecepatan, utamanya pada kecepatan lari (sprint) ditentukan oleh faktor-faktor berikut :


(65)

1) Tenaga otot merupakan salah satu persyaratan terpenting untuk kecepatan. Utamanya bagi pekecepatan lari (sprinter) pemula, tenaga otot dapat diperbaiki dengan latihan kekuatan terarah.

2) Viskositas otot, hambatan gesekan dalam sel (intrasesuler) serabut-serabut otot. Dengan pemanasan, pengaruh viskositas otot dapat dieliminir.

3) Kecepatan reaksi dapat dilatih dengan :

a) Meningkatkan pengalaman terhadap situasi persepsi khusus.

b) Mengotomatisasikan semaksimal mungkin jawaban motorik atau

kelakuan kinetik yang perlu dibuat dan dipilih dalam situasi yang nyata.

4) Kecepatan kontraksi yaitu kecepatan pengerutan otot setelah mendapat rangsangan saraf dan dapat ditingkatkan dengan latihan yang berulang-ulang. Hal ini terutama bergantung pada struktur otot dan ditentukan oleh faktor hereditas dan bakat.

5) Koordinasi yaitu kerjasama antara sistem saraf pusat dan otot-otot yang digunakan, merupakan komponen yang penting dan menentukan kecepatan lari seseorang.


(1)

3 Uji normalitas data pada kelompok perlakuan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 :10 kategori power otot tungkai tinggi.

Dari penghitungan data diperoleh:

M = 1.249 SD = 0.313

Data disusun dalam tabel sebagai berikut:

Xi Zi F(Zi) S(Zi) |F(Zi)-S(Zi)|

0.80 -1.43 0.0764 0.1000 0.0236

0.94 -0.99 0.1611 0.2000 0.0389

0.97 -0.89 0.1867 0.3000 0.1133

1.08 -0.54 0.2946 0.4000 0.1054

1.15 -0.32 0.3745 0.5000 0.1255

1.30 0.16 0.5636 0.6000 0.0364

1.42 0.55 0.7088 0.7000 0.0088

1.49 0.77 0.7794 0.8000 0.0206

1.56 0.99 0.8389 0.9000 0.0611

1.78 1.70 0.9554 1.0000 0.0446

Kesimpulan :

Dari penghitungan di atas diperoleh Lhitung = 0.1255. Dengan n = 10 dan taraf signifikansi 5%. nilai Ltabel = 0.258. Ternyata nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel. Dengan demikian hipotesis nol diterima. Yang berarti data termasuk berdistribusi normal.


(2)

4 Uji normalitas data pada kelompok perlakuan latihan interval anaerob dengan rasio waktu kerja dan waktu istirahat 1 :10 kategori power otot tungkai rendah.

Dari penghitungan data diperoleh:

M = 0.916 SD = 0.265

Data disusun dalam tabel sebagai berikut:

Xi Zi F(Zi) S(Zi) |F(Zi)-S(Zi)|

0.48 -1.65 0.0495 0.1000 0.0505

0.66 -0.97 0.1660 0.2000 0.0340

0.74 -0.66 0.2546 0.3000 0.0454

0.77 -0.55 0.2912 0.4000 0.1088

0.87 -0.17 0.4326 0.5000 0.0674

0.93 0.05 0.5199 0.6000 0.0801

1.07 0.58 0.7190 0.7000 0.0190

1.08 0.62 0.7324 0.8000 0.0676

1.22 1.15 0.8749 0.9000 0.0251

1.34 1.60 0.9452 1.0000 0.0548

Kesimpulan :

Dari penghitungan di atas diperoleh Lhitung = 0.1088. Dengan n = 10 dan taraf signifikansi 5%. nilai Ltabel = 0.258. Ternyata nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel. Dengan demikian hipotesis nol diterima. Yang berarti data termasuk berdistribusi normal.


(3)

Lampiran 21. Uji Homogenitas Dengan Uji Bartlett

Harga-harga yang diperlukan untuk uji Bartlett

Sampel dk 1/(dk) s2 log s2 (dk)log

s2

1 9 0.111 0.083 -1.0832 -9.7484

2 9 0.111 0.099 -1.0034 -9.0303

3 9 0.111 0.098 -1.0088 -9.0795

4 9 0.111 0.070 -1.1528 -10.3753

Jumlah 36 0.444 - - -38.2335

1. Menghitung varians gabungan dari tiap kelompok sampel

S2 = 9 ( 0.083 ) + 9 ( 0.099 )+ 9 ( 0.098 )+ 9 ( 0.070 )

9 + 9 + 9 + 9

= 3.15113 = 0.0875314 36

B = -1.057836 X 36 = -38.0821

2. Menghitung nilai χ2

χ2

= 2.303 ( -38.082102 - -38.2335 )= 0.348702449 Nilai χ2

tabel ( = 0.05;3) = 7.81 3. Kesimpulan

Ternyata χ2

hitung= 0.349 < χ2tabel = 7.81. Dengan demikian hipotesis nol diterima. Yang berarti bahwa varians dari kelompok-kelompok sampel tersebut homogen.


(4)

Lampiran 22. Analisis Varians

Dari hasil penghitungan data di atas dapat dilakukan analisis varians sebagai berikut:

1. ∑Y2 = 41.8317

2. RY = 38.77 2= 1503.113 = 37.577823

40 40

3. Jab = 8.98 2+ 8.14 2+ 12.49 2+ 9.16 2 - 37.5778

10

= 1.102748

4. Ay = 17.12 2+ 21.65 2 - 37.577823 = 0.51302

20

5. By = 21.47 2+ 17.3 2- 37.577823 = 0.43472

20

6. ABy = 1.102748 - 0.947745 = 0.1550025

7. Ey = 41.8317 - 37.57782 - 1.1027475 = 3.15113

Tabel ringkasan hasil analisis varians

Sumber Variasi dk JK RJK Fo Ft

Rata-rata

Perlakuan 1 37.5778 37.578

A 1 0.5130 0.513 5.8610 * 4.11

B 1 0.4347 0.435 4.9665 *

AB 1 0.1550 0.155 1.7708

Kekeliruan 36 3.1511 0.088

Total 40 41.8317

Keterangan :

A = Kelompok metode latihan interval anaerob.

B = Kelompok siswa berdasarkan klasifikasi power otot tungkai

AB = Interaksi antara kelompok metode latihan interval anaerob dengan power otot tungkai. * = Tanda signifikan pada α = 0.05.


(5)

Lampiran 23. Uji Rata-Rata Rentang Newman-Keuls

Uji rata-rata setelah Anava adalah pengujian perbandingan nilai-nilai rata-rata yang berbeda-beda secara signifikan dari hasil penghitungan Anava. Pengujian rata-rata setelah Anava digunakan Uji Rentang Newman-Keuls. Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh sebagai berikut :

a. Mengurutkan nilai-nilai perlakuan dari yang paling kecil ke yang besar

KP A1B2 A1B1 A2B2 A2B1

(2) (1) (4) (3)

Rerata 0.814 0.898 0.916 1.249

b. Menghitung kekeliruan baku rata-rata tiap perlakuan. menggunakan rumus : Sy =

0.088

= 0.09356

10

c. Menghitung RST (Rentang Signifikan Terkecil). Untuk uji Newman-Keuls. diambil v =

dk dari RJKE dan p = 2.3....k. Dengan α = 0.05 dan v = 36. maka RST dihitung dengan

mengalikan antara p dan S.

RST2 = 2.89 X 0.0936 = 0.2704 RST3 = 3.48 X 0.0936 = 0.3256 RST4 = 3.84 X 0.0936 = 0.3593

d. Menguji signifikansi tidaknya antara selisih dua rerata dengan nilai RST. jika selisih-selisih yang didapat lebih besar daripada RST-nya masing-masing. maka disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata perlakuan.

Hasil Rentang Newman-Keuls Setelah Anava

KP A1B2 A1B1 A2B2 A2B1 RST

Rerata 0.814 0.898 0.916 1.249

A1B2 0.814 - 0.084 0.102 0.435 * 0.2704 A1B1 0.898 - 0.018 0.351 * 0.3256

A2B2 0.916 - 0.333 0.3593

A2B1 1.249 -

Keterangan ;


(6)