Pelaksanaan Asuransi Pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputra Syariah Surakarta IHSAN WAHYUDI PDF

(1)

PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN MITRA IQRA

DI ASURANSI BUMIPUTRA SYARIAH

SURAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Ekonomi Syariah

Oleh : IHSAN WAHYUDI NIM. S. 340908011

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN MITRA IQRA

DI ASURANSI BUMIPUTRA SYARIAH

SURAKARTA

DISUSUN OLEH : IHSAN WAHYUDI NIMB. S. 340908011

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Jabatan N a m a Tandatangan tanggal

Pembimbing I : Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH.,MH --- --- NIP. 196302091988031003

Pembimbing II : Dr. H. Abdurrahman, SH.MH --- ---

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS NIP. 194405051969021001


(3)

PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN MITRA IQRA

DI ASURANSI BUMIPUTRA SYARIAH

SURAKARTA

DISUSUN OLEH : IHSAN WAHYUDI NIMB. S. 340908011

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan N a m a Tandatangan tanggal

Ketua Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum --- --- NIP. 195702031985032001

Sekretaris Dr. Supanto, SH., M.Hum --- --- NIP. 196011071986011001

Anggota Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH, MH --- --- NIP. 196302091988031003

Dr. H. Abdurrahman, SH.MH --- ---

Mengetahui :

Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS --- --- Magister Ilmu Hukum NIP. 194405051969021001

Direktur Program Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. --- --- NIP. 195708201985031004


(4)

PERNYATAAN

N a m a : IHSAN WAHYUDI NIM : S. 340908011

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul :

PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN MITRA IQRA DI ASURANSI BUMIPUTRA SYARIAH SURAKARTA

adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, April 2010 Yang memberi pernyataan

IHSAN WAHYUDI


(5)

MOTTO

Bismillahirrahmaanirra hiim

“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu

kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”

(QS. Ar Ra’du : 11)

“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan

Mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah

Yang tiada disangka-sangka”

(QS. Ath-Tholaaq)

“Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,

dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”

(QS. Al-Maidah)

Rasulullah SAW bersabda,

“Setiap perbuatan yang tidak dimulai dengan

Bismillaahirrahmaanirrahim maka akan ditolak”

(Al-Hadist)

Untuk memahami hati dan pikiran seseorang,

jangan melihat apa yang telah dia raih,

lihatlah apa yang telah dia lakukan untuk menggapai cita-citanya

(Kahlil Gibran)

Hidup adalah perjuangan

Penyesalan selalu datang belakangan

(Penulis)


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahim

Alhamdulillaahirabbil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul :

“PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN MITRA IQRA DI ASURANSI BUMIPUTERA SYARIAH SURAKARTA”

Tesis ini disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan guna meraih gelar Magister dalam ilmu hukum konsentrasi ekonomi syariah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Banyak pihak yang berperan besar dalam memberikan bantuan sampai selesainya tesis ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr.SP.KJ(K) selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Moh. Jamin, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Prof. Dr. H. Setiyono, SH., M.S, selaku Ketua Program Study Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

4. Segenap dosen pengajar Program Study Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH., MH dan bapak Dr. H. Abdurrahman, SH., MH., selaku pembimbing tesis yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan dan doa dalam menyusun tesis ini.

6. Bapak M. Khoiri Syukur, selaku pimpinan cabang asuransi Bumiputera Syariah Surakarta dan Ibu Enny Kusmayawati selaku pimpinan cabang yang baru.


(7)

7. Ibu Afi Raziatun, selaku Kepala Urusan Administrasi dan Keuangan asuransi syariah cabang Surakarta.

8. Ibu tercinta, terima kasih atas doa yang terucap tanpa henti, ketulusan memberi tanpa meminta dan menyayangku.

9. Istriku tercinta Atik Dyah Sri Afidati, anak-anakku tersayang dan membanggakan, Fahmi, Fikri, Mila dan Khusna.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Surakarta, April 2010

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL --- i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING --- ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS --- --- iii

HALAMAN PERNYATAAN --- iv

MOTTO --- v

KATA PENGANTAR --- vi

DAFTAR ISI --- viii

DAFTAR LAMPIRAN --- ix

ABSTRAK --- xi

ABSRACT --- xii

BAB I PENDAHULUAN --- 1

A. Latar Belakang Masalah --- 1

B. Rumusan Masalah --- 5

C. Tujuan Penelitian --- 5

D. Manfaat Penelitian --- 5

BAB II LANDASAN TEORI --- 7

A. Kerangka Teori --- 7

B. Kajian Umum Tentang Asuransi --- 19

C. Konsep Islam tentang Asuransi Syariah --- 37

D. Pengertian Hukum Ekonomi Syariah --- 56

E. Kerangka Pemikiran --- 57

BAB III METODOLOGI PENELITIAN --- 62

A. Metode Penelitian --- 62

B. Sistematika Laporan --- 65


(9)

A. Hasil Penelitian --- 67

B. Pembahasan --- 95

BAB V PENUTUP --- 101

A. Kesimpulan --- 101

B. Implikasi --- 102

C. Saran-saran --- 102


(10)

ABSTRAK

IHSAN WAHYUDI, S.340908011, 2010, PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN

MITRA IQRA DI ASURANSI BUMIPUTERA SYARIAH SURAKARTA, Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pelaksanaan Asuransi Pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputera Syariah Surakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian empiris atau penelitian non doktrinal, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka dengan mengambil lokasi penelitian di AJB Bumiputera Syariah 1912 Surakarta. pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi guna mendapatkan data primer dan data skunder. Analisis datanya menggunakan metode kwalitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan Asuransi Pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputera Syariah Surakarta belum dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebabkan oleh faktor-faktor (1) Komponen pembuat Undang-undang, Prinsip-prinsip syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, telah mewajibkan investasi asuransi syariah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, (2) Komponen Lembaga pelaksana, Prinsip-prinsip syariah belum dilaksanakan, hal ini disebabkan karena Asuransi Bumiputera Syariah dan Pendidikan Mitra Iqra merupakan produk yang masih baru, kepengurusan Asuransi Bumiputera di pusat masih satu antara yang konvensional dan yang syariah, dan tenaga yang ahli dibidang ekonomi syariah masih terbatas, serta AJB Bumiputera sendiri belum mempunyai lembaga atau proyek-proyek yang syariah. (3) Komponen Penegak Hukum, Dewan Pengawas Syariah belum bekerja secara maksimal, hal ini terbukti bahwa AJB Bumiputera Syariah telah/masih menginvestasikan dana yang terkumpul dari para peserta asuransi ke 18 anak perusahaan AJB Bumiputera yang kesemuanya masih konvensional.


(11)

ABSTRACT

IHSAN WAHYUDI, S.340908011, 2010, The Enforcement Against Sharia Insurance Educational Mitra Iqra In Sharia Insurance Bumiputera Surakarta,

Thesis : The Postgraduate Program Sebelas Unversity Eleven March Surakarta. This research aims to Implementation Insurance Mitra Iqra in sharia Insurance Bumiputera Surakarta.

This research is empirical or non-doctrinal research, because in this research conceptualized law as a manifestation of symbolic meanings of social behavior as evident in their interactions with the research takes place in AJB Bumiputera 1912 Sharia Surakarta. The data collected by observation, interview and documentation in order to abtain primary data and secondary data. The analysis data using qualitative methods.

Based on the result showed that the implementation of Education Insurance Mitra Iqra in sharia Insurance Bumiputera Surakarta not yet implemented in accordance with sharia principles as stipulated in the National Fatwa Council of Islamic Economics and Sharia Law Compilation caused by factors (1) Component makers Laws, Principles Islamic principles of Shariah Board of the National Fatwa Number : 21/DSN-MUI/X/2001 and Economic Law Compilation Sharia, sharia has been requiring insurance investments made in accordance with sharia principles, (2) components implementing institutions, sharia principles has not been implemented, this was due to Buniputera Insurance Shariah and Education Mitra Iqra is a product that was new, managerial Insurance Bumiputera in the center is still one between the conventional and the sharia, and energy experts in the field of Islamic economics is still limited, and AJB Bumiputera it self does not have an institution or projects that sharia. (3) Law Enforcement Components, Sharia Supervisory Board is not working optimally, it is evident that AJB Bumiputera Sharia has been / still invest the funds collected from the participants to the 18th insurance subsidiaries AJB Bumiputera all of which are still conventional.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Islam adalah agama Allah yang memberikan pedoman kepada umat manusia, yang menjamin akan mendatangkan kebahagiaan hidup perseorangan dan kelompok, jasmani dan rohani, material dan spiritual, di dunia kini dan akhirat kelak.1

Islam diajarkan kepada umat manusia dengan perantaraan para rasul Allah silih berganti, sejak nabi Adam A.S hingga yang terakhir Nabi Muhammad SAW. memberikan pedoman hidup yang menyeluruh meliputi bidang akidah, ibadah, akhlak dan muamalah.

Muamalat merupakan hal sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab dengan muamalat, manusia dapat berhubungan satu sama lain yang akhirnya menimbulkan hak dan kewajiban.

Asuransi sebagai perjanjian, dimana seorang penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu, merupakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Asuransi tidak dikenal pada masa awal Islam, akibatnya banyak para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang asuransi, sebagian menganggap bahwa asuransi adalah boleh, sebagian lagi tidak membolehkannya dan bahkan sebagaian lagi mengambil jalan tengah yakni membolehkan asuransi, karena akad dalam asuransi dilakukan secara suka sama suka . alasan ini mengacu kepada salah satu prinsip akad dalam muamalah, bahwa

1 Ahmad Azhar Basyir, Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, cet. Ketiga, BPFE-UGM, Yogyakarta, 1987, hlm. 1


(13)

akad dalam muamalah itu baru sah apabila dilakukan oleh pihak-pihak secara suka sama suka.2

Perbedaan ini disebabkan karena mereka tidak mempunyai gambaran yang utuh tentang asuransi itu sendiri. Disamping itu para ulama juga tidak memahami secara utuh bagaimana konsep dan system operasional dan format kontrak-kontrak asuransi baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah.3

Kegiatan asuransi di Indonesia sudah lama dilakukan, namun asuransi yang berdasar hukum Islam belum lama berkembang. oleh karenanya kegiatanya masih berdasar peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku sepanjang peraturan mengenai asuransi syariah belum dibuat.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 (1) menyebutkan bahwa :

“Asuransi atau perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang diperetanggungkan”.

Sedang Dewan Syariah Nasional mendefinisikan Asuransi Syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diatara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.4

Dasar asuransi bukanlah ditiadakannya resiko atau kerugian, walaupun organisasi asuransi mungkin merasa beruntung untuk melakukan kegiatan ini

2 Yadi Janwari, Asuransi Syariah, Cet. Pertama, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005, hlm. 35 3 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and Gener al) Konsep dan Sistem Operasional, Gema Insani, Jakarta , 2004, hlm. XVII.

4 Ahmad Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, cet. Pertama, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 499


(14)

namun yang sesungguhnya adalah suatu kerugian kecil yang diketahui untuk sesuatu kerugian besar yang tidak pasti.5

Hidup dan mati adalah takdir, seperti juga adanya musibah atau bencana adalah merupakan sunatullah. Asuransi tidak bermaksud mengingkari hal-hal tersebut, tetapi asuransi bermaksud memberi jaminan yang dapat mengurangi penderitaan nasabah jika hal tersebut benar-benar terjadi. Mengasuransikan sesuatu yang dimiliki, barang atau jiwa untuk mendapatkan jaminan adalah merupakan ikhtiar atau usaha untuk mendapatkan kesejahteraan hidup disamping tetap percaya pada takdir Allah, karena sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib seseorang sehingga seseorang tersebut mengubah keadaan mereka sendiri. Asuransi Bumi Putra Syariah, merupakan anak cabang dari Asuransi Bumi Putra, yang kegiatannya diantaranya adalah memasarkan asuransi pendidikan mitra iqra. Mitra Iqra sendiri merupakan produk dari asuransi jiwa yang dirancang untuk memprogram pendidikan anak secara syariah mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan anak menjadi Sarjana S1, sekaligus berfungsi untuk menata kesejahteraan keluarga agar kelak apabila orang tua meninggal tidak sampai kesejahteraan dan pendidikan anak terabaikan. Mitra iqra sendiri merupakan gabungan antara unsur tabungan dan unsur tolong menolong (ta’awun).6

Dalam menjalankan kegiatannya selain berdasar Undang-undang Nomor 2 tahun 1992, tentang usaha asuransi, yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah. Asuransi bumiputera syariah, juga menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor : 21/DSN-MUI/X/2001. Meskipun fatwa Majelis Ulama Indonesia tersebut tidak

5 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, hlm. 302

6 Bumiputra, 2009, Pemahaman Produk Asper & Askum Syariah, Semarang : Kanwil Syariah, Hal. 27


(15)

diakui oleh sebagian kalangan, karena statusnya yang tidak jelas dari sudut kelembagaan Negara.7

Dalam kegiatan asuransi pendidikan mitra iqra, pihak asuransi memberikan dana manfaat bagi pendidikan. Dimana pemegang polis berkewajiban membayar premi dan pihak perusahaan asuransi berkewajiban mengelola premi serta memberikan manfaat asuransi menurut ketentuan yang berlaku. Sehingga program asuransi pendidikan mitra iqra’ ini merupakan solusi bagi sebagian masyarakat yang ingin anak atau keluarganya lebih maju dalam pendidikan. Dengan mengikuti program pendidikan mitra iqra diharapkan kelangsungan pendidikan anak akan terjamin, ketika pihak peserta mencapai usia lanjut dan tidak lagi mampu memberi biaya pendidikan, atau pihak peserta meninggal sebelum anaknya menyelesaikan pendidikan.

Pendidikan Mitra Iqra yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 2003 dan dipasarkan bersamaan dengan berdirinya asuransi bumiputera syariah Surakarta pada tanggal 1 Januari 2007, sampai akhir tahun 2009 telah mempunyai nasabah sebanyak 749 nasabah, dan 288 nasabah diantaranya tidak melanjutkan atau berhenti membayar premi.

Premi asuransi pendidikan mitra iqra yang dibayar oleh nasabah, selain masuk ke rekening tabungan, masuk ke rekening tabarru’ sebagai kumpulan dana yang diniatkan untuk tujuan tolong menolong sesama peserta asuransi bila terjadi musibah. Dari premi yang terkumpul tersebut oleh perusahaan asuransi bumiputera di investasikan atau di reasuransikan, dan hasil dari investasi tersebut keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta asuransi dengan system pembagian bagi hasil (mudharabah) yaitu dengan pembagian 70 % untuk peserta asuransi dan 30 % untuk perusahaan asuransi bumiputera syariah.

7 Rifyal Ka’bah, Mimbar Hukum dan Peradilan, dalam Lembaga Fatwa di Indonesia dalam Kajian Politik Hukum, hlm. 65


(16)

Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti asuransi bumi putra syariah dengan judul “PELAKSANAAN ASURANSI PENDIDIKAN MITRA IQRA DI ASURANSI BUMIPUTRA SYARIAH SURAKARTA”

B. Rumusan Masalah..

Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan asuransi pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputra Syariah Surakarta, apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ?

2. Mengapa tidak sesuai dengan fatwa Dewan Syariah dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ?

3. Hambatan atau kedepan seharusnya bagaimana ?

C. Tujuan Penelitian.

Berpijak pada permasalahan tersebut diatas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan asuransi pendidikan mitra iqra’ di Asuransi Bumiputra Syariah di Surakarta .

2. Untuk mengetahui sebab-sebab tidak dilaksanakannya prinsip-prinsip syariah dalam asuransi pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputra syariah Surakarta, sebagaimana dimaksud dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

D. Manfaat Penelitian.


(17)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara ilmiah bagi ilmu pengetahuan asuransi, khususnya di bidang asuransi pendidikan mitra iqra.

2. Manfaat Praktis

Untuk memberi kontribusi terhadap pemecahan masalah khususnya dalam pelaksanaan asuransi pendidikan mitra iqra di Asuransi Bumi Putra Syariah Surakarta.


(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori.

1. Definisi Asuransi Syariah.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mencoba menelaah buku-buku yang berkaitan dengan asuransi.

1.1 Wahbah Az- Zuhaili dalam bukunya Khairil Anwar yang berjudul Asuransi Syariah Halal dan Maslahah, halaman 19, mendefinisikan : “ Asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang

bersifat tolong menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka ditimpa musibah”8

1.2 Muhaimin Iqbal dalam bukunya Asuransi Umum Syariah dalam Praktek Upaya menghilangkan Gharar, Maisir dan Riba, mengatakan : “Asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan resiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator”9

1.3 Kuat Ismanto dalam bukunya Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, menjelaskan sebagai berikut :

“ Asuransi syariah (Ta’min, takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”10

8 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah, Halal & Maslahat, ctk, Pertama, PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2007, hlm. 19

9 Muhammad Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktek Upaya menghilangkan Gharar, Maisir dan Riba, ctk. Pertama, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm. 2

10 Kuat Ismanto, Asur ansi Syariah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 50


(19)

1.4 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001, mendefinisikan sebagai berikut :

“Asuransi syariah (Ta’min, takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”11

1.5 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 (26).

“ Ta’min/asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung dengan menerima premi ta’min untuk menerima penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti” 12

2. Teori Bekerjanya Hukum

Hukum pada hakekatnya mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun abstrak, hukum dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu untuk mewujudkan ide atau konsep-konsep tersebut perlu adanya kegiatan. Rangkaian kegiatan tersebut menjadi kenyataan merupakan proses penegakan hukum.

Masalah penegakan hukum dan pelaksanaan hukum tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran tentang efektifitas hukum.

Sistem hukum tidak lain merupakan cerminan dari nilai-nilai standar elit masyarakat yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat.

11Ahmad Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, cet.Pertama, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 499


(20)

Untuk memahami bagaimana fungsi hukum, ada baiknya dipahami terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum (dalam Satjipto Rahardjo) yaitu : a. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan

menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan.

b. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau siapa saja berikut prosedurnya.

c. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.

d. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada . Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan.

Dari 4 (empat) pekerjaan hukum tersebut diatas, menurut Satjipto Rahardjo secara sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum yaitu:

1. Sebagai Social Control (Kontrol Sosial).

Kontrol sosial merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Adapun yang termasuk dalam lingkup social control antara lain :

a. Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang b. Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat.

c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial.


(21)

Penggunaan keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi control social, yang lebih praktis yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.13

Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum atau keefektifan hukum bersangkutan dengan 5 faktor pokok yaitu :

a. Faktor hukum itu sendiri, yaitu semua peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan. b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum.

c. Faktor prasarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat atau adresat hukum, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan.

e. Faktor budaya, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Menurut WJ. Chambliss & Robert B. Seidman14 (dalam Esmi Warassih, 2005 : 11-12) dengan teori bekerjanya hukum, disebutkan bahwa untuk memfungsikan peraturan-peraturan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, baik terhadap pembuat undang-undang, lembaga-lembaga pelaksana, maupun pemegang peran.

Adanya pengaruh kekuatan sosial ini dalam bekerjanya hukum secara jelas dapat digambarkan sebagai berikut :

13 Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah,, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 119-120

14 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 11-12.


(22)

Ub Ub Nrm Prn

penerapan

Umpan balik

Bekerjanya kekuatan Bekerjanya kekuatan Kekuatan personal kekuatan personal

dan Sosial dan sosial Dari bagan tersebut diatas, maka dapat diuraikan di dalam dalil-dalil sebagai berikut :

a. Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu diharapkan bertindak;

b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi

peraturan-Kekuatan-kekuatan personal dan kekuatan sosial

Pembuat Undang-undang


(23)

peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya;

c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan;

d. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks ketentuan-ketentuan sosial politik, idiologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan serta birokrasi.15

Selo Soemardjan, berpandangan bahwa efektifitas hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut :

1. Usaha-usaha menanamkan hukum didalam masyarakat, yaitu pembinaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum. 2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada system nilai-nilai yang berlaku.

Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum untuk menjamin kepentingan mereka.

3. Jangka waktu menanamkan hukum, yaitu panjang pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan hukum itu dilakukan dan diharapkan memberi hasil.16

15Ibid, hlm 11-12

16 Soerjono Soekanto, Tatacar a Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1982, hlm 45


(24)

Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa, walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah berlaku kalau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan)

maka kaidah hukum tersebut menjadi aturan pemaksa dan kalau berlaku secara filosofis akan merupakan hukum yang dicita-citakan.

Selain itu Lon F Fuller (principles of legality) berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem, maka harus dicermati apakah ia memenuhi 8 (delapan) asas di antaranya :

1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2. Peraturan yang dibuat itu harus diumumkan. 3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.

4. Peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Suatu system tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6. Perturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah-rubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.17

Sedang menurut Dias, ada lima syarat bagi efektif tidaknya suatu sistem hukum (dalam Esmi Warassih) yaitu :

1. Mudah tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap. 2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi

aturan-aturan yang bersangkutan.


(25)

3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum yang dicapai dengan bantuan :

a. Aparat administrasi yang menyadari kewajibannya untuk melibatkan dirinya kedalam usaha mobilisasi yang demikian.

b. Para warga masyarakat yang merasa terlibat dan merasa harus berpartisipasi di dalam proses mobilisasi hukum.

c. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi juga harus cukup efektif menyelesaikan sengketa.

d. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat, bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif.18

Sedang hubungannya hukum dengan ekonomi (asuransi), ekonomi adalah bertujuan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup masyarakat dan anggota-anggotanya. Perbuatan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan didasarkan pada asas rasionalitas.19 Akan tetapi manusia dalam memenuhi kebutuhannya dapat melakukan dengan cara berkelompok maupun secara individu dengan melakukan interaksi dengan yang lainnya, sehingga dapat menghasilkan secara optimal pemanfaatan sumber daya dalam masyarakat. Dengan demikian muncullah masalah aturan sebagai kebutuhan ekonomi, karena tanpa aturan, orang tidak bisa bicara mengenai penyelenggaraan kegiatan ekonomi dalam masyarakat. Ekonomi tidak bisa mendesain sendiri peraturan-peraturan atau sistem peraturan yang nantinya harus mengikat tingkah lakunya.20

18Ibid. hlm. 106

19 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Rancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm. 55


(26)

3. Teori Ekonomi Islam (Syariah)

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mencapai terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, untuk mencapai tujuan tersebut dikembangkanlah sistem ekonomi yang berdasar pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.21 Peraturan dalam ekonomi Islam mencakup dua macam pelajaran-pelajaran dan hukum-hukum, pertama bagian yang muhkam, yang di dalamnya sudah tidak terdapat lagi peluang untuk berijtihad. Kebakuan hukum ini menjadikan Islam memiliki kesatuan pemikiran, rasa dan perbuatan bagi umat, dan menjadikan umat dalam satu arah, satu tujuan dan satu persepsi. Seperti larangan mengambil riba dalam bermuamalah, memakan harta dengan cara yang tidak halal. Kedua kedudukan hukum yang bisa berubah atau bersifat temporal, bisa berubah menurut situasi dan kondisi serta bertujuan untuk tercapainya kemaslahatan umat manusia.

Yusuf Qardhawi (dalam Norma dan Etika Ekonomi Islam) ada 4 (empat) ciri khas dalam ekonomi Islam di antaranya :

a. Ekonomi bercirikan ketuhanan.

Sistem ekonomi ini bertolak, bertujuan akhir hanya kepada Allah SWT., dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. Aktivitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir hanya untuk Allah SWT.

Islam memandang bahwa materi adalah titipan Allah, sehingga manusia dalam mengelola dan membelanjakannya hanya diniatkan karena Allah tidak semata-mata hanya mencari keuntungan. Kalau seorang

21 Mustafa Edwin Nasution, at.al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Cet. Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 15


(27)

muslim bekerja dalam bidang produksi maka ketika berinvestasi seorang muslim harus merasa bahwa yang ia kerjakan adalah karena Allah. (Q.S. Al-Baqarah 284)

°!

$tB

’Îû

ÏNºuq»yJ¡¡9$#

$tBur

’Îû

ÇÚö‘F{$#

3

bÎ)ur

(#r߉ö7è?

$tB

þ’Îû

öNà6Å¡àÿRr&

÷rr&

çnqàÿ÷‚è?

Nä3ö7Å™$yÛãƒ

ÏmÎ/

ª!$#

(

ã•Ïÿøóu‹sù

`yJÏ9

âä!$t±o„

Ü>Éj‹yèãƒur

`tB

âä!$t±o„

3

ª!$#ur

4’n?tã

Èe@à2

&äóÓx«

핃ωs%

Artinya : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

b. Ekonomi berlandaskan Etika (Moral).

Dalam lapangan ekonomi, Islam memberi kebebasan kepada umatnya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun di sisi lain manusia terikat dengan iman dan etika, sehingga meskipun bebas tetapi tidak bebas mutlak yang akhirnya justru tidak memperhatikan terhadap lingkungannya.

Dalam pandangan ekonomi sekuler, selalu memperhatikan materi, bahkan materi diletakkan pada posisi yang begitu penting dalam kehidupan ekonomi, semua aktivitas ekonomi senantiasa diukur dengan materi, yang akhirnya menimbulkan dampak kerusakan dan ketidak seimbangan dalam kehidupan semua makhluk.

Islam mendorong umatnya agar banyak memberikan jasa kepada masyarakat, atas dasar itu seorang pedagang harus melandasi dirinya dengan niat memberi jasa untuk kehidupan masyarakat di samping motif


(28)

mencari kecukupan nafkah diri dan keluarganya yang menjadi tanggungannya, bukan hanya melulu mencari untung. Sebagaimana firman Allah (Q.S. At-Taubah. 34) yang berbunyi :

$pkš‰r'¯»tƒ

tûïÏ%©!$#

(#þqãZtB#uä

¨bÎ)

#ZŽ•ÏWŸ2

šÆÏiB

Í‘$t6ômF{$#

Èb$t7÷d”•9$#ur

tbqè=ä.ù'u‹s9

tAºuqøBr&

Ĩ$¨Y9$#

È@ÏÜ»t6ø9$$Î/

šcr‘‰ÝÁtƒur

`tã

È@‹Î6y™

«!$#

3

šúïÏ%©!$#ur

šcrã”É\õ3tƒ

|=yd©%!$#

spžÒÏÿø9$#ur

Ÿwur

$pktXqà)ÏÿZãƒ

’Îû

È@‹Î6y™

«!$#

Nèd÷ŽÅe³t7sù

A>#x‹yèÎ/

5OŠÏ9r&

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebaha gian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,

Dalam kegiatan ekonomi (dalam Ahmad Azhar Basyir) agar kegiatan manusia memenuhi landasan moral, maka diperlukan syarat-syarat etis sebagai berikut :

1. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus termasuk hal-hal yang halal dan bukan yang haram.

2. Kegiatan-kegiatan yang pada dasarnya halal harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan kerugian atau madharat dalam kehidupan masyarakat. Misal : Berdagang barang yang halal dibolehkan tetapi apabila perdagangan tersebut dilakukan dengan menipu, memeras maka sudah tidak memenuhi landasan-landasan moral.


(29)

3. Nilai keadilan harus senantiasa dipelihara, dengan akibat bahwa setiap kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan tidak dapat dibenarkan.22. Misal : Tidak boleh memberi upah kepada buruh amat kecil hanya karena ingin memperoleh keuntungan yang lebih besar.

c. Ekonomi bercirikan kemanusiaan

Selain berciri ketuhanan dan moral, ekonomi Islam juga berkarakter kemanusiaan. Allah-lah yang memuliakan manusia dan menjadikanNya manusia sebagai khalifah di bumi. Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahtera, baik manusia yang sehat, sakit, kaya, miskin, kuat atau lemah, susah atau senang baik manusia sebagai individu atau sebagai anggota kelompok masyarakat. Allah telah memberi kepada manusia kekuatan dan alat sehingga manusia bisa melaksanakan tugasnya.

Dalam ekonomi Islam manusia dan kemanusiaan merupakan unsur utama. Faktor kemanusiaan meliputi etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap moderat, dan persaudaraan sesama manusia, etika Islam mengajarkan manusia untuk saling bekerjasama, tolong menolong dan manjauhkan diri dari sikap iri, dengki dan dendam. Islam juga mengajarkan kasih sayang sesama manusia terutama kaum lemah, anak yatim, orang miskin dan orang yang tidak sanggup bekerja.

d. Ekonomi bersifat pertengahan (Keseimbangan).

Salah satu sendi utama ekonomi Islam ialah sifatnya yang pertengahan (keseimbangan), Islam tidak memisahkan antara kehidupan

22 Ahmad Azhar Basyir, Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, Cet. Ketiga, BPFE, Yogyakarta, 1987, hlm. 14


(30)

dunia dengan kehidupan akhirat. Setiap aktifitas manusia didunia akan berdampak kepada kehidupan di akhirat kelak.23

Islam juga menjaga keseimbangan sosial, tidak mengakui adanya hak mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Islam melarang kapitalis, menumpuk harta kekayaan, mengembangkan dan membelanjakan yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan orang lain, bahkan merampas hak milik individu. Ekonomi Islam bersifat tengah-tengah, tidak mendhalimi masyarakat khususnya kaum lemah, juga tidak mendhalimi hak individu, Islam mengakui hak individu dan masyarakat.

B. Kajian Umum Tentang Asuransi 1. Pengertian Asuransi

a. Pengertian menurut KUH Perdata.

Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan.24 Dalam asuransi ada dua pihak yang terlibat yaitu, yang satu sanggup menanggung atau menjamin, dan yang lain akan mendapatkan penggantian suatu kerugian, yang mungkin akan dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.

Asuransi diatur dalam bagian kesatu ketentuan umum Pasal 1774 KUH Perdata, yang bunyinya sebagai berikut :

“Suatu persetujuanan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.

Demikian adalah :

Perjanjian pertanggungan;

23 Mustafa Edwin Nasution, Op.cit. hlm. 23

24 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, ctk.Pertama, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm. 26


(31)

Bunga cagak hidup; Perjudian dan pertaruhan.

Perjanjian yang pertama diatur di dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang”.25

Jika dilihat dari pasal tersebut, maka perjanjian pertanggungan dapat dikategorikan dalam kelompok perjanjian untung-untungan.

Sedang untuk asuransi syariah, Pasal 1774 KUH Perdata tidak dapat dijadikan dasar hukum karena adanya unsur judi (maisir) yaitu adanya unsur untung rugi yang digantungkan pada kejadian yang belum tentu. Asuransi syariah tidak didasarkan untung rugi tetapi didasarkan pada konsep tanggung jawab dan tolong menolong..26

b. Pengertian menurut KUH Dagang.

Dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang Bab Kesembilan Pasal 246 disebutkan:

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”

Dari definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pihak pertama sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban

atau resiko kepada pihak penanggung.

2. Pihak yang ditanggung membeli hak untuk menerima ganti rugi, atau jaminan dari yang menjualnya, yaitu pihak penanggung menerima sejumlah uang yang disebut dengan premi.

25 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. kedua puluh dua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm.380

26 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasur ansian Syariah di Indonesia,


(32)

3. Pihak penanggung mengharapkan keuntungan dari pembelinya, dan dengan keuntungan ini ia bersedia menanggung kerugiannya yang mungkin ditimbulkan akibat bahaya-bahaya yang menjadi pokok pertanggungan.

4. Kerugian yang timbul harus merupakan suatu hal yang tak terduga-duga, dan merupakan suatu bahaya yang tidak dapat diharapkan atau dinantikan dengan pasti, dengan kata lain tidak disengaja.27

Dengan melihat pengertian asuransi diatas, maka seperti halnya dalam KUHPerdata, asuransi disini dapat dipersamakan dengan perjanjian tukar- menukar dengan pertimbangan untung-rugi. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Dagang, tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis masa kontraknya akan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kerugian bagi tertanggung dan di lain pihak merupakan keuntungan bagi penanggung.

Sedang dalam asuransi syariah, perjanjian yang terjadi adalah perjanjian tolong-menolong, bukan perjanjian tukar menukar. Disini bukan untung- rugi yang dipikirkan melainkan tolong – menolong.

Sehingga dalam asuransi syariah tidak mengenal adanya dana hangus atau hilang, peserta asuransi yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri atau karena sesuatu sehingga tidak mampu melanjutkan atau tidak mampu membayar premi, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.28 Begitu pula peserta asuransi yang berhenti sebelum pertanggungannya berakhir peserta dapat menarik kembali seluruh iuran

27Ibid, hlm. 197

28 Mustafa Edwin Nasution, et.al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,,ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 300


(33)

yang dibayarkan. Bahkan jumlah tersebut masih ditambah dengan keuntungan yang diperoleh selama uangnya dikelola perusahaan.29

c. Pengertian menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan itu adalah :

“Perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dengan tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberi pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Berdasar Undang-undang ini, perjanjian yang terjadi adalah antara pihak penanggung (perusahaan asuransi) dengan tertanggung (peserta asuransi) dimana terjadi konsep peralihan resiko dari tertanggung kepada penanggung.30

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat lima unsur yaitu :

1. Perjanjian yang mendasari terbentuknya perikatan antara dua pihak, yang sekaligus terjadinya hubungan keperdataan;

2. Premi sejumlah uang yang sanggup dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung;

3. Adanya ganti rugi dari penanggung kepada tertanggung jika terjadi klaim atau masa perjanjian selesai;

4. Adanya suatu peristiwa yang tidak tertentu yang adanya suatu resiko yang memungkinkan datang atau tidak ada resiko;

29 Gemala Dewi, op.cit., hlm. 198 30Ibid, hlm. 199


(34)

5. Pihak-pihak yang membuat perjanjian, yakni penanggung dan tertanggung.31

Selain itu, dari pengertian diatas dapat dipahami pula bahwa dalam asuransi itu terdapat dua puhak yang terlibat. P ertama, adalah pihak yang mempunyai kesanggupan untuk menanggung atau menjamin, yang selanjutnya disebut “Penanggung” kedua, adalah pihak yang akan mendapatkan ganti rugi jika menderita suatu musibah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi, yang selanjutnya disebut dengan “Tertanggung”. Pihak pertama bisa berupa perseorangan, badan hukum atau lembaga seperti perusahaan, sedang pihak kedua adalah masyarakat luas.32

Sedang Robert, I Mehr., mendefinisikan asuransi sebagai berikut : ‘’ A device for reducing risk by combining a sufficienent number of exposure units make their individuallosses collectively predictable, The predictable loss is them sharid by ordistributed proportionately among all units in the combination’’ 33

Suatu alat untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsional diantara semua unit-unit dalam gabungan tersebut

2. Jenis-jenis asuransi.

Apabila mengamati perusahaan asuransi, maka ditemukan 2 (dua) macam jenis asuransi antara lain :

31 Yadi Janwari, Asuransi Syariah, ctk.Pertama, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005, hlm. 2 32Ibid, hlm. 2


(35)

a. Asuransi umum, yaitu jenis perlindungan yang dikaitkan dengan

kerugian atau kerusakan/kehilangan harta benda yang dimiliki oleh seseorang.

b. Asuransi jiwa, yaitu jenis perlindungan yang dikaitkan dengan hidup

matinya seseorang .

Bila memperhatikan definisi asuransi yang termaktub dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, maka tampak bahwa jenis asuransi hanya terdiri satu jenis yakni asuransi kerugian, sedang dalam Pasal 247 Kitab Undang-undang Hukum Dagang disebutkan, ada 5 macam asuransi antara lain yaitu :

1. Asuransi terhadap kebakaran,

2. Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil pertanian, 3. Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa), 4. Asuransi terhadap bahaya laut dan perbudakan,

5. Asuransi terhadap bahaya pengangkutan di darat dan di sungai-sungai. 34 Djoko Prakoso, membagi asuransi kedalam dua jenis yaitu :

a. Asuransi kerugian, yang meliputi asuransi kebakaran, asuransi pertanian, asuransi laut serta asuransi pengangkutan.

b. Asuransi Jiwa.35

Perbedaan pokok dari dua jenis asuransi tersebut adalah :

1. Pada asuransi jiwa “Peristiwa yang tak tentu” terjadi bila kematian dalam tenggang waktu yang lebih singkat daripada waktu yang disebutkan dalam polis. Pada waktu yang tersebut dalam polis terjadi hal-hal yang mengakibatkan kerugian, misalnya pada asuransi kerugian “peristiwa yang tak tertentu” terjadi bila masa tenggang waktu yang tersebut dalam polis terjadi hal-hal yang mengakibatkan

34 Djoko Prakoso, dan I. Ketut Murtika, Hukum Asuransi di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta 1989 , hlm. 35


(36)

kerugian, misalnya pada asuransi kebakaran gudang yang diasuransikan.

2. Pada asuransi jiwa jumlah uang ganti kerugian telah ditetapkan lebih dahulu. Pada asuransi kerugian jumlah ganti kerugian dihitung dengan membandngkan harga barang yang rusak sebagai akibat

hilang/terbakar dengan harga barang sebelum timbul

kehilangan/kebakaran.36

Asuransi dilihat dari bentuk obyeknya adalah sebagai berikut37 : 3. Asuransi kerugian, adalah asuransi yang akan diterima oleh peserta

ketika ia ditimpa suatu kerugian yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa tertentu. Bentuk asuransi kerugian ini ada dua yaitu :

a. Asuransi kerugian harta yang disebabkan karena kebakaran, kebanjiran, kecurian dan

b. Asuransi yang menjamin kerugian yang timbul akibat tanggung jawabnya, seperti menabrak orang, atau pegawainya mengalami kecelakaan kerja.

4. Asuransi jiwa, adalah asuransi dimana peserta akan memperoleh sejumlah uang jika ia mendapat suatu kerugian, baik ia masih hidup maupun meninggal. Asuransi jiwa ini ada dua yakni :

a. Asuransi yang berkaitan dengan kehidupan peserta, yang terdiri atas tiga bentuk yaitu :

1. Asuransi kematian, berupa transaksi yang mewajibkan peserta membayar sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan, dan pihak perusahaan wajib memberikan sejumlah uang ketika peserta meninggal, kepada orang yang ditunjuk oleh peserta atau ahli warisnya.

36Ibid, hlm. 55

37 Abdul Aziz Dahlan, Insiklopedi Hukum Islam I,Cet. Kelima, PT. Ikhtiar Baru Van Hove, 7 Jakarta, 2001, hlm. 138


(37)

2. Asuransi dalam jangka waktu tertentu, berupa transaksi yang mewajibkan kepada peserta untuk membayar sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransidan pihak perusahaan wajib membayar sejumlah uang kepada peserta jika tenggang waktunya telah datang dan peserta masih hidup. Peserta asuransi tidak mendapatkan uang ganti rugi jika ia meninggal sebelum tenggang waktu datang.

3. Asuransi yang sifatnya peserta menerima sejumlah uang dari pihak perusahaan asuransi pada waktu-waktu tertentu jika ia masih hidup atau diberikan kepada orang yang ditunjuk peserta atau ahli warisnya jika ia meninggal dunia.

Dalam asuransi bentuk terakhir ini uang yang dibayarkan peserta secara periodik lebih besar daripada kedua bentuk asuransi sebelumnya.

b. Asuransi kecelakaan apabila peserta menderita kecelakaan badan atau cacat tubuh.

3. Pengertian Asuransi Jiwa.

Asuransi jiwa pada hakekatnya adalah suatu pelimpahan resiko (Risk Shifting) atas kerugian kauangan (F inancial Loss) oleh tertanggung kepada Penanggung.

Resiko yang dilimpahkan kepada penanggung bukanlah resiko hilangnya jiwa seseorang, melainkan kerugian keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa seseorang atau karena mencapai umur tua sehingga tidak produktif lagi. Dalam kehidupan, manusia mempunyai nilai sosial, agama, ekonomi dan lain-lain.

a. Nilai hidup manusia dari segi sosial dan agama tidak dapat diukur tetapi dari segi ekonomi dapat diukur.


(38)

b. Nilai ekonomi hidup manusia mempunyai relevansi dengan perasuransian jiwa. Yang paling berkepentingan dengan nilai ekonomi itu ialah manusia itu sendiri, istri/suami dan anak-anak atau sanak keluarganya.

c. Nilai ekonomi hidup seorang kepala keluarga sama dengan kapasitas penghasilannya. Jika nilai ekonomi hidup seorang kepala keluarga hilang atau berkurang, maka sanak keluarganya atau yang berkepentingan langsung akan menderita kerugian.38

Untuk lebih memahami, penulis perlu menukilkan beberapa pendapat tentang asuransi jiwa dan bagaimana ketentuan hukumnya.

Poerwosoetjipto, dalam Hukum Asuransi Indonesia mendifinisikan asuransi jiwa sebagai berikut :

“Perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya seseorang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya.39

Sedang definisi yuridis tentang asuransi terdapat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian Pasal (1).

Di dalam Pasal 1 angka (6) Undang-undang nomor 2 tahun 1992, kaitannya dengan asuransi jiwa disebutkan bahwa :

“Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau maninggalnya seseorang yang dipertanggungkan”.

38 Panduan Materi Pendidikan dan Latihan Agen Asuransi (financial Advisor Syariah) Bumiputera, Semarang, hlm. 4

39 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, cet. Keempat, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2006, hlm. 195.


(39)

Dari pengertian diatas, maka obyek pertanggungan adalah jiwa, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 302 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa :

“Jiwa seseorang dapat, guna keperluan yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya, maupun untuk sesuatu yang ditetapkan dalam perjanjian”

Sehingga secara yuridis, untuk sesuatu kepentingan, jiwa seseorang dapat dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk jangka waktu tertentu.

Dari beberapa pengertian asuransi tersebut diatas, maka pada prinsipnya satu sama lain terdapat persamaan. Meskipun ada perbedaan dalam penyampaian akan tetapi kesemuannya tidak terlepas dari tiga unsur yang tercakup dalam asuransi jiwa, yaitu :

a. Pihak yang mengikatkan diri untuk membayar premi (pemegang polis). b. Pihak yang mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang

(penanggung).

c. Pembayaran sejumlah uang yang digantungkan pada peristiwa tertentu (meninggalnya tertanggung) yang belum diketahui kapan terjadinya. Dengan ketiga unsur tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa asuransi jiwa adalah :

“Perjanjian timbal balik antara penutup asuransi (pemegang polis) dengan penanggung, dengan mana pemegang polis mengikatkan diri untuk membayar premi kepada penanggung selama jalannya pertanggungan, sedang penanggung berkewajiban membayar sejumlah uang kepada ahli waris atau penerima faedah yang ditunjuk dalam polis, sebagai akibat jatuhnya peristiwa yang belum pasti, yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan”.


(40)

Asuransi jiwa saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat data per akhir 2008 menunjukkan pendapatan premi enam kali lipat dibandingkan pendapatan tahun 2000.40 Meskipun awalnya asuransi dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, kini asuransi dilaksanakan dengan cara modern, hal ini karena perkembangan peradaban manusia dari tahun ketahun. Sebagai akibat semakin majunya peradaban manusia, maka bertambah pula keinginan manusia untuk mengadakan penjagaan-penjagaan terhadap harta, diri dan keluarganya guna menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul yang sulit diprediksikan. Menyadari adanya ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya, jika bahaya tersebut menimpa hartanya atau jiwanya dia akan menderita kerugian atau kurban jiwa atau cacat raga yang akan mempengaruhi perjalanan hidupnya atau ahli warisnya. Sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban resiko yang sewaktu-waktu dapat terjadi, maka untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut seseorang berusaha atau berupaya mencari jalan, kalau ada pihak lain yang bersedia atau sanggup mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi. Sejak itu pulalah resiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai jangka waktu tertentu ternyata tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung dapat memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung. Lain halnya dengan pertanggungan jiwa, kalau sampai jangka waktu tertentu ternyata tidak terjadi kurban jiwa atau kematian atau kecelakaan yang menimpa tertanggung, maka tertanggung akan akan memperoleh pengembalian sejumlah uang dari penanggung sesuai dengan isi perjanjian. Premi yang dibayar tertanggung itu seolah-olah sebagai tabungan pada penanggung.41

40 Harian Kompas, Edisi Senin 26 Oktober 2009

41 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cet. Keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 13


(41)

Asuransi kini telah ada dan terus berkembang bersamaan dengan tingkat kebutuhan dan buah peradaban manusia, diadakannya asuransi adalah guna mengatasi kesulitan dan memenuhi kebutuhan hakikinya, yaitu kebutuhan akan rasa aman dan terlindung dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti, selain juga untuk investasi.

4. Jenis-jenis Asuransi Jiwa.

Menurut jenisnya, asuransi jiwa dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) golongan42 yaitu :

a. Asuransi Jiwa Biasa (Ordinary life insurance)

Yaitu asuransi jiwa, yang biasanya polis diterbitkan dalam suatu nilai tertentu dengan premi yang dibayar secara periodic (bulanan, triwulan dan tahuanan).

Asuransi jiwa biasa (ordinary life insurance) ini terdiri atas beberapa jenis diantaranya :

1. Asuransi Eka waktu (Term Life Insurance).

Adalah asuransi dimana manfaat diberikan apabila peserta meninggal dunia. Jika tertanggung meninggal dunia selama kurun waktu asuransi berjangka itu berlaku, santunan polis dapat dibayarkan. Dan diakhir masa kontrak kecuali polis tersebut diperbaharui maka asuransi tersebut tidak berlaku lagi.

Asuransi ini merupakan suatu bentuk pertanggungan yang mempunyai jangka waktu tertentu. Misal 2 tahun, 5 tahun 20 tahun dan seterusnya, dan pembayaran preminya lebih murah dibanding dengan jenis pertanggungan jiwa yang lainnya. Asuransi jiwa eka waktu memberikan faedah berupa pembayaran sejumlah uang pertanggungan, apabila tertanggung meninggal dunia dalam masa


(42)

asuransi sebagai akibat sakit atau kecelakaan. Program asuransi ini tidak mengandung unsur tabungan, oleh karena itu tidak ada nilai tebus maupun pembayaran kembali kepada pemegang polis pada masa akhir masa asuransi.43

2. Asuransi Jiwa Seumur Hidup (Whole Life Insurance).

Adalah asuransi secara permanen dimana pembayaran premi setiap tahun sama besarnya. Untuk pembayaran premi ini ditetapkan sekali dan berlaku untuk seumur hidup. Saat ini praktek pembayaran premi ini sudah jarang digunakan oleh perusahaan asuransi karena tidak menguntungkan perusahaan asuransi yang bersangkutan.

3. Asuransi Dwiguna (Endowment Life Insurance)

Asuransi Dwiguna adalah (1) asuransi yang menyediakan sejumlah jaminan (model) bagi pemegang polis/tertanggung berupa uang sebesar uang pertanggungan apabila tertanggung masih hidup sampai masa kontrak berakhir, dan (2) adalah asuransi yang memberi jaminan kepada ahli waris tertanggung yang ditunjuk berupa uang sebesar pertanggungan apabila tertanggung meninggal dunia sebelum habis jangka waktu kontrak asuransinya.44

Pada asuransi ini dibayarkan apabila dalam jangka waktu tertentu seseorang meninggal dunia atau ia tetap hidup. Dan pembayaran premi lebih mahal bila dibandingkan dengan asuransi Eka waktu. Asuransi ini mengandung unsur sebagai berikut :

a. Asuransi eka waktu (Term Insurance)

43 Supardjono, Perasuransian di Indonesia, CV. Amalia Bakti Jaya, Jakarta 1999, hlm.155 44Ibid, hlm. 155


(43)

b. Alat untuk menabung (P ure Endowment) Misal. Digunakan untuk biaya pendidikan anak di kemudian hari.45

Berbeda dengan eka waktu, asuransi ini bila kontraknya telah habis waktu, maka jumlah uang pertanggungan tidak akan hilang. Dan lamanya kontrak tergantung kepada perjanjian yang dimuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

4. Anuitas (Annuity).

Annuity adalah merupakan salah satu asuransi jiwa yang

menitikberatkan kepada cara pembayaran uang pertanggungan, yaitu dengan cara berkala, tidak sekaligus, contoh asuransi jenis ini adalah asuransi beasiswa dan asuransi pensiun.

Pada prinsipnya anuitas berbeda dengan asuransi biasa, anuitas bertujuan untuk membentuk dana (funds) agar bisa digunakan pada waktu hari tua, sedang pada asuransi tujuannya untuk memperkecil resiko, yaitu resiko keuangan yang mungkin timbul pada masa yang akan datang.46

b. Asuransi Jiwa Secara Kolektif (Group Life Insurance)

Asuransi jiwa kolektif adalah asuransi yang biasanya dikeluarkan tanpa ada pemeriksaan medis atas suatu kelompok orang-orang dibawah satu polis induk dan masing-masing anggota kelompok menerima sertifikat partisipasi.

Asuransi jenis ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Contributory, artinya premi asuransi tersebut ditanggung bersama antara pengambil asuransi dan tertanggung (biasanya antara karyawan dan perusahaan)

45 Abas Salim, op.cit, hlm. 35 46 Ibid. hlm. 36


(44)

2. Non contributory, artinya premi asuransi sepenuhnya menjadi

tanggung jawab dari pengambil asuransi (perusahaan atau majikan)

c. Asuransi Rakyat (Industrial Life Insurance)

Asuransi rakyat adalah asuransi jiwa yang dibuat dengan jumlah nominal tertentu, premi umumnya dibayar mingguan yang dibayarkan dirumah pemilik polis kepada agen yang disebut debit agent. Asuransi ini timbul karena asuransi ini awalnya dijual kepada pekerja-pekerja industri, dimana mereka menerima gaji kecil dan dibayar secara mingguan47 Ciri-ciri asuransi ini adalah sebagai berikut :

1. Memberi jaminan kepada rakyat kecil dengan uang pertanggungan dan pembayaran premi dalam batas-batas kemampuan peserta yang bersangkutan.

2. Cara pembayaran premi diatur sedemikian rupa sehingga tidak membebani peserta.

3. Tanpa pemeriksaan kesehatan.

4. Asuransi ini memberi kesempatan kepada mereka yang tidak bisa ikut asuransi biasa.48

5. Berakhirnya Perjanjian Asuransi Jiwa.

Secara garis besar, perjanjian asuransi jiwa dapat berakhir disebabkan karena dua hal yaitu :

Pertama, Masa perjanjian telah habis.

Apabila masa perjanjian telah habis, maka pertanggungan (kontrak asuransi) dengan sendirinya berakhir, dan kepada pihak penanggung berkewajiban untuk membayar uang pertanggungan kepada pihak penerima faedah.

47 Abas Salim, op.cit. hlm. 55 48Ibid. hlm. 55


(45)

Biasanya pihak penerima faedah dalam polis ini adalah tertanggung/pemegang polis itu sendiri.

Kedua, terjadi evenemen atau pihak tertanggung meninggal dunia dalam

masa pertanggungan.

Apabila pihak tertanggung meninggal dunia dalam masa pertanggungan, dalam hal ini ada dua macam penyebab terjadinya peristiwa kematian tersebut, yaitu :

a. Peristiwa yang timbul dari dalam, yaitu peristiwa hilangnya nyawa atau meninggalnya tertanggung karena adanya unsur kesengajaan yang dikehendaki oleh tertanggung, seperti bunuh diri. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian dengan sendirinya gugur.

Dalam Pasal 307 KUHDagang ditentukan

“Apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh diri atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi jiwa gugur”.

Poerwosutjipto dalam Abdul Kadir Muhammad berpendapat, bahwa Pasal 307 KUHD ini dapat disimpangi, sebab kebanyakan asuransi jiwa itu ditutup dengan sebuah klausul yang membolehkan penanggung melakukan prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dari badan tertanggung asalkan peristiwa itu terjadi sesudah lampau 2 (dua) tahun sejak diadakan asuransi.49

b. Peristiwa yang timbul dari luar, yaitu peristiwa hilangnya nyawa atau meninggalnya tertanggung karena suatu sebab yang tidak dikehendaki oleh pihak tertanggung. Apabila peristiwa ini terjadi, maka pihak penanggung wajib membayar uang pertanggungan kepada pihak penerima faedah setelah berkas-berkas persyaratannya dipenuhi.


(46)

Dalam Pasal 307 KUHD, hukuman mati juga mengakibatkan gugurnya pertanggungan, sehingga pihak penanggung bebas dari kewajiban untuk membayar uang pertanggungan, meskipun peristiwa timbulnya dari luar. Namun dalam hal ini, dianggap sebagai ketentuan yang tidak wajar, karena peristiwa hukuman mati adalah peristiwa yang tidak diperkirakan terjadinya. Apabila uang pertanggungan tidak dibayarkan maka sangat merugikan ahli waris yang tidak tahu menahu atau turut serta dalam tindak pidana. 50

Selain itu dalam perjanjian asuransi ada masa leluasa. Apabila peserta tidak dapat melanjutkan membayar premi, ada masa yang disebut dengan masa leluasa, yaitu pihak perusahaan asuransi memberikan batas waktu (grace period) kepada peserta untuk membayar premi lanjutan selama 30 hari kalender. Misal : Jatuh tempo pemayaran premi lanjutan setiap bulan tanggal 2 Pebruari, maka masa leluasanya sampai tanggal 1 Maret. Jika dalam masa leluasa tersebut peserta tidak atau belum membayar premi, maka masih ada proteksi. Artinya pihak asuransi masih akan membayarkan manfaat asuransi kepada ahli waris atau pihak yang berkepentingan terhadap asuransi setelah dikurangi premi yang belum dibayar. Namun jika sampai lewat batas waktu ternyata peserta belum juga membayar premi lanjutan, maka polis menjadi batal sementara dan proteksi menjadi tidak ada. Artinya pihak perusahaan asuransi tidak memiliki kewajiban apa-apa untuk membayar manfaat asuransi. Masa leluasa berlaku untuk semua premi lanjutan baik dengan cara bayar system bulanan, tri wulan, semesteran maupun tahunan.

Dalam konsep hukum, peserta asuransi yang tidak dapat melanjutkan membayar premi tidak dapat dipaksa untuk membayar oleh pihak perusahaan asuransi, peserta asuransi memiliki kebebasan apakah dia mau membayar premi atau tidak, jika premi tidak dibayar, maka pihak perusahaan tidak terikat lagi dengan janji untuk membayar manfaat, namun jika premi terus


(47)

dibayar, maka pihak perusahaan asuransi secara hukum terikat oleh janji-janjinya.51

6. Fungsi/peran Asuransi jiwa.

Perusahaan asuransi jiwa sebagai lembaga pertanggungan memberi perlindungan atas nilai ekonomi hidup manusia, keluarga dan siapa saja yang mempunyai kepentingan atas hidup seseorang tertanggung. Di samping itu asuransi jiwa juga memberikan jaminan atas hal-hal sebagai berikut :

a. Sebagai proteksi. Asuransi jiwa memberikan proteksi terhadap nilai ekonomi hidup untuk perseorangan, keluarga ataupun kepada siapa saja yang mempunyai kepentingan asuransi atas hidup seseorang tertanggung. b. Sebagai tabungan.(Saving).Asuransi jiwa sebagai suatu cara untuk menabung yang sekaligus menjamin bahwa jumlah nominal seluruh tabungan yang diinginkan pasti tercapai dan akan diterima walaupun tabungannya terpaksa tidak dapat dilanjutkan sebagai akibat meninggal. c. Sebagai Agunan (Collateral). Polis asuransi jiwa yang telah mempunyai

nilai tunai, dapat dipergunakan sebagai agunan untuk meminjam sejumlah uang dari perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.

d. Sebagai Warisan. Polis asuransi jiwa dapat meyakinkan orang tua bahwa dia akan meninggalkan warisan pada anak cucunya bila sewaktu-waktu meninggal dunia.

e. Memiliki polis asuransi jiwa dapat memberikan rasa tenteram dan menambah percaya diri. Hal ini akan memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan keluarganya 52

51 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halal & Maslahat, Cet. Pertama, Tiga Serangkai, Solo, 2007, hlm 69


(48)

C. Konsep Islam Tentang Asuransi Syariah.

1. Pengertian Asuransi Syariah.

Asuransi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah At-ta’min.

Penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.

At-ta’min diambil dari kata amana yang berarti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an surat Quraisy (106) ayat (4) yang berbunyi :

¤$öqyz

`ÏiB

NßgoYtB#u

äur

Artinya : Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan

Pengertian at-ta’min sendiri adalah seseorang membayar/ menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.53

Musthafa Ahmad Zarqa dalam Muhammad Syakir Sula memaknai istilah asuransi dengan kejadian. Yaitu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.

Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi adalah sikap

ta’awun yang telah diatur dengan sistem yang rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian dari mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang


(49)

diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah. Dengan demikian , asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Dengan ta ’awun

mereka saling membantu antara sesama. Dan mereka takut dengan bahaya yang mengancam mereka.54

Sedang Wahbah Az- Zuhaili dalam Khairil Anwar mendefinisikan asuransi syariah sebagai berikut :

“ Asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang bersifat tolong menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka ditimpa musibah”55

Muhaimin Iqbal, mengatakan :

“Asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan resiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator”56

Sedang Kuat Ismanto mendefinisikan pengertian asuransi syariah sama dengan difinisi yang disampaikan oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001, yaitu sebagai berikut :

“Asuransi syariah (Ta’min, takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”57

54Ibid. hlm. 29

55 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah, Halal & Maslahat, cet. Pertama, PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2007, hlm. 19

56 Muhammad Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Pr aktek Upaya menghilangkan Gharar, Maisir dan Riba, ctk.Pertama, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm. 2

57Ahmad Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, cet.Pertama, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 499


(50)

Dari pengertian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah (ta ’min, takaful, tadhamun) adalah transaksi perjanjian antara dua pihak yaitu pihak perusahaan asuransi dan pihak peserta asuransi, dimana pihak peserta berkewajiban membayar iuran (premi) dan pihak perusahaan berkewajiban memberikan jaminan kepada peserta asuransi jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak peserta sesuai dengan perjanjian yang dibuat.

Para ahli hukum Islam (Fuqaha) menyadari sepenuhnya bahwa status hukum asuransi belum pernah ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam, pemikiran asuransi muncul ketika terjadi akulturasi budaya antara Islam dengan budaya Eropa, namun bila dicermati, melalui kajian yang mendalam maka dalam asuransi itu terdapat maslahat sehingga para ahli hukum Islam mengadopsi manajemen asuransi berdasar prinsip-prinsip syariah.58

Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang ini sesungguhnya tidak dikenal pada masa awal Islam, akan tetapi terdapat beberapa aktivitas dari kehidupan pada masa Rasulullah yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Misalnya konsep tanggung jawab bersama yang disebut sistem aqilah. Sistem tersebut telah berkembang pada masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah SAW. Kemudian pada jaman Rasulullah hal tersebut dipraktekkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar.

Sistem Aqilah adalah menghimpun anggota untuk menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai “kunz”. Tabungan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang


(1)

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Asuransi Syariah Bumiputera Surakarta, hingga ahir tahun 2009, asuransi pendidikan mitra iqra telah memiliki sebanyak 749 orang peserta dengan jumlah premi bayar per tri wulan terendah Rp. 250.000,- sedang yang paling tinggi Rp. 3000.000,- dari jumlah tersebut yang masih aktif membayar premi sebanyak 461 peserta, sedang yang 288 tidak aktif lagi atau berhenti. Dari premi atau dana yang terkumpul, oleh perusahaan Asuransi Bumiputera Syariah Surakarta premi atau dana tersebut dikelola dan mekanisme pengelolaan dana asuransi pendidikan mitra iqra. Menurut penjelasan dari Bapak M Koiri Sukur Kepala Cabang yang lama dan Ibu Afi Raziatun Kepala Unit Administrasi dan Keuangan, bahwa dana yang telah terkumpul dari premi peserta asuransi pendidikan mitra iqra disetorkan ke Kantor Wilayah yang berkedudukan di Semarang sebagai setoran, kemudian dari kantor wilayah, dana tersebut dikirim ke devisi syariah, dan dari devisi syariah dana tersebut dikirim ke departeman menejemen dana (menjadi satu antara konvensional dengan yang syariah), dan dari departemen menejemen dana, dana tersebut di reasuransikan ke Perusahaan ReAs (Maskapai Reasuransi Indonesia), dan oleh Perusahaan ReAs (Maskapai Reasuransi Indonesia) dana tersebut diinvestasikan ke 18 anak perusahaan AJB Bumiputera 1912 sendiri yang terdiri antara lain : PT. Percetakan dan Penerbitan Mardi Mulyo, PT. Asuransi BUMIDA 1967, PT. Wisma Bumiputera (bergerak dibidang bisnis Property), PT. Eurasia Wisata (bergerak dibidang bisnis Tour and Travel), PT. Bumiwisata (bergerak dibidang bisnis perhotelan), PT. Bumi Usaha Bandung (bergerak dibidang bisnis property), PT. Bumi Usaha Surabaya (bergerak dibidang bisnis property), PT.Bumi Dharma Aktuaria (bergerak dibidang jasa konsultan aktuaria), PT. Bank Bumiputera, PT. Informatics OASE (bergerak dibidang teknologi informasi), PT. Bumiputera Mitra Sarana (bergerak dibidang jasa kontraktor), PT. Bumiputera Capital Indonesia (bergerak dibidang sekuritas), Yayasan Dana Pensiun Bumiputera, Yayasan Bumiputera Sejahtera, Yayasan


(2)

Dharma Bumiputera, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Dharma Bumiputera, Koperasi Masyarakat Bumiputera (KOMAS), Koperasi Karyawan Bumiputera (KARBUMI), sehingga investasinya belum syariah, hal ini dikarenakan selain Bumiputera syariah masih baru dibentuk, kepengurusannyapun masih satu antara yang syariah dan yang konvensional, juga AJB Bumiputera belum memiliki proyek atau perusahaan yang murni syariah, dan demi keamanan dana yang terkumpul serta lebih untung kalau dikelola sendiri. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Pasal 13 (1) bahwa investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. (2) Menteri menetapkan jenis-jenis investasi yang tidak boleh dilakukan oleh Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Sedang dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 564 (1) Perusahaan ta’min (Asuransi) selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. (2) Investasi sebagaimana dalam ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian kedelapan, tentang Investasi, disebutkan pada angka (1) Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. (2) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Sedang bagian kesembilan disebutkan bahwa Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.

Meskipun pengelolaan asuransi syariah telah ada peraturannya, walaupun masih sebatas Fatwa atau Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, namun dikalangan pengelola asuransi syariah ada kendala diantaranya Asuransi


(3)

Bumiputera Syariah masih baru, kepengurusan yang masih satu antara yang syariah dan yang konvensional, masih kekurangan tenaga ahli yang menguasai bidang ekonomi syariah, juga pihak perusahaan AJB Bumiputera sendiri juga belum memiliki proyek atau lembaga yang mengurusi khusus syariah, sehingga akan lebih aman dan menguntungkan kalau dikelola sendiri.

3. Dari penegak hukum

Meskipun AJB Bumiputera syariah telah mempunyai Dewan Pengawas Syariah yang bertugas diantaranya memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, namun dari hasil penelitian ternyata pihak perusahaan AJB Bumiputera syariah dalam mengelola dana yang terkumpul dari para peserta asuransi pendidikan mitra iqra tidak melakukan sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah. Hal ini bertentangan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 564 ayat (1) dan (2) serta Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomo 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian kedelapan tentang investasi disebutkan pada angka (1) Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. Angka (2) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Sedang bagian kesembilan disebutkan bahwa asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah, hal ini terjadi karena fungsi dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) belum dilakukan secara maksimal.


(4)

BAB V P E N U T U P

C. Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa :

a. Pelaksanaan Asuransi Pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputera Syariah Surakarta, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 564 ayat (1) dan (2). Dalam ayat (1) disebutkan, perusahaan asuransi (ta ’min) selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul., ayat (2) investasi sebagaimana dalam ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

b. Asuransi pendidikan mitra iqra pada asuransi Bumiputera syariah tidak sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Kompilasi Hukum Ekonomi


(5)

Syariah, karena AJB Bumiputera dalam menginvestsikan dana masih berpatokan pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, yaitu investasi dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan.

c. Hambatannya karena perusahaan AJB Bumiputera tidak memiliki lembaga khusus yang mengelola dana investasi yang berdasar prinsip syariah. Kedepan AJB Bumiputera harus memiliki lembaga investasi yang khusus syariah, dan memisahkan dana yang terkumpul, sehingga dana yang dari asuransi syariah di investasikan ke lembaga yang syariah, dan dana yang terkumpul dari konfensional di investasikan ke lembaga yang konfensional.

D. Implikasi.

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka implikasi dari tidak dilaksanakannya prinsip-prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dan Pasal 564 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), maka pelaksanaan asuransi Pendidikan Mitra Iqra di Asuransi Bumiputera Syariah Surakarta implikasinya menjadi tidak sah.

E. Saran

1 Agar perusahaan AJB Bumiputera sesegera mungkin mengelola asuransi pendidikan mitra iqra dari polis sampai pengelolaan dananya secara syariah, hal ini karena memang sudah menjadi kewajiban sebagai perusahaan yang menggunakan lebel syariah, dan segera diadakan pemisahan kepengurusan antara yang syariah dan yang konvensional.

3. Segera dibuat Undang-undang tentang asuransi syariah untuk menggantikan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 yang selama ini dijadikan dasar operasional asuransi syariah


(6)

4. Perusahaan AJB Bumiputera agar mengangkat tenaga-tenaga yang ahli dan menguasai ekonomi syariah

5. Kepada masyarakat agar dalam ikut asuransi syariah, selektif dan harus tahu betul apakah asuransi yang memakai lebel syariah tersebut benar-benar telah dikelola secara syariah